Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Reading

DETEKSI STREPTOCOCCUS PYOGENES DARI USAPAN TENGGOROK


PASIEN FARINGITIS AKUT

Oleh:

Wiska F. Ponggalunggu

14014101214

Pembimbing :

Dr. R. E. C. Tumbel, SpTHT-KL (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI

RSUP PROF. Dr. R.D. KANDOU

MANADO

2016
LEMBAR PENGESAHAN

Jurnal reading dengan judul:

Deteksi Streptococcus pyogenes dari Usapan Tenggorok Pasien Faringitis Akut

Telah disetujui, dikoreksi dan dibacakan pada tanggal Juni 2016

Pembimbing:

Dr. R. E. C. Tumbel, SpTHT-KL (K)


Deteksi Streptococcus pyogenes dari Usapan Tenggorok Pasien
Faringitis Akut

1 2 3
Ibnu Tsabit Maulana, Imam Megantara, Ike Rostikawati Husen

1 2
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bagian Mikrobiologi dan
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, 3Bagian Farmakologi
dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Abstrak

Latar Belakang: Faringitis adalah peradangan pada tenggorokan yang mungkin


disebabkan oleh virus dan bakteri. Streptococcus pyogenes bertanggung jawab pada 5-
15% kasus faringitis pada orang dewasa. Antibiotik sangat sering digunakan pada infeksi
ini, sehingga bisa menyebabkan resistensi antibiotik. Alasan utama untuk penggunaan
antibiotik yang berlebihan adalah kesulitan untuk mendapatkan etiologi diagnosis
penyakit yang cepat dan akurat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan frekuensi
Streptococcus pyogenes dari usapan tenggorok pada pasien dengan faringitis akut di
Klinik Padjadjaran.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Spesimen diambil dari pasien di
Klinik Padjadjaran pada September sampai Oktober 2014. Tiga puluh lima pasien dengan
faringitis akut yang memenuhi kriteria seleksi dilakukan usapan tenggorokan. Kemudian,
spesimen yang diperoleh dilakukan identifikasi untuk menentukan apakah ada kolonisasi
Streptococcus pyogenes.

Hasil: Tiga puluh lima pasien dengan faringitis akut terdiri dari 14 laki-laki dan 21
perempuan, dengan usia berkisar antara 16-34 tahun. Dari hasil identifikasi,
Streptococcus pyogenes tidak ditemukan pada usapan tenggorok pasien dengan faringitis
akut di Klinik Padjadjaran.

Kesimpulan: Penelitian ini tidak menemukan kolonisasi Steptococcus pyogenes pada


usapan tenggorok pasien faringitis akut di Klinik Padjadjaran [AMJ.2016; 3 (1): 69-72]

Kata kunci: faringitis akut, Steptococcus pyogenes, usapan tenggorok


Pengantar

Faringitis akut adalah radang tenggorokan yang sangat umum dijumpai di


fasilitas perawatan kesehatan primer. Diagnosis yang akurat perlu dibangun
sehingga terapi yang diberikan sesuai. Infeksi virus merupakan penyebab utama
dari faringitis akut, sedangkan beberapa kasus disebabkan oleh bakteri. Meskipun
demikian, pada 15-30% faringitis akut pada anak-anak, dan 5-15% pada orang
dewasa, Streptococcus pyogenes ditemukan sebagai organisme penyebab, yang
mungkin menyebabkan berbagai komplikasi serius, seperti demam rematik akut
dan glomerulonefritis, jika tidak ditangani dengan baik.1 Antibiotik hanya
diperlukan dalam penanganan faringitis akut yang disebabkan oleh Streptococcus
pyogenes. Meskipun Streptococcus pyogenes ditemukan hanya pada beberapa
kasus pada orang dewasa, tetapi pemberian antibiotik mencapai 78-98%.2
Berdasarkan penelitian oleh Shehadeh dkk.3 ditemukan bahwa penggunaan
antibiotik di kalangan orang dewasa, terutama mahasiswa, sering disebabkan oleh
keluhan sakit tenggorokan. Dengan demikian, selain resistensi mikroba terhadap
antibiotik, penggunaan antibiotik yang tinggi juga akan meningkatkan durasi
pengobatan, biaya pengobatan dan jumlah kematian; yang disebabkan oleh
komplikasi infeksi yang belum ditangani dengan tepat.4

