Anda di halaman 1dari 16

ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL DAN PERANAN ETIKA

DALAM BISNIS

Disusun Oleh :

Desy Nata Aristina (155020300111007)


Yoga Rama Sinuraya (155020301111031)
Natasha Putri (155020301111076)
Nona Prabavatica (155020301111085)
Mutia Widasari Lisaini (155020301111094)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL
A. Etika dalam Bisnis Internasional
Berulang kali dapat kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi
ekonomi: kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara
tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang
surutnya pasar ekonomis. Gejala globalisasi ekonomi ini bisa berakibat positif maupun
negatif. Disatu pihak globalisasi dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan
kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan dengan demikian melanjutkan tradisi
perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak, gejala yang sama bisa berakhir
dalam suasan konfrontasi dan permusuhan, kerna mengakibatkan pertentangan ekonomi
dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang di pertaruhkan di situ.

Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga


aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diber
perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini akan
dibaha beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf
internasional.

B. Norma-norma Moral yang umum pada taraf Internasional


Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika
filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa
pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan.
Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau tidak
mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak mudah itu harus bernuansa. Masalah
teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis
internaasional. Apa yang harus kita lakukan ,jika norma di Negara lain berbeda dengan
norma yang dianut sendiri? Richard De George membicarakan tiga jawaban atas
pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan mengenai pertanyaan di atas sebagai berikut :
a. Menyesuaikan Diri
Untuk menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini menggunakan
peribahasa “Kalau di Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang roma”
Artinya perusahaan harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di
negara itu, yang sama dengan peribahasa orang Indonesia “Dimana bumi dipijak,
disana langit dijunjung”. Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh
dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda
di berbagai tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini.
Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua
tempat tidak sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di
tempat lain dianggap sangat tidak sopan.
b. Regorisme Moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut
“rigorisme moral”, karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama
seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri
hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru
tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain.
Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak
mungkin menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini
adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis
memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik
dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral
kurang memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi
keputusan etis.
c. Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita
berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan
hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara
bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma moral. Malah jika
perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan,
karena daya saingnya akan terganggu.
Kasus : Bisnis dengan Afrika Selatan yang Rasistis
Setelah kita mempelajari dua pandangan tentang peranan etika dalam
bisnis internasional ini, perlu kita simpulkan bahwa tidak satu pun di antaranya
bisa dipertahankan. Dalam pandangan “menyesuaikan diri” dapat kita hargai
perhatian untuk peranan situasi. Situasi yang berbeda-beda memang
mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan, tetapi tidak sampai menyingkirkan
sifat umum dari norma-norma moral, seperti dipikirkan pandangan pertama ini.
Pandangan kedua, rigorisme moral, terlalu ekstrem dalam menolak pengaruh
situasi, sedangkan mereka benar dengan pendapat bahwa kita tidak meninggalkan
norma-norma moral di rumah, biola kita berangkat bebisnis ke luar negeri.
Norma-norma moral mempunyai sifat universal.
Dalam etika jarang prinsip-prinsip moral bias diterapkan dengan mutlak,
karena kondisi konkret sering kali sangat kompleks. Hal ini dapat diilustrasikan
pada bisnis internasional dengan Afrika Selatan yang mempunyai sistem politik
didasarkan pada diskriminasi ras (Apartheid) bahkan sistem Apartheid ini
didasarkan atas Undang-undang Afrika Selatan sejak 1948.
Kebijakan Apartheid Afrika Selatan menimbulkan kesulitan moral untuk
perusahaan asing yang mengadakan bisnis di Afrika Selatan karena mereka wajib
mengikuti sistem Apartheid. Dalam mencari jalan keluar dari dilema ini banyak
perusahaan Barat memegang pada The Sullivan Principles yang dirumuskan dan
dipraktekkan oleh Leon Sullivan. Prinsip-prinsip Sullivan :
1. Leon Sullivan sebagai General Motors tidak akan menerapkan undang-
undang Apartheid.
2. Menghapus undang-undang Apartheid.

