Anda di halaman 1dari 18

Bait tentang Isra' & Mi'raj dalam Kitab Aqidatul Awam karya Sayyid Ahmad Al-Marzuqi Al-Makky :

َ‫ي ِ هِجْ َرةَِ َوقَ ْب َل‬ َ ِ‫اْلس َْرا النَّب‬ِْ - ‫ن‬ َْ ِ‫لا َّم َّكةَ م‬
َ ‫يُد َْرى ِلقُدْسَ لَ ْي‬
‫س َما ع ُُر ْوجَ ِإس َْراءَ َو َب ْع ََد‬ َّ ‫كَلَّــ َما َربـًّــا النَّ ِبـيَ َرأَى َحــتَّى – لِل‬
َْ ِ‫ْر م‬
‫ن‬ َِ ‫غي‬َ َ‫صارَ َكيْف‬ َ ِ‫ع َل ْي َِه – َوا ْفت ََرضَْ َوا ْنح‬ َ ‫سا‬ ‫فَ َرضَْ خ َْم ِسيْنََ َب ْع ََد خ َْم ا‬
‫اْلس َْراءَِ ْاْل ُ َّم َةَ َوبَلَّ ََغ‬ِْ ‫ض – ِب‬ َ ِ ‫سةَ َوفَ ْر‬ َ ‫َم‬ْ ‫خ‬ َ
‫ل‬ َ ‫ب‬
ِ ‫ْامت َِر‬
‫اء‬
َ
‫ص ِديْقَ فَازََ قَ َْد‬ ِ َ‫ص ِديْق‬ َ ‫الصدْقَُ َوبِ ْالعُ ُر ْو‬
ْ َ‫جِ – لَ َهُ بِت‬ ِ ‫أ َ ْه َل َهُ َوافَى‬
"Nabi Muhammad Isra' sebelum Hijrah, dari Mekah ke Baitul Maqdis pada malam hari".

"Setelah Isra beliau Mi'raj ke langit, sehingga beliau melihat Tuhan berkata (kepadanya)".

"Tidak dengan cara (percakapan pada umumnya) dan tanpa batasan tempat. Kemudian Allah
mewajibkannya 5 waktu Sholat setelah sebelumnya (diwajibkan) dalam 50 waktu".

"Kemudian beliau menyampaikan (Kabar) Isra' dan kewajiban Sholat 5 waktu kepada Ummat Islam
tanpa adanya keraguan".

"Telah beruntung Ash-Shiddiq (Abu Bakar) dengan membenarkannya, maka dengan Mi'raj ini beliau
menjaga keluarganya (dengan Iman yang sempurna)".

Syeikh Muhammad Bin Ali Ba'athiyyah dalam Kitabnya Mujazul Kalam ketika mengomentari bait ke
46-50 dari Nadzom Aqidatul Awam tersebut menuturkan: Di antara hal yang wajib diyakini oleh
setiap Muslim dengan keyakinan yang teguh adalah peristiwa Isra' (perjalanan di malam hari)
Nabi Muhammad SAW dari Mekah Al-Mukarromah ke Baitul Maqdis sebelum Hijrah ke Madinah.

Sedangkan dalam hal ini, meyakini Peristiwa Isra' merupakan hal yang harus diketahui dalam
Agama Islam. Sehingga barang siapa yang mengingkarinya akan Kafir, karena Peristiwa ini telah
termaktub dalam Firman Allah SWT :

ََ‫س ْب َحان‬
ُ َ‫ِي‬ َ ‫صى ْال ََمس ِْج َِد ِإلَى ْال َح َر ِامَ ْال َمس ِْج ِدَ مِ نََ لَ ْي‬
ْ ‫لا ِب َع ْب ِد ِهَ أَس َْرى الَّذ‬ َْ ‫ار ْكنَا الَّذ‬
َ ‫ِي ْاْل َ ْق‬ َ ‫ َح ْولَ َهُ َب‬. (‫ اْلسراء‬: 1)
"Maha suci Dzat yang telah memperjalankan hambanya pada malam hari dari Masjidi Al-Haram
ke Masjid Al-Aqsho yang telah kami berkahi sekitarnya". (QS. Al-Isra' : 1)

Kemudian setelah Isra', Nabi Muhammad SAW dimi'rajkan (dinaikkan) ke langit dengan Ruh dan
Jasadnya dalam keadaan sadar (bukan mimpi) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah
bahwasannya Nabi Muhammad SAW itu Mi'raj dalam keadaan mimpi. Atau Riwayat dari Sayyidah
Aisyah r.a. :

َ ‫صلَّى – ُم َح َّمدَ َج‬


"‫س َُد فَقَ ََد َما‬ َ ُ‫للا‬ َ ‫سلَّ ََم‬
َ ‫علَ ْي َِه‬ َ ‫و‬- َ ‫"ف َِرا‬.
َ ُ‫ش َه‬
"Sungguh jasad Nabi Muhammad SAW tidak pergi dari tempat tidurnya".

Akan tetapi menurut Ulama' mengenai riwayat dari Sayyidah Aisyah r.a. ini ketika Nabi
Muhammad SAW sudah menetap di Madinah, atau kemungkinan pernah terjadi Mi'raj yang
serupa tapi hanya dengan Ruhnya saja, dan inilah yang dikabarkan oleh Sayyidah Aisyah r.a.
Sedangkan Mi'raj yang terjadi ketika Nabi SAW di Mekkah umur Sayyidah Aisyah r.a. masih
terlampau kecil sekitar 4 tahun sehingga beliau tidak mengetahuinya.

Sedangkan dalam hal ini para pendahulu dari kalangan Sahabat bahkan telah menjadi Ijma'
(kesepakatan bersama) semua Ulama di abad ke 2 Hijriyah sesugguhnya Mi'rajnya Nabi
Muhammad SAW itu dengan Ruh dan Jasadnya dalam keadaan terjaga (sadar), dan barang siapa
yang mengingkarinya maka ia dianggap Fasiq.

Kemudian Ulama' berpeda pendapat tentang tempat sampainya Nabi Muhammad SAW dalam
peristiwa Mi'raj ini dalam beberapa pendapat di antaranya ada yang menyatakan sampai ke
Surga, ada pula yang menyatakan sampai ke 'Arsy bahkan jauh lebih itu di atasnya 'Arsy sampai
di batas Jagat Raya (Sidratul Muntaha). (Syarah Al-Aqidah Ath-Thohawiyah karya Syeikh Abdul
Ghoni Al-Hanafi Ad-Dimasyqi halaman 75)

Setelah Nabi Muhammad SAW sampai di tempat Mi'raj tersebut beliau melihat Allah SWT,
kemudian Allah berfirman secara langsung kepadanya. Dan hal ini (melihat Allah) termasuk hal
yang Khusus yang tidak terjadi kepada siapapun di dunia ini kecuali Nabi Muhammad SAW.
(Silahkan merujuk pada Kitab Al-Bajuri 'Ala Al-Jauharah)

Imam Al-Qurthubi didalam Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an Juz 7 Halaman 156 berkata :

"‫ الحارث بن للا عبد قال‬: ‫كعب بن وأبي عباس ابن اجتمع‬, ‫عباس ابن فقال‬: ‫مرتين ربه رأى فنقول هاشم بنو نحن أما‬. ‫عباس ابن قال ثم‬
: ‫ْلبراهيم تكون الخلة أن أتعجبون‬, ‫لموسى والكلم‬, ‫أجمعين وعليهم وسلم وآله عليه للا صلى لمحمد والرؤية‬. ‫ قال‬: ‫كعب بن أبي فكبر‬
‫الجبال جاوبته حتى‬, ‫ قال ثم‬: ‫السلم عليهما وموسى محمد بين وكلمه رؤيته قسم للا إن‬, ‫وسلم عليه للا صلى محمد ورآه موسى فكلم‬.
‫ الرزاق عبد وحكى‬: ‫ربه محمد رأى لقد باهلل يحلف كان الحسن أن‬. ‫ابن عن المتكلمين بعض وحكاه عكرمة عن الطلمنكي عمر أبو وحكاه‬
‫أشهر عنه واْلول مسعود‬. ‫ هريرة أبا سأل مروان أن إسحاق ابن وحكى‬: ‫ فقال ربه؟ محمد رأى هل‬: ‫نعم‬. ‫أحمد عن النقاش عن وحكى‬
‫ قال أنه حنبل بن‬: ‫ عباس ابن بحديث أقول أنا‬: ‫ رآه رآه بعينه‬... ‫أحمد نفس يعني نفسه انقطع حتى‬. ‫للقرطبي القرآن ْلحكام الجامع إهـ‬
‫ ج‬7/156.
"Abdullah Bin Al-Harits berkata : Telah berkumpul Ibnu Abbas dan Ubay Bin Ka'ab, kemudian
Ibnu Abbas berkata : Adapun kami Bani Hasyim berkata bahwasannya Nabi Muhammad SAW
telah melihat Tuhannya dua kali. Kemudian Ibnu Abbas berkata lagi : Tidakkah kalian kagum
sesungguhnya gelar Al-Khalil (Sang Kekasih) diperoleh Nabi Ibrahim a.s., kemudian gelar Al-
kalim (Yang diajak bicara) diperoleh Nabi Musa a.s., sedangkan melihat Allah SWT diperoleh
Nabi Muhammad SAW. Al-Harits berkata : Maka bertakbirlah Ubay Bin Ka'ab seraya berkata :
Sesungguhnya Allah telah membagi Ru'yah & Kalamnya antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi
Musa a.s., Allah berbicara pada Nabi Musa a.s. dan memperlihatkan Nabi Muhammad SAW
kepadaNya".

"Abdurrazzaq berkata : Sesungguhnya Al-Hasan telah bersumpah atas Nama Allah bahwa
sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah melihat Tuhannya. Abu Umar Ath-Tholamanki
meriwayatkan dari Ikrimah, dari sebagian Mutakallimin (Ulama' Ahli Kalam/Aqidah) dari Ibnu
Mas'ud r.a. sedangkan yang riwayat yang pertama lebih masyhur".

"Ibnu Ishaq meriwayatkan sesungguhnya Marwan bertanya kepada Abu Hurairah : Apakah Nabi
Muhammad SAW telaj melihat Tuhannya? Maka Abu hurairah menjawab : Benar".

"An-Naqqosy telah meriwayatkan dari Imam Ahmad Bin Hanbal, sesungguhnya beliau berkata :
Aku berkata dengan Haditsnya Ibnu Abbas : Dengan matanya sungguh (Nabi Muhammad SAW)
telah melihatNya. Sampai-sampai nafas Imam Ahmad terputus ketika mengucapkannya".

Adapun Dalil secara Akal tentang diperbolehkannya melihat Allah SWT adalah : Sesungguhnya
Allah itu Dzat yang wujud (ada), dan setiap yang wujud itu boleh/bisa untuk dilihat. Sehingga
pada kesimpulannya Allah bisa dilihat. Sedangkan menurut Ahlussunnah Wal Jama'ah melihat
Allah SWT di akherat itu diperoleh juga bagi orang-orang yang beriman berdasarkan dalil dari
Al-Qur'an dan Hadits.

Dalil dari Al-Qur'an :

ِ ‫ن‬. ‫نَاظِ َرةَ َربِ َها إِلَى‬. (‫ القيامة‬: 22-23)


َ‫َاض َرةَ ي َّْو َمئِذَ ُو ُج ْوه‬
"Wajah-wajah (orang-orang Mu'min) pada hari itu berseri-seri, memandang kepada Tuhannya".
(QS. Al-Qiyamah : 22-23)

َ ْ‫و ِز َيا َدةَ ْال ُح ْسنَى أَح‬...


ََ‫سنُ ْوا لِلَّ ِذيْن‬ َ (‫ يونس‬: 26)
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya
(kenikmatan melihat Allah)". (QS. Yunus : 26)

Kata (‫ ْال ُح ْسنَى‬: Al-Husna) dalam ayat ini diterjemahkan oleh kebanyakan Ahli Tafsir dengan makna
"Surga", sedangkan kata (َ‫ز َيا َدة‬:
ِ Ziyadah) diterjemahkan dengan makna "Melihat Allah".

Dalil dari Hadits :

َ َ‫ ْال َبد ِْرَ لَ ْيلَ َِة فِي ْالقَ َم َرَ ت ََر ْونََ َك َما َر َّب ُك ْم‬..." ‫الترمذي رواه‬
"َ‫ست ََر ْونََ ِإنَّ ُك ْم‬
"Sungguh kalian (Mu'minin) akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat Bulan pada
malam Purnama…" (HR. Imam Tirmidzi)

Kemudian ada pula do'a yang sering dipanjatkan oleh Rasulullah SAW :

"‫ار ُز ْقنَا‬ ْ َّ‫ ْالك َِري َِْم َوجْ ِهكََ إِلَى الن‬..."
ْ ‫ظ ََر َو‬
"Dan anugrahilah kami untuk melihat Dzat-Mu yang mulia…"

Dari Ijma' :
Sesungguhnya Para Sahabat Nabi Muhammad SAW telah bersepakat (Ijma') tentang bolehnya
melihat Dzat Allah kelak di Akherat. Imam Malik r.a. berkata : "Ketika Allah menutup para
musuh-Nya maka mereka tidak bisa melihatNya".

Andai kata Orang Mu'min itu tidak bisa melihat Tuhan mereka di Akherat niscaya allah tidak
akan mencela orang-orang kafir dari keterhalangan mereka untuk melihat Dzat-Nya.
Sebagaimana Firman Allah SWT yang berikut ini :

َ‫ن إِنَّ َُه ْمَ ك ََّل‬ َ ‫لَّ َمحْ ُج ْوب ُْونََ يَ ْو َمئِذَ َّربِ ِه َْم‬. (‫ المطففين‬: 15)
َْ ‫ع‬
"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya pada hari itu mereka (orang kafir) terhalang dari (melihat)
Tuhannya". (QS. Al-Muthoffifin : 15)

Imam Syafi'i r.a. berkata :

"‫بالسخط قوما حجب لما‬, ‫"بالرضا يرونه قوما أن على دل‬.


"Ketika suatu kaum (Kafir) dihalangi karena kemaran (Allah) hal ini menunjukkan kaum lainnya
(Mu'minin) melihatNya dengan Ridha".

Sedangkan Ru'yah (melihat) ini terjadi tidak seperti kita melihat teman kita, tidak pula serupa
dengan cara penglihatan yang terjadi pada Mahluk lainnya dengan saling berhadapan dan
menempati arah dan tempat. Serta tanpa batasan bagi yang terlihat dari yang melihatnya
sekiranya diliputi. Karena bagi Allah itu sangat Mustahil jika dibatasi dengan tempat, ruang dan
arah. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an :

"َ‫ار تُد ِْر ُك َهُ َل‬ َ ‫ارَ يُد ِْركَُ َوه ََُو ْاْل َ ْب‬
َُ ‫ص‬ َ ‫ص‬َ ‫ْفَ َوه ََُو ْاْل َ ْب‬ َّ ‫ْر‬
ُ ‫اللطِ ي‬ ْ (‫ اْلنعام‬: 103)
َُ ‫"ال َخ ِبي‬.
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala
penglihatan itu, dan Dialah yang Maha Lembut lagi Maha teliti." (QS. Al-An'am : 103)
Melihat Dzat Allah SWT ini bisa didapat oleh semua orang yang beriman baik dari kalangan
Manusia maupun kalangan Jin, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan Ahli Fatroh (orang
yang hidup di antara masa dua Rasul, tidak menemui yang pertama dan tidak pula menemui
yang ke dua seperti masa antara Nabi Isa a.s dan nabi Muhammad SAW) dan Malaikat juga bisa
melihat Allah. Sedangkan orang-orang yang Munafik dan Kafir tidak bisa melihatNya
sebagaimana Firman Allah SWT :

َ‫ن ِإنَّ ُه ْمَ ك ََّل‬ َ َ‫لَّ َمحْ ُج ْوب ُْونََ يَ ْو َمئ َِذ َّر ِب ِه ْم‬. (‫ المطففين‬: 15)
َْ ‫ع‬
"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya pada hari itu mereka (orang kafir) terhalang dari (melihat)
Tuhannya". (QS. Al-Muthoffifin : 15)

Sebab mereka (Munafik & Kafir) tidak termasuk dari orang-orang yang dimuliakan oleh Allah.
Jadi pada kesimpulannya melihat Allah SWT itu sesuatu yang mungkin terjadi sebagaimana
Firman Allah SWT kepada Nabi Musa a.s. di saat beliau meminta kepada Allah untuk melihatnya
:

ِ ‫ظ َُر أ َ ِر ِن ْيَ َر‬


"َ‫ب‬ ُ ‫ ِإ َليْكََ أ َ ْن‬, ‫ل‬
ََ ‫ي َل ْنَ قَا‬
َْ ‫ظ َْر َولَك ِِنَ ت ََرى ِن‬ َِ ‫ن ْال َج َب‬
ُ ‫ل ِإلَى ا ْن‬ َِ ِ ‫فَ َمكَانَ َهُ ا ْستَقَ ََّر فَإ‬ َ َ‫"ت ََرى ِن ْيَ ف‬. (‫ اْلعراف‬: 143 )
َ ‫س ْو‬
"Wahai Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku bisa melihat Engkau, (Allah)
berfirman : "Engkau tidak akan melihat-Ku, akan tetapi lihat kepada Gunung itu apabila ia
tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku". (QS. Al-A'raf 143)

Dalam ayat ini terdapat 2 pembahasan, yang pertama : Apabila melihat Allah SWT itu terlarang
di dunia niscaya Nabi Musa a.s. tidak akan meminta hal tersebut, sebab beliau adalah Nabi yang
mengetahui apa saja yang Wajib, yang Mustahil dan yang Jaiz (boleh) bagi Allah SWT.
Sedangkan tidak boleh (tidak mungkin) bagi seorang Nabi untuk tidak mengetahui tentang
urusan Ketuhanan.

Yang kedua adalah : Sesungguhnya melihat Allah SWT dalam konteks ayat tersebut
dikaitkan/digantungkan dengan sesuatu yang mungkin terjadi yaitu "Tetapnya Gunung tersebut
pada tempatnya", sedangkan sesuatu yang digantungkan dengan sesuatu yang mungkin itu bisa
saja terjadi.

Kemudian ada pengingkaran dari Kalangan Mu'tazilah tentang kebolehan melihatnya seorang
hamba kepada Tuhanya berdasarkan ayat tadi dengan dalih kata (َ‫ي َل ْن‬
َْ ‫" )ت ََرى ِن‬Engkau tidak akan
melihat-Ku" menunjukkan ketidak-mampuan untuk melihat selamanya. Akan tetapi argument
mereka telah dibantah bahwasannya Ayat tersebut tidak menunjukkan terkecuali untuk
menafikan adanya Ru'yah di masa mendatang saja, tidak pula menafikan Ru'yah untuk
selamanya. Andai kata melihat Allah itu terlarang, niscaya Allah akan berfirman kepada Nabi
Musa dengan redkasi kata (َ‫ )أ ُ َرى لَ ْن‬yang artinya : "Selamanya Aku tidak dapat dilihat".

Nah, ketika Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya, kemudian Tuhan berfirman dengannya
seraya mewajibkan Sholat di 5 waktu yaitu Dzuhur, 'Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh yang pada
awalnya diwajibkan dalam 50 waktu. Ketika beliau bertemu dengan Nabi Musa a.s., Nabi Musa
berkata : "Kembalilah ke Tuhanmu, sungguh Ummatmu tidak akan mampu atas hal tersebut
(Sholat di 50 waktu)". Sampai pada akhirnya Nabi Muhammad mondar-mandir antara Nabi Musa
dan Tuhannya hingga Allah SWT meringankan beban Sholat menjadi 5 waktu sebagaimana yang
diriwayatkan oleh banyak Imam Hadits dalam kitab-kitab mereka seperti Shohih Al-Bukhari,
Shohih Muslim, Sunan al-Bayhaqi, Sunan Ibnu Majah, Shohih Ibnu Hibban dll.

Catatan Tambahan : Ketika Nabi Muhammad SAW naik turun dari tempatnya berdialog dengan
Allah SWT ke langit tempat menemui Nabi Musa a.s. banyak orang beranggapan bahwasannya
Allah berada di langit, hal ini sangat salah besar. Sidratul Muntaha hanyalah tempat mulia yang
dikhususkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad SAW berbicara dengan-Nya, sebagaimana Allah
SWT mengajak bicara Nabi Musa a.s. di Lembah Sinai. Sebab Allah tidak butuh pada tempat dan
arah sebagaimana yang diyakini dalam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah-Red).

Kemudian, di antara hal yang wajib diyakini pula oleh orang Mu'min adalah sesungguhnya Nabi
Muhammad SAW menyampaikan kabar tentang Isra' dan Mi'raj serta kewajiban Sholat di 5
waktu. Sedangkan Sholat yang pertama kali nampak dalam Agama Islam adalah Sholat Dzuhur,
sebab ini adalah Sholat yang pertama kali diajarkan oleh Malaikat Jibril a.s. kepada Nabi
Muhammad SAW. Adapun alas an belum diwajibkannya Sholat Shubuh (setelah mendapatkan
perintah Sholat di malam harinya) itu dikarenakan ketidaktahuan dalam pelaksanaannya,
sedangkan Sholat 5 waktu tersebut baru dijelaskan ketika sudah memasuki waktu Dzuhur.

Keadaan Manusia Dalam Menanggapi Kabar Isra' & Mi'raj


Keesokan harinya, setelah Rasulullah SAW mengalami peristiwa Isra' & Mi'raj pada malam hari
beliau mengumpulkan orang-orang untuk menyampaikan tentang kabar tersebut. Bahkan pada
waktu itu Orang Kafir Quraisy ingin menguji kebenaran peristiwa Isra' & Mi'raj dengan harapan
Nabi Muhammad SAW terbungkam dengan ucapannya sendiri. Akhirnya Rasulullah SAW
menunjukkan kepada mereka dengan beberapa pertanda, di antaranya : Sampainya Kafilah
mereka sebelum terbenamnya Matahari, akan tetapi kala itu kedatangan Kafilah terlambat
sehingga ditahanlah Matahari tersebut (oleh Malaikat Jibril) hingga akhirnya mereka sampai.

Pertanda lain yang disebutkan dalam Kitab-Kitab Hadits dan Siroh adalah penggambaran
tentang Masjid Al-Aqsha dan pintu-pintunya. Kala itu Rasulullah SAW memasuki Masjid Al-Aqsha
di malam hari sehingga tidak bisa menggambarkan (menyifati) sebab belum melihat
sebelumnya. Manakala orang-orang Kafir meminta agar Rasulullah menceritakan tentang
Sifat/Bentuk Masjid Al-Aqsha, maka Allah mengangkat Masjid Al-Aqsha ke penglihatan Nabi
Muhammad SAW sehingga bisa memberikan gambaran detail tentang Masjid tersebut.

Di saat sebagian orang ingkar akan kabar Isra' dan Mi'raj bahkan menjadi murtad karena
lemahnya Iman mereka, maka tampillah Abu Bakar r.a. untuk membenarkan kabar tersebut.
Maka sejak itulah Abu Bakar mendapat julukan "Ash-Shiddiq" yang artinya adalah "Yang
Membenarkan". Dan dengan kabar ini beliau telah menjaga keluarganya dengan Iman yang
sempurna, sebab barang siapa yang mendustakan akan kabar Isra' maka ia telah kafir,
sedangkan yang mendustakan Mi'raj ia dianggap Fasiq seperti pada awal penjelasan.

Wallahu A'lam Bish-showab.

Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber


MMN: http://www.muslimedianews.com/2015/05/peristiwa-isra-miraj-perspektif-
ulama.html#ixzz4erRd8tgs

MENGUAK MISTERI ISRA’ MI’RAJ DALAM


TINJAUAN FISIKA DAN TAFSIR
14062010
Prolog

Ilmuwan terkemuka Sinka mengatakan: siapa pun yang melayangkan pendangannya ke arah langit pasti akan
memejamkan kedua matanya dengan penuh kekaguman dan katakjuban. Sebab ia melihat jutaan bintang yang bersinar
terang, mengamati pergerakannya di garis orbitnya, dan beralih memandangi rasi-rasinya. Masing-masing bintang,
planet, nebul, dan satelit adalah dunia yang berdiri sendiri, dan jauh lebih besar daripada bumi beserta segala yang ada
diantaranya dan yang melingkupinya (Ahmad, 2006:42).

Bayangkan, jika kita sedang menengadah ke langit di malam hari, kita melihat sinar bulan yang begitu indah. Nah, sinar
bulan yang kita lihat itu membutuhkan waktu untuk menempuh jarak dari bulan ke bumi sekira 350.000 kilometer.
Karena kecepatan cahaya sekitar 300.000 meter per detik, maka cahaya bulan itu membutuhkan waktu lebih dari satu
detik untuk sampai ke bumi. Artinya, ketika kita melihat bulan, sebenarnya bulan yang kita lihat itu bukanlah bulan
pada saat yang sama. Sebab, bulan membutuhkan waktu selama satu detik untuk mencapai bumi. Paling tidak, bulan
yang kita lihat saat ini adalah bulan satu detik yang lalu.
Hal itu juga terjadi ketika kita melihat matahari. Karena jarak Matahari – Bumi yang demikian jauhnya sekitar 150 juta
kilometer, maka kecepatan cahaya membutuhkan waktu 8 menit untuk sampai ke bumi. Artinya, jika waktu itu kita
melihat matahari, maka matahari yang kita lihat itu sebenarnya bukalah matahari pada saat itu, melainkan matahari 8
menit yang lalu (Mustofa, 2006:71).

Kenaehan dan keterkaguman kita akan semakin bertambah, manakala kita menyaksikan benda-benda langit yang lain,
bintang umpamanya. Malah ada bintang yang berjarak sangat jauh dari bumi hingga memakan waktu 8 tahun cahaya
dari bumi. Maka jika kita melihat bintang itu, sebenarnya kita sedang menyaksikan bintang yang usianya 8 tahun lalu.
Mengagumkan.

Bahkan, dalam abad kekinian, sering juga kita dengar istilah satelit atau sputnik, yaitu kendaraan ruang angkasa yang
diluncurkan menuju bulan dan planetnya di dalam kelompok matahari. Persitiwa satelit atau sputnik itu merupakan
hasil kecerdasan otak manusia sekaligus merupakan alat terpenting dalam mencapai kemajuan lahir ke arah
pengetahuan dan teknologi.

Lalu, pada abad ke-7 atau sekitar 1400 tahun silam, kita juga mendengar suatu peristiwa maha hebat dari tanah Arab.
Persitiwa itu jauh lebih mengagumkan dari satelit ataupun sputik dan benda-benda langit lainnya. Peristiwa itu
dinamakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. Muhammad tidak saja menembus ruang angkasa di sekitar bulan, bahkan
sudah meluncur ke ufuk yang tertinggi , melalui sistem planet, menerobos ruang langit yang luas, berlanjut terus ke
gugusan Bintang Bima Sakti, meningkat kemudian mengarungi Semesta Alam hingga sampai di ruang yang dibatasi
oleh ruang yang tak terbatas. Kemudian sampailah Rasulullah Muhammad saw pada Ruang yang Mutlak yang
dinamakan “Maha Ruang”. Inilah yang disebut “Dan dia Muhammad di ufuk yang tertinggi” (Mudhary, 1996:21).

Peristiwa luar biasa ini kontan membuat kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang mencemooh; kebanyakan dari
mereka orang kafir. Mereka menggemboskan isu bahwa Muhammad telah gila. Kelompok kedua adalah mereka yang
ragu-ragu. Mereka terbawa oleh suasana kontradiksi, mau percaya kok rasanya berita itu tidak masuk akal.
Tapi ngga percaya, kan Muhammad tidak pernah berbohong. Kelompok ketiga adalah mereka yang begitu yakin akan
ke-Rasulan Muhammad. Perjalanan yang kontroversial ini pun bagi mereka justru meningkatkan kayakinannya bahwa
beliau benar-benar utusan Allah.

Lantas bagaimana dengan kita? Termasuk golongan yang mana: tidak yakin, ragu-ragu, atau yakin? Alternatif dari
jawaban itu adalah bahwa kita harus yakin dengan di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kannya Muhammad, sekaligus meyakinkan
kaum peragu bahwa peristiwa ini pun masuk akal, logis, dan rasional. Sebab, bisa dibuktikan secara empiris dalam ilmu
pengetahuan modern

Bukankah manusia adalah salah satu magnum opus-nya Tuhan dengan keistimewaan akalnya. Bukankah telah disinyalir
Tuhan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menjelajah seantero jagat raya dengan kekuasannya
(QS.Ar Rahman:33). Bahkan, Al Khazin, Al Baidlawi, dan An Nasai (Mudhary, 1996:21), memberi tafsiran bahwa arah
kata sulthan atau kekuasanannya ialah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan otak lahir dan ilmu
pengetahuan yang dihasilkan otak batin. Otak lahir disebut juga indera badani atau jasmani, sedangkan otak batin
disebut indra rohani. Keduanya dikenal dengan sensus interior dan eksterior.

Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam al Quran dan alam raya dipadukan melalui mukjizat Al Quran
dengan mukjizat alam raya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan
keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mau mendengar. Bahkan Abbas Mahmud Aqqad (dikutip Pasya,
2004:24), memberi penjelasan makna mukjizat ilmiah dalam al Quran dan Hadits secara lebih mendalam yakni terdapat
dua macam mukjizat yang harus dibedakan: mukjizat yang harus dicari, dan mukjizat yang memang tidak perlu dicari.

Sayangnya pembedaan antara kedua macam mukjizat tersebut hampir tidak kita temukan pada mereka yang
pemikirannya hanya berhenti pada batas penafsiran ilmiah terhadap fenomena alam. Tidak adanya pembedaan tersebut
kadang menyebabkan pencampuradukkan anatra mukjizat ilmiah (yang berarti bahwa Al Quran dan Hadits telah
terlebih dahulu memberitahukan kita tentang fakta atau fenomena alam sebelum ditemukan oleh ilmu empiris) dan
penafsiran Al Quran secara ilmiah (yang berarti mengungkap makna-makan baru ayat Quran atau Hadits sesuai
kebenaran teori sains). Dengan kata lain, sains menjadi perangkat untuk menafsirkan Al Quran dan Hadits, seperti
halnya ilmu bahasa dan asal usul fikih yang juga menjadi perangkat untuk menafsirkan ayat-ayat Al Quran di bidang
ilmu keagamaan. Nah.

Dengan demikian, perjalanan Isra Mi’raj yang menjadi fenomena mukjizat Allah tersebut mampu dikaji secara ilmiah.
Pembuktian-pembuktian sains modern telah menampakan sebuah paradigma bahwa perjalanan Muhammad menjumpai
Tuhannya dengan menembus batas-batas langit adalah benar. Sebab, perjalanan itu bisa ditafsir ulang dengan sains
kekinian, dan dibuktikan secara ilmiah.

Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik

ُ ‫صى ْال َمس ِْج َِد إِلَى ْال َح َر ِامَ ْال َمس ِْج َِد مِ نََ لَيْل بِعَ ْب ِد ِهَ أَس َْرى الَّذِي‬
ََ‫س ْب َحان‬ َ ‫ار ْكنَا الَّذِي اْل ْق‬
َ َ‫ير السَّمِي َُع ه َُوَ إِنَّه آيَاتِنَا مِ نَْ َهُ ََ ِلن ُِري َح ْولَ َهُ ب‬ ِ َ‫( ْالب‬١
َُ ‫ص‬

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah diberkahi sekelilingnya oleh Allah agar Kami perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).

Dalam ayat in, Allah sudah menjelaskan skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan
pada ayat ini, kita bisa memperoleh pemahaman yang sangat memadai tentang mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.

Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan
menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika kita
mencoba untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi seperti ini:

Catatan pertama, terdapat pada akata Subhanallah, Maha Suci Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa persitiwa ini sangat
luar biasa. Saking spesialnya kejadian ini, Allah sendiri memuji diri-Nya dengan ucapan Subhanallah. Barangkali inilah
salah satu bukti bahwa Allah adalah Maha dari segala Maha. Maha tanpa batasan ruang, waktu, bahkan massa. Sehingga
lanjut Quraish Shihab (1992:338), peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau,
bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu.

Catatan kedua, adalah dalam kata asraa, yang telah memperjalankan. Ini berarti bahwa perjalanan Isra Mi’raj bukan atas
kehendak Rasulullah, melainkan kehendak Allah. Dengan kata lain, kita juga memperoleh ‘bocoran’ bahwa Rasul tidak
akan sanggup melakukan perjalanan itu atas kehendaknya sendiri. Saking dahsyatnya perjalanan ini, jangankan
manusia biasa, Rasul sekali pun tidak akan bisa tanpa diperjalankan oleh Allah.

Oleh karena itu lanjut Agus (2006:15), Allah lantas mengutus malaikat Jibril untuk membawa Nabi melanglang ‘ruang’
dan ‘waktu’ didalam alam semesta ciptaan Allah. Mengapa Jibril? Sebab Jibril merupakan makhluk dari langit ke tujuh
yang berbadan cahaya. Dengan badan cahayanya itu, Jibril bisa membawa Rasulullah melintasi dimensi-dimensi yang
tak kasat mata.

Pembuktian menurut ilmu Fisika lanjut Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat pembawa sekaligus pelantara daya
elektromagnetik. Eter adalah udara yang ringan sekali, lebih ringan dari udara yang dihirup oleh manusia: O2. Dalam
bahasa Arab disebut dengan “Itsir”. Jika eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat pembawa yang lebih halus lagi
dari eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa tersebar ke mana-mana.

Sedangkan menurut Ilmu Metafisika, Rasul naik ke ruang angkasa melakukan perjalanan Mi’rajnya tentu membutuhkan
zat pembawa yang lebih halus dari jiwa atau rohaninya. Oleh karena itu, makhluk hidup yang memiliki dua jasad:
jasmani dan rohani, maka diperlukan zat pembawa yang lebih halus dari rohani itu sendiri dan mampu mengangkat
jasmani Rasul sekaligus. Dan ternyata makhluk yang sangat halus itu bernama Jibril.
Selain Jibril, perjalanan super istimewa itu disertai juga oleh kendaraan spesial yang didesain Allah dengan sangat
spesial bernama Buraq. Ia adalah makhluk berbadan cahaya yang berasal dari alam malakut yang dijadikan tunggangan
selama perjalanan tersebut. Buraq berasal dari kata Barqum yang berarti kilat. Maka, ketika menunggang Buraq itu
mereka bertiga melesat dengan melebihi kecepatan cahaya sekitar 300.000 kilometer per detik (Mustofa, 2006:15).

Jika seandainya kecepatan Buraq diambil serendah-rendahnya setara dengan perbandingan kecepatan elektris saja:
300.000 kilometer per detik, maka jarak anatara Masjidil Haram di Mekkah dengan Masjidil Aqsha di Palestina yang
berjarak 1.500 kilometer, paling tidak memakan waktu 1/200 detik. Padahal, Buraq adalah makhluk hidup yang
kecepatannya pun bisa melebihi kecepatan elektris tadi.

Pertanyaannya kemudian, bukankah kecepatan cahaya adalah kecepatan paling tinggi yang telah dihasilkan Fisika
Modern? Bukankah kecepatan cahaya telah mendapat legalitas berdasarkan keputusan kongres Internasional tentang
Standar Ukuran yang digelar di Paris tahun 1983: bahwa kecepatan cahaya berada dalam vakum sebesar 299.792.458
meter per detik dibulatkan sekira 300.000 kilometer per detik. Dan tentu saja, kecepatan cahaya berlaku sama bagi
seluruh gelombang spektrum dan mempersentasikan batas kecepatan dalam alam fisika (Ahmad, 2006:168).

Tentu saja kecepatan setinggi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang benda. Hanya sesuatu yang sangat ringan saja
yang bisa memiliki kecepatan yang bisa melebihi kecepatan cahaya. Bahkan, saking ringannya, maka sesuatu itu harus
tidak memiliki massa sama sekali. Yang bisa melakukan kecepatan itu hanya photon saja, yaitu kuantum-kuantum
penyusun cahaya. Bahkan, electron sekali pun yang bobotnya hamper nol sekalipun tidak bisa memiliki kecepatan
setinggi itu.

Sedangkan manusia sendiri terkonstruksi dari satuan-satuan utama yang sangat kecil dinamakan sel. Jumlahnya sekitar
390 milyar. Sel tubuh ini tidak sama, baik bentuk, besar, maupun fungsinya. Sel-sel ini tidak terpisah satu sama lain,
tetapi hidup dalam organisasi yang harmonis (Pasya, 2004:250).

Jika dilihat dari penyusunnya, maka berbagai macam sel itu tersusun dari molekul-molekul. Baik yang sederhana
maupun molekul yang kompleks. Mulai dari H2O, sampai pada molekul asam amino atau proteir kompleks lainnya. Dan
jika dicermati, maka molekul itu juga tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil disebut atom. Dan atom ini pun
tersusun dari partikel-partikel sub atomik seperti: proton, neutron, elektron, dan sebagainya.

Karena manusia memiliki bobot, jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan setingkat kecepatan cahaya. Dengan
percepatan beberapa kali gravitasi bumi (G) saja, sudah akan mengalami kendala serius, bahkan bisa meninggal dunia.

Dalam ilustrasinya, Agus Mustofa (2006:17) memberi gambaran tentang seorang pilot yang melakukan manuver di
angkasa. Ketika ia melakukan gerakan vertikal naik ke langit atau manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya, saat itu badannya
akan mengalami tekanan alias beban yang sangat berat bergantung pada besarnya percepatan yang ia lakukan.

Jika pilot bermanuver ke langit dengan percepatan dua kali gravitasi bumi (2G), maka badannya akan mengalami
tekanan dua kali lipat dari biasanya. Jika bobot pilot dalam kondisi normal 80 kg misalnya, maka pada saat melakukan
manuver bobotnya akan menjadi 160 kg. Bahkan jika percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’ di otak akan semakin
besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah sumur yang dalam. Bisa-bisa seseorang akan mengalami
‘hilang kesadaran’. Apalagi manuver pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak terlatih bisa-bisa mengalami balck
out alias semaput atau pingsan di angkasa.

Jika demikian, bukankah Muhammad juga seorang manusia biasa yang memiliki struktur sama dengan pilot dalam
ilustrasi tadi ketika ia melakukan perjalanan Isra Mi’raj tersebut? Lalu bagaimana jasmani Muhammad mampu
menembus lapisan langit dengan bantuan kecepatan cahaya ? Apakah Muhammad di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kan
dengan jasmani dan rohaninya sekaligus? Nah.
Salah satu ‘skenario rekonstruksi’ untuk mengatasi problem ini adalah teori Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa
setiap materi (zat) memiliki anti materi. Dan jika materi dipertemukan atau direaksikan dengan anti materinya, maka
kedua partikel tersebut bakal lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gama (Mustofa, 2006:20).

Hal ini telah dibuktikan di laboratorium nuklir masih dalam buku yang sama (2006:20), bahwa jika ada partikel proton
dipertemukan dengan antiproton, atau elektron dengan positron sebagai antielektronnya, maka kedua pasangan
partikel tersebut akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gama, dengan energi masing-masing 0,11 MeV untuk
pasangan elektron dan 938 MeVuntuk pasangan partikel proton.

Sebaliknya, jika ada seberkas sinar Gama yang memiliki energi sebesar itu dilewatkan medan inti atom, maka tiba-tiba
sinar tersebut lenyap berubah menjadi dua buah pasangan partikel seperti di atas. Hal ini menunjukan bahwa materi
memang bisa berubah menjadi cahaya dengan cara tertentu, yang disebut sebagai reaksi Annihilasi.

Nah, proses pengubahan materi menjadi cahaya terjadi sesaat sebelum perjalanan Isra Mi’raj dimulai. Kejadian ini
ketika Rasul disucikan oleh Jibril di dekat sumur zam-zam. Bisa dikatakan jika proses ini adalah proses operasi hati
Muhammad dengan air zam-zam.

Kenapa operasi hati? Bukan otak atau jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah pangkal dari seluruh aktifitas badani.
Bahkan Rasul mengatakan bahwa hati adalah pangkal dari segala aktifitas badani. Jika baik hatinya, maka baik pula
seluruh aktifitas badannya. Begitu juga sebaliknya jika buruk hatinya, maka buruk juga segala aktifitas badaniahnya.

Bahkan, resonansi dari hati yang baik itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan buluh perindu yang akan menghasilkan
suara merdu ketika ditiup. Kenapa? Karena hati yang lembut bagaikan sebuah tabung resonansi yang bagus.
Getarannya menghasilkan frekuensi yang semakin lama semakin tinggi. Semakin lembut hati seseorang, semakin tinggi
frekuensinya. Pada frekuensi 10 pangkat 8, maka akan menghasilkan gelombang radio. Dan jika frekuensinya lebih
tinggi misal 10 pangkat 14, maka akan menghasilkan gelombang cahaya (Mustofa, 2008:153).

Itulah agaknya yang terjadi pada diri Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh malaikat Jibril di dekat sumur zam-zam. Jibril
melakukan manipulasi terhadap sistem energi menjadi badan cahaya. Dengan kesiapan ini, Muhammad siap
untukdibawa melalui kawalan Jibril dengan mengendarai Buraq menembus batas langit hingga akhirnya berjumpa
dengan Sang Pemilik Cahaya Abadi.

Catatan ketiga, terdapat dalam kata ‘abdihi, Hamba-Nya. Hal ini berarti bahwa tidak semua orang secara sembarangan
mampu melakukan perjalanan Isra Mi’raj. Perjalanan fantastis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang sudah
mencapai tingkatan ‘abdihi, hamba-Nya. Atau dalam istilah Quraish Shihab sebagai insan kamil.

Catatan keempat, dalam kata laila, malam hari. Perjalanan spesial ini dilakukan pada malam hari dan bukan siang hari.
Kenapa? Inilah dia bukti kebesaran Tuhan Sang Maha Gagah itu. Ia mengendalikan perjalanana Isra Mi’raj dengan apik
dan sangat canggih. Apalagi alasan logis mengenai hal itu, bahwa pada siang hari radiasi sinar matahari demikian
kuatnya, sehingga bisa membahayakan badan Nabi Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan cahaya. Badan
nabi yang sesungguhnya tentu saja adalah materi. Perubahan menjadi badan cahaya itu bersifat sementara saja, sesuai
kebutuhan untuk melakukan perjalanan bersama Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari, maka Allah telah
menghindarkan Nabi dari interferensi gelombang yang bakal membahayakan badannya. Suasana malam memberikan
kondisi yang baik buat perjalanan itu (Mustofa, 2006:25).

Sebagai gambaran sederhana, ketika di malam hari kita menyalakan radio, maka gelombang yang kita tangkap akan
jernih dan lebih mudah dari siang hari. Sebab gelombang radio tersebut tidak mengalami gangguan terlalu besar yang
saling bersinggungan dengan gelombang lainnya. Begitulah gambaran sederhananya, sebab waktu malam hari adalah
waktu yang paling kondusif untuk perjalanan super spesial demi kelancaran perjalanan ini.

Catatan kelima, terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil Aqsha, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.
Perjalanan ini dimulai dari mesjid ke mesjid, sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi positif. Disanalah
orang-orang berusaha untuk menyucikan diri, mendekat, bahkan merapat kepada Tuhannya. Masing-masing mesjid
tersebut ibarat tabung energi positif bagi perjalanan Nabi.

Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan kedatangan. Hal ini mirip dengan
tabung transmitter dan recieveri, yang dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi Muhammad dari materi
menjadi cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses itu melalui ‘operasi’ lewat pelantara Jibril yang memang makhluk
cahaya. Maka semuanya berjalan dengan lancar sesuai kehendak Allah. Dia-lah yang berkehendak, sedang Jibril yang
melaksanakannya (Mustofa, 2006:28).

Catatan keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu, Kami berkahi sekelilingnya. Perjalanan ini adalah perjalanan
yang tak lazim. Oleh karena itu Allah mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan untuk menjaga kelancaran
perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah manusia.

Nah, disinilah pentingnya Allah menjaga lingkungan sekitar perjalanan Isra Mi’raj agar tidak terjadi hal-hal yang
merusak. Sebab, jika badan Rasul tiba-tiba berubah menjadi ‘badan materi’ lagi saat melakukan perjalanan
berkecepatan tinggi itu, maka badannya bisa terurai menjadi partikel-partikel kecil sub atomik, tidak beraturan lagi.
Untuk itulah, keberkahan itu selalu ada; di setiap tempat di setiap keadaan, bahkan tak mengenal tempat, waktu, dan
keadaan sekalipun.

Catatan ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda kebesaran Allah. Ya, tepat sekali Isra
Mi’raj adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul menyaksikan
pemandangan yang tidak pernah beliau saksikan sebelumnya. Terutama ketika melintasi dimensi-dimensi langit yang
lebih tinggi pada saat Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan keagungan Allah ini terhampar di jagat raya. Dan
dengan tanda-tanda itu, seseorang mukmin bisa melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan
diri kepada Allah Azza wa Jalla.

Dan kata kunci yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh
ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya.
Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada
keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).

Penjelasan Teori Eisntein (E= m.c2)

Relativitas, adalah teori yang saat ini menjadi pusat ilmu pengetahuan. Teori ini terdiri atas Relativitas Khusus dan
Umum. Dua teori ini pun memiliki sejarah yang berbeda.

Relativitas Khusus diterima dalam beberapa tahun setelah Albert Einsteinmengumumkannya. Dan ini terjadi di tengah
derasnya peristiwa-peristiwa ilmiah, dan karena ini menjawab pertanyaan yang membingungkan banyak ilmuwan. Teori
ini juga memiliki kegunaan dalam bidang-bidang utama riset yang dilakukan saat itu, seperti fisika nuklir dan mekanika
kwantum. Saat ini, relativitas khusus menjadi alat sehari-hari bagi para ahli fisika yang meneliti susunan materi dan
gaya yang menyatukannya.

Relativitas Umum berlaku dalam skala yang jauh lebih besar, pada bintang-bintang, galaksi, dan ruang angkasa yang
luas. Dibutuhkan waktu lebih lama untuk diterima, karena teori ini tampaknya tidak memiliki kegunaan prakltis.
Einstein menggunakannya untuk menjelaskan kesederhanaan dan tatanan di balik alam semesta. Teori ini baru dapat
diuji tahun 1960-an setelah akselerator partikel raksasa dan perlatan lain ditemukan menjadi lebih kuat.
Relativitas khusus meramalkan bahwa ketika sebuah objek mendekati kecepatan cahaya, maka akan terjadi hal-hal
ganjil sebagai berikut:

1. Waktu melambat:

Ini disebut dilatasi waktu. Ini diamati tahun 1941 dalam ekperimen partikel atom berkecepatan tinggi yang
disebut muon. Ini juga ditunjukkan tahun 1971, ketika jam yang amat sangat akurat, diterbangkan dengan cepat
keliling dunia di atas pesawat terbang jet. Setelah dua hari,jam itu berkurang sepersekian detik dibandingkan dengan
jam yang sama di permukaan bumi, karena jam itu bergerak lebih cepat.

2. Objek mengecil.

Objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, akan mengalami pemendekan sesuai arah geraknya. Kalau roket
antariksa bisa bergerak dengan separoh kecepatan cahaya, panjangnya akan sekitar enam per tujuh panjang aslinya di
landasan luncur. Efek ini sudah diteliti sejak tahun 1890-an.

3. Massa objek bertambah.

Ini artinya objek akan bertambah berat. Ini sudah diperlihatkan berulang kali dengan eksperimen partikel yang bergerak
dengan kecepatan tinggi seperti elektron. Dari ide inilah Eistein mengembangkan rumus terkenalnya E = mc².

Mungkinkah manusia bisa bergerak secepat cahaya? Seiring bertambahnya massa orang tersebut, maka gaya yang
dibutuhkan untuk membuatnya bergerak lebih cepat lagi juga terus bertambah. Pada hampir kecepatan cahaya, massa
akan begitu besar sampai gaya yang dibutuhkan untuk memberikan dorongan ekstra itu akan sangat besar sampai
mustahil. Akibatnya kecepatan cahaya tidak akan benar-benar tercapai.

Dalam A Brief History of Time-nya, fisikawan Stephen


Hawking dengan merendah mengatakan seluruh model jagat raya kontemporer yang dibangun oleh para
fisikawan/astrofisikawan masa kini (termasuk dirinya, Roger Penrose, Bekenstein, Carl Sagan dll) berdasarkan pada
asumsi bahwa Relativitas Umum dan Mekanika Kuantum itu benar. Dari statemen ini memang terbuka peluang bahwa
mungkin saja baik Relativitas Umum ataupun Mekanika Kuantum itu “tidak benar”.

Namun jika kita merujuk pada fakta-fakta yang ada di jagat raya ini, kita fokuskan ke Relativitas Umum, ada sangat
banyak fenomena yang menunjukkan kesahihan teori ini. Tak perlu jauh-jauh melangkah ke lubang hitam alias black
hole, fenomena itu merentang mulai dari yang paling sederhana seperti langit malam yang tetap gelap padahal kita
tahu ada milyaran bintang yang selalu bersinar di sana (paradoks Olber), presesi perihelion Merkurius (dimana titik
perihelion planet ini selalu bergeser dalam tiap revolusinya, yang secara akumulatif mencapai 43 detik busur per abad),
pembengkokan lintasan cahaya dan gelombang radar di dekat Matahari seperti ditunjukkan dalam Gerhana Matahari
maupun pemuluran waktu tunda gema radar dari oposisi Venus, hingga melimpahnya foton gelombang mikro bersuhu
amat rendah (2,725 K) yang tersebar homogen di segenap penjuru jagat raya tanpa terkait dengan kumpulan galaksi
maupun bintang-bintang, foton yang kita kenal sebagai cosmic microwave background radiation.

Dengan bekal kesahihan Relativitas Umum ini (dan juga kesahihan Mekanika Kuantum) kita sekarang bisa
memperkirakan dengan ketelitian tinggi bagaimana dinamika jagat raya kita sejak ‘bayi’ hingga sekarang.

Relativitas Umum menunjukkan bahwa jagat raya kita ini terdiri dari empat dimensi, dengan tiga dimensi ruang dan
satu dimensi waktu (dalam sumbu imajiner) yang saling mempengaruhi sehingga membentuk entitas baru yang disebut
ruang-waktu (spacetime), dimana disini tak ada lagi waktu mutlak karena waktu sepenuhnya bergantung kepada ruang,
dan sifat ruang-waktu sepenuhnya bergantung kepada distribusi massa yang ada didalamnya. Sehingga sifat ruang-
waktu di Bumi misalnya, jelas berbeda dengan ruang-waktu di Matahari ataupun bintang maharaksasa merah Antares
tetangga kita, apalagi dengan bintang neutron dalam inti Crab Nebulae.

Hawking menggambarkan ruang-waktu dalam jagat raya kita sebagai melengkung mirip gelembung balon, dengan
permukaan balon sebagai ruang-waktu dan disinilah tempat kedudukan galaksi dan bintang-bintang. Seberapa besar
dimensi jagat raya? Besarnya ~1025 meter (13,7 milyar tahun cahaya). Dalam tiap meter kubik jagat raya terdapat 400
juta foton namun ‘hanya’ ada 0,4 nukleon (nukleon = proton + neutron, penyusun atom-atom termasuk yang
menyusun tubuh manusia). Cahaya, demikian pula foton pada spektrum elektromagnetik lainnya, hanya bisa bergerak
pada permukaan gelembung ini meski tetap saja bisa menemukan jarak terpendek untuk menempuh titik-titik yang
terpisah jauh (ini lebih mudah dipahami jika kita mempelajari trigonometri segitiga bola).

Namun, Subhanallah, struktur yang luar biasa besarnya ini tidaklah statis. Ia terus mengembang, dan jika diproyeksikan
jauh ke masa silam (tepatnya ke 13,7 milyar tahun silam), kita mengetahui saat itu jagat raya hanyalah berbentuk titik
berdimensi ~10-35 meter dengan densitas 1096 kg/m3 dan bersuhu 1032 K. Inilah titik singularitas dentuman besar
(alias big bang), awal lahirnya sang waktu. Apa isinya? Campuran quark dan lepton, partikel-partikel elementer
penyusun nukleon, yang secara kasar bisa disebut “plasma” atau “asap” (bandingkan dengan Q.S. Fushshilat : 11). Dari
titik awal ini jagat raya dengan cepat mengembang hingga pada 1 detik pertama saja dimensinya telah 10 tahun cahaya
dan quark-quark didalamnya telah mulai membentuk nukleon. Dalam 3 – 20 menit pasca big bang, nukleon-nukleon
mulai bereaksi membentuk Detron (inti Deuterium), Helium dan sebagainya sehingga komposisi jagat raya terdiri dari
75 % Hidrogen dan 24 % Helium, yang masih bertahan hingga kini. Namun dibutuhkan waktu 300.000 tahun pasca big
bang hingga jagat raya ini benar-benar dingin sehingga proton bisa bergabung dengan elektron membentuk atom
Hidrogen, demikian pula detron bergabung dengan elektron membentuk atom Deuterium dan sebagainya, tanpa
terpecahkan kembali oleh foton (note : menariknya, coba bandingkan angka 300.000 tahun ini dengan Q.S. al-Ma’aarij :
4 dan Q.S. as-Sajdah : 4 secara bersama-sama).

Tafsir Ayat Isra’ Mi’raj

Ayat Isra’ Mi’raj yang sering kita dengar adalah :

ُ ‫صى ْال َمس ِْج ِدَ ِإلَى ْال َح َر ِامَ ْال َمس ِْج ِدَ مِ نََ لَي اْلَ ِب َع ْب ِد ِهَ أَس َْرى الَّذِي‬
ََ‫س ْب َحان‬ َ ‫ار ْكنَا الَّذِي ْاْل َ ْق‬
َ ‫يرَ السَّمِي َُع ه َُوَ ِإنَّ َهُ آَ َياتِنَا مِ نَْ ِلَنُ ِر َي َهُ َح ْولَ َهُ َب‬
ُ ‫ص‬ِ ‫ْال َب‬
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya847 agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

1. Subhana = diartikan Maha Suci. Tetapi yg pas bisa kita pakai arti Maha Penggerak atau Maha Dinamis. Subhana bisa
juga berasal dari kata ‘sabaha‘ artinya berenang. Mashdar lainnya adalah Tasbih, yang berarti gerak yang dinamis.
Hakekat dari seluruh materi di alam semesta ini adalah bergerak, ber-rotasi dan ber-revolusi. Salah tiga dari materi
alam semesta adalah Matahari, Bumi dan Rembulan. Rembulan atau Bulan ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Bumi.
Bumi ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Matahari. Matahari ber-rotasi dan ber-revolusi kepada pusat Bimasakti. Dan
begitu seterusnya…

Jadi peristiwa Isra’ wal Mi’raj adalah fenomena pergerakan dan sangat dinamis, bukan sekedar aktifitas statis.

2. Asra = memperjalankan. Kata ini bentuk transitif (muta’addiy) dari kata saraa = berjalan. Di sini jelas bahwa Alloh
Yang Maha Dinamis yang menentukan gerak dan diamnya, atau berjalan dan berhentinya hamba-Nya yakni Rasulullah

SAW.

Jadi peristiwa Isr’a wal Mi’raj merupakan kehendak aktif Alloh SWT.
Berapa jauhnya perjalanan?
Secara manusiawi, jarak tempuh Isra’ adalah :
Mekkah – Palestina, sekitar 1.200 km. Selanjutnya, perjalanan Mi’raj seperti dijelaskan dalam surat An-Najm yang
terbagi dalam dua tahap:

tahap 1: Gelombang ke Partikel


Ayat 1-11 surat An-Najm, menjelaskan perihal transfer dimensi dari Jibril kepada Rasululloh SAW yakni transfer
dimensi cahaya kepada dimensi suara.

tahap 2: Partikel ke Geombang


Selanjutnya ayat ke 12 – 17 surat An-Najm, adalah menjabarkan praktikum Rasululloh SAW untuk melakukan transfer
balik dari dimensi suara atau partikel menuju ke dimensi cah aya atau ‘gelombang
elektromagnetik’.

Dan perjalanan saat itu tidak mengenal lagi hukum fisika. Dimensi waktu telah terlampuai. Jangkauan Rasululloh SAW
seperti dikupas Pak Agus Musthofa dalam buku2nya, pandangan Rasululloh mampu mencakup semua dimensi di bawah
layer malaikat.

Kalau Mi’raj, maka secara masnusiawi Rasul SAW akan lepas dari Bumi. Dan lebar Bumi sekitar 12.700 km;
Lalu, kita manusia akan membayangkan, Rasul SAW lepas dari Tata Surya kita. Dan lebarnya 9 milyar km.

Berikutnya lepas Tata Surya masih harus lepas dari


Galaksi kita yang panjangnya;

Selengkapnya Tour de universe ada di [ Cosmic Distance Scales ]

3. ‘Abdihi = hamba-Nya. Hamba adalah lemah, hamba adalah tidak berdaya. Di sini jelas, bahwa isra’ wal Mi’raj itu
bukan kemauan Rasulullah SAW, karena beliau sebagai hamba yang hanya bergantung atas kehendak Alloh SWT dalam
melakukan perjalannya.
Jadi dalam Isr’a wal Mi’raj, Rasululloh SAW tidak berjalan sendiri, tetapi di’bantu’ Alloh dalam melakukan perjalanan itu.

4. Lailan = Malam hari. Malam adalah simbol kebalikan dari siang. Dua istilah yang sangat erat dengan konsep waktu.
Mengapa harus malam.?

Malam memiliki keheningan, malam menyibakkan kegelapan, yang merupakan arah dari pandangan mata yang tidak
pernah akan berujung. Dan perjalanan Isra’ wal Mi’raj adalah perjalanan Rasul SAW yang tidak mampu dijejaki ujung
finalnya. Alam semesta nan luas …

5. Masjidil Haram-Masjidil Aqsha = Dua starting point yang diberkahi. Dua lokasi yang dipilih Alloh dengan titik
koordinat yang terpisah antara batas utara pergerakan tahunan Matahari. Dua lokasi sebagai kiblat pertama dan
terakhir. Dan inilah tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Kalau kita mau berfikir.

Epilog

Begitu dahsyat peristiwa Isra Mi’raj hingga meninggalkan kesan mendalam untuk seluruh umat manusia hingga kini.
Namun, dari tafsiran yang telah dipaparkan di atas, sekira dengan obat sebagai penawar penyakit, begitu pun hikmah
perjalanan ini sebagai ikhtiar pembangun jiwa-jiwa yang sedang kebingungan, atau malah ‘mati’ dalam kebingungan.

Siapa pun ia jika mengira akal adalah Tuhan yang patut disembah, sains adalah Maha Guru tertinggi yang patut dipuji,
maka ia bagai berada dalam dimensi yang terus memenjaranya untuk tidak menemukan kebenaran hakiki. Sebab, Kant
pernah berkata (dalam avant propos Capra, 2000:xxii), bahwa ia secara meyakinkan dan sudah membuktikan jika nalar
teoritis sama sekali tak mampu menangkap kebenaran metafisika. Dengan kata lain, sains tak bisa membuktikan Tuhan
ada, juga tidak bisa membuktikan Tuhan tidak ada. Dengan ini, Kant sebenarnya hendak membatasi ekspansi sains,
menyisakan ruang bagi iman.

Banyak tafsiran yang diutarakan para ulama terkait berita kontroversial ini. Namun, perlu menjadi catatan bahwa
terlepas dari semua tafsiran: aqidah, sains, bahkan tasawuf sekalipun, ia ‘menggenjot’ penyemangat jiwa. Sebab
Muhammad mampu ‘berlari’ menjadi hamba yang Insan Kamil untuk melesat menuju Tuhannya. Ia membuka diri untuk
disesuaikan dan direkonstruksi demi menyempurnakan panggilan spesial Tuhannya.

Bukan saja Muhammad yang bisa ‘berlari menuju Tuhannya. Anda, saudara, dan kita semua bisa ‘berlari’ mengejar
hakikat kecintaan kepada Tuhan. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju tuhan dengan cara berjalan
lanjut Kang Jalal (2008:69). Kita harus ‘berlari’ sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir. ‘Berlari’ dari segala
yang menarik perhatian kita, menuju kepada yang satu, Allah. Sebab, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia
akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Dia akan menyambutnya sambil berlari” (HR.
Ahmad dan Thabrani). Jika begitu, bagaimana jika kita menuju-Nya dengan ‘berlari’, seberapa dekatkah Ia kepada
hamba-Nya.

Kenyataan ini menuntun kita pada adanya evolusi dari hal yang sifatnya material menuju hal yang immaterial.
Membimbing kita untuk Mi’raj atau pendakian menuju tahap demi tahap hingga sampai ke hakikat kecintaan kepada-
Nya. Keberadaan hierarki dan proses pendakiannya yang merupakan ajaran tarekat yang dicontohkan Plotinus sebagai
tokoh madzhab neoplatonisme (Purwanto, 2008:383). Menurutnya semua berasal dari Yang Satu atau to Hen dan
semuanya berhasrat untuk kembali kepada Yang Satu. Manusia dapat melaksanakan pengembalian kepada Yang Satu
dengan upaya menempuh tahap demi tahap, hingga akhirnya mampu ‘berlari’ menembus penyatuan dengan Yang Satu,
atau dalam istilah Plotinus disebut ekstasis.

Overall, maka bersegeralah ‘berlari’ untuk Mi’raj menuju Tuhan. Sebab Ia telah berfirman: “Oleh karena itu,
bersegeralah berlari kembali menuju Allah” (QS.Al dzariyat:50). Mi’raj untuk menembus batas-batas kekotoran sifat
manusia, menjemput Cahaya Ke-Tuhanan yang hanya diberikan bagi mereka yang spesial. Mereka yang berhasil
menjadi pengikut Muhammad yang tidah hanya mengagumi dalam decak kagum tanpa penghayatan, tetapi
penghayatan dalam pengamalan yang ikhlas.
Perjalanan yang ditempuh dari pecinta menuju yang dicintainya, hingga keadaan ini berada dalam vakum penyatuan.
Cerminan penyatuan itu tertuang dalam sebuah hadits qudsi: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan
diri kepada–Ku dengan melakukan ibadah-ibadah nawafil, hingga Aku mencintainya. Kalau Aku telah mencintainya, Aku
akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku
akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia
bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi
dirinya” (HR. Bukhari).

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai