Anda di halaman 1dari 43

PEDOMAN TATALAKSANA

EPILEPSI

KELOMPOK STUDI EPILEPSI


PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA
(PERDOSSI)
BAB I
PENDAHULUAN

Angka kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara


0,5-4 % (WHO). Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka pasien
epilepsi mencapai 1,1-8,8 juta orang. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi
menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi,
menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok
usia lanjut.1

Di kalangan masyarakat awam masih terdapat pandangan yang keliru terhadap


epilepsi. Ini berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan pasien epilepsi. Di negara-
negara yang sedang berkembang pelayanan pasien epilepsi masih menghadapi banyak
kendala. Di lain pihak, oleh karena berbagai kendala tadi maka penatalaksanaan kasus-
kasus epilepsi oleh tenaga medik masih kurang memadai. Berbagai kendala tadi
seyogyanya diidentifikasi dan diinventarisasi secara sistematik sehingga mudah untuk
diminimalisasi atau dihilangkan. Beberapa kendala yang sudah diidentifikasi antara lain
keterbatasan dalam hal tenaga medik, sarana pelayanan, dana dan kemampuan
masyarakat. Berbagai keterbatasan tadi dapat menurunkan optimalisasi penanggulangan
penyakit.

Epilepsi berpotensi untuk menimbulkan masalah sosio-medikolegal yang secara


keseluruhan dapat menurunkan atau mengganggu kualitas hidup pasien epilepsi, bahkan
keharmonisan keluarga pasien epilepsi juga dapat terganggu. Masalah sosio-medikolegal
meliputi kesempatan untuk memperoleh pekerjaan, hak untuk memperoleh tanggungan
asuransi, hak untuk memperoleh SIM, hak dan kewajiban dalam bidang hukum,
pendidikan, karir, dan perkawinan.
BAB II
DEFINISI, KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI

DEFINISI
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan (kecenderungan) kronik yang
ditandai dengan adanya bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara
intermiten yang terjadi oleh lepas muatan listrik abnormal di neuron-neuron secara
paroksismal, disebabkan oleh berbagai etiologi.2
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik)
yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di
otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked) 3. Epilepsi adalah
situasi dimana terjadi bangkitan kejang 2 kali atau lebih dalam setahun.
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi
secara bersama-sama, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis bangkitan, faktor
pencetus, dan kronisitas.

KLASIFIKASI
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi 4
1. Bangkitan parsial

1.1.Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik)


1.1.1. Motorik
1.1.2. Sensorik
1.1.3. Otonom
1.1.4. Psikis

1.2. Bangkitan parsial kompleks (kesadaran terganggu)


1.2.1. Bangkitan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2. Gangguan kesadaran saat awal bangkitan

1.3. Bangkitan umum sekunder


1.3.1. Parsial sederhana menjadi tonik klonik
1.3.2. Parsial kompleks menjadi tonik klonik
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik

2. Bangkitan Umum
2.1. Lena (absence)
2.2. Mioklonik
2.3. Klonik
2.4. Tonik
2.5. Tonik-klonik
2.6. Atonik
3. Tak tergolongkan

Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindrom epilepsi 5


1. Berkaitan dengan letak fokus
1.1. Idiopatik (primer)
1.1.1 Epilepsi Rolandik Benigna (childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
1.1.2 Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
1.1.3 Epilepsi membaca primer (primary reading epilepsy)

1.2. Simtomatik (sekunder)


1.2.1 Lobus temporalis
1.2.2 Lobus frontalis
1.2.3 Lobus parietalis
1.2.4 Lobus oksipitalis
1.2.5 Kronik progresif parsialis kontinua

1.3. Kriptogenik

2. Umum
2.1. Idiopatik (primer)
2.1.1 Kejang neonatus familial benigna
2.1.2 Kejang neonatus benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi lena pada anak
2.1.5 Epilepsi lena pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan tonik-klonik pada saat terjaga
2.1.8 Epilepsi tonik klonik dengan bangkitan acak

2.2. Kriptogenik atau simtomatik


2.2.1 Sindrom West (spasmus infantilis dan hipsaritmia)
2.2.2 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.3 Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.4 Epilepsi lena mioklonik

2.3. Simtomatik
2.3.1 Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
2.3.2 Etiologi / sindrom spesifik
- Malformasi serebral
- Gangguan metabolisme

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan umum dan fokal
- Bangkitan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindrom Taissinare
- Sindrom Landau-Kleffner
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Epilepsi berkaitan dengan situasi


4.1 Kejang demam
4.2 Berkaitan dengan alkohol
4.3 Berkaitan dengan obat-obatan
4.4 Eklamsi
4.5 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

Klasifikasi bangkitan neonatal 6


1.Samar-samar (Subtle) (30%)
a. Gerakan mengayuh sepeda (Bicycling / pedaling) atau gerakan bertinju
(boxing movements)
b. Gerakan mulut (mengunyah, menelan, atau menjulurkan lidah)
c. Deviasi bola mata (ke bawah atau ke atas)
2.Klonik (25%)
a. Fokal (satu lengan atau satu tungkai)
b. Multifokal (misalnya lengan ipsilateral dan tungkai kontralateral)
c. Jacksonian (menjalar atau marching / migrating)
3.Mioklonik (20 %)
a. Fokal
b. Multifokal
c. Umum
4.Tonik (20 %)
a. Fokal
b. Umum

ETIOLOGI
1. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi
genetik. Biasanya berupa epilepsi dengan bangkitan kejang umum.

2. Kriptogenik : dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui,


termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gestaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatik :
Trauma
Infeksi
Kelainan kongenital
Lesi desak ruang
Gangguan peredaran darah otak
Toksik (alkohol, obat)
Metabolik
Kelainan neurodegeneratif
BAB III
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS DIFERENSIAL

DIAGNOSIS

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:7


 Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi?
 Langkah kedua: apabila ya, maka bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan
yang mana?
 Langkah ketiga: apakah faktor penyebabnya, sindrom epilepsi apa yang
ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh
pasien?

Secara struktural, diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar :

1. Anamnesis (auto dan aloanamnesis) 8


 Pola / bentuk bangkitan
 Lama bangkitan
 Gejala sebelum, selama dan pascabangkitan
 Frekuensi bangkitan
 Faktor pencetus
 Ada/ tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
 Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
 Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
 Riwayat penyakit, penyebab atau terapi sebelumnya
 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik


Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat terlarang dan
kanker.

3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi dan bila


memungkinkan

3.1. EEG
Indikasi :
- Membantu menegakkan diagnosis
- Menentukan prognosis pada kasus tertentu
- Pertimbangan dalam penghentian obat anti-epilepsi
- Membantu dalam menentukan letak fokus

Rekaman EEG termasuk rekaman waktu tidur, stimulasi fotik, dan hiper-
ventilasi.

Kira-kira 29-38% dari pasien epilepsi dewasa, EEG tunggal menunjukkan
kelainan epileptiform. Bila diulang pemeriksaannya, gambaran epileptiform
meningkat menjadi 59-77%.,3,8,9

Bila EEG normal dan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat
dilakukan EEG ulangan dengan persyaratan khusus.

3.2. Pemeriksaan neuroimaging struktural dan fungsional


Indikasi :
- Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
- Adanya perubahan bentuk bangkitan
- Terdapat defisit neurologik fokal
- Epilepsi bangkitan parsial
- Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun
- Untuk persiapan operasi epilepsi

CT scan : dapat mendeteksi lesi fokal tertentu

MRI : merupakan prosedur imaging pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas


tinggi dan lebih spesifik dibanding CT scan. Dapat mendeteksi sklerosis
hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa.
Diindikasikan untuk epilepsi refrakter yang sangat mungkin memerlukan
terapi pembedahan 8,10,11
3.3. Pemeriksaan Laboratorium
Darah : rutin, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, dll sesuai indikasi
Cairan serebrospinal : atas indikasi
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi

Dagnosis pasti
Ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinis bangkitan berulang
(minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.

DIAGNOSIS DIFERENSIAL

1. Pada neonatus dan bayi



Jittering

Apneu

2. Pada anak

Breath holding spell

Sinkop

Migren

Bangkitan psikogenik / konversi

Prolonged QT syndrome

Night terror

Tic

Hypercyanotic attack (pada tetralogi Fallot)

3. Pada dewasa
 Sinkop; dapat sebagai vasovagal attack, sinkop kardiogenik, sinkop
hipovolumik, sinkop hipotensi dan sinkop saat miksi (micturition syncope)
 Serangan iskemik sepintas (TIA)

Vertigo

Transient global amnesia

Narkolepsi

Bangkitan panik, psikogenik

Menier

Tic

GAMBARAN KLINIS
A. Bentuk Bangkitan 12,13
Contoh beberapa bentuk bangkitan epilepsi
1. Bangkitan Umum Lena (Petit mal)
 gangguan kesadaran mendadak (“absence”) berlangsung beberapa detik
 selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi
 mungkin terdapat automatisme
 pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung

2. Bangkitan Umum Tonik Klonik (Grand mal)


 dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan , mioklonik
 pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik, diikuti
gerakan kejang pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama 30-60
detik, mulut berbusa
 selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung
 pasien sering tidur setelah bangkitan

3. Bangkitan Parsial Kompleks


 bangkitan fokal disertai kehilangan / terganggunya kesadaran
 sering diikuti dengan automatisme yang stereotipik seperti mengunyah,
menelan, tertawa dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas

4. Bangkitan Parsial Sederhana


 tidak terjadi perubahan kesadaran
 bangkitan dimulai dari tangan, kaki atau muka (unilateral / fokal) kemudian
menyebar (Jacksonian march)
 kepala mungkin berpaling kearah yang terkena kejang (serangan “adversif”)

5. Bangkitan Umum Sekunder


 berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam
waktu singkat menjadi bangkitan umum
 bangkitan parsial dapat berupa aura
 bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-klonik

B. Sindrom Epilepsi 14,15

Contoh sindrom epilepsi yang sering ditemui


1. Sindrom West
 Terdiri dari trias kombinasi bangkitan epilepsi (spasmus infantilis) yang
berlangsung beberapa detik, terhentinya perkembangan psikomotor dan pola
EEG yang khas yaitu hipsaritmia.
 Terjadi pada usia di bawah 1 tahun.