C. Masalah “Dumping” dalam Bisnis Internasional


Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional
adalah dumpin produk, karena praktek kurang etis ini secara khusus berlangsung dalam
hubungan dengan negara lain. Yang dimaksudkan dengan dumpingadalah menjual
sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga di bawah harga
pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Dapat dimengerti bahwa yang
merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan
para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Para
konsumen justru merasa beruntung – sekurang-kurangnya dalam jangka pendek – karena
dapat membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita
kerugian, karena tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah itu.

D. Aspek etis dari Korporasi Multinasional


Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi
multinasional, yang juga disebut korporasi transnasional. Yang dimaksudkan dengannya
adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi,
perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian
belum mencapai status korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang memilki
pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya perusahaan-
perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh orang
setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh
pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN ini untuk pertama kali muncul sekitar
tahun 1950-an dan mengalami perkembangan pesat. Contoh KMN seperti Coca-Cola,
Johnson & Johnson, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony,Unilever yang
memiliki kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan manusia.
Di bawah ini akan dibahas usulan De George tentang norma-norma etis yang
terpenting bagi KMN.
1. Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian
langsung.
Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan
tindakan yang tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan
tidak etis, bila KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara
biarpun tidak dengan sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia
wajib memberi ganti rugi.
2. Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada
kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi.
Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak
tekecuali. Norma kedua menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik melebihi
akibat- akibat jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi
memerintahkan sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus
melebihi yang negatif.
3. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi
kepada pembangunan negara dimana dia beroperasi.
KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang.
KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
4. Koorporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara
berkembang.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi
multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama
dengannya, bukan menantangnya.
KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak
menghormati kebudayaan setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai-
nilai budaya stempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
6. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”
Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang
telah ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan
dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak
oleh perusahaan- perusahaan internasional.
7. Koorporsi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam
mengembangkn dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat
Yang dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang
mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.
8. Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah perusahaan harus memikul
tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh
pemilik mayoritas saham.
9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia
wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
Yang membangun pabrik- pabrik berisiko tinggi harus juga merundingka
prosedur- prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut.
KMN bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta
membina secara sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang,
korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian
rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara yang belum
berpengalaman.
Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau
mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi
stempat, sehingga terjamin keamanan optimal.
Sepuluh norma tersebut bisa bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral
bagi kegiatan- kegiatan KMN

E. Masalah Korupsi dalam taraf Internasional


Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun
perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama
diarahkan kepada konteks internasional. Masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan
moral besar bagi bisnis internasional, karena di negara satu bisa saja dipraktekkan apa
yang tidak mungkin diterima di negara lain. Berdasarkan pemikiran De George, terdapat
empat alasan mengapa praktek suap harus dianggap tidak bermoral.
 Alasan pertama dan paling penting adalah bahwa praktek suap itu melanggar etika
pasar. Kalau kita terjun dalam dunia bisnis yang didasarkan pada prinsip ekonomi
pasar, dengan sendirinya kita mengikat diri untuk berpegang pada aturan-aturan
mainnya. Pasar ekonomi merupakan kancah kompetisi yang terbuka. Hal itu
mengakibatkan antara lain bahwa harga produk merupakan buah hasil dari
pertarungan daya-daya pasar. Dengan praktek suap, daya-daya pasar dilumpuhkan
dan para pesaing mempunyai produk sama baik dengan harga lebih
menguntungkan, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan. Karena
itu baik yang memberi suap maupun yang menerimanya berlaku kurang fair
terhadap orang bisnis lain. Pasar yang didistorsi oleh praktek suap adalah pasar
yang tidak efisien. Karena praktek suap itu, pasar tidak berfungsi seperti
semestinya.
 Alasan kedua adalah bahwa orang yang tidak berhak, mendapatkan imbalan juga.
Dalam sistem ekonomi kita, mereka yang bekerja atau berjasa mendapat imbalan.
 Alasan ketiga berlaku untuk banyak kasus suap di mana uang suap diberikan
dalam keadaan kelangkaan. Misalnya, dalam keadaan kekurangan kertas seorang
penerbit mendapatkan persediaan kertas baru dengan memberi uang suap.
Pembagian barang langka dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa
barang itu diterima oleh orang yang tidak berhak menerimanya, sedangkan orang
lain yang berhak menjadi tidak kebagian. Hal ini jelas bertentangan dengan asas
keadilan.
 Alasan terakhir adalah bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan
perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap
maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukan uang suap
itu seperti mestinya. Secara tidak langsung, orang yang terlibat dalam kasus suap
akan terlibat dalam perbuatan kurang etis lainnya karena terpaksa terus-menerus
harus menyembunyikan keterlibatannya.
PERANAN ETIKA DALAM BISNIS

