Anda di halaman 1dari 4

Peluang Bisnis SPPBE

SPPBE (Stasiun Pengangkutan dan Pengisian Bulk Elpiji) program tabung 3kg.

Seperti halnya SPBU unit usaha SPPBE ini juga merupakan perusahaan Franchise rekanan dari PT
PERTAMINA namun dengan komitment dan mekanisme yang berbeda, dan perbedaan tersebut antara lain :

Pengusaha SPBU harus melakukan penjualan sendiri terhadap stock BBM nya sedangkan Pengusaha SPPBE
tidak melayani penjualan melainkan cukup melakukan refill atau jasa isi ulang saja khususnya untuk tabung 3kg
(Program konversi minyak tanah) karena stock Elpiji seluruhnya akan diambil dan didistribusikan oleh agen-agen
elpiji rekanan yang telah ditunjuk oleh PT PERTAMINA.

Pengusaha SPBU diharuskan membeli/menebus Delivery Order (DO) sebelum mendapat kiriman BBM
sedangkan Pengusaha SPPBE tidak perlu melakukan hal tersebut sehingga Pengusaha SPBU harus
menyediakan modal kerja sedangkan pengusaha SPPBE tidak membutuhkan modal kerja, sebagaimana Kita
maklumi bahwasanya besar/kecilnya modal kerja ini dipengaruhi oleh fluktuasi atau naik/turunnya harga BBM.

Saat ini Provit margin SPBU sebesar Rp205; per liter sedangkan filling fee SPPBE adalah Rp 300; per kg dan
masih ditambah lagi jasa transportasi yang mana besarannya tergantung jarak tempuh dengan depot
pengambilan.

Selain perbedaan komitment Franchise antara SPBU dan SPPBE tersebut ada perbedaan lainya yaitu yang
menyangkut volume lahan dan nilai Investasi, jika untuk mendirikan SPBU cukup dengan lahan minimal
700(tujuh ratus) m2 dan investasi dibawah Rp 5.000.000.000; (lima milyar rupiah) sedangkan SPPBE
membutuhkan lahan minimal 1(satu) hektar dan investasi kisarannya rata-rata diatas Rp 10.000.000.000;
(sepuluh milyar) tergantung kapasitas dan pemanfaatan kualitas teknologi yang akan digunakan.

Dan sebagai gambaran dengan ini Kami berikan ilustrasi Perhitungan Harga Pokok Produksi Usaha SPPBE
dengan asumsi jatah kuota 30 ton/hari dan jarak tempuh pengambilan dari depot 125km.

PENDAPATAN

1. Filling fee 30.000 x Rp 300; x 30 = 270.000.000;


2. Transport fee 3.750** x Rp 835; x 30 = 93.937.500;
Pendapatan kotor/bulan =363.937.500;

Biaya Variable

1. BBM = 30.000.000;
2. Listrik = 15.000.000;
3. Utilities/lain-lain = 5.000.000;
Biaya variable 50.000.000;

Biaya Operasional/Tetap

 Gaji tetap = 25.000.000;


 Tunjangan = 4.000.000;
 Askes/Astek = 2.000.000;
 Air&Telp = 2.000.000;
 Penyusutan = 10.000.000;
 Perawatan & sosial = 1.000.000;
Biaya Tetap 44.000.000;
Total Biaya/bulan (Biaya Variabel + Biaya Operasional) = 94.000.000; -
Laba bersih per bulan (Pendapatan Kotor – Biaya) = 269.937.500;
Laba bersih pertahun(sebelum Pph) 3.239.250.000;

(** = dari rumus perbandingan antara jarak X 15 X skid tank)

Dengan asumsi perhitungan tersebut maka bilamana seluruh dana yang di Investasikan untuk mendirikan unit
Usaha SPPBE adalah senilai Rp 15.000.000.000;(lima belas milyar rupiah) maka dalam jangka waktu antara 5
(lima) tahun akan kembali modal atau terjadi BEP (Break Event Point).

Laba bersih per bulan (Pendapatan Kotor – Biaya) = 269.937.500;

PERSYARATAN

SPBU bisa diajukan atas nama perorangan, Koperasi berbadan hukum atau Perseroan Terbatas (PT)
sedangkan SPPBE hanya bisa diajukan oleh Koperasi berbadan Hukum dan Perseroan Terbatas(PT) dengan
persyaratan awal :

 KTP yang masih berlaku.


 Akta pendirian Perusahaan.
 NPWP Badan Usaha (Nomor Pokok Wajib Pajak)
 Surat tanah (Sertifikat Hak milik/Akta tanah)
 Rekening koran.
Sedangkan persyaratan lainya berupa HO, IMB, SIUP, TDP, ijin peruntukan lahan,dll yang diterbitkan oleh
Pemda setempat menyusul setelah turunnya Surat rekomendasi dari PT PERTAMINA.

Simak penjelasan Wahyudin Akbar (Vice President Gas Domestik PT


Pertamina) berikut ini:

Aktifitas Pengisian Elpiji

Satu lagi alternatif investasi ditawarkan PT Pertamina (Persero). Setelah di era sebelumnya cukup gencar
menawarkan alternatif investasi melalui pendirian SPBU, kini Pertamina memberi kesempatan pebisnis investasi
melalui pendirian Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE), yang bisnisnya adalah jasa
pengisian gas LPG (filling station).
Seperti dijelaskan Wahyudin Akbar, Vice President Gas Domestik PT Pertamina, pengadaan program ini tak
lepas dari konversi minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari pemerintah yang untuk itu butuh
infrastruktur. “Konversi minyak tanah ke LPG yang awalnya ditargetkan butuh waktu lima tahun kemudian
dipercepat menjadi hanya dua-tiga tahun sehingga pembangunan infrastrukturnya pun dipercepat. Salah satu
caranya dengan pengadaan SPPBE,” Wahyudin menjelaskan. Pengadaan ini dilakukan agar pendistribusian
LPG lebih efisien.

Bisnis SPPBE sebenarnya hanya pada jasa pengisian LPG karena gasnya sendiri milik Pertamina. Pada
dasarnya, yang menjual LPG tetap Pertamina. Urutan jalur distribusi LPG-nya sendiri: dari kilang Pertamina gas
dikirim ke depot menggunakan tangki, dan dari depot dikirim ke SPPBE menggunakan mobil tangki. “Di SPPBE
atau bottling plant itulah LPG dibotolkan ke kemasan ukuran 3 kg, 12 kg dan 50 kg,” Wahyudin menguraikan.

Nah, untuk mendirikan SPPBE, Pertamina menawarkan kemitraan ke investor. Bagi-bagi keuntungan yang
ditawarkan sebatas uang jasa pengisian LPG. Uang jasa pengisian itu besarnya Rp 300/kg untuk tabung gas
ukuran 3 kg, sehingga untuk satu tabung uang jasa pengisian yang diterima investor Rp 900. Sejauh ini,
berdasarkan studi kelayakan Pertamina, investor disarankan membuka SPPBE dengan kapasitas pengisian 30
ton/hari. Dengan asumsi ini, dalam 30 hari atau sebulan, sebuah SPPBE dapat mengisi LPG sebanyak 900 ton.
Dan uang jasa pengisian yang diperoleh dapat mencapai Rp 270 juta/bulan. “Jika biaya-biaya seperti biaya
listrik, biaya tenaga kerja dan sebagainya yang dikeluarkan setiap bulannya hanya sekitar Rp 100 juta, maka dia
masih akan memperoleh keuntungan Rp 170 juta,” Wahyudin merinci.

Keuntungan bersih per bulan Rp. 170 jt

Menurut Wahyudin, pada skala itulah investor dapat menikmati hasil investasi dalam membangun SPPBE. Dia
menyayangkan, terkadang ada investor yang membangun SPPBE dengan kapasitas di atas 30 ton/hari.
“Pertamina selalu merekomendasikan SPPBE dengan kapasitas 30 ton ini, sesuai dengan studi kelayakan kami.
Yang jadi masalah, kalau ada investor yang menginginkan lebih dari itu, sehingga bisnis LPG ini akan menjadi
bisnis yang oversupply,” paparnya.

Modal buat membangun stasiun berkapasitas 30 ton/hari itu berkisar Rp 3-6 miliar. Dengan modal sejumlah itu,
pemilik bisa memperoleh revenue senilai Rp 270 juta/bulan. Pemilik tidak perlu modal LPG, karena LPG-nya
milik Pertamina. Persyaratan membangun SPPBE menurut Wahyudin hanya izin prinsip dari pemda. Luas tanah
yang diminta biasanya 75 x 68 meter. Tentu saja harus di daerah yang sedang dilakukan konversi dari minyak
tanah ke gas.

Teuku Rizal Pahlevi termasuk entrepreneur yang juga investasi membangun SPPBE bekerja sama dengan
Pertamina. Rizal memang banyak berbisnis di industri migas, tak heran dia juga memiliki SPBU serta mengageni
LPG dan minyak tanah selain punya SPPBE. SPPBE miliknya (PT Agam Seulawah Jaya) berada di Desa Pringu,
Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, sudah dia jalankan sejak 1,5 tahun lalu.

Investasi yang dikeluarkan untuk pembuatan SPPBE mencapai Rp 18 miliar, termasuk tanahnya. Maklum, buat
lahan saja Rizal mengeluarkan dana sekitar Rp 2 miliar. Dia mengakui investasinya tergolong mahal karena
termasuk angkatan pertama yang membuka SPPBE. “Program SPPBE Pertamina tidak berhasil di tahun
pertama, maka sekarang syarat pendirian lebih dilonggarkan. Dengan dana Rp 3-4 miliar saja, orang sudah bisa
membuka,” ujar lelaki yang mempekerjakan 42 karyawan di SPPBE miliknya.

SPPBE memperoleh uang jasa pengisian LPG Rp 300/kg. Dengan demikian uang jasa pengisian setiap tabung
Rp 900. Namun uang jasa pengisian ini dibatasi, SPPBE hanya dapat memperoleh uang jasa pengisian senilai
Rp 900/tabung buat 250 ribu tabung sebulan atau sekitar 10 ribu tabung/hari. Di atas angka tersebut, uang jasa
pengisian per tabung bagi SPPBE hanya Rp 840. Peraturan penurunan uang jasa pengisian ini menurut Rizal
cukup merugikan pemilik stasiun seperti dirinya.

Berdasarkan hitungan bisnisnya, investasi di SPPBE ini baru dapat balik modal dalam 10 tahun, dengan asumsi
pengisian per hari mencapai 16 ribu tabung. Sementara SPPBE Rizal sendiri dapat mengisi sekitar 15 ribu
tabung sehari atau 45 ton LPG. “Dan itu pun keagenannya masih diatur Pertamina,” ujarnya dengan nada
kecewa. Tak heran Rizal mengatakan, ke depan, dia tidak akan lagi membangun SPPBE. “Yang satu ini saja
masih rugi. Kapok saya,” katanya.

Ya, bisa jadi tak semua investor SPBU bernasib murung seperti Rizal. Pertamina sendiri menargetkan minimum
ada 250 SPPBE di seluruh Indonesia tahun 2009 ini, dengan kapasitas pengisian 30 metrik ton per hari. Saat ini
yang sudah beroperasi 150 SPPBE. Pertamina juga memiliki beberapa SPPBE itu tetapi ditargetkan tak lebih
dari 15 unit, selebihnya ditawarkan ke investor. Pertamina pun tengah membuat persetujuan kontrak dengan
pihak swasta untuk membangun hampir 400 SPPBE. “Izinnya sudah kami keluarkan, tapi kami tidak yakin semua
akan merealisasi. Kami hanya menargetkan, dari 400 itu kalau yang merealisasi 300-an, sudah cukup memenuhi
kebutuhan,” kata Wahdyudin percaya diri

Anda mungkin juga menyukai