Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISA PANGAN

ACARA I
AIR DAN ABU

Disusun Oleh:

Kieky Elok Nur Faiqoh


H0916047
Kelompok 2

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
ACARA I
AIR DAN ABU

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum Analisa Pangan Acara I Air dan Abu adalah
sebagai berikut :
1. Menentukan kadar air pada sampel berbagai jenis mie kering dengan
metode thermogravimetri.
2. Memahami prinsip pengujian kadar air dengan metode thermogravimetri
3. Menentukan kadar abu pada sampel berbagai jenis mie kering dengan
metode pengabuan kering.

4. Memahami prinsip pengujian kadar abu menggunakan metode pengabuan


kering

B. TINJAUAN PUSTAKA
Air merupakan bahan alam yang diperlukan untuk kehidupan manusia,
hewan dan tanaman atau komponen kimiawi yang terdapat pada semua jenis
pangan. Air dapat berperan sebagai media pengangkutan zat-zat
makanan, sebagai sumber energi, serta untuk berbagai keperluan lainnya
(Sasongko dkk., 2014). Sedangkan menurut Winarno (2000), air merupakan
karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan.
Sedangkan banyaknya air yang terkandung dalam bahan disebut kadar air.
Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan,
karena kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran
dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi mengakibatkan
mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan
terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997).
Dalam menyatakan kadar air bahan dikenal kadar air berat kering (dry
basis) dan kadar air berat basah (wet basis). Kadar air berat basah (wet basis)
adalah perbandingan antara berat air yang ada dalam bahan dengan berat bahan
pangan basah, sedangkan kadar air berat kering (dry basis) adalah
perbandingan antara berat air yang ada dalam bahan dengan berat padatan yang
ada dalam bahan (berat bahan pangan kering) (Bryant and Hamaker, 1997).
Sedangkan menurut Asgar dkk., (2013), kadar air berat kering (dry basis)
adalah berat bahan setelah mengalami pengeringan dalam waktu tertentu sehingga
beratnya konstan.

𝑚𝑎
Ka (%wb) = x 100% ............................ (1)
𝑚𝑏
𝑚𝑎
Ka (%db) = x 100% ............................ (2)
𝑚𝑐

