Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Gejala emosional dan fisik merupakan hal yang lazim terjadi selama fase
premenstruasi pada siklus menstruasi. Sindroma premenstruasi termasuk
diantaranya gabungan dari gejala emosional dan fisik dari ringan sampai sedang,
yang biasanya tidak mengganggu level fungsional harian seorang pasin. Sebanyak
75 persen wanita usia reproduktif melaporkan bahwa mereka mengalami gejala
premenstruasi beberapa waktu dalam kehidupan mereka. Premesntrual dysphoric
disorder (PMDD) merupakan bentuk berat dari sindrome premenstruasi yang
dialami 3 hingga 8 persen wanita usia reproduksi. Gejala premenstruasi biasanya
dimulai ketika seorang wanita pada awal usia 20-an, namun wanita seringkali
tidak mencari pertolongan medis sampai 10 tahun kemudian. Maka dari itu,
banyak wanita yang pertama kali mencari terapi pada usia pertengahan hingga
akhir usia 30 tahun, dengan riwayat sindroma premenstruasi yang memburuk
secara progresif.pengalaman klinis menunjukkan bahwa gejala premenstrual
berlanjut sampai menopause. Seringkali sulit membedakan sindroma
perimenopause dengan PMDD pada wanita diakhir usia 30-an sampai awal 40-an.
PMDD ditandai dengan beberapa kombinasi dari perubahan mood,
depresi, iritabilitas, dan anxietas, yang bisa disertai dengan gejala fisik. Gejala-
gejala ini muncul secara khusus selama fase luteal dari siklus menstruasi, dan
berkurang dalam tiga hari setelah onset haid. Sebagai tambahan, gangguan
mendasar dari fungsi personal, secara umum lebih banyak terjadi secara sosial
dibandingkan dengan gangguan terhadap pekerjaan.
Untuk membuat diagnosis PMDD riwayat yang komprehensif dan
pemeriksaan fisik dibutuhkan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain
dari gejala fisik dan emosional. Pada referat berikut akan membahas mengenai
segala aspek berkaitan dengan Premenstrual Dysphoric Disorders (PMDD).
sehingga dapat ditegakkan dan ditatalaksana dengan baik sesuai dengan kirteria
diagnositik.

1
BAB II
PREMENSTRUAL DYSPHORIC DISORDER (PMDD)

A. DEFINISI
Premenstrual dysphoric disorder (PMDD), merupakan bentuk
berat dari premenstrual syndrome (PMS), didiagnosis melalui berbagai
pola gejala. Menurut laporan dari Committee on Gynecologic Practice dari
American College of Obstetricians and Gynecologyst, hingga 80 persen
wanita usia reproduktif memiliki perubahan fisik saat menstruasi; 20
hingga 40 persen diantaranya mengalami gejala PMS, dan 2 hingga 10
persen mengalami gangguan pada aktivitasnya sehari-hari. Gangguan fisik
yang berkaitan dengan menstruasi, seperti dismenore, bisa bermula sejak
menarche. Seringkali kondisi ini digantikan dengan PMS pada dewasa
muda lanjut pada awal usia 20 tahun. Sindroma ini biasanya tetap stabil
sepanjang waktu.

B. DIAGNOSIS
Didalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
edisi ke-4 (DSM-IV), PMDD diklasifikasikan sebagai “gangguan depresif
yang tidak spesifik” dan ditekankan pada gejala emosional dan prilaku-
kognitif. Setidaknya lima dari 11 gejala khusus harus ada untuk diagnosis
dari PMDD (tabel 1). Gejala ini harus dibatasi terjadi pada fase lutel dan
bukan merupakan perburukan dari gejala depresi, anxietas atau gangguan
kepribadian yang sudah ada sebelumnya. Sebagai tambahan, harus
dikonfirmasi dengan penilaian harian untuk setidaknya pada dua siklus
haid berturut-turut. Periode bebas gejala selama fase folikuler dari siklus
haid penting untuk membedakan PMDD dari gangguan anxietas dan
gangguan mood yang sudah ada sebelumnya. (American Psychiatric
Association, 1994)