Kriteria Centor, terdiri dari demam dengan suhu di atas 38.5C,


pembesaran kelenjar getah bening, tonsil eksudat, tanpa disertai batuk, dapat
digunakan untuk memprediksi kemungkinan faringitis akibat Streptococcus.
Namun, pemeriksaan laboratorium masih perlu dilakukan untuk menentukan
diagnosis penyebab. Kultur usapan tenggorok adalah gold standard dalam
mendiagnosis faringitis streptokokus dengan sensitivitas 90-95% dibandingkan
dengan Rapid Antigen Detection Test (RADT) yang sensitivitasnya hanya berkisar
sekitar 70%.

Pemberian antibiotik tingkat tinggi dapat disebabkan oleh berbagai faktor,


seperti kesulitan dalam menentukan etiologi diagnosis dengan segera, asumsi
dokter tentang keinginan pasien untuk menjadi diresepkan antibiotik, serta
kecenderungan dokter untuk meresepkan antibiotik meskipun etiologi tidak jelas.2
Frekuensi Streptococcus pyogenes yang ditemukan pada faringitis akut mungkin
dipertimbangkan oleh dokter dalam meresepkan antibiotik. Klinik Padjadjaran
adalah klinik universitas yang menyediakan akses layanan kesehatan bagi para
mahasiswa dan masyarakat di Jatinangor. Namun, tidak ada penelitian tentang
frekuensi faringitis streptokokus di klinik ini. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan frekuensi Streptococcus pyogenes dari usapan tenggorok pasien
dewasa dengan faringitis akut di Klinik Padjadjaran.

Metode

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dilakukan di Laboratorium


Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran pada bulan September
sampai Oktober 2014 setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Riset
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Dari populasi yang
memenuhi kriteria seleksi, 35 orang dipilih sebagai subyek dengan menggunakan
metode consecutive sampling. Kriteria seleksi yang ditetapkan dalam penelitian
ini adalah: pasien dengan faringitis akut yang memenuhi Kriteria Centor di Klinik
Padjadjaran, berusia di atas 15 tahun, dan tidak sedang dalam pengobatan
antibiotik dalam 2 minggu terakhir. Subyek diberi penjelasan tentang tujuan dan
prosedur untuk mendapatkan usapan tenggorok dan diminta untuk menyatakan
kesediaan mereka dengan mengisi dan menandatangani informed consent. Usapan
tenggorok yang diperoleh kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikultur pada
media agar darah, diamati dengan pewarnaan Gram, dan dikonfirmasi dengan uji
bacitracin. Kultur usapan tenggorok adalah metode yang digunakan dalam
penelitian ini, karena pemeriksaan tersebut merupakan gold standard dalam
diagnosis faringitis streptokokus yang memiliki sensitivitas tertinggi (90-95%)
dibandingkan dengan metode lainnya (RADT).5

Jumlah minimum sampel ditentukan dengan menggunakan rumus sampel


minimum untuk variabel kategori deskriptif yang menghasilkan 35 sampel
minimum.
Hasil

Dari 35 subjek, ada 14 laki-laki dan 21 perempuan dengan usia berkisar 16


sampai 34 tahun.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa, pada kultur media agar


darah, persentase koloni beta-hemolitikus sebanyak 23%. Pewarnaan gram
dilakukan pada sampel tersebut untuk mengidentifikasi koloni streptokokus. Dari
pewarnaan gram, 5% (2 dari 34) positif streptokokus, yang kemudian
dikonfirmasi dengan uji bacitracin. Uji bacitracin menunjukkan hasil negatif pada
kedua sampel, yang berarti Streptococcus pyogenes tidak ditemukan dalam
penelitian ini.

Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi bakteri, tidak ditemukan


kolonisasi bakteri Streptococcus pyogenes pada semua subjek.

Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Uji Identifikasi Total Persentase (%)


Tipe Hemolitik
9 25.7
8 22.9
non-hemolitik (-) 18 51.4
Pewarnaan Gam pada Hemolitikus
Positif, kokus, rantai (+) 2 5.72
Positif, kokus, rantai (-) 6 17.14
Uji Bacitracin pada Hemolitikus and Kokus Gram-Positif
Resisten (R) 2 5.72
Sensitif (S) 0 0

Table 2 Jumlah dan Pesentase Koloni Streptococcus pyogenes

Koloni Streptococcus pyogenes Jumlah Persentase (%)


Positif (+) 0 0
Negatif (-) 35 100
Pembahasan

Penelitian ini membuktikan bahwa, dari 35 pasien dengan faringitis akut,


tidak ada kolonisasi Streptococcus pyogenes ditemukan di usapan tenggorok
mereka. Hasil ini berbeda bila dibandingkan dengan penelitian serupa yang
dilakukan di negara lain. Dalam sebuah penelitian di Pakistan6, dari 137 usapan
tenggorok pasien faringitis akut, ditemukan 4,4% koloni Streptococcus pyogenes.
Demikian juga dengan penelitian di Taiwan7, Streptococcus pyogenes ditemukan
sebanyak 1% dari 294 pasien dengan faringitis. Kondisi ini dapat disebabkan oleh
jumlah subjek dan lokasi sample yang berbeda, di mana pasien yang mengunjungi
rumah sakit cenderung memiliki gejala yang lebih parah dibandingkan dengan
pasien yang datang ke klinik. Selain itu, jumlah sampel yang lebih banyak di dua
penelitian lainnya dapat menyebabkan tingginya probabilitas untuk menemukan
Streptococcus pyogenes.

Pada penelitian ini, sebagian besar subjek penelitian adalah mahasiswa,


sedangkan sisanya adalah siswa sekolah menengah dan karyawan. Hal ini
disebabkan oleh status kepemilikan Klinik Padjadjaran, yang merupakan sebuah
klinik milik universitas, sehingga mahasiswa lebih mungkin untuk mencari
pengobatan di klinik ini. Selain itu, kepadatan populasi dan interaksi antara
individu yang memiliki status kesehatan yang baik di kampus atau daerah
penduduk dapat menjadi faktor risiko faringitis, yang memungkinkan subjek
dalam penelitian ini sebagian besar adalah mahasiswa.8 Oleh karena itu, ini
mungkin menjadi faktor yang menyebabkan koloni Streptococcus pyogenes tidak
ditemukan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini, kriteria Centor digunakan dalam pemilihan subjek.


Kriteria ini terdiri dari demam di atas 38.5C, pembesaran kelenjar getah bening
leher, eksudat tonsil, tanpa adanya batuk.9 Meskipun kriteria Centor diyakini
dapat memprediksi faringitis streptokokus, tetapi sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Roggen dkk10 menunjukkan bahwa kriteria Centor tidak efektif
dalam memprediksi ada tidaknya Streptococcus pyogenes dari usapan tenggorok
pada anak-anak. Oleh karena itu penelitian ini masih menggunakan semua pasien
faringitis akut menjadi subjek penelitian meskipun mereka tidak memenuhi semua
kriteria Centor.10

