Anda di halaman 1dari 58

Kelembagaan dan Pembiayaan

Pembangunan

Kelembagaan Pembangunan dan


Penataan Ruang

A. ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

1. Pembagian Urusan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah


Daerah
Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang menjadi urusan pemerintah (pusat). Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Urusan
pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara
bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah
urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan
fiskal nasional, yustisi, dan agama.
Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan
dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan
selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat
konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan
Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara pemerintah,
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota maka
ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi
eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut
diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan
mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan
susunan pemerintahan. Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran
bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan
ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih
pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria
akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak
yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan tersebut.
Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong
akuntabilitas pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada
pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin
mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat
pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang
sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di era global. Dengan
penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat demokrasi yang diterapkan
melalui kriteria eksternalitas dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis
yang diwujudkan melalui kriteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai esensi
dasar dari kebijakan desentralisasi.

Produk hukum yang mengatur lebih lanjut tentang Pembagian Urusan


Pemerintah Antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
dan Kota adalah Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007. Urusan
pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah meliputi:
1. Politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, serta agama.
2. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan

Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan
urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang
wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan
pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar,
kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya.
Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang
diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait
dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang
menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan
urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang
menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan
oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan.
Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang
dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan
difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah
pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi,
potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Di luar urusan
pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam
lampiran peraturan pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan juga
melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria
pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan
atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Untuk itu pemberdayaan dari pemerintah kepada pemerintahan daerah
menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi


kewenangannya, pemerintah dapat:
1. menyelenggarakan sendiri;
2. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada kepala instansi
vertikal atau kepada gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalam
rangka dekonsentrasi; atau
3. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada
pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan


kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
pemerintahan daerah provinsi dapat:
1. menyelenggarakan sendiri; atau
2. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut kepada
pemerintahan daerah kabupaten/kota dan/atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang berdasarkan


kriteria pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat: menyelenggarakan sendiri; atau
menugaskan dan/atau menyerahkan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Urusan pemerintahan selain yang penyelenggaraannya oleh pemerintah
ditugaskan penyelenggaraannya kepada pemerintahan daerah berdasarkan
asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk menjadi
urusan pemerintahan daerah yang bersangkutan apabila pemerintahan daerah
telah menunjukkan kemampuan untuk memenuhi norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang dipersyaratkan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi yang
penyelenggaraannya ditugaskan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota
berdasarkan asas tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan untuk
menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersangkutan apabila
pemerintahan daerah kabupaten/kota telah menunjukkan kemampuan untuk
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang dipersyaratkan.
Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana disertai dengan perangkat
daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang diperlukan. Penyerahan
urusan pemerintahan diprioritaskan bagi urusan pemerintahan yang
berdampak lokal dan/atau lebih berhasilguna serta berdayaguna apabila
penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintahan daerah yang
bersangkutan. Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan kepada
pemerintahan daerah untuk mendukung kemampuan pemerintahan daerah
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya. Apabila pemerintahan daerah ternyata belum juga mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah dilakukan pembinaan maka
untuk sementara penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pemerintah menyerahkan kembali penyelenggaraan urusan pemerintahan
apabila pemerintahan daerah telah mampu menyelenggarakan urusan
pemerintahan.

2. Penyusunan Organisasi Perangkat Daerah


Subbab ini membahas bagaimana kelembagaan dalam konstelasi
Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat
Daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu
oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu
penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur
pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang
diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik,
diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah
yang diwadahi dalam dinas daerah.
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu
organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti
bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam
organisasi tersendiri. Dengan perubahan terminologi pembagian urusan
pemerintah yang bersifat konkuren berdasarkan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi
fungsi-fungsi pemerintahan tersebut pada masing-masing tingkatan
pemerintahan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib,
diselenggarakan oleh seluruh provinsi, kabupaten, dan kota, sedangkan
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat
diselenggarakan oleh daerah yang memiliki potensi unggulan dan kekhasan
daerah, yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan otonomi
daerah. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor
unggulan masing-masing daerah sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan
sumber daya daerah dalam rangka mempercepat proses peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Peraturan pemerintah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah
dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien,
efektif, dan rasional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah
masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara pusat dan daerah. Besaran
organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor
keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang
harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi
geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian
dengan urusan yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas.
Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-
masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.
Peraturan pemerintah ini menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah
besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah
dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, yang
kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40% (empat
puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen)
untuk variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel
jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas
interval. Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan
dengan beban tugas masing-masing perangkat daerah.
Perubahan nomenklatur Bagian Tata Usaha pada Dinas dan Badan
menjadi Sekretariat dimaksudkan untuk lebih memfungsikannya sebagai
unsur staf dalam rangka koordinasi penyusunan program dan
penyelenggaraan tugas-tugas bidang secara terpadu dan tugas pelayanan
administratif. Bidang pengawasan, sebagai salah satu fungsi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka akuntabilitas dan
objektifitas hasil pemeriksaan, maka nomenklaturnya menjadi Inspektorat
Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota dan dipimpin oleh Inspektur, yang
dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada kepala
daerah.
Selain itu, eselon kepala bidang pada dinas dan badan perangkat daerah
kabupaten/kota diturunkan yang semula eselon IIIa menjadi eselon IIIb,
dimaksudkan dalam rangka penerapan pola pembinaan karir, efisiensi, dan
penerapan koordinasi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang
kepegawaian.
Beberapa perangkat daerah yaitu yang menangani fungsi pengawasan,
kepegawaian, rumah sakit, dan keuangan, mengingat tugas dan fungsinya
merupakan amanat peraturan perundang-undangan, maka perangkat daerah
tersebut tidak mengurangi jumlah perangkat daerah yang ditetapkan dalam
peraturan pemerintah ini, dan pedoman teknis mengenai organisasi dan tata
kerja diatur tersendiri.
Pembinaan dan pengendalian organisasi dalam peraturan pemerintah ini
dimaksudkan dalam rangka penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
simplifikasi antardaerah dan antarsektor, sehingga masing-masing
pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan
perangkat daerah. Dalam ketentuan ini pemerintah dapat membatalkan
peraturan daerah tentang perangkat daerah yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dengan konsekuensi pembatalan hak-hak
keuangan dan kepegawaian serta tindakan administratif lainnya.
Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat
daerah, pemerintah senantiasa melakukan fasilitasi melalui asistensi,
pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan, serta kerja
sama, sehingga sinkronisasi dan simplifikasi dapat tercapai secara optimal
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Diatur pula dalam peraturan pemerintah mengenai pembentukan
lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah, sebagai
bagian dari perangkat daerah, seperti sekretariat badan narkoba provinsi,
kabupaten dan kota, sekretariat komisi penyiaran, serta lembaga lain untuk
mewadahi penanganan tugas pemerintahan umum yang harus dilaksanakan
oleh pemerintah daerah, namun untuk pengendaliannya, pembentukannya
harus dengan persetujuan pemerintah atas usul kepala daerah.
Pengertian pertanggungjawaban kepala dinas, sekretaris DPRD, dan
kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah melalui sekretaris daerah
adalah pertanggungjawaban administratif yang meliputi penyusunan
kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan
pelaksanaan tugas dinas daerah, sekretariat DPRD dan lembaga teknis
daerah. Kepala dinas, sekretaris DPRD, dan kepala badan/kantor/direktur
rumah sakit daerah bukan merupakan bawahan langsung sekretaris daerah.
Dalam implementasi penataan kelembagaan perangkat daerah
berdasarkan peraturan pemerintah ini menerapkan prinsip-prinsip organisasi,
antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini
serta fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali
serta tata kerja yang jelas.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah, menyebutkan bahwa penyusunan organisasi
perangkat daerah dilaksanakan berdasarkan pada pertimbangan adanya
urusan pemerintah yang perlu ditangani. Dalam kegiatan ini, penataan ruang
merupakan salah satu urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Penanganan
urusan tersebut tidak harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.

Dalam hal beberapa urusan yang ditangani oleh satu perangkat daerah,
maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan pemerintahan
yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah.
Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas terdiri dari:
a. bidang pendidikan, pemuda dan olahraga;
b. bidang kesehatan;
c. bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi;
d. bidang perhubungan, komunikasi dan informatika;
e. bidang kependudukan dan catatan sipil;
f. bidang kebudayaan dan pariwisata;
g. bidang pekerjaan umum yang meliputi bina marga, pengairan, cipta
karya dan tata ruang;
h. bidang perekonomian yang meliputi koperasi dan usaha mikro, kecil dan
menengah, industry dan perdagangan;
i. bidang pelayanan pertanahan;
j. bidang pertanian yang meliputi tanaman pangan, peternakan, perikanan
darat, kelautan dan perikanan, perkebunan dan kehutanan;
k. bidang pertambangan dan energi; dan
l. bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset.

Sedangkan perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan,


kantor, inspektorat, dan rumah sakit, terdiri dari:
a. bidang perencanaan pembangunan dan statistik;
b. bidang penelitian dan pengembangan;
c. bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat;
d. bidang lingkungan hidup;
e. bidang ketahanan pangan;
f. bidang penanaman modal;
g. bidang perpustakaan, arsip, dan dokumentasi;
h. bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa;
i. bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana;
j. bidang kepegawaian, pendidikan dan pelatihan;
k. bidang pengawasan; dan
l. bidang pelayanan kesehatan.
a. Berdasarkan PP 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

Bagian ke lima Dinas Daerah Pasal 7


1) Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.
2) Dinas daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan
daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
3) Dinas daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
b) penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai
dengan lingkup tugasnya;
c) pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya;
dan
d) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan
tugas dan fungsinya.
4) Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas.
5) Kepala dinas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
gubernur melalui sekretaris daerah.
6) Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk
melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan
teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa
daerah kabupaten/kota

Bagian Kelima Dinas Daerah Pasal 14


1) Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.
2) Dinas daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan
daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
3) Dinas daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)
a) menyelenggarakan fungsi:
b) perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
c) penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai
dengan lingkup tugasnya;
d) pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya;
dan
e) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
4) Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas.
5) Kepala dinas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
bupati/walikota melalui sekretaris daerah.
6) Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk
melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan
teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa
kecamatan..

Paragraf 2 Dinas Daerah Pasal 25


1) Dinas terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat)
bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing
bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi.
2) Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu) subbagian tata
usaha dan kelompok jabatan fungsional.
3) Unit pelaksana teknis dinas yang belum terdapat jabatan fungsional
dapat dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi.

