Anda di halaman 1dari 6

Muhammad Nazaruddin (lahir di Bangun, 26 Agustus 1978; umur 39

tahun) merupakan seorang pengusaha dan politisi Indonesia yang menjadi


anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 dari Partai Demokrat
dengan Daerah Pemilihan Jawa Timur IV. Setelah menjabat sebagai Bendahara
Umum Partai Demokrat pada tahun 2010, pada tahun 2011 Komisi
Pemberantasan Korupsi menjadikannya tersangka kasus suap pembangunan
wisma atlet (Hambalang) untuk SEA Games ke-26. Nazaruddin ditengarai
meninggalkan Indonesia sebelum statusnya menjadi tersangka dan menyatakan
melalui media massa bahwa sejumlah pejabat lain juga terlibat dalam kasus suap
tersebut, hingga akhirnya ia tertangkap di Cartagena de Indias, Kolombia.
Nazaruddin didakwa MA 7 tahun penjara. Tahun 2016, Nazaruddin juga didakwa
mengenai gratifikasi dan pencucian uang melalui berbagai perusahaan miliknya
dan divonis 6 tahun. Akumulasi hukumannya yaitu 13 tahun sampai tahun 2025.

Nazaruddin lahir di Desa Bangun, kini bagian dari Kabupaten


Simalungun, Sumatera Utara, pada 26 Agustus 1978 sebagai anak kelima dari
tujuh bersaudara dalam keluarga Muhammad Latif Khan dan Aminah, yang
keduanya merupakan warga keturunan Pakistan. Mulanya ia dinamai Muhammad
Nazaruddin Khan, tetapi kemudian ayahnya memutuskan untuk menghapus nama
belakang putranya tersebut. Orang tua Nazaruddin memiliki usaha yang cukup
berhasil di daerahnya. Namun, usaha keluarga mereka mulai menurun sepeninggal
ayah Nazaruddin pada tahun 1993, kemudian ibunya pada tahun 1998. Setelah
lulus SMA, Nazaruddin pergi merantau.

Pada tahun 2002, Nazaruddin berwirausaha di Pekanbaru, Riau. Aktivitas


bisnisnya dimulai dengan CV Anak Negeri yang kemudian berubah menjadi PT
Anak Negeri. Usahanya kemudian semakin berkembang dan Nazaruddin tercatat
sebagai komisaris di beberapa perusahaan, yaitu PT Anugerah Nusantara, PT
Panahatan, dan PT Berhak Alam Berlimpah yang semuanya berdomisili di Riau
dan bergerak dalam bidang konstruksi, pengadaan alat kesehatan, perkebunan,
jasa, dan lainnya.
Pada Laporan Harta Kejayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK pada
tanggal 22 Juli 2010 itu mencatat harta kekayaan Nazaruddin berjumlah sebesar
Rp 112 miliar. "Kekayaan Nazaruddin per tanggal 22 Juli 2010 senilai
Rp112.207.286.461," kata Direktur LHKPN KPK, Cahya Harefa lewat pesan
singkatnya. Jumlah yang tercatat oleh KPK itu berbeda dengan pernyataan kuasa
hukum Nazaruddin, O.C. Kaligis. Menurut Kaligis sebelum menjadi anggota
DPR, Nazaruddin memiliki harta sebesar Rp 150 miliar. Menurutnya, harta
kekayaan itu didapat Nazaruddin dari kegiatan bisnisnya. Kerajaan bisnisnya
dimulai dari PT Anugerah Nusantara.

