Pemimpin Yang Melayani
Pemimpin Yang Melayani
"The first responsibility of a leader is to define reality. The last is to say thank you. In between,
the leader is a servant.” – Max DePree
“Tanggung jawab pertama dari seorang pemimpin adalah mendefinisikan realitas. Yang
terakhir adalah untuk mengucapkan terima kasih. Di tengah-tengahnya, seorang pemimpin
adalah seorang pelayan.” – Max DePree
Dalam tulisan saya yang berjudul “Pentingnya Bela Rasa Dalam Kepemimpinan” (Kompasiana,
2 Januari 2014), secara singkat saya memperkenalkan pokok-pokok dari Servant Leadership,
sebuah “paradigma baru” dalam diskusi mengenai kepemimpinan. Dalam tulisan ini saya akan
melengkapi tulisan saya tanggal 2 Januari 2014 tersebut, yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari tulisan ini.
SERVANT LEADERSHIP
Di dunia sosial-politik dan gerejawi kita dapat mencatat nama-nama seperti Mahatma Gandhi,
Nelson Mandela dan Bunda Teresa dari Kalkuta.
Dunia akademi juga tidak kurang berminatnya dengan para praktisi yang disebutkan di atas. P.
Senge, dalam tulisannya yang berjudul “The Fifth Discipline – The Art and Practice of the
Learning Organisation, London: Century Business, 1992, menulis bahwa Servant
Leadership merupakan pernyataan yang paling singular dan berguna tentang kepemimpinan yang
telah dibacanya dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Ada banyak nama-nama pakar
kepemimpinan yang mendukung paradigma baru ini, termasuk seorang pakar kepemimpinan
terkenal Ken Blanchard. Blanchard mengatakan, “Servant-leadership is all about making the
goals clear and then rolling your sleeves up and doing whatever it takes to help people win. In
that situation, they don’t work for you, you work for them.” Terjemahan
bebasnya: “Kepemimpinan yang melayani adalah semuanya mengenai membuat tujuan-tujuan
menjadi jelas dan menggulung lengan baju anda dan melakukan apa saja (yang baik) untuk
menolong orang-orang agar menang. Dalam situasi itu, mereka tidak bekerja untuk anda, anda
bekerja untuk mereka.”
LATAR BELAKANG
Ide tulisan The Servant as Leader muncul setelah Greenleaf membaca buku yang
berjudul Journey to the East karangan Hermann Hesse. Dalam cerita ini digambarkan
sekelompok orang yang melakukan suatu perjalanan spiritual, mungkin pengalaman Hesse
sendiri. Tokoh sentral dalam cerita ini bernama Leo yang ikut rombongan itu sebagai seorang
pelayan (abdi) yang bertugas melakukan hal-hal yang kelihatan kecil dan tak berarti. Di samping
segala hal “tetek-bengek” tersebut, Leo juga menopang anggota-anggota rombongan dengan
semangatnya dan lagu-lagunya. Leo adalah seorang pribadi yang kehadirannya terasa luar biasa.
Semuanya berjalan baik, sampai saat ketika Leo menghilang. Sejak saat itu rombongan atau
kelompok ini menjadi berantakan dan perjalanan spiritual itu pun dibatalkan alias gagal.
Ternyata mereka tidak dapat melaksanakan perjalanan spiritual tersebut tanpa si pelayan yang
bernama Leo. Beberapa tahun kemudian Leo diketemukan dan ia pun diajak bergabung dengan
Ordo yang mensponsori perjalanan spiritual tersebut. Kemudian sang narator dalam cerita itu
menjadi sadar bahwa Leo yang selama itu dikenalnya sebagai seorang “pelayan” pada
kenyataannya adalah pemimpin sesungguhnya dari Ordo itu, roh pembimbing, seorang
“pemimpin” yang besar dan terhormat. Bagi Greenleaf cerita ini dengan jelas mengatakan bahwa
“para pemimpin besar dilihat pertama-tama sebagai pelayan”, dan kenyataan ini adalah kunci
kepada kebesarannya. Leo sesungguhnya adalah pemimpin sepanjang masa, namun dia adalah
pertama-tama seorang pelayan karena memang itulah jati dirinya. Kepemimpinan itu
dianugerahkan kepada seorang pribadi manusia yang secara alami adalah seorang pelayan. Ini
adalah sesuatu yang diberikan, yang dapat diambil kembali. Sebaliknya, sifat/kodrat orang itu
sebagai pelayan sudah tertanam dalam dirinya dan membentuknya menjadi pribadi manusia
sesungguhnya, jadi tidak dapat diambil dari dirinya. Dengan demikian dia adalah pertama-tama
seorang pelayan (Robert K. Greenleaf, SERVANT LEADERSHIP – A JOURNEY INTO THE
NATURE OF LEGITIMATE POWER AND GREATNESS, New York: Paulist Press, 1977, hal. 7-
8). Greenleaf melihat cerita (seakan sebuah perumpamaan) di atas menyampaikan pesan sentral
terkait pendekatannya sendiri terhadap kepemimpinan – bahwa pemimpin-pemimpin besar
adalah mereka yang melayani orang-orang lain.
Marilah kita merenungkan apa yang ditulis oleh William Arthur Ward: "We must be silent before
we can listen. We must listen before we can learn. We must learn before we can prepare. We
must prepare before we can serve. We must serve before we can lead,” artinya: Kita harus
hening sebelum kita dapat mendengarkan. Kita harus mendengarkan sebelum kita dapat belajar.
Kita harus belajar sebelum kita dapat mempersiapkan. Kita harus mempersiapkan sebelum kita
dapat melayani.”
Contoh dari seorang pemimpin yang menggunakan pendekatan persuasif ini adalah John
Woolman, seorang yang beragama Quaker di Amerika. Praktis dia berjuang sendiri untuk
mempengaruhi para anggota Quaker di Amerika untuk tidak memperkerjakan para budak dalam
bisnis mereka. Banyak dari para Quaker Amerika hidup makmur dan mereka memiliki budak-
budak. Sebagai seorang pemuda, John Woolman bercita-cita agar para anggota komunitas
Quaker yang dikenal sebagai “Society of Friends” tidak mempunyai budak-budak, suatu praktek
yang tidak manusiawi ini. Pada tahun 1770, hampir seratus tahun sebelum perang saudara (Civil
War), tidak ada seorang anggota Quaker pun yang mempunyai budak. Bagaimana John
Woolman sampai berhasil mencapai tujuannya yang mulia itu? Lewat pendekatan persuasif yang
dilakukannya dengan para anggota Quaker yang mempunyai budak-budak di pantai timur
Amerika Serikat untuk bertahun-tahun lamanya. Dia berjalan kaki atau dengan naik kuda bermil-
mil jauhnya, pergi ke sana-kemari memberi penjelasan kepada orang-orang yang dikunjunginya
tentang buruknya memiliki budak. Jadi, John Woolman melakukan pendekatan secara satu per
satu, samasekali tidak mengumpulkan mereka dalam rapat akbar gaya kampanye pemilu kita,
lengkap dengan penyanyi dangdutnya. Metodenya sederhana namun unik. Dia tidak ribut-ribut
dan memulai sebuah gerakan protes. Pendekatannya lemah lembut namun jelas dan merupakan
persuasi yang bersifat mendesak. Itulah dia pribadi yang bernama John Woolman (lihat Robert
K. Greenleaf, 1977, hal. 29).
6. Konseptualisasi (Conceptualization). Seorang servant-leader berupaya memelihara
kemampuannya untuk “memimpikan mimpi-mimpi besar” (to dream great dreams).
Kemampuan untuk melihat sebuah masalah (atau sebuah organisasi) dari perspektif
konseptualisasi berarti seseorang harus berpikir melampaui realitas-realitas sehari-hari. Para
manajer tradisional dikuasai oleh pemikiran untuk mencapai tujuan operasional yang bersifat
jangka pendek. Namun seorang manajer yang juga ingin menjadi seorang servant-leader harus
merentangkan pemikirannya agar dapat mencakup pemikiran konseptual yang berbasis lebih
luas. Seorang servant-leader dipanggil untuk berupaya memelihara keseimbangan antara
pemikiran konseptual dan pendekatan yang terfokus dari hari ke hari.
CATATAN PENUTUP
Prinsip-prinsip Servant Leadership tidak hanya berlaku untuk bidang bisnis, melainkan juga
dapat diterapkan dalam bidang kehidupan menggereja, pelaksanaan operasi lembaga-lembaga
sosial dlsb.
Memang Robert K. Greenleaf yang memeteraikan nama servant leadership pada tahun 1970,
namun pada kenyataannya Servant Leadership sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Apabila ada
kesempatan, saya akan melengkapi lagi tulisan berkaitan dengan Servant Leadership ini dengan
ruang-lingkup pembahasan yang lebih luas dan mendalam.
Seperti biasanya, saya mengingatkan bahwa saya menulis artikel ini untuk kaum muda Indonesia
yang memiliki aspirasi menjadi para pemimpin Indonesia di berbagai bidang kelak, tentunya
para pemimpin yang baik, bukan para pemimpin “abal-abal”. Para pemimpin palsu ini
mengklaim diri mereka sebagai pelayan (abdi) masyarakat, namun pada kenyataannya mereka
hidup untuk dilayani masyarakat. Kata “menteri” (bahasa Inggrisnya “Minister” yang berarti
pelayan) sudah diputarbalikkan artinya. Kebanyakan dari mereka melihat diri mereka sebagai
penggede atau pembesar yang boleh seenaknya bermain-main dengan uang rakyat sampai jumlah
yang sangat besar dan fantastis. Kepada kaum muda saya katakan: Jangan takut, anda semua
dapat menjadi seorang pemimpin yang baik! Belajarlah sejak dini, karena menjadi pemimpin
karbitan hanyalah merugikan orang-orang lain.
Sebagai penutup baiklah saya mengutip ucapan seorang pemimpin sejati; dia mati ditembak
sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak azasi manusia:
"Everybody can be great because anybody can serve. You don't have to have a college degree to
serve. You don't have to make your subject and verb agree to serve. You only need a heart full of
grace. A soul generated by love.” – Martin Luther King Jr. Terjemahan bebasnya: “Setiap orang
dapat menjadi besar karena siapa saja dapat melayani. Anda tidak perlu memiliki gelar
akademis agar dapat melayani. Anda tidak perlu membuat subjek dan kata-kerja anda setuju
untuk melayani. Yang anda butuhkan adalah sebuah hati yang penuh rahmat. Sebuah jiwa yang
dibangkitkan oleh kasih.” – Martin Luther King Jr.