000 Buku Pedoman Mangrove Final PDF
000 Buku Pedoman Mangrove Final PDF
PUSAT PEMANFAATAN
PENGINDERAAN JAUH
LAPAN
Kepala
iii
iv
DAFTAR ISI
Halaman:
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR RUMUS vi
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 1
1.3 Ruang Lingkup 2
1.4 Acuan Normatif 2
1.5 Definisi Umum 2
1.6 Daftar Istilah 4
BAB II. TAHAP PENGOLAHAN 5
2.1 Pemetaan Unit Pedoman 5
2.2 Diskripsi Unit 5
2.3 Metodologi 6
2.3.1. Bahan dan Material 6
2.3.2. Peralatan 8
2.3.3. Sumberdaya Manusia 8
2.3.4. Tahapan Pengolahan Data 8
2.3.5. Uji Akurasi 13
BAB III. PENUTUP 14
DAFTAR PUSTAKA. 14
v
DAFTAR TABEL
Halaman:
Tabel 1. Tahapan dan Uraian Pengolahan Data Penginderaan Jauh 5
Landsat 8 untuk Mangrove
Tabel 2. Karakteristik Landsat 8 7
DAFTAR GAMBAR
Halaman:
Gambar 1. Contoh data Landsat 8 8
Gambar 2. Interpretasi Visual Data Citra Landsat 8 10
Gambar 3a. Citra Sebelum Penajaman 11
Gambar 3b. Citra Setelah Penajaman 11
Gambar 4a. Citra Keseluruhan 11
Gambar 4b. Citra Hasil Cropping Lokasi Penelitian 11
Gambar 5. Klasifikasi Unsupervised Mangrove 12
Gambar 6. Klasifikasi Supervised Mangrove 13
DAFTAR RUMUS
Halaman:
Rumus 1. Algoritma yang Digunakan untuk Menghitung OIF 9
vi
Pedoman Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat 8
untuk Mangrove
Bab I
Pendahuluan
1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan pedoman adalah untuk menyediakan petunjuk teknis dalam
pengumpulan dan pengolahan data penginderaan jauh untuk identifikasi tanaman
mangrove yang sesuai dengan prosedur yang telah disepakati.
1
1.3. Ruang Lingkup
Dokumen ini sebagai petunjuk teknis untuk identifikasi tanaman mangrove yang
terdiri dari pra pengolahan data, pengolahan data secara visual, dan pengolahan
data secara digital. Tahapan pengolahan data penginderaan jauh sebagai berikut:
A. Pra Pengolahan Data
i. Koreksi Geometris Citra
ii. Koreksi Radiometris Citra
B. Pengolahan Data Secara Visual
i. Penyusunan Komposit Warna
ii. Penajaman Digital (Digital Enhancement)
iii. Pemotongan Citra (Cropping)
C. Pengolahan Data Secara Digital
i. Klasifikasi Tidak terbimbing (Unsupervised)
ii. Klasifikasi Terbimbing (Supervised)
D. Uji Akurasi
2
sebabkan laju perubahan habitat akibat pembangunan tambak, penebangan hutan,
sedimentasi, reklamasi, dan pencemaran lingkungan (Nybaken, 1992).
Hutan mangrove memiliki nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang tinggi. Hutan
mangrove berfungsi sebagai tempat ikan, udang, kerang dan jenis biota lainnya
untuk memijah dan daerah asuhan bagi jenis-jenis udang. Hutan mangrove juga
berfungsi menjaga stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai,
memfilter dan meremediasi limbah, serta untuk menahan banjir dan gelombang.
Secara ekonomis fungsi hutan mangrove merupakan sumber energi, daerah
pengembangan perikanan dan pertanian, penghasil bahan bangunan, bahan tekstil,
dan produk bernilai ekonomi lainnya. Di samping itu, hutan mangrove juga memiliki
manfaat sosial seperti tempat berinteraksi sosial dan jasa-jasa wisata.
Ekosistem mangrove juga menjadi penting seiring dengan isu perubahan iklim
dan perdagangan karbon, karena ekosistem mangrove menjadi salah satu
penyimpan stok karbon yang cukup besar. Peningkatan kepedulian akan ekosistem
mangrove dengan melakukan rehabilitasi dan pengelolaan kawasan mangrove
meningkat pula. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk aplikasi hutan
mangrove telah berkembang dengan baik, tetapi tetap terjadi kecenderungan
peningkatan kebutuhan informasi mangrove dengan skala informasi yang lebih
detail, misalnya informasi spasial jenis mangrove. Selain berguna untuk pengelolaan
dan pelestarian, informasi spasial jenis mangrove juga berguna dalam penelitian
estimasi biomasa dan kandungan karbon, karena biomasa dan kandungan karbon
terkait dengan perbedaan jenis spesies mangrove. Oleh karena itu, penelitian dan
pengembangan ekstraksi informasi untuk mengidentifikasi spesies atau minimal
zonasi (spesies dominan) sangat diperlukan.
Fakta menunjukkan bahwa kerusakan mangrove ada dimana-mana, bahkan
intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara siginifikan.
Menurut catatan Direktorat PPA luas hutan mangrove di Indonesia di tahun 1970an
adalah 3.627.119 Ha atau 25% dari luas hutan di Indonesia. Diperkirakan hutan
mangrove saat ini hanya 2%. Kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh:
perluasan areal pertambakan, perluasan areal permukiman, pembabatan yang tidak
teratur oleh penduduk setempat untuk kepentingan pembuatan peralatan rumah
tangga, alat penangkap ikan, dan kayu bakar, kegiatan pembangunan, dan
pencemaran industri (Wibisono, 2011).
Pentingnya peranan mangrove bagi keberadaan wilayah pesisir memerlukan
adanya pengelolaan yang tepat untuk menajga eksistensi mangrove di wialayah
tersebut. Berkembangnya teknologi penginderaann jauh baik dari resolusi spasial
dan temporal mampu digunakan untuk mendeteksi keberadaan mangrove baik dari
luasan dan pola sebaran mangrove. Saat ini telah dikembangkan penelitian tentang
spektral untuk masing-masing spesies tanaman mangrove. Metode yang dilakukan
untuk identifikasi tanaman mangrove sangat beragam, oleh karena itu diperlukan
suatu kesepakatan metode apa yang akan digunakan sehingga hasil interpretasi
akan sama. Identifikasi tanaman mangrove juga telah dilakukan oleh BIG dengan
hasil berupa peta tematik mangrove yang dibuat berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI) nomor 7717 tahun 2011 tentang survei dan pemetaan mangrove.
3
1.6. Daftar Istilah
4
Bab II
Pengolahan Data
Tabel 1. Tahapan dan Uraian Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat 8 untuk
Mangrove
Tahapan Uraian
1. Mempersiapkan 1.1. Mempersiapkan perangkat keras dan perangkat lunak
perangkat dan data pengolahan citra .
1.2. Mempersiapkan software sesuai dengan kebutuhan
1.3. Mempersiapkan data yang akan digunakan
1.4. Mempersiapkan metode yang akan digunakan
1.5. Mempersiapkan informasi pendukung lainnya (data
lapangan, peta rupa bumi, dan lain sebagainya)
2. Melakukan pra 2.1. Melakukan koreksi geometrik. Koreksi mengacu pada
pengolahan data Peraturan Kepala BIG No. 3 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Pengumpulan dan Pengolahan Data
Geospasial Mangrove.
2.2. Melakukan koreksi radiometris.
3. Melakukan interpretasi 3.1. Penyusunan komposit warna dengan menggunakan
data secara visual metode Optimum Index Factor (OIF) pada citra yang
telah terkoreksi.
3.2. OIF digunakan untuk menentukan kombinasi tiga kanal
terbaik untuk menggambarkan informasi tertentu.
Semakin besar nilai OIF yang dihasilkan semakin
banyak informasi warna yang diperoleh dan sedikit
duplikasi informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa
nilai OIF tertinggi merupakan kombinasi kanal yang
terbaik.
3.3. Melakukan penajaman citra untuk mendapatkan
tampilan yang tajam.
3.4. Melakukan pemotongan citra pada objek yang
dikehendaki sehingga memudahkan analisis.
4. Melakukan klasifikasi 4.1. Mempersiapkan citra terkoreksi
tak terbimbing 4.2. Melakukan klasifikasi unsupervised dengan input
(Unsupervised) semua kanal pada citra.
4.3. Melakukan reclass pada citra yang telah terklasifikasi
dengan mengacu pada tampilan RGB citra ataupun
informasi lainnya (data survei, RBI, dan lain
5
sebagainya)
4.4. Melakukan identifikasi objek
5. Melakukan klasifikasi 5.1. Mempersiapkan citra terkoreksi
terbimbing 5.2. Melakukan training area pada objek yang akan
(Supervised) diklasifikasi dengan jumlah sampel minimal 30 untuk
masing-masing objek.
5.3. Melakukan klasifikasi supervised pada citra
5.4. Melakukan reclass pada citra yang telah terklasifikasi
pada tampilan RGB citra ataupun informasi lainnya
(data survei, RBI, dan lain sebagainya)
6. Uji akurasi hasil 6.1. Uji akurasi dilakukan dengan membandingkan antara
klasifikasi nilai dari data lapangan dengan data citra
6.2. Akurasi diperoleh dari hasil analisis regresi data citra
dengan data lapangan
7. Penyimpanan data 7.1. Menyediakan media penyimpanan untuk citra hasil
hasil klasifikasi klasifikasi dengan format yang telah ditentukan.
2.3. Metodologi
2.3.1. Bahan dan Material
Data yang digunakan adalah data penginderaan jauh berupa raster yang telah
terkoreksi radiometrik, geometrik, dan atmosferik yang telah dilakukan oleh
PUTEKDATA LAPAN. Data yang diperoleh berupa data reflektans multi spektral
dengan format *.tif.
Data citra yang digunakan pada pedoman teknis mangrove ini adalah data
raster sensor optis Landsat 8. Landsat 8 adalah generasi terbaru menggantikan
Landsat 7 yang memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan
Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 dimana kanal 1-9
berada pada OLI dan kanal 10 dan 11 pada TIRS. Data citra satelit Landsat 8
memiliki resolusi spasial 30 m untuk kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6,7, dan kanal 9 sedangkan
kanal panchromatic memiliki resolusi spasial 15 m. Selain beresolusi spasial 30 m
dan 15 m, pada kanal 10 dan 11 yang merupakan kanal TIR-1 dan TIR-2 memiliki
resolusi spasial 100 m.
Pedoman ini dibuat untuk pengolahan data citra Landsat 8. Landsat 8 adalah
generasi terbaru menggantikan Landsat 7 yang memiliki sensor Onboard
Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah
kanal sebanyak 11 dimana kanal 1-9 berada pada OLI dan kanal 10 dan 11 pada
TIRS. Data citra satelit Landsat 8 memiliki resolusi spasial 30 m untuk kanal 1, 2, 3,
4, 5, 6,7, dan kanal 9 sedangkan kanal panchromatic memiliki resolusi spasial 15 m.
Selain beresolusi spasial 30 m dan 15 m, pada kanal 10 dan 11 yang merupakan
kanal TIR-1 dan TIR-2 memiliki resolusi spasial 100 m. Kelebihan data Landsat 8
adalah adanya kanal Near Infra Red (NIR-Kanal 5) sehingga dengan menggunakan
kombinasi RGB yang tepat akan menunjukkan lokasi tanaman mangrove.
Pada data Landsat generasi sebelumnya, tingkat keabuan (Digital Number-DN)
berkisar pada 0-256 sedangkan pada data cita Landsat 8 memiliki tingkat keabuan
0-4096. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan sensitifitas yang semula tiap
piksel memiliki kuantifikasi 8 bit sekarang telah meningkat menjadi 12 bit.
Peningkatan ini menjadikan proses interpretasi objek di permukaan menjadi lebih
6
mudah (Sugiarto, 2013). Spesifikasi kanal untuk Landsat 8 dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Karakteristik Landsat 8
Panjang
Kanal Gelombang Keterangan
µm
1 – aerosol pesisir 0.43 – 0.45 Studi aerosol dan wilayah
pesisir
2 – biru 0.45 – 0.51 Pemetaan bathimetrik,
membedakan tanah dari
vegetasi dan daun dari vegetasi
konifer
3 – hijau 0.53 – 0.59 Mempertegas puncak vegetasi
untuk menilai kekuatan vegetasi
4 – merah 0.64 – 0.67 Membedakan sudut vegetasi
5 – Infra Merah Dekat- 0.85 – 0.88 Menekankan konten biomassa
Near Infrared (NIR) dan garis pantai
6 – short – wave 1.57 – 1.65 Mendiskriminasikan kadar air
infrared (SWIR 1) tanah dan vegetasi; menembus
awan tipis
7 – short – wave 2.11 – 2.29 Peningkatan kadar air tanah dan
infrared (SWIR 2) vegetasi dan penetrasi awan
tipis
8 – Pankromatic 0.50 – 0.68 Resolusi 15 m, penajaman citra
9 – Sirus 1.36 – 1.68 Peningkatan deteksi awan sirus
yang terkontaminasi
10 – TIRS 1 10.60 – Resolusi 100 m, pemetaan suhu
11.19 dan penghitungan kelembaban
tanah
11 – TIRS 2 11.5 – Resolusi 100 m, peningkatan
12.51 pemetaan suhu dan
penghitungan kelembaban
tanah
Sumber: Widjaja, 2014.
7
Gambar 1. Contoh data Landsat 8
2.3.2. Peralatan
Peralatan dan software yang digunakan pada pengolahan data penginderaan
jauh untuk identifikasi tanaman mangrove adalah sebagai berikut:
i. Personal komputer
ii. Software pengolahan data penginderaan jauh
iii. Peralatan terkait dengan survei lapangan sesuai dengan Peraturan
Kepala BIG No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Pengumpulan
dan Pengolahan Data Geospasial Mangrove
8
Pra pengolahan data dilakukan sebelum tahapan interpretasi dan deliniasi data
penginderaan jauh. Secara umum tahapan pra pengolahan data adalah koreksi
geometris dan radiometris.
(1)
dimana:
SDi = Standar deviasi kanal i
ABS = Nilai absolut koefisien korelasi dua kanal dari kemungkinan tiga kanal
Berdasarkan analisis OIF untuk data Landsat 8, maka komposit RGB yang
digunakan untuk identifikasi mangrove adalah 573. Kombinasi RGB 573 untuk
mangrove pada Landsat 8 dapat dilihat pada Gambar 5. Warna merah kecoklatan
sangat kontras diantara objek-objek lainnya, menunjukkan keberadaan mangrove.
9
Gambar 2. Interpretasi Visual Data Citra Landsat 8
10
Gambar 3a. Citra Sebelum Penajaman Gambar 3b. Citra Setelah Penajaman
Gambar 4a. Citra Keseluruhan Gambar 4b. Citra Hasil Cropping Lokasi
Penelitian
11
2.3.2.3.1. Klasifikasi Tidak Terbimbing (Unsupervised)
Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) dilakukan dengan
mengelompokkan piksel pada citra menjadi beberapa kelas hanya berdasarkan
pada perhitungan statistik tertentu tanpa menentukan sampel piksel (training) yang
digunakan oleh komputer sebagai acuan untuk melakukan klasifikasi. Identifikasi
ulang dilakukan dengan membandingkan citra hasil koreksi untuk menghasilkan
klasifikasi yang lebih sedikit (penggabungan kelas/merging) sesuai dengan
klasifikasi yang dibutuhkan pada skala hasil. Pada proses interpretasi ulang ini
dibantu secara visual menggunakan citra komposit warna atau data hasil kerja
lapangan sebagai dasar penggabungan kelas. Algoritma yang disarankan digunakan
dalam klasifikasi tidak terbimbing adalah isodata classification.
Pada prinsipnya klasifikasi isodata mengklasifikasikan nilai piksel
berdasarkan nilai rata-rata (means) menjadi klaster-klaster tertentu, piksel yang tidak
terkelaskan dalam nilai rata-rata tertentu akan dikelaskan kembali secara iterative
berdasarkan analisis nilai piksel minimum. Parameter utama dalam klasifikasi
isodata adalah threshold dan iterasi klasifikasi. Secara praktis, klasifikasi isodata
dilakukan secara trial and error hingga menghasilkan jumlah kelas optimal yang
mewakili kelas habitat pada skala hasil. Contoh hasil klasifikasi unsupervised dapat
dilihat pada Gambar 8.
12
atau data hasil kerja lapangan. Algoritma klasifikasi citra yang digunakan yaitu
maximum likelihood.
Klasifikasi maximum likelihood mengkelaskan nilai piksel berdasarkan
probabilitas suatu nilai piksel terhadap kelas tertentu dalam sampel piksel. Apabila
nilai probabilitas nilai piksel berada di bawah nilai threshold yang ditentukan maka
piksel tersebut tidak terkelaskan. Lain halnya apabila dalam klasifikasi tidak
memasukkan nilai threshold maka semua piksel dapat terkelaskan sesuai sampel
piksel yang ada.
13
Bab III
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
14
PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH - 2015