Dalam pemeriksaan laboratorium, spesimen dikultur pada media agar


darah, dan diinkubasi selama 24 jam untuk mengamati pertumbuhan koloni dan
jenis hemolitik yang tumbuh. Meskipun koloni -hemolitikus ditemukan pada
media agar darah, tetapi pada sebagian besar pewarnaan gram, bakteri yang
ditemukan adalah gram negatif. Hal ini dapat disebabkan karena bakteri gram-
negatif seperti Haemophilus influenzae dan E. coli, flora normal di orofaring,
memiliki karakteristik dari -hemolitikus.11 Dari streptokokus yang ditemukan
pada pewarnaan gram, tidak ada koloni yang sensitif terhadap bacitracin. Hal ini
mungkin karena streptokokus yang ditemukan bukan Streptococcus pyogenes,
tetapi kemungkinan Streptococcus agalactiae atau Streptococcus anginosus yang
juga memiliki karakteristik -hemolisis dan flora yang tinggal di tenggorokan,
mengakibatkan koloni yang ditemukan tidak sensitif terhadap bacitracin.11

Berdasarkan survei di Yordania, 60% subjek memiliki pengetahuan yang


rendah tentang resistensi antibiotik, serta kebiasaan menggunakan antibiotik tanpa
resep dokter untuk mengobati gejala tertentu, terutama nyeri tenggorokan.3 Oleh
karena itu, disarankan untuk melakukan sosialisasi tentang penggunaan antibiotik,
terutama terhadap mahasiswa, untuk mengurangi tingkat penggunaan antibiotik
tanpa resep di masyarakat.

Seluruh sampel dan pemeriksaan laboratorium dalam penelitian ini


dilakukan sesuai dengan standar prosedur dan dilakukan oleh staf terlatih, tetapi
tidak terbebas dari kemungkinan kesalahan yang mengakibatkan Streptococcus
pyogenes tidak tumbuh dalam medium agar darah. Penelitian lebih lanjut juga
dapat dilakukan dengan skala yang lebih besar, untuk mendapatkan persentase
lebih akurat yang dapat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

Kesimpulannya, pada penelitian ini tidak ditemukan kolonisasi


Steptococcus pyogenes di usapan tenggorok pasien faringitis akut di Klinik
Padjadjaran.
Daftar Pustaka

1. Carapetis JR. The current evidence for the burden of group a streptococcal
diseases. Geneva: World Health Organization. 2004:157.

2. Madurell J, Balagu M, Gmez M, Cots JM, Llor C. Impact of rapid


antigen detection testing on antibiotic prescription in acute pharyngitis in
adults. Faringocat study: a multicentric randomized controlled trial. BMC
Fam Pract. 2010;11(1):15.

3. Shehadeh M, Suaifan G, Darwish RM, Wazaify M, Zaru L, Aljafari S.


Knowledge, attitudes and behavior regarding antibiotics use and misuse
among adults in the community of Jordan a pilot study. Saudi Pharm J.
2012;20(2):12533.

4. Anis K, Ariyani K, Ikaningsih I, Retno K. Emerging resistance pathogen:


recent situation in Asia, Europe, USA, Middle East, and Indonesia. Maj
Kedok Indones. 2011;57(03):759.

5. Choby BA. Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis. Am


Fam Physician. 2009;79(5):38390.

6. Palla AH, Khan RA, Gilani AH, Marra F. Over prescription of antibiotics
for adult pharyngitis is prevalent in developing countries but can be
reduced using McIsaac modification of Centor scores: a cross-sectional
study. BMC Pulm Med. 2012;12(1):17.

7. Hsieh TH, Chen PY, Huang FL, Wang JD, Wang LC, Lin HK, et al.
Are empiric antibiotics for acute exudative tonsillitis needed in children? J
Microbiol Immunol Infect. 2011;44(5):32832.

8. Bope E. Conns current therapy. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2013. p. 403.

9. Wessels MR. Streptococcal pharyngitis. N Engl J Med. 2011; 364(7): 64855.

10. Roggen I, van Berlaer G, Gordts F, Pierard D, Hubloue I. Centor criteria in


children in a paediatric emergency department: for what it is worth. BMJ
Open. 2013;3(4):14.

11. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick & Adelbergs medical
microbiology. 24th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.;
2007.

Anda mungkin juga menyukai