2. Sindrom Lennox-Gastaut
 Bangkitan epilepsi : bangkitan tonik aksial, atonik, dan lena atipikal.
 EEG abnormal : diffuse slow spike and wave (SSW) atau petit mal variant
(PMV) pada kondisi sadar, burst of fast rhytms 10 spd pada keadaan tidur.
 Perkembangan mental yang lambat.
 Biasanya muncul pada usia 3-5 tahun, lebih banyak pada perempuan.

3. Sindrom Landau Kleffner


 Kelainan pada anak-anak dengan 2 gejala mayor berupa afasia didapat dan
gambaran EEG paroksismal dengan spike dan spike and wave, sebagian besar
multifokal terutama di regio temporal atau parieto-temporo-parietal selama
tidur.
 Kejang jarang didapatkan, bila ada berbentuk tonik klonik umum atau parsial
motor.
BAB IV
TERAPI

TUJUAN TERAPI
Mengontrol gejala atau tanda secara adekuat dengan menggunakan obat tanpa / dengan
efek samping minimal.

PRINSIP TERAPI

 Terapi dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.


 Terapi mulai diberikan bila diagnosis telah ditegakkan dan setelah pasien dan atau
keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan dan kemungkinan efek
samping.
 Pemilihan jenis obat sesuai dengan jenis bangkitan.
 Sebaiknya terapi dengan monoterapi.
 Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai.
 Pada prinsipnya terapi dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila diperlukan
penggantian obat, maka dosis obat pertama diturunkan secara bertahap dan dosis obat
kedua dinaikkan secara bertahap.
 Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dapat dipertimbangkan untuk diberi
kombinasi OAE.
 Bila memungkinkan dilakukakan pemantauan kadar obat sesuai indikasi.

Pasien dengan bangkitan pertama direkomendasikan untuk dimulai terapi bila 16:

 Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG.


 Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan.
 Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak.
 Ada riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung kecuali kejang demam
sederhana.
 Ada riwayat infeksi otak atau trauma kapitis terutama yang disertai penurunan
kesadaran.
 Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
JENIS OBAT ANTI EPILEPSI
Pemilihan obat anti-epilepsi didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek
samping, interaksi antara obat anti-epilepsi.

Tabel 1. Pemilihan obat anti-epilepsi atas dasar jenis bangkitan epilepsi 3


TIPE KEJANG DAN
OBAT LINI PERTAMA OBAT LINI KEDUA
SINDROMA EPILEPSI
Kejang sederhana dan kejang Carbamazepine, valproate dan Levetiracetam, Acetazolamide,
parsial kompleks, kejang umum phenytoin clobazam, clonazepam,
tonik-klonik primer dan ethosuximide*, gabapentin,
sekunder lamotrigine, , oxcarbazepine,
phenobarbital, primidone*,
tiagabine*, topiramate, vigabatrin
Generalized absence seizures Valproate, ethosuximde* Acetazolamide, clobazam,
clonazepam , lamotrigine,
phenobarbital, primidone*

Atypical absence, tonic and Valproate Acetazolamide, carbamazepine,


clonic seizures clobazam, clonazepam,
ethosuximide* , lamotrigine,
oxcarbazepine, phenobarbital,
phenytoin, primidone*, topiramate
Myoclonic seizures Valproate Clobazam, clonazepam,
ethosuximide* , lamotrigine,
phenobarbital, piracetam, primidone*
* Obat tersebut belum tersedia di Indonesia
Tabel 2. Pedoman dosis obat anti-epilepsi lini pertama pada orang dewasa 10,17,18
DOSIS WAKTU
JUMLAH
DOSIS HARIAN DOSIS PARUH
OBAT INDIKASI DOSIS PER
AWAL UMUM RUMATAN PLASMA
HARI
(Miligram) (Jam)

Carbamazepine Parsial & KUTK 400 600 600-1200 2-3* 16-36

Phenytoin Parsial & KUTK 300 300 300-500 1 24-40


atau status
epilepticus

Valproic acid Parsial & KUTK 500-1000 1000 1000-3000 2 8-16

Phenobarbital Parsial & KUTK, 60-90 120 90-120 1 72-120 †


kejang neonatal, atau
status epilepticus 48 ‡

Primidone Parsial & KUTK 100-125 500 250-1500 3

Ethosuximide Kejang absans umum 500 1000 1000-2000 2

Clonazepam Epilepsi mioklonik, 1 4 2-8 1 or 2


sindroma L-G, spasme
infantil, atau status
epilepsticus

* KUTK (Kejang Umum Tonik Klonik) L-G (Lennox Gastaut) †: dewasa ‡ : anak-anak
Tabel 3. Pedoman dosis obat anti-epileptik baru 17,18

WAKTU
PARUH
DOSIS DALAM
OBAT INDIKASI DOSIS AWAL
RUMATAN PLASMA
(JAM)
Levetiracetam † Parsial & KUTKS 2 X 1000 mg/hari 1000-3000 mg/hari not established
1000 mg/hari q 2 wk

Gabapentin Parsial & KUTKS 300 mg/hari ; 900-3600 mg/hari 6


(dewasa)  300mg/hari q1-3d
Lamotrigine † Parsial & KUTKS 25-50mg/d; Sampai 700 25 (12-14 dengan
(dewasa)  50mg q1-2 wk; or mg/hari (100-150 obat-obat induksi
25mg q2d; with VPA mg/hari dengan enzim ; 60
VPA) dengan VPA)
Felbamate Parsial & KUTKS 2-3 X 400 mg/hari 1800-4800 mg/d 20-23
(dewasa) ( concomitant PHT,
CBZ,VPA tiap 20-
33%) dengan dosis 
tiap 400-600 mg/d
q2wk

Sindroma L-G sampai 45 mg/kg/d


3-4 x 15 mg/kg/d; (
concomitant PHT,
CBZ,VPA tiap 20-
33%), dengan dosis 
15 mg/kg/d q1-2 wk
Clobazam Parsial & KUTKS 10mg qb atau 20-30mg/hari 30-46
2 X10 mg/hari sampai 60mg/d
Oxcarbazepine † Parsial & KUTKS 2 X 300mg/d 1200-2400mg/hari 8-24
Tiagabine** Parsial & KUTKS Tidak Tersedia 32-56mg/hari 6-8
Topiramate† Parsial & KUTKS 100 mg/hari ;  400-1000mg/hari 20-24
25 -50 mg/hari tiap
minggu
Vigabatrine** Parsial & KUTKS 2 X 500 mg/hari Sampai 3 g/hari 4-8 (efek
Dimungkinkan berlangsung
untuk spasme sampai 3 hari)
infantil
Zonisamide* Parsial & KUTKS 100-200 mg/hari 400-600 mg/hari 50-68 (27-38
100 mg/hari q1-2 wk dengan obat-obat
induksi enzim)

** - di Indonesia tidak tersedia dan dilaporkan banyak efek samping


KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder ; L-G = Lennox-Gastaut ; q = every ; qb = at bedtime
Catatan : ada obat yang sudah diakui sebagai mono terapi yaitu oxcarbazepine,
lamotrigin, topiramat, levetriracetam untuk mioklonik.
Tabel 4. Pedoman dosis obat anti-epilepsi klasik pada anak-anak 16
TARGET
DOSIS RUMATAN JUMLAH
DOSIS KONSENTRASI
STANDAR DOSIS/
OBAT INDIKASI AWAL OBAT DALAM
(RANGE) HARI
DARAH (RANGE)
Mg/kg/hari Μg/mgG
Carbamazepine Parsial & KUTKS 5 10-25 2-4 6-12

Phenytoin Parsial & KUTKS atau status 5 5-15 1 or 2 10-20


epilepsi

Valproic acid Parsial & KUTKS 5 15-40 1-3 50-100

Phenobarbital Parsial & KUTKS, kejang 4 4-8 1 or 2 10-40


neonatal, atau status epileptikus

Primidone Parsial & KUTKS 10 20-30 1 or 2 5-12

Ethosuximide Kejang absans umum 10 15-30 1 or 2 40-100

Clonazepam Epilepsi mioklonik, sindroma 0.025 0.025-0.1 2 or 3 none


Lennox-Gastaut, spasme
infantil, atau status epileptikus

KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder


Tabel .5.
17
Efek samping obat anti-epilepsi klasik

SIDE EFFECT
DRUG
TERKAIT DOSIS IDIOSINKRETIK
Carbamazepin Diplopia, dizziness, nyeri kepala, Ruam morbiliform,
mual, mengantuk, neutropenia, agranulositosis, anemia aplastik,
hiponatremia efek hepatotoksik, Sindroma
Stevens-Johnson, teratogenecity
Phenytoin Nistagmus, ataxia, mual, muntah, Jerawat, coarse facies, hirsutism,
hipertrofi gusi, depresi, cariasis, lupus-like syndrome,
mengantuk, paradoxical increase ruam, Sindroma Stevens-Johnson,
in seizure, anemia megaloblastik Dupuytren’s contracture, efek
hepatotoksik, teratogenicity
Valproic acid Tremor, berat badan bertambah, Pankreatitis akut, efek
dispepsia, mual, muntah, hepatotoksik, trombositopenia,
kebotakan, tetratogenicity ensefalopati , udem perifer
Phenobarbital Kelelahan, listlesness, depresi, Ruam makulopapular, exfoliation,
insomnia (pada anak), nekrosis epidermal toksik, efek
distractability (pada anak), hepatotoksik, arthritic changes,
hiperkinesia (pada anak), Dupuytren’s contracture,
irritability (pada anak) teratogenicity
Pirimidone Kelelahan, listlessness, depresi, Ruam, agranulositosis,
psikosis, libido menurun, impoten trombositopenia, lupus-like
syndrome, teratogenicity
Ethosuximide Mual, anoreksia, muntah agitasi, Ruam, eritema multiformis,
mengantuk, nyeri kepala, Sindroma Steven-Johnson, lupus-
lethargy like syndrome, agranulositosis,
anemia aplastik
Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk, Ruam, trombositopenia
dizziness, agresi (pada anak)
hiperkinesia (pada anak)
Tabel.6.
Efek samping obat anti-epilepsi baru 16
___________________________________________________________________________
EFEK SAMPING YANG LEBH
OBAT EFEK SAMPING UTAMA
SERIUS NAMUN JARANG
Levetiracetam Somnolen, asthenia, sering muncul
ataksia. Juga dilaporkan penurunan
kecil kadar sel darah merah,
hemoglobin, dan hematokrit.
Gabapentin Somnolen, kelelahan, ataksia,
dizziness, gangguan saluran cerna
Lamotrigine Ruam, dizziness, tremor, ataksia, Sindroma Stevens- Johnson
diplopia, nyeri kepala, gangguan
saluran cerna
Clobazam Sedasi, dizziness, irritability, depresi,
disinhibition
Vigabatrin Perubahan perilaku, depresi, sedasi, Psikosis
kelelahan, berat badan bertambah,
gangguan saluran cerna
Oxcarbazepine Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri
kepala, kelemahan, ruam,
hiponatremia
Zonisamide Somnolen, nyeri kepala, dizziness,
ataksia, renal calculi
Tiagabine Confusion, dizziness, gangguan
saluran cerna, anoreksia, kelelahan
Topiramate Gangguan kognitif, tremor, dizziness,
ataksia, nyeri kepala, kelelahan,
gangguan saluran cerna, renal calculi
Tabel .
Dosis obat untuk status epileptikus konvulsif

Drug Route Adult Dose Pediatric Dose


Clomethiazole IV Infusa dalam 40-100 ml (320-800) pada 0,1 ml/kg/menit
0,8% cairan pemberian 5-15 ml/menit, meningkat tiap 2-4 jam
kemudian dilanjutkan 0,5-20 sesuai yang dibutuhkan
ml/menit
Clonazepam IV Bolus 1 mg pada pemberian < 2 250-500 μg pada
mg/menit pemberian < 2 mg/menit
IV Infusa Dosis rumatan 10 mg/24 jam
Diazepam IV Bolus 10-20 mg pada pemberian< 5 0,25-0,5 mg/kg pada
mg/menit pemberian 2-5 mg/menit
Rectal 10-30 mg 0,5-0,75 mg/kg
IV Infus 3 mg/kg/hari 200-300 μg/kg/hari
Fosphenytoin IV Bolus 15 mg PE/kg pada rentang
pemberian <100-150
mg/PE/menit.
Dosis rumatan 4-5 mg/kg/hari
IV atau IM
Isoflurane Inhalasi End tidal concentrations dari
0,8-2% untuk rumatan.
Burst supression.
Lidocaine IV Bolus 1,5-2,0 mg/kg pada pemberian
< 50 mg/menit
IV Infus Dosis rumatan 3-4 mg/kg/jam
Lorazepam IV Bolus 4 mg 0,1 mg/kg
0,15-0,3 mg/kg
Midazolam IM atau Rectal 5-10 mg
IV Bolus 0,1-0,3 mg/kg pada pemberian
< 4 mg/menit
IV Infusa 0,05-0,4 mg/kg/jam
Buccal 10 mg
Paraldehyde IM atau Rectal 5-10 ml (mendekati 1 g/ml) 0,07-0,35 ml/kg
dalam volume air yang setara.
Pentobarbital IV Infusa 5-20 mg/kg pada rentang
pemberian < 25 mg/menit,
dilanjutkan 0,5-1,0 mg/kg/jam
meningkat sampai 1-3
mg/kg/jam
Phenobarbital IV Bolus 10 mg/kg pada rentang 15-20 mg/kg pada
pemberian < 100 mg/menit rentang pemberian < 100
mg/menit
Rumatan 1-4 mg/kg/hari 3-4 mg/kg/hari

Phenytoin IV Bolus / Infusa 15-18 mg/kg pada rentang


pemberian < 50 mg/kg
Propofol IV Infusa 2 mg/kg, dilanjutkan 5-10
mg/kg/jam, kemudian
diturunkan menjadi 1-3
mg/kg/jam untuk rumatan burst
suppression
Thiopental IV Infusa 100-250 mg bolus diberikan
lebih dari 20 detik, kemudian
dilanjutkan 50 mg bolus tiap 2-
3 menit sampai kejang dapat
dikendalikan. Kemudian
pemberian lewat infus untuk
rumatan burst suppression (3-5
mg/kg/jam)
Tabel 7. Interaksi farmakokinetik antar-obat anti-epilepsi (OAE) 3,10,19

OAE OAE YANG TERKENA DAMPAK INTERAKSI


TAMBAHAN
CBZ CLB CZP ESM GB LAM LE OX PB PHT PRM TPM VPA VGB
P V C

CARBAMAZEPIN AI CLB  CZP  ESM O LAM O O O / PHT  PRM  TPM  VPA O
VPA
CLOBAZAM CBZ - O O O O O O PB /PHT PRM O O
O
CLONAZEPAM O O - O O O O O O /PHT O O  VPA O

ETHOSUXIMIDE O O O - O O O O O PHT O O O O

GABAPENTIN O O O O - O O O O O O O O O

LAMOTRIGINE O O O O - O O O O O ? O O

LEVETIRACETAM O O O O O O - O O O O O O O

OXCARBAZEPINE O O O O O O O - O O O O  VPA O
 VPA
PHENOBARBITAL AI CBZ CZP ESM O LAM O O - / PHT NCP TPM  VPA O
 VPA
PHENYTOIN CBZ CBZ CZP ESM O LAM O O PB - /PR TPM - O
M
PRIMIDONE CBZ CBZ CZP ESM O LAM O O NCP / PHT - TPM O O

TOPIRAMATE O O O O O O O O O PHT O - O

VALPROATE  O O /ESM O LAM O O PB PRM O O


/ PHT
CBZE O
VIGABATRINE O O O O O O O PB PRM O -
PHT

O : none anticipated,  : infrequently decrease in concentration,  : frequently decrease,  : infrequently increase, : frequently increase, AI : autoinduction,
AED : antiepileptic drug, NCP : not commonly prescribed, CBZE : carbamazepine epoxide
PENGHENTIAN OAE 2,3
 Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2
tahun bebas bangkitan dan sesuai indeks prognosis (lihat lampiran), tergantung bentuk
bangkitan.
 Gambaran EEG “normal” / membaik.
 Bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6
bulan.
 Bila bangkitan timbul kembali maka dosis terakhir dipertahankan, kemudian di evaluasi
kembali.
 Dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
 Pertimbangkan kemungkinan kekambuhan bangkitan lebih besar pada 19,20 :
- riwayat KUTK primer atau sekunder.
- penggunaan lebih dari satu OAE.
- riwayat bangkitan mioklonik.
- masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- riwayat bangkitan neonatal
- ( gambaran EEG masih abnormal )

Kemungkinan kekambuhan kecil pada pasien yang telah bebas bangkitan antara tiga
sampai lima tahun, dan yang selama lima tahun atau lebih 21

STATUS EPILEPTIKUS

Definisi
Suatu kondisi di mana bangkitan epilepsi berlangsung terus-menerus, atau bangkitan
berulang dengan /tanpa pemulihan kesadaran, selama periode 30 menit atau lebih.22
Usulan Bandung

Klasifikasi
 Konvulsif
 Non-konvulsif

Tabel.8 Klasifikasi Status Epileptikus.


