Anda di halaman 1dari 16

Makalah

SUHU, DAN OKSIGEN TERLARUT HUBUNGANNYA DENGAN MEKANISME


FISIOLOGIS YANG TERJADI PADA IKAN

Oleh : Abd. Malik Serang

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Air yang merupakan lingkungan dimana hewan (ikan) itu hidup akan sangat menentukan
proses-proses fisiologis yang terjadi pada ikan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air mendefinisikan Kualitas Air adalah sifat air dan
kandungan makhluk hidup, zat energi, atau komponen lain dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan
beberapa parameter kualitas air yang meliputi parameter fisik seperti suhu, kekeruhan, padatan
terlarut, dan sebagainya, parameter kimia mencakup pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam-logam,
dan lain-lain, parameter biologi meliputi keberadaan plankton, bakteri dan sebagainya (Effendi,
2000).
Pada dasarnya perubahan-perubahan yang terjadi pada parameter kualitas air akan
menimbulkan respon dari ikan. Menurut Affandi dan Tang (2002) bahwa respon biota terhadap
faktor-faktor yang disebutkan di atas akan terlihat dari derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan,
efisiensi pakan, mutu karkas dan lain-lain. Hasil-hasil yang tampak dan terukur sebagai ekspresi biota
dalam merespon faktor-faktor tersebut sebenarnya merupakan hasil dari proses-proses yang saling
terkait dan rumit.
Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologi yang tidak dimiliki oleh
hewan darat, Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan
kondisi lingkungan. Perbedaan konsentrasi antara medium tempat hidup dan konsentrasi cairan tubuh
akan memaksa ikan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya
akibat difusi dan osmose. Pergerakan-pergerakan dan tingkah laku hewan (ikan) hanya merupakan
serangkaian upaya untuk mempertahankan keadaan statis agar dapat bertahan hidup dan bukan
didasarkan oleh naluri dan instink. Ikan bermigrasi dari perairan yang mulai dingin ke daerah yang
lebih hangat karena banyak organ/jaringan tidak dapat melakukan fungsinya untuk mempertahankan
keadaan statis lingkungan internalnya dalam keadaan dingin, demikian pula sebaliknya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa proses-proses yang terjadi di dalam tubuh biota ini (proses
fisiologis) perlu diketahui karena dalam pembudidayaan biota perairan semua faktor yang akan
berpengaruh terhadap biota harus diarahkan kepada proses-proses yang pada akhirnya dapat
meningkatkan tingkat kesehatan, pertumbuhan dan efisiensi pakan bahkan mutu karkas.
Fujaya (2002) mengatakan bahwa mempelajari parameter lingkungan dan fisiologi dapat
memberikan gambaran teknologi-teknologi yang akan dikembangkan sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivitas perikanan. Disamping itu, pengetahuan dasar ini dapat membantu para
praktisi maupun peneliti untuk mencari solusi bagi kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya
budidaya atau penangkapan ikan.
Parameter kualitas air yang paling banyak dipelajari dan bahkan menjadi objek penelitian
adalah suhu, salinitas, oksigen terlarut dan pH. Beberapa parameter kualitas air ini merupakan faktor-
faktor pembatas. Suhu merupakan faktor lingkungan fisik yang secara langsung berpengaruh
terhadap tingkat/laju metabolisme. Dengan demikian suhu akan berpengaruh terhadap nafsu makan,
kecepatan pencernaan dan pertumbuhan (Effendi, 2000). Temperatur , dan oksigen terlarut, termasuk
salinitas merupakan factor abiotik yang signifikan mempengaruhi sintesis protein pada jaringan-
jaringan aktif seperti hati, insang, usus pencernaan dan sebagai konsekwensinya terhadap laju
pergantian protein (Affandi dan Tang 2002).
Oksigen adalah salah satu gas yang ditemukan terlarut pada perairan dan merupakan salah
satu faktor utama dari sifat kimia air yang mempengaruhi secara langsung tingkat kelangsungan
hidup dan berhubungan dengan respirasi. Oleh karena itu tulisan ini akan membatasi penjelasan dan
kajiannya pada dua parameter kualitas air di atas hubungannya dengan mekanisme fisiologis yang
terjadi pada ikan.