Paragraf 2 Dinas Daerah Pasal 29


1) Dinas terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat)
bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing
bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi.
2) Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu) subbagian

b. Eselon Perangkat Daerah

Bagian Pertama Eselon Jabatan Perangkat Daerah Provinsi Pasal 34


1) Sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon Ib.
2) Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, dan
direktur rumah sakit umum daerah kelas A, merupakan jabatan structural
eselon IIa.
3) Kepala biro, direktur rumah sakit umum daerah kelas B, wakil direktur
rumah sakit umum kelas A,dan direktur rumah sakit khusus daerah kelas
A merupakan jabatan struktural eselon IIb.
4) Kepala kantor, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan
inspektorat, kepala bidang dan inspektur pembantu, direktur rumah sakit
umum daerah kelas C, direktur rumah sakit khusus daerah kelas B, wakil
direktur rumah sakit umum daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit
khusus daerah kelas A, dan kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan
merupakan jabatan struktural eselon IIIa.
5) Kepala bagian dan kepala bidang pada rumah sakit daerah merupakan
jabatan structural eselon IIIb.
6) Kepala seksi, kepala subbagian, dan kepala subbidang merupakan
jabatan struktural eselon IVa.

Bagian Kedua Eselon Jabatan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota Pasal 35


1) Sekretaris daerah merupakan jabatan structural eselon IIa.
2) Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, direktur
rumah sakit umum daerah kelas A dan kelas B, dan direktur rumah sakit
khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIb.
3) Kepala kantor, camat, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan
inspektorat, inspektur pembantu, direktur rumah sakit umum daerah
kelas C, direktur rumah sakit khusus daerah kelas B, wakil direktur
rumah sakit umum daerah kelas A dan kelas B, dan wakil direktur rumah
sakit khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIIa.
4) Kepala bidang pada dinas dan badan, kepala bagian dan kepala bidang
pada rumah sakit umum daerah, direktur rumah sakit umum daerah kelas
D, dan sekretaris camat merupakan jabatan struktural eselon IIIb.
5) Lurah, kepala seksi, kepala subbagian, kepala subbidang, dan kepala unit
pelaksana teknis dinas dan badan merupakan jabatan structural eselon
IVa.
6) Sekretaris kelurahan, kepala seksi pada kelurahan, kepala subbagian
pada unit pelaksana teknis, kepala tata usaha sekolah kejuruan dan
kepala subbagian pada sekretariat kecamatan merupakan jabatan
struktural eselon IVb.
7) Kepala tata usaha sekolah lanjutan tingkat pertama dan kepala tata usaha
sekolah menengah merupakan jabatan struktural eselon Va.
STAF AHLI Pasal 36
1) Gubernur, bupati/walikota dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu
staf ahli.
2) Staf ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 5 (lima)
staf ahli.
3) Staf ahli diangkat dan diberhentikan oleh gubernur, bupati/walikota dari
pegawai negeri sipil.
4) Tugas dan fungsi staf ahli gubernur, bupati/walikota ditetapkan oleh
gubernur, bupati/walikota di luar tugas dan fungsi perangkat daerah.

Pasal 37
1) Staf ahli gubernur merupakan jabatan struktural eselon IIa, dan staf ahli
bupati/walikota merupakan jabatan struktural eselon IIb.
2) Staf ahli dalam pelaksanaan tugasnya secara administratif
dikoordinasikan oleh sekretaris daerah.

Metode yang digunakan dalam menganalisis kebutuhan organisasi


perangkat daerah adalah menggunakan metode maksimal dan minimal
dengan membandingkan beberapa variabel seperti jumlah penduduk, luas
wilayah dan jumlah APBD. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel
5.1 berikut.

Tabel 5.1
Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah

A. PROVINSI
NO VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI
1 JUMLAH PENDUDUK ≤ 7.500.000 8
(jiwa) 7.500.001 - 15.000.000 16
Untuk Provinsi di Pulau 15.000.001 - 22.500.000 24
Jawa 22.500.001- 30.000.000 32
> 30.000.000 40
2 JUMLAH PENDUDUK ≤ 1.500.000 8
(jiwa) 1.500.001 - 3.000.000 16
Untuk Provinsi di luar Pulau 3.000.001 - 4.500.000 24
Jawa 4.500.001 - 6.000.000 32
> 6.000.000 40
3 LUAS WILAYAH (KM2) ≤ 10.000 7
Untuk Provinsi di Pulau 10.001 - 20.000 14
NO VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI
Jawa 20.001 - 30.000 21
30.001 - 40.000 28
> 40.000 35
4 LUAS WILAYAH (KM2) ≤ 20.000 7
Untuk Provinsi di luar Pulau 20.001 - 40.000 14
Jawa 40.001 - 60.000 21
60.001 - 80.000 28
> 80.000 35

5 JUMLAH APBD ≤ Rp500.000.000.000,00 5


Rp500.000.000.001,00 - 10
Rp1.000.000.000.000,00

Rp1.000.000.000.001,00 - 15
Rp1.500.000.000.000,00

Rp1.500.000.000.001,00 - 20
Rp2.000.000.000.000,00
> Rp2.000.000.000.000,00 25

B. KABUPATEN
NO VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI
1 JUMLAH PENDUDUK ≤ 250.000 8
(jiwa) 250.001 - 500.000 16
Untuk Provinsi di Pulau 500.001 – 750.000 24
Jawa Dan Madura 750.001 – 1.000.000 32
> 1.000.000 40
2 JUMLAH PENDUDUK ≤ 150.000 8
(jiwa) 150.001 - 300.000 16
Untuk Provinsi di luar Pulau 300.001 – 450.000 24
Jawa dan Madura 450.001 – 600.000 32
> 600.000 40
3 LUAS WILAYAH (KM2) ≤ 500 7
Untuk Provinsi di Pulau 501 - 1.000 14
Jawa dan Madura 1.001 – 1.500 21
1.501 – 2.000 28
> 2.000 35
4 LUAS WILAYAH (KM2) ≤ 1.000 7
Untuk Provinsi di luar Pulau 1.001 – 2.000 14
Jawa dan Madura 2.001 – 3.000 21
3.001 – 4.000 28
> 4.000 35
NO VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI
5 JUMLAH APBD ≤ Rp200.000.000.000,00 5
Rp200.000.000.001,00 – 10
Rp400.000.000.000,00

Rp400.000.000.001,00 – 15
Rp600.000.000.000,00

Rp600.000.000.001,00 – 20
Rp800.000.000.000,00
> Rp800.000.000.000,00 25
C. KOTA
NO VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI
1 JUMLAH PENDUDUK ≤ 100.000 8
(jiwa) 100.001 - 200.000 16
Untuk Provinsi di Pulau 200.001 - 300.000 24
Jawa Dan Madura 300.001 - 400.000 32
> 400.000 40
2 JUMLAH PENDUDUK ≤ 50.000 8
(jiwa) 50.001 - 100.000 16
Untuk Provinsi di luar Pulau 100.001 - 150.000 24
Jawa dan Madura 150.001 - 200.000 32
> 200.000 40
3 LUAS WILAYAH (KM2) ≤ 50 7
Untuk Provinsi di Pulau 51 - 100 14
Jawa dan Madura 101 - 150 21
151 – 200 28
> 200 35
4 LUAS WILAYAH (KM2) ≤ 75 7
Untuk Provinsi di luar Pulau 76 - 150 14
Jawa dan Madura 151 - 225 21
226 – 300 28
> 300 35
5 JUMLAH APBD ≤ Rp200.000.000.000,00 5
Rp200.000.000.001,00 – 10
Rp400.000.000.000,00

Rp400.000.000.001,00 – 15
Rp600.000.000.000,00

Rp600.000.000.001,00 – 20
Rp800.000.000.000,00
> Rp800.000.000.000,00 25
Sumber: PP No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi perangkat daerah

Berikut simulasi atau contoh perhitungan kelembagaan di tingkat


Provinsi dan Kabupaten berdasarkan PP 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah

Provinsi Kalimantan Utara


A. Jumlah penduduk : 601.470 jiwa : nilai = 8
B. Luas wilayah : 77.382.78 km² : nilai = 28
C. APBD : Rp. 5,54 triliun : nilai = 25
Nilai total adalah 61, dan rekomendasi besaran Organisasi Perangkat
Daerah Provinsi adalah Sekretariat Daerah terdiri dari paling banyak 3
asisten, Sekretariat DPRD, Dinas paling banyak 15, Lembaga Teknis Daerah
paling banyak 10, Kecamatan, Kelurahan.
Struktur organasisasi perangkat daerah untuk provinsi di
rekomendasikan untuk pola maksimal/pola statis yang terdiri dari

Pola Maksimal :
 Lembaga Pemerintah
 Kepala Daerah
 Gurbenur
 Bupati
 DPRD
 DPRD Provinsi
 DPRD Kabupaten
 Organisasi Perangkat Daerah Bidang Penataan Ruang
 Provinsi

Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai kurang dari 40 (empat


puluh) terdiri dari:
1) Sekretariat Daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten;
2) Sekretariat DPRD;
3) Dinas paling banyak 12 (dua belas); dan
4) Lembaga Teknis Daerah paling banyak 8 (delapan)

Kabupaten Manokwari Selatan


A. Jumlah penduduk : 22.366 jiwa : nilai = 8
B. Luas wilayah : 2.812,44 km2 : nilai = 21
C. APBD : Rp. 614.096.216.000 : nilai = 20

Nilai total adalah 49 dan rekomendasi besaran Organisasi Perangkat


Daerah adalah 1 ( satu) dinas terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling
banyak 3 (tiga) bidang, dinas paling banyak 15 dan masing-masing bidang
terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi, kemudian sekretariat DPRD.

B. KELEMBAGAAN PENATAAN RUANG

1. Pembagian Kewenangan Penyelenggaraan Penataan Ruang di Pusat


dan Daerah
Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya, negara memberikan kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah.
Dalam konteks otonomi daerah terdapat urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang
dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau
konkuren. Salah satu kewenangan yang termasuk ke dalam kewenangan
konkuren adalah penyelenggaraan penataan ruang.

a. Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi


Wewenang Pemerintahan daerah Provinsi dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta
terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan
kabupaten/kota; pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan kerja sama penataan ruang
antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarkabupaten/
kota.

Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan


ruang wilayah provinsi meliputi:
1. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
2. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
3. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi, pemerintahan daerah


provinsi melaksanakan:
1. penetapan kawasan strategis provinsi;
2. perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
3. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
4. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.

Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi,


pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang
penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam pelaksanaan wewenang penyelenggaraan penataan ruang,


pemerintah daerah provinsi dapat:
1. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
a) rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
b) arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam
rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
c) petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
2. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

Pemerintah provinsi menyelenggarakan pembinaan penataan ruang


melalui:
1. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;
2. sosialisasi peraturan perundang-undangan dan sosialisasi pedoman
bidang penataan ruang;
3. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan
ruang;
4. pendidikan dan pelatihan;
5. penelitian dan pengembangan;
6. pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang;
7. penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan
8. pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan strategis provinsi dapat dilaksanakan pemerintah daerah
kabupaten/kota melalui tugas pembantuan. Dalam hal pemerintah daerah
provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang, pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, dalam hal pemerintah daerah
kabupaten/kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah
penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota


Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota; pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan kerja
sama penataan ruang antar kabupaten/kota.
Pengaturan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah juga diatur dalam
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya, ketentuan dalam undang-undang tersebut diatur lebih lanjut oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Di dalam peraturan pemerintah tersebut
ditegaskan bahwa kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata
ruang merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah. Namun demikian, peraturan pemerintah tersebut tidak mengatur
secara jelas terkait dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK)
sebagai acuan dalam penyelenggaraan penataan ruang bagi pemerintah
daerah provinsi maupun pemerintah daerah kabupaten.

2. Kelembagaan Struktural

a. Dinas dan Badan Daerah dalam Penataan Ruang

1. Tingkat Provinsi

Dinas Provinsi yang Membidangi Penataan Ruang


Dinas provinsi yang membidangi penataan ruang merupakan organisasi
yang bersifat struktural dan mengkoordinasikan tugas pemerintah provinsi
dalam penataan ruang. Dinas ini dapat berupa Dinas Tata Ruang Provinsi,
atau Dinas Pekerjaan Umum Provinsi yang di dalamnya membidangi
penataan ruang, atau dinas teknis lain yang memiliki tugas dalam penataan
ruang sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi


Bappeda Provinsi merupakan organisasi yang bersifat struktural dan
merupakan unsur perencanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah
provinsi, yang memiliki tugas melaksanakan penyusunan data pelaksanaan
kebijakan daerah dalam perencanaan pembangunan daerah di bidang
ekonomi, sosial budaya, prasarana dan pengembangan wilayah serta
pendataan dan kerja sama pembangunan. Urusan terkait dengan penataan
ruang dalam struktur organisasi Bappeda diakomodasi pada salah satu bidang
yang menangani pembangunan prasarana dan pengembangan wilayah.

Tugas dan fungsi di bidang penataan ruang pada tingkat provinsi, bila
mengacu pada UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah
sebagai berikut:

1. Pengaturan Penataan Ruang


Pengaturan penataan ruang oleh pemerintah daerah provinsi meliputi
penyusunan dan penetapan:
a) Rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang kawasan
strategis provinsi, termasuk arahan peraturan zonasi yang ditetapkan
dengan peraturan daerah provinsi;
b) Ketentuan tentang perizinan, bentuk dan besaran insentif dan
disinsentif, serta sanksi administratif, yang ditetapkan dengan
peraturan gubernur;
c) Peraturan lain di bidang penataan ruang sesuai kewenangan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d) Pemerintah daerah provinsi mendorong peran masyarakat dalam
penyusunan dan penetapan standar dan kriteria teknis sebagai
operasionalisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman
penataan ruang.

2. Pembinaan Penataan Ruang


Melaksanakan 8 (delapan) bentuk pembinaan penataan ruang yang
meliputi:
a) Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;
b) Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman penataan
ruang;
c) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan
penataan ruang;
d) Pendidikan dan pelatihan;
e) Penelitian dan pengembangan;
f) Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang;
g) Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan
h) Pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.

3. Pelaksanaan Penataan Ruang


a) Perencanaan tata ruang, terdiri dari:
1) penyusunan dan penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi;
2) penyusunan dan penetapan rencana tata ruang kawasan strategis
provinsi.
b) Pemanfaatan ruang
c) Pengendalian pemanfaatan ruang, terdiri dari:
1) arahan peraturan zonasi
2) perizinan
3) pemberian insentif dan disinsentif
4) sanksi administratif

4. Pengawasan Penataan Ruang


a) Penilaian terhadap kinerja pengaturan, dan pelaksanaan penataan
ruang provinsi dan kabupaten/kota;
b) Penilaian terhadap kinerja fungsi dan manfaat penyelenggaraan
penataan ruang provinsi dan kabupaten/kota; dan
c) Penilaian terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang provinsi dan kabupaten/kota.
2. Tingkat Kabupaten

Dinas Kabupaten yang membidangi Penataan Ruang


Dinas kabupaten yang membidangi penataan ruang merupakan
organisasi yang bersifat struktural dan mengkoordinasikan tugas pemerintah
kabupaten dalam penataan ruang. Dinas ini dapat berupa Dinas Tata Ruang
Kabupaten, atau Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten yang di dalamnya
membidangi penataan ruang, atau dinas teknis lain yang memiliki tugas
dalam penataan ruang sesuai kebijakan pemerintah daerah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten


Bappeda Kabupaten merupakan organisasi yang bersifat struktural
merupakan unsur perencanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten, yang memiliki tugas melaksanakan penyusunan kebijakan daerah
di bidang perencanaan pembangunan daerah di bidang ekonomi, sosial
budaya, prasarana dan pengembangan wilayah serta pendataan dan kerja
sama pembangunan. Urusan terkait dengan penataan ruang dalam struktur
organisasi Bappeda diakomodasi pada salah satu bidang yang menangani
pembangunan prasarana dan pengembangan wilayah.

b. Unit Pelaksana Teknis (UPT)


Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah unsur pelaksana teknis dinas
melaksanakan sebagian tugas dari dinas induk. UPT Pelaksanaan Penataan
Ruang dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada kepala organisasi perangkat daerah bidang penataan ruang.
Kepala UPT Pelaksanaan Penataan Ruang memiliki tugas melaksanakan
sebagian tugas perencanaan penataan ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah. Untuk melaksanakan tugasnya,
kepala UPT Pelaksanaan Penataan Ruang memiliki fungsi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data dan informasi penataan ruang;
b. Pelaksanaan administrasi dalam lingkup wilayah kerja cabang Dinas;
c. Menerima dan melaporkan kepada Kepala Dinas, setiap pengaduan
masyarakat yang terkait dengan permasalahan tata ruang di wilayah kerja
cabang dinas;
d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh kepala organisasi perangkat
daerah bidang penataan ruang sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Struktur Organisasi Perangkat Daerah Bidang Penataan Ruang Provinsi
setingkat Eselon I/ Pola Maksimal

Struktur Organisasi Perangkat Daerah Bidang Penataan Ruang Provinsi


setingkat Eselon II Pola Minimal

3. Kelembagaan Non Struktural


a. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)
BKPRD merupakan badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk
mendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang di Provinsi dan di Kabupaten/Kota dan mempunyai fungsi
membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/Walikota dalam
koordinasi penataan ruang di daerah.
Dasar hukum pembentukan BKPRD adalah Permendagri No 147 Tahun
2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang kemudian
direvisi dengan Permendagri No 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Daerah

Berikut beberapa isu strategis kelembagaan penataan ruang daerah


adalah:
a. Belum adanya mekanisme dan tata kerja BKPRD sehingga menghambat
efektifitas BKPRD dalam melaksanakan tugasnya.
b. Masih rendahnya komitmen daerah dalam mengalokasikan anggaran
untuk operasionalisasi pelaksanaan tugas BKPRD.
c. Masih relatif terbatasnya atau masih relatif rendahnya kapasitas SDM
daerah khususnya terkait dengan penguasaan materi bidang penataan
ruang.
d. Masih belum adanya pedoman operasional khususnya terkait dengan
pengendalian pemanfaatan ruang daerah.
e. Belum adanya mekanisme reward and punishment sehingga daerah tidak
terpacu untuk mengefektifkan keberadaan BKPRD.

1. BKPRD Tingkat Provinsi


BKPRD Provinsi merupakan organisasi non-struktural yang bersifat ad-
hoc dan berfungsi mengkoordinasikan tugas pemerintah provinsi dalam
penataan ruang. BKPRD dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh 2 (dua)
kelompok kerja (Pokja), yaitu Pokja Perencanaan Tata Ruang dan Pokja
Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.

Rincian Tugas BKPRD Provinsi


1 Perencanaan Tata Ruang
a) Mengoordinasikan dan dan merumuskan penyusunan rencana tata
ruang provinsi;
b) Memaduserasikan rencana pembangunan jangka panjang dan
menengah dengan rencana tata ruang provinsi serta memper-
timbangkan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan melalui
instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS);
c) Mengintegrasikan, memaduserasikan, dan mengharmonisasikan
rencana tata ruang kabupaten/kota dengan rencana tata ruang
wilayah nasional, rencana tata ruang pulau/kepulauan, rencana tata
ruang kawasan strategis nasional, rencana tata ruang wilayah
provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan rencana
tata ruang wilayah kabupaten/kota yang berbatasan;
d) Mengoordinasikan pelaksanaan konsultasi rancangan peraturan
daerah tentang rencana tata ruang provinsi kepada BKPRN dalam
rangka memperoleh persetujuan substansi teknis;
e) Mengoordinasikan pelaksanaan evaluasi rancangan peraturan daerah
tentang rencana tata ruang provinsi kepada Menteri Dalam Negeri;
f) Mengoordinasikan proses penetapan rencana tata ruang provinsi;
g) Mensinergikan penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota
dengan provinsi dan antar kabupaten/kota yang berbatasan;
h) Melakukan fasilitasi dan supervisi penyusunan rencana tata ruang
yang menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan;
i) Melakukan fasilitasi pelaksanaan konsultasi substansi teknis rencana
tata ruang kabupaten/kota;
j) Memberikan masukan kepada Gubernur untuk dijadikan bahan
rekomendasi atas rancangan peraturan daerah tentang rencana tata
ruang kabupaten/kota dalam rangka persetujuan substansi teknis;
k) Memberikan rekomendasi kepada Gubernur dalam proses penetapan
rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah tentang
rencana tata ruang kabupaten/kota;
l) Melakukan fasilitasi pelaksanaan konsultasi substansi teknis rencana
tata ruang kabupaten/kota ke BKPRN;
m) Melakukan fasilitasi pelaksanaan evaluasi rencana tata ruang
kabupaten/kota;
n) Melakukan fasilitasi proses penetapan rencana tata ruang
kabupaten/kota; dan
o) Mengoptimalkan peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
2. Pemanfaatan Ruang
a) Mengoordinasikan penanganan dan penyelesaian permasalahan
dalam pemanfaatan ruang baik di provinsi maupun di
kabupaten/kota, dan memberikan pengarahan serta saran
pemecahannya;
b) Memberikan rekomendasi guna memecahkan permasalahan
pemanfaatan ruang provinsi dan permasalahan pemanfaatan ruang
yang tidak dapat diselesaikan kabupaten/kota;
c) Memberikan informasi dan akses kepada pengguna ruang terkait
rencana tata ruang provinsi;
d) Menjaga akuntabilitas publik sebagai bentuk layanan pada jajaran
pemerintah, swasta, dan masyarakat;
e) Melakukan fasilitasi pelaksanaan kerjasama penataan ruang antar
provinsi;
f) Mengoptimalkan peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang.