_________________________________________________________________________
Status epilepticus confined to early childhood
Neonatal status epilepticus
Status epilepticus in specific neonatal epilepsy syndromes
Infantile spasms

Status epilepticus confined to later childhood and adult life


Febrile status epilepticus
Status inchildhood partial epilepsy syndromes
Status epilepticus in myoclonic-astatic epilepsy
Electrical status epilepticus during slow wave sleep
Landau-kleffner syndrome
Status epilepticus occuring in childhood and adult life
Tonic-clonic status epilepticus
Absence status epilepticus
Epilepsia partialis continua
Status epilepticus in coma
Specific forms of status epilepticus in learning difficulty
Syndromes of myoclonic status epilepticus
Simple partial status epilepticus
Complex partial status epilepticus

Status epilepticus confined to adult life


De novo absence status and late onset
______________________________________________________________________________

Penanganan
 Prinsip :
1. Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawatan umum ( ABC )
2. Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi secara simultan
3. Mencegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit
4. Mengatasi faktor pencetus
 Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya perawatan dilakukan di
ICU.

Protokol
Tabel 9. Penatalaksanaan Umum dan Terapi Anti Epilepsi Spesifik pada Berbagai Stadium
Status Epileptikus

Stage of Status General Measures AED treatment


Premonitory Asses cardiorespiratory function Diazepam (i.v. bolus or p.r.)
(0-10 minutes) Secure airways Midazolam (i.m., i.v.bolus, p.r)
Give oxygen Paraldehyd (i.m., p.r.)
Early Institute monitoring Lorazepam (i.v.bolus)
(0-30 minutes) i.v acces Diazepam (i.v.bolus)
Emergency investigations Second – line:
Give 50 % glucose (50 ml) Lignocaine (i.v.bolus & inf)
Give thiamine where appropriate Clonazepam (i..v.bolus)
Treat acidosis Paraldehyde (i.m.)
Transfer to intensive care unit Phenytoin (i.v.bolus )
Estabilished Estabilished aetiology Phenobarbitone (i.v. loading & inf)
(30-60/90 minutes) Identify and treat medical Phenytoin (i.v. loading & inf )
complication Chlormethiazole ( i.v. loading & inf )
Pressor therapy if needed Second – line:
Clonazepam (i..v.bolus or inf)
Paraldehyde (i.v. inf)
Diazepam (short inf )
Midazolam ( short inf )
Refractory EEG monitoring Thiopentone (i.v.bolus & inf )
( ≥ 60 minutes) Monitoring seizure EEG and cerebral Propofol ( i.v. bolus & inf )
function Second – line:
Intracranial pressure monitoring if Pentobarbitone ( i.v. bolus & inf )
appropriate Isoflurane (inhalation )
Etomidate (i.v.bolus & inf )

Catatan
Bila status epileptikus telah teratasi maka dilakukan pemeriksaan lanjut yang lebih cermat.

Daftar obat pada status epileptikus

Tabel 10. Obat-Obat Untuk Penanganan Status Epileptikus Konvulsif Akut4

Generic Name Dose Rate Advantages Disadvantages

Diazepam 5-10 mg IV 2-5 mg/min Fast onset of action Possible greater chance of
(0.2-0.5 mg/kg) late seizure recurrence
Diazepam 5-10 mg per rectum As tolerated Does not require Longer onset of action
rectal gel (0.2-0.5 mg/kg) Ivaccess than IV; less control
Fosphenytoin 1400 mg IV <150 mg/min Easy transition to Long onset of action,
(20 mg/kg ) chronic utility of IM dosing
administration unknown
Lorazepam 4-8 mg IV 2 mg/min Prevent reccurence Longer onset of action
(0.05-0.1 mg/kg than diazepam
Midazolam 0.20 mg/kg IV or 2-5mg min Can be given IM Possible greater chance of
IM with efficacy equal late seizure recurrent
to diazepam
Valproic acid 1500-2000 mg IV 20-100 Appears safe Fastest administration
(25 mg/kg ) mg/min rate unknown
diluted 2:1
1. Lorazepam atau Diazepam IV adalah obat lini pertama yang paling umum dipakai. Midazolam IM
memiliki efikasi yang setara dengan diazepam dan tidak memerlukan akses IV.
2. Berdasarkan atas berat badan “rata-rata” orang dewasa, dosis bolus Benzodiazepin mungkin perlu
diulang jika tidak ada efek obat dalam 5-10 menit.

Tabel. 6 Treatment of Refractory Convulsive Status Epilepticus 4


Generic
IV Loading Dose Maintenance Dose Advantages Disadvantages
Name

Ketamine 1-2 mg/kg over 2-4 0.005-0.05 mg/kg/min Does not dec. Unknown efficacy. Inc.
min as anesthetic dose BP BP.may cause
dissociative side effect
Midazolam 0.20 mg/kg 0.05-0.20 mg/kg/hr Fast, Expensive, possible
(1-36 ug/kg/min) convenient tachyphylaxis/tolerance
titrated to seizure
control
Pentobarbital 1-12 mg/kg at 50 1-5 mg/kg/hr titrated Fast, available Hypotension usually
mg/min to burst to burst suppression requires fluid and
suppression pressors, Immune
suppression.
Phenobarbital 10-20 mg/kg at 50- 30-60 mg q 12 hr Readily Takes too long to load,
100 mg/min available hypotension
Propofol 1-5 mg/kg over 5 1-15 mg/kg/hr titrated Simple to Requires intubation, high
min to burst supression adjust lipid and calorie content

EPILEPSI REFRAKTER

Definisi 24
Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah dicapai konsentrasi terapetik
suatu terapi standar dalam satu tahun terakhir setelah onset. Bangkitan tersebut benar-benar
akibat kegagalan OAE untuk mengontrol fokus epileptik, bukan karena dosis yang tidak tepat,
ketidak-taatan minum OAE, kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi.

TERAPI BEDAH EPILEPSI

Tujuan :
 terutama adalah membuat penderita terbebas kejang
 meningkatkan kualitas hidup pasien
 menurunkan morbiditas
 menurunkan kecacatan psikososial
 meminimalkan defisit neurologik fokal

Indikasi dan kriteria


 Epilepsi refrakter
 IQ > 70
 Tidak ada kontra-indikasi pembedahan
 Usia < 45 tahun
 Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas

Kandidat pembedahan epilepsi 25


 Epilepsi refrakter
 Secara umum pada epilepsi dengan durasi lama (beberapa tahun)
 Mengganggu kualitas hidup
 Manfaat operasi lebih besar dibanding resiko

Tabel 11. Tes Diagnostik yang digunakan pada evaluasi pembedahan epilepsi 26
___________________________________________________________________
Tests of epileptic excitability
Noninvasive EEG
Routine interictal EEG : Video EEG
Longterm monitoring : outpatient long-term monitoring
Invasive EEG
Intraoperative electrocorticography : stereotactic-depth-electrode
Long-term recording : subdural grid or strip, long-term recording
Ictal single-photon-emission computed tomography
Interictal and ictal magnetoencephalography*
Functional MRI*

Tests for structural abnormalities


X-ray films, computed tomography, and other radiographic studies
MRI
Magnetic resonance spectroscopy*

Tests of functional deficits


Interictal PET; interictal SPECT
Neuropsychological batteries; Intracarotid amobarbital (the WADA test); interictal EEG;
interictal magnetoencephalography*; Magnetic resonance spectroscopy*

Tests of normal cortical function (cortical mapping)


Intraoperative electrocorticography; extraoperative subdural-grid recording;
Intacarotid amobarbital; PET;
Magnetoencephalography*; Functional MRI*
_______________________________________________________________________
* Still considered
BAB V
EPILEPSI PADA PEREMPUAN

Epilepsi pada perempuan mendapat perhatian di bidang kesehatan pada umumnya dan
reproduksi pada khususnya. Frekwensi dan keparahan kejang dapat mengalami perubahan pada
beberapa keadaan antara lain pada masa pubertas, siklus menstruasi , kehamilan dan menopause.
Hormonal dilaporkan berperanan penting dalam hal ini.
Diketahui estrogen akan meningkatkan risiko kejang, sedangkan progesterone sebaliknya
berefek menghambat kejang. 27
Berdasarkan perubahan fisiologis yang terjadi pada perempuan, dikenal beberapa bentuk
kejadian epilepsi yaitu :

 Epilepsi pada masa pubertas


 Epilepsi pada masa menstruasi (epilepsi katamenial)
 Epilepasi pada kehamilan
 Epilepsi pada persalinan
 Epilepsi pada masa menyusui
 Epilepsi pada menopause
 Epilepsi pada penggunaan kontraseptif oral dan suntikan
 Epilepsi pada penggunaan HRT (hormon replacement therapy)