B. Tujuan Penulisan
Memberikan penjelasan dan gambaran tentang beberapa parameter kualitas air mencakup ;
suhu, dan oksigen terlarut hubungannya dengan mekanisme fisiologis yang terjadi pada ikan.
BAB II
PARAMETER KUALITAS AIR

A. Suhu
Perubahan suhu berpengaruh pada banyak proses biokimia dan fisiologis ikan. Perubahan
suhu mempengaruhi proses, antara lain ; konsumsi makanan (Elliot, 1982 dalam Houlihan et al,
1993), kebutuhan pemeliharaan (Hawkins et al., 1985 dalam Houlihan et al, 1993), tingkat
metabolik, proses enzim, difusi molekul kecil (Sidell dan Hazel., 1987 dalam Houlihan et al, 1993),
fungsi selaput (Cossins, 1983 dalam Houlihan et al, 1993) dan sintesis protein (Prosser, 1974;
Cossins dan Bowler 1987 dalam Houlihan et al, 1993).

1. Hubungan Suhu dengan Pematangan Gonad dan Ovulasi dan Pemijahan


Menurut Aida et al., (1991) dalam Zairin (2003) bahwa pada proses pematangan gonad,
sinyal lingkungan seperti perubahan suhu, diterima oleh sistem saraf pusat dan diteruskan ke
hipotalamus. Sebagai respon, hipotalamus akan melepaskan hormon GnRH (Gonadotropin Releasing
Hormone) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisis. Selanjutnya hipofisis akan melepaskan
gonadotropin-I yang bekerja pada lapisan teka pada oosit. Akibat kerja hormon gonadotropin-I,
lapisan teka akan mensintesis testosteron dan di lapisan granulose, testosteron akan diubah menjadi
estradiol-17β oleh enzim aromatase. Selanjutnya estradiol-17β akan merangsang hati mensintesis
vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju
gonad dan secara selektif akan diserap oleh lapisan folikel oosit. Akibat menyerap vitelogenin, oosit
akan tumbuh membesar sampai kemudian berhenti apabila telah mencapai ukuran maksimum. Pada
kondisi ini dikatakan bahwa telur telah berada pada fase dorman dan menunggu sinyal lingkungan
untuk pemijahan (Gambar 1). Sinyal lingkungan pada gambar berupa suhu.
Gambar 1
Skema sistem kontrol reproduksi ikan (Aida et al., dalam Zairin . 2003).

Sama halnya dengan pematangan gonad, pada proses ovulasi dan pemijahan, sinyal
lingkungan, seperti perubahan suhu akan diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke
hipotalamus. Sebagai respon, hipotalamus akan melepaskan hormone GnRH (Gonadotropin
Releasing Hormone) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisis. Pada tahap ini hipofisis tidak
mensekresikan hormone gonadotropin-I, melainkan hormone gonadotropin-II yang juga bekerja pada
lapisan teka oosit. Akibat kerja hormone gonadotropin-II, lapisan teka akan mensintesis hormone
17α-hidroksiprogesteron yang kemudian di lapisan granulose akan diubah menjadi 17α-20β-
dihidroksiprogesteron (Maturation Inducing Steroid, MIS) oleh enzim 20β-hidroksi steroid
dehidrogenase. Selain 17α-20β-dihidroksiprogesteron sebagai MIS yang umum pada ikan, ada ikan
tertentu seperti spotted sea trout, Cynoscion nebulosus, menggunakan 17α,20β,21-
trihidroksiprogesteron sebagai MIS. Selanjutnya steroid pemicu pematangan akan merangsang
pembentukan factor perangsang kematangan (Maturation Promoting Factor, MPF) yang akan
menyebabkan inti bermigrasi kearah mikrofili kemudian melebur. Setelah proses peleburan inti
(Germinal Vesicle Break Down, GVBD), lapisan folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju
rongga ovari dalam proses yang dikenal dengan proses ovulasi (Yaron, 1995 dalam Zairin, 2003).
Setelah proses ovulasi, telur dikatakan telah mencapai kematangan secara fisiologis dan siap dibuahi
oleh sperma.
Untuk perkembangan gonad, diperlukan suhu yang rendah dan photoperiod yang pendek,
seperti pada akhir musim gugur, mempercepat pematangan gonad. Contohnya pada ikan mudsucker
(Gillichthys mirabilis). Jika suhu naik melebihi 200C sampai 24oC, meskipun fotoperiod diabaikan,
akan mencegah pemijahan, karena menghambat transformasi spermatogenia menjadi spermatocyt
dan menghambat pembentukan selaput vitelin yang merupakan stadia akhir dari vitellogenesis yaitu
proses penyiapan energi yang tinggi dari kuning telur untuk perkembangan gonad (Sjafei et al, 1993).
Suhu juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi sekresi enzim penetasan. Pada suhu
rendah, yakni 1-2oC, pemijahan dan penetasan akan terhambat, juga mengurangi sintasan. Sebaliknya
embrio dari suhu rendah dipindahkan ke medium dengan suhu yang lebih tinggi akan mempercepat
penetasannya dan meningkatkan derajat penetasan. Nampak bahwa peningkatan suhu akan
menstimulasi sekresi enzim penetasan. Suhu yang lebih tinggi juga menyebabkan selaput telur lebih
cepat larut dibandingkan pada suhu rendah sehingga waktu penetasan pun lebih cepat.

2. Hubungan Suhu dengan Deferensiasi Kelamin


Deferensiasi kelamin pada ikan selain dipengaruhi oleh hormone reproduksi (steroid) juga
sangat dipengaruhi oleh factor lingkungan seperti suhu. Waktu diferensiasi kelamin pada ikan
berbeda-beda tergantung pada spesies dan lingkungan. Menurut Crew dalam Nakamura et al. (1998),
suhu media pemeliharaan selama proses embrionik dan tahapan perkembangan larva mempengaruhi
diferensiasi kelamin pada ikan. Pada binatang melata (reptilian) suhu pengeraman akan
mengendalikan aktivitas persandian gen enzim steroigenik dan reseptor hormone steroid, dimana
hormone steroid ini sangat berperan dalam penentuan jenis kelamin.
Yuniarti (2003) melaporkan bahwa pada suhu 31oC, ternyata diferensiasi kelamin ikan cupang
berjalan lebih singkat dan cepat. Sebaliknya pada suhu yang lebih rendah diferensiasi kelamin
berjalan lebih lama. Hal ini disebabkan migrasi dan pembelahan sel-sel bakal gonad berjalan lebih
cepat karena adanya pengaruh suhu. PGC (Primordial Germ Cell) pada ikan teleostei, seperti halnya
pada vertebrata lainnya, berasal dari luar gonad dan kemudian pindah (bermigrasi) ke dalam wilayah
gonad. Selanjutnya pada suhu pemeliharaan 27oC, 29oC dan 31oC larva ikan cupang cenderung sulit
untuk mendapatkan waktu deferensiasi testis. Hal ini diduga karena suhu selain berpengaruh terhadap
waktu deferensiasi kelamin pada ikan, juga berpengaruh terhadap rasio perbandingan jenis kelamin.
Patino dalam Nakamura et al. (1998) menyatakan bahwa pada ikan channel catfish, Ictalurus
punctatus, persentase betina meningkat nyata apabila ikan dipelihara pada suhu tinggi (34oC), tetapi
tidak ada pengaruh nyata ketika dipelihara pada suhu 20oC dan 27oC.
Menurut Goto et al. (1999) dalam Luckenbach et al. (2003) mengatakan bahwa pada ikan
barfin flounder yang dipelihara pada suhu 14oC menghasilkan sex ratio 1:1, ketika suhu naik menjadi
18oC selama 20 hari pemeliharaan terjadi deferensiasi sex menjadi seluruhnya jantan. Sedangkan
Luckenbach et al. (2003) melaporkan bahwa juvenile ikan flounder yang dipelihara pada suhu 18, 23
atau 28oC selama 245 menyebabkan fenotip sex reversal pada juvenile ikan flounder diperoleh
proporsi jantan tertinggi 96 % pada suhu yang tinggi, dan 78% pada suhu yang rendah.
Suhu sangat mempengaruhi penentuan jenis kelamin ikan flounder. Pada suhu yang tinggi
atau rendah (abnormal) mengakibatkan sex ratio cenderung kejantan, ketika pada midrange
temperature menunjukan sex ratio mendekati perbandingan jantan betina menjadi 1:1. Hal ini diduga
pada kondisi suhu yang tinggi atau rendah PGC yang merupakan sel bakalan gonad menerima arahan
dari gen-gen penentu jenis kelamin akan dibentukl gonad betina (ovarium) untuk individu yang
mengandung gonosom (XX). Menurut Takashima et al., (1995) dalam Yuniarti, (2003), fase awal
proses diferensiasi kelamin dapat diamati dengan mendeteksi perkembangan Primordial Germ Cell
(PGC) yang merupakan sel bakalan gonad.