2
C. ETIOLOGI
Baru-baru ini, terdapat konsesus terhadap penyebab PMDD.
Biologi, fisiologi, faktor lingkungan dan faktor sosial memiliki peran.
Faktor genetik juga memiliki bagian: 70 persen wanita dengan ibu yang
mengalami PMS akan mengalami PMS juga, dibandingkan dengan 37 %
wanita dengan ibu yang tidak mengalami PMS. Didapatkan 93 persen rata-
rata konkordans pada kembar monozigot, dibandingkan dengan rata-rata
44% pada kembar dizigot. Pengaruh genetik terjadi secara fenotip, melalui
neurotransmitter dan neuroreseptor, yang sepertinya memegang peran
penting pada etiologinya.
Gambaran pada PMDD dan gangguan depresif - khususnya
depresi atipik – biasanya tumpang tindih. Gejala dari depresi yang atipik
(seperti depresi mood, hipersensitivitas penolakan interpersonal, rasa lapar
terhadap karbohidrat, dan hipersomnia) menyerupai sepertihalnya pada
PMDD. Tiga puluh hingga 76 persen wanita yang didiagnosis dengan
PMDD memiliki riwayat depresi seumur hidup, dibandingkan dengan 15
persen wanita pada usia yang sama tanpa PMDD. Riwayat keluarga
dengan depresi biasanya ditemukan pada wanita-wanita yang didiagnosis
dengan PMS sedang hingga berat. Terdapat komorbiditas yang bermakna
antara depresi dan PMDD. Disamping hubungan ini, banyak pasien
dengan PMDD tidak memiliki gejala depresif, maka dari itu, PMDD tidak
perlu dipertimbangkan sebagai varian yang sederhana dari gangguan
depresif.(Kendler KS, Karkowski LM, et al, 1998)
Efektivitas dari selective serotonine reuptake inhibitors (SSRIs),
diberikan hanya selama fase luteal dari siklus menstruasi menandai
perbedaan antara PMDD dan gangguan depresif. Terapi akut dengan
SSRIs meningkatkan serotonin sinaptik tanpa downregulasi dari reseptor
serotonin yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi pada depresi
jelas.(Freeman EW, Rickels K, et al, 1999)
Temuan ini menunjukkan bahwa PMDD kemungkinan disebabkan
oleh perubahan sensitivitas pada sistem serotoninergik sebagai respon

3
terhadap fase fluktuasi pada hormon gonad wanita. Penelitian lain yang
juga mendukung terhadap teori serotonin sebagai penyebab PMDD.
Khususnya, efikasi L-triptofan, pemicu pada serotonin, dan piridoksin
yang bekerja sebagai kofaktor pada konversi triptofan menjadi serotonin,
juga menimbulkan defisiensi serotonin sebagai penyebab dari PMDD.
Rasa lapar terhadap karbohidrat, seringkali menjadi gejala dari PMDD,
juga terjadi melalui defisiensi serotonin.(Steinberg S, Annable L, 1999;
Wyatt KM, Dimmock PW, 1999)
Karena PMDD hanya mempengaruhi wanita-wanita pada usia
reproduktif, maka menjadi berasalan untuk menganggap bahwa hormon
gonad pada wanita memegang peranan sebagai penyebab, kemungkinan
terjadi melalui perubahan aktivitas serotoninergik dalam otak. Esterogen
dan progesteron sepertinya mengatur kadar monoamin, termasuk
serotonin. Menghilangkan efek hormon gonadal ovarium melalui
penggunaan gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis mengurangi
gejala PMDD. pemberian esterogen dan progesteron berikutnya
menyebabkan timbulnya gejala muncul kembali pada wanita dengan PMS
namun tidak pada wanita tanpa PMS.Schmidt PJ, Nieman LK, Danaceau,
MA, 1998)

D. PATOFISIOLOGI
Beberapa teori yang menjelaskan patofisiologi dari PMDD natara
lain adalah (1) hipotesis hormon ovarium, (2) hipotesis serotonin, (3)
hipotesis psikososial, (4) teori pembelajaran kognitif dan sosial, dan (5)
teori sosiokultural.(Htay TT, 2011)
Teori hormon ovarium membuat hipotesis PMDD disebabkan oleh
ketidakseimbangan rasio antara esterogen dan progesteron, dimana terjadi
defisiensi relatif dari progesteron. Berdasarkan teori ini, Dalton
memberikan terapi pasien-pasien yang menderita PMS dengan progesteron
supositoria pada tahun 1960. Namun demikian, penelitian terakhir
menunjukkan bahwa kadar esterogen dan progesteron pada wanita-wanita

4
menderita PMS tidak dapat disimpulkan karena kesulitan dalam
metodologi. Konsensus terkini menunjukkan sepertinya terdapat fluktuasi
normal pada peristiwa biokimia pemicu hormon gonadal dipusat syaraf,
yang berkaitan dengan gejala PMDD pada beberapa wanita dengan faktor
predisposisi. (Htay TT, 2011)
Teori serotonin memberikan hipotesis bahwa fungsi hormon
ovarium normal (bukan ketidakseimbangan hormon) merupakan pemicu
siklik untuk peristiwa biokimia yang berkaitan dengan PMDD, yang
terjadi pada sistem syaraf pusat dan target organ lainnya. Pada PMDD
banyak gambaran fenomenologi dari berbagai tingkat depresi dan anxietas
yang berkaitan dengan disregulasi serotoninergik. Makin banyaknya bukti
yang menunjukkan bahwa 5-hidroksitriptamin juga memiliki peranan
penting pada etiologi PMDD. Menurunnya aktivitas serotoninergik pada
wanita dengan PMDD juga tampak terjadi melalui observasi terdapatnya
penurunan ambilan trombosit oleh serotonin dan kadar serotoonin pada
darah tepi. Sensitivitas terhadap gangguan dari sistem serotonin pusat pada
wanita dengan PMDD berubah pada periode premenstruasi. Pemberian
agonis serotonin m-chlorophenylpiperazine dapat menginduksi
peningkatan mood. Obat-obatan yang menghilangkan aktivitas serotonin
secara sementara berhubungan dengan perubahan perilaku, termasuk
iritabilitas dan penarikan diri secara sosial. (Htay TT, 2011)
Teori psikososial membuat hipotesis bahwa PMDD atau PMS
merupakan manifestasi sadar dari wanita dengan konflik yang dialami
secara tidak sadar oleh seorang wanita berkaitan dengan masalah feminitas
dan kehidupan sebagai ibu. Psikoanalis menunjukkan bahwa perubahan
fisik saat premenstruasi mengingatkan seorang wanita bahwa tidak sedang
hamil, dan maka dari iru, tidak memenuhi peranannya sebagai wanita yang
utuh. Menjadi jelas, untuk membuktikan teori ini melalui bukti ilmiaj
cukup sulit. (Htay TT, 2011)
Teori pembelajaran kognitif dan sosial berpendapat bahwa onset
dari haid merupakan peristiwa pergolakan psikologi bagi wanita yang

5
rentan terhadap PMDD. Terlebih lagi, wanita wanita tersebut mungkin
memiliki pemikiran negatif dan ekstrem yang kemudian memicu
penolakan terhadap gejala-gejala premenstruasi. Kemudian
berkembanglah strategi maladaptif, seperti mood yang labil, tidak pergi
sekolah atau bekerja, atau bersikap berlebihan dalam upaya mengurangi
stress mendadak. Tindakan penghilangan stress secara mendadak ini
merupakan upaya yang kemudian mengarah pada rekurensi reguler dari
gejala selama periode premenstruasi. (Htay TT, 2011)
Diantara teori-teori diatas, teori serotonin sangat populer.
Walaupun predisposisi genetik dan dugaan faktor sosial memiliki peranan,
data ilmiah menunjukkan kadar serotonin sebagai neurotransmitter
dipengaruhi oleh kadar hormon steroid ovarium. Neurotransmitter lainnya
yang juga berdampak termasuk opioid, adrenergik dan sistem GABA.
(Htay TT, 2011)
Beberapa kondisi yang terjadi selama periode premenstruasi.
1. KETIDAKSEIMBANGAN CAIRAN
Pada keadaan normal kadar angiotensin, renin, dan aldosteron pada
fase luteal lebih tinggi disbanding fase folikular. Pada penderita
dengan gejala PMS yang umum, tidak didapatkan peningkatan kadar
aldosteron yang berarti dibanding populasi kontrol. Namun terdapat
peningkatan aldosteron pada penderita dengan gejala yang predominan
(PMT-H) seperti peningkatan berat badan dan udem pada ekstremitas.
Kemungkinan peningkatan kadar hormon tersebut berkaitan dengan
gejala PMS tertentu seperti peningkatan berat badan, nyeri payudara,
nyeri abdomen dan udem. Perlu diperhatikan kadang wanita merasa
lebih gemuk tanpa adanya peningkatan berat badan yang
sesungguhnya. (Perez Lopez FR, Chedraui P, Perez Roncero, et al,
2009)
Estrogen dan progesteron mempengaruhi RAAS, menyebabkan
gangguan elektrolit dan keseimbangan cairan dalam tubuh. Estrogen
mempunyai efek mineralokortikod yang merengsang sintesis

6
angiotensinogen di hati dan mengakibatkan meningkatnya kadar
aldosteron dan menstimulasi RAAS untuk meningkatkan retensi air,
pembengkakan dan ketegangan pada payudara. (Perez Lopez FR,
Chedraui P, Perez Roncero, et al, 2009)
Progesteron mencetuskan efek anti mineralokortikoid yang
berkompetisi dengan aldosteron untuk berikatan dengan reseptornya.
Hasil akhir dari perubahan hormon ini berupa ekskresi cairan yang
akan mengurangi pembengkakan dan ketegangan pada payudara,
biasanya terjadi pada fase luteal dari siklus menstruasi.(Halbreich U,
Monacelli E, 2004)

2. PENINGKATAN KADAR PROSTAGLANDIN (PG)


Pada fase luteal kadar PGF2 dan PGE2 lebih meningkat dibanding
fase folikular. Selain itu jika dibandingkan penderita yang tidak
dismenorea, pada penderita dengan dismenorea didapatkan
peningkatan kadar metabolit prostaglandin di perifer, endometrium,
dan cairan menstruasi. Walaupun begitu belum ada penelitian yang
membandingkan kadar prostaglandin pada penderita PMS dibanding
populasi kontrol. Penting dibedakan antara diagnosis dismenorea dan
PMS, walaupun pada seseorang dapat mengalami kedua masalah
diatas sekaligus. (Campagne DM, Campagne G, 2007)

3. KETIDAKSEIMBANGAN NUTRISI
Penelitian membuktikan bahwa penderita PMS lebih banyak
mengkonsumsi garam dan makanan yang mengandung gula murni
serta kurang mengkonsumsi makanan yang bernutrisi tinggi dan
vitamin. Test toleransi glukosa pada fase luteal lebih mendatar
dibanding fase folikular dengan kadar glukosa turun dibawah 60
ng/ml. Gabungan gejala suka mengkonsumsi makanan yang manis-
manis dan penyimpangan metabolisme karbohidrat mengakibatkan

7
keadaan hipoglikemi premenstruasi. (Perez Lopez FR, Chedraui P,
Perez Roncero, et al, 2009)

4. PERUBAHAN NEUROENDOKRIN
Banyak neurotransmitter susunan syaraf pusat mengalami
perubahan pada fase depresi, seperti serotonin, dopamine, dan
norepinefrin, juga berubah pada saat siklus menstruasi. Telah
dibuktikan bahwa progesteron memiliki efek terhadap metabolisme
serotonin dan estradiol mempengaruhi kadar dopamine dan
norepinefrin. Hal ini terbukti pada hewan coba namun belum ada
penelitian terhadap penderita PMS. Variasi kadar steroid yang
mempengaruhi neurotransmitter bertanggung jawab terhadap
perubahan mood dan tingkah laku. (Perez Lopez FR, Chedraui P,
Perez Roncero, et al, 2009)
Konsep ini mungkin paling dapat diterima dalam menjelaskan
perubahan emosi yang terjadi selama siklus menstruasi sebagai etiologi
PMS. Aktifitas sentral opioid dipengaruhi oleh fluktuasi kadar steroid
gonadal selama siklus menstruasi. Kadar β-endorfin mempengaruhi
mood dan tingkah laku, dan berfluktuasi tergantung kadar progesteron
dan estrogen. Dilaporkan bahwa pada penderita PMS memiliki kadar
endorphin fase luteal yang lebih rendah dibanding normal (pada
penderita PMS terjadi penurunan tonus sentral opioid). Hubungan
yang komplek diatas memainkan peranan penting sebagai etiologi
PMS. (Perez Lopez FR, Chedraui P, Perez Roncero, et al, 2009))
Suatu penelitian yang mengevaluasi episode pelepasan progesteron
dan luteinizing hormon (LH) pada fase luteal dilakukan pada 14 wanita
dengan PMS dan 14 wanita tanpa PMS sebagai kelompok kontrol.
Sampel darah diambil tiap 10 menit selama 12 jam untuk mendeteksi
adanya progesteron dan LH. Hasil penelitian menunjukkan
peningkatan kadar progesteron dan penurunan kadar LH pada wanita
dengan PMS dibandingkan dengan wanita pada kelompok kontrol. Hal

8
ini mendukung pernyataan bahwa perubahan pada neuroendokrin
dapat menyebabkan PMS.

5. TEORI LAINNYA
a. KETIDAKSEIMBANGAN STEROID
Hipotesis dasar kadar steroid luteal yang abnormal sebagai
etilogi PMS, didasarkan pada observasi empiris adanya perbaikan
gejala pada penderita yang mendapat terapi progesteron
suposutoria. Penemuan ini memperkuat hipotesis bahwa penderita
PMS memiliki kadar progesterone yang rendah, estradiol yang
tinggi, dan perubahan ratio E2/P dibanding populasi kontrol.
Namun penelitian terhadap kadar steroid harian selama fase luteal
tidak mendukung hipotesis diatas. Dua penelitian menunjukkan
bahwa penurunan kadar progesteron dan peningkatan estradiol
yang ringan terjadi dalam 3 hari masa premenstruasi. Pada satu
penelitian lainnya menunjukkan bahwa perubahan hanya terjadi
pada penderita dengan gejala anxietas predominan. Penelitian lain
membuktikan tidak adanya perubahan kadar steroid pada fase luteal
dibanding populasi kontrol. (Perez Lopez FR, Chedraui P, Perez
Roncero, et al, 2009)
David Rubinow dkk mengadakan penelitian dengan hasil
yang menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat PMS akan
kembali mengalami gejala PMS apabila pada mereka diberikan
estrogen atau progesteron. Sedangkan wanita tanpa riwayat PMS
pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan mood
walaupun diberikan perlakuan yang sama. Dari penelitian ini
disimpulkan bahwa untuk mencetuskan gejala PMS diperlukan
adanya hormon sex wanita, sementara hormon sex itu sendiri bukan
merupakan penyebab PMS.

9
b. PENINGKATAN KADAR PROLAKTIN
Dari sekian banyak penelitian didapatkan bahwa tidak
ditemukan peningkatan kadar prolaktin pada fase luteal dibanding
populasi kontrol, sehingga disimpulkan prolaktin bukanlah etiologi
PMS.(Filho EAR, Lima JC, Neto JSP, Montaroyyos U, 2011)

E. GEJALA DAN TANDA


Premenstrual dysphoric disorder ditandai oleh beberapa kombinasi
dari perubahan mood, depresi, iritabel, dan anxietas, yang dapat disertai
oleh gejala fisik. Gejala-gejala ini, muncul secara terutama pada fase luteal
dari siklus menstruasi, dan berkurang secara umum dalam tiga hari setelah
onset haid. Sebagai tambbahan terdapat gangguan pada fungsi personal,
secara umum dalam lingkup sosial dan pekerjaan.(Shah NR, Jones JB,
Aperi J, et al, 2008)
Dalam menegakkan diagnosis dari PMDD, penelusuran terhadap
riwayat penyakit secara komprehensif dan pemeriksaan fisik diperlukan
untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari gejala fisik da
emosional. Kriteria diagnostik tertentu untuk PMDD, tertulis pada bagian
penelitian dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders,
edisi keempat, revisi ditunjukkan pada tabel1.

10
Tabel 1. Kriteria Premenstrual Dysphoric Disorder

Penting untuk mengenali gejala perubahan emosional pada PMDD


dan membedakannya dari kelainan mood dan anxietas mayor lainnya
(seperti gangguan depresif mayor, distimia, atau gangguan panik), karena
terapinya akan berbeda. Pencatatan sehari-hari secara prospektif terhadap
adanya gejala dan beratnya gejala untuk setidaknya dua siklus menstruasi
digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dari PMDD.
Sejumlah peralatan diagnostik yang valid dan dapat dipercaya
tersedia untuk pencatatan gejala dari PMDD, termasuk kalender
pengalaman premenstruasi, buku harian sindroma premenstruasi, dan
catatan harian tingkat beratnya permasalahan. Pasien-pasien mencatat
gejala emosional, fisi, dan fungsional harian menggunakan salah satu
peralatan tersebut, yang secara khusus menggunakan skala tipe Likert
untuk menilai adanya, onset, dan beratnya gejala. Diagnosis PMDD

11
ditegakkan bila pertama, pasien mencatat gejalanya terjadi pada dua siklus
menstruasi, selama diantaranya mulai dilakukan intervensi perubahan gaya
hidup. Jika tetap terdapat gejala setelah intervensi awal, maka terapi
farmakologi harus diberikan.

F. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pasien-pasien dengan PMDD antara lain
adalah mengurangi gejala, memperbaiki fungsi sosial dan pekerjaan,
mengarahkan pada perbaikan kualitas hidup. Tersedia beberapa pilihan
terapi

1. Perubahan gaya hidup


Perubahan gaya hidup mungkin bermanfaat pada pasien-pasien
dengan gejala yang berat dan memberikan keuntungan pada kesehatan
secara menyeluruh. Olahraga aerobik dan perubahan pola diet
seringkali mengurangi gejala premenstruasi. Mengurangi konsumsi
kafein dapat menredakan gejala anxietas dan iritabel, dan mengurangi
edem akibat hiponatremi dan rasa kembung. Banyak pasien yang lebih
memilih perubahan gaya hidup dan/atau suplementasi nutrisi sebagai
langkah awal pada penatalaksanaan PMDD.(Bowman MA, 2000)

2. Suplementasi Nutrisi
Banyak suplementasi nutrisi yang telah terbukti efektif. Dari meta
analisis dari sembilan penelitian randomized placebo-controlled yang
dilakukan untuk memastikan efektivitas vitamin B6 pada
penatalaksanaan PMS. Para peneliti menyimpulkan bahwa vitamin B6,
pada dosis hingga 100 mg per hari memberikan keuntungan pada
pasien pasien dengan gejala premenstruasi dan depresi premenstruasi.
Pada penelitian lain, dari hasil penelitian-penelitian yang dikumpulkan
dari Januari 1967 hingga September 1999 dilakukan tinjauan untuk
mengevaluasi efektivitas kalsium karbonat pada pasien-pasien dengan

12
PMS. Dan disimpulkan bahwa suplementasi kasium (menggunakan
Turns E-X) dapat mengurangi gejala inti dari premenstruasi sebanyak
48 persen pada 466 pasien. Vitamin E, suatu antioksidan, dapat
mengurangi gejala fisik dari PMS. Triptofan substrat suatu serotonin,
juga dapat memberikan keuntungan pada beberapa pasien. (Pearlstein
T, Steiner M, 2008)
Pendekatan terapi PMDD
a. Perubahan Gaya hidup
 Makan teratur, sering, porsi kecil kaya akan karbohidrat
dan rendah garam, lemak dan kafein
 Olahraga teratur
 Menghentikan merokok
 Menghentikan Alkohol
 Tidur teratur
b. Suplementasi nutrisi
 Vitamin B6 hingga 100 mg per hari
 Vitamin E, hingga 600 IU per hari
 Kalsium karbonat, 1200 hingga 1600 mg perhari
 Magnesium, hingga 500 mg per hari
 Triptofan hingga 6 mg per hari
c. Terapi nonfarmakologi
 Manajemen dan mengurangi stress
 Manajemen amarah
 Grup pendukung
 Terapi individu maupun pasangan
 Terapi kognitif-prilaku
 Edukasi pasien tentang kausa,, diagnosis, dan
penatalaksanaan PMS/PMDD
 Terapi cahaya dengan cahaya flouresen putih-teduh 10,000
Lx

13
3. Terapi nonfarmakologi
Hampir selalu, beban psikososial harus diketahui, baik sebagai
penyebab maupan sebagai akibat dari PMDD. Beban psikososial
diketahui merubah neurokimia otak, dan aktivitas hormon yang
berkaitan dengan stress. Mengurangi stress, melatih ketegasan, dan
mengatur amarah dapat mengurangi gejala dan konflik interpersonal.
Wanita dengan pandangan negatif terhadap dirinya sendiri dan masa
depannya yang disebabkan atau dipicu oelh PMDD bisa memberikan
manfaat dari segi terapi prilaku-kognitif. Terapi ini dapat
meningkatkan percaya diri dan efektivitas hubungan interpersonal,
sekaligus mengurangi gejala lain. Mendidik pasien dena keluarganya
tentang gangguan ini dapat meningkatkan pemahaman sehingga dapat
mengurangi konflik, stress, dan gejala. (Bowman MA, 2000)

4. Terapi herbal
Terdapat penelitian menilai data efikasi dan keamanan dari
suplemen herbal yang beredar dipasaran. Disimpulkan bahwa dua jenis
produk herbal, minyak evening primrose dan chaste tree berry, efektif
dalam terapi PMS. Peneliti lain memiliki kesimpulan yang bervariasi
tentang efikasi dari minyak evening primrose. Diduga minyak tersebut
menyediakan asam gamma-linolenic yang dibutuhkan untuk sintesis
prostaglandin E1, salah satu prostaglandin anti-inflamasi. Chaste berry
tree dapat
mengurangi kadar prolaktin, sehingga mengurangi gejala
pembengkakan pada payudara. Herbal ini belum disetujui oleh Food
and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dalam
penggunaannya untuk PMDD dan keamanannya dalam kehamilan dan
menyusui juga belum terbukti. Lebih lagi, standar pembuatan produk
herbal masih belum seragam. (Pearlstein T, Steiner M, 2008)

14
Tabel 2. Terapi Herbal Pada PMDD

5. Terapi Alternatif lain. (Kaur G, Gonsalce L, Thacker HL, 2004)


a. Akupressur dan Akupunktur
Merupakan bentuk pengobatan tradisional Cina yang
dianggap mampu mengembalikan aliran energi normal tubuh
manusia
b. Vaginal Biofeedback
Pasien dapat belajar meningkatkan suhu vaginanya,
menghangatkan daerah pelvis dan jaringan vagina. Hal ini akan
merangsang efek termogenik dari progesteron sehingga mampu
meredakan gejala.

c. Obat-obatan homeopatik
Kemungkinan mempunyai peranan pada terapi gejala
premenstruasi yang pernah ditunjukkan pada suatu penelitian.
d. Chiropraktis dan terapi pijat

15
Wanita bisa mendapatkan keuntungan dari manipulasi
spinal dengan amplitudo rendah, velositas tinggi., dan pemijatan
terhadap jaringan lunak dua atau tiga kali seminggu pada masa
premenstruasi. Terapi pijat juga diduga dapar menurunkan
anxietas, mood depresi dan nyeri segera setelah sesi pemijatan.
Dampaknya selama periode lebih dari 5 minggu termasuk
mengurangi nyeri, distress menstruasi, dan retensi cairan.
e. Refleksologi
Termasuk melakukan penekanan pada titik-titik refleks
(telinga, tangan, dan kaki), yang berkaitan dengan daerah tertentu
dari tubuh. Oleson dan Flocco menemukan bahwa berkurangnya
gejala premenstruasi pada pasien-pasien dengan refleksologi
dibandingkan dengan plasebo bentuk tindakan ini..
f. Terapi cahaya.
Tiga penelitian menemukan bahwa cahay putih terang
selama fase luteal dari siklus menstruasi membantu wanita dengan
PMDD. wanita dengan depresi dan gejala fisik paling diuntungkan.

6. Intervensi Farmakologi
a. Obat-obatan antidepresan dan anxiolitik
Antidepresan serotoninergik merupakan terapi lini pertama
sebagai pilihan untuk PMDD yang berat. Flouxetine, pada dosis 20
mg per hari, telah menunjukkan lebih baik dibandingkan dengan
plasebo, walaupun hanya digunakan pada fase luteal atau penuh
sepanjang satu siklus mesntruasi. Pada tinjauan terhadap tujuh
penelitian terkontrol dan empat uji klinik open-label terhadap
flouksetin, gejala berkurang secara bermakna pada pasien dengan
PMDD. (Pearlstein T, Steiner M, 2008)

16
Tabel 3. Intervensi farmakologi : Pengobatan Antidepresan
dan Anxiolitik

Pada salah satu penelitian dengan kontrol plasebo,


paroxetin pada dosis 10 hingga 30 mg perhari memperbaiki mood
dan gejala fisik pada pasien-pasien dengan PMDD. Paroxeetin
lebih efektif dibandingkan dengan inhibitor reuptake noradrenalin,,
maprotiline. Sertralin pada dosis 50 hingga 150 mg per hari lebih
baik dari plasebo jika digunakan pada satu siklus penuh menstruasi
maupun hanya pada fase luteal. Citalopram pada dosis 10 hingga
30 mg per hari efektif pada satu penelitian penelitian randomized
placebo-controlled. Yang menarik adalah, pemberian citalopram
secara intermiten selama fase luteal didapatkan lebih baik
diabdingkan dengan pemberian secara terus menerus.

17
Klomipramin, suatu antidepresan serotoninergik trisiklik yang
memepengaruhi sistem noradrenergik, pada dosis 25 hingga 75 mg
perhari digunakan selama satu siklus penuh atau secara intermiten
selama fase luteal, secara bermakna mengurangi gejala keseluruhan
dari kompleks PMDD.(Freeman EW, Rickels K, Arredondo F, Et
al, 1999; Freeman EW, Rickels K, Sondheimer SJ, 1999)
Pada metaanalisis terhadap 15 studi randomised placebo
controlled, tentang efikasi pemberian SSRIs pada PMDD,
disimpulkan bahwa SSRIs merupakan terapi lini pertama yang
efektif dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap
berkurangnya gejala antara pemberian secara terus menerus dengan
pemberian secara intermiten. Karena flouxetin, citalopram,
klomipramine, dan sertralin efektif jika diberikan selama fase
luteal saja. Pendekatan demikian dapat mengurangi risiko efek
samping jangka panjang (seperti pertambahan berat badan),
mengurangi sindroma diskontiniuitas, dan mengurangi dari segi
pembiayaan. SSRIs memberikan manfaat terhadap kompleksitias
gejala PMDD secara keseluruhan, tidak hanya gejala yang
berkaitan dengan mood. Harus dicatat bahwa flouxetin dan
stertralin adalah dua dari SSRI yang disetujui penggunaannya pada
PMDD.
Alprazolam, benzodiazepin potensi tinggi dengan dampak
meningkatkan mood dan efek anxiolitik, telah dibuktikan efektif
pada pasien-pasien dengan PMS. Karena potensi ketergantungan,
alprazolam harus dipertimbangkan hanya sebagai obat lini kedua
dan digunakan hanya jika SSRI gagal untuk mencapai respon
optimal. Terapi harus dibatasi pada fase luteal saja, dan harus
diberikan pada dosis rendah – 0.375 hingga 1.5 mg per hari. Risiko
ketergantungan terhadap alprazolam dapat diminimalisir dengan
memberikannya hanya selama fase luteal dari siklus menstruasi
pada pasien-pasien tanpa riwayat pemakaian obat-obatan terlarang.

18
b. Terapi hormon
Telah dibuktikan bahwa dengan menginduksi anovulasi dan
amenore, GnRH agonis, leuprolide, histrelin da ngoserelin
menyebabkan berkurangnya gejala yang cukup bermakna pada
pasien tanpa penyerta depresi. Namun demikian pengobatan ini
dapat memicu gejala menopause seperti rasa panas, keringnya
vagina, lellah, iritabel, masalah jantung, osteopenia. Pada wanita-
wanita dengan riwayat PMDD, penatalaksanaan melalui induksi
menopause dengan esterogen, atau esterogen ditambah
progesteasional dapat menginduksi gejala rekurensi dari PMDD.
Temuan ini mendukung teori etiologi peran hormon gonadal wanita
dalam PMDD.(Leather AT, tudd JW, Watson, NR, 1999)
Danazol (Danocrine), suatu androgen lemah, diberikan pada
pasien-pasien dengan endometriosis, penyakin fibrosistik payudara,
dan edema angioneurotik edema herediter, dan kadang-kadang
digunakan untuk terapi PMDD. dosis yang digunakan adalah 100
mg dua kali sehari. Terapi ini dapat mengurangi gejala namun
dapat menyebabkan anovulasi dan maskulinisasi sehingga dihindari
penggunaan rutin. Karena Berpotensi untuk efek samping yang
serius, dan pembiayaan yang cukup bermakna, GnRH agonis dan
danazol hanya digunakan sebagai usaha terakhir. Pengobatan ini
harus dimulai selama haid untuk mencegah teratogenitas jika
seandainya terdapat kehamilan yang tidak diinginkan.(Hahn PM,
Van Vugt DA, Reid RL, 1995, Chattopadhyay S, 2004)
Meskipun kontrasepsi oral menekan ovulasi, namun tidak
dilaporkan efektivitas yang konsisten pada terapi PMDD (mungkin
karena penelitian ini memiliki sampel yang bervariasi). Kontrasepsi
oral mungkin tidak cukup jika gejala mood lebih menonjol dan,
pada beberapa pasien, obat-obatan ini dapat memperburuk disforia

19
(yang diketahui sebagai salah satu efek samping dari beberapa jenis
pil kontrasepsi) pada banyak wanita tanpa PMDD.
Efektifitas penelitian terhadap progesteron telah
menunjukka manfaat dalam batas tertentu. Salah satu penelitian
menunjukkan progesteron lebih unggul dibandingkan plasebo;
namun, pada penelitian lain melaporkan efikasinya sama atau
hanya sedikit berbeda dibandingkan plasebo. Baru-baru ini,
hormon gonad ovarium diduga terbatas penggunaannya pada terapi
PMDD dan tidak ada dari obat-obatan in yang mendapat
persetujuan FDA untuk indikasinya dalam PMDD.

20
Tabel 4. Terapi hormonal pada PMDD

c. Obat Farmakologi Tambahan


Pada penelitian double-blind, placebo controlled crossover,
spironolakton pada dosis 100 mg per hari lebih efektif
dibandingkan dengan plasebo dalam mengurangi iritabilitas,
depresi, gejala somatik, merasa bengkak, nyeri pada payudara, dan
lapar terhadap makanan manis bromokriptin pada dosis hingga 2.5
mg tiga kali sehari dapat bermanfaat pada pasien dengan mastalgia
siklik, walaupun pada satu penelitian tidak ditemukan efektif.

7. Intervensi medis lainnya


Sejarahnya, tindakan bedah dan radiasi ooforektomi telah
dilakukan untuk terapi PMS yang berat, namun modalitas ini tidak
memiliki peran pada manajemen terbaru dari PMDD.
Penilaian efikasi evidenced-based terkini yang tersedia untuk
terapi PMS dan PMDD digambarkan pada tabel 5.

21
Tabel 5. Tingkat Efektivitas Terapi PMS/ PMDD

22
BAB III

KESIMPULAN

1. Premenstrual Dysphoric Disorder merupakan bentuk berat dari


Premenstrual Syndrome
2. Premenstrual Dysphoric Disorder ditandai dengan gejala fisik dengan
gejala emosional yang lebih berat, dan ditegakkan berdasarkan kriteria
diagnostik menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, edisi ke-4 (DSM-IV)
3. Penatalaksanaan Premenstrual Disphoric Disorder bisa berupa
nonfarmakologi atau farmakologi
4. Penatalaksanaan Premenstrual Dysphoric Disorder bertujuan untuk
memperbaiki kualitas hidup

23
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental


disorders. 4th ed. Washington, D.C.: American Psychiatric Association,
1994:715–8.
Bowman MA. Premenstrual syndrome. In: Dambro MR, Griffith JA, eds.
Griffith’s 5 minute clinical consult, 2000. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins, 2000:862–3.
Cahttopadhyay S. Aetiology, Diagnosis And Management of Premenstrual
Changes (Pmcs): Current Views. The internet Journal of Gynecology and
Obstetrics. 2004.
Campagne DM, Campagne G. The Premenstrual Syndrome revisited. European
Journal of Obstetrics and Gynecology and Reproductive Biology. 2007:4-17
Filho EAR, Lima JC, Neto JSP, Montaroyyos U. Essenstial fatty acids for
premenstrual syndrome and their effest on prolactin and total cholesterol
levels: a randomized, double blind, placebo-controlled study. Reproductive
Health. 2011: 8:2.
Freeman EW, Rickels K, Arredondo F, Kao LC, Pollack SE, Sondheimer SJ. Full-
or half-cycle treatment of severe premenstrual syndrome with a serotonergic
antidepressant. J Clin Psychopharmacol. 1999;19:3–8.
Freeman EW, Rickels K, Sondheimer SJ, Polansky M. Differential response to
antidepressants in women with premenstrual syndrome/premenstrual
dysphoric disorder. Arch Gen Psychiatry. 1999;56:932–9.
Guyton, A.C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Buku
kedokteran EGC.
Halbreich U, Monacelli E. Some Clues to Etiology ofPMS/ premenstrual
Dysphoric Disorder. Primary Psychiatry. New York. Dec 2004; 33-40.
Htay TT. Premestrual Dysphoric Disorder. Medscape Reference Drugs, Disease
And Procedures. 2011
Kaur G, Gonsalce L, Thacker HL. Premenstrual Dysphoric Disorder. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 71: 2004 2004
Kendler KS, Karkowski LM, Corey LA, Neale MC. Longitudinal population-
based twin study of retrospectively reported premenstrual symptoms and
lifetime major depression. Am J Psychiatry. 1998;155:1234–40.

24
Leather AT, Studd JW, Watson NR, Holland EF. The treatment of severe
premenstrual syndrome with goserelin with and without ‘add-back’ estrogen
therapy. Gynecol Endocrinol. 1999;13:48–55
Mishell DR. Premenstrual Disorder : Epidemiology and Disease Burden. The
American Journal of Manage Care, vol 11, No 16, USA, Dec 2005; 473-8.
Pearlstein T, Steiner M. Premenstrual dysphoric disorder: burden of illness and
tratment update. Journal of Psychiatry Neuroscience. 2008; 33(4): 291-301
Perez Lopez FR, Chedraui P, Perez Roncero, et al. Premenstrual Sundrome and
Premenstrual Dysphoric Disorder: Symptoms and Cluster Influences. The
Open Psychiatry Journal 3: 47-57. 2009
Schmidt PJ, Nieman LK, Danaceau MA, Adams LF, Rubinow DR. Differential
behavioral effects of gonadal steroids in women with and in those without
premenstrual syndrome. N Engl J Med. 1998;338:209–16.
Shah NR, Jones JB, Aperi J, et al. Selective Serotonin Reuptake for Premenstrual
Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder. Obstet Gynecol Author
manuscript. 2008; 111(5): 1175-1182
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Speroff, L and Fritz, M.A. 2010. Clinical Gynecologic and Endocrinology and
Infertility. 7th Ed. Panama: Lippicott William and Wilkins.
Thys-Jacobs S, Starkey P, Bernstein D, Tian J. Calcium carbonate and the
premenstrual syndrome: effects on premenstrual and menstrual symptoms.
Am J Obstet Gynecol. 1998;179:444–52.
Wiknjsastro, 2007. Ilmu Kandungan dan Kebidanan. Jakarta: Yayasan Pustaka
Sarwono Prawiroharjo
Wyatt KM, Dimmock PW, Jones PW, Shaughn O’Brien PM. Efficacy of vitamin
B-6 in the treatment of premenstrual syndrome. BMJ. 1999;318:1375–81.

25

Anda mungkin juga menyukai