Oleh : Munawwir
ABSTRAK
Gosip atau menggunjing atau ghibah sepertinya saat ini sudah menjadi hiburan
dan juga komoditas ekonomi. Dari arti harfiahnya bisa diartikan dengan informasi
atau berita yang menghibur. Kegiatan menggunjing atau ghibah menjadi hiburan
yang sesungguhnya adalah perbuatan maksiat atau dosa, sebagai komoditas
ekonomi karena acara-acara gosip ini ditayangkan untuk mendapatkan
keuntungan dari para pemasang iklan. Kalau kita lihat fenomena yang terjadi
sekarang ini, orang tidak ada rasa malu sedikit pun dalam menggosip atau
menggunjing. Stasiun televisi pun seolah-olah saling berlomba untuk
menampilkan informasi-informasi gosip. Mereka juga memoles acara tersebut
sehingga seolah-olah menjadi acara prestig dan glamor, bahkan mereka para
penyaji pun seolah-olah merasa bangga. Secara Bahasa: Lawan dari nampak
(Musytaq dari al-ghib), yaitu segala sesuatu yang tidak diketahui bagi manusia
baik yang bersumber dari hati atau bukan dari hati. Jadi defenisi ghibah secara
bahasa adalah membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya baik isi
pembicaraan itu disenanginya ataupun tidak disenanginya, kebaikan maupun
keburukan. Secara Definisi: Seorang muslim membicarakan saudaranya sesama
muslim tanpa sepengetahuannya tentang hal-hal keburukannya dan yang tidak
disukainya, baik dengan tulisan maupun lisan, terang-terangan maupun sindiran.
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah yang menciptakan semua baik yang ada pada
manusia atau pun apa yang melingkupi kehidupan manusia. Lidah, merupakan
anungrah Allah yang dapat membawa manfaat dan sebaliknya bisa menjadi
penyebab masuknya seseorang kedalam api neraka. Ghibah yang merupakan salah
satu ulah lidah yang sekarang telah menjadi budaya bagi ibu-ibu yang didorong
oleh penyakit hati. Tidak hanya berhenti disana, ghibah telah dibiasakan dengan
adanya infotaiment yang bisa kita lihat tiap pagi, siang sore, dan itu menjadi
tayangan favorit dari berbagai kalangan, dari kecil hingga dewasa. Miris memang,
ketidak tahuan hokum tentang ghibah merupakan salah satu factor kenapa minat
terhadap ghibah slalu meningkat.
PEMBAHASAN
Secara etimologi, ghibah berasala dari kata Ghaba- Yaghibu yang artinya
adalah mengupat, menurut Jalaluddin bin Manzur, ini juga berarti fitnah, umpatan,
atau gunjingan. Dapat juga diartikan membicarakan keburukan orang lain
dibelakangnya atau tanpa sepengetahuan yang dibicarakan. Disisi lain an-Nawawi
mendefinisikan ghibah adalah mengupat atau menyebut orang lain yang ia tidak
suka atau memebencinya, terutama dalam hal kehidupannya. Beliau mengatakan
bahwa jarang sekali orang yang bisa lepas dari menggunjing orang lain.
Secara terminology atau bahasa, ghibah adalah memebicarakan orang lain
tanpa sepengetahuannya mengenai sifat atau kehidupannya, sedangkan jika ia
mendegar maka ia tidak menyukainya. Dan terlebih jika yang dibicarakan tidak
terdapat dalam diri yang dibicarakan itu berarti dusta atau mengada-ada dan itu
merupaka dosa yang lebih besar dari ghibah itu sendiri. Tidak berbeda dengan
definisi yang disebutkan oleh al-Maragi dalam menjelaskan tentang ghibah yaitu
menbicarakan kejelekan atau aib orang lain dibelakangnya, dan jika ia mnegetahui
maka ia tidak suka walaupun yang dibicarakan adalah benar. Dalam hadits Nabi
saw pun telah dijelaskan pengertian ghibah sebagai beriku;
Dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang berbicara tentang larangan untuk
membicarakan orang lain dan itu merupakan perbuatan buruk, hal ini dijelaskan
dalam Qs, al-Hujurat: 12,
Adapun hadits yang berbicara tentang Ghibah atau bahaya lisan sangat
banyak dijumpai dalam kitab-kitab hadits berikut;
ع ْن أ َ ِبي ُه َري َْرة َ قَا َل قَا َل َ ٍصا ِلح َ ع ْن أ َ ِبي َ ينٍ ص ِ ع ْن أ َ ِبي َحَ ص ِ َحدَّثَنَا أَبُو َب ْك ٍر َحدَّثَنَا أَبُو ْاْلَحْ َو
ت ْ اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر فَ ْل َيقُ ْل َخي ًْرا أ َ ْو ِل َي ْس ُك
َّ سلَّ َم َم ْن َكانَ يُؤْ ِم ُن ِب
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللاَّ سو ُل ُ َر
“ Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata
benar atau diam”.(HR.Bukhari-Muslim)
سانِ ِه َولَ ْمَ سلَّ َم يَا َم ْعش ََر َم ْن آ َمنَ ِب ِل َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا َّ سو ُل ُ ي قَا َل قَا َل َر ِِّ ع ْن أَبِي َب ْرزَ ة َ ْاْل َ ْسلَ ِم َ
َّ ع ْو َراتِ ِه ْم يَتَّبِ ُع
َُّللا َ ان قَ ْل َبهُ ََل ت َ ْغت َابُوا ْال ُم ْس ِل ِمينَ َو ََل تَت َّ ِبعُوا
َ ع ْو َراتِ ِه ْم فَإِنَّهُ َم ْن اتَّبَ َع ُ اْلي َمِ ْ َي ْد ُخ ْل
َ ع ْو َرتَهُ َي ْف
ِِ ضحْ هُ فِي َب ْيتِه َّ ع ْو َرتَهُ َو َم ْن يَتَّبِ ْع
َ َُّللا َ
“ wahai sekalian yang beriman dilidahnya dan belum masuk kedalam hatinya,
janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah kalian
mencari-cari aib mereka karena siapa yang mencari-cari aib saudaranya,
niscaya Allah akan mencari aibnya, niscaya Dia akan membuka kejelekannya
meskipun berda dalam rumahnya”. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Ibn Hibban).
ع ْب ٍد َحتَّى ُ سلَّ َم ََل َي ْست َ ِقي ُم ِإي َم
َ ان َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َّ سو ُل
َ َِّللا ُ ع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِكٍ قَا َل قَا َل َر َ ُ َحدَّثَنَا قَت َادَة
ُسانُه َ يم قَ ْلبُهُ َو ََل َي ْست َ ِقي ُم قَ ْلبُهُ َحتَّى َي ْست َ ِق
َ يم ِل َ َي ْست َ ِق
“Iman seorang hamba tidak istiqomah sebelum hatinya istiqomah, dan hatinya
tidak istiqomah sebelum lidahnya istiqomah.”(HR. Ahmad)
ع ْن
َ س ْع ٍد َ ع ْن
َ س ْه ِل ب ِْن ِ س ِم َع أَبَا َح
َ از ٍم َ ي َ ع َم ُر ب ُْن
ٍِّ ع ِل ُّ َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ب ُْن أ َ ِبي بَ ْك ٍر ْال ُمقَد َِّم
ُ ي َحدَّثَنَا
ْ َ ض َم ْن ِلي َما بَيْنَ لَحْ يَ ْي ِه َو َما بَيْنَ ِرجْ لَ ْي ِه أ
ُض َم ْن لَه ْ َسلَّ َم قَا َل َم ْن ي
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َّ سو ِل
َ َِّللا ُ َر
َْال َجنَّة
“ Siapa yang menjamin bagiku apa diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa
diantara dua kakinya (kemaluannya), maka aku menjamin baginya surga.”(HR.
al-Bukhari, Tirmudzi, dan Ahmad)
Ada dua pelanggaran yang dilkukan oleh yang suka membicarakan orang
lain, yaitu pelanggaran terhadap hak Allah, karena ia melakukan apa yang
dimurkainya, dan tebusannya adalah dengan taubat dan menyesali perbuatannya.
Sedangkan yang kedua adalah pelanggaran terhadap kehormatan sesama. Jika
ghibah telah di dengar oleh orangnya maka dia harus menemuinya dan meminta
maaf atas perbuatannya dalam membicarakan aibnya. Dalam hal ini sangatlah
berat karena dosanya tidak hilang selama orang tersebut tidak memaafkan. Dalam
hal ini Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda:
َّ سو َل
َِّللا ُ ع ْن أ َ ِبي ُه َري َْرة َ أ َ َّن َر َ ي ِِّ س ِعي ٍد ْال َم ْقب ُِر
َ ع ْن َ ٌَحدَّثَنَا ِإ ْس َما ِعي ُل قَا َل َحدَّثَنِي َما ِلك
َ ظ ِل َمةٌ ِْل َ ِخي ِه فَ ْل َيت َ َحلَّ ْلهُ ِم ْن َها فَإِنَّهُ لَي
ٌ ْس ث َ َّم دِين
َار َو ََل ْ َت ِع ْندَهُ َم
ْ سلَّ َم قَا َل َم ْن َكان
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ
ُ َت أ َ ِخي ِه ف
ْ ط ِر َح
ت َ سنَاتٌ أ ُ ِخذَ ِم ْن
ِ سيِِّئ َا َ د ِْر َه ٌم ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يُؤْ َخذَ ِْل َ ِخي ِه ِم ْن َح
َ سنَاتِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم َي ُك ْن لَهُ َح
ع َل ْي ِه
َ
1. Dengan slalu ingat bahwa Allah sangat membenci seseorang yang mengunjing
saudaranya, sedangkan kebaikan akan kembali pada orang yang dibicarakan dan
jika pun orang yang dibicarakan tidak memilki kebaikan maka keburukannya akan
kembali pada yang menggunjing.
2. Jika terlintas dalam fikiran untuk melakukan ghibah, maka hendaklah introspeksi
diri dengan melihat aib diri sendiri dan slalu berusaha memperbaikinya. Mestinya
merasa malu jika membicarakan aib orang lain sedangkan aib sendiri tidak
terhitung jumlahnya.
3. Jika pun merasa tidak memiliki aib, maka hendaklah senantiasa mensyukuri
nikmat yang telah dilebihkan Allah, bukan malah dengan mengotori diri dengan
melakukan ghibah.
4. Menjada diri dari sifat-sifat tercela seperti iri dengki dengan keberhasilan orang
lain, sombong dengan kelebihan diri sendiri, serta menjauhi sifat dendam.
5. Jika berghibah karena pengaruh teman, atau karena takut dikucilkan karena tidak
ikut serta dalam ghibah, maka hendaklah selalu mengingat bahwa murka Allah
terhadap siapa yang mencari keridhaan manusia dengan sesuatu yang membuat
Allah murka.
6. Berdo’a mohon perlindungan Allah agar terhindar dari perbuatan-perbuatan keji.
Serta sebisa mungkin menjauhi perkumpulan-perkumpulan yang tidak
bermanfaat.
Dalam hadits nabi yang menyatakan tentang ghibah ada dua hal yang
sangat urgen yaitu “menceritakan aib” dan “benci jika ia mengetahui” maka dari
dua kalimat inti tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang ternasuk ghibah adalah
yang membuka iab orang lain dan jika ia mngetahui maka ia tidak suka dan
akibatnya akan mendatangkan permusuhan, kemarahan, dan bahkan bisa
pembunuhan. Dalam kasus ini yang perlu kita cermati dalam relita social kita,
infotaiment misalnya yang memberitakan seorang public figure dimana terkadang
sanag public figure tersebut merasa diuntungkan dengan adanya pemberitaan
mengenai dirinya, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah khawatir akan
adanya pergeseran pemahaman masyrakat tentang makna bahaya ghibah, dan itu
akan dianggap sepele. Sedangkan hukuman bagi yang menggosip adalah tidak
ringan seperti yang dijelaskan dalam surah al-Hujurat ayat 12, disana ghibah
dianalogikan seperti seseorang yang memakan daging saudaranya yang sudah
busuk.
Dari keterangan al-Qur’an dan hadits Nabi di atas jelaslah bahwa ghibah
merupakan perbuatan tercela yang harus dihindari oleh muslim karena akan
mengakibatkan perselisihan dikalangan masyarakat. Ghibah akan mendatangkan
banyak mudharat, diantaranya perselisishan, permusuhan, dendam, perceraian dan
bahkan bisa saja terjadi pembunuhan. Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin
mencegah hal-hal tersebut, dan mengecam bagi yang melakukan perbuatan
tersebut akan mendapatkan siksaan Allah.
Ghibah dapat dicegah dengan slalu mengingat bahwa Allah Maha Melihat
dan Maha Mengetahui, ingat akan aib diri sendiri, dan tidak iri dengan
keberhasilah saudaranya serta senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah
diberikan Allah. Adapun ghibah yang dibebaskan atau ditolerir adalah ghibah
dalam hal amr ma’ruf nahi munkar, dalam rangka menegakkan kebenaran, dalam
hal ini termasuk berita tentang kasus suap (korupsi).
DAFTAR PUSTAKA
Abullah bin Jarullah, Awas Bahaya Lidah, terj. Abu Haidar dan Abu Fahmi.
Jakarta: Gema Insani Press. 2004.
Ibnu Qudamah, Jalan Orang-Orang yang Dapat Petunjuk, terj. Kathur Suhardi.
cet XIII. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2007.
Taimiyah dkk, Ghibah, terj. Abu Azzam. Jakarta: Pustaka Kautsar. 1992.