Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Multiple mieloma (mielomatosis) adalah tumor sel plasma yang ditandai
proliferasi salah satu jenis limfosit B dan sel – sel plasma yang berasal dari
limfosit tersebut. Sel – sel ini menyebar melalui sirkulasi dan mengendap
terutama di tulang, menyebabkan tulang mengalami kerusakan, inflamasi dan
nyeri. Lesi dekstruktif akan mengikis tulang sehingga gerakan ringanpun dapat
menyebabkan fraktur (Corwin, 2009).
Limfosit adalah salah satu komponen sistem imun tubuh. Limfosit dibagi
menjadi 2 yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit B akan merespon infeksi
dengan berubah menjadi sel plasma. Sel plasma akan menhasilkan antibodi yang
menbantu tubuh melawan infeksi. Pada Multiple mieloma, reaksi inflamasi
(tumor) menyerang sumsum tulang lebih dari satu tempat (American Cancer
Society, 2011).
Multiple mieloma merupakan keganasan sel plasma yang jarang, terjadi
hanya 1 % dari keseluruhan keganasan hematologis. Multiple mieloma
didiagnosis dalam jumlah berimbang antara pria dan wanita. Penyakit ini juga
lebih sering didiagnosis pada kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih,
terjadi secara primer pada usia 40 tahun dan puncak insidensi pada usia 60 tahun
(Otto , 2005).
Di Amerika Serikat, insiden multiple mieloma sekitar 4 kasus dari 100.000
populasi. Pada tahun 2004 diperkirakan ada 15.000 kasus baru multiple
mieloma. Insidennya ditemukan dua kali lipat pada orang Afro Amerika dan
pada pria. Penyakit ini biasa dijumpai pada orang lanjut usia, dengan usia rata –
rata di atas 62 tahun, sedangkan 35 % kasus terjadi di bawah usia 60 tahun
(Hoffbrand, 2002).
Di Inggris, terdapat angka kematian tahunan rata – rata 9 orang per juta
penduduk. Di Indonesia lebih dari 60 % pasien multiple mieloma berusia lebiih
dari 60 tahun, dengan perbandingan jenis kelamin kurang lebih sama antara pria

1
dan wanita. Sekitar 50 % pasien bersuku Jawa, dengan tingkat pendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA), dan tidak bekerja (Tadjoedin, 2011).
Angka kematian akibat multiple mieloma cukup tinggi. Berbagai
komplikasi juga akan dialami pasien multiple mieloma seperti anemia,
trombositopenia, leukopenia, gangguan ginjal karena proses filtrasi akan
dihambat timbunan kalsium dan antibodi, serta myeloma bone disease yaitu
peningkatan resorpsi tulang, kemudian osteoporosis sehingga meningkatkan
resiko terjadinya patah tulang. Resiko – resiko tersebut harapannya dapat
dikurangi untuk mempertinggi angka harapan hidup dan kesejahteraan pasien
yang terutama adalah pasien geriatri.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan referat tentang Multiple Mieloma ini, antara lain :
1. Mengetahui definisi dari Multiple Mieloma.
2. Menjelaskan patofisiologi Multiple Mieloma.
3. Menegakan penegakkan diagnosis Multiple Mieloma.
4. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Multiple Mieloma.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Mieloma multiple adalah diskrasia sel plasma neoplastik yang
berasal dari satu klon (monoklonal) sel plasma, manisfestasinya adalah
proliferasi sel plasma imatur dan matur dalam sumsum tulang. Konsekuensi
klinis sel plasma abnormal mencakup kerusakan tulang dan penggantian
unsur sumsum tulang normal, menyebabkan anemia, trombositopenia, dan
leukopenia; perubahan sistem imun, dengan resiko mendapati infeksi
meningkat; abnormalitas hemostatik dengan manifestasi perdarahan; dan
kriglobunemia dan hiperviskositas yang terkait dengan protein plasma
komponen M (Baldy, 2006).
B. Epidemiologi
Mieloma multipel merupakan 1% dari semua keganasan dan 10%
dari tumor hematologik. MM merupakan keganasan hematologi tersering
yang kedua di Amerika Serikat. Umur median penderita rata-rata 65 tahun,
meskipun kadang-kadang MM terjadi pada umur dekade ke dua. Penyakit
ini menyebabkan kematian rata-rata 12.000 orang pertahun di Amerika
Serikat. Terdapat angka kematian tahunan rata-rata 9 orang perjuta
penduduk di Inggris. Kejadian MM dua pertiga lebih tinggi pada laki-laki
orang kulit hitam dibandingkan dengan wanit, dengan kejadian yang lebih
tinggi secara signifikan pada laki-laki pada setiap populasi di Amerika
Serikat. Di Klinik Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta rata-
rata berumur 52 tahun, berkisar dari 15 tahun sampai usia 72 tahun, laki-
laki lebih sering dari pada wanita (Syahrir, 2010).
C. Etiologi
Kejadian keganasan sel plasma mungkin meupakan suatu proses
multi langkah. Faktor ggenetik mungkin berperan pada orang-orang yang
rentan untuk terjadinya perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma
sebagai prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang
memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel mana terjadi

3
transformasi maligna tepatnya terjadi belum jelas. Dapat ditunjukkan sel
limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan
sumsum tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya
onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang
mulai dewasa ini atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri (Syahrir,
2010).
Suatu kelainan genetik yang spesifik belum teridentifikasi.
Kromosom yang sering terlibat hanya kromosom 1,13 (13q-) dan 14 (14q+)
menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasi pada kromosom ini
telah terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan dalam gen
supresor Rb yang terletak pada 13 q c-myc-gen dan bcl-1-gen, yang
berhubungan dengan t (11;14). Perubahan-perubahan di dalam gen ras dan
dalam gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium lanjut
pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan terakhir menunjukkan
bahwa pentingnya stimulasi autokrin dari klon ganas oleh IL-6 dan proses
aktifasi onkogen dari berbagai stadium penyakit ini. Pertumbuhan dan
diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai sitokin, dengan
menggunakan sistem pengaturan autokrin dan parakrin. Terutama IL-6
ternyata merupakan faktor pertumbuhan penting dan sentral untuk sel
mieloma in vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang
terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM
memerlukan satu atau lebih perubahan tambahan. Predisposisi genetik,
paparan radiasi, rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi
lingkungan dan pekerjaan mempengaruhi terjadinya MM ini walau hanya
dalam persentasi yang kecil (Syahrir, 2010)
D. Patomekanisme
Limfosit B dibuat di sumsum tulang dan pindah ke kelenjar getah
bening. Saat mereka maju, mereka dewasa dan menampilkan protein yang
berbeda di permukaan sel mereka. Ketika mereka diaktifkan untuk
mengeluarkan antibodi, mereka dikenal sebagai sel plasma.

4
Multiple mieloma berkembang dalam limfosit B setelah mereka
telah meninggalkan bagian dari kelenjar getah bening yang dikenal sebagai
pusat germinal. Garis sel normal yang paling erat terkait dengan sel MM
umumnya dianggap baik sebagai sel B memori diaktifkan atau prekursor
untuk sel-sel plasma, plasmablast tersebut.
Sistem kekebalan tubuh menjaga proliferasi sel B dan sekresi
antibodi di bawah kontrol ketat. Ketika kromosom dan gen yang rusak,
seringkali melalui penataan ulang, kontrol ini hilang. Seringkali, bergerak
gen promotor (atau translocates) ke kromosom mana gen antibodi
merangsang terjadinya overproduksi.
Mieloma menyebabkan gejala-gejala klinik dan tanda-tanda klinis
melalui mekanisme yang bervariasi. Tumor menghambat sumsum tulang
memproduksi cukup sel darah. Hal ini dapat menyebabkan masalah
kesehatan pada ginjal, saraf, jantung, otot dan traktus digestivus. Meskipun
mieloma masih belum bisa diobati, perkembangan terapi yang terbaru,
termasuk penggunaan thalidomide dan obat-obatan lain seperti bortezomib
dan CC-5013 cukup menjanjikan.
Mieloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada
osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas osteoblastik
(formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin. Tingkat false
negatif skintigrafi tulang untuk mendiagnosis multiple mieloma tinggi. Scan
dapat positif pada radiograf normal, membutuhkan pemeriksaan lain untuk
konfirmasi.
Pada pasien multiple mieloma , sel plasma berproliferasi di dalam
sumsum tulang. Sel-sel plasma memiliki ukuran yang lebih besar 2 – 3 kali
dari limfosit, dengan nuklei eksentrik licin (bulat atau oval) pada kontur dan
memiliki halo perinuklear. Sitoplasma bersifat basofilik (Marylin, 2000)
E. Patafisiologi
1. Manifestasi klinis
a. Nyeri, terutama nyeri tulang
b. Gejala anemia: letargi, kelemahan, dispenia, pucat, takhikardi

5
c. Infeksi berulang, yang berkaitan dengan penurunan produksi anti
bodi.
d. Perdarahan abnormal
e. Gagal ginjal
f. Ganggusn fungsi ginjal dan jantung (Sudoyo, 2009).
2. Patofisiologi
a. Nyeri tulang
Disebabkan karena lesi litik tulang, dan biasanya adalah di
tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas yang
berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast. Seperti IL-1beta, TNF-
beta atau IL-6 dimana bertanggung jawab atas osteolisis dan
osteoporosis. Faktor-faktor ini juga menghambat aktifitas
osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga disebabkan oleh
tekanan tumor pada medula spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari
medulla spinalis.
b. Infeksi berulang
i. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum menurun yang
sering, sangat menurun.
ii. Fungsi sumsung tulang yang menurun.
iii. Netropenia.

Yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan


terhadap infeksi.
c. Anemia.
Disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian
dan inhibisi sumsung tulang secara langsung terhadap
hematopoisis. Perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi
vitamin B12 dan asam folat.
d. Perdarahan abnormal.
Disebabkan oleh karena protein mieloma mengganggu
fungsi trombosit dan faktor pembekuan.

6
Gagal ginjal disebabkan oleh karena hiperkalsemia adanya
deposit mieloid pada glomerulus. Hiperurisemia, infeksi rekuren,
infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan di tubulus ginjal oleh
karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan.
e. Gangguan fungsi ginjal dan jantung.
Disebabkan karena pengendapan rantai ringan dalam benttuk
amiloid atau sejenis (Syahrir, 2010).
F. Penegakkan Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis Mieloma Multipel (MM) harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik terlebih dahulu yang teliti sebelum
melakukan pemeriksaan penunjang yang tepat.
a. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan seperti anemia, mual-mual,
muntah, dehidrasi, infeksi dan atau mengeluh sering merasakan
nyeri hebat yang terus menerus pada tulang tengkorak, vertebrata,
sternum, iga-iga, ileum, sacrum, pangkal-pangkal sendi bahu atau
panggul. Nyeri bersifat hilang timbul, berpindah-pindah dan
menyerupai reumatik, paling sering pada tulang punggung.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien memperlihatkan wajah yang
pucat, tulang yang lunak, dan terdapat masa jaringan lunak. Pasien
dapat memiliki gejala neurologis yang berhubungan dengan
neuropati atau kompresi tulang belakang. Ada pula gejala neurologis
yang unik berupa ensefalopati hiperkalsemia yaitu bingung,
delirium atau koma, mual – mual, muntah dan dehidrasi. Pasien
dengan amiloidosis dapat mempunyai lidah yang membesar,
neuropati, atau jantung kongestif.
c. Pemeriksaan Penunjang

. Protein mono klonal ditemukan dalam serum atau urin atau


keduanya dihampir 98% pasien. Protein serum adalah IgG dua

7
pertiganya, IgA satu pertiganya, dan jarang IgM atau IgD dan kasus
campuran. Urin mengandung protein Bence - Jones pada dua pertiga
kasus, namun pada 15% k Bence – Jones ada tanpa paraprotein
serum (Syahrir, 2010).
Mieloma multiple merupakan keganasan sel plasma yang
mempunyai karakteristik adanya destruksi tulang, gagal ginjal,
anemia, dan hiperkalsemia. Manifesti klinik mieloma multiple bisa
menimbulkan gejala sistemik, sehingga sulit untuk mendiagnosis
penyakit tersebut (Bukhoeri, 2010).

Gambar 1. Elektroforesis protein serum pada mieloma multiple


menunjukkan parapotein yang abnormal pada region globulin γ dengan
penurunan kadar dasar globulin β dan γ.

Sumsusm tulang memperlihatkan sel plasma meningkat, lebih dari


10% dan biasanya 30%, seiring dengan bentuk abnormal-“sel mieloma”.
Pengujian imunologis menunjukan sifat sel ini adalah monoklonal serum.
Penelitian tulang rangka memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan
tulang merata (20%) (Syahrir, 2010).

8
Gambar 2. Sum-sum tulang pada mieloma multiple menunjukkan sejumlah
besar sel plasma, dengan banyak bentuk abnormal.

Penelitian tulang rangka memperlihatkan daerah osteolisis atau


penipisan tulang merata (generalized bone rarefaction) (20%). Fraktur
patologis dapat saja terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 20% pasien (Syahrir,
2010).

Gambar 3. Rotgen tengkorak pada mieloma multiple menunjukkan banyak


lesi lubang.

Adapun secara terperinci dalam pemeriksaan penunjang dari


Multiple Mieloma untuk proses penegakan diagnosisnya adalah sebagai
berikut :

i. Adanya anemia normositik atau makrositik. Pembentukan


rouleaux menonjol pada sebagian kasus. Neutropenia dan
trombositopenia ditemukan pada penyakit lanjut. Sel plasma
abnormal nampak pada filamen darah dari 15% pasien dan
perubahan leuko-eritroblastik kadang – kadang terlihat.
ii. Laju endapan eritrosit / LED tinggisering > 100 mm/jam.

9
iii. Peninggian kalsium serum terjadi pada 45% pasien.
Terdapat fosfatase lindi serum normal, kecuali terjadi
fraktor patologis.
iv. Urea darah meninggi diatas 14 mmol/L dan kreatinin serum
akan meningkat pada 20% kasus. Deposit berpotein dari
proteinuria Bence-Jones, hiperkalsemia, asam urat,
amiloid, dan pielonefritis semuanya dapat memperberat
daya kerja dari ginjal.
v. Albumin serum rendah ditemukan pada penyakit lanjut.
vi. CRP merupakan pertanda dari IL-6 yaitu faktor
pertumbuhan dari mieloma multipel.
vii. β-2 mikroglobulin merupakan indikator prognostik yang
akan meningkat pada stadium lanjut dari mieloma multipel.
Seringkali meningkat dan kadar yang lebih tinggi
berhubungan dengan prognosis lebih buruk.
viii. Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 (sel T helper
limfosit) dan peningkatan CD8 (sel T suspensor limfosit).
ix. Sumsusm tulang memperlihatkan sel plasma > 10%,
seringkali dengan banyak inti dan bentuk abnormal lainnya.
x. Paraprotein terdiri dari dari IgG 70% ; IgA 20% ; IgM tidak
sering ; IgD dan IgE jarang.
xi. Foto rontagen, CT scan, atau MRI memperlihatkan lesi litik
yang biasanya terdapat pada tengkorak dan skeleton aksial
dan/atau osteoporosis, sering dengan fraktur patologis.
kadang – kadang, pasien memiliki deposit sel plasma
lokalisata, biasanya pada skeleton aksial (plasmasitoma
multipel atau soliter).
xii. Data prognostik meliputi kadar hemoglobin, kadar β2M
dalam serum, kreatinin serum, dan luasnya penyakit
skeletal (Mehta, 2008).
G. Penatalaksanaan

10
Penentuan pengobatan MM tergantung pada kriteria diagnostik ,
pada penderita yang asimtomatik tidak memerlukan pengobatan, karena
pengobatan tidak akan memberikan hasil klinik yang menguntungkan,
tetapi pada penderita tersebut harus dimonitor untuk progresivitas
penyakitnya, dengan mengevaluasi tiap 3-6 bulan. Selama lebih dari 35
tahun pengobatan standar MM pada penderita yang baru terdiagnosa adalah
mephalan dan prednison yang menghasilkan respon rate 50% Dengan
pengobatan mephalan-prednisone (MP) angka rata-rata hidup kurang lebih
3 tahun. Melphalan termasuk senyawa alkil, yang bila dalam tubuh
termasuk bahan kimia. Dalam tubuh, nanti dia akan berikatan dengan DNA
dan menyebabkan perpecahan DNA. Efek samping dari obat ini salah
satunya adalah menekan sumsum tulang.
Pada penderita yang simtomatik membutuhkan pengobatan yang
berupa transplantasi sumsum tulang Hemotopoietic Stem Cell
Transplantation (HSCT) dan kemoterapi. Ada 2 tipe transplantasi sel
sumsum tulang yaitu autologous dan allogeneic. Autologous stem cell
transplant menggunakan sel sumsum tulang penderita sendiri,cukup aman
dan risiko rendah untuk timbulnya komplikasi serius. Allogeneic stem cell
transplantation berasal dari orang lain yang merupakan saudara sekandung
seperti saudara perempuan atau laki-laki.
Pada saat ini telah didapatkan data-data yang mendukung adanya
perbaikan dalam harapan hidup dari beberapa obat imunomodulator baru
yang diperkenalkan yakni thalidomide, lenalidomide dan penghambat
enzim proteasom yaitu bortezomib yang dikombinasi dengan obat lama.
Masing-masing obat-obat ini mempunyai banyak mekanisme kerja, dengan
target baik melalui intraselular akses maupun lingkungan sekitar tumor.

1.Thalidomide

Thalidomide telah dikenal sebagai suatu sedatif sejak tahun1950an


dan pada tahun 1961 ditarik dari peredaran, karena kasus teratogenik.
Tahun1998 Food and Drug Aministration (FDA) telah menyetujui

11
penggunaan thalidomide untuk pengobatan eritem nodosum lepra. Obat ini
juga digunakan untuk pengobatan Acquired Immuno Deciency Syndrome
(AIDS) yang berkaitan dengan keadaan kakeksia, aphtousulcers,
chronicgraft-versus-host disease dan varian dari solid tumordan tumor
penyakit darah.
Pada tahun 1999 thalidomide telah diperkenalkan untuk pengobatan
MM oleh Singhal,et al. Yang diduga mempunyai efek anti angiogenik yang
diberikan secara oral. Dari beberapa penelitian menyebutkan thalidomide
yang dikombinasi dengan dexamethasone meningkatkan harapan hidup
penderita MM. Untuk penderita yang baru terdiagnosa, yang sering dipakai
sebagai kombinasi adalah mephalan.
Mekanisme Kerja : Pada MM masih tidak begitu jelas,diduga
sebagai imunomodulator,anti inflamasi dan anti angiogenik. Thalidomide
ini mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung dalam mencegah
adhesi dan proliferasi sel-sel myeloma, diduga menghambat angiogenesis
dengan cara mencegah pembentukan pembuluh darah kecil dengan
menghambat pelepasan faktor-faktor pertumbuhan (hepatic growth factor,
vascular endothelial growth factor, basic fibroblast growth factor)yang
mana semuanya ini mempunyai peran penting dalam angiogenesis dari sel-
sel plasma. Pengaruh secara langsung merangsang apoptosis atau kematian
G1 selama siklus sel,yang diaktifasi oleh sitotoxic T (CD8) dan NK sel dan
menyebabkan lisisnya sel plasma, menghambat interaksi sel kesel dan
menghambat pelepasan IL-6 (yang merupakan faktor pertumbuhan mayor
yang menyebabkan proliferasi dan kelangsungan hidup sel plasma).
Farmakokinetik : Mencapai konsentrasi tertinggi setelah 4 jam
pemberian obat. Di distribusi ke jaringan dan organ dengan berikatan
dengan protein. Metabolisme dalam tubuh belum jelas. Eliminasi5-7 jam
setelahdosis tunggal,tidak dipengaruhi oleh dosis multiple. Thalidomide
terutama dieliminasi tidak melalui ginjal, kurang dari 1% dikeluarkan
melalui urine,tapi eliminasi yang tepat belum diketahui pada manusia. Dosis
awal diberikan 200 mg/hari dengan batasan berkisar dari 200-800 mg

12
perhari, diberikan pada malam hari menjelang tidur,dan dapat ditingkatkan
per 200 mg/hari tiap 2 minggu, sampai mencapai dosis maksimum 800 mg
per hari. Akan tetapi dosis yang bisa ditoleransi biasanya 400 mg perhari.
Efek Samping : yang paling sering dijumpai adalah nausea,
konstipasi, ruam, fatigue, somnolen dan neuropati perifer (bila penggunaan
jangka panjang), kelemahan otot dan mempunyai kecendrungan
meningkatkan risiko terjadinya Deep Venous Thrombosis (DVT) bila
dikombinasi dengan dexamethasone, 6 efek samping yang lain , edema,
bradikardia, netropeni, impoten, hipotiroid, tremor. Dosis tinggi
thalidomide dapat menyebabkan edema pulmonal, atelektasis, aspirasi
pneumonia dan hipotensi yang refrakter.
2. Bortezomib
Dahulu dikenal dengan PS-341 dan merupakan penghambat
proteasome pertama dalam penelitian. Obat ini telah disetujui oleh FDA
untuk pengobatan MM stadium lanjut sejak bulan Mei 2003.
Mekanisme kerja: Bortezomib adalah asam boronat dipeptida yang
merupakan penghambat spesifik dari proteasome 26S yang reversibel, yang
mempunyai aktifitas sebagai anti proliferatif, proapoptotik (yang berkaitan
dengan aktifasi caspase-8/9 dan caspase-3), anti angiogenik,anti tumor.
Proteasome adalah kompleks enzim ubiquitous yang berfungsi dalam
degradasi protein (dikatalase oleh 3 enzim E1,E2,E3) dan berguna untuk
regulasi siklus sel dan menyebabkan proteolisis IkB (suatu inhibitor faktor
nuclear kappa beta yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup sel,
merangsang pertumbuhan, menghambat apoptosis). Pada penelitian terakhir
menyebutkan bortezomib mencegah aktifitas dari caveolin-1 sel MM.
Caveolin-1 adalah suatu protein yang berfungsi dalam pergerakan sel atau
perpindahan sel MM dalam jaringan dan membutuhkan posporilasi,dalam
hal ini bortezomib menghambat posporilasi caveolin-1 oleh Vascular
Endothelial GrowthFactor (VEGF) yang merupakan sitokin proangiogenik
dan traskripsi NF-kB sehingga dengan demikian bortezomib menghambat

13
migrasi sel- sel kanker maupun angiogenesis tumor, menghambat nuclear
factor kappa B (NF-kB) yang berimplikasi terhadap resisten terapi.
Farmakodinamik : Pada penelitian secara farmakodinamik
menunjukan penurunan aktifitas 26S proteasome sampai 60-70% sesudah
pemberian bortezomib. Konsentrasi puncak dicapai 30menit setelah
pemberian obat Dosis:1,3,1 dan 0,7 mg/m², terapeutik indexnya sempit, dan
harus diberikan tiap 72 jam. Hampir> 90% obat ini secara cepat masuk
plasma. Dengan dosis multiple akan meningkatkan Area Under The Curve
Consentration (AUC), tapi tidak menembus sawar otak. Di metabolisme
dihati oleh sitokrom P450. Ekskresi (t½-eliminasi50-110 jam). Tidak ada
informasi klinik yang tersedia pada penggunaan bortezomib pada penderita
dengan gagal ginjaldan hemodialisis. Oleh karena itu penderita dengan
gangguan ginjal harus dimonitor secara hati- hati bila menggunakan
bortezomib terutama bilacratinin clearance <30ml/menit.
Efek samping : Efek samping yang tersering gejala gastrointestinal
(nausea, anoreksia, muntah diare, konstipasi) trombositopenia yang
sifatnya sementara,bila obat dihentikan nilai trombosit akan kembali
normal, fatigue, malaisedan neuropatiperifer, efek samping lain yang
jarang yakni demam, ruam, sakit kepala, dan dizzines. Diduga adanya
peningkatan reaktifasi insiden Herpes Zoster diantara penderita MM yang
mendapat terapi bortezomib, tapi belum ada penjelasan yang bisa
menjelaskan hubungan ini, tampaknya tidak ada hubungan langsung efek
bortezomib terhadap sel T. Keberhasilan bortezomib pada MM telah
membangkitkan minat dalam pendekatan aplikasi obat ini,maupun
perkembangan proteasome inhibitor generasi yang baru. Kombinasi
pengobatan yang berbasis bortezomib dengan obat dari golongan yang
berbeda merupakan kunci yang menarik.
3. Lenalidomid
Pada awalnya dikenal dengan CC-5013 dan merupakan suatu derivat
thalidomide yang diperkenalkan pada tahun 2004, dan merupakan golongan
imunomodulator baru yang disetujui oleh FDA sejak 29 Juni2006

14
Mekanisme kerja : Meskipun belum jelas, lenalidomide mempunyai
efek antiangiogenik, menghambat sekresi sitokin pro-inflamasi dan
meningkatkan sekresi sitokin anti-inflamasi dari sel-sel mononuklear darah
tepi, menghambat prolifersi sel, menghambat ekspresi cyclooxigenase-
2(COX-2), menyebabkan apoptosis dan menurunkan ikatan sel myeloma
degan sel-sel stroma dalam sumsum tulang,meningkatkan efek sitotoksik
melalui sel-sel Natural Killer (NK). Diduga mekanisme kerja dari
lenalidomide pada MM adalah sitotoksisitas melalui apoptosis (A)
menghambat adhesi molekul sel seperti Intercellular Adhesion Molecule 1
(ICAM-1) dan Vascular Cell Adhesion Molecule 1 (VCAM-1)yang
menurunkan signal pertumbuhan dari sel-sel MM (B) menghambat signal
pertumbuhan untuk meningkatkan angiogenesis sumsum tulang seperti
VEGF, TNF-A, dan IL-6. Menstimulasi sel T helper yang meningkatkan
produksi IL-2 dan IFN-y dan dengan demikian memperbaiki aktifasi sel NK
dan sel NK yang tergantung pada sitotoksisitas. Lenalidomide ini
mempunyai potensi 50.000 kali dibandingkan thalidomide dalam hal
menghambat TNF-A dan efek samping yang ditimbulkan lebih rendah.
Beberapa penelitian menunjukan lenalidomide yang dikombinasi dengan
dexamethason pada penderita yang relaps atau refrakter lebih superior
dibandingkan pengobatan lama yang hanya menggunakan dexametason.
Efek samping : Efek samping dari lenalidomide antara lain
menyebabkan Venous Thrombo Embolism (VTE),menurut Bennet,et al.
Penderita MM yang mendapat terapi thalidomide atau lenalidomide yang
dikombinasi dengan dexametason, mephalan atau doxorubisin mempunyai
risiko tinggi untuk timbul VTE (dengan median 14% ,rerata 3-75%),
penderita tersebut dianjurkan untuk diberikan profilaksis dengan aspirin,
dan ternyata dijumpai risiko untuk terjadi VTE lebih rendah. Oleh karena
mempunyai struktur kimia yang mirip dengan thalidomide dianggap
mempunyai efek teratogenik, efek samping lain gangguan gastrointestinal
(diare, konstipasi, nausea, muntah, mielosupresi terutama netropeni) dan

15
trombositopeni, yang mana dapat diatasi dengan menurunkan dosis
(Sudoyo, 2010).
H. Prognosis
Faktor prognosis yang berpengaruh pada penyakit Multiple Mieloma
adalah sebagai berikut:
a. Umur
Umur penderita Multiple Mieloma berpengaruh terhadap
prognosis. Semakin muda maka kondisinya akan lebih baik dan
ketahanan hidupnya lebih lama (Sudoyo, 2010).
b. Status kebugaran
Semakin tinggi status kebugaran yang dimiliki oleh
penderita Multiple Mieloma maka semakin baik prognosisnya.
Sebaliknya jika semakin rendah status kebugarannya maka
prognosisnya semakin buruk (Sudoyo, 2010).
c. Beta 2 mikrolobulin dan C-reactive Protein (CRP)
Semakin tinggi kadar beta 2 mikrolobulin dan C-reactive
Protein (CRP) dari pemeriksaan darah rutin maka prognosisnya
semakin buruk. Jika kadar beta 2 mikrolobulin dan CRP kurang dari
6 mg/l maka ketahanan hidup rata-rata sebesar 54 bulan. Sedangkan
jika kadar beta 2 mikrolobulin atau CRP lebih dari 6 mg/l maka
ketahanan hidup rata-rata sebesar 27 bulan. Untuk kadar beta 2
mikrolobulin dan CRP lebih dari 6 mg/l maka ketahanan hidup rata-
rata sebesar 6 bulan (Sudoyo, 2010).
d. Serum albumin
Semakin rendah kadar serum albumin dalam tubuh penderita
Multiple Mieloma maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya
jika semakin tinggi kadarnya maka prognosisnya semakin baik
(Sudoyo, 2010).
e. Serum creatinin
Semakin tinggi kadar serum creatinin dalam tubuh penderita
Multiple Mieloma maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya

16
jika semakin rendah kadarnya maka prognosisnya semakin baik
(Sudoyo, 2010).
f. Laktat Dehidrogenase (LDH)
Semakin tinggi kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dalam
tubuh penderita Multiple Mieloma maka semakin buruk
prognosisnya. Sebaliknya jika semakin rendah kadarnya maka
prognosisnya semakin baik (Sudoyo, 2010).
g. Hemoglobin
Semakin rendah kadar hemoglobin dalam tubuh penderita
Multiple Mieloma maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya
jika semakin tinggi kadarnya maka prognosisnya semakin baik
(Sudoyo, 2010).
h. Trombosit
Semakin rendah kadar trombosit dalam tubuh penderita
Multiple Mieloma maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya
jika semakin tinggi kadarnya maka prognosisnya semakin baik
(Sudoyo, 2010).
i. Labeling indeks sel plasma
Semakin tinggi indeks sel plasma dalam tubuh penderita
Multiple Mieloma yang diukur pada pemeriksaan khusus maka
semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya jika semakin rendah maka
prognosisnya semakin baik (Sudoyo, 2010).
Beberapa faktor prognosis berhubungan dengan masa sel
myeloma, yang dapat ditentukan berdasarkan banyaknya
paraprotein total yang diproduksi pada pasien selama 24 jam dibagi
dengan banyaknya paraprotein yang diproduksi per sel normal
dalam waktu yang sama (Sudoyo, 2010).
Harapan hidup rata-rata adalah 3 – 4 tahun dengan harapan
hidup 5 tahun sebesar 20 % dengan pemberian kemoterapi.
Walaupun demikian, keadaan ini dapat diperbaiki dengan

17
transplantasi autolog. Peningkatan kadar β2- mikroglobulin adalah
suatu gambaran prognostic yang buruk (Hoffbrand, 2007).

18
BAB IV

KESIMPULAN

1. Mieloma multiple merupakan diskrasia sel plasma neoplastik yang berasal


dari satu klon (monoklonal) sel plasma.
2. Patofisiologis dari nyeri tulang diisebabkan karena lesi litik tulang, dan
biasanya adalah di tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas
yang berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast. Lalu Infeksi berulang
dikarenakan konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum menurun yang
sering, sangat menurun. Anemia yang disebabkan Disebabkan oleh karena
tumor menyebabkan penggantian dan inhibisi sumsung tulang secara
langsung terhadap hematopoesis.
3. Untuk menegakkan diagnosis Mieloma Multipel (MM) harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik terlebih dahulu yang teliti sebelum
melakukan pemeriksaan penunjang yang tepat. Salah satunya pada
gambaran laboratorium didapatkan anemia normokrom normositer, LED
yang meningkat, pada gambaran darah tepi dijumpai gambaran roeleaux,
kadang-kadang sel plasma, kadang-kadang gambaran leukoeritroblastik.
4. Terapi terbaru untuk multiple mieloma:
a. Talidomitini
b. Analog Talidomit : Revimid/Actimid
c. Bortezomib (velcade, sebelumnya PS-341)

19
Daftar Pustaka

American Cancer Society. 2011. Multiple Myeloma. Available at:


http//:www.cancer.org.

Baldy, Catherine M. 2006. Patofisiologis Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit


Edisi 6. Jakarta: EGC.

Bukhoeri, Ahmad. 2010. Perbedaan Kadar Hemoglobin Pasien Mieloma Multipel


Pada Berbagai Stadium. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran,
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang.

Corwin, J.Elizabeth.2009.Buku Saku Patofisiologi.Jakarta.EGC

Hoffbrand, A,V. 2007. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC

Mansjoer A, Triyanti K, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3. Jakarta:


Media Aesculapuis

Marylin. E. Doenges. Dkk. 2000. Nursing Care plan Edisi III. Jakarta : Penulis
Buku Kedokteran EGC

Mehta A.B, Hoffbrand A.V. 2008. At a Glance Hematologi. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Otto, E.Shirley. 2005. Pocket Guide to Oncology Nursing .Jakarta:EGC.

Sudoyo, W. Aru. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta :
Interna Publishing.

Suega, Ketut. 2010. Seorang Penderita Dengan Leukimia Mieloid Kronik Dan
Mieloma Multipel. Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam, FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.

Syahrir, Mediarty. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Ed.5. Jakarta:
Interna Publishing.

Tadjoedin, Hilman ,dkk.2011. Multiple Myeloma in Indonesia.Jakarta:SMF


Hematologi dan Onkologi RS Kanker Dharmais.

20

Anda mungkin juga menyukai