Dimana, Ka (%wb) = kadar air berat basah (%), Ka (%db) = kadar air berat kering
(%), ma = bobot air bahan (g), mb = bobot sampel basah (g), mc = Bobot sampel
kering (g). Di dalam analisis bahan pangan, biasanya kadar air bahan dinyatakan
dalam persen berat kering, disebabkan karena dalam perhitungan berdasarkan
berat basah mempunyai kelemahan yaitu berat basah bahan selalu tetap
(Muchtadi, 1989). Perbedaan antara dry basis dan wet basis adalah kadar air dengan
metode wet basis memiliki batas maksimum teoritis 100%, sedangkan dry basis
bisa lebih dari 100% (Nollet, 2004).
Penetapan kadar air dapat dilakukan dengan beberapa metode analisis kadar
air antara lain thermogravimetri, thermovolumetri, titrasi Karl Fischer, asetil
khlorida, serta pengukuran secara langsung (moisture tester) (Nollet, 2004). Metode
thermovolumetri merupakan metode penentuan kadar air dari bahan-bahan yang
memilki kadar air tinggi serta yang mengandung senyawa-senyawa yang mudah
menguap (volatile) (Winarno, 2008). Metode thermovolumetri mempunyai prinsip
yaitu Menguapkan air suatu bahan pangan dengan cara mendestilasi dengan
menggunakan pelarut immicible, kemudian air ditampung dalam tabung yang
diketahui volumenya. Pelarut yang digunakan yaitu pelarut yang mempunyai titik
didih lebih besar dari air, namun berat jenisnya lebih kecil dari air, sehingga air
menguap terlebih dahulu dan karena berat jenis pelarut lebih rendah maka posisi
pelarut akan diatas air sehingga jumlah air yang menguap dapat diketahui dengan
jelas dilihat dari tabung penampungnya (Sudarmadji, 1996). Jenis-jenis pelarut
yang dapat digunakan pada metode destilasi ini adalah toluene, pelarut jenis xilen
seperti 0-dimetil benzene, m-dimetil benzene, p-dimetil benzene. Pelarut lain yang
juga dapat digunakan yang memiliki berat jenis lebih besar dari air adalah
tetrakloretilen. Penggunaan pelarut pada metode destilasi ini, dapat menurunkan
suhu penguapan air bahan dan pelarut. Selain itu, penggunaan pelarut yang
memiliki berat jenis yang lebih besar dari air seperti tetrakloretilen dapat
mengapungkan bahan sehingga tidak terbakar (Nollet, 2004).
Metode Karl Fischer merupakan metode yang sering digunakan dalam
analisis kadar air bahan pangan yang mengandung sedikit air. Biasanya metode ini
digunakan untuk bahan-bahan seperti pada produk minyak/lemak, gula, madu, dan
bahan kering. Analisis kadar air dengan metode Karl Fischer dilakukan dengan
prinsip titrasi air pada sampel menggunakan titran pereaksi Karl Fischer, yaitu
campuran iodin, sulfur dioksida dan piridin dalam larutan metanol. Selama proses
titrasi akan terjadi reaksi reduksi iodin oleh sulfur dioksida dengan adanya air.
Reaksi reduksi iodin akan berlangsung sampai air habis yang ditunjukkan dengan
munculnya warna cokelat akibat kelebihan iodin (Nollet, 2004).
Metode asetil klorida didasarkan atas reaksi antara asetil klorida dengan air
menghasilkan asam yang dapat dititrasi dengan basa. Cara ini dapat digunakan
untuk menentukan kadar air bahanberupa minyak, mentega, margarin, rempah-
rempah, dan beberapa bahan berkadar air rendah. Sedangkan untuk metode
pengukuran secara langsung (moisture tester) didasarkan pada beberapa
cara, yaitu tetapan dielektrik, daya hantar resistansi listrik atau resistensi
serta Resonansi nuklir magnetic atau nuclear magnetic resonance (NMR)
(Nollet, 2004).
Metode thermogravimetri didasarkan atas perhitungan selisih bobot sampel
sebelum dan setelah pengeringan. Metode thermogravimetri ini dapat dilakukan
pada semua bahan pangan, kecuali bahan pangan yang mempunyai komponen
senyawa volatile atau produk yang terdekomposisi pada pemanasan 100°C. Prinsip
kerja dari metode thermogravimetric (TGA) adalah menguapkan air yang ada di
dalam bahan dengan jalan pemanasan pada tempat khusus dengan suhu dan waktu
tertentu, hingga mengalami penurunan pada massanya atau hingga diperoleh berat
konstan (Suyitno, 2009). Berat dianggap konstan apabila selisih penimbangan tidak
melibihi 0,2 mg. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya
air yang diupkan yang dihitung sebagai kadar air bahan (Winarno, 2008). Kelebihan