3. Hubungan Suhu dengan Pertumbuhan


Pada kondisi suhu yang optimum pertumbuhan ikan menjadi maksimal. Ketika pada suhu
yang optimum aktivitas enzim yang terlibat dalam proses katabolisme dan anabolisme meningkat.
Meningkatnya katabolisme dan anabolisme memacu laju metabolisme, sehingga kadar metabolit
darah menjadi berkurang. Akibatnya derajat lapar ikan menjadi meningkat yang dapat memacu
aktivitas makan dan tingkat konsumsi pakan juga meningkatnya. Meningkatnya tingkat konsumsi
pakan akan menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi maksimal (Gambar 2).
Gambar 2. Diagram Alir Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan
(Sumber : Dok : Affandi. 2003)

Pada kondisi suhu yang optimum ini pula aktivitas enzim pencernaan meningkat sehingga
mempercepat laju pencernaan dan penyerapan. Akibatnya laju pengosongan lambung menjadi cepat
membuat ikan aktif mencari makan atau aktivitas makan ikan meningkat, tingkat konsumsi pakan
juga meningkat. Pakan yang dikonsumsi ikan akan menyediakan energi yang sebagian besar
digunakan untuk metabolisme yang meliputi energi untuk hidup pokok, energi untuk aktivitas, energi
untuk pencernaan makanan dan energi untuk pertumbuhan, sedangkan sebagian lainnya dikeluarkan
dalam bentuk feses dan bahan ekskresi lainnya (Bret dan Groves, 1979 dalam Kurnia, 2002).
Sebaliknya pada kondisi suhu yang abnormal (tinggi atau rendah) akan menyebabkan enzim-
enzim yang terlibat dalam proses metabolisme maupun pencernaan dan penyerapan menjadi
menurun. Menurunnya laju metabolisme, dan laju pencernaan akan mengakibatkan kadar metabolit
darah meningkat dan laju pengosongan lambung menjadi lambat. Sehingga aktivitas makan dan
tingkat konsumsi pakan ikan menurun. Hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan ikan terhambat.
Konsumsi pakan erat kaitannya dengan kondisi lambung. Ikan akan makan atau mencari
makanan apabila lambungnya dalam keadaan kosong atau lapar. Suhu media mempengaruhi
konsumsi pakan dan juga laju pencernaan, proses tersebut saling berinteraksi dan berhubungan satu
sama lain. Konsumsi pakan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya laju pencernaan.
Konsumsi pakan dan laju pencernaan juga mengikuti pola kuadratik, yaitu pada awalnya rendah pada
suhu paling rendah, kemudian semakin meningkat dengan semakin meningkatnya suhu media. Dari
data mengenai hubungan antara suhu media dengan konsumsi pakan dan laju pencernaan dapat
ditarik kesimpulan bahwa meningkatnya laju pencernaan dapat meningkatkan konsumsi pakan.
Hubungan antara suhu media dengan pakan yang dikonsumsi berbentuk kuadratik, yaitu pada
suhu rendah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh benih ikan gurami sedikit. Pada peningkatan suhu
berikutnya jumlah pakan yang dikonsumsi semakin banyak dan mencapai titik tertinggi pada suhu
optimum, dan menurun lagi pada peningkatan suhu di atas suhu optimum (Hermanto, 2000). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Setiawan (1993) pada benih ikan lele (Clarias batrachus), bahwa
respon konsumsi pakan terhadap perubahan suhu berpola kuadratik, pada suhu rendah benih ikan lele
mengkonsumsi pakan sedikit dan meningkat sejalan dengan peningkatan suhu media. Pada suhu
optimum konsumsi pakan tercatat paling tinggi, kemudian kembali menurun pada suhu di atas suhu
ptimum. Hal ini terjadi karena pada suhu optimum kinerja enzim pencernaan di dalam saluran
pencernaan mencapai maksimum untuk mencema pakan yang dikonsumsi, sehingga kondisi lambung
ikan menjadi kosong (lapar) dan ikan akan kembali aktif mengkonsumsi pakan (Vahl, 1979 dalam
Hermanto, 2000).
Grizlle dan Rogers (1997) menyatakan bahwa pakan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan akan dicerna menjadi partikel-partikel yang lebih kecil oleh enzim pencernaan (pepsin).
Laju pencernaan erat kaitannya dengan aktivitas enzim pencernaan dalam hal ini adalah pepsin.
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh suhu tubuh ikan dan suhu tubuh ikan akan dipengaruhi oleh suhu
lingkungan perairan. Menurut Smith (1967) dalam Affandi (1992), enzim pencernaan akan aktif pada
suhu optimum. Apabila enzim pencemaan bekerja secara aktif, maka proses pencernaan akan berjalan
secara maksimum. Laju pencernaan akan lebih cepat apabila enzim pencernaan bekerja secara
maksimum.
Aktivitas enzim percernaan dan aktivitas enzim metabolisme tergantung dari suhu. Dari hasil
penelitian menunjukan bahwa suhu, oksigen dan aktivitas, paling besar pengaruhnya terhadap
metabolisme. Peningkatan suhu 10oC menyebabkan peningkatan metabolisme 5-3 kali. Pengaruh
suhu terhadap aktivitas enzim dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Enzim
(Sumber : Affandi, et al., 1992)

