Anda di halaman 1dari 9

Mengapa O. rhinoceros menjadi Hama padaTanaman Kelapa Sawit ?

Oleh:
Ida Roma Tio Uli Siahaan dan Syahnen

Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi


Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan
Jl. Asrama No. 124 Medan Kel. Cinta Damai Kec. Medan Helvetia 20126.

Pendahuluan
Oryctes rhinoceros L atau kumbang tanduk (Coleoptera: Scarabidae)
merupakan salah satu hama penting pada kelapa sawit dan dikenal sebagai hama
pengerek pucuk kelapa sawit. Hama ini menyebar hampir di seluruh provinsi yang
ada di Indonesia karena ketersediaan inang dan tumpukan bahan organik di
lapangan sebagai tempat perkembangbiakan dan makanan larva. Darmadi (2008)
menyatakan bahwa hama ini menyerang tanaman kelapa sawit yang ditanam di
lapangan sampai umur 2,5 tahun dengan merusak titik tumbuh sehingga terjadi
kerusakan pada daun muda. Kumbang tanduk pada umumnya menyerang tanaman
kelapa sawit muda dan dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada
tahun pertama menghasilkan hingga 69%, bahkan menyebabkan tanaman muda
mati mencapai 25%.
Meningkatnya pemakaian lahan secara besar-besaran untuk penanaman
kelapa sawit di Indonesia menambah jumlah lahan monokultur yang menguntungkan
bagi perkembangan hama. Hal tersebut terjadi karena pakan terus menerus
tersedia sehingga menunjang keberlangsungan hidup hama dengan baik.
Permasalahan hama kumbang badak ini semakin serius dengan pemanfaatan
tandan kosong pada areal tanaman kelapa sawit sebagai mulsa dan pengganti
pupuk non organik. Pemanfaatan tandan kosong banyak diaplikasikan pada areal
tanaman belum menghasilkan (TBM) dan pada tanaman menghasilkan (TM).
Dampak negatif pemanfaatan tandan kosong yaitu sebagai tempat
berkembangbiaknya O. rhinoceros. Akibat serangan hama ini perkebunan kelapa
sawit bisa mengalami kerugian finansial yang sangat besar (Santi dan Sumaryo,
2008).

1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status O. rhinoceros menjadi Hama
Proses pertumbuhan dan perkembangan semua makhluk hidup dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik faktor luar maupun dari dalam yang mencakup faktor biotik
dan abiotik. Faktor biotik meliputi tanaman sumber makanan, musuh alami (predator
dan patogen), manusia (pengelolaan perkebunan, pemupukan, aplikasi pestisida,
konsep PHT dan cara bercocok tanam), adanya tanaman inang alternatif serta
perilaku OPT. Faktor abiotik atau faktor lingkungan fisik meliputi suhu, kelembaban
dan cahaya, serta tempat berlindung dan berbiak.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas dapat berpengaruh pada ukuran
larva dan waktu yang diperlukan untuk mematangkan larva. Faktor-faktor fisik yang
mempengaruhi perkembangan larva kumbang ini terutama adalah faktor suhu,
kelembaban, serta intensitas cahaya. Larva tertarik pada amonia dan aseton, tetapi
menghindari asam asetat. Berikut ini dijabarkan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan O. rhinoceros.

1. Faktor Makanan dan Tempat Berkembangbiak


Pada ekosistem alami, makanan serangga terbatas dan musuh alami
berperan aktif selain hambatan lingkungan, sehingga populasi serangga rendah.
Sebaliknya pada ekosistem pertanian, terutama yang monokultur makanan
serangga relatif tidak terbatas sehingga populasi bertambah dengan cepat tanpa
dapat diimbangi oleh musuh alaminya.
Batang kelapa sawit yang
diracun dan masih berdiri sampai
pembusukan pada sistem
underplanting merupakan tempat
berkembangbiak yang paling baik bagi
kumbang tanduk. Selama lebih dari 2
tahun masa dekomposisi, batang yang
masih berdiri memberikan
Gambar tanaman yang masih berdiri pada
sistem underplanting dapat menjadi sarang perkembangbiakan 39.000 larva per
perkembangbiakan kumbang. hektar dibandingkan dengan batang
yang telah dicacah dan dibakar (500
larva per hektar). Hama ini biasanya berkembangbiak pada tumpukan bahan organik
yang sedang mengalami proses pembusukan. Tindakan yang membiarkan batang-
2
batang kelapa sawit tetap berada di kebun (lahan replanting) memberikan
kesempatan besar bagi hama Oryctes untuk berkembangbiak dengan baik sehingga
populasinya meningkat. Ketika batang kelapa sawit yang lama tidak bisa
menyediakan makanan dan tempat berbiak, maka Oryctes akan berpindah ke
tanaman replanting yang ada di sekitarnya. Jadi perlu kehati-hatian agar tindakan
budidaya yang diterapkan tidak mengundang kedatangan dan berkembangnya
hama.
Dari beberapa penelitian di daerah-daerah dapat ditentukan, bahwa pohon-
pohon kelapa yang tumbuh dekat pembuangan sampah mengalami kematian
sampai 60%, sedangkan 20-90% rusak berat. Makin jauh dari pembuangan sampah,
makin sedikit kerusakan yang diakibatkan Oryctes.
Tersedianya tumpukan batang kelapa sawit
atau kelapa baik yang masih berdiri maupun yang
sudah dicacah memberi peluang bagi O.
rhinoceros untuk mendapatkan tempat berbiak.
Karena kondisi tersebut menyediakan bahan-
Batang tanaman kelapa sawit
bahan organik dan tempat yang nyaman untuk yang telah dicacah dan lapuk
dapat menjadi breeding site
tinggal dan berkembangbiak. kumbang
Kumbang akan meletakkan telur pada sisa- Sumber: (PPKS, 2012)

sisa bahan organik yang telah melapuk. Misalnya batang kelapa sawit yang masih
berdiri dan telah melapuk, rumpukan batang kelapa sawit, batang kelapa sawit yang
telah dicacah, serbuk gergaji, tunggul-tunggul karet serta tumpukan tandan kosong
kelapa sawit.
Masalah kumbang tanduk saat ini
semakin bertambah dengan adanya aplikasi
tandan kosong kelapa sawit pada gawangan
maupun pada sistem lubang tanam besar.
Aplikasi mulsa tandan kosong sawit (TKS)
yang kurang tepat dapat mengakibatkan

Larva berkembang sangat baik pada timbulnya masalah kumbang tanduk di areal
tandan kosong kelapa sawit yang
kelapa sawit tua.
diaplikasikan pada piringan,
gawangan maupun pada sistem Replanting besar-besaran untuk
lubang tanam besar.
Sumber: (PPKS, 2012) penanaman kelapa sawit memberikan ruang

3
yang sangat menguntungkan bagi hama Oryctes. Kumbang ini jarang sekali
dijumpai menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun demikian,
dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit (TKS) yang
lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini sekarang juga dijumpai pada areal TM.

2. Faktor Iklim
Sejalan dengan perubahan iklim terjadi perubahan agroekosistem di sekitar
kebun dan boleh jadi jenis (klon) tanaman yang dikembangkan. Di samping itu
kemungkinan telah terjadi perubahan OPT penting di dalam kebun akibat faktor
iklim.
Faktor iklim atau cuaca mencakup suhu, cahaya, sinar matahari dan
kelembaban lingkungan. Dalam penelitian tentang sensor fisiologi, seperti suhu,
larva O. rhinoceros tertarik pada suhu 27-290C dan menghindari suhu yang lebih
rendah. Tingkah laku larva didominasi oleh faktor cahaya, larva bergerak
dipengaruhi oleh cahaya yang muncul secara tiba-tiba.
Di lingkungan alami, jika larva ditempatkan pada permukaan medium
perkembangbiakan larva akan cepat bergerak turun menjauhi cahaya, larva
bergerak mengikuti phototaktis negatif, kemungkinan hal ini merupakan adaptasi
untuk menghindar dari pemangsa. Larva tertarik pada kelembaban yang rendah (85-
95%) daripada kelembaban tinggi. Kondisi kebun yang banyak tunggul maupun
batang tanaman tua yang tidak tumbang menambah tinggi kelembaban sehingga
membuat larva O rhinoceros tertarik untuk tinggal lama di dalamnya. Menurut Daud
(2007), kondisi kebun yang tidak disanitasi sangat mendukung perkembangan O.
rhinoceros. Mekanisme ini dapat berjalan tunggal atau kombinasi untuk menuntun
larva keluar dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan
atau perkembangan.
Musim kemarau yang panjang dengan jumlah makanan yang sedikit akan
memperlambat perkembangan larva serta ukuran dewasa yang lebih kecil dari
ukuran normal. Suhu perkembangan larva yang sesuai adalah 27oC-29oC dengan
kelembapan relatif 85-95% (Bedford, 1981). Satu siklus hidup hama ini dari telur
sampai dewasa sekitar 6-9 bulan.

4
3. Faktor Perpindahan Tempat dan alternatif inang
Serangga hama dapat berpindah tempat secara aktif maupun pasif.
Perpindahan tempat secara aktif dilakukan oleh imago dengan cara terbang atau
berjalan. Imago O. rhinoceros dapat terbang untuk mencari tempat baru baginya
dalam berkembangbiak. Kemungkinan penyebaran hama ini sangat tinggi jika jarak
tanaman rapat. Jarak antar kebun satu dengan lainnya yang kondisinya tidak
disanitasi dapat mempengaruhi populasi hama ini. Kurangnya hembusan angin di
sekitar kebun juga menjadi salah satu faktor tingginya serangan. Perilaku
penyebaran hama ini umumnya menghindari hembusan angin kencang karena
kesulitan dengan berat badannya (Daud, 2007). Selain itu, tersedianya tanaman
inang lain seperti kelapa di sekitar tanaman kelapa sawit turut menambah
ketersediaan pakan dan tempat berbiak bagi O. rhinoceros.
Kumbang O. rhinoceros terbang dari tempat persembunyiannya menjelang
senja sampai agak malam (sampai dengan pkl. 21.00 WIB), dan jarang dijumpai
pada waktu larut malam. Dari pengalaman diketahui bahwa kumbang banyak
menyerang kelapa pada malam sebelum turun hujan.
Perpindahan O. rhinoceros secara pasif dilakukan oleh faktor lain seperti
terbawa pada tanaman yang dipindahkan oleh manusia melalui pakaian, sepatu
maupun alat-alat pertanian yang digunakan. Di tempat yang baru populasi serangga
ini bertambah dengan cepat bila faktor lingkungan mendukungnya, seperti tersedianya batang-
batang kelapa atau kelapa sawit busuk yang kaya bahan organik. Hal ini terkait lagi dengan
sanitasi kebun dan faktor kebun yang berdekatan satu sama lain.

4. Faktor Aplikasi Insektisida yang Tidak Bijaksana dan Aplikasi Insektisida


Biologi/Hayati serta Pemanfaatan Feromon
Penggunaan insektisida yang tidak bijaksana akan menyebabkan
permasalahan hama semakin kompleks, b a n y a k m u s u h a l a m i y a n g m a t i
sehingga populasi serangga b ert a mbah tinggi di sa mpi n g
b e r k e m b a n g n y a resistensi, resurgensi dan munculnya hama sekunder. Hal ini
dapat terjadi bila perilaku petani yang terus menerus memakai insektisida dengan
bahan aktif yang sama dan cara aplikasi yang tidak tepat.
Perlakuan insektisida tidak efektif mematikan hama bila jika kondisi kebun
tidak disanitasi karena kondisi kebun seperti itu selain sangat mendukung

5
perkembangan hama juga membuat pengelolaan hama menjadi sulit dilakukan.
Perlakuan insektisida melalui penginfusan batang pada tanaman kelapa belum
menunjukkan hasil maksimal (Daud, 2007). Serangan awal hama ini terlebih dahulu
memakan pucuk daun yang belum membuka di saat konsentrasi insektisida sangat
rendah sampai di pucuk (Ruskandi dan Setiawan, 2004 dalam Daud, 2007).
Pemakaian insektisida yang tidak sesuai dari segi aplikasinya justru tidak akan
mengurangi populasi hama, seperti aplikasi insektisida Marshal 200 EC di pucuk
akar.
Untuk itu diperlukan suatu pengendalian menggunakan insektisida secara
bijaksana dan tepat sasaran. Saat ini sudah banyak diteliti pemakaian insektisida
biologi seperti pemanfaatan jamur Metarhizium, Baculovirus dengan maksud
penularan dan pemasangan perangkap menggunakan feromon.
Metarhizium anisopliae starin Oryctes merupakan jamur yang dapat
dimanfaatkan untuk menekan perkembangan O. rhinoceros. Jamur ini dapat
ditaburkan pada sarang aktif hama yaitu pada tumpukan sisa-sisa bahan organik
(misalnya: tandan kosong, pupuk kandang, sekam padi, serbuk gergaji, jerami,
tumpukan sampah/batang kelapa, dll) yang sudah melapuk, kemudian timbun
dengan tanah.
Penggunaan perangkap feromon agregasi etil 4- oktanoat dengan ketinggian
perangkap 4 meter lebih baik dalam memerangkap kumbang O. rhinoceros di areal
kebun sawit yang belum menghasilkan. Penambahan tinggi perangkap tidak
memberikan pengaruh terhadap pemerangkapan kumbang O. rhinoceros. Total
kumbang yang terperangkap rata-rata 14,50 ekor dan yang paling banyak
terperangkap adalah kumbang betina. Menurut Herman, dkk. (2012) hal ini mungkin
disebabkan kumbang jantan lebih banyak tertarik dengan feromon agregasi
dibandingkan yang jantan. Hasil penelitian PPKS (2007) juga menyatakan bahwa
dengan penggunaan perangkap feromon lebih banyak O. rhinoceros betina yang
terperangkap daripada kumbang jantan dengan perbandingan 60-80% betina dan
20-40% jantan.
Saat ini pengendalian O. rhinoceros yang paling efektif adalah pemanfaatan
feromon agregat ethyl-4-methyl octanoate. Feromon ini merupakan feromon
generasi baru untuk pengendalian O. rhinoceros di perkebunan kelapa sawit.
Feromon ini menghasilkan bahan aktif ethyl-methyl octanoate, 4-methyl-5-nonanol
dan asam octanoate yang dipasang pada ferotrap PVC (diameter 5 inchi) dengan
6
panjang 1 m dan cara aplikasi di lapangan dengan digantung pada tiang bamboo 2,5
m. Feromon hasil penelitian ini memiliki keunggulan meliputi: daya tangkap yang
lebih besar, mampu menangkap kumbang selain O. rhinoceros yaitu Rhynchophorus
spp. dan mempunyai harga dasar yang lebih murah (Agus, dkk., 2009).
Hasil penelitian Alouw (2007) dengan perlakuan sex feromon yang
dikombinasikan dengan virus Baculovirus yang dipasang dengan menggunakan pipa
paralon di sekitar pertanaman kelapa cukup efektif yaitu dapat membunuh 6-25 ekor
hama per ha per bulan. Di samping itu, perlakuan ini dapat pula digunakan untuk
mengetahui dan mengevaluasi sebaran populasi hama ini.

Kesimpulan
Kumbang O. rhinoceros merupakan salah satu hama penting pada tanaman
kelapa sawit. Faktor biotik dan abiotik termasuk iklim merupakan faktor utama yang
menyebabkan O. rhinoceros dapat menjadi hama pada pertanaman kelapa sawit.
Pemanfaatan tandan kosong dapat menyediakan tempat berbiak bagi O.
rhinoceros. Tersedianya tumpukan batang kelapa sawit atau kelapa baik yang masih
berdiri maupun yang sudah dicacah memberi peluang bagi O. rhinoceros untuk
mendapatkan tempat berbiak. Karena kondisi tersebut menyediakan bahan-bahan
organik dan tempat yang nyaman untuk tinggal dan berkembangbiak. Jadi tindakan
budidaya yang tidak tepat dapat memicu berkembangnya suatu serangga menjadi
hama apalagi didukung pula oleh faktor iklim.
Pemanfaatan insektisida biologi (Metarhizium dan Baculovirus) serta feromon
agregasi menjadi alternatif pengendalian yang baik untuk mencegah status O.
rhinoceros berkembang menjadi hama pada perkebunan kelapa sawit.

7
DAFTAR PUSTAKA

Agus, E. P., A. Susanto, C. Utomo dan T. Herawan. 2009. Pengembangan feromon


generasi baru untuk pengendalian hama Oryctes rhinoceros di perkebunan
kelapa sawit. Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit, Jakarta Convention
Centre. Jakarta.
Alouw, J.C. 2007. Feromon dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hama
Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabidae). Balai
Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. Buletin Palm Bo:12-21.
Balitka. 2009. Pengendalian Hama Kumbang Nyiur (Oryctes rhinoceros) pada
Tanaman Kelapa Sawit dan Kelapa Secara Hayati. Balai Penelitian Kelapa
dan Palma Lain. Manado.
Bedford, G. O. 1981. Control of the Rhinoceros Beetle by Baculovirus. In H.D.
Burgess (ed.), Microbial Control of Pest and Plant Diseases 1970-1980.
Academic Press, New York. pp.409-426.
Darmono. T.W. 2003. Arti Penting dan Strategi Implementasi Pengendalian Hama
Terpadu pada Tanaman Perkebunan. Makalah pada Pelatihan Peningkatan
Pengetahuan dan Keterampilan Pelaksana PHT Perkebunan Rakyat, Pusat
Kajian PHT, IPB, Bogor. hlm.1- 6.
Daud, I.T. 2007. Sebaran Serangan Hama Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros
(Coleoptera: Scarabaeidae) di Kecamatan Mattirobulu Kabupaten Pinrang.
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda
Sul-Sel: 306-318.
Herman, J.H.Laoh, dan D. Salbiah. 2012. Uji Tingkat Ketinggian Perangkap
Feromon untuk Mengendalikan Kumbang Tanduk Oryctes rhinoceros L.
(Coleoptera: Scarabaeidae) pada Tanaman Kelapa Sawit. Fakultas Pertanian
Universitas Riau.hlm.1-9.
Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pest Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-van Hoeve.
Jakarta. pp. 1-701.
PPKS, 2012. Layanan Prima Proteksi Tanaman. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
hlm. 1-55.

PPKS. 2011. Kumbang Tanduk. http://kliniksawit.com/index.php/hama-


sawit/kumbang-tanduk.html. [7 Juni 2011].
PPKS. 2007. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Medan.
PPKS. 2005. Hama-hama Pada Kelapa Sawit. Buku 1. Serangga Hama pada
Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
PPKS. 1997. Pertemuan Teknis Kelapa Sawit.. Pusat Penelitian Kelapa Sawit
Medan.

8
Pujiastuti, Y. 2010. Tingkat Populasi Dan Kebugaran Oryctes Rhinoceros L
(Coteoptera; Scarabaeidae) Dl Perkebunan Kelapa Sawt (Elais guineensis Jacq.).
Prosiding Seminar Nasional Unsri, 20-21 Oktober 2010.
Santi, I. S. dan B. Sumaryo. 2008. Pengaruh Warna Perangkap Feromon Terhadap
Hasil Tangkapan Imago Oryctes rhinoceros Di Perkebunan Kelapa Sawit.
Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. Vol.14 No. 2:76-79.
Susniahti, N., M.S.H. Sumeno dan Sudajat. 2012. Terjadinya dan Status Hama
Serangga. Universitas Padjajaran Bandung.
Susanto, A. dan A.E. Prasetyo. 2009. Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit Jenis
Kerusakan dan Pengendaliannya. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan.
admin@iopri.org ; www.iopri.org.

Suryana. A. 2005. Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Kelapa di Indonesia.


Makalah Utama pada Seminar Nasional “Pengendalian Hama Terpadu pada
Tanaman Kelapa”, 30 November 2005 di Manado.

Wikipedia. 2011. Dynastinae. http://en.wikipedia.org/wiki/Dynastinae. [25 Mei 2012].


Wikipedia. 2008. Kelapa sawit. http://id.wikipedia/org/wiki/Kelapa sawit. [25 Mei
2012].

Anda mungkin juga menyukai