Pada 21 April 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap


Sekretaris Menteri Pemuda dan Olah Raga Wafid Muharam, pejabat perusahaan
rekanan Mohammad El Idris, dan perantara Mindo Rosalina Manulang karena
diduga sedang melakukan tindak pidana korupsi suap menyuap. Penyidik KPK
menemukan 3 lembar cek tunai dengan jumlah kurang lebih sebesar Rp3,2 miliar
di lokasi penangkapan. Keesokan harinya, ketiga orang tersebut dijadikan
tersangka tindak pidana korupsi suap menyuap terkait dengan pembangunan
wisma atlet untuk SEA Games ke-26 di Palembang, Sumatera Selatan.
Mohammad El Idris mengaku sebagai manajer pemasaran PT Duta Graha Indah,
perusahaan yang menjalankan proyek pembangunan wisma atlet tersebut, dan juru
bicara KPK Johan Budi menyatakan bahwa cek yang diterima Wafid Muharam
tersebut merupakan uang balas jasa dari PT DGI karena telah memenangi tender
proyek itu.

Pada 27 April 2011, Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia


(MAKI) Boyamin Saiman menyatakan kepada wartawan bahwa Mindo Rosalina
Manulang adalah staf Muhammad Nazaruddin. Nazaruddin menyangkal
pernyataan itu dan mengatakan bahwa ia tidak mengenal Rosalina maupun Wafid.
Namun, pernyataan Boyamin tersebut sesuai dengan keterangan Rosalina sendiri
kepada penyidik KPK pada hari yang sama dan keterangan kuasa hukum
Rosalina, Kamaruddin Simanjuntak, kepada wartawan keesokan harinya. Kepada
penyidik KPK, Rosalina menyatakan bahwa pada tahun 2010 ia diminta
Nazaruddin untuk mempertemukan pihak PT DGI dengan Wafid, dan bahwa PT
DGI akhirnya menang tender karena sanggup memberi komisi 15 persen dari nilai
proyek, dua persen untuk Wafid dan 13 persen untuk Nazaruddin. Akan tetapi,
Rosalina lalu mengganti pengacaranya menjadi Djufri Taufik dan membantah
bahwa Nazaruddin adalah atasannya. Ia bahkan kemudian menyatakan bahwa
Kamaruddin, mantan pengacaranya, berniat menghancurkan Partai Demokrat
sehingga merekayasa keterangan sebelumnya, dan pada 12 Mei Rosalina resmi
mengubah keterangannya mengenai keterlibatan Nazaruddin dalam berita acara
pemeriksaannya. Namun, Wafid menyatakan bahwa ia pernah bertemu beberapa
kali dengan Nazaruddin setelah dikenalkan kepadanya oleh Rosalina.

Kepergian Nazaruddin ke Singapura tepat satu hari sebelum Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan pencekalan terhadap Nazaruddin
kepada Ditjen Imigrasi. Lalu ketua umum partai demokrat Anas Urbaningrum
memutuskan memberhentikan Muhammad Nazaruddin dari posisinya sebagai
kader partai itu pada Senin 18 Juli 2011. Keputusan itu telah disetujui Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono selaku ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Muhammad Nazaruddin ditangkap di Cartagena de Indias, Kolombia pada tanggal
7 Agustus 2011. Nazar diketahui menggunakan paspor sepupunya, Syarifuddin,
untuk berpergian ke luar Indonesia setelah paspornya telah lama dicabut oleh
Imigrasi.

Per 2016, Nazaruddin sudah divonis untuk 2 kasus yang berbeda

1. Korupsi wisma atlet

Pada 20 April 2012, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana 4


tahun 10 bulan dan denda Rp 200 juta kepada Nazaruddin. Di persidangan,
Nazaruddin terbukti menerima suap sebesar Rp 4,6 miliar berupa lima lembar cek
yang diserahkan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El
Idris kepada dua pejabat bagian keuangan Grup Permai, Yulianis dan Oktarina
Fury. Cek tersebut disimpan di dalam brankas perusahaan. Nazar juga dinilai
memiliki andil membuat PT DGI menang lelang proyek senilai Rp 191 miliar di
Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Mahkamah Agung kemudian memperberat hukuman Nazaruddin, dari 4


tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. MA juga menambah hukuman denda
untuk Nazaruddin dari Rp 200 juta menjadi Rp 300 juta. MA membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta yang menyatakan Nazaruddin terbukti melanggar Pasal 11 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MA menilai Nazaruddin terbukti
sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 12b Undang-Undang
Pemberantasan Tipikor, sesuai dakwaan pertama. Jika di pengadilan tingkat
pertama Nazaruddin hanya terbukti menerima suap saja, menurut MA, dia secara
aktif melakukan pertemuan-pertemuan.

2. Gratifikasi dan pencucian uang

Pada 15 Juni 2016, Majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta


menjatuhkan vonis 6 tahun penjara terhadap mantan anggota DPR RI,
Muhammad Nazaruddin. Nazarrudin juga diwajibkan membayar denda sebesar
Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. "Mengadili, menyatakan terdakwa
Muhammad Nazaruddin terbukti sah dan meyakinkan melakukan korupsi dan
pencucian uang, sebagaimana dakwaan kesatu primer, dakwan kedua, dan ketiga,"
ujar Ketua Majelis Hakim Ibnu Basuki di Pengadilan Tipikor Jakarta. Beberapa
pertimbangan yang memberatkan, antara lain, Nazaruddin dianggap tidak
mendukung program pemberantasan korupsi. Selain itu, hasil uang yang dikorupsi
dalam jumlah besar. Sementara itu, hal yang meringankan, yakni Nazaruddin telah
dipidana dalam kasus korupsi, mempunyai tanggungan keluarga, dan berstatus
justice collabolator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan KPK.

Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar


Nazaruddin dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun
kurungan. Selain itu, menuntut agar harta milik Nazaruddin senilai lebih kurang
Rp 600 miliar yang termasuk dalam pencucian uang dirampas untuk negara.
Nazaruddin didakwa menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan PT
Nindya Karya untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan dan kesehatan, yang
jumlahnya mencapai Rp 40,37 miliar. Saat menerima gratifikasi, ia masih
berstatus sebagai anggota DPR RI. Nazar juga merupakan pemilik dan pengendali
Anugrah Grup yang berubah nama menjadi Permai Grup.

Nazaruddin juga didakwa melakukan pencucian uang dengan membeli


sejumlah saham di berbagai perusahaan yang uangnya diperoleh dari hasil
korupsi. Pembelian sejumlah saham yang dilakukan Nazaruddin dilakukan
melalui perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia menggunakan perusahaan-
perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup, kelompok perusahaan milik
Nazar. Berdasarkan surat dakwaan, sumber penerimaan keuangan Permai Grup
berasal dari fee dari pihak lain atas jasanya mengupayakan sejumlah proyek yang
anggarannya dibiayai pemerintah. Dari uang tersebut, salah satunya Nazaruddin
membeli saham PT Garuda Indonesia sekitar tahun 2011 dengan menggunakan
anak perusahaan Permai Grup.

Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan vonis penjara terhadap


Nazaruddin tidak dipotong masa tahanan. Nazaruddin memang telah berada di
dalam tahanan atas putusan pengadilan dalam dakwaan yang berbeda. Nazaruddin
dinilai melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Selain itu, Nazaruddin dinilai
melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65
ayat (1) KUHP. Pasal 3 ayat (1) huruf a, c, dan e UU No 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No 25
Tahun 2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Nazaruddin
menyatakan tidak akan banding pada putusan ini dan ikhlas menerima putusan
hakim.
Jaksa KPK Kresno Anto Wibowo mengatakan, vonis tersebut bersifat
akumulasi. Dengan demikian, setelah Nazaruddin selesai menjalani 7 tahun
penjara, ia akan melanjutkan menjalani pidana penjara selama 6 tahun berikutnya.
Saat ini (2016), Nazarudin baru menjalani sekitar 4 tahun dari vonis 7 tahun
penjara dalam putusan pertama. Diperkirakan, Nazaruddin baru benar-benar bebas
pada tahun 2025.

Anda mungkin juga menyukai