Gambar di atas memperlihatkan dua fenomena yang berbeda. Dalam zona suhu yang lebih
rendah, antara suhu 0 dan 40oC, kecepatan reaksi meningkat seiring dengan meningkatnya suhu
(kurva garis penuh). Peningkatan kecepatan reaksi ini disebabkan oleh pembentukan kompleks
menjadi aktif ketika energi panas untuk system reaksi tersedia lebih banyak. Kemudian pada suhu
lebih besar dari suhu optimum (di atas 45oC), maka peningkatan suhu akan menurunkan kecepatan
reaksi. Penurunan kecepatan reaksi ini karena di atas suhu tersebut enzim mengalami denaturasi
sehingga tidak dapat menghasilkan produk (Affandi et al. 1992). Hal ini tentu saja dapat menghambat
pertumbuhan ikan.
Menurut Fry (1971) dalam Shafrudin (1997) bahwa suhu merupakan faktor yang
mengendalikan aktivitas molekuler dalam metabolisme. Peningkatan suhu akan diikuti dengan laju
penyerapan kuning telur, laju perkembangan dan laju metabolisme dalam percepatan yang tidak harus
sama. Menjelang musim dingin ikan akan meningkatkan konsumsi makanan dan menyimpan energi
sebagai cadangan sebagai respon menghadapi penurunan suhu pada musim dingin. Karena ikan
adalah hewan poikiloterm, maka laju metabolismenya akan berubah mengikuti perubahan suhu air,
dan oleh karenanya kebutuhan energi akan meningkat dengan meningkatnya suhu air (sampai batas
tertentu).
Suhu yang tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein, sistem enzim tidak efektif dan
kerusakan integritas membran yang mengakibatkan kematian yang cepat (Schmidt Neilson, 1978
dalam Shafrudin, 1997). Suhu yang meningkat cepat menimbulkan “oxygen overdraft” karena
pengambilan O2 dan cairan perivitelin tidak seimbang dengan pemasukan oksigen melalui difusi dari
luar. Karion menghalangi difusi ini. Jika kondisi ini terjadi, embrio rusak dan tingkat kecacatan
maupun kematian meningkat.
Affandi dan Tang (2002) mengatakan bahwa pada hewan umumnya, variasi suhu atau
fluktuasi osmotik dari kondisi lingkungan lainnya memacu mesin pengatur keseimbangan yang akan
mempertahankan tetapnya kondisi lingkungan dalam tubuh. Kelebihan panas dibuang atau
ditingkatkan untuk mengimbangi yang hilang, air diambil secara osmotik dari cairan encer dan air
diserap kembali untuk mengimbangi yang hilang. Dengan cara demikian keadaan keseimbangan
dapat dipertahankan. Pada beberapa jenis hewan respon terhadap perubahan lingkungan diperlihatkan
melalui tingkah laku.
Ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi (kisaran di luar kisaran
optimum), akan mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Ikan garopa yang yang
pertumbuhannya sudah mencapai fase ke III, dimana perlu aktivitas metabolisme dikurangi untuk
bisa hidup maka perlu melakukan adaptasi terhadap suhu dengan jalan mencari tempat yang suhunya
rendah yakni pada perairan yang lebih dalam.
Bentuk dan kecepatan berenang ikan banyak dipengaruhi oleh suhu air. Secara umum
aktivitas locomotor ikan akan nampak pada suhu minimum yang disukai jenis ikan (Reynolds dan
Casterlin, 1979 dalam Wieser, 1991) yang mana mengakibatkan suatu maksimalisasi panjang waktu
yang dibelanjakan untuk memenuhi suhu yang diinginkan. Pada suhu 100C Ikan karper menyesuaikan
diri dengan memperlihatkan kecepatan kritis berenang yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
menyesuaikan diri pada suhu 280C (Heap dan Goldspink, 1986 dalam Wieser, 1991).

B. Oksigen Terlarut
Oksigen adalah salah satu gas yang ditemukan terlarut pada perairan. Kadar oksigen terlarut
di perairan alami bervariasi bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer.
Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian/altitude, dan berkurangnya
tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2000). Semakin tinggi suhu, kelarutan
oksigen semakin berkurang dan mencapai nol pada air mendidih.
Oksigen sebagai bahan pernapasan, dibutuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi metabolisme.
Oleh karena itu, kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh kemampuannya memperoleh
oksigen yang cukup dari lingkungannya. Berkurangnya oksigen terlarut dalam perairan, tentu saja
akan mempengaruhi fisiologi respirasi ikan, dan hanya ikan yang memiliki sistem respirasi yang
sesuai dapat bertahan hidup. Selain itu, penurunan konsentrasi oksigen akan merangsang aktivitas
pernapasan dengan bekerja pada kemoreseptor. Kemoreseptor tersebut kemudian mengirimkan
sinyal-sinyal ke otak untuk merangsang kegiatan pernapasan.
Metabolisme adalah proses penguraian nutrien (katabolisme) dan penyusunan kembali
material dan nutrien sederhana (anabolisme). Proses metabolisme di dalam tubuh ikan memerlukan
oksigen. Oksigen diperlukan untuk membakar nutrien pada proses katabolisme. Tingkat kebutuhan
oksigen setiap ikan bervariasi, bergantung pada ukuran ikan dan aktivitasnya, suhu, status nutrisi, dan
faktor-faktor lainnya. Konsumsi oksigen pada suhu 17-20 oC untuk 9 spesies ikan air tawar dalam
keadaan istirahat berada pada kisaran 0.05 hingga 0.210 mg 02/g/jam (Clausen,1936 dalam Boyd,
1982). Sementara itu Basu (1959) dalam Boyd (1982) menyatakan bahwa konsumsi oksigen pada 5
spesies ikan yang melakukan aktivitas berada pada kisaran 0.266 hingga 0.888 mg 0 2/g/jam.
Selanjutnya Shell (1965) dalam Boyd (1982) mendapatkan konsumsi oksigen pada ikan catfish
(Ictalurus catus) meningkat dari 0.060 mg 02/g/jam pada suhu 11 hingga 0.76 mg 0 2 /g/jam pada
suhu 25oC. Tingkat konsumsi oksigen oleh ikan Tilapia nilotica pada suhu 25oC berkisar 0.22 mg
O2/g/jam saat ikan melakukan berenang dengan jarak 30 cm Idetik hingga 0.458 mg OzIg/jam pada
saat ikan berenang mencapai jarak 60 cm/detik (Farmer dan Beamish, 1969 dalam Boyd, 1982).
Menurut Andreas dan Matsuda (1975) dalam Boyd (1982) oksigen lebih cepat dikonsumsi oleh
Channel catfish yang baru selesai makan daripada catfish. Nilai konsumsi oksigen ikan pada suhu
280C di dalam air yang berkadar oksigen 7 mg/l segera setelah makan adalah 0.520 mg 0 2/g/jam; 1
jam setelah makan 0.680 mg/g/jam : ikan dipuasakan 1 malam 0.520 mg 0 2/g/jam; dipuasakan 3 hari
0.2290 mg 02/g/jam; dan dipuasakan selama 9 hari adalah sebesar 0.290 mg 02/g/jam. Konsumsi
pakan berhubungan erat dengan konsumsi oksigen. Pada saat suhu rendah, konsumsi pakan menurun
diikuti dengan penurunan konsumsi oksigen karena kebutuhan oksigen untuk proses metabolisme
berkurang. Sementara itu pada saat suhu meningkat konsumsi oksigen juga meningkat yang
digunakan untuk proses perombakan nutrien dalam proses metabolisme.
Dalam percobaan yang dilakukan oleh Hermanto (2000) diperoleh pola hubungan yang
saling berkaitan antara suhu media dengan konsumsi oksigen, konsumsi pakan, laju pencernaani dan
ekskresi nitrogen. Hasil uji respon terhadap konsumsi oksigen dengan suhu media menunjukkan
bahwa apabila suhu media semakin meningkat, maka konsumsi oksigen per individu ikan juga
meningkat. Tingkat konsumsi oksigen mencapai titik maksimum pada suhu optimum. Selanjutnya
konsumsi oksigen kembali menurun pada peningkatan suhu di atas suhu optimum. Hal ini erat
kaitannya dengan konsumsi pakan, laju pencernaan dan ekskresi nitrogen. Meningkatnya konsumsi
pakan memerlukan oksigen yang lebih banyak untuk proses pencernaan pakan dan metabolisme.
Jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh ikan pada saat setelah selesai mengkonsumsi pakan hingga 5-6
jam berikutnya merupakan indicator laju metabolisme.
Rendahnya jumlah oksigen dalam air menyebabkan ikan atau hewan air 1) harus memompa
sejumlah besar air kepermukaan alat respirasinya untuk mengambil O2. Tidak hanya volume besar
yang dibutuhkan tetapi juga energi untuk pemompaan juga lebih besar karena air 800 kali lebih padat
dibanding udara;2) menurunkan proporsi tekanan partial (PO2) dari total O2 yang digerakan dalam air.
Contoh 5 ml O2 dalam 1 liter udara menggerakkan 5\200 O 2, menyebabkan perubahan PO2 dari 150
menjadi 146 mmHg. Didalam air 5 ml O2 mengerakkan 5/7 dari total gas menjadi PO2 hanya 43
mmHg, sehingga ikan lebih sulit mempertahankan gradient difusi O 2 kedalam darahmya bersamaan
dengan pergerakan O2 yang sangat banyak dalam air. Akibatnya hemoglobin ikan secara umum
menggunakan tekanan partial rendah (agar afinitas O2 menjadi tinggi) dibanding hemoglobin
vertebrata darat; 3). Mencegah penggunaan permukaan alat pernapasaan yang sangat besar karena
terkait dengan problem osmoregulasi yang sudah diatur.
Rendahnya kandungan oksigen dalam air menyebabkan ikan harus memompa sejumlah besar
air ke permukaan insang untuk mengambil oksigen. Bersamaan dengan itu , insang juga harus
mengeluarkan ion-ion berlebih yang masuk ke dalam tubuh. Ketika terjadi penurunan oksigen
terlarut, hewan air khususnya ikan dan udang akan mempercepat aliran air yang melewati insang,
sehingga oksigen dapat diserap lebih banyak. Apabila oksigen menjadi lebih rendah lagi, maka ikan
dan udang berusaha mencapai permukaan agar mengambil oksigen bebas melalui proses difusi,
sehingga udara dapat dimanfaatkan pada insang.
Adaptasi frekwensi ventilasi tentang kapasitas oksigen dan tingkat perfusion diperlihatkan di
dalam cyprinids. Sebagi contoh dalam tench, kekurangan oksigen (hypoxia) yang dikombinasikan
dengan kelebihan CO2 pada situasi yang alami, mendorong kearah pembengkakan erytrosit (guna
memudahkan difusi oksigen ke dalam sel) dan untuk mereduksi guanosine triphosphate (GTP)
(Jensen dan Weber, 1985 dalam Wieser, 1991). GTP adalah pengatur yang penting dari afinitas O 2
pada Hb di dalam ikan. Rendahnya rasio GTP/Hb di dalam sel-sel darah ikan dan besarnya kapasitas
Hb mengikat O2, semakin O2 dapat diambil oleh pigmen respirasi sekalipun PO2 rendah.
Pada beberapa penelitian dijelaskan bahwa ada hubungan antara sintesis protein dan tingkat
komsumsi O2. Dalam jangka pendek, tingkat sintesa protein meningkat mengikuti suatu pola
makanan ikan (Mc Millan, 1988 ; Brown and Cameron,1991; dalam Houlihan et al, 1993) dan juga
hewan tak bertulang belakang (Houlihan et al 1990 dalam Houlihan et al, 1993).
Faktor perpindahan dari insang untuk meningkatkan O2 menghasilkan suatu penurunan rata-
rata gradien tekanan antara O2 di air dan di darah, pada insang saat O 2 yang rendah di dalam air ikan
akan meningkatkan produksi laktat. Peningkatan volume ventilasi yang dihubungkan dengan
pengurangan tingkat kerja jantung nampaknya seperti tanggapan umum ikan yang hypoxia . Oleh
karena itu selama hypoxia, pola teladan arus darah dihubungkan dengan perubahan keluaran jantung.
Mengubah pola teladan darah yang mengalir sepanjang insang boleh dengan cara meningkatkan
pertukaran gas.
Dilaporkan juga bahwa pada kondisi O2 rendah, ikan akan mensintesis hormone tiroid yang
berfungsi untuk meningkatkan konsumsi O2 mitokondria yang digunakan untuk meningkatkan
aktifitas transport nutrien akibat meningkatnya pembentukan ATP.
BAB III
KESIMPULAN

1. Konsumsi pakan erat kaitannya dengan kondisi lambung. Ikan akan makan atau mencari makanan
apabila lambungnya dalam keadaan kosong atau lapar. Suhu media mempengaruhi konsumsi
pakan dan juga laju pencernaan, proses tersebut saling berinteraksi dan berhubungan satu sama
lain. Konsumsi pakan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya laju pencernaan.
Konsumsi pakan dan laju pencernaan juga mengikuti pola kuadratik, yaitu pada awalnya rendah
pada suhu paling rendah, kemudian semakin meningkat dengan semakin meningkatnya suhu
media. Selain itu aktivitas reproduksi, diferensiasi kelamin, dan aktivitas enzim sangat
bergantung dari suhu.
2. Rendahnya kandungan oksigen dalam air menyebabkan ikan harus memompa sejumlah besar air
ke permukaan insang untuk mengambil oksigen. Bersamaan dengan itu , insang juga harus
mengeluarkan ion-ion berlebih yang masuk ke dalam tubuh. Ketika terjadi penurunan oksigen
terlarut, hewan air khususnya ikan dan udang akan mempercepat aliran air yang melewati insang,
sehingga oksigen dapat diserap lebih banyak. Apabila oksigen menjadi lebih rendah lagi, maka
ikan dan udang berusaha mencapai permukaan agar mengambil oksigen bebas melalui proses
difusi, sehingga udara dapat dimanfaatkan pada insang.
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. 1992. Studi Kebiasaan Makan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Ilmu-Ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia, 1:56-57.