dari metode ini antara lain adalah lebih praktis (otomatis) daripada pengeringan
oven standar, kesalahan dalam penimbangan minimal karena sampel tidak
berpindah-pindah, ukuran sampel yang kecil (Nollet, 2004), selain itu cara ini lebih
mudah dan murah (Sudarmadji, 1989). Sedangkan untuk kelemahannya adalah
tidak praktis atau membutuhkan waktu yang cukup lama akan tetapi sangat baik
bila digunakan untuk penelitian, sampel yang kecil memungkinkan tidak
representative, serta dapat menurunkan nilai gizi bahan yang dikeringkan
(Nollet, 2004).
Abu adalah zat-zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik
(Sudarmadji, 1996). Sedangkan menurut Nugraha (1997), bahan organik akan
hilang dengan pembakaran suhu tinggi dan menyisakan bahan anorganik yang
disebut abu. Kadar abu adalah bagian dari analisis proksimat yang bertujuan untuk
mengevalusi nilai gizi suatu produk/bahan pangan terutama total mineral atau
bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan atas berat keringnya. Kadar abu
dari suatu bahan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut
(Aprilianto, 1988). Sama halnya dengan kadar air, untuk menyatakan kadar abu
bahan dikenal kadar abu berat kering (dry basis) dan kadar abu berat basah (wet
basis). Kadar abu berat kering (dry basis) adalah perbandingan antara berat abu
dalam bahan pangan dengan berat bahan pangan kering. Sedangkan kadar abu berat
basah (wet basis) adalah perbandingan antara berat abu di dalam bahan pangan
dengan berat bahan pangan basah. Untuk menghitung kadar abu berat kering (dry
basis) menggunakan persamaan (1), sedangkan untuk menghitung kadar air berat
basah (wet basis) menggunakan persamaan (2):
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu (%wb) = x 100%.........................(1)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
Kadar abu (%db) = x 100%.............(2)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
(Hafiludin, 2011).
Perbedaan perhitungan kadar abu dalam dry basis (cara kering) dan wet
basis (cara basah) yaitu cara kering biasa digunakan untuk penentuan kadar total
abu dalam suatu bahan makanan dan hasil pertanian, sedangkan cara basah untuk
trace element. Cara kering untuk penentuan kadar abu yang larut dan tidak larut
dalam air serta abu yang tidak larut dalam asam memerlukan waktu yang relatif
lama, sedangkan cara basah memerlukan waktu yang cepat. Cara kering
memerlukan suhu yang relatif tinggi, sedangkan cara basah dengan suhu relatif
rendah (Sudarmaji dkk., 2010).
Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan metode pengabuan kering (dry
ashing) dan pengabuan basah (wet ashing). Prinsip pengabuan cara basah adalah
memberi reagen kimia (asam kuat) pada bahan sebelum pengabuan. Contoh
reagensianya antara lain asam sulfat, asam nitrat, campuran asam sulfat-asam nitrat,
campuran asam perklorat - asam nitrat, dan sebagainnya. Pengabuan basah ini
biasanya digunakan untuk sampel yang memiliki kandungan glukosa yang tinggi
(Sudarmadji, 2003). Sedangkan prinsip penentuan kadar abu yang dilakukan
dengan metode pengabuan kering (dry ashing) adalah mengoksidasi semua zat
organik pada suhu tinggi (sekitar 550 °C), kemudian dilakukan penimbangan zat
yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Hafiludin, 2011).
Kelebihan dari dry ashing antara lain dapat digunakan untuk penentuan
kadar abu total dan bahan hasil pertanian dengan sampel yang relatif banyak,
biayanya murah karena tidak menggunakan reagensia dan tentunya tidak berisiko,
serta dapat digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air.
Sedangkan untuk kekurangannya antara lain membutuhkan waktu yang lebih lama,
membutuhkan suhu yang relatif tinggi, dan adanya kemungkinan kehilangan air
karena pemakaian suhu yang tinggi (Andarwulan dkk., 2011).
Mie kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu
dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang
diizinkan, serta memiliki kadar air sebesar 8-10% (Kurniasari dkk., 2015). Adapun
syarat mutu mie kering berdasarkan SNI 01-2974-1996 sebagai berikut:
Tabel 1.1 Syarat Mutu Mie Kering Menurut SNI 01-2974-1996

