Anda di halaman 1dari 6

Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi adalah kompleks candi Buddha aliran

Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yaitu sekitar 3 jam perjalanan dari Padangsidempuan atau
berjarak sekitar 400 km dari Kota Medan. Candi ini terbuat dari bahan bata merah dan diduga
berasal dari sekitar abad ke-11 dan dikaitkan dengan Kerajaan Pannai, salah satu pelabuhan
di pesisir Selat Malaka yang ditaklukan dan menjadi bagian dari mandala Sriwijaya.[1]

Candi ini diberi nama berdasarkan nama desa tempat bangunan ini berdiri. Selain itu nama
Portibi dalam bahasa Batak berarti 'dunia' atau 'bumi' istilah serapan yang berasal dari bahasa
sansekerta: Pertiwi (dewi Bumi).

Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Jabung yang ada Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur.

Kompleks candi
Candi ini merupakan kompleks candi (dalam istilah setempat disebut biaro) yang terluas di
provinsi Sumatera Utara, karena arealnya melingkupi kompleks Candi Bahal I, Bahal II dan
Bahal III. Seluruh bangunan di ketiga kompleks candi dibuat dari bata merah, kecuali arca-
arcanya yang terbuat dari batu keras. Masing-masing kompleks candi dikelilingi oleh pagar
setinggi dan setebal sekitar 1 m yang juga terbuat dari susunan bata merah. Di sisi timur
terdapat gerbang yang menjorok keluar dan di kanan-kirinya diapit oleh dinding setinggi
sekitar 60 cm. Di setiap kompleks candi terdapat bangunan utama yang terletak di tengah
halaman dengan pintu masuk tepat menghadap ke gerbang. Berikut adalah deskripsi
kompleks candi ini.

Bahal I

Candi Bahal 1 dibangun di pelataran seluas sekitar 3000 m² yang dikelilingi pagar dari
susunan batu merah setinggi 60 cm. Dinding pagar tersebut cukup tebal, yaitu sekitar 1 m.
Bangunan utama Candi Bahal I terletak di tengah halaman, menghadap ke gerbang. Di antara
bangunan utama dan pintu gerbang terdapat pondasi batur atau panggung berbentuk dasar
bujur sangkar berukuran sekitar 7 x 7 m. Bangunan utama Candi Bahal I merupakan yang
terbesar dibandingkan dengan bangunan utama Candi Bahal II dan II. Bangunan utama ini
terdiri atas susunan alas atau tatakan, kaki, tubuh dan atap candi. Tatakan candi berdenah
dasar bujur sangkar seluas sekitar 7 meter persegi dengan tinggi sekitar 180 cm. Di atas
tatakan berdiri kaki candi setinggi 75 cm, dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar seluas
6 meter persegi. Selisih luas tatakan dan kaki candi membentuk selasar mengelilingi kaki
candi.

Candi Bahal I menghadap ke Timur, di pertengahan sisi timur, tepat di depan tangga naik ke
kaki permukaan candi, tatakan candi menjorok ke luar sepanjang sekitar 4 meter dengan lebar
sekitar 2 m. Di ujung pelataran memanjang tersebut terdapat tangga yang diapit oleh
sepasang kepala makara di pangkalnya. Sepanjang sisi utara dan selatan dinding jalan
pelataran menuju tatakan terdapat pahatan berbentuk orang dalam berbagai posisi. Walaupun
banyak bagian pahatan yang sudah rusak, masih terlihat bentuk orang yang tampak seperti
sedang menari. Di sepanjang sisi timur atau depan tatakan terdapat pahatan berbentuk raksasa
yang sedang duduk.

Tubuh candi berupa bangunan bersegi empat dengan alas berbentuk bujur sangkar seluas 5
meter persegi. Selisih luas tubuh candi dengan permukaan kaki candi membentuk selasar
selebar sekitar 1 m. Untuk mencapai pintu masuk ke ruang di dalam tubuh candi terdapat
tangga setinggi sekitar 60 cm dari permukaan kaki candi. Dalam tubuh candi terdapat
ruangan kosong berukuran sekitar 3 meter persegi yang dikelilingi dinding setebal sekitar 1
meter. Lebar ambang pintu masuk sekitar 120 x 250 cm. Tidak terdapat pahatan yang
menghiasi bingkai pintu. Atap Candi Bahal I berbentuk dagoba, yaitu stupa berbentuk
silinder, dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Pahatan untaian bunga melingkari tepian atap.

Bahal II

Candi Bahal II terletak sekitar 100 meter dari jalan dan sekitar 300 meter dari Candi Bahal I.
Pelataran Candi Bahal II sama luasnya dengan pelataran Candi Bahal I dan juga dikelilingi
pagar bata, akan tetapi ukuran bangunan utamanya lebih kecil dari bangunan utama Candi
Bahal I. Pada pertengahan sisi timur, dinding halaman melebar, membentuk lantai yang
menjorok sekitar 4 m ke arah luar halaman candi. Dinding setinggi sekitar 70 cm mengapit
sisi kanan dan kiri lantai tersebut sampai ke batas tangga yang terdapat sisi timur.

