Anda di halaman 1dari 9

Deselularisasi Cartilage Scaffold

Dengan terus tumbuh dan berkembangnya teknik rekayasa jaringan dan

kedokteran regeneratif, pencarian untuk rangka bangun scaffold akan terus

dilakukan. Perjalanan pencarian ini sudah berlangsung untuk mencari bahan-

bahan dan teknik fabrikasi baru selama dekade terakhir. Para peneliti mencari

bahan untuk fabrikasi scaffold dengan integritas mekanik, porositas,

biocompatible, dan biodegradable. Kelemahan biomaterial yang banyak

ditemukan adalah ketidakmampuan bahan untuk meniru matriks ekstraselular

(ECM) bila dibandingkan dengan jaringan asli.(33) Perkembangan akhir-akhir ini

memberikan pertanyaan kepada setiap peneliti, "Apakah kita melihat terlalu jauh

mencari biomaterial sintetik ideal dan melewatkan rangka bangun yang

sebenarnya dibutuhkan untuk scaffold dalam rekayasa jaringan?" Pemanfaatan

bahan alami dalam tubuh manusia seperti kolagen, kondroitin sulfat, dan kalsium

fosfat telah mendapatkan perhatian besar dalam komunitas rekayasa jaringan (34).

Strategi paling umum untuk mengembangkan rekayasa jaringan adalah

melalui kombinasi faktor-faktor yang dijelaskan dalam trias rekayasa jaringan

(Gambar 2.5): scaffold, sinyal, dan sel. Perkembangan scaffold telah menarik

perhatian besar di kalangan peneliti untuk merancang biomaterial dengan sifat

yang sangat spesifik. Tujuan utama scaffold rekayasa jaringan adalah untuk

meniru kondisi lingkungan alami dari jaringan target, sehingga menghasilkan

sintesis jaringan baru. Sokolsky-Papkov et al (35) memberikan kriteria ideal

untuk konstruksi rekayasa jaringan: (a) kekuatan mekanik yang cukup, (b)

toksisitas rendah, (c) mirip dengan matriks ekstraseluler asli, (d) mendukung

adhesi dan migrasi sel, dan (e) tingkat degradasi yang kurang lebih sama dengan

1
tingkat pertumbuhan jaringan baru. Pemilihan biomaterial yang tepat sebagai

konstruksi scaffold harus mempertimbangkan perbedaan antara komponen, jenis,

dan organisasi antara sel dan matriks ekstraselular jaringan sekitar. Salah satu

keuntungan utama raw material adalah kemampuan tubuh untuk mengenali dan

melakukan metabolisme komponen scaffold dalam microenvirontment local

sehingga memperkecil resiko toksisitas atau respon inflamasi kronis yang

ditemukan dengan bahan polymer sintetis (36).

Gambar 2.2. Skema trias rekayasa jaringan menggambarkan potensi raw


material menjembatani jarak antara scaffold dengan sinyal growth factor (three
dimentional scaffold). (34)

Pada akhirnya, bahan scaffold akan mempengaruhi beberapa interaksi

pada microenvironment sekitarnya, yang sangat penting untuk keberhasilan atau

kegagalan regenerasi jaringan. Penelitian biomaterial menunjukkan bahwa

komponen sel-biomaterial dan orientasi di tingkat mikro/nano dapat

mempengaruhi kelangsungan hidup sel, diferensiasi, dan motilitas melalui

interaksi antara reseptor sel dan molekul ekstraseluler matriks (37,38). Dengan

2
menggunakan metodologi yang berfokus pada interaksi sel-scaffold, memberikan

strategi yang efektif untuk untuk menjembatani dua komponen dari trias rekayasa

jaringan yaitu scaffold dan sinyal (Gambar 2.2). Pemilihan bahan baku komponen

scaffold yang berfungsi sekaligus sebagai scaffold dan sinyal menunjukkan bahwa

keduanya tidak termodulasi sebagai komponen terpisah, melainkan sebagai faktor

terintegrasi yang berkontribusi terhadap microenvirontment scaffold.