Berdasarkan Tabel 1.1 Syarat Mutu Mie Kering Menurut SNI 01-2974-
1996 menunjukkan bahwa ada beberapa kriteria minimal yang harus dipenuhi
dalam membuat mi kering yang layak, aman, dan sehat dikonsumsi, terutama
kriteria untuk kadar air dan kadar abu. Untuk kadar air pada mi kering
maksimum sebesar 8-10% karena kadar air sangat penting untuk menentukan
daya awet dan daya simpan dari produk mi kering. Sedangkan untuk kadar abu
pada mie kering maksimum sebesar 3% (BSN, 1996).

C. METODOLOGI
1. Alat
a. Alu Mortar
b. Alumunium foil
c. Blender
d. Eksikator
e. Kompor listrik
f. Krus
g. Loyang
h. Mortar
i. Oven
j. Penjepit
k. Tanur (Muffle Fumace)
l. Timbangan Analitik
2. Bahan
a. Mie kering burung dara – Mie telur urai original (Sampel D)
b. Mie kering telur gaga A1 (Sampel E)
c. Mie kering telur 3 ayam – Mie bulat (Sampel A)
d. Mie kering telur 3 ayam – Mie pipih (Sampel B)
e. Mie kering telur asli atom bulan (Sampel C)
3. Cara Kerja (Flowchart)
a. Penentuan Kadar Air dengan Metode Thermogravimetri
Krus

Pengeringan dalam oven pada suhu 105°C dengan


tutup dibuka selama 1 jam

Pendinginan krus dalam eksikator dengan kondisi


tertutup dan kemudian ditimbang

Penghalusan dan penimbangan sampel ± 2 gr

Pemasukan ke dalam krus dan keringkan dalam oven


± 2 gr sampel pada suhu 105°C dengan tutup dilepas selama 4 jam
(tergantung bahannya)

Pendinginan dengan eksikator dengan kondisi


tertutup dan kemudian ditimbang

Pemanasan lagi dalam oven selama 30 menit dengan


tutup dilepas

Pendinginan dalam eksikator dengan kondisi tertutup


dan kemudian ditimbang

Pengulangan perlakuan sampai tercapai berat konstan

Perhitungan kadar air pada sampel

Gambar 1.1 Diagram Alir Penentuan Kadar Air dengan Metode


Thermogravimetri pada Sampel Mie Kering
b. Penentuan Kadar Abu dengan Metode Pengabuan Kering

Krus

Pengeringan dalam oven pada suhu 105°C dengan


tutup dibuka selama 1 jam

Pendinginan krus dalam eksikator dengan kondisi


tertutup dan kemudian ditimbang

Penimbangan ± 2 gr sampel kering

Pemasukan ke dalam krus dan pengarangan dalam


± 2 gr sampel kompor listrik dengan kondisi tutup dilepas sampai
tidak terbentuk asap

Pembakaran sempurna dalam tanur pada suhu 600°C


selama 4-6 jam atau hingga terbentuk abu yang
sempurna (berwarna putih)

