Anda di halaman 1dari 59

Materi Pembelajaran Zaman Hindu-Budha di Indonesia

Candi
Januari 19, 2009

Kata candi berasal dari kata candika, yang merupakan salah satu nama untuk Dewi Durga sebagai Dewi Maut. Jadi bangunan candi itu berhubungan dengan Dewi Maut. Terkait dengan itu candi memang merupakan bangunan untuk memuliakan atau memperingati orang yang telah wafat, terutama para raja atau orang-orang terkemuka. Oleh karena itu, ada pendapat bahwa candi berfungsi sebagai makam. Tetapi yang disimpan bukan jenazahnya, melainkan abu jenazah dan benda-benda lain yang disimpan di dalam Pripih. Namun, dalam perkembangannya banyak yang berpendapat bahwa candi adalah bangunan suci yang suci untuk pemujaan. Candi-candi di Indonesia berbeda dengan candi-candi yang ada di India yang berfungsi sebagai tempat peribadatan atau kuil. Candi yang ada di Indonesia hanya mengambil unsur-unsur teknologi pembuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra, yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan. Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum. Bangunan Candi itu ada yang terkait dengan agama Hindu dan juga agama Buddha. Candi sebagai tempat pemakaman hanya terdapat dalam agama Hindu. Candi-candi Buddha dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa saja. Di dalamnya tidak didapatkan Pripih. Candi agama Hindu, contohnya adalah Candi Prambanan, dan candi agama Buddha adalah Candi Borobudur. Kedua candi tersebut memiliki perbedaan, yaitu pada bagian puncak candi. Puncak candi agama Hindu berbentuk ratna. Sedangkan puncak candi agama Buddha berbentuk stupa.

Perbedaan candi juga didasarkan pada letaknya, yaitu candi di Jawa Tengah dan candi yang terdapat di Jawa T imur. Perbedaan bentuk-bentuk candi di kedua daerah tersebut antara lain:

Salah Satu Candi di Jawa Tengah

Salah Satu Candi di Jawa Timur a. bentuk bangunan candi Jawa Tengah tambun, sedangkan candi Jawa Timur lebih ramping; b. candi Jawa Tengah atapnya berundak-undak, sedangkan candi Jawa Timur merupakan perpaduan tingkatan; c. candi Jawa Tengah puncaknya berbentuk ratna atau stupa, sedangkan candi Jawa Timur berbentuk kubus;

d. gawang pintu dan relung candi Jawa Tengah berhiaskan kala makara, sedangkan candi Jawa Timur makaranya tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala; e. candi Jawa Tengah reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalisme, sedangkan candi Jawa Timur reliefnya tidak terlalu timbul dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit;
f.

candi Jawa Tengah, candi induk letaknya di tengah halaman, sedangkan candi Jawa Timur, candi induk letaknya di belakang halaman;

g. candi Jawa Tengah kebanyakan menghadap ke Timur, sedangkan candi Jawa Timur menghadap ke Barat; h. candi Jawa Tengah kebanyakan terbuat dari batu andesit, sedangkan candi Jawa Timur terbuat dari bata atau terakota. Candi sebagai bangunan terdiri dari tiga bagian penting, yaitu kaki candi, tubuh candi, dan atap. Setiap bagian candi tersebut memiliki arti dan tujuan tersendiri: a. Kaki Candi Kaki candi memili simbol sebagai dunia bawah tanah atau bhurloka. Denahnya bujur sangkar, dan biasanya agak tinggi. Serupa batur, dan dapat dinaiki melalui tangga yang menuju terus ke dalam bilik candi. Di dalam kaki candi itu, di tengah-tengah, ada sebuah perigi tempat menanam Pripih. b. Tubuh Candi Tubuh candi terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca perwujudannya. Arca ini berdiri di tengah bilik, jadi tepat di atas perigi, dan menghadap ke arah pintu masuk candi. Dinding-dinding bilik di bagian luarnya di beri relung-relung yang diisi dengan arcaarca. Relung sebelah selatan di isi Arca Siwa, bagian utara Arca Durga, dan bagian belakang (Barat atau Timur tergantung arah menghadapnya candi) diisi Arca Ganesha.

c. Atap Candi Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Atap candi selalu terdiri atas susunan tiga tingkatan, yang pada umunya semakin ke atas semakin kecil ukurannya yang bagian ujungnya di beri semacam ratna atau stupa. Di dalam atap candi terdapat rongga kecil yang dasarnya berupa batu segi empat berpahatkan gambar teratai merah sebagai takhta dewa. Pembuatan rongga itu ditujukan sebagai tempat bersemayam sementara sang dewa. Candi-candi jenis Jawa Tengah di bagian utara, yang terpenting adalah: a. Candi Gunung Wukir dekat Magelang, yang berhubungan dengan prasasti Canggal tahun 732; b. Kelompok Candi Dieng, yang terdiri atas berbagai candi yang oleh penduduk diberi nama-nama wayang, seperti Bima, Samiaji, Arjuna, Gatutkoco, Semar, Srikandi, Dwarawati, dan sebagainya. Di dekat Candi Arjuna didapatkan sebuah prasasti yag bertanggal tahun 809; c. Kelompok Candi Gedong Songo di lereng Gunung Ungaran; d. Motif arsitektur yang sama juga terletak di Candi Badut dekat Malang, yang berhubungan dengan Prasasti Dinoyo tahun 760. Candi-candi jenis Jawa Tengah di bagian selatan, yang terpenting adalah: a. Candi Kalasan, dekat Yogyakarta yang didirikan dalma tahun 778; b. Candi Sari, letaknya di dekat Candi Kalasan; c. Candi Borobudur, yang dalam bentuk dasarnya merupakan punden berundak-undak tetapi disesuaikan dengan agama Buddha Mahayana untuk menggambarkan kamadhatu (bagian kaki yang tertimbun dan tertutup oleh susunan batu-batu rata), rupadhatu (bagian yang terdiri atas lorong-lorong dengan pagar-pagar tembok dan

penuh hiasan serta relief-relief yang seluruhnya sampai 4 km panjangnya), dan arupadhatu (bagian atas yang terdiri atas batur-batur bundar, dengan lingkaranlingkaran stupa yang semuanya tidak dihiasi sama sekali). Puncaknya berupa stupa yang besar sekali. Arca Buddha di Borobudur banyak sekali, diperkirakan berjumlah 505 buah;

Candi Borobudur d. Candi Mendut, di sebelah timur Candi Borobudur, yang di dalamnya memuat 3 arca batu besar sekali, yaitu Buddha diapit oleh Padmapani dan Wajrapani; e. Kelompok Candi Sewu, di dekat desa Prambanan, yang terdiri atas sebuah candi induk dikelilingi oleh kurang lebih 250 buah candi-candi perwara yang tersusun dalam 4 baris; f. Kelompok Candi Plaosan, di sebelah timur Candi Sewu, yang terdiri atas 2 buah candi induk dikelilingi oleh 2 baris stupa dan 2 baris candi perwara; g. Kelompok Candi Loro Jonggrang di desa Prambanan. Yang disusun demikan sehingga candi induknya untuk Siwa diapit oleh candi-candi untuk Brahmana dan Wisnu dan

dengan beberapa candi perwara lainnya merupakan pusat kelompok yang dikelilingi oleh lebih dari 200 buah candi perwara yang tersusun menjadi 4 baris.

Kompleks Candi Loro Jonggrang Candi-candi jenis Jawa Timur, yang terpenting adalah: a. Candi Kidal, letaknya dekat Malang, disebut juga Candi Anusapati; b. Candi Jago, letaknya dekat Malang, di sebut juga Candi Wisnudharma;

Candi Jago c. Candi Singosari, letaknya dekat Malang, disebut juga Candi Kertanagara;

Candi Singasari

d. Candi Jawi, letaknya dekat Prigen; e. Kelompok Candi Panataran, letaknya dekta Blitar, yang halamannya terbagi atas 3 bagian sedangkan candi induknya terletak di bagian belakang; f. Candi Jabung, letaknya dekat Kraksaan, berupa bangunan stupa yang besar dan tinggi; g. Kelompok Candi Muara Takus, letaknya di dekat Bangkinang, yang terdiri atas beberapa bangunan, di antaranya yang masih tegak sebuah stupa yang bulat tinggi; h. Kelompok Candi-candi Gunung Tuo, letaknya di dekat Padang Sidempuan yang terdiri atas berbagai biaro sebagai candi-candi induk yang letaknya tersebar dan berjauhan. Dari arca-arca dan tulisan-tulisan yang didapatkan dapat diketahui dengan jelas sifatsifatnya Tantrayana. Bangunan-bangunan lain yang juga sering disebut sebagai candi adalah gapura-gapura. Masyarakat awam yang berada di sekitar bangunan memang menyebutnya sebagai candi karena bentunknya memang mirip candi, namun sebenarnya hanyalah berupa bangunan yang mirip pintu masuk menuju ke suatu tempat. Gapura mempunyai dua bentuk yang berbeda, yaitu padu raksa dan candi bentar. Pola padu raksa dapat kita lihat pada Candi Bajag Ratu yang bagian atas kedua candi tersebut menyatu. Jenis gapura yang kedua adalah yang bentuknya seperti bangunan candi yang dibelah dua, sebagai tempat jalan keluar masuk. Gapura yang semacam ini yang sering disebut sebagai candi, contohnya adalah Candi Waringin Lawang.

Candi Waringin Lawang

Candi Bajang Ratu Selain itu, ada lagi bentuk bangunan candi yang dalam masyarakat juga disebut sebagai candi tetapi sifat dan wujudnya sangat berbeda. Bangunan-bangunan ini adalah pertirtaan (tempat pemandian suci) dan candi padas. Pertirtaan yang terkenal adalah Jolotundo dan Belahan di lereng Gunung Pananggungan dekat Mojokerto, Candi Tikus di Jawa Timur, Goa Gajah dekat Gianyar. Sedangkan candi padas yang terkenal adalah Gunung Kawi di Tampaksiring.

Candi Tikus (sumber: BP3 Jawa Timur)

Silsilah Lengkap Raja-raja Ngayogyakarta Hadiningrat


BeritaUnik.net - Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan masih mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47. Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah :

1. Sultan Hamengku Buwono I

Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu sebelum naik tahta kerajaan

Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram). Dalam pertempurannya melawan kakaknya, Pangeran Mangkubumi dengan bantuan

panglimanya Raden Mas Said, terbukti sebagai ahli siasat perang yang ulung, seperti ternyata dalam pertempuran-pertempuran di Grobogan, Demak dan pada puncak kemenangannya dalam pertempuran di tepi Sungai Bagawanta. Disana Panglima Belanda De Clerck bersama pasukannya dihancurkan (1751). peristiwa lain yang penting menyebabkan Pangeran Mangkubumi tidak suka berkompromi dengan Kompeni Belanda. Pada tahun 1749 Susuhunan Pakubuwana II sebelum mangkat menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda; Putra Mahkota dinobatkan oleh Kompeni Belanda menjadi Susuhunan Pakubuwana III. Kemudian hari Raden Mas Said bercekcok dengan Pangeran Mangkubumi dan akhirnya diberi kekuasaan tanah dan mendapat gelar pangeran Mangkunegara. Pangeran Mangkubumi tidak mengakui penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda. Setelah pihak Belanda beberapa kali gagal mengajak Pangeran Mangkubumi berunding menghentikan perang dikirimkan seorang Arab dari Batavia yang mengaku ulama yang datang dari Tanah Suci. Berkat pembujuk ini akhirnya diadakan perjanjian di Giyanti (sebelah timur kota Surakarta) antara Pangeran Mangkubumi dan Kompeni Belanda serta Susuhunan Pakubuwana III (1755). Menurut Perjanjian Giyanti itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, ialah kerajaan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III dan kerajaan Ngayogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I yang bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. Atas kehendak Sultan Hamengkubuwana I kota Ngayogyakarta (Jogja menurut ucapan sekarang) dijadikan ibukota kerajaan. Kecuali mendirikan istana baru, Hamengkubuwana I yang berdarah seni mendirikan bangunan tempat bercengrama Taman Sari yang terletak di sebelah barat istananya. Kisah pembagian kerajaan Mataram II ini dan peperangan antara pangeran-pangerannya merebut kekuasaan digubah oleh Yasadipura menjadi karya sastra yang disebut Babad Giyanti. Sultan

Hamengkubuwana I dikenal oleh rakyatnya sebagai panglima, negarawan dan pemimpin rakyat yang cakap. Beliau meninggal pada tahun 1792 Masehi dalam usia tinggi dan dimakamkan Astana Kasuwargan di Imogiri. Putra Mahkota menggantikannya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono II. Hamengkubuwana I dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2006. 2. Sultan Hamengku Buwono II

Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono II. Saat menjadi putra mahkota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng kraton untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon. 3. Sultan Hamengku Buwono III

Hamengkubuwana III (1769 3 November 1814) adalah putra dari Hamengkubuwana II (Sultan Sepuh). Hamengkubuwana III memegang kekuasaan pada tahun 1810. Setahun kemudian ketika Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di bawah pimpinan Letnan Gubernur Raffles, Sultan Hamengkubuwana III turun tahta dan kerajaan dipimpin oleh Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II) kembali selama satu tahun (1812). Pada masa kepemimpinan Sultan

Hamengkubuwana III keraton Yogyakarta mengalami kemunduran yang besar-besaran. Kemunduran-kemunduran tersebut antara lain : 1. Kerajaan Ngayogyakarta diharuskan melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setahunnya. 2. Angkatan perang kerajaan diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton. 3. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa kepada Raffles dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Ario Paku Alam I. Pada tahun 1814 Hamengkubuwana III mangkat dalam usia 43 tahun. 4. Sultan Hamengku Buwono IV

Hamengkubuwono IV (3 April 1804 6 Desember 1822) sewaktu kecil bernama BRM Ibnu Jarot, diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah didampingi wali yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Pada masa pemerintahannya diberlakukan sistem sewa tanah untuk swasta tetapi justru merugikan rakyat. Pada tahun 1822 beliau wafat pada saat

bertamasya sehingga diberi gelar Sultan Seda Ing Pesiyar (Sultan yang meninggal pada saat berpesiar). 5. Sultan Hamengku Buwono V

Hamengkubuwono V (25 Januari 1820 1826 dan 1828 4 Juni 1855) bernama kecil Raden

Mas Menol dan dinobatkan sebagai raja di kesultanan Yogyakarta dalam usia 3 tahun. Dalam memerintah beliau dibantu dewan perwalian yang antara lain beranggotakan Pangeran Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa pemerintahannya sempat terjadi peristiwa penting yaitu Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung 1825 1830. Setelah perang selesai angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta semakin diperkecil lagi sehingga jumlahnya menjadi sama dengan sekarang ini. Selain itu angkatan bersenjata juga mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam senjata dan personil serta perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk mencegah terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang lalu. Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang dapat menggantikannya dan tahta diserahkan pada adiknya.

6. Sultan Hamengku Buwono VI

Sultan Hamengku Buwono VI (19 Agustus 1821 20 Juli 1877) adalah adik dari Hamengkubuwono V. Hamengkubuwono VI semula bernama Pangeran Adipati Mangkubumi.

Kedekatannya dengan Belanda membuatnya mendapat pangkat Letnan Kolonel pada tahun 1839 dan Kolonel pada tahun 1847 dari Belanda. 7. Sultan Hamengku Buwono VII

Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877. Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih. Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda. Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia lebih dari 80 tahun memutuskan untuk turun tahta dan mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota (GRM. Akhadiyat) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya. Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia. Biasanya dalam pergantian tahta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup, bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya pengganti putera mahkota yang wafat ke Keraton di luar keraton Yogyakarta. Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun tahta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan Tidak pernah ada Raja yang mati di keraton setelah saya yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono

VIII meninggal dunia di tengah perjalanan di luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri. Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarukmo (sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak ada lagi.

8. Sultan Hamengku Buwono VIII

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (Kraton Yogyakarta Adiningrat, 3 Maret 1880 Kraton Yogyakarta Adiningrat, 22 Oktober 1939) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di

Kesultanan Yogyakarta. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada tanngal 8 Februari 1921. Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Leiden. Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta karena menderita sakit.

9. Sultan Hamengku Buwono IX

Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Yogyakarta, 12 April 1912-Washington, DC, AS, 1 Oktober 1988) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Beliau juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM Dorojatun, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Diumur 4 tahun Hamengkubuwono IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di Universiteit Leiden, Belanda (Sultan Henkie). Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Songo. Beliau merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat Istimewa. Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN. Minggu malam pada 1 Oktober 1988 ia wafat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri.

10. Sultan Hamengku Buwono X

Sri Sultan Hamengkubuwono X (Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 2 April 1946 sekarang) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 1998. Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito.

Setelah dewasa bergelar KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram. Hamengkubuwono X adalah seorang lulusan Fakultas Hukum UGM dan dinobatkan sebagai raja pada tanggal 7 Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Dasa. Hamengkubuwono X aktif dalam berbagai organisasi dan pernah memegang berbagai jabatan diantaranya adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur DIY.Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998 beliau ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan masa jabatan 1998-2003. Dalam masa jabatan ini Hamengkubuwono X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 beliau ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini beliau didampingi Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.Sejak menggantikan ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang meninggal di Amerika, 8 Oktober 1988, Ngersa Dalem, demikian ia biasa disapa, dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyatnya. Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu tetap harus dilakukan sebagai suatu panggilan. Saya harus membentuk jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat bener atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya, ujuarnya. Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan mengatakan, Saya siap turun ke jalan. Ia benar-benar tampil dan berpidato di berbagai tempat menyuarakan pembelaan pada rakyat, sambil berpesan Jogja harus menjadi pelopor gerakan reformasi secara damai, tanpa

kekerasan.Aksi turun ke jalan yang dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan tanpa alasan. Jika pemimpin tidak benar, kewajiban saya untuk mengingatkan. Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh), katanya. Puasa itu dimulai 19 April dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam VIII tampil bersama menyuarakan Maklumat Yogyakarta, yang mendukung gerakan reformasi total dan damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia mengaku mendapat isyarat kultural Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran dirubung laron sak pirang-pirang (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam jumlah sangat banyak). Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung gerakan itu dengan laku kultural. Itu maksud saya. Memang, sehari setelah banjir massa yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta manusia di Alun-alun Utara Jogjakartamengikuti Aksi Reformasi Damai dengan mengerumuni sepasang berigin berpagar (ringin kurung)Soeharto pun lengser. Sri Sultan HB X dengan Keraton Jogjakarta-nya memang fenomenal. Kedekatannya dengan rakyat, dan karena itu juga kepercayaan rakyat terhadapnya, telah menjadi ciri khas yang mewarisi hingga kini. Lihat saja, misalnya, pada 20 Mei 1998, di bawah reksa Sultan, aparat keamanan berani melepas mahasiswa ke alun-alun utara. Sebelum itu hampir setiap hari mahasiswa bersitegang melawan aparat keamanan untuk keluar dari kampus. Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998 itu, mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan mantra sakti reformasi menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan maklumat yang akan dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri Sultan. Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan Hamengku Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi mereka berempat sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan melebihi legitimasi yang dimiliki lembaga formal seperti DPR. Mereka berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR sedang melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan beberapa tokoh nasional lain, diundang

Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk ikut mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di Ambon.Pada masa kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang terjadi pada bulan Mei 2006 dengan skala 5,9 sampai dengan 6,2 Skala Richter yang menewaskan lebih dari 6000 orang dan melukai puluhan ribu orang lainnya. Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April 2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam pisowanan agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di kancah nasional. Ia akan menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Daftar Raja Jawa


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Berikut ini adalah daftar raja kerajaan-kerajaan di Jawa, Indonesia:

Daftar isi

1 Kalingga 2 Mataram Lawas o 2.1 Wangsa Syailendra o 2.2 Wangsa Sanjaya 3 Medang 4 Kahuripan o 4.1 Janggala o 4.2 Kadiri 5 Singhasari 6 Majapahit 7 Demak 8 Kalinyamat 9 Kerajaan Pajang 10 Mataram Baru o 10.1 Kasunanan Kartasura o 10.2 Kasunanan Surakarta o 10.3 Kasultanan Yogyakarta o 10.4 Praja Mangkunagaran di Surakarta o 10.5 Kadipaten Paku Alaman di Yogyakarta 11 Lihat pula

Kalingga

Maharani Shima (674-732) Sudiwara Rakai Panangkaran

Mataram Lawas
Wangsa Syailendra

Sri Indrawarman (752-775) Wisnuwarman (775-782) Dharanindra (782-812) Samaratungga (812-833) Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya)

Wangsa Sanjaya

Sanjaya (732-7xx) Rakai Panangkaran : Dyah Pancapana (syailendra)

Rakai Panunggalan Rakai Warak Rakai Garung Rakai Patapan (8xx-838) Rakai Pikatan (838-855), mendepak wangsa Syailendra Rakai Kayuwangi (855-885) Dyah Tagwas (885) Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887) Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887) Rakai Watuhumalang (894-898) Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910) Daksa (910-919) Tulodong (919-921) Dyah Wawa (924-928) Mpu Sindok (928-929), memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang)

Medang

Mpu Sindok (929-947) Sri Isyanatunggawijaya (947-9xx) Makutawangsawardhana (9xx-985) Dharmawangsa Teguh (985-1006)

Kahuripan

Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang (Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri)

Janggala
(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)

Kadiri

Samarawijaya (1042-....) Linggajaya (1052) Jayawarsa (1104) Bameswara (1117-1130) Jayabhaya (1135-1159) Sarweswara (1159-1169) Aryeswara (1169-1171) Gandra (1171-1182) Kameswara (1185), mempersatukan kembali Kadiri dan Panjalu Kertajaya (1195-1222)

Singhasari

Tunggul Ametung Ken Arok (1222-1227) Anusapati (1227-1248) Tohjaya (1248) Ranggawuni (Wisnuwardhana) (1248-1254) Kertanagara ( 1254-1292)

Majapahit

Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) (1293-1309) Jayanagara (1309-1328) Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350) Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1350-1389) Wikramawardhana (1390-1428) Suhita (1429-1447) Dyah Kertawijaya (1447-1451) Rajasawardhana (1451-1453) Girishawardhana (1456-1466) Singhawikramawardhana (Suraprabhawa) (1466-1474) Girindrawardhana Dyah Wijayakarana(1468-1478) Singawardhana Dyah Wijayakusuma (menurut Pararaton menjadi Raja Majapahit selama 4 bulan sebelum wafat secara mendadak ) ( ? - 1486 ) Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhre Kertabumi (diduga kuat sebagai Brawijaya, menurut Kitab Pararaton dan Suma Oriental karangan Tome Pires pada tahun 1513) (1474-1519)

Demak

Raden Patah (1478 - 1518) Pati Unus (1518 - 1521) Trenggana (1521 - 1546) Sunan Prawoto (1546 - 1549)

Kalinyamat

Sultan Hadlirin (....-1549) Ratu Kalinyamat (1546-1579} Pangeran Arya Jepara (1579-...)

Kerajaan Pajang

Jaka Tingkir, bergelar Hadiwijaya (1549 - 1582)

Arya Pangiri, bergelar Ngawantipuro (1583 - 1586) Pangeran Benawa, bergelar Prabuwijoyo (1586 - 1587)

Mataram Baru
Daftar ini merupakan Daftar penguasa Mataram Baru atau juga disebut sebagai Mataram Islam. Catatan: sebagian nama penguasa di bawah ini dieja menurut ejaan bahasa Jawa.

Ki Ageng Pamanahan, menerima tanah perdikan Mataram dari Jaka Tingkir Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya) (1587 - 1601), menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Panembahan Hanyakrawati (Raden Mas Jolang) (1601 - 1613) Adipati Martapura (1613 selama satu hari) Sultan Agung (Raden Mas Rangsang / Prabu Hanyakrakusuma) (1613 - 1645) Amangkurat I (Sinuhun Tegal Arum) (1645 - 1677)

Kasunanan Kartasura
Lihat pula: Kasunanan Kartasura
1. Amangkurat II (1680 1702), pendiri Kartasura. 2. Amangkurat III (1702 1705), dibuang VOC ke Srilangka. 3. Pakubuwana I (1705 1719), pernah memerangi dua raja sebelumya; juga dikenal

dengan nama Pangeran Puger. 4. Amangkurat IV (1719 1726), leluhur raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. 5. Pakubuwana II (1726 1742), menyingkir ke Ponorogo karena Kartasura diserbu pemberontakl; mendirikan Surakarta.

Kasunanan Surakarta
Lihat pula: Kasunanan Surakarta

Lambang Pakubuwana Pakubowono atau lengkapnya Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Sri Paku Buwana Senopati Ing-Ngalogo Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo adalah gelar bagi raja Kasunanan Surakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam di Surakarta.

Yang bertahta saat ini adalah Susuhunan Pakubuwana XIII. Daftar sunan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
1. Pakubuwana II (1745 - 1749), pendiri kota Surakarta; memindahkan keraton Kartasura ke

Surakarta pada tahun 1745


2. Pakubuwana III (1749 - 1788), mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai

penguasa setengah wilayah kerajaannya.


3. Pakubuwana IV (1788 - 1820) 4. Pakubuwana V (1820 - 1823) 5. Pakubuwana VI (1823 - 1830), diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia; juga

dikenal dengan nama Pangeran Bangun Tapa. 6. Pakubuwana VII (1830 - 1858) 7. Pakubuwana VIII (1859 - 1861) 8. Pakubuwana IX (1861 - 1893) 9. Pakubuwana X (1893 - 1939) 10. Pakubuwana XI (1939 - 1944) 11. Pakubuwana XII (1944 - 2004) 12. Pakubuwana XIII (2004 - sekarang), Mahapatih Pangeran Tejowulan.

Kasultanan Yogyakarta
Lihat pula: Kasultanan Yogyakarta

Lambang Hamengkubuwana Hamengkubuwana atau Hamengkubuwono atau Hamengku Buwono atau lengkapnya Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati IngNgalogo Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo Khalifatullah adalah gelar bagi raja Kesultanan Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Wangsa Hamengkubuwana tercatat sebagai wangsa yang gigih memperjuangkan kemerdekaan pada masa masing-masing, antara lain Hamengkubuwana I atau nama mudanya Pangeran Mangkubumi, kemudian penerusnya yang salah satunya adalah ayah dari Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana III. Sri Sultan Hamengkubuwana IX pernah menjabat sebagai wakil presiden Indonesia yang kedua. Yang bertahta saat ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X. Daftar sultan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

1. Sri Sultan Hamengkubuwono I 13 Februari 1755 24 Maret 1792 2. Sri Sultan Hamengkubuwono II 2 April 1792 akhir 1810 periode pertama 3. Sri Sultan Hamengkubuwono III akhir 1810 akhir 1811 periode pertama Sri Sultan Hamengkubuwono II akhir 1811 20 Juni 1812 periode kedua Sri Sultan Hamengkubuwono III 29 Juni 1812 3 November 1814 periode kedua 4. Sri Sultan Hamengkubuwono IV 9 November 1814 6 Desember 1823 5. Sri Sultan Hamengkubuwono V 19 Desember 1823 17 Agustus 1826 periode pertama Sri Sultan Hamengkubuwono II 17 Agustus 1826 2 Januari 1828 periode ketiga Sri Sultan Hamengkubuwono V 17 Januari 1828 5 Juni 1855 periode kedua 6. Sri Sultan Hamengkubuwono VI 5 Juli 1855 20 Juli 1877 7. Sri Sultan Hamengkubuwono VII 22 Desember 1877 29 Januari 1921 8. Sri Sultan Hamengkubuwono VIII 8 Februari 1921 22 Oktober 1939 9. Sri Sultan Hamengkubuwono IX 18 Maret 1940 2 Oktober 1988 10. Sri Sultan Hamengkubuwono X 7 Maret 1989 sekarang

Praja Mangkunagaran di Surakarta


Lihat pula: Praja Mangkunagaran

Lambang Mangkunegara
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Mangkunagara I (Raden Mas Said) (1757 - 1795) Mangkunagara II (1796 - 1835) Mangkunagara III (1835 - 1853) Mangkunagara IV (1853 - 1881) Mangkunagara V (1881 - 1896) Mangkunagara VI (1896 - 1916) Mangkunagara VII (1916 -1944) Mangkunagara VIII (1944 - 1987) Mangkunagara IX (1987 - sekarang)

Kadipaten Paku Alaman di Yogyakarta


Lihat pula: Kadipaten Paku Alaman

Lambang Pakualaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Paku Alam I (1813 - 1829) Paku Alam II (1829 - 1858) Paku Alam III (1858 - 1864) Paku Alam IV (1864 - 1878) Paku Alam V (1878 - 1900) Paku Alam VI (1901 - 1902) Paku Alam VII (1903 - 1938) Paku Alam VIII (1938 - 1998) Paku Alam IX (1998 - sekarang)

Silsilah Raja Raja Mataram Kasunanan Surakarta

Ki Ageng Pemanahan ( Leluhur Trah Mataram )

Makam Ki Ageng Enis di Astana Laweyan Surakarta ( Leluhur Trah Mataram, Beliau Ayahanda K Ageng Pemanahan )

Panembahan Senopati ( Raja Mataram I )

Gajah Poro, Ken Arok (Raja Singosari I ) menikah dengan Ken Dedes) , Maesa Wong Ateleng (Raja Kediri I), Maesa Cempaka, Lembu Thall, Raden Wijaya (Raja Majapahit I ) menikah dengan Tri Buwana keturunan dari Tunggul Ametung, Anusapati Ronggowuni, Kertanegara (Raja Singasari IV)), Tribuwana Tunggadewi (menikah dengan Kertawijaya), Hayam Wuruk, Kusuma Wardani (menikah dengan Wikramawardhana), Rajasa Wardana, Bhre Kertabumi (Brawijaya V), Raja Majapahit Terakhir Bondan Kejawen (menikah dengan Nawangsih keturunan dari Rosulallah jalur Maulana Ibrahim Asmarakandi ,Maulana Malik Maghribi, Ki Ageng Joko Tarub (menikah dengan Dewi Nawangwulan)),

Ki Ageng Getaspandowo, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Enis, Ki Ageng Pemanahan , Panembahan Senopati , Raja Mataram Jawa I Sunan Sedo Krapyak (menikah dengan Ratu Mashadi keturunan Keraton Pengging yaitu Handayaningrat Pengging,Ki Ageng Kebo Kenongo, Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang), Pangeran Benowo I, Pangeran Benowo II), Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sunan Amangkurat I (menikah dengan GKR Wetan keturunan Ki Ageng Giring), Pakubuwono I ( Raja Keraton Kartasura I ) menikah dengan Ratu Mas Blitar trah Panembahan Juminah Penguasa Madiun dan Blitar), Amangkurat IV/Jawi, Sunan Pakubuwono II, Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat I Sunan Pakubuwono III, ( menikah dengan Kanjeng Ratu Kencana , Putra Kyai Tmg Wiraredja seorang Bupati Gedong Tengen Kraton Kasunanan Surakarta yang masih keturunan dari Raden Patah raja Demak I ) Sunan Pakubuwono IV,

Sunan Pakubuwono V Sunan Pakubuwono VI Sunan Pakubuwono IX Sunan Pakubuwono X Sunan Pakubuwono XI Sunan Pakubuwono XII

Walisongo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari

Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.

Daftar isi

1 Walisongo Periode Pertama 2 Walisongo Periode Kedua 3 Walisongo Periode Ketiga 4 Walisongo Periode Keempat

5 Walisongo Periode Kelima 6 Arti Walisongo o 6.1 Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) o 6.2 Sunan Ampel (Raden Rahmat) o 6.3 Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim) o 6.4 Sunan Drajat o 6.5 Sunan Kudus o 6.6 Sunan Giri o 6.7 Sunan Kalijaga o 6.8 Sunan Muria (Raden Umar Said) o 6.9 Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) 7 Walisongo menurut periode waktu 8 Tokoh pendahulu Walisongo o 8.1 Syekh Jumadil Qubro 9 Teori keturunan Hadramaut 10 Teori keturunan Cina 11 Sumber tertulis tentang Walisongo 12 Silsilah 13 Lihat pula 14 Pranala luar 15 Referensi

Walisongo Periode Pertama


Pada waktu Mehmed I Celeby memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan. Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta memiliki karomah. Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, berasal dari Turki ahli mengatur negara.

Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik. 2. Maulana Ishaq berasal dari Samarkand dekat Bukhara-uzbekistan/Rusia. Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Samudra Pasai dan wafat di sana.

3. Syekh Jumadil Qubro, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di

Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.


4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko, beliau berdakwah keliling.

Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.


5. Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M.

Makamnya di Gunung Santri.


6. Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia Iran. Ahli pengobatan. Wafat 1435

M. Makamnya di Gunung Santri. 7. Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama. 8. Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama. 9. Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.

Walisongo Periode Kedua


Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
1. Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Malik

Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Rahmat atau Sunan Ampel berasal dari Champa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan). 2. Sayyid Jafar Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isroil yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus. 3. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya. Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.

Walisongo Periode Ketiga


Pada tahun 1463 M. Masuklah menjadi anggota Walisongo yaitu:

1. Sunan Giri kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan

putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur. 2. Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia. 3. Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.

Walisongo Periode Keempat


Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah: Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.Setelah itu Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.

Walisongo Periode Kelima


Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat. Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga. Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-GresikLamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Lukisan Walisongo Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[1] Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra'il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir. Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim Sunan Ampel atau Raden Rahmat Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim

Sunan Drajat atau Raden Qasim Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin

Sunan Kalijaga atau Raden Said Sunan Muria atau Raden Umar Said Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa,

mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Gresik

Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Jafar Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal. Isteri Maulana Malik Ibrahim Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin AlAkbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Jafar Shadiq [Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (Raden Rahmat)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Ampel Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin AlHusain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Jafar Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam AlHusain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti Syariah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Bonang

Bonang, sederetan gong kecil diletakkan horisontal. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban

bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.

Sunan Drajat
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Drajat Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.

Sunan Kudus
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Kudus Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Sunan Kalijaga
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Kalijaga

Lukisan Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

Sunan Muria (Raden Umar Said)


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Muria Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Gunung Jati

Lukisan Sunan Gunung Jati

Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Walisongo menurut periode waktu


Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1] majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam hubungan gurumurid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:

Angkatan ke-1 (1404 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra'il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana 'Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir. Angkatan ke-2 (1435 - 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435

menggantikan Maulana Malik Israil, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana 'Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat 1463).

Angkatan ke-3 (1463 - 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462 menggantikan Maulana Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir. Angkatan ke-4 (1466 - 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad AlMaghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513). Angkatan ke-5 (1513 - 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga. Angkatan ke-6 (1533 - 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551). Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria. Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun

1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).

Tokoh pendahulu Walisongo


Syekh Jumadil Qubro Artikel utama untuk bagian ini adalah: Syekh Jumadil Qubro Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Jafar Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[3]
[4]

Teori keturunan Hadramaut


Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):

L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan: Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orangorang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).

van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204): Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orangorang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya." Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafii, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi. Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafii Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait. Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucucucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Teori keturunan Cina


Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[6] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi. Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [7].

Sumber tertulis tentang Walisongo


1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat

Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi. 2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alw b. Thir b. `Abdallh al-Haddd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut. 3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams alZahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Silsilah
Ringkasan Silsilah dari Rasulullah sampai Walisongo Muhammad SAW | Ali bin Abi Thalib | Husain bin Ali | Ali Zainal Abidin | Muhammad al-Baqir | Ja'far ash-Shadiq | Ali al-Uraidhi(Leluhur Jamaludin Husein Al-Akbar) | Jamaludin Husein Al Akbar (Leluhur Wali Songo) |WALISONGO

Anda mungkin juga menyukai