Menggunakan bahan baku yang merupakan komponen alami dari ECM jaringan

berfungsi tidak hanya sebagai substrat untuk proliferasi sel, tetapi juga

memberikan lingkungan untuk diferensiasi (34).

Three-dimentional scaffold memiliki peranan penting dalam rekayasa

jaringan untuk mengkontrol fungsi-fungsi sel dan untuk mendorong pembentukan

jaringan dan organ baru. Scaffold memberikan bantuan inisial untuk sel yang di-

seed, melokalisasi sel pada tempat yang seharusnya, memberikan sinyal fisik dan

biologis untuk adesi, migrasi, proliferasi dan diferensiasi, dan mengumpulkan sel-

sel yang dibiakkan dan matrik-matrik yang disekresikan ke dalam jaringan dan

organ fungsional. Scaffold akan digantikan oleh matrik-matrik yang dihasilkan

sel-sel itu sendiri selama regenerasi. Oleh karenanya, scaffold harus

biocompatible, biodegradable dan memberikan sinyal yang tepat terhadap sel

yang di-seed untuk menyusun prosesnya. Sementara itu, kultur substrat two-

dimensional sel yang digunakan untuk in vitro subkultur sel somatic dan sel punca

juga penting untuk rekayasa jaringan. Substrat harus memiliki kapasitas untuk

mengembangkan sel kedalam jumlah maksimum tanpa mengubah phenotype dan

karakteristik dari sal yang berkembang. Persyaratan yang spesial inilah yang

3
mendorong perkembangan scaffold dan substrat yang memiliki fungsi yang sama

seperti pada in vivo extracellular matrix (ECM). (39)

Scaffold ECM dan mimicking-ECM dan substrat merupakan kandidat yang

ideal untuk rekayasa jaringan karena sel tubuh kita terletak atau dikelilingi oleh

ECM. Fungsi ECM tidak hanya sebagai material pendukung tetapi juga sebagai

regulator dari fungsi selular seperti kelangsungan hidup sel, proliferasi,

morfogenesis dan diferensiasi. Bahkan, ECM dapat memodulasi sinyal transdusi

yang diaktifkan oleh berbagai bioaktif molekul seperti growth factor dan sitokin.

Molekul dan jaringan ECM merubah komposisinya, strukturnya dan sifat

biomekaniknyya berdasarkan setiap specific jaringan dan organ. Komposisi dan

sifatnya juga berubah secara dinamis dan remodel selama perkembangan.

Idealnya, scaffold dan substrat yang digunakan untuk rekayasa jaringan dan kultur

sel dapat memberikan lingkungan mikro yang sama atau mirip terhadap sel yang

di-seed sebagaimana pada ECM yang ada pada in vivo. Akan tetapi, ECM alamiah

tersusun atas berbagai jenis protein dan struktur yang sangat rumit. Meskipun

banyak peneliti yang susdah mencoba mengidentifikasi protein ECM in vivo,

masih ada sejumlah protein yang belum teridentifikasi. Oleh karenanya, sulit

untuk merekonstruksi scaffold atau substrat yang memiliki komposisi yang sama

dengan ECM in vivo dengan metode fisikokimia konvensional. Tambahan dari

kesulitan meniru komposisi ECM, juga sulit untuk meniru kompleks

mikrostruktur dan arsitektur dari ECM in vivo. Karenanya, peneliti mencoba

untuk menggunakan ECM dari jaringan dan organ atau protein ECM yang

dihasilkan oleh kultur sel in vivo setelah dilakukan deselularisasi (Gambar 2.3).

(39)

4
Sejumlah besar matirks deselularisasi sudah dikembangkan darii jaringan

dan organ berbeda seperti kultur sel. Matriks deselularisasi mengandung protein

ECM spesifik jaringan atau sel dan bersisa mikrostruktur spesifik jaringan atau

sel. Matriks deselularisasi sudah banyak digunakan untuk rekayasa dari jaringan

dan organ fungsional seperti cartilage, kulit, tulang, kandung kemih, pembuluh

darah, jantung, hati, paru-paru, dan lainnya. (39)

Gambar 2.3. Matriks deselularisasi dari jaringan/organ dan sel yang


dikultur, dan keuntungannya. A. Matriks deselularisasi dari jaringan/organ.
Memiliki komposisi, mikrostruktur, dan sifat seperti ECM alamiah. Juga
menjaga bentuk asli jaringan dan organ. B. Matriks deselularisasi dari sel
yang dikultur. Mereka dapat menyerupai komposisi dari ECM alami yang
sulit untuk diisolasi dari jaringan. Permukaan biomaterial juga bisa
dimodifikasi dengan matriks deselularisasi dari sel yang dikultur.(39)

Untuk mengisi defek pada tulang rawan host maupun rekayasa jaringan,

allogenic maupun xenogenic scafffold konvesional kurang cocok dipakai karena

kontruksi yang tidak memungkinkan penetrasi sel yang dikulturkan dan antigen

selular allogenic maupun xenogenic dapat dikenali oleh sel induk sehingga

merangsang reaksi inflamasi dan penolakan dari host dan menyebabkan

5
penolakan dari jaringan yang diimplantasikan. Karena komponen ECM baik

dilestarikan antar spesies dan ditoleransi bahkan oleh resipien xenogenic, respon

host bias diminimalisasi jika komponen selular dibuang dengan sempurna.

Dengan demikian perkembangan metode deselularisasi untuk membuang

komponen selular seluruhnya penting untuk membantu mengatasi permasalahan

reaksi inflamasi dan immunologi (39). Bank jaringan RSUD Dr.Soetomo

mengembangkan suatu cartilage scaffold dari bovine yang telah dilakukan

deselularisasi (decellularized cartilage bovine scaffold). Dengan proses

deselularisasi, diharapkan komponen seluler yang dapat menimbulkan respon

imun dapat dihilangkan dan menyediakan kontruksi scaffold yang dapat

memungkinankan penetrasi dari sel yang dikulturkan (22).

Teknik Deselularisasi Cartilage Scaffold

Ketebalan dan densitas yang tinggi dari extracellular matrix cartilage

dapat menyulitkan proses deselularisasi akibat penetrasi yang tidak efisien dari

cairan deselularisasi dan dapat bertindak sebagai barrier untuk sel repopulasi

dalam matrix. Sebagai hasilnya, proses deselularisasi jaringan cartilage jauh lebih

sulit dibandingkan dengan jaringan yang mempunyai vaskularisasi, yang mana

system vascular dapat dieksploitasi untuk memasukkan cairan deselularisasi

(40,41). Saat ini, belum didapatkan metode standar untuk deselularisasi cartilage.

Banyak metode yang telah dicoba pada penelitian sebelumnya, termasuk physical

dan chemical treatments. Deselularisasi dengan metode physical termasuk freeze-

thaw cycles dan pulverization jaringan cartilage untuk meningkatkan area

permukaan untuk chemical treatments (7). Chemical treatments diantaranya

6
dengan hypotonic buffer atau detergent, seperti SDS atau Triton X-100 (41).

Freze-thaw cycling menyebabkan cyroinjuries pada sel oleh extraseluler yang

disebebkan pembentukan es extraseluler dan intraseluler serta dehidrasi (42).

Hypotonic buffer membantu dalam melisiskan sel dan detergent membantu

melarutkan membran sel dengan cara merusak interaksi lipid-lipid dan lipid-

protein dan meninggalkan interaksi protein-protein tetap intak (43). SDS

merupakan ionic detergent yang secara umum efektif dalam melarutkan nuclear

dan membran sitoplasma sel sedangkan Triton X-100 merupakan surfactant non-

ionic yang secara umum digunakan dalam deselularisasi sel karena efeknya yang

minimal pada struktur jaringan (44,45). SDS dan Triton X-100 telah dikatakan

pada literature cukup efektif untuk menyingkirkan material immunogenic sel tapi

keduanya tampaknya juga mengubah aktivitas biologis dan integritas mekanikal

jaringan ECM (46).

Banyak teknik telah diteliti untuk deselularisasi jaringan cartilage

(5,47,48), meniscus (49–51), dan cartilage trakea (52–54). Peretti et al

mengungkapkan konsep awal decellularized cartilage dengan membuang resident

chondrocytes dengan mempreparasi ovine articular cartilage dalam sediaan slices

1 mm x 3 mm x 5 mm dan dilakukan 5 siklus freeze/thawing (48). Sebagai

tambahan proses freeze/thawing, Gong et al menggunakan SDS dalam proses

deselularisasi potongan beku cartilage porcine ears dengan ketebalan 10 um dan

30 um. Lembaran cartilage tersebut menununjukkan tidak didapatkannya nucleus

sel dengan pewarnaan DAPI dan tidak didapatkannya struktur lacunar pada SEM

(5). SDS telah menunjukkan cukup berhasil dalam proses deselularisasi jaringan

cartilage, meskipun durasi pemberian dapat mengubah karakteristik biomekanik

7
dari ECM. Elder et al membandingkan karakteristik biomekanik articular

cartilage yang diisolasi dari distal femur bovine 2 jam, 4 jam, atau 8 jam setelah

pemberian SDS 2 %. Mereka menemukan dengan meningkatnya durasi

pemberian, didapatkan penurunan ketebalan decellularized tissue dan hilangnya

pewarnaan Glikosaminoglikan (GAG) setelah 4 jam dan 8 jam. Dengan durasi

SDS yang lebih lama, didapatkan eliminasi semua nucleus setelah 4 jam

berdasarkan pewarnaan H&E dan penurunan DNA yang signifikan pada 8 jam.

Pewarnaan kolagen dengan pewarnaan picrosirius red dan pengukuran total

kolagen menunjukkan tidak ada perbedaan pada 2 jam, 4 jam, 8 jam dibandingkan

dengan kelompok kontrol (tanpa perlakuan). Secara biomekanik, tidak didapatkan

perbedaan yang signifikan dalam hal Poisson’s ratio diantara semua kelompok.

Seperti yang telah ditentukan oleh creep indentstion testing, aggregate

compressive modulus, sama pada kelompok tanpa perlakuan dan kelompok

dengan pemberian SDS selama 2 jam, namun menurun secara signifikan pada

kelompok dengan pemberian SDS 4 jam dan 8 jam (47). Menurunnya aggregate

modulus berkorelasi dengan temuan biokimia, yang menunjukkan menurunnya

GAG. Ketika konstruksi yang sama diuji dengan tensile loading, tensile Young’s

modulus pada kelompok pemberian SDS 2 % 2 jam, 4 jam, dan 8 jam tetap sama

seperti kelompok tanpa perlakuan (47). Penelitian ini menunjukkan lamanya

waktu inkubasi dengan SDS meningkatkan hilangnya komponen sel dan

hilangnya protein ECM yang dapat mengakibatkan perubahan karakteristik

biomekanik. Sama halnya pada meniscus, Stapleton et al mengadopsi protokol

deselularisasi yang awalnya digunakan pada pembuatan acellular cardiac valves

(55). Ovine menisci dilakukan 3 siklus freeze/thaw, diinkubasi dalam hypotonic

8
tris buffer untuk melisiskan sel, diberikan dengan SDS 0,1 % dengan protease

inhibitor dan 0,1 % EDTA, dibilas dalam buffer yang berisi RNase dan DNase,

dan dibilas lagi dengan hypertonic buffer dan PBS untuk menghilangkan remnant

sel. Dengan menggunakan metode ini, pewarnaan H&E menunjukkan hilangnya

sel dan retensi dari kolagen tipe I, II, dan III dengan IHC. Namun, didapatkan

kehilangan yang signifikan pada GAG dilihat dengan pewarnaan Alcian blue,

sama seperti pada penelitian Elder et al. Tensile testing menunjukkan tidak ada

perbedaan yang signifikan antara kelompok meniscus tanpa perlakuan dan

decellularized meniscal tissue, tapi compressive properties tidak dievaluasi (51).

Anda mungkin juga menyukai