Pematian tanur dan penungguan suhu turun keesokan


harinya

Pemindahan krus dalam oven pada suhu 105°C


selama 1 jam

Pendinginan dalam eksikator lalu ditimbang

Perhitungan kadar abu pada sampel

Gambar 1.2 Diagram Alir Penentuan Kadar Abu dengan Metode


Pengabuan Kering pada Sampel Mie Kering
D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar air dalam bahan pangan harus diketahui karena berfungsi dalam
penentuan nilai gizi pangan, untuk memenuhi standar komposisi dan peraturan-
peraturan pangan. Kepentingan yang lain adalah bahwa kadar air diperlukan
untuk penentuan pengolahan terhadap komposisi kimia yang sering dinyatakan
pada dasar dry matt. Penentuan kadar air yang cepat dan akurat bervariasi
tergantung struktur dan komposisinya (Aventi, 2015). Kandungan air dalam
bahan pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan
itu. Sebagian besar perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media
air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri. Selain itu air
merupakan pencuci yang terbaik bagi bahan makanan atau alat-alat yang
digunakan dalam pengolahannya (Winarno, 2008). Menurut Buckle (1985),
kadar air juga mempengaruhi proses penanganan bahan. Bahan yang memiliki
kadar air tinggi biasanya diolah dengan menggunakan pemanasan agar kadar
air dapat berkurang dan dapat lebih awet.
Sedangkan fungsi penentuan kadar abu dalam pangan adalah untuk
menunjukkan kadar mineral, kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang
dihasilkan. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk menentukan baik
atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan-bahan yang
digunakan, menentukan parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Kandungan
abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan
yang digunakan (Zahro, 2013).
Menurut Sudarmadji (1997), pengaruh kadar air dan kadar abu terhadap
karakteristik bahan pangan (mie kering) yaitu dapat mempengaruhi
kenampakan, tekstur serta cita rasa mie kering. Selain itu besarnya kadar air
sangat berpengaruh terhadap umur simpan dari mie instan kering. Bahan
dengan kadar air yang tingi, mempunyai water activity (aw) yang tinggi juga.
Hal ini menyebabkan mikroorganisme mudah tumbuh dan melakukan aktivitas
pengerusakan pada sampel sehingga daya simpannya rendah. Sedangkan kadar
abu mempengaruhi kandungan mineral pada mie instan kering, sehingga secara
tidak langsung juga akan mempengaruhi karakteristik mie kering baik dari segi
kenampakan, tekstur, warna maupun rasa. Misalnya: kadar Kalsium pada
bahan pangan akan mempengaruhi tekstur maupun rasa dari mie kering
Brown and Molyneux (1996 ).
Dalam analisa kadar air dan kadar abu perlu dilakukan adanya
pengulangan uji. Alasan dilakukan pengulangan uji dalam analisa kadar air
dan kadar abu adalah agar diperoleh data yang dapat dibandingkan,
dikarenakan adanya pengaruh pada alat-alatnya misalnya timbangan analitik
yang sulit stabil dan karena bahan yang digunakan sudah terkontaminasi
dengan bahan lain ketika berada dalam eksikator atau ketika penyimpanan.
Sehingga terjadi kondisi dimana sampel dengan perlakuan yang sama dan pada
bahan yang sama diperoleh hasil yang berbeda-beda pada tiap pengulangan uji,
maka untuk menghindari kesalahan tersebut perlu adanya pengulangan uji.
Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor yaitu berat sampel yag berbeda
setiap penimbangan juga suhu pengeringan (Deshmukh et all., 2015).
Dalam penetapan kadar air bahan pangan, dapat dilakukan dengan
beberapa metode analisis kadar air salah satunya dengan metode
thermogravimetri. Prosedur dan mekanisme dari metode thermogravimetri
adalah dengan menguapkan air yang ada di dalam bahan dengan jalan
pemanasan pada tempat khusus dengan suhu dan waktu tertentu, hingga
mengalami penurunan pada massanya atau hingga diperoleh berat konstan
(Suyitno, 2009) yang dimulai dengan pengeringan cawan porselen ke dalam
oven pada suhu 100°C selama 1 jam, lalu didinginkan di dalam desikator.
Cawan porselen tersebut kemudian ditimbang. Sebanyak 0,5gram sampel
dimasukkan dalam cawan porselen kering dan dikeringkan dalam oven pada
suhu 105°C selama 24 jam hingga diperoleh berat konstan (selisih antara
penimbangan berturut-turut 0,002 gram), perlakuan tersebut terus diulang
dimaksudkan agar didapatkan berat konstan yang artinya semua air sudah
teruapkan. Cawan berisi sampel tersebut didinginkan dalam desikator. Proses
selanjutnya adalah penimbangan cawan yang berisi sampel setelah
dikeringkan. Kemudian dilakukan perhitungan kadar air bahan dengan
menggunakan rumus:
𝐵1−𝐵2
Kadar air = 𝑥 100%
𝐵

Keterangan:
B = Berat sampel (g)
B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum pengeringan (g)
B2 = Berat (sampel + cawan) setelah pengeringan (g)
(Rachmania dkk., 2013).
Tabel 1.2 Hasil Penentuan Kadar Air Dengan Metode Thermogravimetri

Berat
Kadar
Krus+sa Berat Kadar
Berat Berat berat
Kel. Sampel mpel sampel air
Krus sampel kering
setelah kering (%wb)
(%)
dioven

1,6 A1 23.0010 2.0157 24.8116 1.8106 10.1751 89.8249

9,14 A2 22.7850 2.0154 24.6024 1.8174 9.8244 90.1756

2,7 B1 20.2784 2.0047 22.1111 1.8327 8.5798 91.4202

10,15 B2 22.0782 2.0042 23.9192 1.8410 8.1429 91.8571

3,8 C1 21.5062 2.0441 23.3794 1.8732 8.3606 91.6394

11,16 C2 22.3069 2.0038 24.1451 1.8382 8.2643 91.7357

4 D1 22.6708 2.0092 24.4742 1.8034 10.2429 89.7571

12 D2 21.1345 2.0059 22.9438 1.8093 9.8011 90.1989

5 E1 22.8784 2.0118 24.7023 1.8239 9.3399 90.6601

13 E2 22.4376 2.0021 24.2597 1.8221 8.9906 91.0094

Sumber: Laporan Sementara

Keterangan:
Sampel A : Mie telur 3 ayam – Mie bulat
Sampel B : Mie telur 3 ayam – Mie pipih
Sampel C : Mie telur Asli Atoom Bulan
Sampel D : Mie Burung Dara – Mie Telur Urai Original
Sampel E : Mie telur Gaga A1
Berdasarkan hasil percobaan yang dapat dilihat pada Tabel 1.2 Hasil
Penentuan Kadar Air Dengan Metode Thermogravimetri, menunjukkan besar kadar
air yang merupakan sampel aneka mie kering dengan 2 kali pengulangan. Di mana
sampel A adalah Mie kering telur 3 ayam – Mie bulat diperoleh kadar air pada A1
sebesar 10,1751% dan A2 sebesar 9,8244%. Sampel B adalah Mie telur 3 ayam –
Mie pipih diperoleh kadar air pada B1 sebesar 8.5798% dan B2 sebesar 8.1429%.
Sampel C adalah Mie telur Asli Atom Bulan diperoleh kadar air pada C1 sebesar
8.3606% dan C2 sebesar 8.2643%. Sampel D adalah Mie Burung Dara – Mie Telur
Urai Original diperoleh kadar air pada D1 sebesar 10.2429 % dan D2 sebesar
9.8011%. Sedangkan untuk sampel E adalah Mie telur Gaga A1 diperoleh kadar air
pada E1 sebesar 9.3399% dan E2 sebesar 8.9906 %.
Berdasarkan SNI 01-2974-1996 kadar air untuk syarat mutu I mie kering
adalah maksimal sebesar 8% dan untuk mutu II yaitu maksimal sebesar 10%. Dari
hasil percobaan, sampel mie kering yang memiliki kadar air dibawah 10% adalah
sampel A2, B1, B2, C1, C2, D2, E1 dan E2. Sedangkan sampel A1 dan D1 memiliki
nilai kadar air lebih dari 10% sehingga, sampel A1 dan D1 tidak sesuai dengan
standar maksimal SNI atau terjadi penyimpangan. Hal ini dapat disebabkan oleh
ketidaktelitian praktikan dalam penimbangan sampel, terlalu sering membuka tutup
kurs, jarak oven dengan desikator dan alat timbang jauh, dalam satu oven terdapat
banyak sampel, oven yang sering dibuka tutup, dalam satu oven dicampur dengan
sampel yang masih baru (mengandung kadar air tinggi), dan berat sampel belum
konstan pada saat penimbangan dikarenakan pengovenan yang terlalu singkat
dan pendinginan dalam desikator yang terlalu singkat. Sedangkan menurut
Legowo dkk., (2007) kesalahan tersebut bisa digolongkan menjadi 2 hal yaitu
kesalahan tetap, yang meliputi alat pengukur dan kemurnian bahan, serta kesalahan
sistematis, meliputi kesalahan dalam prosedur, pengambilan dan persiapan contoh,
penerapan metode analisis, dan pengerjaan.
Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan metode pengabuan kering (dry
ashing). Prosedur dan mekanisme analisis ini adalah mengoksidasi semua zat
organik pada suhu tinggi (sekitar 550 °C), kemudian dilakukan penimbangan zat
yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Hafiludin, 2011). Prosedur
pengujian kadar abu dengan metode kering secara umum dapat dirangkum dalam
AOAC Methods 900.02 A atau B, 920.117, 923.03 yang akan bergantung pada
bahan pangan yang diuji. Namun secara umum prosedur yang dilakukan adalah
penimbangan sampel sesuai kebutuhan pada krus. Lakukan pengeringan awal jika
sampel memiliki tekstur yang sangat lembab. Kemudian Letakan krus/krubikel
pada tanur (Muffle Furnace) menggunakan jepitan, sarung tangan, dan kaca
pelindung. Lakukan proses pembakaran selama 12-18 jam pada suhu berkisar
550oC. Matikan tanur kemudian tunggu sampai terjadi penurunan suhu hingga
sekurang-kurangnya 250oC atau lebih rendah dan baru buka tanur tersebut, bukalah
dengan perlahan-lahan. Pindahkan segera krus ke desikator untuk melakukan
pendinginan sebelum dilakukkannya penimbangan (Nielsen, 2009). Setelah
mendapat berat abu, berat sampel, kadar air, dsb. Maka kadar abu pada bahan
pangan dapat dihitung menggunakan rumus:
bobot krus + abu – bobot krus
Kadar abu (%wb) = 𝑥 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 (%𝑤𝑏)


Kadar abu (%db) = 𝑥 100%
100−𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟

Dengan menggunakan rumus diatas maka kadar abu pada bahan


pangan dapat dihitung baik secara dry basis maupun wet basis
(Nollet, 2015).
Tabel 1.3 Hasil Penentuan Kadar Abu Secara Kering

Berat
Kadar Kadar
Berat Berat Krus+sam Kadar air
Kel. Sampel abu abu
Krus sampel pel setelah (%wb)
(%wb) (%db)
tanur

1,6 A1 23.0010 2.0157 23.0483 2.3465 10.1751 2.6124

9,14 A2 22.7850 2.0154 22.8321 2.3370 9.8244 2.5916

2,7 B1 20.2784 2.0047 20.3467 3.4069 8.5798 3.7267

10,15 B2 22.0782 2.0042 22.1462 3.3928 8.1429 3.6936

3,8 C1 21.5062 2.0441 21.5403 1.6682 8.3606 1.8204

11,16 C2 22.3069 2.0038 22.3416 1.7317 8.2643 1.8877

4 D1 22.6708 2.0092 22.7100 1.9510 10.2429 2.1737

12 D2 21.1345 2.0059 21.1744 1.9891 9.8011 2.2053

5 E1 22.8784 2.0118 22.9476 3.4397 9.3399 3.7941

13 E2 22.4376 2.0021 22.5089 3.5562 8.9906 3.9076

Sumber: Laporan Sementara

Keterangan:
Sampel A : Mie telur 3 ayam – Mie bulat
Sampel B : Mie telur 3 ayam – Mie pipih
Sampel C : Mie telur Asli Atoom Bulan
Sampel D : Mie Burung Dara – Mie Telur Urai Original
Sampel E : Mie telur Gaga A1
Berdasarkan hasil percobaan yang dapat dilihat pada Tabel 1.3 Hasil
Penentuan Kadar Abu Secara Kering, menunjukkan besar kadar abu pada sampel
aneka mie kering dengan 2 kali pengulangan. Di mana sampel A adalah Mie kering
telur 3 ayam – Mie bulat diperoleh kadar abu pada A1 sebesar 2,6124 % dan A2
sebesar 2,5916 %. Sampel B adalah Mie telur 3 ayam – Mie pipih diperoleh kadar
abu pada B1 sebesar 3,7267 % dan B2 sebesar 3,6936 %. Sampel C adalah Mie telur
Asli Atom Bulan diperoleh kadar abu pada C1 sebesar 1,8204 % dan C2 sebesar
1,8877 %. Sampel D adalah Mie Burung Dara – Mie Telur Urai Original diperoleh
kadar abu pada D1 sebesar 2,1737 % dan D2 sebesar 2,2053 %. Sedangkan untuk
sampel E adalah Mie telur Gaga A1 diperoleh kadar abu pada E1 sebesar 3,7941 %
dan E2 sebesar 3,9076 %.
Menurut SNI 01-2974-1996 kadar abu untuk syarat mutu mie kering adalah
maksimal sebesar 3%. Dari hasil percobaan, mie kering sampel yang memiliki
kadar abu dibawah 3% adalah sampel A1, A2, C1, C2, D1, dan D2. Sedangkan sampel
B1, B2, E1 dan E2 memiliki nilai kadar abu lebih dari 3% sehingga, sehingga, sampel
B1, B2, E1 dan E2 tidak sesuai dengan standar maksimal SNI atau terjadi
peyimpangan. Menurut Legowo dkk (2007), kesalahan tersebut bisa digolongkan
menjadi 2 hal yaitu kesalahan tetap, yang meliputi alat pengukur dan kemurnian
bahan, serta kesalahan sistematis, meliputi kesalahan dalam prosedur, pengambilan
dan persiapan contoh, penerapan metode analisis, dan pengerjaan.
Kadar air dan kadar abu dalam pangan khususnya mie kering harus
memenuhi SNI karena ada kriteria minimal yang harus dipenuhi dalam pembuatan
produk mie kering agar layak, aman, dan sehat untuk dikonsumsi. Kadar air dalam
produk mie kering harus sesuai dengan SNI. Menurut SNI 01-2974-1996, kadar air
pada mie kering memiliki nilai maksimal sebesar 8-10%. Semakin tinggi kadar air
biasanya bahan pangan tersebut memiliki daya simpan relatif lebih singkat.
Sedangkan kadar abu produk mie kering menurut SNI 01-2974-1996 memiliki nilai
maksimal sebesar 3 % (Aliya dkk., 2016). Kadar abu dalam produk pangan dapat
digunakan untuk identifikasi sumber bahan baku. Biasanya produk pangan yang
bersumber dari hewani memiliki kadar abu yang lebih tinggi karena memiliki
kandungan beberapa mineral seperti, kalsium, besi, dan fosfor (Irsalina dkk., 2016).

E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum Analisis Pangan Acara I “Air dan Abu”
dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Analisis kadar air pada aneka mie kering yang dilakukan dengan metode
thermogravimetri pada sampel A yang merupakan Mie kering telur 3 ayam
– Mie bulat diperoleh kadar air pada A1 sebesar 10,1751% dan A2 sebesar
9,8244%. Sampel B adalah Mie telur 3 ayam – Mie pipih diperoleh kadar air
pada B1 sebesar 8.5798% dan B2 sebesar 8.1429%. Sampel C adalah Mie
telur Asli Atom Bulan diperoleh kadar air pada C1 sebesar 8.3606% dan C2
sebesar 8.2643%. Sampel D adalah Mie Burung Dara – Mie Telur Urai
Original diperoleh kadar air pada D1 sebesar 10.2429 % dan D2 sebesar
9.8011%. Sedangkan untuk sampel E adalah Mie telur Gaga A1 diperoleh
kadar air pada E1 sebesar 9.3399% dan E2 sebesar 8.9906 %. Dengan syarat
mutu SNI mie kering maksimal sebesar 10%.
2. Prinsip kerja dari metode thermogravimetric (TGA) adalah menguapkan air
yang ada di dalam bahan dengan jalan pemanasan pada tempat khusus
dengan suhu dan waktu tertentu, hingga mengalami penurunan pada
massanya atau hingga diperoleh berat konstan. Berat dianggap konstan
apabila selisih penimbangan tidak melibihi 0,2 mg.
3. Analisis kadar abu pada aneka mie kering yang dilakukan dengan metode
pengabuan kering pada sampel A yang merupakan Mie kering telur 3 ayam
– Mie bulat diperoleh kadar abu pada A1 sebesar 2,6124 % dan A2 sebesar
2,5916 %. Sampel B adalah Mie telur 3 ayam – Mie pipih diperoleh kadar
abu pada B1 sebesar 3,7267 % dan B2 sebesar 3,6936 %. Sampel C adalah
Mie telur Asli Atom Bulan diperoleh kadar abu pada C1 sebesar 1,8204 %
dan C2 sebesar 1,8877 %. Sampel D adalah Mie Burung Dara – Mie Telur
Urai Original diperoleh kadar abu pada D1 sebesar 2,1737 % dan D2 sebesar
2,2053 %. Sedangkan untuk sampel E adalah Mie telur Gaga A1 diperoleh
kadar abu pada E1 sebesar 3,7941 % dan E2 sebesar 3,9076 %. Dengan syarat
mutu SNI kadar abu mie kering maksimal sebesar 3%.
4. Prinsip penentuan kadar abu yang dilakukan dengan metode pengabuan
kering (dry ashing) adalah mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi
(sekitar 550 °C), kemudian dilakukan penimbangan zat yang tertinggal
setelah proses pembakaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Aliya, Lisana Shidiq., Yosfi Rahmi., dan Setyawati Soeharto. 2016. Mi “Mocafle”
Peningkatan Kadar Gizi Mie Kering Berbasis Pangan Lokal Fungsional.
IJHN. Vol.3(1): 32-41.
Andarwulan, Nuri, Feri Kusnandar, dan Dian Herawati. 2011. Analisis Pangan.
Dian Rakyat. Jakarta.
Aprilianto, Anton. 1988. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Asgar., Zain., Widyasanti., dan Wulan. 2013. Kajian Karakteristik Proses
Pengeringan Jamur Tiram (Pleurotus sp.) Menggunakan Mesin Pengering
Vakum (Characteristics Study of Drying Process of Oyster Mushrooms
(Pleurotus sp.) Using Vacuum Dryer). Jurnal Hortikultura. Vol.23(4):
379-389.
Aventi. 2015. Penelitian Pengukuran Kadar Air Buah. Seminar Nasional
Cendekiawan.
Brown, M. S. & Molyneux, R. J., 1996. Effects of Water and Mineral Nutrient
Deficiencies on Pyrrolizidine Alkaloid Content of Senecio vulgaris
Flowers. Journal Science Food Agriculture. Vol. 70: 209-211.
Bryant, C.M., and B.R Hamaker. 1997. Effect of lime gelatinization of corn flour
and starch. Journal Cereal Chem. Vol. 74(2): 171-175.
BSN. 1996. Standar Nasional Indonesia SNI 01-2974-1996 Syarat Mutu Mie
Kering. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Buckle, K.A., R.A. Edwards dan G.H. Fleet. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Deshmukh, Vibha Verma., Neeraj Chandraker, R. S. Thakur and A. K. Chandrakar.
2015. Analysis of Moisture Content of Pulses Pellets Using Fluidized Bed
Dryer. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. Vol.7(6):447-
451
Hafiludin. 2011. Karakteristik Proksimat Dan Kandungan Senyawa Kimia Daging
Putih Dan Daging Merah Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis). Jurnal
Kelautan Vol.4(1): 1-10.
Irsalina, Rizki., Shanti Dwita Lestari., dan Herpandi. 2016. Karakteristik Fisiko-
Kimia dan Sensori Mie Kering dengan Penambahan Tepung Ikan Motan
(Thinnichthys thynnoides). Jurnal Teknologi Perikanan. Vol.5(1): 32-42.
Kurniasari, Eliya., Sri Waluyo., dan Cicih Sugianti. 2015. Mempelajari Laju
Pengeringan Dan Sifat Fisik Mie Kering Berbahan Campuran Tepung
Terigu Dan Tepung Tapioka. Jurnal Teknik Pertanian Lampung. Vol.
4(1): 1- 8.
Legowo, Anang W., Nurwantoro, dan Sutaryo. 2007. Buku Ajar Analisis Pangan.
Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Diponegoro. Semarang.
Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium: Evaluasi Nilai Gizi Pangan. IPB:
Bogor.
Nielsen, S. S., 2009. Food Analysis. Fourth ed. West Lafayette: Springer.
Nollet, Leo M. L. 2004. Handbook of Food Analysis: Physical characterization and
nutrient analysis, volume 1. Marcel Dekker: New York.
Nollet, Leo M. L. 2015. Handbook of Food Analysis: Physical characterization and
nutrient analysis. Marcel Dekker: New York.
Nugraha, Endang. 1997. Modifikasi Faktor Suhu Dan Waktu Pada Metoda
Penetapan Kadar Abu. Lokakarya Fungsional Non Peneliti.
Rachmania, Rizky Arcinthya., Fatimah Nisma., Elok Mayangsari. 2013. Ekstraksi
Gelatin Dari Tulang Ikan Tenggiri Melalui Proses Hidrolisis
Menggunakan Larutan Basa. Media Farmasi.Vol 10(2): 18-28.
Sasongko, Endar Budi., Endang Widyastuti., dan Rawuh Edy Priyono. 2014. Kajian
Kualitas Air Dan Penggunaansumur Gali Oleh Masyarakatdisekitar
Sungai Kaliyasa Kabupaten Cilacap. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol.12(2):
72-82.
Sudarmadji, Slamet; Bambang Haryono dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Sudarmadji, Slamet; Bambang Haryono dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Sudarmadji, Slamet; Bambang Haryono dan Suhardi. 2010. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Suyitno. 2009. Perumusan Laju Reaksi dan Sifat-Sifat Pirolisis Lambat Sekam Padi
Menggunakan Metode Analisis Termogravimetri. Jurnal Teknik Mesin.
Vol.11(1):12-18.
Winarno, FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, FG. 2000. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Winarno, FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Zahro, 2013. Analisis Mutu Pangan dan Hasil Pertanian. Universitas Jember. Jawa
Timur.
LAMPIRAN

A. Perhitungan
1. Penetuan Kadar Air Dengan Metode Thermogravimetri
a. Berat sampel kering = (berat krus+sampel setelah oven) – berat krus
= 22,1111 – 20,2784
= 1,8327 gr
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
b. Kadar air (%wb) = 𝑥 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
2,0047−1,8327
= 𝑥 100%
2,0047
= 8,5798%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
c. Kadar berat kering (%) = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝑥 100%
1,8327
= 2,0047 𝑥 100%
= 91,4202 %
2. Penentuan Kadar Abu Secara Kering
(𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑟𝑢𝑠+ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙)−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑟𝑢𝑠
a. Kadar abu (%wb) = 𝑥 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
20,3467−20,2784
= 𝑥 100%
2,0047
= 3,4070 %
100
b. Kadar abu (%db) = kadar abu (%wb) x 100−𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (%𝑤𝑏)
100
= 3,4070 x 100−8,5798
= 3,7267 %
B. Dokumentasi

Gambar 1.3 Penimbangan Krus Gambar 1.4 Penimbangan Sampel

Gambar 1.5 Pengovenan Gambar 1.6 Hasil Pengabuan

Anda mungkin juga menyukai