A. Peranan Etika dalam Bisnis


Tiga hal pokok yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai kesuksesan dalam
suatu bisnis menurut Richard De George, yaitu:
1. Produk yang baik
2. Manajemen yang mulus
3. Etika
Selama perusahaan memiliki produk yang bermutu serta berguna bagi masyarakat
dan di samping itu dikelola dengan manajemen yang tepat di bidang produksi, finansial,
sumber daya manusia, dan lain-lain, tetapi tidak mempunyai etika, maka cepat atau
lambat akan hancur dengan sendirinya.
Beberapa dekade terakhir ini, etika dalam bisnis dianggap sangat penting.
Dibandingkan dengan usaha dan program yang diadakan untuk meningkatkan
kemampuan manajemen dalam bisnis, perhatian bagi etika dalam bisnis masih terbatas.
Namun akhir-akhir ini peranan etika mulai diakui dan diperhatikan. menggunakan
pandangan ideal, bisnis tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan melainkan
untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika dalam bisnis tidak memperhatikan
etika, maka bisnis itu akan mengorbankan hidup banyak orang, bahkan hidup orang
bisnis itu sendiri.

B. Bisnis dalam konteks moral Bisnis


Merupakan suatu unsur penting dalam masyarakat. Hampir semua orang terlibat
di dalamnya. Kita membeli barang atau jasa untuk bisa bertahan hidup ataupun
setidaknya kita bisa hidup dengan lebih nyaman. Kita terlibat dalam produksi barang atau
jasa yang dibutuhkan oleh orang lain. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak yang
diperlukan dalam masyarakat modern. Bisnis tidak bisa dilepaskan dari aturan-aturan
main yang harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral.
Tetapi kadang-kadang kehadiran etika bisnis masih diragukan.
1. Mitos mengenai bisnis amoral
Dalam masyarakat beredar opini bahwa bisnis tidak ada hubungannya
dengan etika atau moralitas. Pebisnis hanya menjalankan pekerjaannya saja.
Richard De George menyebut pandangan ini the myth of morl business. MItos ini
mengatakan bahwa bisnis itu moral saja. Dalam bisnis, orang menyibukkan diri
dengan jual beli, dengan membuat produk atau menawarkan jasa, dengan merebut
pasaran, dengan mencari untung juga, tapi orang tidak berurusan dengan etika
atau moralitas. Moralitas menjadi urusan individu, tetapi kegiatan bisnis itu
sendiri tidak berkaitan langsung dengan etika. Moralitas tidak punya relevansi
bagi bisnis. Bisnis itu amoral (tapi itu tentu tidak berarti immoral!)

Namun mitos itu lambat laun ditinggalkan. Bisnis itu netral terhadap
moralitas, jadi bisnis moral itu hanya sekedar mitos atau cerita dongeng saja. De
George mengemukakan tiga gejala dalam masyarakat yang menunjukkan sirnanya
mitos tersebut :

1) Bisnis disorot tajam oleh masyarakat melalui media massa.