3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang


a) Mengoordinasikan penetapan arahan peraturan zonasi sistem
provinsi;
b) Memberikan rekomendasi perizinan pemanfaatan ruang provinsi dan
kabupaten/kota;
c) Melakukan fasilitasi dalam pelaksanaan penetapan insentif dan
disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang provinsi dan/atau
lintas provinsi serta lintas kabupaten/kota;
d) Melakukan fasilitasi pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan penyelenggaraan penataan ruang;
e) Melakukan fasilitasi pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang
untuk menjaga konsistensi pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang;
f) Mengoptimalkan peran masyarakat dalam pengendalian
pemanfaatan ruang; dan
g) Melakukan evaluasi atas kinerja pelaksanaan penataan ruang
kabupaten/kota.

2. BKPRD Tingkat Kabupaten


BKPRD Kabupaten merupakan organisasi non-struktural yang bersifat
ad-hoc dan berfungsi mengkoordinasikan tugas pemerintah kabupaten dalam
penataan ruang. BKPRD dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh 2 (dua)
kelompok kerja (Pokja), yaitu Pokja Perencanaan Tata Ruang dan Pokja
Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.

Beberapa alternatif pendanaan BKPRD adalah sebagai berikut:


1. Pendanaan pelaksanaan koordinasi penataan ruang daerah Kabupaten
/Kota dibebankan pada APBD Kabupaten /Kota dan sumber-sumber lain
yang sah dan tidak mengikat.
2. Alokasi anggaran tahunan BKPRD dititipkan pada DIPDA Sekretaris
BKPRD dalam hal ini adalah Bappeda. Rincian alokasi anggaran
BKPRD yang diajukan sekurang-kurangnya memuat kegiatan:
a) Pelaksanaan Rapat Rutin BKPRD dua kali.
b) Pelaksanaan Rapat Mendesak BKPRD.
c) Partisipasi Rapat Koordinasi Daerah BKPRD.
d) Partisipasi Rapat Koordinasi Nasional BKPRD.
e) Pelaksanaan Rapat-rapat POKJA BKPRD.
f) Konsultasi ke BKPRD Provinsi.
g) Lainnya sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah

Susunan BKPRD Kabupaten Berdasarkan Permendagri 50/2009


b. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN)
BKPRN dibentuk berdasarkan Keppres. 4/2009, dengan rincian tugas
sebagai berikut:
a) Penyiapan kebijakan penataan ruang nasional;
b) Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional secara terpadu
sebagai dasar bagi kebijakan pengembangan tata ruang wilayah nasional
dan kawasan yang dijabarkan dalam program pembangunan sektor dan
program pembangunan di daerah;
c) Penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam
penyelenggaraan penataan ruang, baik di tingkat nasional maupun
daerah, dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya;
d) Penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang,
termasuk standar, prosedur, dan kriteria;
e) Pemaduserasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penyelenggaraan penataan ruang;
f) Pemaduserasian penatagunaan tanah dan penatagunaan sumber daya
alam lainnya dengan Rencana Tata Ruang;
g) Pemantauan pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
pemanfaatkan hasil pemantauan tersebut untuk penyempurnaan Rencana
Tata Ruang;
h) Penyelenggaraan, pembinaan, dan penentuan prioritas pelaksanaan
penataan ruang kawasan-kawasan strategis nasional dalam rangka
pengembangan wilayah;
i) Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis
nasional;
j) Pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarprovinsi;
k) Kerja sama penataan ruang antarnegara;
l) Penyebarluasan informasi bidang penataan ruang dan yang terkait;
m) Sinkronisasi Rencana Umum dan Rencana Rinci Tata Ruang Daerah
dengan peraturan perundang-undangan, termasuk dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional dan rencana rincinya; dan
n) Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang.

BKPRN dengan berbagai nama, pada dasarnya telah ada sebelum tahun
2009, gambar-gambar berikut adalah kronologi struktur organisasi
koordinasi penataan ruang nasional, struktur organisasi pada saat ini, serta
sejarah kelembagaan penataan ruang (struktural dan non-struktural) di tingkat
pusat.

3. Forum Penataan Ruang Daerah


Forum Penataan Ruang Daerah merupakan bentuk kelembagaan
penataan ruang daerah yang bersifat khusus dan/atau sementara. Organisasi
yang dapat termasuk dalam forum penataan ruang daerah di antaranya adalah
asosiasi dunia usaha di bidang penataan ruang (REI, APERSI, dsb), asosiasi
profesional di bidang penataan ruang (IAP, IAI, dsb), forum masyarakat
(forum komunitas) di bidang penataan ruang (Forum Komunitas Hijau,
Forum Peduli Tata Ruang, dsb), serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
di bidang penataan ruang (Ruang Jakarta/RUJAK, dsb).
4. Otorita
Otorita merupakan bentuk kelembagaan pemerintah yang bertugas
mewakili pemerintah dan bertanggungjawab atas kelancaran pembangunan
dan pengembangan pada bidang atau proyek tertentu sesuai dengan ketetapan
pemerintah. Urusan penataan ruang sebagian dapat dilaksanakan melalui
kelembagaan penataan ruang berbentuk otorita apabila diperlukan.
5.31 Hukum dan Administrasi Perencanaan 
C. PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN (CAPACITY
BUILDING)

1. Komponen Pengembangan Kapasitas


Dewasa ini upaya pengembangan kapasitas merupakan bagian yang
penting di dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari
pengembangan kapasitas misalnya dilaksanakan dengan pendidikan, baik
secara formal maupun informal. Di dalam perusahaan misalnya melalui
pelatihan-pelatihan sumberdaya manusia, pengembangan sistem manajerial.
Di dalam pemerintahan pengembangan kapasitas aparatur pemerintahan juga
penting untuk meningkatkan performa aparatur dalam menjalankan tugasnya
sebagai abdi negara, dan juga regulasi dan deregulasi kebijakan
pemerintahan. Dalam konteks pembangunan secara keseluruhan pun upaya
pengembangan kapasitas menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dengan
kata lain tidak mungkin terjadi suatu proses pembangunan/pengembangan
dalam hal apapapun tanpa upaya pengembangan kapasitas bagi pelaku
maupun juga sistem yang mengaturnya.

Pengembangan kapasitas merupakan aktivitas:


a. daya tampung, daya serap
b. ruang atau fasilitas yang tersedia
c. kemampuan (maksimal)

Hal ini juga sejalan dengan:


a. ruang yg tersedia; daya tampung; (nomina)
b. daya serap (panas, listrik, dsb); (nomina)
c. keluaran maksimum; kemampuan berproduksi; (nomina)
d. El kemampuan kapasitor untuk menghimpun muatan listrik (diukur dl
satuan farad);(nomina)

Dalam hal ini yang akan di bahas adalah kapasitas yang terkait dengan
manusia dan juga sistem yang ada di sekitarnya, kapasitas yang dapat pula
diartikan sebagai kemampuan manusia, kemampuan institusi dan juga
kemampuan sistemnya, dengan menekankan perhatian capacity building
pada;
a. Pengembangan sumber daya manusia; training, rekruitmen
dan pemutusan pegawai profesional, manajerial dan teknis,
b. Keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya dan gaya
manajemen,
c. Jaringan kerja (network), berupa koordinasi, aktifitas organisasi, fungsi
network, serta interaksi formal dan informal,
d. Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-
undang (legislation) yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab
dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menjadi hambatan
bagi development tasks, serta dukungan keuangan dan anggaran.
e. Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meliputi faktor-faktor politik,
ekonomi dan situasi-kondisi yang mempengaruhi kinerja.

Kegiatan ini memfokuskan pada tiga dimensi, yaitu;


a. Tenaga kerja (dimensi human resources), yaitu kualitas SDM dan cara
SDM dimanfaatkan
b. Modal (dimensi fisik), menyangkut sarana material, peralatan, bahan-
bahan yang diperlukan dan ruang/gedung,
c. Teknologi, yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan,
penentuan kebijakan, pengendalian dan evaluasi, komunikasi, serta
sistem informasi manajemen. (lihat Edralin, 1997:148).

Dengan demikian upaya pengembangan kapasitas dilaksanakan di


berbagai tingkatan yang mencakup berbagai macam aspek, mulai dari
sumberdaya manusianya maupun juga sistem-sistem yang mengatur proses
kerja di dalamnya.

2. Tingkatan Pengembangan Kapasitas


Upaya pengembangan kapasitas dilaksanakan dalam berbagai
tingkatan (Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS: 2010) yaitu sebagaimana
diilustrasikan melalui Gambar 5.1 berikut.
Gambar 5.1
Tingkatan Pengembangan Kapasitas

Dari Gambar 5.1. dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan kapasitas


harus dilaksanakan secara efektif dan berkesinambungan pada 3 (tiga)
tingkatan, yaitu:
a. Tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan
dengan pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang
mendukung pencapaian objektivitas kebijakan tertentu;
b. Tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh
struktur organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di
dalam organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-
mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-
hubungan dan jaringan-jaringan organisasi;
c. Tingkatan individual, contohnya ketrampilan-ketrampilan individu dan
persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan
pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam
organisasi-organisasi.

Strategi Membangun Kapasitas:


Level Strategi Hasil
Individu Peningkatan pengetahuan, kompetensi, Kualitas
ketrampilan, etika profesi, perilaku pelaksanaan
individu, ethos kerja, dan tugas sesuai
komitmen/integritas dengan visi dan
misi adaptif
terhadap
kebutuhan dan
tantangan
lingkungan

Organisasi Penataan sistem informasi manajemen,


sumberdaya manusia, prosedur, struktur,
budaya organisasi, dan pengambilan
keputusan

Sistem Penyusunan kerangka total kesisteman


termasuk legal aspek/hukum dalam
bentuk kebijakan

3. Tujuan Pengembangan Kapasitas


Secara umum tujuan pengembangan kapasitas tentu agar individu,
organisasi maupun juga sistem yang ada dapat dipergunakan secara efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan dari individu maupun organisasi tersebut.
Sedangkan dalam konteks pembangunan dewasa ini, tidak ada tujuan lain
selain untuk menciptakan tata kepemerintahan yang baik atau yang lebih
dikenal dengan good governance. Suatu kondisi kepemerintahan yang dicita-
citakan semua pihak dan mampu menjawab persoalan-persoalan dunia saat
ini.

4. Sasaran Pengembangan Kapasitas


Upaya pengembangan kapasitas dapat dilakukan pada siapa saja dan
dimana saja sesuai dengan kebutuhannya, dalam konteks pembangunan,
dimana dikenal pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan atau yang
lebih dikenal dengan good governance, maka sasaran pengembangan
kapasitas adalah pilar good governance itu sendiri, yaitu:
a. Masyarakat; Masyarakat di tingkatkan kapasitasnya baik secara individu
maupun kelembagaannya agar dapat menjadi subjek pembangunan dan
sekaligus menjadi mitra pilar yang lain dalam pembangunan itu sendiri
b. Pemerintah; Mengapa harus? ya karena untuk menciptakan pelayanan
yang baik dan berkualitas kepada masyarakat, maka aparatur
pemerintahan dan juga sistem pemerintahan harus memiliki kapasitas
yang baik pula.
c. Swasta dan Kelompok Peduli Lain; Upaya pembangunan tidak cukup
dilakukan hanya dengan inisiatif masyarakat dan pemerintah semata-
mata tapi juga oleh pihak lain seperti swasta yang bisa menjadi mitra
pemerintah dalam pembangunan.

5. Bagaimana Pengembangan Kapasitas dilakukan?


Upaya pengembangan kapasitas dilakukan dengan berbagai cara dan
juga mencakup berbagai macam aspek, bilamana merujuk pada tingkatan
tersebut di atas, maka upaya pengembangan kapasitas dapat dilakukan
melalui:
a. Pada tingkatan individual, secara umum dilakukan dengan pendidikan,
pengajaran dan pembelajaran secara luas kepada individu itu sendiri
dengan berbagai macam metode baik metode pendidikan dengan
pendekatan pedagogi maupun dengan pendekatan andragogi. Tidak
hanya dilakukan melalui pendidikan formal tapi juga melalui nonformal
seerti kursus-kursus, pelatihan, magang, sosialisasi dll
b. Pada tingkatan organisasi, secara umum dilakukan dengan
pengembangan aturan main organisasi, sistem kepemimpinan, sistem
manajemen, pengembangan sumberdaya manusia, serta pengembangan
jaringan organisasi
c. Pada tingkatan sistem; terutama dilakukan baik melalui pengembangan
kebijakan, peraturan (regulasi dan deregulasi) agar sistem yang ada dapat
berjalan secara efektif dan efisien untuk menjamin tercapainya tujuan
individu maupun organisasi tersebut

6. Siapa yang dapat melakukan upaya Pengembangan Kapasitas


Siapapun dapat melaksanakan upaya pengembangan kapasitas kepada
siapapun sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Apakan itu individu,
kelompok, organisasi formal maupun non formal, institusi pemerintah
maupun swasta dapat melakukan pengembangan kapasitas sepanjang
prasyaratnya disepakati oleh pihak-pihak yang berkepentingan

7. Elemen Capacity Building


Terdapat lima elemen utama dalam pengembangan kapasitas, yaitu
sebagai berikut:
a. Membangun pengetahuan, meliputi peningkatan keterampilan,
mewadahi penelitian dan pengembangan, dan bantuan belajar
b. Kepemimpinan
c. Membangun jaringan, meliputi usaha untuk membentuk kerjasama dan
aliansi
d. Menghargai komunitas dan mengajak komunitas untuk bersama-sama
mencapai tujuan
e. Dukungan informasi, meliputi kapasitas untuk mengumpulkan,
mengakses dan mengelola informasi yang bermanfaat

Elemen-elemen tersebut kemudian dijabarkan dalam pengembangan


kapasitas masyarakat secara lebih detil menjadi lima belas aspek, yaitu:
a. Altruism, yaitu mengutamakan kepentingan umum.
b. Common values atau kesamaan nilai dalam bermasyarakat, yaitu
masyarakat memiliki kesamaan peran dalam mengusulkan ide.
c. Communal service atau layanan masyarakat.
d. Communication atau komunikasi
e. Confidence atau percaya diri
f. Context atau Keterkaitan (politik dan administratif)
g. Information atau Informasi
h. Intervention atau rintangan
i. Leadership atau kepemimpinan
j. Networking atau jaringan kerja
k. Political power atau kekuatan politik
l. Skills atau keterampilan dan keahlian
m. Trust atau Kepercayaan
n. Unity atau Keselarasan
o. Wealth atau kekayaan
Pembiayaan Pembangunan Daerah

A. DESENTRALISASI DAN POKOK-POKOK


PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

Keputusan rakyat dan bangsa Indonesia di akhir dekade 1990 atau akhir
abad ke-20 yang lalu untuk melakukan reformasi telah berlangsung lebih
dari satu dasawarsa. Reformasi pada tingkat struktur pemerintahan dikenal
dengan kebijakan desentralisasi dan pengelolaan pemerintah daerah atau
kerap disebut dengan otonomi daerah. Sejalan dengan itu, reformasi yang
terjadi di Indonesia, dengan pergeseran pemikiran yang menghendaki
peranan yang lebih besar dalam proses penentuan keputusan publik yang
dilakukan pemerintah di tingkat daerah adalah merupakan perubahan dari
struktur yang bersifat sentralisitik ke sistem yang bersifat desentralistik.
Artinya, proses penentuan keputusan publik yang dilakukan pemerintah tidak
lagi terfokus pada pemerintah pusat tapi pada tingkat pemerintah lokal atau
daerah. Inilah yang selanjutnya dikenal dengan proses desentralisasi.
Dapat dipahami bahwa desentralisasi adalah sebuah alat untuk mencapai
salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan
umum yang lebih baik dalam rangka menciptakan proses pengambilan
keputusan yang demokratis yang dapat diwujudkan melalui pelimpahan
wewenang. Wewenang tersebut diberikan oleh pemerintah pusat kepada
pemerintahan daerah untuk melakukan hal-hal seperti kewenangan
memungut pajak, terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, yang demikian dapat pula dipahami bahwa ada
beberapa bentuk, Jenis atau dimensi dari desentralisasi.
Dari studi yang ada seperti dari Bank Dunia, desentralisasi dapat dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu (Sidik, 2003): Pertama, Desentralisasi Politik, yakni
pemberian hak kepada warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu
kekuasaan yang kuat untuk mengambil keputusan publik. Pada umumnya,
demokrasi politik terkait dengan sifat pluralistik di bidang politik dalam
proses ke arah lebih demokratis dengan memberikan kewenangan pada
lembaga perwakilan rakyat untuk lebih berperan dalam memformulasikan
dan melaksanakan kebijakan publik. Ke dua, Desentralisasi Administratif,
yakni pelimpahan wewenang yang bertujuan untuk mendistribusikan
kewenangan, tanggungjawab, dan sumber-sumber keuangan untuk
penyediaan pelayanan publik. Pelimpahan dimaksud terutama menyangkut
perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan pusat
kepada aparatnya di daerah, tingkatan pemerintahan yang lebih rendah, badan
otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu. Ke tiga, Desentralisasi Fiskal,
yakni pelimpahan kewenangan yang mencakup self-financing atau cost
recovery dalam pemberian pelayanan publik, cofinancing atau coproduction
dari pengguna jasa publik, peningkatan taxing power, transfer dan bagi hasil,
serta kewenangan dalam kebebasan melakukan pinjaman. Ke empat,
Desentralisasi Ekonomi, yakni kewenangan yang terkait dengan
pengambilan keputusan kebijakan ekonomi yang bertitik berat pada efisiensi
ekonomi dalam penyediaan barang publik melalui liberalisasi, privatisasi, dan
deregulasi yang sejalan dengan kebijakan ekonomi pasar.
Dari keempat jenis desentralisasi tersebut desentralisasi fiskal
merupakan komponen utama dari keseluruhan jenis desentralisasi. Ini dapat
dipahami, karena dari perspektif sebuah organisasi, fiskal yang berarti
keuangan merupakan darahnya organisasi. Menjadi terkesan tidak terjadi
desentralisasi bila tugas pelayanan publik dilimpahkan wewenangnya tetapi
wewenang keuangan tidak dilimpahkan.

1. Desentralisasi: Pengertian dan Konsep


Kerangka desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai suatu
tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum
yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang
lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan/
pendelegasian kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya, antara
lain untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak,
terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat. Desentralisasi tidaklah mudah
untuk didefinisikan karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang
beragam. Sebagaimana telah diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 (pasca
amandemen menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah)
dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah
(diamandemen menjadi UU Nomor 33 tahun 2004) memiliki dua dimensi
dasar. Dimensi tersebut sekaligus menunjukkan konsepsi dan arah kebijakan
desentralisasi yang diinginkan policy maker. Dimensi pertama, sebagaimana
tercermin dalam UU Nomor 32 tahun 2004 menitikberatkan pada apa yang
disebut sebagai desentralisasi administratif (administrative decentralization).
Desentralisasi administratif adalah pelimpahan wewenang untuk
mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya keuangan
sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level
pemerintah. Delegasi tanggung jawab ini meliputi kegiatan perencanaan,
pendanaan, dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dan Pemerintah Pusat
dan lembaga pelaksananya kepada berbagai unit pemerintah diberbagai level.
Desentralisasi administratif dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu:
Pertama, dekonsentrasi, yakni pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat
kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hierarkinya. Ke dua,
devolusi, yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang
lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak
Pemda mendapat diskresi yang tidak dikontrol oleh pusat. Ke tiga,
pendelegasian (delegation of institutional pluralism), yaitu pelimpahan
wewenang untuk tugas tertentu

2. Reinventing Government
Dengan berjalannya desentralisasi, diharapkan model pemerintahan ideal
masa depan dapat terwujud. Menurut pakar manajemen dan administrasi
publik seperti Osborne dan Gaebler dengan konsepnya reinventing
government, model pemerintah masa depan adalah (1) pemerintah katalis, (2)
pemerintah milik masyarakat, (3) pemerintah yang kompetitif, (4) pemerintah
yang digerakkan oleh misi, (5) pemerintah yang berorientasi pada hasil, (6)
pemerintah yang berorientasi pada pelanggan, (7) pemerintah wirausaha, (8)
pemerintah antisipatif, (9) pemerintah desentralisasi, (10) pemerintah yang
berorientasi pada mekanisme pasar. Semua itu dapat terwujud dengan adanya
dukungan semua komponen masyarakat, terutama sikap kritis dari media baik
elektronik maupun cetak (Osborne & Gaebler, 2001).

3. Pokok-Pokok Penyelenggaraan Otonomi Daerah


Reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah serta pengaturan
hubungan keuangan pusat-daerah yang hendak dicapai, diatur melalui UU
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh
menurut UU tentang Pemerintahan Daerah akan dilaksanakan oleh kabupaten
dan kota (daerah tingkat II), sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan
otonomi yang terbatas. Antara daerah otonom provinsi dengan daerah
otonom kabupaten dan kota tidak mempunyai hubungan hirarki. Kedudukan
provinsi adalah sebagai daerah otonomi sekaligus daerah administrasi, yaitu
wilayah kerja gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat
yang didelegasikan kepadanya. Pemberian otonomi daerah pada daerah
kabupaten dan kota dalam UU ini diselenggarakan atas dasar otonomi luas.
Kewenangan otonomi daerah adalah keseluruhan kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan, seperti perencanaan, perizinan, dan
pelaksanaan, kecuali kewenangan di bidang-bidang pertahanan keamanan,
peradilan, politik luar negeri, moneter/fiskal dan agama serta kewenangan
lainnya yang diatur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Penyelenggaraan otonomi pada tingkat provinsi meliputi kewenangan-
kewenangan lintas kabupaten dan kota dan kewenangan-kewenangan yang
tidak atau belum dilaksanakan daerah otonom kabupaten dan kota, serta
kewenangan bidang pemerintahan lainnya.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU pemerintahan daerah
adalah berdasarkan pada asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Asas desentralisasi ini menganut pengertian; pertama,
pemberian wewenang pemerintahan yang luas pada daerah otonom, kecuali
wewenang dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, peradilan,
dan moneter/fiskal, agama serta kewenangan bidang pemerintahan lainnya.
Ke dua, proses dalam pembentukan daerah otonom, yang baru beradasarkan
asas desentralisasi, atau mengakui adanya daerah otonom yang sudah
dibentuk berdasarkan perundang-undangan sebelumnya. Asas dekonsentrasi
yang dianut dalam UU ini mengandung pengertian: pertama, pelimpahan
wewenang pemerintahan dari pemerintah kepada perangkatnya di daerah. Ke
dua, pembentukan provinsi sebagai daerah administrasi dan pelimpahan
wewenang dari pemerintah kepada gubernur. Pada prinsipnya, dalam
pemerintahan daerah tidak ada lagi perangkat dekonsentrasi, kecuali
perangkat dekonsentrasi untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan
pemerintah dalam bidang-bidang pertahanan/keamanan, politik Iuar negeri,
peradilan, fiskal/ moneter, agama serta kewenangan bidang pemerintahan
lainnya dan atau kebijakan strategis yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Bidang lainnya yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
adalah: pertama, perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
sektoral dan nasional secara makro. Ke dua, kebijakan dana perimbangan
keuangan. Ke tiga, kebijakan sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara. Ke empat, kebijakan pembinaan dan pemberdayaan
sumber daya manusia. Ke lima, kebijakan pendayagunaan teknologi tinggi
dan strategis, pemanfaatan kedirgantaraan, kelautan, pertambangan, dan
kehutanan/lingkungan hidup. Ke enam, kebijakan konservasi. Ke tujuh,
kebijakan standardisasi nasional. .
Adapun di tingkat provinsi, kewenangan bidang pemerintahan yang
bersifat lintas kabupaten dan kota yang menjadi tanggung jawab provinsi
adalah kewenangan di bidang pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan.
Di samping kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya mencakup: (1)
perencanaan pembangunan regional secara makro. (2) pelatihan kejuruan dan
alokasi sumber daya manusia potensial. (3) pelabuhan regional. (4)
lingkungan hidup. (5) promosi dagang dan budaya/pariwisata. (6)
penanganan penyakit menular dan hama tanaman. (7) perencanaan tata ruang
provinsi.
Kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan pemerintah pusat dan provinsi.
Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum,
kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan, perdagangan dan industri,
penanaman modal, lingkungan hidup, penerangan, agama, dan pertanahan.
Khusus mengenai kepegawaian, daerah memiliki kewenangan untuk
melakukan pengangkatan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji,
tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daerah menurut norma, standar, dan
prosedur yang berlaku secara nasional. Daerah provinsi diberi kewenangan
melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan
pengembangan karir pegawai. Mengenai pertanggungjawaban kepala daerah
gubernur dalam menjalankan tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah, ia
bertanggung jawab langsung kepada presiden.

B. DESENTRALISASI FISKAL DAN HUBUNGAN KEUANGAN


PUSAT-DAERAH
1. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah
Pembentukan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk mendukung
pendanaan atas penyerahan urusan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah yang diatur dalam Undang- undang tentang Pemerintahan Daerah.
Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function yang
mengandung maksud bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang
menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah pada setiap tingkatan.
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
mencakup pembagian keuangan secara proporsional, demokratis, adil, dan
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yakni fungsi
distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi
stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh
pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi dilaksanakan oleh pemerintahan
daerah karena lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat
setempat. Pembagian ketiga fungsi ini sangat penting sebagai landasan dalam
penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara
optimal jika penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian
sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu
kepada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan
dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan
pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan
daerah. Dalam hal ini, daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber
keuangan, antara lain berupa: (a) kepastian tersedianya pendanaan dari
pemerintah sesuai dengan pemerintahan yang diserahkan; (b) kewenangan
memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah; (c) hak
mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di
daerah dan dana perimbangan lainnya; (d) hak mengelola keuangan daerah
dan mendapatkan sumber pembiayaan.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan,
pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata
dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah di mana penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas.

2. Pokok-pokok Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan


Pemerintahan Daerah
Istilah perimbangan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah sudah sejak lama didiskusikan dalam bidang ekonomi
keuangan. Dalam literatur Anglo-Amerika seringkali diistilahkan dengan
intergovernmental fiscal relation. Johannes Popitz mendefinisikan
perimbangan hubungan keuangan pusat-daerah sebagai keseluruhan
peraturan yang berisi hubungan keuangan antar berbagai tingkat
pemerintahan (Popitz, 1927).
UU Nomor 33 Tahun 2004 hendak mengatur suatu perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan atas hubungan
fungsi, yaitu berupa sistem keuangan daerah yang diatur berdasarkan
pembagian kewenangan, tugas, dan tanggungjawab antartingkat
pemerintahan sesuai dengan pengaturan pada UU tentang Pemerintahan
daerah. UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah meliputi ruang lingkup pengaturan dari: (1) Prinsip-
prinsip pembiayaan fungsi pemerintahan di daerah. (2) Sumber-sumber
pembiayaan fungsi dan tugas tanggungjawab daerah yang meliputi: (a)
Pendapatan asli daerah, (b) Dana perimbangan (c) Pinjaman, (d) Pembiayaan
pelaksanaan asas dekonsentrasi bagi provinsi, (3) Pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah, (4) Sistem informasi keuangan
daerah.

3. Prinsip-prinsip Pembiayaan Fungsi Pemerintahan di Daerah


Dasar-dasar pembiayaan pemerintahan daerah dilakukan menurut
hubungan fungsi berdasarkan pembagian kewenangan tugas dan tanggung
jawab antar tingkat pemerintahan. Penyelenggaraan tugas daerah dalam
rangka pelaksanaan asas desentralisasi menjadi beban APBD, sedangkan
tugas pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi dalam rangka
pelaksanaan asas dekonsentrasi dibiayai dari APBN. Penyelenggaraan urusan
pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka tugas pembantuan
didanai APBN, sedangkan pelimpahan kewenangan dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi dan atau penugasan dalam rangka pelakasanaan
tugas pembantuan dari pemerintah kepada pemerintah daerah diikuti dengan
pemberian dana.

C. SUMBER-SUMBER PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DAERAH

Sumber-sumber penerimaan daerah untuk melaksanakan asas


desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan
daerah antara lain bersumber dari: (1) Pendapatan asli daerah (PAD), (2)
Dana perimbangan, (3) Lain-lain pendapatan. Sedangkan Pembiayaan
bersumber dari: (1) Sisa lebih perhitungan penganggaran daerah, (2)
Penerimaan pinjaman daerah, (3) Dana cadangan daerah, (4) Hasil penjualan
kekayaan daerah yang dipisahkan.
Sumber pendapatan asli daerah berasal dari: (1) Pajak daerah, (2)
Retribusi daerah, (3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, (4)
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Sedangkan dana perimbangan
terdiri dari: (1) Dana bagi hasil, (2) Dana alokasi umum (DAU), (3) Dana
alokasi khusus (DAK).
Dana bagi hasil ini bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Adapun
Dana alokasi umum (DAU) berfungsi sebagai pemerataan antardaerah
dengan tujuan semua daerah memiliki kemampuan yang relatif sama untuk
membiayai pengeluarannya dalam pelaksanaan asas desentralisasi. Dana
alokasi umum ini dialokasikan berdasarkan suatu rumus yang memasukkan
unsur potensi penerimaan daerah dan kebutuhan objektif pengeluaran daerah,
dan dengan memperhatikan ketersediaan dana APBN.

Dana perimbangan yang berasal dari dana akokasi khusus (DAK) berasal
dari dana APBN kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana APBN. Pembiayaan
kebutuhan khusus disyaratkan dana pendamping dan APBD. Kebutuhan
khusus yang dimaksud di sini adalah:
1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan rumus,
antara yang bersifat khusus yang tidak sama dengan kebutuhan,
misalnya, kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis
investasi prasarana baru, misalnya pembangunan jalan di kawasan
terpencil, saluran irigasi primer.
2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Di
samping dana PAD dan perimbangan keuangan, daerah dapat melakukan
pinjaman dari sumber dalam negeri atau luar negeri melalui pusat untuk
membiayai sebagian anggarannya yang pengaturannya dilakukan lebih
lanjut melalui peraturan pemerintah. Daerah dapat juga memperoleh
dana darurat, yaitu dana yang dialokasikan dari APBN kepada daerah
tertentu untuk keperluan mendesak, misalnya jika terjadi bencana alam,
dan sebagainya. Pengaturan lebih lanjut dari dana darurat ini dilakukan
melalui peraturan pemerintah.

Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan


melalui departemen/lembaga pemerintah non-departemen yang bersangkutan.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan oleh perangkat daerah provinsi,
sedangkan pertanggungjawaban atas pembiayaan pelaksanaan tersebut
dilakukan oleh perangkat daerah provinsi langsung kepada departemen/
lembaga pemerintah non-departemen yang bersangkutan. Demikan juga
dengan administrasi keuangan pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan
terpisah dari administrasi keuangan pelaksanaan asas desentralisasi.
Semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan asas
desentralisasi tercatat dan dikelola dalam APBD. Sistem dan prosedur
pengelolaan keuangan daerah ditetapkan kepala daerah sesuai Perda dan
kepala daerah mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah
kepada dewan. Pemeriksaan keuangan atas keuangan daerah termasuk kinerja
daerah hanya dapat dilakukan oleh pemeriksa keuangan daerah (auditor) dan
BPK.

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-
sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri
sesuai dengan potensi daerah. Kewenangan daerah untuk memungut pajak
dan retribusi diatur dalam UU No. 34 tahun 2000 yang merupakan
penyempurnaan dari UU No. 18 tahun 1997 dan ditindaklanjuti dengan
peraturan pelaksanaannya dalam PP. No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah
dan PP. No. 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan
tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan
28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi didasarkan atas
pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut
oleh hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis
dan praktis merupakan pungutan yang baik. Selain jenis pajak dan retribusi
tersebut, pemerintah daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut
jenis pajak dan retribusi lainnya (kecuali provinsi) sesuai dengan kriteria-
kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.
Ditinjau dari kontribusi pajak dan retribusi daerah terhadap perpajakan
nasional, terjadi ketimpangan yang relatif besar. Hal ini tercermin dalam
jumlah penerimaan pajak yang dipungut daerah, yakni hanya sekitar 3,15%
dari total penerimaan pajak (pajak pusat dan daerah). Peranan pajak dalam
pembiayaan daerah yang sangat rendah dan sangat bervariasi terjadi karena
adanya perbedaan yang cukup besar dalam jumlah penduduk, keadaan
geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan
masyarakat.

b. Dana Bagi Hasil (Revenue Sharing)


Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara
pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan
pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan
dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin).
Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi: bagi hasil Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
dan bagi hasil SDA yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum,
minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagi-hasilkan kepada
daerah berdasarkan angka persentase tertentu.
Pasal 12 UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah mengatur bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Pemerintah pusat memperoleh bagian 10% dari bagi hasil PBB dan
pemerintah daerah memperoleh bagian 90% yang masing-masing 16,2%
untuk daerah provinsi, 64,8% untuk daerah kabupaten dan kota serta 9%
untuk biaya pungutan. Bagian yang diterima pemerintah pusat dan bagi hasil
PBB seluruhnya diberikan kepada daerah kabupaten dan kota yang
didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan; dengan
imbangan sebagai berikut: 65% dibagikan secara merata kepada seluruh
daerah kabupaten dan kota, dan 35% dibagikan sebagai insentif kepada
daerah kabupaten dan kota. Dalam hal ini, kontribusi bagi hasil PBB
mempunyai peran yang strategis bagi otonomi daerah, dan terutama arena
pengenaan objek pajaknya elastis berdasarkan harga pasar properti (Kaho,
1991: 125).
Disamping penerimaan dan bagi hasil pajak PBB, pemerintah daerah
juga mendapatkan sumber penerimaan dan bagi hasil non pajak. Dalam
pembagian non-pajak ini, pemerintah daerah sesuai pasal 12 ayat 4 UU No.
33 tahun 2004 menerima 80% dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dan pemerintah pusat memperoleh 20%. Dari 80%
bagian pemerintah daerah masing-masing diperuntukkan: 16% kepada
provinsi yang bersangkutan dan 64% kepada kabupaten/kota asal BPHTB,
sementara dari 20% bagian pemerintah pusat seluruhnya dibagikan kepada
kabupaten/kota (Melo, 1999).
Bagi hasil non-pajak yang tidak kalah pentingnya adalah penerimaan
dari sektor kehutanan, pertambangan umum dan perikanan. Pemerintah pusat
memperoleh 20% dan pemerintah daerah memperoleh 80% penerimaan dan
sektor kehutanan, sebagaimana ditegaskan pada pasal 14 UU No. 33 tahun
2004. Selanjutnya, pada pasal15 ayat I UU No. 33 tahun 2004 mengatur
sekltar 80% dari penerimaan luran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) daerah
dibagikan kepada provinsi sebesar 16% dan kabupaten/kota penghasiI
sebesar 64%. Sisanya, sebesar 20% diperuntukan bagi pemerintah Pusat.
Untuk sektor kehutanan, juga ada hasil dana reboisasi yang dibagi dengan
imbangan sebesar 30% untuk pemerintah pusat dan 40% untuk pemerintah
daerah (Melo, 1999: 301).
Dalam sektor pertambangan umum, pemerintah pusat memperoleh 20%
dan pemerintah daerah 80%. Dari 80% bagian pemerintah daerah masing-
masing 16% untuk provinsi bersangkutan, 32% untuk kabupaten penghasil,
dan 32% selebihnya untuk kabupaten lainnya dalam provinsi bersangkutan.
Dari penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti), pemerintah
pusat menerima 20%, provinsi menerima 16%, kabupaten penghasil 32% dan
kabupaten lainnya dalam provinsi bersangkutan sebesar 32%. Sementara itu,
penerimaan negara dari sektor perikanan dibagikan 20% kepada pemerintah
pusat dan 80% diserahkan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten
dan kota di Indonesia.
Setelah penerimaan dari sektor pajak maka penerimaan dari minyak dan
gas bumi menempati urutan kedua. Setidaknya, ini terlihat dari penerimaan
negara keseluruhan pada tahun 1997 yang menyumbangkan 16,9%. Oleh
karena itu, pembagian penerimaan minyak bumi merupakan sumber klasik
debat politik antara pemerintah daerah dan pusat di Indonesia. Pasal 14 poin
e UU No. 33 tahun 2004 mengatur pembagian penerimaan negara dan
minyak bumi di mana pemerintah pusat menerima 84,5% dan daerah
mendapatkan 15,5%.
Menurut Pratikno, ada dua implikasi yang ditimbulkan sebagai akibat
dari adanya dana bagi hasil, yakni: Pertama, memperbaiki kepercayaan
politik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan meningkatkan
rasa memiliki masyarakat daerah terhadap sumber daya yang ada di daerah.
Ke dua tidak membantu memperbaiki malah bisa memperburuk, horizontal
fiscal imbalance, dorongan konflik perbatasan antardaerah, dan dorongan
minat pemekaran daerah.

Tabel 5.2
Persentasi Bagi Hasil berdasarkan UU Perimbangan
Keuangan Pusat- Daerah (dalam%)

Pemerataan
No Jenis Penerimaan Pusat Provinsi Kab/Kota Kab/Kota
lainnya
1 PBB 10 16,2 64,8 -
2 BPHTB 20 16 64 -
3 PSDH/IHPH 20 16 32 32
4 Landrent/ Luran 20 16 64 -
Tetap
5 Royalti 20 80 - -
Pertambangan
Umum
6 Perikanan 20 80 - -
7 Minyak Bumi 84,5 3 6 6
8 Gas Alam 69,5 6 12 12
9 Dana Reboisasi 60 - 40 -
10 Pertambangan 20 16 32 32
Panas Bumi
11 PPH 80 8 12 -

c. Dana Alokasi Umum (DAU)


Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk pemerataan kemampuan
keuangan antardaerah dan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan
antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan
dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah
fiskal (fiscal gap) suatu daerah yang merupakan selisih antara kebutuhan
daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dalam undang- .
undang ini ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan .
penambahan variabel DAU.
Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar namun
kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil.
Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya
besar akan memperoleh alokasi DAU yang relatif besar. Secara implisit,
prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan
kapasitas fiskal. Dalam hal celah fiscal negatif maka jumlah DAU yang
diterima daerah adalah sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan dengan
celah fiskalnya, dengan maksud untuk melihat kemampuan APBD untuk
membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah dari
penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai.

d. Dana Alokasi Khusus (DAK)


Pada hakikatnya, pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana
yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu
membiayai kebutuhan khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan
memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU No. 34
tahun 2004, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah kebutuhan
untuk membiayai sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang
belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan
pembangunan daerah. Sedang yang dimaksud dengan daerah tertentu adalah
daerah yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan setiap tahunnya untuk
mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua daerah
mendapatkan alokasi DAK.
Konsep DAK itu sendiri mencakup alokasi dana, misalnya untuk
kegiatan penghijauan dan reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan
sebesar 40% dari penerimaan dana reboisasi (DR) dalam APBN yang
diberikan kepada daerah penghasil. Pengalokasian DAK-DR tersebut
dimaksudkan untuk melibatkan pemerintah daerah dalam kegiatan
penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di daerahnya, sebagai salah satu
kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pedoman umum pengelolaan DAK
menyangkut dana reboisasi untuk penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan
Lahan Tahun 2001 diatur dalam Surat Edaran Bersarna Departemen
Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah, dan Bappenas Nomor: SE, 59/N2001, Nomor: SE-720 IMENHUT-
Ih/200I, Nomor: 2035/D.IV/05/2001, dan Nomor: SE-522.4/947/
5/BANGDA.

e. Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan


Selain dana perimbangan sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan
desentralisasi, bentuk lain hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah
adalah dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jika dana perimbangan bisa
diartikan sebagai block grant atau transfer dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah di mana penggunaannya sepenuhnya diserahkan ke
pemerintah daerah, bentuk hubungan yang terakhir ini masih didominasi oleh
pemerintah pusat. Dalam hubungan dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
pemerintah pusat ikut campur tangan langsung atas penggunaannya.
Hubungan ini bisa dikatakan semacam joint venture antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah. Bentuk joint venture itu secara umum sama antara
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perbedaannya adalah pada rekan kerja
pemerintah pusat.
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintah pusat
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di provinsi. Dalam
pelaksanaanya, instansi y:ang melaksanakan adalah dinas provinsi sebagai
perangkat pemerintah daerah provinsi. Latar belakang adanya dekonsentrasi
ini adalah karena adanya kegiatan-kegiatan yang menjadi wewenang
pemerintah pusat yang harus dilakukan di daerah. Otonomi daerah
"mengharuskan" pemerintah pusat menyerahkan tugas-tugas selain
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain seperti
yang telah diatur dalam pasal 10 ayat 3 UU 32 tahun 2004. Pemerintah pusat
sudah tidak mempunyai instansi vertikal di daerah karena wewenang untuk
melaksanakan kegiatan tersebut dilimpahkan ke daerah. Sesuai dengan
pengertiannya maka pendanaan atas pelaksanaan wewenang tersebut
merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Konsekuensinya, jika di
kemudian hari kegiatan tersebut menghasilkan pendapatan maka pendapatan
itu menjadi hak pemerintah pusat. Penugasan pemerintah pusat yang
dilimpahkan melalui dekonsentrasi antara lain memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antardaerah dalam wilayah kerjanya, penciptaan
dan pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban umum, pembinaan
penyelenggaraan tugas-tugas umum Pemda kabupaten/kota, dan sebagainya.
Pemerintah pusat melalui departemen teknis masih melakukan
kewenangannya dengan apa yang disebut Unit Pelaksanaan Teknis /UPT
yang ada di daerah. Alasan tersebut memang ada di antaranya dua hal: yaitu
daerah yang masih belum siap atau ketidaksiapan departemen teknis untuk
menyerahkan wewenang itu.
Mengenai tugas pembantuan, walaupun terpisah, bisa dikatakan bahwa
bentuk hubungan tugas pembantuan ini mirip dengan dekonsentrasi, hanya
saja yang menjadi sasaran pemerintah pusat adalah Pemda dan desa yang
sifatnya bukan pelimpahan kewenangan melainkan penugasan. Disamping
itu, pihak yang memberikan tugas pembantuan tidak terbatas dari pemerintah
pusat, tetapi bisa juga berasal dari tingkatan pemerintah di atasnya, seperti
dari pemerintah provinsi ke kabupaten atau kabupaten ke desa. Dalam hal
kewenangan yang dilaksanakan oleh Pemda/desa berasal dari pemerintah
pusat maka dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan dimaksud
berasal dari APBN. Akibatnya, bilamana ada pendapatan yang berasal dari
kegiatan tersebut maka pendapatan itu juga harus mengalir ke pemerintah
pusat.

f. Pinjaman dan Obligasi Daerah


Apa yang disebut dengan pinjaman daerah merupakan salah satu sumber
pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi
daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang
bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan
dampak negatif bagi keuangan daerah serta stabilitas ekonomi dan moneter
secara nasional. Oleh karena itu, pinjaman daerah perlu mengikuti kriteria
persyaratan, mekanisme, dan sanksi pinjaman daerah yang diatur dalam
undang-undang. Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke luar
negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya dapat dilakukan
melalui pemerintah dengan mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan itu
dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal
dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh pemerintah. Di lain pihak, pinjaman
daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang
menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat digunakan untuk membiayai
proyek pembangunan prasarana dasar masyarakat walaupun tidak
menghasilkan penerimaan. Selain itu, perlu dilakukan pembatasan pinjaman
dalam rangka pengendalian defisit APBD dan batas komulatif pinjaman
pemerintah daerah.
Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan obligasi daerah dengan
persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-undangan bidang
pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal obligasi daerah
yang mendapatkan persetujuan pemerintah. Yang dimaksud dengan nilai
bersih di sini adalah tambahan atas nilai nominal obligasi daerah yang
beredar. Tambahan nilai nominal ini merupakan selisih antara nilai nominal
obligasi daerah yang diterbitkan dengan nilai nominal obligasi yang ditarik
kembali dan dilunasi sebelum jatuh tempo dan obligasi yang dilunasi pada
saat jatuh tempo selama satu tahun anggaran.
Semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul akibat penerbitan
obligasi dialokasikan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya
kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu di alokasikan untuk
pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada
DPRD untuk diperhitungkan dalam APBD tahun yang bersangkutan.
Persetujuan DPRD atas obligasi daerah yang diterbitkan secara otomatis
merupakan persetujuan atas pembayaran dan pelunasan segala kewajiban
keuangan di masa mendatang yang timbul dari penerbitan obligasi. Segala
bentuk akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan obligasi menjadi
tanggung jawab daerah sepenuhnya.

4. Keuangan daerah dan dasar hukumnya


Dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah berdasarkan UU No.
32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tumbuhnya hak dan
kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang, sehingga perlu dikelola
dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah yang merupakan subsistem
dari sistem pengelolaan keuangan negara serta merupakan elemen pokok
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Peraturan perundang-undangan yang terkait, antara lain UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dan UU No. 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. .
Ide dasar yang melatarbelakangi ditetapkannya peraturan perundang-
undangan di atas adalah keinginan untuk mengelola keuangan negara dan
daerah secara terintegrasi, efektif, dan efisien (Basuki, 2007). Pemikiran
tersebut sudah barang tentu dilaksanakan melalui tata-kelola pemerintahan
yang baik, yang memiliki tiga pilar utama, yaitu: transparansi, akuntabilitas,
dan partisipasi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan suatu
peraturan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang komprehensif dan
terpadu yang bertujuan agar mempermudah dalam pelaksanaannya dan tidak
menimbulkan multi tafsir dalam penerapannya. Peraturan yang dimaksud
adalah PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang
memuat kebijakan yang terkait dengan perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggung-jawaban keuangan daerah agar
penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan daerah dapat dilakukan
secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, sehingga diperlukan adanya
dukungan Sistem Informasi Keuangan Daerah. Sistem tersebut antara Iain
dimaksudkan untuk perumusan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional.

Di atas tadi, telah disinggung beberapa dasar hukum yang menjadi


landasan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah, disamping ada beberapa
peraturan perundang-undangan yang juga melandasi pelaksanaan pengelolaan
keuangan daerah, yaitu:
a. UU No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang
telah diubah dengan UU No. 34 tahun 2000 tentang perubahan UU No.
18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
b. UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
c. UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
d. UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara;
e. UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional;
f. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
g. UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
h. PP No.5 tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
i. PP No. 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;
j. PP No. 24 tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan
Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah diubah dengan PP No. 37
tahun 2005, PP No. 37 tahun 2006 dan PP No. 21 tahun 2007·,
k. PP No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah;
l. PP No. 23 tahun 2004 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum;
m. PP No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
n. PP No. 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah;
o. PP No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;
p. PP No. 56 tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah;
q. PP No. 57 tahun 2005 tentang Hibah Kepala Daerah;
r. PP No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
s. PP No. 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal; (20) PP No. 8 tahun 2006 tentang Laporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah;
t. Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.

D. ANGGARAN SEKTOR PUBLIK

Sistem anggaran sektor publik dalam perkembangannya telah menjadi


instrumen kebijakan multifungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan organisasi. Hal tersebut terutama tercermin pada komposisi dan
besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan
pelayanan masyarakat yang diharapkan. Anggaran sebagai alat perencanaan
kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter sekaligus berfungsi
sebagai alat pengendalian. Dengan demikian, agar fungsi perencanaan dan
pengawasan dapat berjalan dengan baik maka sistem anggaran harus
dilakukan dengan cermat dan sistematis (Atmadja, 1986:26)
Anggaran sektor publik penting (signifikansi) karena beberapa alasan,
yaitu: (a) Anggaran merupakan alat terpenting bagi pemerintah untuk
mengarahkan pembangunan sosial ekonomi, menjamin kesinambungan, serta
meningkatkan kualitas hidup masyarakat; (b) Anggaran diperlukan karena
adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus
menerus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran
diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya, pilihan
(choice) dan trade-off; (c) Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa
pemerintah sedang/telah bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini
anggaran publik merupakan pelaksanaan publik oleh lembaga-lembaga
publik yang ada.
Anggaran sektor publik mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu (a)
Anggaran sebagai alat perencanaan (planning tool). Anggaran merupakan
alat perencanaan manajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Anggaran
sektor publik dibuat untuk merencanakan tindakan apa yang akan dilakukan
oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang
diperoleh dan belanja pemerintah tersebut. Anggaran sebagai alat
perencanaan digunakan untuk:
1. Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan sesuai visi dan misi yang
ditetapkan
2. Merencanakan berbagai program dan kegiatan yang untuk mencapai
tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaan
3. Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah
disusun
4. Menentukan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi

(b) Anggaran sebagai alat pengendalian (control tool), karena anggaran


merupakan suatu alat yang esensial untuk menghubungkan antara proses
perencanaan dan proses pengendalian. Sebagai alat pengendalian anggaran
memberikan rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar
pembelanjaan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Tanpa anggaran, pemerintah tidak dapat .mengendalikan pemborosan
pengeluaran. Anggaran sektor publik dapat digunakan untuk mengendalikan
(membatasi kekuasaan) eksekutif. (c) Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal
(fiscal tool), karena anggaran dapat digunakan untuk menstabilkan ekonomi
dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran publik tersebut
dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah, sehingga dapat dilakukan
prediksi-prediksi dan estimasi ekonomi. Anggaran dapat digunakan untuk
mendorong, memfasilitasi, dan rnengkoordinasikan kegiatan ekonomi
masyarakat sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini
berkesesuaian dengan pasal 2 ayat 2 UU No. 33 tahun 2004 yang
menjelaskan: "Pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintah daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan memperhatikan
stabilitas dan keseimbangan fiskal."
Anggaran juga dapat dilihat sebagai alat politik (political tool).
Anggaran dapat digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas dan
kebutuhan terhadap prioritas tersebut. Pada sektor publik, anggaran
merupakan political tool sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan
legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. Oleh
karena itu, pembuatan anggaran publik membutuhkan political skill, coalition
building, keahlian bernegosiasi, dan pemahaman tentang prinsip manajemen
keuangan publik oleh para manajer publik. Manajer publik harus sadar
sepenuhnya bahwa kegagalan dalam melaksanakan anggaran yang telah
disetujui dapat menjatuhkan kepemimpinannya, atau paling tidak
menurunkan kredibilitas pemerintah.
Anggaran sebagai alat koordinasi dan komunikasi. Setiap unit kerja
pemerintahan terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Anggaran publik
merupakan alat koordinasi antar bagian dalam pemerintahan. Anggaran
publik yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya
inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di
samping itu, anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar
unit kerja dalam lingkungan eksekutif. Anggaran harus dikomunikasikan ke
seluruh bagian organisasi untuk dilaksanakan.
Anggaran sebagai penilaian kinerja (performance measurement tool).
Anggaran merupakan wujud komitmen dari budget holder (eksekutif) kepada
pemberi wewenang (legislatif). Kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan
pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja
manajer publik dinilai berdasarkan apa/berapa yang berhasil dicapai
dikaitkan dengan anggaran yang telah ditetapkan. Anggaran merupakan alat
yang efektif untuk pengendalian dan penilaian kinerja. Uraian di atas tadi
dijadikan prinsip dasar melakukan pengelolaan anggaran keuangan daerah.
Anggaran daerah yang sedianya diperuntukkan bagi kemaslahatan
masyarakat akan benar-benar berfungsi sesuai prinsip-prinsip dalam
penganggaran keuangan daerah sebagaimana mestinya (Poerbopranoto, 1975:
127).
Daftar Pustaka

Basuki. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

De Mello, Luiz R. Jr. 1999. Intergovernmental Fiscal Realtion, What Do we


Meant by Decentralization. Public Administration and Development,
Vol. 19,Nr.

Ditjen Penataan Ruang. 2006. Sejarah Penataan Ruang Indonesia. Jakarta.

Jatmika, Sidik. 2001. Otonomi Daerah: Perspektif Hubungan Internasional.


Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Kuncoro, Mudrajad.2012. Perencanaan Daerah; Bagaimana Membangun


Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan? Jakarta: Salemba Empat

Manan, Bagir. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta:


Pusat Studi Hukum (PSI-I) Fakultas Hukum UII.

Osborne dan Gaebler.2001. Reinventing Government. Yogyakarta: PT.


Hanindita.

Poerbopranoto, Koentjoro.1975. Sistim Pemerintahan Demokratis. Bandung.

Popitz,Johannes. 1927. Finanzwirtschaaft den offentlichen korperschaften,


Hand buch den finanzwissenschaften, Bd.2, Tubingen.

Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS, 2010, The Capacity Building For
Local Government Toward Good Governance, Word bank

Riwo Kaho, Yosep. 1982. Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
di Indonesia. Jakarta: Bina AKsara.

Riwo Kaho, Yosep. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik


Indonesia. Jakarta: Rajawali, Cet.2.

Soenia Atmadja, Arifin. 1986. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan


Negara: Suatu Tinjauan yuridis. Jakarta: PT. Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai