Anda di halaman 1dari 22

PENGERTIAN MOTIVASI BERPRESTASI

PENGERTIAN MOTIVASI

Motif berasal dari bahasa latin yaitu movere yang artinya bergerak. Motif yang diistilahkan needs

adalah dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan (Ahmadi, 1999).Perilaku manusia senantiasa

dilatarbelakangi motif dan motivasi. Beragamnya motif dan motivasi mewarnai kehidupan manusia,

misalnya makan karena lapar, ingin mendapat kasih sayang, ingin diterima lingkungan dan

sebagainya (Ahmadi, 1998). Pendapat para ahli dalam literatur yang dibaca oleh penulis, bahwa

pengertian motif dan motivasi hampir sama dan tidak ditemukan perbedaan arti yang mendasar.

Maksud dan pengertiannya sama, hanya berbeda dalam memformulasikan kalimat pada motif dan

kalimat pada motivasi saja. Sedangkan arti yang terkandung dalam motif dan motivasi sebenarnya

memiliki persamaan. Oleh karena itu dalam penjelasan berikutnya pada tulisan ini tidak dibedakan

antara motif dan motivasi. Ahmadi (1998)menjelaskan lebih lanjut, bahwa motivasi adalah suatu

kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang menyebabkan organisme itu bertindak atau

berbuat. Motivasi menurut Winkel (1997) adalah sebagai daya penggerak dari dalam diri individu

dengan maksud mencapai kegiatan tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu. Chaplin (1999)

mendefinisikan motivasi sebagai variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor-

faktor tertentu di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan

menyalurkan tingkah laku menuju suatu sasaran.

Murray (dalam Chaplin, 1999) juga mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai motivasi. Ia

menyebutkan motivasi sebagai motif untuk mengatasi rintangan-rintangan atau berusaha

melaksanakan sebaik dan secepat mungkin pekerjaan-pekerjaan yang sulit Walgito (2002)

menyatakan motivasi merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang menyebabkan

organisme itu bertindak atau berbuat dan dorongan ini biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu.
Sejalan dengan pendapat diatas, Suryabrata (2000) menyatakan motivasi suatu keadaan dalam diri

individu yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu

tujuan. McClelland (1987) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kebutuhan yang bersifat sosial,

kebutuhan yang muncul akibat pengaruh eksternal. Ia kemudian membagi kebutuhan tersebut

menjadi tiga, yaitu :Kebutuhan Berkuasa (Need for Power), Kebutuhan Berprestasi (Need for

Achievement), Kebutuhan Berteman (Need for Affiliation).

Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulkan pengertian dari motivasi yaitu suatu dorongan

dalam diri individu karena adanya suatu rangsangan baik dari dalam maupun dari luar untuk

memenuhi kebutuhan individu dan tercapainya tujuan individu. Jadi individu akan bertingkah laku

tertentu dikarenakan adanya motif dan adanya rangsangan untuk memenuhi kebutuhan serta

mendapatkan tujuan yang diinginkan. Berarti motivasi berkaitan dengan dorongan-dorongan dan

kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan untuk berbuat

sesuatu karena ada rangsang atau stimulus yang tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan

individu.

MOTIVASI BERPRESTASI

Motivasi berprestasi pertama kali diperkenalkan oleh Murray (dalam Martaniah, 1998) yang

diistilahkan dengan need for achievement dan dipopulerkan oleh Mc Clelland (1961) dengan sebutan

“n-ach”, yang beranggapan bahwa motif berprestasi merupakan virus mental sebab merupakan

pikiran yang berhubungan dengan cara melakukan kegiatan dengan lebih baik daripada cara yang

pernah dilakukan sebelumnya.

Jika sudah terjangkit virus ini mengakibatkan perilaku individu menjadi lebih aktif dan individu
menjadi lebih giat dalam melakukan kegiatan untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari

sebelumnya. Individu yang menunjukkan motivasi berprestasi menurut Mc.Clelland adalah mereka

yang task oriented dan siap menerima tugas-tugas yang menantang dan kerap mengevaluasi tugas-

tugasnya dengan beberapa cara, yaitu membandingkan dengan hasil kerja orang lain atau dengan

standard tertentu (McClelland, dalam Morgan 1986). Selain itu mcClelland juga mengartikan

motivasi berprestasi sebagai standard of exellence yaitu kecenderungan individu untuk mencapai

prestasi secara optimal (McClelland,1987). Selanjutnya menurut Haditono (Kumalasari, 2006),

motivasi berprestasi adalah kecenderungan untuk meraih prestasi dalam hubungan dengan nilai

standar keunggulan.

Motivasi berprestasi ini membuat prestasi sebagai sasaran itu sendiri. Individu yang dimotivasi untuk

prestasi tidak menolak penghargaan itu, tidak sungguh-sungguh merasa senang jika dalam persaingan

yang berat ia berhasil memenangkannya dengan jerih payah setelah mencapai standar yang

ditentukan. Individu yang mempunyai dorongan berprestasi tinggi umumnya suka menciptakan risiko

yang lunak yang bisa memerlukan cukup banyak kekaguman dan harapan akan hasil yang berharga,

keterampilan dan ketetapan hatinya yang menunjukkan suatu kemungkinan yang masuk akal

daripada hasil yang dicapai dari keuntungan semata. Jika memulai suatu pekerjaan, individu yang

mempunyai dorongan prestasi tinggi ingin mengetahui bagaimana pekerjaannya, ia lebih menyukai

aktivitas yang memberikan umpan balik yang cepat dan tepat.

Menurut Herman (Linda, 2004) motivasi berprestasi ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari,

karena motif berprestasi akan mendorong seseorang untuk mengatasi tantangan atau rintangan dan

memecahkan masalah seseorang, bersaing secara sehat, serta akan berpengaruh pada prestasi kerja

seseorang. Atkinson (Martaniah, 1998) mengatakan bahwa motivasi berprestasi dalam perilaku

individu mengandung dua kecenderungan perilaku, yaitu : a. Individu yang cenderung mengejar atau
mendekati kesuksesan b. Individu yang berusaha untuk menghindari kegagalan.

CIRI-CIRI INDIVIDU YANG MEMILIKI MOTIVASI BERPRESTASI

Menurut McClelland (dalam Morgan, 1986) ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi

tinggi adalah :

1. Menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang/menengah. Individu yang

memilikimotivasi berprestasi tinggi lebih menyukai tugas yang memiliki taraf kesukaran

sedang namun menjanjikan kesuksesan. Rohwer (dalam Robbins,2001) mengatakan bahwa

seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba setiap tugas

yang menantang dan sulit tetapi mampu untuk diselesaikan, sedangkan orang yang tidak

memiliki motivasi berprestasi tinggi akan enggan melakukannya. Robbins (2001)

menambahkan bahwa orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas

yang menantang serta berani mengambil resiko yang diperhitungkan (calculated risk) untuk

mencapai suatu sasaran yang telah ditentukan. Spence (dalam Morgan, 1986) menambahkan,

mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memiliki task oriented dan selalu

mempersiapkan diri terhadap tugas-tugas yang menantang.

2. Suka menerima umpan balik (suka membandingkan kinerja dengan orang lain). Individu

yang memiliki motivasi berprestasi tinggi mengharapkan umpan balik dengan cara

membandingkan performansinya dengan orang lain atau suatu standarisasi tertentu (Spence

dalam Morgan, 1986). Penetapan standard keberhasilan merupakan motif ekstrinsik yang

bukan dari dalam dirinya, namun ditetapkan dari orang lain. Seseorang terdorong untuk

berusaha mencapai standard yang ditetapkan oleh orang lain karena takut kalah dari orang

lain (Rohwer dalam Robbins, 2001). Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

kerap mengharapkan umpan balik dan membandingkan hasil kerjanya dengan hasil kerja
orang lain dengan suatu ukuran keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain

atau standard tertentu (McClelland dalam Morgan 1986).

3. Tekun dan gigih terhadap tugas yang berkaitan dengan kemajuannya. Individu yang memiliki

motivasi berprestasi tinggi akan memiliki kinerja yang baik, aktif berproduktivitas, serta

tekun dalam bekerja. Dengan adanya motivasi berprestasi karyawan akan memiliki sifat-sifat

seperti selalu berusaha mencapai prestasi sebaikbaiknya dengan selalu tekun dalam

menjalankan tugas (Martaniah, 1998). Atkinson (Linda,2004) mengatakan bahwa seseorang

yang memiliki motivasi berprestasi adalah sebagai berikut :

 Free Choise, adalah bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai

aktivitas-aktivitas atas keberhasilannya sehingga selalu berusaha untuk meningkatkan segala

kemungkinan untuk berprestasi oleh karena kemampuan pengalaman keberhasilannya yang

lebih banyak sehingga kendati mengalami kagagalan masih tetap tersirat untuk berhasil.

 Persistence Behaviour, adalah suatu anggapan individu yang memiliki motivasi berprestasi

tinggi menganggap bahwa kegagalan adalah sebagai akibat kurangnya usaha, oleh sebab itu

harapan dan usaha untuk berhasil selalu tinggi.

 Intensity of performance,adalah suatu intensitas dalam penampilan kerja, artinya individu

yang motivasi berprestasinya tinggi selalu berpenampilan suka kerja keras dibandingkan

seseorang yang motivasi berprestasinya rendah.

 Risk preference, adalah suatu pertimbangan memilih risiko yang sedang artinya tidak mudah

dan tidak juga sukar.


Menurut Herman dalam Martaniah (1998) ciri-ciri yang menonjol untuk memilih motivasi

berprestasi berprestasi tinggi antara lain :

1. Mempunyai inspirasi yang tingkatannya sedang, hal ini terjadi karena individu tersebut

memiliki keinginan untuk berprestasi tinggi sehingga individu tersebut tidak ingin melakukan

sesuatu yang berbeda diluar jangkauannya atau tidak ingin membuang waktu yang banyak

untuk mengerjakan sesuatu diluar kemampuan dirinya.

2. Memiliki tugas yang memiliki risiko yang sedang daripada yang tinggi.

3. Persperktif waktunya berorientasi kedepan.

4. Mempunyai keuletan dalam melakukan tugas yang belum selesai.

5. Mempunyai dorongan untuk melakukan tugas yang belum selesai.

6. Memiliki pasangan kerja atas dasar kemampuannya.

7. Usaha yang dilakukannya sangat menonjol.

Berdasarkan uraian diatas dapat dismpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi

tinggi mempunyai ciri-ciri antara lain, memiliki rasa percaya diri yang besar, berorientasi kemasa

depan, suka pada tugas yang memiliki tingkat kesulitan sedang, tidak membuang-buang waktu,

memilih teman yang berkemampuan baik dan tangguh dalam mengerjakan tugas-

tugasnya.Heckhausen (Monks dan Haditono,1999) mengatakan bahwa individu yang memiliki

motivasi berprestasi tinggi dan motivasi berprestasi rendah memiliki perbedaan.

Adapun ciri-ciri individu yang motivasi berprestasi rendah adalah :

1. Orientasi pada masa lampau.


2. Memiliki tugas yang sukar dan tidak sesuai dengan kemampuannya.

3. Tidak mempunyai kepercayaan dalam meghadapi tugas, adanya rasa pesimis yang dimiliki.

4. Menganggap keberhasilan suatu nasib mujur.

5. Cenderung mengambil pekerjaan tingkat resiko lemah, sehingga keberhasilan akan mudah

dicapai.

6. Suka bermalas-malasan serta melakukan dengan cara yang baru. 7. Tidak menyenangi

pekerjaan yang menuntut tanggung jawab dan merasa puas sebatas prestasi yang dicapai.

7. Tidak mencari umpan balik dari perbuatannyajika melakukan pekerjaan yang tidak

diinginkan.

Atkinson (Linda,2004) mengatakan bahwa ciri-ciri individu yang tidak memiliki motivasi berprestasi

antara lain :

1. Individu termotivasi oleh ketakutan akan kegagalan.

2. Lebih senang menghindari kegagalan.

3. Senang melakukan tugas-tugas yang mempunyai taraf-taraf kesulitan yang rendah.

4. Individu senang menghindari kegagalan dan akan menunjukkan performance terbaik pada

tugas-tugas dengan kesulitan yang rendah.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah

memiliki ciri-ciri antara lain, bersikap pesimis, orientasi pada masa lampau, menganggap

keberhasilan sebagai nasib mujur, menghindari kegagalan, suka memakai cara yang lama, tidak

menyenangi pekerjaan pekerjaan yang menuntut tanggung jawab serta tidak berusaha untuk mencari

umpan balik dari pekerjaannya. II.C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi pada seseorang. Faktor-faktor tersebut antara

lain adalah :

1. Kemampuan Intelektual Menurut Gebhart dan Hoyt (Linda, 2004) dengan kelompok

kemampuan intelektual yang tinggi ternyata menonjol dalam achievement, exhibition,

autonomy dan dominance, sedangkan dengan kelompok kemampuan intelektual rendah

ternyata menonjol dalam order, abasement, dan nurturance.

2. Tingkat Pendidikan Orang tua Sadli (Linda,2004) menyatakan cara ibu mengasuh anak dapat

menimbulkan motivasi berprestasi yang tinggi dan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan

karena ibu yang berpendidikan tinggi akan mempunyai aspirasi dan motivasi untuk

mendorong anak agar berprestasi setinggi-tingginya.

3. Jenis Kelamin Adi Subroto, Watson, Lingren, Martaniah (Linda, 2004) menemukan adanya

perbedaan motivasi berprestasi antara pria dan wanita, pria mempunyai motivasi berprestasi

yang lebih tinggi daripada wanita.

4. Pola Asuh Dari penelitian didapat bahwa motivasi berprestasi terbentuk sejak masa kanak-

kanak dan dipengaruhi oleh cara ibu mengasuh anaknya (Suroso dalam Linda, 2004).

Selain itu hal-hal yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi adalah :

1. Pendidikan Soemanto dan Setianingsih (Hurlock,1981) mengatakan bahwa pendidikan

adalah pengalaman yang memberikan pengertian perubahan terhadap suatu objek yang

menyebabkan berkembangnya kecakapan seseorang dalam membentuk sikap tingkah

lakunya. Soemanto (1984) dan Setianingsih (1986) menggambarkan pendidikan formal

seperti TK,SD sederajat,SLTA sederajat dan perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan

informal diperoleh dalam keluarga dan kehidupan berkelompok. Semakin tinggi tingkat
pendidikan yang dicapai maka akan semakin besar juga untuk menerima pandangan dan

wawasan baru.

2. Lama Kerja Menurut Ranupandojo (Linda,2004), lama kerja adalah banyaknya waktu yang

menyatakan bahwa seseorang telah menjadi karyawam pada suatu perusahaan dan faktor

penting yang dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan sehingga dapat menguasai

pekerjaan dengan lebih baik.

3. Lingkungan Tantangan yang ada dalam suatu lingkungan akan menetukan tinggi rendahnya

dorongan berprestasi individu. Seandainya tantangan yang ada dalam lingkungan itu sedang-

sedang saja maka motivasi berprestasi individu tersebut akan tinggi. Namun jika tantangan

itu terlalu besar atau terlalu kecil maka motivasi berprestasinya akan berkurang (Mc Clelland

dalm Linda, 2004).

4. Keluarga Cara mengasuh anak dan pelatihan yang diberikan kepada anak-anak untuk dapat

berdiri diatas kaki mereka sendiri (mandiri) serta agar dapat menguasai keterampilan atau

keahlian tertentu dalam usia dini dan tidak ada penolakan dalam diri anak. Orang tua yang

memiliki standar kualitas tinggi menganjurkan anak-anaknya akan meningkatkan motivasi

berprestasi yang tinggi pada anak (Mc Clelland, 2004).

5. Pengaruh yang Berasal dari Dalam Diri Individu Menurut Harisson (Linda, 2004), yaitu ada

kemampuan dalam mempersiapkan diri secara bersungguh-seungguh untuk bekerja juga

bersedia menerima dan mencoba pekerjaan untuk memperoleh pengalaman kerja.

Menghindari dari pola pemuasan kesukaran untuk mencapai keberhasilan dalam mencapai

tujuan yang mengandung arti bersedia berkorban untuk mencapai tujuan.

Motivasi berprestasi yang terjadi pada masa anak-anak tidak hanya ditentukan oleh orang tua saja,

tetapi juga dapat berubah karena proses pendidikan, latihan-latihan dan adanya faktor kematangan
dan proses belajar pada masa selanjutnya (Mc Clelland dalam Martaniah, 1984). Motivasi berprestasi

merupakan suatu hal yang dipelajari, oleh karena itu pembentukannya sangat ditentukan oleh faktor

lingkungan terutama keluarga sebagai lingkungan terdekat. Selain itu karena terbentuk dari

lingkungan maka kebutuhan berprestasi bisa berubah sejalan dengan perkembangan yang dialami

individu yaitu melalui latihan, pendidikan, kematangan dan proses belajar.

Locke (Kumalasari, 2006) menjelaskan bahwa pengalaman atau kematangan, wawasan diri dan usia

individu berpengaruh terhadap motivasi berprestasi individu. Kemudian Mc Clelland (1961) yang

mengemukakan bahwa ada enam aspek motivasi berprestasi pada diri individu, yaitu :

1. Bertanggungjawab dan kurang suka mendapat bantuan orang lain.

2. Mencapai prestasi dengan sebaik-baiknya.

3. Ingin hasil yang konkrit dari usahanya.

4. Memperhitungkan kemampuan diri dengan resiko sedang.

5. Tidak senang membuang-buang waktu serta gigih.

6. Memiliki antisipasi yang berorientasi kedepan.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa motif berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara

lain pendidikan, masa kerja, lingkungan dan keluarga, disamping faktor yang berasal dari dalam diri

individu yaitu kemampuan diri, adanya kemampuan besar untuk madiri serta bersedia berkorban

untuk mencapai tujuannya. Kemudian ada beberapa aspek kebutuhan berprestasi dalam diri individu

yaitu bertanggung jawab dan kurang suka mendapat bantuan dari orang lain, mencapai prestasi

dengan sebaik-baiknya, memperhitungkan kemampuan diri dengan risiko yang sedang, ingin hasil

yang konkrit dari usahanya, tidak senang membuang-buang waktu serta memilikiantisipasi yang
berorientasi kedepan.

KARYAWAN ETNIS BATAK DAN ETNIS TIONGHOA

1. Pengertian Etnis

Etnis atau suku merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang lain

berdasarkan akar dan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnis adalah kelompok

manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa

(Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas dapat dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya

kesadaran kelompok, pengakuan akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal-usul. Wilbinson

(Koentjaraningrat, 2007) mengatakan bahwa pengertian etnis mungkin mencakup dari warna kulit

sampai asal ususl acuan kepercayaan, status kelompok minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan

politik bahkan program belajar.

Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) juga menjelaskan bahwa etnis dapat ditentukan berdasarkan

persamaan asal-usul yang merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan suatu ikatan.

Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa etnis atau suku merupakan suatu kesatuan

sosial yang dapat membedakan kesatuan berdasarkan persamaan asal-usul seseorang sehingga dapat

dikategorikan dalam status kelompok mana ia dimasukkan. Istilah etnis ini digunakan untuk mengacu

pada satu kelompok, atau ketegori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan.

2. Etnis Batak

a. Pandangan Hidup Serta Filsafat Etnis Batak

Tanah Batak adalah daerah pedalaman di Sumatera Utara dengan Danau Toba sebagai pusatnya.

Daerah pedalaman ini merupakan dataran tinggi yang diapit oleh gunung-gunung. Etnis Batak

khususnya terdiri dari sub-sub suku bangsa yaitu :


Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola dan Mandailing. Dimana dalam kehidupan dan

pergaulan sehari-hari mereka menggunakan beberapa logat (Payung dalam Koentjaraningrat,

2007). Payung (Koentjaraningrat, 2007) mengatakan bahwa menurut cerita-cerita suci (Tarombo)

orang Batak semua sub-sub suku bangsa itu mempunyai nenek moyang yang satu yaitu Siraja Batak

yang tinggalnya dikaki gunung pusuk bukit, letaknya disebelah barat Danau Toba. Dimana orang

Batak mempunyai konsep bahwa alam ini beserta isinya diciptakan Debata (Ompung). Selanjutnya

Payung (Koentjaraningrat, 2007) menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki tondi, dimana tondi

tersebut diterima oleh seseorang ketika masih didalam rahim ibunya, dan tondi merupakan suatu

kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan manusia dalam kehidupannya.

Konsep yang sangat mendasar dalam organisasi kekerabatan adalah marga. Marga adalah kelompok-

kelompok orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu

diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal (Verbouwen dalam Ihromi, 1986). Semua

anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecilnya, dan nama

marga itu merupakan suatu pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannya masih mempunyai

kakek yang sama, dan ada satu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga sama

terjalin oleh hubungan darah, dan salah satu konsekuensinya adalah larangan menikah bagi wanita

dan pria yang mempunyai nama marga yang sama.

Dalam beberapa konsep berfikir ini, kemudian tumbuhlah suatu ketetapan pandangan hidup dan

kemudian berkembanglah menjadi suatu ajang filsafat hidup yang menjadi dasar praktek sistem

kepercayaan orang Batak. Suku bangsa Batak adalah penduduk yang menghuni kabupaten Tapanuli,

propinsi Sumatera Timur maupun yang berdiam diluarnya, yaitu orang-orang perantauan yang

berasal dari daerah tersebut. Suku bangsa Batak terdiri dari beberapa suku, antara lain suku Toba

yang mendiami bagian tengah daerah Batak yang meliputi Habinsaran, Silindung, Dataran Tinggi
Toba, Barus, Sorkam dan Sibolga. Di sebelah utara berdiam suku Karo, bagian Barat suku Pakpak,

bagian timur suku Simalungun dan dibagian selatan suku Angkola dan Mandailing, dan suku Gayo

dan Alas berdiam dibagian selatan Aceh. Selain daripada itu penduduk yang berdiam di daerah

Rokan, Bila, Pane dan Kotapinang termasuk juga dalam suku Batak (L.S.Diapari, 1987)

b. Struktur Sosial Orang Batak

Keluarga merupakan struktur masyarakat kelompok terkecil yang terpadu dan mencakup keluarga

pendukung. Arti yang luas dari ini adalah keluarga masih unit terkecil bahwa keluarga sanggup

mencakup kebutuhan sendiri, bahwa keluarga tidak membaur kemasyarakat luas secara alami, bahwa

keluarga mempunyai semangat bersaing dan anggotanya termotivasi oleh hal-hal praktis untuk

melindungi dan meningkatkan kekayaan keluarga merupakan tiang penyangga (Ihromi, 1986).

Dalam keluarga ini yang memegang peranan penting dan berkuasa adalah ayah dan anak laki-

lakinya. Karena pada praktiknya dominasi laki-laki bagi etnis Batak adalah normal. Peraturan sering

terlihat ketat dan berat untuk dilaksanakan. Anak laki-laki sebagai penerus marga ayahnya ini

disebabkan karena orang Batak memegang prinsip keturunan secara patrilineal yaitu setiap anak baik

laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya mempunyai marga ayahnya (Payung dalam

Koentjaraningrat, 2007).

Prinsip kehidupan orang Batak bahwa anak-anak harus patuh kepada orang tua. Dimana kewajiban

anak-anak terhadap orang tua baik sebelum maupun sesudah menikah harus tetap berbakti kepada

orang tua., begitu juga dengan hubungan sosial yang penting dalam keluarga sesuai dengan etika

hubungan sosial saudara laki-laki terhadap saudara perempuan dan hubungan suami istri. Kalau

ketiga dasar fondasi hubungan dalam keluarga inti dan keluarga besar baik dan harmonis, maka

hubungan sosial dalam masyarakat sekelilingnya akan lebih baik dan harmonis juga. Dimana etika

hubungan sosial dalam keluarga ini terutama kewajiban-kewajiban anak-anak dalam pengabdian
kepada orang tua dan anak laki-laki tidak boleh membuat susah orang tua (Payung dalam

Koentjaraningrat, 2007).

KARYAWAN ETNIS BATAK

Suku Batak hidup di lereng gunung Bukit Barisan, terisolir dari lalu lintas peradaban luar. Hutan

yang sangat lebat belum pernah terjamah oleh manusia turut menyempurnakan isolasi itu. Gunung

Pusuk Bukit dipinggir Danau Toba itulah tempat etnis Batak berasal. Suku Batak hidup dalam pola

asuh keluarga yang menuntut anak-anak mereka sekolah setinggi-tingginya dan tak jarang orangtua

yang petani didesa rela melepaskan anakanak mereka merantau agar dapat menuntut ilmu setinggi-

tingginya dan tak jarang orang tua yang petani di desa rela melepaskan anak-anak mereka merantau

agar dapat menuntut ilmu setinggi-tingginya (Tambunan dalam Kartika,2004).

Adanya kemauan yang keras dalam diri mereka memacu mereka untuk berorientasi kedepan

sehingga kalau ditelusuri bahwa disetiap ibukota diseluruh Indonesia dapat dijumpai etnis Batak. Ada

falsafah etnis Batak yang mengatakan bahwa ada tiga yang menjadi tujuan mereka hidup yang lebih

dikenal dengan 3H yaitu Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (Menikah dan Keturunan) dan

Hasangapon (Nama Baik). Selama mereka tumbuh dan berkembang orangtua selalu menekankan

falsafah ini kepada anak-anaknya sehingga etnis Batak cenderung memiliki karakter atau sifat yang

pekerja keras, gigih dan selalu berorientasi kedepan. Adanya sifat pejuang membuat mereka menjadi

pemberani, selalu berusaha untuk sukses (Togatorop dalam Kartika, 2004).

Salah satu karakter etnis Batak yang menonjol adalah tahan dalam segala situasi dalam lingkungan

yang menghimpit dan mau berjuang, hal ini sesuai dengan pendapat Mc Clelland (Martaniah,1998)

yang mengatakan bahwa orang yang memiliki motif berprestasi tinggi cenderung memiliki kemauan

untuk maju dan mengambil resiko yang sedang. Tambunan (Kartika, 2004) mengatakan bahwa etnis
Batak adalah etnis yang sangat memandang tinggi derajat manusia, karena pada mereka ada sistem

marga yang mengatur kedudukan dan sosial dimasyarakat yang membuat mereka saling menghargai

satu sama lain.

Unsur motif berprestasi inilah yang didistribusikan oleh Weiner (Martaniah,1998) sebagai suatu

usaha sukses dalam mencapai tujuan yang sudah diorientasikan sebelumnya sebab dalam motif

berprestasi tersebut mengandung unsur usaha. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa etnis

Batak memiliki karakter yang menunjukkan bahwa mereka memiliki motif berprestasi. Hal ini

didasari oleh pola asuh orang tua yang mendidik mereka untuk berusaha menjadi lebih baik melalui

pendidikan yang tinggi. II.E. 3. Etnis Tionghoa

a. Pandangan Hidup Serta Filsafat Etnis Tionghoa

Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa Indonesia, tetapi

sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini dengan sewajarnya. Orang Tionghoa yang

ada di Indonesia sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang asal dari satu daerah di negeri

Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Puksen dan

Kwanglung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa

kebudayaan suku bangsa sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya. Ada empat bahasa

yang digunakan oleh orang Tionghoa di Indonesia, yaitu bahasa Hokkian, Teo-Chiu, Hakka dan

Kanton yang demikian besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat

mengerti pembicaraan dari yang lain (Vasanty dalam Hariyono, 2006). Selanjutnya Vasanty

(Hariyono, 2006) mengatakan para imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia mulai abad ke-16

sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, berasal dari suku bangsa Hokkian. Mereka berasal dari

propinsi Fukien bagian selatan.


Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perdagangan orang

Tionghoa ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini yang ada didalam kebudayaan suku bangsa

Hokkian telah terendap berabad-abad lamanya dan masih tampak jelas pada orang Tionghoa di

Indonesia. Diantara pedagang pedagang Tionghoa di Indonesia merekalah yang paling berhasil. Hal

ini juga disebabkan karena sebagian dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Orang Hokkian dan

keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia

Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Barat Sumatera.

b. Stereotip Etnis Tionghoa

Stereotip etnis Tionghoa biasanya disebutkan sebagai memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis,

superior dan materialistis. Tapi kadang-kadang menunjukkan sikap ramah, murah hati, rajin, ulet,

memiliki spekulasi tinggi, namun dengan mudah menghamburhamburkan materi, suka berpesta pora.

Sifatnya muncul secara bergantian, tidak menentu, seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, sehingga orang

yang belum mengenalnya akan sulit menangkap sifat manusia Tionghoa dan akan dengan mudah

dilihat sisi negatifnya.

Bahkan sementara orang menganggapnya sebagai suatu eksploitasi terhadap lingkungan (sosial)

disekitarnya. Padahal sifat itu muncul secara spontan dari alam tidak sadarnya yang secara kultural

berasal dari akar budayanya yang tunggal yang memiliki makna tertentu yang akan dapat dipahami.

Justru keanekaragaman sifat dan sikap ini yang membedakan cirri khas manusia Tionghoa dengan

yang lain (Vasanty dalam Hariyono,2006). Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) mengatakan bila

ditelusuri stereotip-stereotip diatas ternyata saling berkaitan, memiliki akar budayanya yang tunggal

pada sistem kepercayaannya.

Pada etnis Tionghoa sisitem kepercayaan dan tradisi yang dianut secara cukup luas terdapat pada
agama Konfusius, disamping terdapat juga agama Tao dan Budha. Ajaran Konfusius selama berabad-

abad sempat menjadi ajaran wajib disekolah-sekolah negeri Cina pada zaman dahulu. Internalisasi

yang cukup lama ini membekas pada manusia Tionghoa sampai generasi-generasi berikutnya.

Meskipun ajaran ini sudah tidak begitu banyak dianut oleh orang Tionghoa di Indonesi namun sisa-

sisa nilai yang terbentuk masih tampak pada manusia Tionghoa dalam berbagai gradasi internalisasi

yang berbeda-beda. Selain itu secara internal ajaran Konfusius memiliki kekuatan akan pewarisan

nilai-nilai, karena salah satu nilai yang cukup menonjol, yaitu nilai patuh kepada orang tua dan

pengabdian kepada keluarga memungkinkan segala sesuatu, merupakan media internalisasi yang

ampuh bagi penamaan nilai secara kuat kepada generasi berikut (Vasanty dalam Hariyono, 2006).

