Anda di halaman 1dari 3

Merelokasi Warga Asmat?

Senin, 12 Februari 2018 | 23:01 WIB

WACANA untuk merelokasi warga Asmat terus bergulir. Hal ini terkait dengan kematian 71
anak-anak Asmat akibat penyakit campak dan gizi buruk yang terjadi pada empat bulan
terakhir.

Dengan merelokasi warga secara tersentral, begitu alasan pemerintah pusat, maka pelayanan
kesehatan bagi warga Asmat akan lebih mudah dan terjangkau. Sebegitu simpelkah
solusinya?

Kebijakan relokasi ini diduga terkait dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 yang
ditujukan kepada para Menteri, Kepala Staf Kepresidenan, serta Gubernur dan Bupati di
lingkungan pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat.

Inpres yang ditandatangani pada 11 Desember 2017 itu mengatur tentang percepatan
pembangunan kesejahteraan di kedua provinsi paling timur itu.

Sebagaimana diketahui, sebagian besar wilayah Asmat adalah berupa perairan rawa.
Masyarakat hidup terpencil di ratusan kampung yang terpencil dan terpencar.

Moda transportasi yang bisa dipakai hanya kapal/perahu, dengan biaya sewa dan bahan bakar
yang mahal. Sementara itu, sarana dan prasarana kesehatan juga sangat terbatas. Oleh karena
itulah muncul wacana kebijakan relokasi.

Padahal, dalam kesempatan bertemu dengan Presiden Jokowi pada 23 Januari 2018, Bupati
Asmat Elisa Kambu, telah menyampaikan penolakannya atas kebijakan relokasi yang digagas
pemerintah pusat, karena tidak sesuai dengan adat istiadat warga Asmat.

Berdasarkan informasi, terjadi perubahan pola hidup masyarakat, khususnya terkait dengan
pola makan, dari masyarakat yang mengkonsumsi sagu menjadi pengkonsumsi makanan
instan dan beras.

Perubahan pola ini telah menganggu ketahanan masyarakat karena menjadi sangat tergantung
pada bahan pangan non sagu. Padahal, sagu sebagai bahan pangan tumbuh subur dan tersedia
secara melimpah.

Selain itu adalah pola hidup yang tidak sehat, dimana masyarakat memanfaatkan air rawa dan
air sungai sebagai bahan utama untuk minum, makanan, dan kebutuhan lainnya.
Padahal, sungai sudah tercemar oleh berbagai sebab diantaranya oleh limbah dan kotoran
rumah tangga. Akibatnya, daya tahan warga Asmat memburuk oleh karena perubahan pola
hidup dan kondisi alam sekitar yang sudah tidak sehat. Inilah akar masalah yang harus
dibenahi.

Kebijakan merelokasi atau memindahkan masyarakat akan mengubah atau mengganggu


kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Apalagi dalam konteks Papua, banyak
tanah atau wilayah yang dikuasai oleh suku-suku.

Memindahkan warga dari satu suku ke wilayah suku yang lain akan berpotensi memicu
konflik komunal. Masyarakat Asmat adalah masyarakat hukum adat, karena masih
menerapkan pola, mekanisme dan sistem adat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sudah
berlangsung turun temurun dan dipraktikkan secara kontinyu.

Di Papua dan Papua Barat, terdapat tujuh wilayah suku, yaitu Domberay, Bomberay, Mee
Pago, Saireri, Mamta, Lapago, dan Anim Ha. Asmat masuk di dalam wilayah Suku Anim Ha.

Masyarakat Asmat hidup dalam kampung, yang terdiri atas kampung besar, sedang, dan
kecil, tergantung pada jumlah penduduknya. Mereka hidup dalam suku-suku dan patuh pada
kepala suku sebagai kepala pemerintahan lokal (bigman).

Pemerintah dan semua pihak terkait harus memelajari dan memahami terlebih dahulu adat
istiadat masyarakat Asmat, agar tidak salah melangkah.

Sumber : https://regional.kompas.com/read/2018/02/12/23011391/merelokasi-warga-asmat
ANALISIS ARTIKEL TREND DAN ISU KEBIAJAKAN

PEMERINTAH TENTANG KIA

Dari artikel yang kami dapatkan terdapat kebijakan pemerintah yaitu tentang relokasi
suku Asmat karena sebagaimana diketahui sebagian besar suku Asmat adalah perairan rawa.
Masyarakat hidup terpencil dan terpencar. Transportasi di wilayah Asmat juga mahal seperti
halnya bahan bakar dan sewa kapal atau perahu. Sementara itu, sarana dan prasarana
kesehatan juga sangat terbatas. Oleh karena itulah muncul wacana kebijakan relokasi. Disisi
lain Bupati Asmat, menolak atas kebijakan relokasi karena tidak sesuai dengan adat istiadat

Menurut kelompok kami, dari kebijakan diatas seharusnya sebelum bertindak terlalu
jauh dengan memutuskan kebijakan relokasi yang bisa berdampak bagi kehidupan dan
budaya masyarakat Asmat.Di tinjau dari segi kesehatan kebijakan relokasi pemerintah
tersebut sangat baik menerut kelompok kami dilihat dari angka kematian anak suku Asmat
cukup banyak, tindakan atau kebijakan seperti yang telah diinstruksikan Presiden dengan
merelokasi penduduknya dapat mengurangi angka kematian anak di suku Asmat mungkin
dengan cara tersebut dapat meningkatkan derajat kesehatan anak di suku Asmat, namun di
tinjau dari segi budaya kebijakan tersebut bertolak belakang dengan adat yang dianut oleh
suku Asmat karena dapat menggangu kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat,
mengingat di Papua setiap desa telah di kuasai oleh suku-suku dan memindahkan warga
dapat berpotensi memicu konflik suku lain juga dapat menggagu kebudayaan yang sudah
berlangsung turun temurun dan dipraktikan secara berlanjut.

Jadi kesimpulannya menurut kelompok kami jika dari suku Asmat menolak untuk
dilakukan relokasi karena berlawanan dengan adat istidat, yaitu diatasi dengan cara
memanfaatkan sumber daya manusia seperti perawat di Jawa yang kurang tersebar luas ke
daerah-daerah yang terjauh dan terpencil.

Anda mungkin juga menyukai