Bangunan utama Candi Bahal II terdiri atas susunan tatakan, kaki, tubuh dan atap candi.
Tatakan candi berdenah dasar bujur sangkar seluas sekitar 6 meter persegi dan setinggi
sekitar 1 meter. Di depan pangkal tangga bangunan utama terdapat sepasang kepala makara
dengan mulut terbuka. Di atas tatakan berdiri kaki candi setinggi 75 cm, dengan denah dasar
berbentuk bujur sangkar seluas 5 meter persegi. Selisih luas tatakan dan kaki candi
membentuk selasar mengelilingi kaki candi.

Dalam tubuh Candi Bahal II juga terdapat ruangan kosong berukuran sekitar 3 meter persegi,
dikelilingi dinding setebal sekitar 1 meter. Pintu masuk selebar sekitar 120 x 250 cm
menghadap ke timur tanpa pahatan hiasan apapun pada bingkainya. Dinding tatakan, kaki dan
tubuh candi juga polos tanpa hiasan pahatan. Atap Candi Bahal II berbentuk limas dengan
puncak persegi empat.
Bahal III

Candi Bahal II berjarak sekitar 100 meter dari jalan, namun untuk mencapai lokasi Candi
Bahal III pengunjung harus melalui jalan setapak, pematang sawah dan perumahan penduduk.
Terdapat banyak kemiripan antara Candi Bahal III dan kedua candi Bahal lainnya. Pelataran
candi yang luasnya relatif sama juga dikelilingi pagar batu bata dengan ketebalan dan
ketinggian yang sama. Gerbang untuk masuk ke halaman juga terletak di sisi timur. Sama
halnya dengan bangunan utama Candi Bahal III yang terletak di tengah pelataran. Gerbang
Candi Bahal III lebih mirip dengan gerbang Candi Bahal I, karena tangga naik ke gerbang
terletak di sisi utara dan selatan. Tangga di gerbang Candi Bahal II terletak di timur.

Ukuran dan bentuk bangunan utama Candi Bahal III sangat mirip dengan bangunan utama
Candi Bahal II. Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi juga terletak di timur. Tidak
terdapat pahatan pada bingkai pintu, namun sepanjang dinding tatakan dihiasi pahatan dengan
motif yang mirip bunga. Atap Candi Bahal II berbentuk limas dengan puncak persegi empat.
Mirip dengan atap Candi Bahal II.

Para peneliti mengungkapkan bahwa candi di desa Bahal ini adalah tiga di antara 26 runtuhan
candi yang tersebar seluas 1.500 km² di situs percandian Padanglawas, yang berarti candi-
candi yang terletak di padang luas yang mencakup, di antaranya:

1. Candi Pulo
2. Candi Barumun
3. Candi Singkilon
4. Candi Sipamutung
5. Candi Aloban
6. Candi Rondaman Dolok
7. Candi Bara
8. Candi Magaledang
9. Candi Sitopayan
10. Candi Nagasaribu.

Kemungkinan, persawahan dan perkampungan di sekitar candi-candi tersebut tadinya


merupakan padang yang sangat luas. Dari sekian banyak candi Padanglawas hanya Candi
Bahal yang sudah selesai dipugar, Candi Sipamutung dan Candi Pulo sedang dalam proses
renovasi, sedangkan candi lainnya masih berupa reruntuhannya.
Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di
Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti,
tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa
pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli
kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan
memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi
tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.

Candi ini terletak di desa Prambanan, pulau Jawa, kurang lebih 20 kilometer timur
Yogyakarta, 40 kilometer barat Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di
perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[1] Candi Rara
Jonggrang terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan
Klaten.

Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia,
sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk
tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa
sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks
gugusan candi-candi yang lebih kecil.[2] Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara,
candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.[3]

Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh
Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di masa
kerajaan Medang Mataram.

Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan
perubahan nama dialek bahasa Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang bermakna
"Brahman Agung" yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat
digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Pendapat
lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu
dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa nama
"Prambanan" berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang bermakna menanggung
atau memikul tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas menata dan
menjalankan keselarasan jagat.
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang,
86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi
berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-
an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras
berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya
dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar
teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar
72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi
teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).

Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat
manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran
Buddha.[2] Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan
berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan
berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah
Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga
dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan
pagar langkan.

Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya
pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia
mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford
Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan
Dunia.

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha
yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata
tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan
purbakala disebut candi; istilah candi juga digunakan
secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan
purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di
Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan
(kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama
Borobudur tidak jelas, meskipun memang nama asli dari
kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Nama
Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah
Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama
borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang
sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya
bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama,
yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam
tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".Akan tetapi arkeolog lain
beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung"
(bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa
etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang
karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal
dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada
pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi
atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang
berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950
berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah
dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari
wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824
M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak)
oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān yang disebut
Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal
muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa
Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa
Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah
nama asli Borobudur.

Anda mungkin juga menyukai