Epilepsi pada masa pubertas

Selama masa pubertas seorang gadis, produksi hormon estrogen dan progesteron jauh
lebih banyak daripada ketika dia masih kanak-kanak. Pada kelompok anak tertentu, serangan
epilepsi mulai atau berhenti di sekitar pubertas. Hubungan yang ada antara epilepsi dan pubertas
kemungkinan oleh karena adanya perubahan hormonal yang berpengaruh terhadap sel-sel otak.
Estrogen dapat meningkatkan terjadinya serangan epilepsi. 28
Epilepsi fotosensitif dan jevenile myoclonic epilepsy (JME) mempunyai ciri yang khas
yaitu muncul di sekitar masa pubertas.
Sementara itu, serangan pada epilepsi absence dan benign rolandic epilepsi justru mereda
di sekitar masa pubertas.
Namun demikian sebagian besar epilepsi tidak mengalami perubahan dalam hal
frekuensi serangannya.
Sebagian besar penderita epilepsi parsial mengalami peningkatan frekuensi serangan di
sekitar waktu menarke 29.
Pada remaja putri yang memperoleh asam valproat harus diwaspadai kemungkinan
terjadinya polycystic ovary syndrome yang dicirikan oleh hirsutisme (karena peningkatan
hormon androgen), anovulasi kronis dan gangguan menstruasi yang meliputi amenorea,
oligomenorea, perdarahan uterus disfungsional, infertilitas (semuanya disebabkan oleh
peningkatan kadar estrogen, dan lainnya misalnya obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi
terhadap insulin 30.
Epilepsi pada menstruasi (epilepsi katamenial) 31,32,33,34

Epilepsi katamenial adalah serangan epilepsi yang terjadi selama masa menstruasi atau
beberapa hari menjelang atau sesudah menstruasi.
Serangan pada epilepsi katamenial sering terjadi pada jenis parsial kompleks.
Pada perempuan penyandang epilepsi, peningkatan serangan terjadi pada saat menjelang dan
selama terjadinya menstruasi, dan pada saat terjadinya ovulasi. Hal demikian ini dapat terjadi
pada perempuan dengan epilepsi idiopatik maupun simtomatik.
Estrogen, progesterone, dan estradiol berperanan besar dalam perubahan ambang serangan
epilepsi melalui berbagai macam mekanisme.
Diagnosis epilepsi katamenial berdasarkan pada :
 Definisi, juga perlu adanya
 catatan harian berupa : informasi yang lengkap tentang epilepsi yang dialami penderita yaitu
tentang peningkatan frekuensi dan lamanya serangan epilepsi pada saat menjelang, selama, dan
sesudah menstruasi dan pola menstruasi.
 kontrasepsi yang digunakan oleh penderita.
 pemeriksaan kadar hormon estrogen, progesteron, estradiol
 konsultasi ke spesialis ginekologi.

Terapi epilepsi katamenial :

 Memberi OAE yang sesuai dengan jenis serangan epilepsi yang ada.
 Diawali dengan meningkatkan dosis obat anti-epilepsi konvensional, bila perlu sampai dengan
dosis maksimal.
 Dapat pula dipertimbangkan untuk memberi tambahan asetazolamid 5-10 hari sebelum dan
sesudah haid, atau diberikan clobasam.
 Apabila tidak memberi hasil baik maka perlu dipertimbangkan untuk memberi terapi
hormonal. Manipulasi hormonal dapat meningkatkan kadar progesteron atau menurunkan
kadar estrogen. Obat yang dapat diberikan antara lain klomifen sitrat dan medroksi-
progesteron. Pemberian hormon ini harus dikonsultasi dengan spesialis ginekologi disertai
dengan perhatian khusus tentang kemungkinan adanya efek samping.

Disfungsi menstruasi dan reproduksi lebih sering terjadi pada Epilepsi lobus temporalis (ELT)
dan Epilepsi Umum Primer ( EUP ). Disfungsi menstruasi meliputi : amenore, oligomenore dan
interval siklus menstruasi abnormal. Kelainan endokrin reproduksi meliputi : sindroma ovarium
polikistik, hipotalamik hipogonadisme, menopause prematur dan hiperprolaktinemia.

Epilepsi pada kehamilan

Wanita dengan epilepsi mempunyai angka fertilitas yang rendah. Tingkat kesuburan
( fertilitas ) menurun 69 – 85 % dari yang diharapkan dan lebih mungkin mempunyai siklus
menstruasi anovulatoir, ovarium polikistik, dan disfungsi seksual. Bila ditemukan adanya siklus
menstruasi yang tak teratur, hirsutisme, akne, dan obesitas seharusnya segera di evaluasi atas
kemugkinan adanya disfungsi reproduksi.
Penanganan wanita hamil dengan epilepsi perlu mendapat perhatian khusus mengingat
kemungkinan terjadinya komplikasi baik pada ibu maupun bayi.Memang sebagian besar wanita
dengan epilepsi mengalami kehamilan dan persalinan normal, frekuensi kejang juga tak berubah
dan lebih dari 90% mendapat bayi yang normal, namun masih banyak wanita epilepsi pada awal
kehamilan masih dalam kombinasi beberapa obat antikonvulsan yang ternyata sangat berisiko
malformasi pada infant.35

Beberapa hal yang perlu perhatian :

Wanita epilepsi usia reproduktif dianjurkan konsultasi pengobatan epilepsi 6 bulan


sebelum rencana kehamilan. 35
Dianjurkan pemberian antikonvulsan tunggal dengan dosis diturunkan seminimal
mungkin dalam mengatasi kejang, terutama pada 3 bulan pertama kehamilan. Pemberian dosis
tinggi dihindari dan sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali/hari.36
Carbamasepin, phenitoin, phenobarbital, sodium valproate, semua obat ini adalah
teratogenik tapi peningkatan kelainan perkembangan pada foetus akan terjadi bila diberikan
politerapi atau terutama bila dikombinasi dengan sodium valproat.37,38
Carbamasepin berisiko teratogenik lebih rendah dibandingkan valproat, phenitoin,
phenobarbital. 12,13
Anti konvulsan baru lini kedua yang dilaporkan cukup aman bagi kehamilan adalah
gabapentin dan lamotrigin.(studi pada binatang percobaan).39
“Belum ada studi penggunaan Levetiracetam pada wanita hamil , tapi dilaporkan pada binatang
percobaan dapat mengakibatkan kelainan lahir. “
Komplikasi maternal yang dapat terjadi pada wanita yang menggunakan antikonvulsan
adalah hiperemesis gravidarum,pre eklampsi, eklampsi, perdarahan pervaginum dan persalinan
prematur. 39
Resiko komplikasi kehamilan pada pasien epilepsi meningkat 1,5 – 4 kali.
Pemberian OAE karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dilaporkan cukup aman pada wanita hamil
penyandang epilepsi.
Selama kehamilan kadar serum karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan valproat
menurun secara berturut-turut ( 42%, 56%, 55% dan 39% ),
kadar obat bebas karbamazepin, fenobarbital, fenobarbital menurun secara berturut-turut (28%,
31%, dan 50% ), sedangkan kadar obat bebas valproat meningkat 25%.
Pada semua wanita penyandang epilepsi yang berpotensi melahirkan anak dianjurkan
pemberian suplemen asam folat 0,4-4 mg mg/hari sebelum konsepsi dan selama kehamilan untuk
mengurangi risiko defek neural tube akibat OAE 40
Pada Ibu hamil penyandang epilepsi pada trimester akhir kehamilan terutama 2 minggu terakhir
menjelang tanggal kelahiran dianjurkan pemberian Vit K oral 10-20 mg/hari untuk menurunkan
risiko terjadinya perdarahan maternal maupun neonatal. 37
Kemungkinan terjadinya cacat pada janin mendorong dikerjakannya pemeriksaan
pranatal, meliputi pemeriksaan kadar OAE, asam folat, AFP, vitamin K, dan pemeriksaan
ultrasonografi untuk mengetahui ada atau tidak adanya neural-tube defects, bibir sumbing, dan
kelainan jantung bawaan. Pemeriksaan tersebut dikerjakan sejak kehamilan 6 minggu sampai 36
minggu.14
Dosis optimal asam folat belum diketahi secara pasti. Untuk perempuan yang tidak
mengalami defisiensi asam folat cukup diberi 1mg/hari. Apabila terbukti ada defisiensi asam
folat maka perlu diberi asam folat dengan dosis yang lebih tinggi, dapat diberikan sampai 4
mg/hari. 13

Epilepsi pada persalinan 41,42

Persalinan harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan
epilepsi dan unit perawatan intensif untuk neonatus. Perempuan penyandang epilepsi dapat
melahirkan normal per vaginum. Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan, apabila perlu
penderita dapat diberi dosis tambahan dan/atau obat parenteral terutama apabila terjadi partus
lama.
Terapi akut kejang saat melahirkan sebaiknya digunakan Lorazepam intravena.
Perlu diingat bahwa OAE yang menginduksi enzim hepar merupakan inhibitor kompetitif
terhadap prothrombin precursors, hal ini menempatkan bayi dalam keadaan risiko tinggi untuk
terjadinya perdarahan termasuk perdarahan otak. Risiko tertinggi terdapat pada hari pertama
paska lahir, dan bayi mungkin memerlukan pemeriksaan koagulasi. Pemberian vit K 1 mg I.M
diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu yang menggunakan OAE induksi-enzim.
Pemberian ulangan vit K 2 mg oral dilakukan pada akhir minggu pertama, dan akhir minggu ke-
4. Tujuan pemberian vitamin K adalah untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan .

Epilepsi pada masa menyusui 40,41

Sebagian besar perempuan penyandang epilepsi mampu menyusui anaknya secara baik.
Kadar OAE dalam air susu ibu (ASI) ditentukan oleh kadar obat di dalam plasma dan tingkat
keterikatan obat oleh protein. Makin tinggi tingkat keterikatan obat pada protein maka kadar
OAE dalam ASI makin rendah.
Fenitoin dan asam valproat yang proporsi ikatan pada protein cukup tinggi sehingga
kadarnya dalam ASI cukup rendah. Lebih dari itu, fenitoin cukup sulit diabsorbsi oleh traktus
gastro-intestinal bayi. Dengan demikian ibu yang minum fenitoin dan asam valproat
diperbolehkan menyusui bayinya.
Karbamazepin dan fenobarbital terdapat di dalam ASI dengan kadar yang lebih tinggi.
Apabila si ibu minum fenobarbital, maka bayinya harus diawasi apakah tidak dapat mengisap
ASI atau tampak mengantuk terus. Apabila terjadi maka pemberian ASI harus segera
dihentikan.14
Konsentrasi OAE di ASI untuk fenitoin 10%, benzodiasepin 15 %, valproat 5 %,
karbamasepin 45%, fenobarbital 40%, oxcarbasepin 50%, primidon 80%, ethsuximide 90%.
Lamotrigin dan topiramat mempunyai ikatan protein yang rendah sampai sedang,
demikian pula konsentrasi yang ditemukan pada ASI.
Gabapentin dan levetiracetam tidak ada ikatan protein dan mempunyai konsentrasi yang
ekuivelen dengan serum maternal dan ASI.
Dari penelitian disimpulkan, tidak ada kontra-indikasi mutlak untuk menyusui bagi
perempuan dengan epilepsi.
Penggunaan susu botol pengganti ASI perlu dipertimbangkan bila bayi menjadi malas
minum.17

Epilepsi pada menopause 40,44

Selama menopause, kadar estrogen maupun progesteron menurun tajam. Pada


kelompok perempuan tertentu serangan epilepsi menjadi reda sementara itu pada kelompok
yang lain justru makin memburuk. Hubungan antara menopause dengan epilepsi belum banyak
diketahui. Beberapa obat anti epilepsi yang diberikan pada wanita epilepsi apalagi pada masa
menopause akan meningkatkan risiko gangguan pada tulang seperti osteoporosis, osteopeni,
osteomalacea dan fraktur. Phenitoin, karbamasepin dan phenobarbital dilaporkan dapat
meningkatkan terjadinya perubahan pada metabolisme tulang dan densitas tulang.

Obat anti epilepsi pada penggunaan kontraseptif oral dan suntikan 45

Banyak obat anti epilepsi menginduksi ensim hepar serta menurunkan efek oral
kontraseptif. Karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dan pirimidon menurunkan efek kontrasepsi
oral dengan cara meningkatkan enzim mikrosomal.
Karbamazepin mempengaruhi keseimbangan hormon seks : dapat menurunkan tingkat
dehidroepiandrosteron sulfat dan indeks androgen bebas, meningkatkan jumlah hormon steroid
yang terikat globulin, dan penurunan sekejap respon LH dan Gonadotropin terhadap
Gonadotropin releasing Hormon.
Fenitoin menurunkan Dehidroepiandrosteron Sulfat ( DHEA-S).
Penggunaan lama Valproat berkaitan dengan kenaikan testosteron serum dan DHEA-S.
Dianjurkan bila menggunakan kontrasepsi oral, sebaiknya yang mengandung 50 mikrogram
etinilestradiol. Penggunaan kontrasepsi suntikan (Depo Provera) dilaporkan dapat memperbaiki
kejang dan dianjurkan pemberian suntikan (Depo Provera) ini sebaiknya diulangi setiap10
minggu daripada yang dianjurkan setiap 12 minggu.
Benzodiazepin, etosuksimid, vigabatrin,lamotrigin dan gabapentin tidak mempengaruhi
efektifitas kontrasepsi oral.

Interaksi obat antikonvulsan dan pil KB. 45

Obat2 epilepsi yang tidak mengurangi


Obat2 epilepsi yang dapat mengurangi effektifitas oral kontraseptif :
effektifitas oral kontraseptif :
Obat yg menginduksi enzim :  vigabatrin
 carbamazepine  gabapentin
 ethosuximide (though there is  tiagabine
conflicting data about this)  sodium valproate
 oxcarbazepine  clobazam
 phenobarbital
 phenytoin  clonazepam
 primidone
 topirimate  levetiracetam

obat yg non induksi enzim :

lamotrigine *

Epilepsi pada penggunaan hormon replacement therapy 46

Hormone replacement therapy= HRT= terapi sulih hormone pada wanita menopause
mungkin bermanfaat dalam menghilangkan beberapa simptom menopause seperti hot flushes,
keringatan dan kekeringan vagina. Juga dapat membantu memproteksi terjadinya penyakit
jantung dan osteporosis. Tapi HRT ini dapat juga merupakan kontraindikasi bagi beberapa
wanita lainnya.
Para wanita epilepsi membutuhkan pertimbangan cermat, apakah memang benar-benar
membutuhkan HRT ( hormone replacement therapy = terapi sulih hormone ) atau tidak.. HRT
dapat diberikan berupa estrogen sendiri atau dalam atau dalam bentuk kombinasi estrogen dan
progesterone. Testosteron juga kadang-kadang ditambahkan sebagai kombinasi. Estrogen seperti
diketahui akan lebih mudah menimbulkan kejang, sehingga saharusnya pada HRT dibutuhkan
kombinasi dengan progesteron. Namun pada beberapa wanita, frekuensi kejang akan tetap
meningkat walaupun progesteron sudah tercakup dalam HRT. Dalam penggunaan HRT ini juga
dianjurkan untuk mengkonsumsi vitamin D dan suplemen calsium, regular weight-bearing
exercise, menghindari alkohol dan rokok dapat meminimalkan kehilangan masa tulang dan
osteoporosis.
BAB VI
ASPEK PSIKOSOSIAL, MEDIKO-LEGAL DAN
KESEHATAN REPRODUKSI

Aspek sosial

Pasien epilepsi secara umum mempunyai kendala dalam hubungan sosial dan
kemasyarakatan karena :
1. Kekeliruan persepsi masyarakat terhadap penyakit : kutukan, turunan, dsb.
2. Kekeliruan perlakuan keluarga terhadap pasien epilepsi : overproteksi, penolakan,
dimanjakan, dsb.
3. Kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi : penolakan,
direndahkan, diisolasikan, dsb
4. Keterbatasan pasien epilepsi akibat penyakit : dalam bidang pendidikan,
kemasyarakatan, seni dan olah raga, dsb.

Beberapa karakteristik yang perlu dipertimbangkan :


1. Karakteristik penyakit : tidak menular, paroksismal, dapat disembuhkan, dsb.
2. Karakteristik bangkitan: umum, parsial sederhana, partial kompleks, atonik dsb.
3 3. Karakteristik pasien : kepribadian, pendidikan, keluarga, dsb
4 4. Sistem Sosial dan Hukum : adat istiadat, budaya, undang-undang, dsb
5. Sosialisasi penyakit pada instansi terkait : pendidikan, tenaga kerja, kepolisian, dsb

Aspek pekerjaan

 Epilepsi dapat menurunkan kesempatan dan efisiensi kerja serta meningkatkan risiko
kecelakaan kerja, maka bangkitan harus terkontrol
 Prinsip pilihan pekerjaan :
1. Disesuaikan dengan jenis dan frekuensi bangkitan.
2. Resiko kerja yang paling minimal.
3. Tidak bekerja sendiri dan di bawah pengawasan
4. Jadwal kerja yang teratur.
 Lingkungan kerja (atasan dan teman kerja) tahu kondisi pasien dan dapat
memberikan pertolongan awal dengan baik, maka epilepsi jangan dirahasiakan.

Aspek Olahraga

1. Pasien Epilepsi masih diperbolehkan melakukan olahraga.


2. Pilihan jenis olah raga yang diperbolehkan, dengan pertimbangan :
- Dilakukan di lapangan / gedung olah raga.
- Olah raga yang dilakukan di jalan umum (balap, lari maraton, dll), di
ketinggian (naik gunung, panjat tebing, dll) sebaiknya dihindari.
- Pengawasan khusus dan atau alat bantu diperlukan untuk beberapa jenis olah
raga, seperti : renang, atletik, senam, dsb.

Aspek mengemudi

Resiko kecelakaan tergantung pada jenis dan frekuensi bangkitan.


Yang penting penyakit epilepsi tidak meningkatkan kejadian kecelakaan lebih besar
dibandingkan penyakit jantung, kencing manis, gangguan mental, alkoholisme dan
penyalahgunaan obat.
Pemberian Surat Ijin Mengemudi ( SIM ) pada pasien epilepsi bervariasi sesuai hukum tiap
negara dengan prinsip :
- Bangkitan epilepsi telah terkontrol dengan OAE
- Masa bebas bangkitan dalam jangka waktu tertentu ( 24 bulan berdasarkan pedoman
POLRI ).
- Hukum dan peraturan asuransi yang berlaku.
- Dengan kondisi yang ada di Indonesia disarankan pemberian ijin mengemudi dengan
pertimbangan-pertimbangan :
- Pasien sudah terkontrol bangkitannya dan bebas bangkitan dalam jangka tertentu
( perlu kesepakatan dengan pertimbangan berbagai aspek di atas ).
- Bagi pengemudi pribadi dengan asisten, masa bebas bangkitan lebih pendek ( 6 – 12
bulan ) dapat dipertimbangkan, seperti bangkitan parsial sederhana dan melibatkan
anggota tubuh non dominan atau epilepsi nokturnal.
- Bagi pengemudi angkutan umum, pengecualian ini tidak berlaku, bahkan mungkin
diperlukan syarat tambahan, seperti : berobat secara rutin, rekaman EEG, Psikotes,
atau masa bebas bangkitan lebih lama.
- Perlu ditentukan batas waktu maksimal mengemudi bagi pasien epilepsi untuk
menghindarkan stres fisik / psikis yang berlebihan ( maksimal 6 jam menurut
pedoman POLRI)
- Perlu adanya komunikasi serta kerjasama dengan pihak pimpinan /perusahaan tempat
bekerja mengenai seluk beluk penyakit yang diderita untuk dapat memberikan
pengawasan langsung ( jadwal kerja, lama kerja, lingkungan kerja, diet dsb ).
- Perlu antisipasi khusus terhadap ‫ ״‬epilepsi refleks ‫ ״‬,diperlukan tes povokasi

Aspek Hukum

ּּ Prinsip umum : perlu ada perbedaan perlakuan hukum tertentu bagi pasien epilepsi,
khususnya pada hak dan kewajiban hukum, pemberian asuransi kesehatan dan ijin
mengemudi.
ּּ Perlu adanya komunikasi dan advokasi antara pihak / instansi yang terkait untuk
meletakkan pasien epilepsi pada posisi sebenarnya.
Aspek perkawinan dan reproduksi

1. Pasien epilepsi diperbolehkan untuk menikah


2. Epilepsi mempengaruhi dan dipengaruhi keseimbangan hormonal ( estrogen dan
progesteron )
3. Hiposeksual sering terjadi pada pasien epilepsi, khususnya Epilepsi Lobus Temporal (
ELT )
4. Disfungsi menstruasi dan reproduksi lebih sering terjadi pada ELT dan Epilepsi
Umum Primer ( EUP ). Disfungsi menstruasi meliputi : amenore, oligomenore dan
interval siklus menstruasi abnormal. Kelainan endokrin reproduksi meliputi :
sindroma ovarium polikistik, hipogonadisme hipotalamik, menopause prematur dan
hiperprolaktinemia.
5. Pada catamenial epilepsy (bangkitan kejang yang ada hubungannya dengan siklus
haid) diterapi dengan azetasolamid 5-10 hari sebelum dan sesudah haid, atau
diberikan clobasam.
6. Tingkat kesuburan ( fertilitas ) menurun 69 – 85 % dari yang diharapkan.
7. Karbamazepin mempengaruhi keseimbangan hormon seks : dapat menurunkan
tingkat dehidro-epiandrosteron sulfat dan indeks androgen bebas, meningkatkan
tingkat hormon steroid yang terikat globulin, dan penurunan sekejap respon LH dan
Gonadotropin terhadap Gonadotropin releasing Hormon.
8. Fenitoin menurunkan Dehidro-epiandrosteron Sulfat ( DHEA-S).
9. Penggunaan valproat jangka lama berkaitan dengan kenaikan testosteron serum dan
DHEA-S.
10. Fenitoin, Fenobarbital, Karbamazepin dan pirimidon menurunkan efek kontrasepsi
oral dengan cara meningkatkan enzim mikrosomal.
11. Bila menggunakan kontrasepsi oral, sebaiknya yang mengandung 50 mikrogram
etinilestradiol.
12. Penggunaan kontrasepsi suntikan (Depo Provera) dapat mengurangi kejang.
13. Benzodiazepin, etosuksimid, vigabatrin,lamotrigin dan gabapentin tidak
mempengaruhi efektifitas kontrasepsi oral.
14. Resiko komplikasi kehamilan pada pasien epilepsi meningkat 1,5 – 4 kali.
15. Pemberian OAE karbamasepin, fenitoin, fenobarbital, dilaporkan cukup aman pada
perempuan hamil pasien epilepsi.
16. Suplemen asam folat 4-5 mg/hari dianjurkan saat hamil untuk mengurangi risiko
defek neural tube akibat OAE.
17. Pada semua perempuan pasien epilepsi yang berpotensi melahirkan anak dianjurkan
untuk diberi asam folat 0,4-4 mg mg/hari.
18. Selama kehamilan kadar serum karbamazepin, fenitoin, fenobarbital dan valproat
menurun secara berturut-turut ( 42%, 56%, 55% dan 39% ), kadar obat bebas
karbamazepin, fenobarbital, fenobarbital menurun secara berturut-turut (28%, 31%,
dan 50% ), sedangkan kadar obat bebas valproat meningkat 25%.
19. Pada perempuan hamil pasien epilepsi trimester akhir dianjurkan untuk diberi Vit K
oral 20 mg/hari.
20. Pemberian vit K 1 mg I.M diberikan pada neonatus saat dilahirkan pada ibu yang
menggunakan OAE penginduksi enzim.
21. Perempuan pasien epilepsi dapat melahirkan normal per vaginum.
22. Terapi akut kejang saat melahirkan sebaiknya digunakan Lorazepam intravena.
23. Konsentrasi OAE di ASI untuk fenitoin 10%, benzodiasepin 15 %, valproat 5 %,
karbamasepin 45%, fenobarbital 40%, oxcarbasepin 50%, primidon 80%,
ethsuximide 90%.
24. Penggunaan susu botol pengganti ASI perlu dipertimbangkan bila bayi menjadi malas
minum.
BAB VII
EPILEPSI PADA USIA LANJUT

Prevalensi epilepsi pada usia lanjut : 0,9%-1.5% lebih tinggi dibandingkan dengan
Usia muda. Disamping itu epilepsi pada usia lanjut lebih banyak yang simtomatis
( sekunder).

ETIOLOGI

Etiologi epilepsi pada usia lanjut berdasarkan prevalensinya sebagai berikut:

1. Stroke (jenis yang perdarahan lebih banyak).


2. Penyakit Degeneratif ( Demensia jenis vaskuler,Alzheimer dan amyloid
Angiopathy).
3. Tumor Otak.
4. Kelainan Metabolik ( uremia,hiperglisemia,hipoglisemia,hiponatremia,
Intoksikasi,withdrawal alcohol).
5. Trauma kepala.
6. Infeksi.

JENIS EPILEPSI

Jenis bangkitan epilepsi yang sering terjadi pada usia lanjut sebagai berikut :

1. Parsial kompleks.
2. Kejang umum tonik-klonik.
3. Kejang fokal sederhana.

Perbedaan antara epilepsi usia lanjut dan epilepsi usia muda.

Penampakan Epilepsi usia lanjut Epilepsi usia muda.


Jenis Kejang Sedikit (3jenis) Banyak
Tipe Kejang tersering Parsiil Kompleks Kejang umum tonik klonik.
Frekwensi kejang sedikt Banyak.
Post iktal Kesadaran lama pulih Cepat pulih
Potesial trauma sering jarang
Respon terhadap OAE Umumnya jelek Umumnya bagus

Toleransi terhadap OAE Umumnya jelek Umumnyabaik.


Dosis obat Umumnya rendah tinggi
Kecepatan titrasi OAE pelan cepat
DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi pada usia lanjut ditegakkan berdasar:

1. Anamnesis ( Rek. A).


2. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis ( Rek. B).
3. Pemeriksaan Penunjang :
a. EEG ( Rek. B).
b. CT-Scan ( Rek. B)
c. MRI ( Rek B).
4. Pemeriksaan Laboratorium ( Rek C).

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan epilepsi pada usia lanjut hendaknya lebih berhati-hati mengingat pada usia
lanjut telah terjadi penurunan fungsi organ tubuh sehingga sering terjadi penyakit lainnya
bersama dengan keluhan epilepsinya.
Dalam pemilihan obat pada epilepsi usia lanjut perle diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Pemilihan obat berdasarkan jenis epilepsinya.
2. Terapi awal dimulai dengan dosis rendah,usaahakan obat yang dipilih yang dapat diberikan 2
kali sehari unutk meningkatkan kepatuhan.
3. Karena pasien usia lanjut sering mengalami kesulitan menelan berikan bat yang mudah
digerus.
4. Periksalah kadar obat dalam darah guna mencegah intoksikasi.
5. Pada usia lanjut sering diketemukan gangguan fungsi organ yang memerlukan terapi,
sehingga pemilihan obat anti epilepsi hendaknya dipilih yang tidak berinteraksi dengan obat-
obat tersebut.
6. Pemberian obat anti epilepsy pada usia lanjut kadang memerlukan waktu lebih dari 3 tahun
bahkan seumur hidup ,karena epilepsi pada usia lanjutmumumnya simtomatis.

Pemilihan obat OAD pada usia lanjut sehat dan usia lanjut dengan Multiple
Medical Problem (MMP)

Obat anti Epilepsi Usia Lanjut Sehat Usia lanjut dengan MMP

Carbamazepin baik Hati-hati pada Ggn Ginjal.


Phenytoin baik Hati-hati pada Ggn
Ginjal.
Valproat baik Hati-hati pada
Parkinson.
Phenobarbital dihindari dihindari
Oxcarbazepine baik Hati-hati pada Ggn
Ginjal.
Gabapentine baik Baik
Lamotrigine baik baik
Levetiracetam baik baik
Topiramate baik baik
Tiagabine baik baik
DAFTAR ISI

Halaman sampul
Daftar isi

Bab I Pendahuluan 1

Bab II Definisi, klasifikasi 2


Etiologi 6

Bab III Diagnosis 7


Diagnosis diferensial 8
Gambaran klinis 9

Bab IV Terapi 10
Status epileptikus 15

Bab V Epilepsi pada perempuan 25

Bab VI Aspek psikososial, medikolegal, reproduksi 32

Bab VII Epilepsi pada usia lanjut 36

Daftar Pustaka 40
DAFTAR PUSTAKA

1. Gummit RJ. Recommendation Guidelines for Diagnosis and Treatment in Specialized


Epilepsy Centers. Epilepsia. Vol 31, supp 1, 1990

2. Pellegrino TR. Seizures and Status Epilepticus in Adults, in Tintinali JE, Ruiz E, Krome
RL. Emergency Medicine. 4th ed. Mc Graw Hill. New York, 1996

3. Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment, Blackwell Science Ltd, 2000

4. The Commission on Classification and Terminology of the International League Against


Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of
epileptic seizures. Epilepsia 1981;22:489-501

5. The Commission on Classification and Terminology of the International League Against


Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes.
Epilepsia 1989;30:389-99

6. Volpe JJ. Neurology of the Newborn. 3rd edition. Philadelphia. WB Saunders co, 1995

7. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies: Seizures, Syndromes, and Management; Oxfordshire,


Blandon Medical Publishing, 2005

8. MOH Clinical Practice Guidelines. Diagnosis and Management of Epilepsy in Adults. 1999

9. Gubermann AH, Bruni J. Essential of Clinical Epilepsy. 2nd ed. Butterworth Heinemann.
Boston, 1999

10. Manford M. Practical Guide to Epilepsy, Butterworth Heinemann Elsevier Sciences. 2003

11. Kuzniecky R.I. Neuroimaging Techniques in Epilepsy, in : American Academy of


Neurology. 55th Annual meeting 2003

12. Engel J. Seizures and Epilepsy. FA Davis Company. Philadelpia, 1989

13. Aicardi J. Epilepsy in Children. 2nd ed. The International Review of Child Neurology.
Raven Press, 1994

14. Roger J, Bureau M, Dravet C, et al. Epileptic Syndromes in Infancy, Childhood and
Adolescence. 2nd ed. John Libbey & Company, 1992

15. Cockerel OC, Shorvon OD. Epilepsy current concepts. Current medical literature.London,
1996
16. Gumnit RJ. The Epilepsy Handbook The Practical Management of Seizure. 2 nd ed. Raven
Press, New York, 1995

17. Brodie MJ, Dichter MA. Antiepileptic drugs. N Eng J Med. 1996;334:168-75

18. Browne TR, Holmes GL. Epilepsy. N Eng J Med. 2001; 344:1145-51

19. Devinsky O. Patients with Refractory Seizures. N Eng J Med. 1999;340:1565-70

20. Medical Research Council Anti-epileptic Drug Withdrawl Study Group. Randomised study
of anti-epileptic drug withdrawl in patients in remission. Lancet 1991;337:1175-80

21. Medical Research Council Anti-epileptic Drug Withdrawl Study Group. Prognostic index
for recurrence of seizures after remission of epilepsy. BMJ 193;306:1374-8

22. Fountain N. Treatment of Status Epilepticus. In : American Academy of Neurology. 55 th


annual meeting 2003

23. Working Group on Status Epilepticus. Treatment of convulsive status epilepticus.


Recommendations of the Epilepsy Foundation of America’s Working Group on Status
Epilepticus. JAMA 1993;270:854-9

24. Intractable Seizure. Diagnosis treatment and prevention, Advances in experimental


medicine and biology. Vol 497, 2002

25. Krumholz A. Selection and management of epilepsy patients for surgery. American
Academy of Neurology. 55th Annual meeting, 2003.

26. Engel J. Surgery for Seizures. N Engl J Med. 1996 ; 334 : 647-53

27. Morrell M.J , M.D. Epilepsy in Woman. Columbia University, New York City, New York.
In Journal of the American Academy Family Physicians October 15, 2002.

28. Devinsky, O.A 1994 Guide to understanding and living with epilepsy. FA Davis Company,
Philadelphia.

29. Morrel, M.J. 1992 Hormones and epilepsy through the lifetime. Epilepsia 33(Suppl.
4):S49-S61.

30. Vainionpaa, L.K., Rattya, J., Kinp, M., Tapanainen, J.S., Pakarinen, A.J., Lanning, P.,
Tekay, A., Myllyta, W., Isojarvi, J.I.T. 1999 Valproate-induced hyperandrogenism during
pubertal maturation in girls with epilepsy. Ann. Neurol. 45:444-50.
31. Tjahjadi, A. 2001 The effect of progesterone and antiestrogen on the frequency of seizures
in women with complex partial seizures and catamenial epilepsy. URL
http://142.103.117.44/scil/conf/2001/proc/node53.html. Cited on 8/12/2002.

32. Zahn C. Catamenial epilepsy: clinical aspects. Neurology 1999;53(Suppl 1):S34-S37.

33. Duncan S, Read CL, Brodie MJ. How common is catamenial epilepsy? Epilepsia
1993;34(5):827-831.

34. Harsono 2002 Epilepsi katamenial. B.I.Ked. 34(1):57-63.

35. British Brain and Spine Foundation Epilepsy; a guide for patients and carers, Available
at: http://www.brainandspine.org.uk/pdf/epilepsy.pdf (accessed on 3 March, 2005).

36. Nakane Y, Oltuma T, Takahashi R et al. Multi-institutional study on the teratogenicity and
fetal toxicity of anticonvulsants: a report of a collaborative study group in Japan. Epilepsia,
1980; 21:663-680.

37. Yerby M S, Pregnancy and teratogenesis. In: Trimble MR (ed). Women and Epilepsy.
Chichester, John Wiley & Sons.1991.

38. Shorvon .S.Handbook of Epilepsy Treatment, Blackwell Sciense Ltd, 2000.page 79-83.

39. Dansky L V,The teratogenic effects of epilepsy and anticonvulsant drugs. In Hopkins

40. Liporace, J.D. 1997 Women’s issues in epilepsy. Postgrad. Med. 102(1): 1-8.

41. ILAE (International League Against Epilepsy).1993 Guidelines for the care of women of
childbearing age with epilepsy. Epilepsia 34(4):588-9.

42. Prof. dr. Harsono, Sp.S (K), Karakteristik epilepsi pada perempuan. Dalam Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Penyakit Saraf pada Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ; 12 April 2004.

43. AAN (American Academy of Neurology). 1998 Practice parameter: Management issues for
women with epilepsy (summary statement). Neurology 51:944-8.

44. Abbasi, F., Krumholz, A., Kittner, S. 1995 Effects of menopause on women with epilepsy.
Epilepsia 36(Suppl 4):148-50.

45. National Institute for Clinical Excellence (NICE). The epilepsies: the diagnosis and
management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care.
Clinical guideline 20., Available at: http://www.nice.org.uk (accessed on 10 August 2005).
46. Marcus R. Bone, Heatlh In Women With Epilepsy. In : MorrellM, ed. Women with epilepsy
: A Handbook of Health and treatment Issues. Cambridge, U.K. : Cambridge University
Press. In Press.

47. Agoes A , Dr. Sp.S 2001. AspekKlinis Epilepsi pada usia lanjut. Simposium Epilepsi.

48. Cloyd J, Ph.D, 2004. Pharmacokinetics of Aeds in the Elderly. AAN.

49. http://www. Healthandage.com/P Homel/91d2+733. Seizure in old age. 14-07-2004

50. http://www. Phome-…/medical news.hpp. Effective seizure treatment for elderly patient
with epilepsy. 31-07-2004

51. Kwan P, 2004. Management Seizure and Epilepsy in the Elderly. 5th AOEC-Bangkok.

52. Leppik IE, MD. 2004. Epilepsy in Elderly : Epidemiologi and Treatmnet. AAN

53. Levy RH, 2002. Antiepileptic Drugs in the Treatment of Epilepsy. 150-157

54. Lumban Tobing S.M, Prof, DR. Dr., 2004, Epilepsy in the Elderly. Simposium Brain Heart.
Ujung Pandang

55. Stephen L.J. and Brodie M.J. 2000. Epilepsy in Elderly People. Lancet 355 : 1441-46

56. Velez L, MD and Selwa LM, MD. 2003. Seizure Disorders in the Elderly in : Journal of the
American Academy of Family Physicians. January 15.

Anda mungkin juga menyukai