KARYAWAN ETNIS TIONGHOA

Orang turunan Tionghoa atau yang lebih dikenal dengan etnis Cina merupakan orang pendatang ke

Indonesia pada abad ke -16. pada waktu itu etnis Tionghoa yang datang kebanyakan pria, karena

transportasi masih sukar dan akibatnya banyak etnis Tionghoa yang menikah dengan perempuan

Indonesia yang lebih dikenal dengan pribumi. Pada zaman dahulu golongan etnis Tionghoa

peranakan lebih berintegrasi dengan orang Jawa. Pada umumnya mereka tidak menggunakan bahasa

Cina lagi dan mereka mengambil adapt dan kebudayaan Jawa. Akan tetapi pada abad 20 terjadilah

gerakan nasionalisme di Negara Cina yang mempengaruhi kaun Tionghoa di perantauan.

Banayak orang Cina yang dikirim ke Jawa untuk memberi rangsangan pada orang Tionghoa di Jawa

untuk berorientasi kepada Negara leluhurnya (Vasanty dalam Martaniah, 1998). Allers (Martaniah,

1998) mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa ini suka bekerja, berani berspekulasi, penuh inisiatif

dan materialistik. Golongan keturunan etnis Tionghoa ini dikagumi akan keuletan maupun

kerajinannya. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa sifat orang Tionghoa yang kaya dan orang

Tionghoa yang miskin berbeda.


Orang Tionghoa yang miskin cenderung memiliki sifat submisif, hati-hati, rasional, hemat, realistis,

rajin dan bersungguh-sungguh. Sedangkan yang kaya lebih cenderung memiliki sifat yang suka

dipuji, tidak simpatik, terlalu bebas, impulsif, boros dan tidak hati-hati. Seiring dengan

perkembangan zman bahwa di tanah air masih tetap terlihat banyak. Sekolah-sekolah yang mayoritas

pelajarnya keturunan Tionghoa dan juga beberapa perusahaan didominasi etnis Tionghoa dan

tentunya kebudayaan yang mereka anut serta nilai-nilainya masih kuat. Pada umumnya etnis

Tionghoa berpegang teguh pada kebudayaan negri leluhurnya, sangat sukar berhenti sebagai orang

Tionghoa (Mitchison dalam Martaniah, 1998).

Hubungan kekeluargaan orang Tionghoa begitu erat sehingga sukar bagi mereka untuk melepaskan

diri dari kebudayaan dan nilai-nilai keluarganya. Disisi lain, Amy Chua (Hariyono, 2006)

menyebutkan bila dalam suatu Negara demokrasi kelompok etnis minoritas menguasai pasar, bukan

tidak mungkin suatu saat memiliki potensi melahirkan percikan api kerusuhan rasial. Dalam

persoalan etnis Tionghoa di Indonesia, persoalan sosio-kultural dan persoalan ekonomi muncul

seperti sekeping mata uang dengan dua sisinya. Secara sederhana dapat dikatakan, perilaku manusia

Tionghoa perantauan umumnya berorientasi pada aktivitas ekonomi.

Tetapi aktivitas ekonomi etnis Tionghoa dilakukan dalam referensi sosil-kultural (dan politik)nya.

Dan ketika Deng Xiaoping membuat slogan “reformasi dan membuka diri” membuat masyarakat

Tionghoa bersemangat dan memasuki era globalisasi dengan cepat (Suryadinata dalam Wibowo,

2000). Atas dasar uraian-uraian dan pendapat-pendapat tersebut bahwa karyawan orangorang etnis

Tionghoa atau Cina yang tinggal di Negara Indonesia masih tetap memegang teguh kebudayaan

maupun nilai-nilai Negara asalnya yang memberikan mereka cara hidup dalam kesehariannya untuk

menuju sukses dan pada umumnya berorientasi pada aktivitas ekonomi.


PERBEDAAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA KARYAWAN ETNIS BATAK DAN

ETNIS TIONGHOA

Dalam masyarakat Indonesia etnis Tionghoa dikenal sebagai pedagang dan wiraswasta yang berhasil.

Menurut McClelland (Martaniah, 1984) kewiraswastaan ini merupakan ciri motif berprestasi yang

tinggi. Motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis Tionghoa ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu :

1. Pertama, akar budaya Tionghoa yang memiliki orientasi pada materi dan kehormatan

(keluarga).

2. Kedua, predikat negatif yang sempat terpatri pada orang Tionghoa yang sempat menjadi

stereotip pada masa orde baru, hal ini oleh sebagian orang Tionghoa merupakan cambuk

untuk menunjukkan prestasi (kerja) yang lebih baik sebagai bukti bahwa etnis Tionghoa tidak

seburuk yang dikatakan orang.

3. Ketiga, posisinya sebagai kelompok minoritas ikut mempengaruhi munculnya motif

berprestasi.

Akibat mereka mencoba menonjolkan identitas dirinya dengan menunjukkan dan mengerahkan

segala kemampuannya, sehingga muncullah motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis minoritas

yang pada akhirnya menunjukkan menunjukkan tingkat ekonomi yang berbeda (Hariyono, 2006).

