Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM

PESTISIDA DAN APLIKASI

PENGUJIAN PESTISIDA PADA KUTU BERAS (Sitophilus oryzae L.)

DISUSUN OLEH :

ELISA APRILIANI
1406120549

AGROTEKNOLOGI-A

LABORATORIUM HAMA TANAMAN

JURUSAN AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2017
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Curacron 500EC

Curacron adalah salah satu merek dagang pestisida dari golongan


organofosfat yang mempunyai bahan aktif profenofos. Profenofos ini termasuk
dalam kategori racun kontak lambung dan berspektrum luas, yang mampu
bereaksi cepat untuk mengendalikan serangan beragam hama. Cairan Curacron
500 EC berwarna bening sangat mudah menyerap ke dalam jaringan tanaman
melalui stomata sehingga Curacron cukup efektif untuk mengendalikan hama
tersembunyi dibalik dedaunan. Pestisida ini digunakan untuk mengendalikan
hama ulat bawang (grayak) (Indrayani, 2006).

Bahan aktif Profenofos mempunyai nama kimia O-(4-bromo-2-


chlorophenyl) O-ethyl Sprophyl Phosporothioate dengan rumus empiris
C11H15BrClO3PS dengan rumus bangun seperti gambar diatas. Profenofos
mempunyai bobot molekul 373.6, titik didih 100oC pada 1.80 Pa, tekanan uap
sebesar 1.24 x 10-1mPa pada suhu 25oC, kelarutan dalam air 28 mg/l 25oC dan
mudah larut dalam pelarut organik. Profenofos berbentuk cairan kuning muda
dengan bau seperti bawang putih. Relatif stabil pada kondisi netral–asam dan
tidak stabil pada kondisi basa. Pada roses hidrolisis di laboratorium pada suhu
20oC mencapai 93 hari pada pH 5, 14.6 hari pada pH 7 dan 5.7 hari pada pH 9
(Indrayani, 2006).
Profenofos merupakan salah satu insektisida golongan organofosfat.
Insektisida ini merupakan racun kontak dan lambung berspektrum luas.
Mempunyai nama kimia O-4-bromo-2-klorofenil O-etil S-propil fosforotioat
(C11H15O3PSBrCl)dengan berat molekul 373, 65 g/mol (US EPA, 2006). Di
Indonesia, profenofos pada umumnya diaplikasikan pada tanaman cabai dan
tomat. Profenofos memiliki nama dagang Curacron, Polycron, dan Selecron.
Curacron 500EC merupakan merek dagang untuk pestisida yang berbahan
aktif profenofos. Pestisida ini termasuk dalam kategori racun kontak lambung dan
berspektrum luas, yang mampu bereaksi cepat untuk mengendalikan serangan
beragam hama. Cairan Curacron 500EC berwarna bening sangat mudah menyerap
ke dalam jaringan tanaman melalui stomata sehingga Curacron cukup efektif
untuk mengendalikan hama tersembunyi di 5 balik dedaunan. Pestisida ini
digunakanuntuk mengendalikan hama ulat bawang (grayak) (Indrayani, 2006)

2.2. Kumbang Beras (Sitophylus oryzae)

Kumbang beras merupakan nama umum bagi sekelompok serangga kecil


yang dikenal juga gemar menghuni biji-bijian yang disimpan. Kumbang beras
adalah hama gudang yang sangat merugikan dan sulit dikendalikan bila telah
menyerang dan tidak hanya menyerang gabah/beras tetapi juga bulir jagung,
berbagai jenis gandum, jewawut, sorgum, serta biji kacang-kacangan (Wagianto,
2008)
2.2.1. Klasifikasi dan Morfologi

Gambar 1. Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae


Dalam pengelompokan serta pengklasifikasian hama kumbang beras
(Sitophilus oryzae), termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas
Insecta, Ordo Coleoptera, Famili Curculionidae, Genus Sitophilus, Spesies
(Sitophilus oryzae) (Naynienay, 2008). Bentuk luar kumbang beras (Sitophilus
oryzae) yaitu pada kumbang muda dan dewasa berwarna cokelat agak kemerahan,
setelah tua warnanya berubah menjadi hitam. Terdapat 4 bercak berwarna kuning
agak kemerahan pada sayap bagian depan, 2 bercak pada sayap sebelah kiri, dan 2
bercak pada sayap sebelah kanan. Panjang tubuh kumbang dewasa ± 3,5-5 mm,
tergantung dari tempat hidup larvanya. Larva kumbang tidak berkaki, berwarna
putih atau jernih dan ketika bergerak akan membentuk dirinya dalam keadaan
agak membulat. Kumbang betina dapat mencapai umur 3-5 bulan dan dapat
menghasilkan telur sampai 300-400 butir. Telur diletakkan pada tiap butir beras
yang telah dilubangi terlebih dahulu. Lubang gerekan biasanya dibut sedalam 1
mm dan telur yang dimasukkan ke dalam lubang tersebut dengan bantuan
moncongnya adalah telur yang berbentuk lonjong. Stadia telur berlangsung
selama ± 7 hari. Selama beberap waktu, larva akan tetap berada di lubang
gerekan, demikian pula imagonya juga akan berada di dalam lubang selama ± 5
hari. Siklus hidup hama ini sekitar 28-90 hari, tetapi umumnya selama ± 31 hari
(Naynienay, 2008).
2.2.2 Daur Hidup
Daur hidup kumbang beras dimulai dari peletekkan sebutir telur dilubang.
Selanjutnya, lubang itu ditutup dengan skresi yang keras. Kumbang betina bisa
bertelur sampai 300 butir dalam beberapa minggu. Setelah menetas, larva
memakan beras tempat tinggalnya dan berkembang sampai menjadi pupa. Pupa
kumbang muda keluar dari beras. Setelah menjadi dewasa, kubang memakan
beras bagian luarnya hingga berlubang. Kumbang betina menggerek butiran beras
dengan mncongnya dilapangan atai di gudang beras. Daur hidup dari telur sampai
dewasa lebih kurang 26 hari. Sementara itu, umur kumbang bisa mencapai 3-5
bulan. Jika tidak diberi makanan kumbang betina masih bisa hidup sampai satu
bulan. Perkembangannya umumnya bisa pada temperatur 17-34 derajat dengan
kelembapan relatif 15-100 %. Perkembangan optimum terjadi pada temperatur 30
derajat dana kelembapan relatif 70 %. Jika kelembapan relatif melebihi 15 %,
kumbang bubuk ini akan berkembang cepat (Udha, 2008).
III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada hari rabu tanggal 26 April 2017 pukul 08:00
sampai dengan selesai yang dilaksanakan di laboratorium hama tanaman fakultas
pertanian universitas riau pekanbaru

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu buku tulis, pestisida sebanyak 0,25 ml, 0,50
ml, 0,75 ml, 1 ml, dan aquades sebanyak 500 ml. Sedangkan alat yang digunakan
yaitu pena, sprayer, gelas ukur dan spidol

3.3. Prosedur Kerja

1. Praktikan menyiapkan alat dan bahan.

2. Dimasukan beras yang sudah lama secukupnya kedalam kedalam 3 buah toples
sebagai pakan hama.

3. Pilih 10 ekor hama Sitophillus oryzae dan dimasukkan kedalam toples.

4. Ambil insektisida curacron menggunakan pipet tetes,setiap kelompok


dibedakan dengan berbagai konsentrasi sebagai perlakuannya, terdiri dari tanpa
insektisida (kontrol/ C1), 0,25 ml (C2) yaitu 5 tetes, 0,50 ml (C3) yaitu 10
tetes, 0,75 ml (C4) yaitu 15 tetes, dan 1ml (C5) yaitu 20 tetes. Setiap perlakuan
dibuat sebanyak 3 kali ulangan/3 toples.

5. Dimasukkan kedalam sprayer dan dicampur sampai dengan volume larutan


mencapai 500 ml aquades.

6. Semprotkan ke dalam toples sebanyak 3 kali semprotan, dan diamati jam


setelah aplikasi yaitu awal kematian, LT 50%, mortalitas harian dan mortalitas
total. Waktu pengamatan dilakukan selama 72 jam/ 3 hari.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Waktu Awal Kematian


Pengamatan ini dilakukan untuk menghitung waktu yang dibutuhkan
untuk mematikan salah satu hama kumbang beras uji lebih dahulu setelah diberi
perlakuan pestisida Curacron 500EC. Pengamatan ini dilakukan setiap 1 jam.

Tabel 1. Waktu Awal Kematian Hama Kumbang Beras (Sitophylus orizae)


Jumlah Serangga Uji Mati Jam Ke -
KONSENTRASI U 1 2 19 21 27
3 4 5 6 7 8 9
10.00 11.00 04.00 06.00 12.00
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
C1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0
C2 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0
3 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0
1 8 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
C3 2 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 9 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
C4 2 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
C5 2 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

Hasil pengamatan awal kematian serangga uji setelah diberi perlakuan


menunjukkan bahwa perlakuan berbagai konsentrasi Curracron 500EC
memberikan hasil yang beragam terhadap waktu awal kematian kumbang beras.
Berdasarkan data pada Tabel 1, bahwa perlakukan dengan konsentrasi
pestisida 0% atau kontrol, serangga yang diujikan masih terlihat normal tidak
menunujukkan gejala kematian pada ulangan 3, sedangkan ulangan 1,2 terdapat 2
dan 1 serangga uji yang mati pada jam ke 27. Hal ini dikarenakan pada perlakuan
C1, tidak diberikan insektisida. Pada perlakuan C2 dengan konsentrasi 0,25 ml
pada 3pengamatan jam 10.00 setelah penyemprotan ulangan 1 terdapat 1 serangga
uji mati, Ulangan ke 2, dan 3 masing-masing 1 serangga uji mati. Pada perlakuan
0,50 ml menunjukkan berbeda nyata dengan perlakuan C1 dan C2, dimana
Serangga uji mati pada jam 10.00 setelah penyemprotan. Pemberian 0,75 ml
menunjukkan kematian awal pada hama pada pajam ke 2 setelah perlakuan. Dan
peralkuan C5 dengan konsentrasi 1ml serangga uji mati pada awal pengamatan
setelah dilakukan perlakuan pada jam 10.00.

Berdasarkan hasil di atas, dapat diketahui serangga uji yang mati meningkat
seiring dengan tingginya konsentrasi yang digunakan, serta waktu yang
dibutuhkan untuk membunuh kutu beras semakin cepat. Hal ini sesuai dengan
Harahap (2005) bahwa proses kematian serangga sasaran akan semakin cepat
dengan pertambahan dosis / konsentrasi racun yang digunakan Setiap mahkluk
hidup mempunyai batas toleransi terhadap racun dan mahluk tersebut tidak mati
sehingga apabila telah melewati batas tersebut akan menimbulkan kematian pada
serangga yang diuji.
Gejala kematian serangga uji dengan menunjukkan suatu gejala dari
serangga yaitu gerakan-gerakan serangga uji menjadi lamban. Gejala kematian
serangga uji yang terinfeksi senyawa aktif insektisida Curacron 500 EC bekerja
sebagai racun perut, racun kontak dan racun saraf adalah senyawa organofosfat
yang mempengaruhi sistem saraf dan menghambat fungsi enzim.

4.2. Lethal Time 50


Pengamatan dilakukan setiap jam dengan cara menghitung waktu yang
dibutuhkan dari perlakuan yang ada untuk mematikan 50% kutu beras.
Tabel 2. Lethal Time 50
Ulangan
Perlakuan LT50
1 2 3
C1 - - - -
C2 04.00 04.00 06.00 05.00
C3 09.30 09.30 09.30 09.30
C4 10.00 10.00 10.00 10.00
C5 09.30 09.30 09.30 09.30

Tabel 2 menunjukkan bahwa waktu yang paling cepat mematikan 50%


kumbang beras terjadi pada pemberian konsentrasi 0,75 ml/l yaitu satu jam setelah
pemberian perlakuan dapat mematikan 50% serangga uji, sedangkan waktu
terlama untuk membunuh serangga uji sebesar 50% terdapat pada perlakuan
kontrol (C1) yaitu pukul 05.00 hari kedua pengamatan. Pemberian konsentrasi
yang berbeda dapat mematikan 50% populasi kumbang beras uji dalam waktu
yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Kalshoven (1981), yang
menyatakan bahwa pemberian aplikasi insektisida memberikan pengaruh terhadap
jumlah serangga uji yang mati karena banyaknya bahan aktif yang digunakan
maka daya racunnya akan semakin besar sehingga daya bunuhnya juga lebih
tinggi.

4.3. Mortalitas Harian


Pengamatan dilakukan dengan menghitung kutu beras yang mati setiap hari
setelah diberikan perlakuan. Menurut Natawigena (1993) Mortalitas harian
dihitung dengan manggunakan rumus sebagai berikut :
𝑎−𝑏
𝑀𝐻 = × 100 %
𝑎
Keterangan :
MH = Mortalitas harian kutu beras
a = jumlah populasi serangga yang di uji
b = jumlah serangga uji yang masih hidup
Tabel 3. Mortalitas Harian
Ulangan
Perlakuan
1 2 3
H- 1 H-2 H3 H-1 H-2 H3 H-1 H-2 H3
C1 0% 0% 0 % 20% 10 % 0 % 0% 0% 0%
C2 20% 30% 0% 10% 40% 0% 10% 50% 0%
C3 100% 0% 0% 100% 0% 0% 100% 0% 0%
C4 100% 0% 0% 100% 0% 0% 100% 0% 0%
C5 100% 0% 0% 100% 0% 0% 90% 10% 0%

Hasil pengamatan mortalitas harian kutu beras selama 72 jam


menunjukkan bahwa perlakuan dengan pemberian konsentrasi curacron 500 EC
memberikan hasil yang berbeda terhadap kematian hama uji. Terutama antara
perlakuan C1, C2 dengan C3, C4 dan C5. Mortalitas harian hama uji mengalami
fluktuasi yang dimulai dari perlakuan C3 dan dapat dilihat pada table 3.
Table 3 menunjukkan bahwa mortalitas harian yang terjadi pada hama uji
pada perlakuan C3, C4 dan C5 sangat lah tinggi. Sejak hari pertama hama uji telah
menunjukkan gejala kematian yang ditandai dengan berkurangnya aktifitas dari
hama itu sendiri hingga akhirnya hama mengalami kematian. Pada perlakuan C1
hama mengalami mortalitas yang sangat kecil akibat tidak adanya senyawa yang
mengganggu aktivitas dan pola makan dari hama. Sedangkan pada perlakuan C2,
mortalitas terjadi sangat lambat dikarenakan kandungan senyawa atau bahan aktif
belum mampu bekerja secara maksimal mematikan hama uji sesuai dengan
tingkat konsentrasinya.
Perbedaan waktu kematian hama uji disebabkan adanya perbedaan jumlah
pemberian konsentrasi curacron pada setiap perlakuan setelah diaplikasikan pada
hari sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Natawigena (2000) bahwa proses
kematian hama akan semakin cepat dengan pertambahan konsentrasi yang
digunakan pada saat aplikasi.
Perlakuan C2 pada jam ke 19-21 mampu mematikan hama sebanyak 3, 4
dan 5. Hal ini disebabkan hama-hama yang masih bertahan mulai melemah akibat
pemberian perlakuan konsentrasi yang rendah sehingga mengakibatkan
pengamatan pada jam ke 19-21 banyak yang mati. Gejala kematian yang dialami
hama seperti umumnya hama lain yang terkena racun kontak dan perut.
Siswowijoto dalam Prastiwi (2007) menyatakan gejala yang muncul apabila
hewan mengalami keracunan adalah melalui empat fase yaitu perangsangan,
kejang-kejang, kelumpuhan dan kematian.

4.4. Mortalitas Total


Pengamatan dilakukan dengan menghitung total kutu beras yang mati
sampai pengamatan terakhir. Mortalitas total dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
𝑎
𝑀𝑇 = × 100 %
𝑏
Keterangan :
MT = Mortalitas Total
a = jumlah populasi serangga uji yang mati setelah aplikasi
b = jumlah serangga uji sebelum aplikasi

Tabel 4. Mortalitas Total


Ulangan
Perlakuan M.T
1 2 3
C1 20% 10% 0% 30%
C2 50% 50% 60% 35%
C3 100% 100% 100% 100%
C4 100% 100% 100% 100%
C5 100% 100% 100% 100%

Hasil pengamatan persentase mortalitas total serangga uji menunjukkan


bahwa perlakuan konsentrasi curacron memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap mortalitas total kutu beras pada masing-masing perlakuan yang
diberikan. Dapat dilihat pada table 4, bahwa dari perlakuan C1 ke C2 tidak
memberikan hasil yang berbeda jauh terhadap mortalitas total. Hal ini disebabkan
daya racun dan kefektifan curacron masih dapat ditolerir oleh hama uji.
Sedangkan pada perlakuan C3, C4 dan C5 senyawa berfungsi dengan sangat baik
dan efeknya dapat dilihat sejak jam pertama setelah aplikasi pada hama yang di
ujikan.
Penggunaan konsentrasi curacron 0.5 ml, 0.75 ml dan 1 ml mampu
mematikan hama uji masing-masing sebesar 100%. Hal ini menunjukkan
kandungan bahan aktif profenofos yang terdapat curacron bersifat racun yang
dapat mematikan hama uji Sitophylus orizae dan semakin tinggi konsentrasi akan
menyebabkan kondisi tubuh hama uji akan semakin lemah dan mati. Seperti yang
telah dibahas pada table sebelumnya, bahwa dari data waktu awal kematian hasil
yang tertinggi diperoleh oleh perlakuan C5 dengan jumlah serangga uji mati 29
ekor.
Kematian pada serangga tentu diakibatkan oleh senyawa yang terdapat
dalam curacron, karena senyawa tersebut bekerja sebagai racun syaraf yang
masuk melalui kontak dengan tubuh serangga. Bahan aktif masuk melalui kontak
dengan kulit, langsung menembus integumen serangga (kutikula), trakea atau
kelenjar sensorik dan organ lainnya yang berhubungan dengan kutikula dan
menyerang sistem saraf sehingga dapat mengganggu aktifitas serangga yang dapat
menyebabkan kematian pada serangga (kutu beras). Senyawa ini juga bekerja
sebagai racun perut, bahan aktif masuk melalui proses makan, dengan memakan
beras yang telah disemprot dengan curacron. Bahan aktif tersebut masuk ke
saluran pencernaan serangga, sehingga menyebabkan terganggunya aktifitas
makan kutu beras. Menurunnya aktifitas makan secara perlahan-lahan pada
serangga akan menyebabkan kematian (Singgih, dkk, 2006 dalam Zulkarnain
2012).
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa


serangga uji memiliki waktu awal kematian lebih cepat, letal time 50 % (
kematian sebanyak setengah dari total populasi) lebih banyak dan cepat serta
tingkat kematian/ mortalitas yang paling tinggi apabila dilakukan pengaplikasian
dengan konsentrasi pestisida 1 ml / 20 tetes (C5) pada 3 kali ulangannya,
sedangkan pada perlakuan kontrol yaitu tanpa pemberian curacron hanya
menggunakan air (C1) tingkat mortalitas serangga uji rendah dengan waktu awal
kematian yang lebih lama. Pemberian konsentrasi yang meningkat akan
memberikan peningkatan pada waktu kematian dan jumlah serangga uji yang
mati.

5.2 Saran

Pada waktu penyemprotan pestisida, praktikan harus menggunakan


penutup mulut atau masker agar tidak terkema residu pestisida tsb.
DOKUMENTASI

Gambar 1. 5 perlakuan berbeda Gambar 2. Penyemprotan Pestisida

Gambar 3. Pengamatan Gambar 4. Sitophillus oryzae

Anda mungkin juga menyukai