Masyarakat tidak ragu-ragu langsung mengaitkan bisnis dengan
moralitas.
2) Bisnis diamati dan dikritik oleh banyak LSM, terutama LSM
konsumen dan LSM pecinta lingkungan hidup. Apa yang disimak
oleh LSM-LSM tersebut jelas-jelas berkonotasi etika.
3) Bisnis mulai prihatin dengan dimensi etis dalam kegiatannya. Hal
ini tampak pada refleksi yang mereka buat mengenai aspek-aspek
etis dari bisnis serta timbulnya kode-kode etik yang disusun oleh
banyak perusahaan. Hal-hal di atas secara tidak langsung telah
menunjukkan bahwa bisnis tidak terlepas dari segi-segi moral.
Bisnis tidak hanya berurusan dengan angkaangka penjualan (sales
figures) atau adanya profit pada akhir tahun anggaran. Good
business memiliki suatu makna moral.
2. Mengapa bisnis harus berlaku etis?
Pertanyaan di atas dalam sejarah pemikiran sudah lama diberikan jawaban.
Jawaban pertama berasal dari agama, jawaban kedua berasal dari filsafat modern,
dan jawaban ketiga sudah ditemukan dalam filsafat Yunani Kuno. Berikut
penjelasannya:

1) Tuhan adalah hakim kita


Semua yang kita lakukan pasti akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Tuhan Yang Maha Esa. Begitu juga jika kita
melakukan bisnis yang tidak bermoral, pasti di akhirat kelak kita akan
diberi hukuman atas kejahatan kita. Pandangan ini didasarkan atas iman
dan kepercayaan dan karena itu termasuk perspektif teologis, bukan
perspektif filosofis. Untuk itulah dalam berbisnis diharapkan pebisnis
menggunakan iman dan kepercayaannya untuk tetap berpegang teguh pada
motivasi moral ini.
2) Kontrak sosial
Pandangan ini melihat perilaku manusia dalam perspektif sosial.
Setiap kegiatan yang kita lakukan bersama-sama dalam masyarakat,
menuntut adanya norma-norma dan nilai-nilai moral yang kita sepakati
bersama. Hidup dalam masyarakat berarti mengikat diri untuk berpegang
pada norma-norma dan nilainilai tersebut. Kalau tidak, hidup bersama
dalam masyarakat menjadi kacau tak karuan. Hidup sosial menjadi tidak
mungkin lagi, jika tidak ada moralitas yang disetujui bersama.
Oleh karena itu beberapa filsuf modern menganggap kontrak sosial
sebagai dasar moralitas. Umat manusia seolah-olah pernah mengadakan
kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada
normanorma moral. Kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga
tidak ada seorang pun yang bisa melepaskan diri darinya.
De George menegaskan: “morality is the oil as well as the glue of
society, and, therefore, of business”. Moral diibaratkan minyak pelumas,
karena moralitas memperlancar kegiatan bisnis dan semua kegiatan lain
dalam masyarakat. ibarat lem, karena moralitas mengikat dan
mempersatukan orangorang bisnis, seperti juga semua anggota masyarakat
lainnya. Moralitas merupakan syarat mutlak yang harus diakui semua
orang, jika kita ingin terjun dalam kegiatan bisnis.
3) Keutamaan
Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang
baik, justru karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik,
artinya yang baik adalah baik karena dirinya sendiri. Keutamaan sebagai
disposisi tetap untuk melakukan yang baik, adalah penyempurnaan
tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah baik
begitu saja, baik secara menyeluruh, bukan menurut aspek tertentu saja.
Pikiran tersebut bisa diterapkan dalam situasi bisnis. Orang bisnis
juga harus melakukan yang baik, karena hal itu baik. Atau dirumuskan
dengan terminologi modern, orang bisnis juga harus mempunyai
integritas. Dalam pekerjaannya, si pebisnis memang mencari untung.
Perusahaan memang perusahaan for profit. Tetapi pebisnis atau
perusahaan tidak mempunyai integritas, kalau mereka mengumpulkan
kekayaan tanpa pertimbangan moral. Selama pebisnis itu seorang manusia,
maka ia tidak bisa dipisahkan dari moralitas.

C. Kode Etik Perusahaan


1. Manfaat dan kesulitan aneka macam kode etik perusahaan
Fenomena kode etik perusahaan mencuat sekitar tahun 1970-an, antara
lain karena terjadinya beberapa skandal korupsi dalam kalangan bisnis. Karena
pengalaman pahit itu, mulai tumbuh keinsyafan bahwa sebaiknya perusahaan
mempunyai peraturan-peraturan ketat dan jelas guna mencegah terjadinya hal-hal
negatif seperti itu.

Patrick Murphy menggunakan istilah ethics statements dan


membedakannya menjadi tiga macam. Pertama, terdapat values statements atau
pernyataan nilai. Misi sebuah perusahaan seringkali menjadi nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh pendiri perusahaan. Kedua, corporate credo atau kredo
perusahaan, yang biasanya merumuskan tanggungjawab perusahaan terhadap para
stakeholder, khususnya konsumen karyawan, pemilik saham, masyarakat umum,
dan lingkungan hidup. Ketiga, kode etik (dalam arti sempit) yang disebut juga
code of conduct atau code of ethical conduct. Kode etik ini menyangkut kebijakan
etis perusahaan berhubungan dengan kesulitan yang bisa timbul (dan mungkin di
masa lalu pernah timbul), seperti konflik kepentingan, hubungan dengan pesaing
dan pemasok, menerima hadiah, dll.

Pembuatan kode etik perusahaan adalah cara ampuh untuk melembagakan


etika dalam struktur dan kegiatan perusahaan. Jika perusahaan memiliki kode etik
sendiri, ia mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan perusahaan yang
tidak memiliki kode etik. Manfaat kode etik perusahaan dapat dilukiskan sebagai
berikut:

a. Dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah


dijadikan sebagai corporate culture. Dengan adanya kode etik, secara
intern semua karyawan terikat dengan standar etis yang sama sehingga
diharapkan akan mengambil keputusan yang sama pula.
b. Dapat membantu dalam menghilangkan grey area atau kawasan kelabu di
bidang etika. Beberapa ambiguitas moral yang sering merongrong kinerja
perusahaan dapat dihindarkan.
c. Dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggungjawab
sosialnya. Sangat diharapkan perusahan tidak membatasi diri pada standar
minimal. Melalui kode etiknya perusahaan dapat menyatakan bagaimana
ia memahami tanggungjawab sosial dengan melampui minimum tersebut.
d. Kode etik menyediakan bagi perusahaan-perusahaan dan dunia bisnis pada
umumnya kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri (self regulation).
Dengan demikian, Negara tidak perlu campur tangan.

Namun dalam kenyataan konkret sering menimbulkan harapan terlalu


besar dengan adanya kode etik perusahaan. Membuat sebuah kode etik ternyata
tidak merupakan solusi yang cukup untuk memecahkan semua kesulitan moral
bagi perusahaan. Karena itu tidak mengherankan bila kode etik perusahaan
menemui kritik juga, antara lain :
a. Kode etik perusahaan seringkali merupakan formalitas belaka. Fungsinya
sebatas windows dressing – membuat pihak luar kagum dengan
perusahaan.
b. Banyak kode etik perusahaan dirumuskan dengan terlalu umum, sehingga
tidak menunjukkan jalan keluar bagi masalah moral konkret yang dihadapi
oleh perusahaan.
c. Kritik yang paling berat adalah bahwa jarang sekali tersedia enforcement
untuk kode etik perusahaan. Jarang sekali ada sanksi untuk pelanggaran.

Meskipun kode etik masih menuai kritikan, akan tetapi kode etik
perusahaan masih digunakan untuk merumuskan standar etis yang jelas dan
tegas untuk semua karyawan dan tanggungjawab sosial perusahaan. Supaya
kode etik bisa berhasil, berikut ada beberapa faktor yang bisa membantu:

a. Kode etik dirumuskan berdasarkan masukan semua karyawan, sehingga


mencerminkan kesepakatan semua pihak yang terikat olehnya.
b. Harus dipertimbangkan dengan teliti bidang-bidang apa dan topiktopik
mana sebaiknya tercakup oleh kode etik perusahaan.
c. Kode etik perusahaan sewaktu-waktu harus direvisi dan disesuaikan
dengan perkembangan intern maupun ekstern.
d. Paling penting adalah bahwa kode etik perusahaan ditegakkan secara
konsekuen dengan menerapkan sanksi. Tetapi tentu saja hal itu harus
dilakukan secara adil.

2. Ethical auditing
Untuk menilai kinerja finansial sebuah perusahaan sudah lama ada
standar-standar accounting yang diterima secara nasional dalam suatu negara dan
malah secara internasional. Jika perusahaan memiliki sebuah kode etik, ethical
auditing itu secara khusus terfokuskan pada kode etik tersebut. Hal itu bisa mudah
dimengerti, sehingga dengan demikian metode tersebut bisa digunakan untuk
menegakkan kode etik perusahaan secara sadar dan konsekuen. Kode etik tidak
lagi sebatas perhiasan saja. Pemeriksaan atas kinerja etis dan sosial itu tidak saja
dilakukan terhadap perusahaan, tapi juga terhadap atau tidak.
The Body Shop sebagai contoh

The Body Shop adalah sebuah perusahaan internasional yang berasal dari
Inggris dan bergerak di bidang kosmetika serta toiletries. Perusahaan ini didirikan
oleh Anita Roddick pada 1976, dan 20 tahun kemudian sudah mempunyai omzet
setengah miliar dollar AS. Kini The Body Shop mempunyai toko tersebar di
seluruh dunia, antara lain sekitar 300 toko di Amerika Serikat. Perusahaan ini
selalu 8 organisasi nirlaba. Organisasi-organisasi seperti itupun harus berpegang
pada standar-standar etis, entah mereka memiliki kode etik tertulis
menitikberatkan manajemen yang etis. “First and foremost are the values”
merupakan ungkapan terkenal dari Anita Roddick. Rupanya Roddick pula yang
pertama kali melontarkan gagasan mengenai audit sosial etis.

Setiap dua tahun The Body Shop membiarkan dirinya diaudit dari segi
sosial dan etis. Audit pertama itu dilakukan oleh Institute of Social and Ethical
Accountability dan diterbitkan dengan judul The Values Report 1995 (1996).
Dalam audit ini antara lain diperiksa pelaksanaan dua dokumen etik yang dimiliki
perusahaan ini yaitu, The Body Shop Mission Statement dan The Body Shop
Trading Charter.

D. Good ethics, good business

Ethics pay (etik membawa untung), Good business is ethical business, Corporate
ethics: a prime business asset. Dalam kode etiknya, kini banyak perusahaan mengakui
pentingnya etik untuk bisnis mereka.

Bahkan telah ditunjukkan secara empiris bahwa perusahaan yang mempunyai


standar etis tinggi tergolong juga perusahaan yang sukses. Kendatipun tidak ada jaminan
mutlak, pada umumnya perusahaan yang etis adalah perusahaan yang mencapai sukses
juga. Good ethics, good business. Keyakinan ini sekarang terbentuk cukup umum.
Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa harapan akan sukses boleh menjadi satu-
satunya motivasi atau justru menjadi motivasi utama untuk berperilaku etis. Yang baik
harus dilakukan karena hal itu baik, bukan karena membuka jalan menuju sukses,
walaupun motivasi itu tidak senantiasa perlu dihayati secara eksplisit. Sudah sejak
Aristoteles, hal itu disebut bertingkah laku “menurut keutamaan”.

Anda mungkin juga menyukai