Crawford (Martaniah, 1998) orang-orang turunan Tionghoa ini suka bekerja, berspekulasi, penuh

inisiatif dan maternalistik. Selain itu mereka juga dikagumi oleh keuletan dan kegigihan mereka

dalam bekerja. Hidayat (Martaniah, 1998) berpendapat bahwa ajaran Kong Hu Cu yang banyak

dianut oleh etnis Tionghoa, menyatakan bahwa tiap-tiap individu harus mengembangkan kecakapan

dan keterampilan semaksimal mungkin sesuai dengan status sosialnya.


Selanjutnya Hidayat mengatakan bahwa etnis Tionghoa sejak dulu memberikan keyakinan bahwa

mereka adalah pusat pemerintahan dunia, maka dimanapun mereka harus melebihi tingkat hidup

kaum pribumi, akibatnya mereka bekerja keras dan bertekun, sabar serta hemat supaya tingkat

kehidupannya menonjol. Selanjutnya etnis Batak yang menempuh kebudayaan menurut

kepribadiannya sendiri dan adanya perubahan zaman tidak mempengaruhi kepribadian itu karena

orang-orang Batak dikota pun tetap berpegang teguh kepada filsafat leluhur (Napitupulu dalam

Kartika, 2004).

Secara kepribadian orang Batak memiliki sikap dan pembawaan yang agak menonjol dan terkadang

dominan dalam berargumentasi dan cenderung memaksakan kehendak dan ingin menang sendiri

dalam tingkah laku seolah-olah menunjukkan sifat dan ciri khas. Terdorong oleh keadaan itu

menimbulkan sifat yang superioritas selalu tampak, apalagi berhubungan dengan orang lain. Sejajar

dengan pengaruh Kristen pada pertengahan abad ke-19 yang lalu masuklah sistem pendidikan

sekolah yang membuka kebudayaan Batak untuk pengaruh dari luar dengan kecepatan yang amat

besar. Salah satu kekuatan dari orang Batak sebagai suatu sub suku bangsa adalah bahwa mereka itu

memiliki suatu organisasi berdasarkan agama yang kuat ialah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).

Organisasi ini mempersatukan semua orang Batak yang beragama Kristen, dapat melakukan

penyebarluasan terhadap adat istiadat Batak, dapat menghilangkan unsur-unsur didalamnya yang

kolot dan menghambat kemajuan serta dapat mendorong timbulnya suatu sikap mental yang cocok

untuk pembangunan (Koentjaraningrat, 2007). Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) mengatakan

bahwa konsep dasar kebudayaan Batak adalah Dalihan Na Tolu yang dihayati sebagai sistem kognitif

yang memberikan pedoman bagi orientasi setiap orang Batak yang menentukan persepsi dan definisi

terhadap realitas.
Dari sudut pendekatan kebudayaan, Dalihan Na Tolu dapat menjadi potensi yang didayagunakan

untuk mengetahui, memahami dan juga mengambil sikap terhadap apa yang dipahami dan

diketahuinya. Kajian mendalam membuktikan bahwa Dalihan Na Tolu tidak terlepas dari konsep

religi Batak tua, yang didasarkan pada prinsip tritunggal atau sitolu sada ihot (konsep tiga dalam

satu) yang mencakup kehidupan spiritual, sosial, moral dan material. Dalihan Nan Tolu tidak hanya

dijumpai ditengah masyarakat Batak Toba, tetapi juga ditengah masyarakat Batak lainnya (P.L.

Situmeang, 2007) Dari paparan diatas, pada dasarnya terlihat kesamaan antara etnis Tionghoa dan

Etnis Batak.

Namun terdapat faktor –faktor seperti dilema minoritas pada masyarakat Tionghoa (Suryadinata,

1984) yang memungkinkan terjadinya perbedaan kesenjangan motif berprestasi dengan etnis

Tionghoa. Menurut Wilmoth (Martaniah, 1998) etnis Tionghoa dibandingkan dengan warga pribumi

lebih kompetitif, mempunyai usaha yang besar dan sangat mengusahakan prestasi dan memiliki

tingkat aspirasi yang tinggi. Selanjutnya hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam pengasuhan

anak. Pada kedua perbedaan tersebut, orangtua turunan Tionghoa lebih banyak meminta kepada

anaknya untuk berusaha mencapai prestasi dan sukses, sedangkan orangtua pribumi lebih longgar,

mereka tidak menekankan permintaan-permintaan kepada anaknya. Atas dasar penemuan itu

Wilmoth (Martaniah,1998) berpendapat bahwa etnis Tionghoa memiliki need achievement yang

tinggi.

Didalam kenyataannya dari hasil wawancara dengan para karyawan Citi Financial terdapat

kesenjangan motivasi berprestasi antara karyawan etnis Batak dan karyawan etnis Tionghoa,

sedangkan dari paparan diatas berdasarkan pendapat para ahli dan temuan-temuan dalam penelitian

dapat dikatakan bahwa need of achievement antara etnis Batak dan etnis Tionghoa seharusnya tidak
memiliki perbedaan. Berkaitan dengan konteks ini maka peneliti tertarik untuk membuktikan tentang

sejauh mana derajat perbedaan achievement karyawan di Citi Fianancial tersebut dan faktor-faktor

apa yang mempengaruhi perbedaannya.

Anda mungkin juga menyukai