BAB I Inkontinensia Urin
BAB I Inkontinensia Urin
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu yang
tidak dikehendaki dan tanpa melihat frekuensi maupun jumlahnya, yang mana keadaan ini
dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan, higienis bagi penderitanya ( Martin
dan Frey, 2005 ). Inkontinensia urin pada dasarnya bukan konsekuensi normal dari proses
penuaan, tetapi perubahan traktus urinarius yang berkaitan dengan penambahan usia
merupakan faktor predisposisi bagi usia lanjut untuk mengalami Inkontinensia urin (Juniardi,
2008).
Inkontinensia urin erat hubungannya dengan penurunan kualitas hidup pasien
seperti isolasi sosial, kesendirian dan kesedihan, gangguan psikiatri seperti depresi; rasa
malu yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari; stigmatisasi; gangguan pada hubungan
seksual; dan gangguan tidur. Hal tersebut dikarenakan banyak orang yang mengidap
inkontinensia urin namun mereka merasa enggan untuk berkonsultasi dengan tenaga
kesehatan agar bisa mencegah bahkan mengobati inkontinensia urin tersebut agar tidak
menjadi semakin parah. Inkontinensia urin sangat erat kaitannya dengan morbiditas fisik,
fungsional dan psikologi maka upaya identifikasi dini penyebabnya menjadi sangat penting
sebagai dasar tata laksana atau rujukan ke pusat kesehatan spesialistik (Wahyuni, 2010).
1.2 Tujuan
2.2 Epidemiology
Di Indonesia, survey Inkontinensia urin yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 orang usia
lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta (2002), mendapatkan angka kejadian
Inkontinensia urin tipe stress sebesar 32.2 %. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Poli
Geriatri RS Dr. Sardjito didapatkan angka prevalensi Inkontinensia urin sebesar 14.47 % (
Setiati dan Pramantara, 2007 dalam Devrisa Nova 2010).
Angka kejadian inkontinensia urin tidak dapat dideteksi secara pasti di Indonesia
tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian inkontinensia ternyata tinggi terutama
pada wanita dengan persalinan normal, persalinan yang lama, dan wanita yang sudah
melahirkan lebih dari satu kali. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan di
RSCM oleh Bajuadji (2004) untuk mengidentifikasi kejadian stress inkontinensia urin pada
ibu hamil, persalinan pervaginam dan persalinan perabdominal secara kohort-prospektif
periode Januari – Juni 2004. Penelitian ini menemukan bahwa angka kejadian stress
inkontinensia urin pada ibu hamil sebesar 37,1%, pada periode 6 minggu postpartum 34,1%
dari keseluruhan ibu yang melahirkan pervaginam dan perabdominal. Proporsi kejadian
inkontinensia urin lebih tinggi pada ibu dengan persalinan pervaginam (44,44%) daripada ibu
dengan persalinan pervaginam (15,5%). Responden yang mengalami inkontinensia urin pada
masa 3 bulan postpartum sebanyak 27,75%. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa
proporsi kejadian stress inkontinensia urin pada kehamilan lebih tinggi pada multipara
(64,96% ) dibandingkan primipara ( 7,09% ).
Inkontinensia urine lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Terdapat
banyak penelitian epidemiologis mengenai inkontinensia pada wanita, tetapi berbeda
dalam hal definisi, pengukuran inkontinensia, metodologi survei, dan pemilihan kohort
membuatnya sulit untuk melakukan perbandingan. Terdapat penelitian epidemiologis di
Amerika mengidentifikasi angka prevalensi sebesar 10-40% wanita tua yang mengalami
inkontinensia.
Hunskaar dan rekan (2005) meringkas data epidemiologis yang tersedia dan
menyimpulkan bahwa prevalensi inkontinensia urine pada wanita tua
mengalami peningkatan yang stabil (30% hingga 50%). Pada wanita tua inkontinensia yang s
ering terjadi adalah inkontinensia tipe campuran. Seperti yang telah disinggung diatas, resiko
inkontinensia urine meningkat seiring dengan peningkatan usia. Telah lama
dicurigai bahwa terdapat hubungan antara inkontinensia dengan menopause. Puncak preval
ensi inkontinensia adalah pada wanita yang telah menopause.
2.3 Etiologi
- Relaksasi dasar panggul (disfungsi)
- Infeksi
- Atrofi
- Obat-obatan
- Keluaran urine berlebihan
- Imobilitas (Geri Morgan & Carole Hamilton, 2009)
Resiko lain
Resiko Inkontinensia urin meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa
tubuh yang lebih besar, riwayat histerektomi, infeksi urin, dan traumaperineal.
Penyebab Inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih
bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan / keinginan ke toilet (Martin dan Frey, 2005; Setiati dan Pramantara
2007).
Urge incontinence
Urge incontinence adalah ketidakmampuan kandung kemih menyimpan urin
dalam waktu yang lama sehingga terjadi pengeluaran urin tanpa disadari segera
setelah adanya keinginan besar untuk berkemih. Frekuensi berkemih lebih sering
(interval waktu berkemih kurang dari 2 jam). Keadaan ini disebabkan oleh
ketidakstabilan otot-otot detrusor, kelemahan otot-otot dasar pelvis yang dan
infeksi saluran kemih.
Pasien Inkontinensia dorongan (urge) mengeluh tidak dapat menahan
kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot
detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih
belum terpenuhi. Frekuensi miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan urgensi.
Inkontinensia tipe ini meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita (Purnomo,
2008). Istilah lain inkontinensia tipe ini adalah over aktivitas detrusor. Gejala klinis
yang timbul adalah keinginan berkemih yang mendadak dan terburu-buru.
Hal lain yang dapat mengakibatkan terjadinya Urge incontinence adalah
therapi diuretik, konsumsi makanan dan minuman yang mengandung kafein atau
alkohol, merokok dan peningkatan intake cairan (Craven & Hirnle, 2007). Urge
incontinence sering terjadi pada ibu postpartum karena adanya perubahan kapasitas
kandung kemih. Pada keadaan tidak hamil, kapasitas kandung kemih adalah 350 –
400 ml, sedangkan pada masa postpartum terjadi peningkatan akibat diuresis
menjadi 550 – 600 ml bahkan mencapai 1 liter (Demaria, 2005). Peningkatan
kapasitas kandung kemih dan produksi urin serta menurunnya sensistifitas otot
kandung kemih akibat edema pada masa postpartum akan menyebabkan
overdistensi pada kandung kemih.
Overdistensi kandung kemih merupakan salah satu penyebab terjadinya
urge incontinencia. Kondisi ini akan merangsang urin keluar tanpa disadari diluar
dari jadual berkemih (Craven & Hirnle, 2007). Menurut Pilliteri (2004), pada ibu
postpartum yang mengalami overdistensi kandung kemih akan mengalami residu
urin saat berkemih karena urin yang dikeluarkan saat berkemih hanya sebagian kecil.
Hal ini akan menambah overdistensi menjadi lebih serius. Bila kondisi ini terus
berlanjut akan menyebabkan gangguan permanen akibat kehilangan tonus otot
detrusor dan berakhir dengan inkontinensia permanen.
Reflex inkontinence
Keluarnya urine tanpa terkontrol dari kandung kemih yang sangat penuh,
dengan tekanan intravesikal lebih besar daripada tekanan penutupan uretra. Tidak
ada kontraksi atau aktifitas dari otot detrusor. Urine keluar dengan menetes terus
menerus. Jumlah urine yang keluar lebih banyak jika ada tekanan intraabdominal
yang menyebabkan tekanan pada kandung kemih yang sangat penuh seperti batuk,
bersin dan lain-lain. Keadaan ini kadang sulit dibedakan dengan retensio urine yang
kronis yang dikombinasi dengan overflow incontinence dan stress incontinence
(Ghetti, 2006 dalam Lina Herida, 2009).
Functional incontinence
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk
mengeluarkan urin (Hidayat,2006).
Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran
kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif
berat yang menyebabkan pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi
(misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit
atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi (Smeltzer, 2001).
Total incontinence
Inkontinensia total adalah pengeluaran urin tanpa disadari yang terjadi
secara terus menerus.Kondisi ini dipengaruhi oleh kegagalan neurologi untuk
mencegah transmisi atau reflek yang mengindikasikan kandung kemih yang penuh.
Total incontinence dipengaruhi oleh adanya trauma atau penyakit yang
mempengaruhi nervus spinal cord dan kelainan anatomi seperti fistula (Kozier
et.al.,2003). Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma
atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati (Hidayat,
2006).
Overflow incontinence
Inkontinensia ini jarang terjadi pada wanita. Saat berkemih, urine tidak
dikeluarkan secara menyeluruh atau masih ada sisa urin sehingga kandung kemih
tidak pernah kosong. Inkontinensia ini sering menyebabkan infeksi kandung kemih.
(Ghetti, 2006 dalam Lina Herida, 2009)
Mixed incontinence
Inkontinensia ini merupakan kombinasi dua atau lebih jenis inkontinensia
urin. Biasanya paling sering adalah kombinasi urge incontinence dan stress
incontinence (Ghetti, 2006 dalam Lina Herida, 2009)
Transient incontinence
Inkontinensia ini merupakan pengeluaran urin yang sering dan dalam jarak
waktu pendek. Inkontinensia ini disebabkan oleh adanya infeksi dalam kandung
kemih. (Ghetti, 2006 dalam Lina Herida, 2009). Dalam beberapa sumber ada yang
mengklasifikasikan transient incontinence berdasarkan durasinya. Transient
Incontinence bersifat sementara dan biasanya hanya berdurasi singkat, sampai
faktor yang menimbulkan dihilangkan. Dialami oleh hampir separuh pasien di rumah
sakit dan pada sepertiga orang tua. Secara umum dihubungkan dengan masalah
medis, faktor lingkungan, dan terapi obat. Evaluasi pada pasien terhadap faktor yang
berhubungan dengan inkontinensia urin transien mampu mengembalikan
kemampuan pasien menahan kencing. Penyebab umum dari Inkontinensia Urin
Transien ini sering disingkat DIAPPERS, yaitu:
Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya kesadaran baik karena
pengaruh obat atau operasi, kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan
dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium.
Infection – infeksi saluran kemih seperti cystitis dan urethritis dapat
menyebabkan iritasi kandung kemih, sehingga timbul frekuensi, disuria dan
urgensi yang menyebabkan seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk
berkemih.
Atrophic Uretritis atau Vaginitis – jaringan yang teriritasi dapat menyebabkan
timbulnya urgensi dan sangat berespon terhadap pemberian terapi estrogen.
Pharmaceuticals – karena obat-obatan, seperti terapi diuretik akan meningkatkan
pembebanan urin di kandung kemih.
Psychological Disorder – seperti stres, anxietas, dan depresi.
Excessive Urin Output – dapat karena intake cairan, diuretik, alkoholisme,
pengaruh kafein.
Restricted Mobility – penurunan kondisi fisik lain yang mengganggu mobilitas
untuk mencapai toilet.
Stool Impaction – pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi akan
mengubah posisi kandung kemih dan menekan saraf. (Lusila Puri, 2010)
2.9 Penatalaksanaan
Sejauh ini, penatalaksanaan inkontinensia urine terdiri atas tiga kategori utama,
yaitu terapi nonfarmakologis (intervensi perilaku), farmakologis,dan pembedahan. Di bawah
ini akan diuraikan penatalaksanaan inkontinensia urin.
Penatalaksanaan Inkontinensia Urin Dengan Non Farmakologis
Terapi yang sebaiknya pertama kali dilakukan untuk mengatasi inkontinensia
urin adalah terapi nonfarmakologis sebelum menetapkan menggunakan terapi
farmakologis. Intervensi keperawatan yang bersifat independent yang dapat
dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin antara lain : behavioral oriented
seperti bladder training, kegel exercise dan pengaturan diit. Di bawah ini akan
diuraikan masing-masing intervensi nonfarmakologis, farmakologis dan
pembedahan (Kozier et.al.,2003; Ghetti, 2006).
Bladder Training
Bladder training adalah salah satu upaya untuk menangani
inkontinensia urin dengan cara mengembalikan fungsi kandung kemih yang
mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal (Australian
Government, Departement of Health And Ageing, 2003). Bladder training
umumnya digunakan untuk mengatasi stress incontinence, urge incontinence
dan mixed incontinence. Bladder training dilakukan dengan cara sebagai
berikut : Saat ada rangsangan ingin berkemih cobalah untuk mulai menahan
urin selama 5 menit, bila mampu menahan selama 5 menit tingkatkan
samapi 10 menit dan seterusnya sehingga jarak berkemih 2 –3 jam. Lakukan
bladder training 3 – 12 minggu (Ford Martin, 2002 dalam Lina Herdiana,
2009).
Kegel’s Exercise
Kegel adalah nama dari latihan untuk menguatkan otot dasar panggul.
Latihan Kegel merupakan suatu upaya untuk mencegah timbulnya
inkontinensia urin. Mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus otot
dapat terjadi karena adanya rangsangan sebagai dampak dari latihan. Otot
dapat dipandang sebagai suatu motor yang bekerja denga n jalan
mengubah energi imia menjadi tenaga mekanik berupa kontraksi dan
pergerakan untuk menggerakkan serat oto yang terletak pada interaksi aktin
dan miosin. Prosesinteraksi tersebut diaktifkan oleh ion kalsium dan
adenotrifosfat (ATP), yang kemudian dipecah menjadi adenodifosfat (ADP)
untuk memberikan energi bagi kontraksi otot detrusor. Cara latihan Kegel
adalah dengan melakukan kontraksi pada otot puboccygeus dan menahan
kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, kemudian kontraksi dilepaskan.
Pada tahap awal bisa dimulai dengan menahan kontraksi selama 3 hingga 5
detik. Dengan melakukan secara bertahap otot ini semakin kuat, latihan ini
diulang 10 kali setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan urin.
(Pujihidaya, 2010)
Pembedahan
Tindakan pembedahan dilakukan bila penyebab inkontinensia sudah
teridentifikasi dengan tepat. Tujuan pembedahan adalah untuk menaikkan dan
menyokong leher kandung kemih agar dapat kembali ke posisi normalnya yaitu di
atas otot dasar pelvis.
Trigger
Seorang perempuan usia 66 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan
sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak terkontrol ketika klien tertawa, batuk,
atau bersin. Keluhan tersebut dirasakannya sejak tiga bulan yang lalu. Klien merasa
tidak nyaman dan takut karena menganggap penyakitnya tidak kunjung sembuh.
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung sehingga rutin mengkonsumsi obat-obatan
digoxin 1x0,125 mg dan furosemide 2x40 mg. Dari pemeriksaan fisik diketahui TB
144 cm, BB 70 kg, TD 140/90 mmHg, N 84x/menit, RR 20x/menit, S 36,8oC. Hasil
pemeriksaan penunjang sebagai berikut: Q-tip test diketahui penyimpangan >35o,
ureum 20 mg/dl, kreatinin 1 mg/dl. Saat ini perawat sedang menyusun asuhan
keperawatan pada klien.
Pengkajian
1. Identitas Klien
- Nama : Nyonya M
- Usia : 66 tahun
- Jenis kelamin : Perempuan
- Tanggal Pengkajian : 4 juni 2014
- Sumber informasi : Pasien
5. Pemeriksaan Fisik
- Tinggi Badan : 144 cm
- Berat Badan : 70 kg
- Tekanan darah : 140/90 mmHg
- RR : 20x/menit
- Nadi : 84x/menit
- Suhu : 36,8oC
7. Kesimpulan
Perlu pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut untuk pasien ini
Daftar Prioritas
No Daftar Prioritas TTD
1 Inkontinensia Urine Stres ditandai dengan melaporkan
rembesan involunter sedikit urin pada saat batuk, tertawa
dan bersin berhubungan dengan perubahan degeneratif
pada otot-otot pelvik dan adanya riwayat penyakit jantung
Ketidaknyaman
Defisit Pengetahuan
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Inkontinensia Urine Stres ditandai dengan melaporkan rembesan involunter sedikit urin pada saat
batuk, tertawa dan bersin berhubungan dengan perubahan degeneratif pada otot-otot pelvik ,
adanya riwayat penyakit jantung dan tekanan intraabdomen tingggi.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan selama 7x24 jam pasien dapat mengontrol pengeluaran urin.
Kriteria Hasil :
NO INDIKATOR 1 2 3 4 5
1 Rembesan urin dengan peningkatan tekanan abdominal ( V
seperti, batuk, tertawa, bersin ) V
2 Mengidentifikasi obat yang menganggu kontrol urine V
3 Intensitas gejala V
4 Frekuensi gejala V
5 Gejala terus menerus V
6 Berhubungan dg ketidaknyamanan V
7 Berhubungan dengan ketakutan V
Kriteria Penilaian :
1. Sangat berat
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada keluhan
NIC : Urinary Incontinance Care
1. Identifikasi penyebab multifaktor dari inkontinensia ( seperti output urin, pola buang air, fungsi
kognitif, masalah urin pre-existent, post residual cairan, dan obat – obatan)
2. Jaga privasi saat eliminasi
3. Jelaskan faktor penyebab dari masalah dan rasional untuk dilakukan
4. Monitori eliminasi urin seperti frekuensi, konsisten, bau, volume dan warna
5. Memodifikasi pakaian dan lingkungan untuk mempermudah akses menuju ke toilet
6. Berikan pakaian yg bersifat melindungi, jika dibutuhkan
7. Membersihkan area kulit genital secara reguler
8. Memberikan feedback yg positif untuk setiap pengurangan episode dari inkontinentia
9. Kurangi cairan dalam 2-3 jam sebelum tidur, jika diperlukan
10. Monitori efektivitas pembedahan, medis, obat dan terapi dari diri sendiri
11. Anjurkan untuk ke spesialis kontinensia urin, jika diperlukan
Gangguan rasa nyaman ditandai dengan melaporkan perasaan tidak nyaman dan takut
berhubungan dengan gejala terkait penyakit ( sering berkemih secara tiba-tiba dan tidak terkontrol
pada waktu batuk, bersin dan tertawa) dan efek samping terkait terapi (medikasi: furosemid dan
digoxin)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan dalam waktu 7x24 jam klien tidak mengalami gangguan rasa nyaman lagi
NO INDIKATOR 1 2 3 4 5
1 Inkontinensia urin V
2 Keadaan fisik menjadi baik V
3 pakaian yang nyaman V
Kriteria Penilaian :
6. Sangat berat
7. Berat
8. Sedang
9. Ringan
10. Tidak ada keluhan
1. Berdiskusi dengan pasien dan keluarga dengan tujuan untuk menentukan pengelolaan lingkungan
dan kenyamanan optimal
2. menyediakan lingkungan yang aman dan bersih
3. menentukan sumber ketidaknyamanan, seperti pakaian basah, posisi tabung, perban konstriktif,
keriput seprei, dan iritasi lingkungan pasien
4. posisikan yang nyaman untuk memfasilitasi kenyamanan
memfasilitasi cara untuk menjaga kenyamanan kebersihan individu (berganti pakaian, menggunakan
popok)
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN 3
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan dalam waktu 4x24 jam defisiensi pengetahuan klien dapat
teratasi
NO INDIKATOR 1 2 3 4 5
1 Proses penyakit secara spesifik V
2 Faktor penyebab dan faktor yg berkontribusi V
3 Efek dari penyakit V
4 Faktor resiko V
5 Tanda dan gejala penyakit V
6 Strategi untuk meminimalkan perkembangan penyakit V
7 Komplikasi penyakit yg berpotensi terjadi V
V
Kriteria Penilaian :
1. Sangat berat
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada keluhan
NIC: Teaching : Disease Process
Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin tanpa disadari, dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial.
Data epidemiologis yang tersedia dan menyimpulkan bahwa prevalensi inkontinensia urine
pada wanita tua mengalami peningkatan yang stabil.
3.2 Saran
Mudah-mudahan makalalah ini bermanfaat dan ada penelitian lanjut mengenai
inkontinesia urin karena sumber mengenai penyakit ini sedikit susah dicari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bajuadji, H.S.( 2004 ). Stress inkontinensia urin pasca persalinan Tesis Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia.
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=107391&lokasi
2. Pinem, Lina Herida. 2009. Efektifitas “Paket Latihan Mandiri” terhadap
Pencegahan Inkontinensia Urin pada ibu Post Partum di Bogor. Jakarta: Fakultas
Ilmu Keperawatan Kekhususan Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia
3. Sinaga, A Fransisca. 2009. Pengaruh Blader Traning Terhadap Minimalisasi
Inkontinensia Urin Paska Kateterisasi Di RSUP Haji Adam Malik Medan. Medan: FK
USU
4. Kozier, Erb. 2003. Buku ajar keperawatan klinis. Jakarta : EGC
5. Fernandes, Devrisa Nova. 2010. Hubungan Antara Inkontinensia Urin Dengan Derajat
Depresi Pada Wanita Usia Lanjut. Surakarta: FK Universitas Sebelas Maret
6. Jayani, Dwi Puri Lusilah. 2010. Hubungan Kelebihan Berat Badan Dengn
Inkontinensia Urin Pada Wanita di Wilayah Surakarta. Surakarta: FK Universitas
Sebelas Maret
7. Potter & Perry. 2009. Fundamental of Nursing edisi 7. Jakarta: Salemba Medika
8. Morgan G, Hamilton C. 2009. Practice guidelines for obstetrics and gynecology 2 nd
Ed. Jakarta : EGC
9. Vitriana. Evaluasi dan manajemen medis inkontinensia urin. Bagian Ilmu Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD, 2002.