Affandi, R., D.S. Sjafei, M. F. Rahardjo, dan Sulistiono 1992. Fisiologi Ikan Pencernaan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar
Universitas. Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Halaman 111 – 113.

Affandi, R dan U.M. Tang., 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press. 279 hal.

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Aurburn University
Agricultural Experiment Station. Alabama. USA 259 p.

Effendie, H. 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. 259 hal.

Fujaya, Y., 2002. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Jurusan Perikanan.
Fakultas Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin. Makasar. 243 hal.

Grizlle, J.M. and W.A. Rogers. 1997. Anatomy and Histology of the Channel catfish. Department of
Fisheries and Applied Aquaculture, Auburn University. p.97.

Hermanto, 2000. Optimalisasi Suhu Media Pada Pemeliharaan Benih Ikan Gurami (Osphronemus
gouramy Lac.). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Houlihan, D.F. et al, 1993. Biochemical Correlates of Growth Rate in Fish. Fish Ecophysiology,
Edited by J.C. Rankin and Frank B. Jensen. Published in 1993 by Chapman and Hall.
London. p 45.

Kurnia, A., 2002. Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Pakan Berbeda Terhadap Efisiensi Pakan
dan Pertumbuhan Benih Ikan Baung (Mystus nemurus CV). Tesis. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.

Luckenbach, J.A. J. Godwin, H. V. Daniels, R.J. Borski. 2003. Gonadal Differentiation of


Temperature on Sex Determination in Southern Flounder (Paralichthys lethostigma).
Aquaculture 216 : 315-327.

Nakamura, M., T. Kobayasih, C. Xiao-Tim., and Y. Nagahama 1998. Gonadal Sex Differentiation in
Teleost Fish. J. Exp. Zool. 281: 362-372.

Setiawan, A. 1993. Evaluasi Respon Pertumbuhan Benih Ikan Lele (Clarias batrachus) pada
Berbagai Tingkat Konsumsi Pakan dan Suhu Media. Disertasi. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Halaman 50-77.
Shafrudin, D. 1997. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Serta Pertumbuhan Embrio dan Larva
Ikan Betutu Oxyeleotris marmorata (Blkr). Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.

Sjafei, et al., 1993. Fisiologi Ikan II Reproduksi Ikan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 212 hal.

Walford, JT dan Lam Tj., 1993. Development of Digestive Track and Proteolitic Enzyms Activity in
Seabass (Lates calcarifer) Larvae and Juvenilles. Aquaculture 109: 187 – 205.

Wieser, W., 1991. Physiological Energetics and Ecophysiology. Cyprinid Fishes Systematics, Biology
and Exploitation. Ian J. Winfield and Joseph S. Nelson (ed.) Publishing Chapman and
Hall. London. 426 – 451.

Yuniarti, T., 2003. Pengaruh Suhu Terhadap Diferensiasi Kelamin Pada Ikan Cupang (Betto
splendens Regan). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Zairin, M. Jr. 2003. Endokrinologi dan Perannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi
Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai