Abstrak
Tujuan: Untuk menyelidiki apakah hiperglikemia dikaitkan dengan presentasi dan/atau
outcome pada pasien sepsis, apa pengaruh hiperglikemia terhadap respon host terhadap sepsis,
dan apakah hiperglikemia secara signifikan mempengaruhi pasien diabetes mellitus. Desain
dan Pemilihan Subjek: Penelitian ini adalah kohort dengan prospektif observasional yang
dilakukan di tempat perawatan intensif dua rumah sakit tersier antara Januari 2011-Juli 2013.
Pasien: Dari semua pasien sepsis yang menderita penyakit kritis, glukosa masuk digunakan
untuk stratifikasi pasien pada euglycemia (71-140 mg/dL), hiperglikemia ringan (141-199
mg/dL), dan hiperglikemia berat (≥200 mg/dL) serta pasien dengan hipoglikemia dikecualikan
dalam penelitian ini. Lima belas biomarker plasma yang memberikan informasi mengenai
tanggapan utama dari host yang terlibat dalam patogenesis sepsis diukur pada saat masuk.
Pengukuran dan Hasil Utama: Dari 987 pasien sepsis dengan tingkat glukosa masuk lebih
>70 mg/dL, 519 (52,6%) memiliki kadar glukosa normal, 267 (27,1%) hiperglikemia ringan
dan 201 (20,4%) hiperglikemi berat. Hiperglikemia saat masuk dengan perubahan yang
biomarker yang menunjukkan aktivasi jaringan sitokin, endotelium vaskular, dan sistem
koagulasi pada pasien tanpa riwayat diabetes. Hiperglikemia berat saat masuk dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas 30 hari (rasio hazard yang disesuaikan, 1,66 [95% CI, 1,24-2,23]), pada
kedua pasien tanpa diabetes (rasio hazard yang disesuaikan, 1,65 [95% CI, 1,12 -2,42]) dan
dengan diabetes (adjusted hazard ratio, 1,91 [95% CI, 1,01-3,62]). Kesimpulan:
Hiperglikemia saat masuk dikaitkan dengan perburukan kondisi sepsis terlepas dari ada
tidaknya diabetes sebelumnya dengan mekanisme yang tidak terkait dengan inflamasi atau
koagulasi yang berlebihan.
Kata kunci: biomarker; sakit kritis; respon host; hiperglikemia; unit perawatan intensif; dan
sepsis.
Hiperglikemia sering terjadi dan multifaktorial pada pasien yang sakit kritis.
Hiperglikemia berat dapat menyebabkan disfungsi endotel, pelepasan sitokin, aktivasi platelet,
disfungsi mitokondria, dan gangguan elektrolit serta asam basa yang dikaitkan dengan
perburukan pada pasien dengan maupun tanpa riwayat diabetes. Hubungan ini belum pernah
didemonstrasikan pada pasien diabetes. Pada pasien dengan sepsis, hiperglikemia biasanya
terjadi dan berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit. Beberapa penelitian melaporkan
adanya hubungan antara tingkat glukosa yang tinggi selama tinggal di rumah sakit atau ICU
dengan kematian pada pasien sakit kritis pada umumnya dan pada pasien sepsis khususnya.
Namun, penyelidikan tentang dampak hiperglikemia saat masuk terhadap outcome pasien
dengan sepsis jarang terjadi, terutama dalam konteks penyakit kritis yang memerlukan ICU.
Pengetahuan tentang hiperglikemia secara negatif mempengaruhi respon host selama sepsis
pada pasien ICU. Kami melakukan penelitian observasional prospektif pada 985 pasien sepsis
yang dirawat di ICU, dengan tujuan sebagai berikut: 1) menyelidiki hubungan antara
hiperglikemia saat masuk dengan penerimaan ICU dan presentasi dan/atau outcome sepsis, 2)
memberikan wawasan tentang efek hiperglikemia masuk terhadap respons host yang terlibat
dalam patogenesis sepsis, dan 3) menentukan apakah hubungan antara hiperglikemia saat
masuk dan outcome sepsis serta respon inang dipengaruhi oleh riwayat diabetes.
Tabel 1. Karakteristik Dasar Pasien Sepsis Menurut Tingkat Glukosa saat masuk RS
Gambar 3. Penanda aktivasi sel endotel pada pasien sepsis pada saat masuk ICU yang
distratifikasi menurut kadar glukosa.
Serupa dengan laporan sebelumnya, diabetes yang sudah ada sebelumnya (glukosa saat
masuk) tidak mempengaruhi mortalitas 30 hari (30,3% vs 26,2% pada pasien tanpa diabetes; p
= 0,27). Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa stres hiperpaktatemia mengubah
hubungan antara hiperglikemia dan mortalitas pada pasien yang kritis. Dalam kohort kami,
laktat diukur selama 24 jam pertama setelah masuk ICU pada 79,0% dari semua pasien (78,9%
pasien diabetes dan 79,0% pasien tanpa diabetes yang diketahui). Ketika dikoreksi untuk
kondisi laktat tertinggi dalam 24 jam pertama, hiperglikemia tetap dikaitkan secara bermakna
dengan peningkatan mortalitas pada keseluruhan kelompok (HR, 1,52 [95% CI, 1,10-2,10])
dan pada pasien diabetes (HR, 2,27 [95% CI, 1,13-4,61]), sedangkan pada pasien diabetes
hiperglikemia tidak lagi dikaitkan dengan mortalitas (HR, 1,43 [95% CI, 0,94-2,18]). Dalam
analisis subkelompok kedua hanya pasien yang tidak memiliki riwayat keganasan (n=733, di
antaranya 164 orang dengan diabetes dan 569 diketahui menderita diabetes), hiperglikemia
berat dikaitkan dengan peningkatan mortalitas 30 hari pada semua pasien (HR, 1,55 [ 95% CI,
1,08-2,22]) dan pada pasien tanpa diabetes (HR, 1,63 [95% CI, 1,03-2,58]). Pada pasien yang
diketahui diabetes, hubungan ini tidak signifikan (HR, 1,42 [95% CI, 0,68-2,95]).
Gambar 4. Penanda koagulasi pada pasien sepsis saat baru masuk ICU dikelompokkan
menurut kadar glukosa.
Respon Host
Seperti yang diharapkan, pasien sepsis menunjukkan respons protein yang meningkat
pada fase akut (peningkatan protein C-reaktif plasma [CRP]; Gambar 2) dan aktivasi jaringan
sitokin yang dalam (peningkatan interleukin plasma IL-6, IL- 8, dan IL-10) (Gambar 2),
endotelium vaskular (E-selectin yang larut dalam plasma, molekul adhesi interselular
interselular-1 dan angiopoietin-2, dan penurunan angiopoietin-1) (Gambar 3), dan sistem
koagulasi (D-dimer tinggi, protein C berkurang, dan antitrombin) (Gambar 4). Hebatnya, pada
pasien dengan hiperglikemia, sebagian besar karakteristik respon sepsis ini dilemahkan. Secara
khusus, relatif terhadap euglycemia, hiperglikemia ringan dikaitkan dengan peningkatan IL-6,
IL-8, dan IL-10 yang berkurang, dan penurunan protein C yang tidak terlalu signifikan,
sedangkan hiperglikemia berat dikaitkan dengan peningkatan CRP dan IL-6 yang dilemahkan.
Penurunan antitrombin dan protein C. Efek hiperglikemia pada biomarker respons inang ini
hanya ada pada pasien tanpa riwayat diabetes yang diketahui. Faktor nekrosis tumor-α,
interferon-γ, IL-1β, dan IL-13 tidak terdeteksi atau sangat rendah dan tidak berbeda antar
kelompok (data tidak ditunjukkan).
Pembahasan
Dalam penelitian ini, bahwa hiperglikemia berat pada saat masuk didefinisikan sebagai
konsentrasi glukosa plasma ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L), secara independen dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas di hari ke 30 pada pasien dengan sepsis. Hubungan dengan keluaran
yang buruk ini pada pasien dengan dan tanpa riwayat diabetes yang diketahui, dan tidak terkait
dengan presentasi sepsis yang lebih parah saat masuk. Pengukuran 15 biomarker plasma yang
mencerminkan respons inang terhadap sepsis menunjukkan bahwa hiperglikemia tidak terkait
dengan inflamasi yang berlebihan atau aktivasi sel endotel dan/atau koagulasi. Sebagian besar
penyelidikan mengenai dampak hiperglikemia terhadap sepsis dengan mengamati kadar
glukosa selama di rumah sakit atau ICU daripada konsentrasi glukosa masuk pertama. Karena
kadar glukosa yang tinggi dikontrol dengan insulin, penelitian ini menentukan efek kontrol
glukosa pada pasien dengan sepsis. Kami di sini berfokus pada glukosa yang diukur pertama
sesaat sebelum atau sesudah masuk ICU untuk mengurangi efek pengobatan.
Penelitian yang serupa melaporkan tingkat kematian yang lebih tinggi di antara pasien
dengan sepsis berat dengan kadar glukosa plasma >>200 mg/dL saat masuk dibandingkan
dengan konsentrasi glukosa kurang dari atau sama dengan 200mg/dL. Dalam penelitian
sebelumnya, glukosa yang tinggi saat masuk dikaitkan dengan peningkatan angka kematian
pada pasien tanpa riwayat diabetes yang diketahui saja. Penelitian sebelumnya berbeda dengan
penelitian ini terutama yang berkaitan dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat.
Kemungkinan terkait dengan hal ini proporsi pasien yang diobati dengan syok septik adalah
32,5%, dibandingkan 71,7% pada penelitian sebelumnya. Dalam penelitian lain, pasien
nondiabetes dengan dugaan infeksi yang masuk ke IGD dengan kadar glukosa awal >200
mg/dL memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi daripada pasien dengan kadar glukosa lebih
rendah. Hubungan ini tidak ada pada pasien diabetes. Penelitian tersebut sulit untuk
dibandingkan dengan penelitian ini karena hanya 57,5% pasien yang mengalami sepsis dengan
angka mortalitas yang rendah (4,3%). Data ini menunjukkan bahwa hiperglikemia berat pada
saat masuk dan/atau sepsis secara konsisten dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada
pasien tanpa diabetes yang diketahui, sedangkan pengaruhnya terhadap pasien diabetes
bergantung pada tatalaksana klinis dan keparahan penyakit.
Pasien dengan hiperglikemia berat tidak memiliki penyakit yang lebih parah saat
masuk, seperti yang ditunjukkan oleh skor SOFA dan proporsi yang menyamai kegagalan
organ. Pasien dengan kadar glukosa normal saat masuk lebih sering mengalami syok septik,
yang dapat menjadi cerminan dari peningkatan jumlah pasien sepsis abdominal pada kelompok
ini dikaitkan dengan syok yang lebih banyak pada pasien ICU (data tidak ditunjukkan).
Hiperglikemia berat pada saat masuk dikaitkan dengan peningkatan kejadian acute kidney
injury dan infark miokard akut selama tinggal ICU pada pasien nondiabetes. Hiperglikemia
diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk infark miokard akut dan AKI. Meskipun komplikasi
ini mungkin telah berkontribusi pada outcome yang buruk pada pasien nondiabetes, hal tersebut
tidak diamati pada pasien diabetes. Pasien diabetes dengan hiperglikemia berat jarang
mengalami cedera paru akut. Penelitian sebelumnya melaporkan penurunan insiden cedera
paru akut pada pasien diabetes tanpa memperhitungkan kadar glukosa. Secara keseluruhan,
terjadinya komplikasi di ICU tidak mungkin memberikan penjelasan seragam mengenai
mortalitas yang meningkat pada pasien diabetes dan nondiabetes dengan hiperglikemia berat
pada saat masuk. Bila dikoreksi untuk kadar laktat saat masuk, hiperglikemia tidak terkait
dengan peningkatan mortalitas pada pasien nondiabetes pada penelitian yang sebelumnya
dijelaskan untuk semua pasien kritis (tidak dianalisis per status diabetes). Temuan ini harus
ditafsirkan dengan hati-hati, karena penelitian kami tidak dirancang untuk menganalisis
hubungan antara laktat dan glukosa, kehilangan laktat >20% pasien, dan glukosa tidak
ditentukan secara bersamaan.
Kami mengukur 15 biomarker plasma yang dapat mengambarkan respon inang
terhadap sepsis sebagai upaya tambahan dalam menunjukkan mekanisme dimana
hiperglikemia berat dapat mempengaruhi angka kematian. Kami berhipotesis bahwa
hiperglikemia akan semakin memburuk akibat aktivasi jalur inflamasi dan prokoagulan yang
dideregulasi pada pasien dengan sepsis. Memang, hiperglikemia dikaitkan dengan peningkatan
produksi sitokin pada pasien septik. Selain itu, hiperglikemia akut meningkatkan respons
prokoagulan yang diinduksi endotoksin pada individu sehat dan bukti menunjukkan efek
stimulasi umum hiperglikemia akut dan kronis akibat koagulasi. Hebatnya, kami menemukan
respons protein dan sitokin yang lemah, dan pengurangan antikoagulan protein C dan
antitrombin yang menurun pada pasien dengan hiperglikemia saat masuk, menunjukkan bahwa
hiperglikemia dapat membalikkan respons host yang terpuruk selama sepsis. Sejalan dengan
hal tersebut, aktivasi sel endotel sebagian terhambat pada pasien hiperglikemia jika
dibandingkan pasien dengan tingkat glukosa saat masuk normal. Khususnya, beberapa
penelitian yang menunjukkan hiperglikemia memang dapat menghambat respons inflamasi,
yaitu individu nondiabetes yang sehat dengan peningkatan konsentrasi glukosa menunjukkan
penurunan responsivitas leukosit darah utuh setelah stimulasi ex vivo dengan endotoksin dan
hiperglikemia menghambat respons imun bawaan dalam berbagai kondisi.
Penelitian ini menunjukkan hubungan antara hiperglikemia saat masuk dengan respons
biomarker host hanya ada pada pasien tanpa diabetes. Data ini juga menunjukkan bahwa
hiperglikemia dikaitkan dengan outcome sepsis yang buruk akibat mekanisme yang tidak
terkait dengan inflamasi, koagulasi, atau aktivasi sel endotasi yang berlebihan. Penelitian kami
memiliki kekuatan dan keterbatasan. Ini adalah penelitian pertama tentang hubungan antara
glukosa dan outcome sepsis pada pasien yang dirawat di ICU dan yang pertama kali
menunjukkan hubungan antara konsentrasi glukosa masuk dan respons inang. Meskipun kami
berusaha menyingkirkan pengaruh intervensi pada kadar glukosa dengan menggunakan
pengukuran glukosa saat pertama amsuk dan tidak termasuk pasien yang dipindahkan dari ICU
lain, kami tidak dapat mengesampingkan dengan pasti bahwa pasien mungkin telah menerima
intervensi sebelum masuk ke ICU yang mempengaruhi kadar glukosa, seperti cairan intravena,
steroid, dan/atau katekolamin. Karena diabetes hanya dicatat ketika seorang pasien dirawat
dengan riwayat diabetes atau penggunaan obat antidiabetes, kemungkinan pasien
hiperglikemia berat akibat diabetes tidak dapat dikecualikan. Memang, kadar HbA1C yang
diukur dalam subkelompok pasien tanpa diabetes (6,8%) mungkin memiliki diabetes ringan
yang tidak diketahui sebelum masuk ICU, mengkonfirmasi penelitian sebelumnya yang
menemukan 5,5% atau 9,3% pasien kritis dengan HbA1C yang tinggi. Mengetahui riwayat
hiperglikemia sebelumnya sangat penting karena dalam penelitian terbaru menyatakan adanya
hubungan antara hiperglikemia akut dan outcome sepsis pada pasien dengan hiperglikemia
kronis. Pengamatan lain yang melaporkan tentang hubungan antara diabetes yangsudah
diketahui dan outcome pasien dengan sakit kritis tidak melaporkan tingkat HbA1C pasien yang
tidak memiliki riwayat diabetes dan seperti yang dapat diketahui sebagian dari penelitian kami
untuk tingkat hiperglikemia kronis. Selain itu, pada pasien yang telah diketahui diabetes, kami
tidak memiliki informasi tentang penanganan dan komplikasi penyakit sebelumnya.
Kesimpulan
Hiperglikemia berat pada saat baru masuk ICU dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas 30 hari pada pasien diabetes dan nondiabetes dengan mekanisme yang tidak terkait
dengan pembengkakan, koagulasi, atau aktivasi sel endothel yang berlebihan.