bahan dan teknik fabrikasi baru selama dekade terakhir. Para peneliti mencari
memberikan pertanyaan kepada setiap peneliti, "Apakah kita melihat terlalu jauh
bahan alami dalam tubuh manusia seperti kolagen, kondroitin sulfat, dan kalsium
fosfat telah mendapatkan perhatian besar dalam komunitas rekayasa jaringan (34).
(Gambar 2.5): scaffold, sinyal, dan sel. Perkembangan scaffold telah menarik
yang sangat spesifik. Tujuan utama scaffold rekayasa jaringan adalah untuk
untuk konstruksi rekayasa jaringan: (a) kekuatan mekanik yang cukup, (b)
toksisitas rendah, (c) mirip dengan matriks ekstraseluler asli, (d) mendukung
adhesi dan migrasi sel, dan (e) tingkat degradasi yang kurang lebih sama dengan
1
tingkat pertumbuhan jaringan baru. Pemilihan biomaterial yang tepat sebagai
dan organisasi antara sel dan matriks ekstraselular jaringan sekitar. Salah satu
keuntungan utama raw material adalah kemampuan tubuh untuk mengenali dan
interaksi antara reseptor sel dan molekul ekstraseluler matriks (37,38). Dengan
2
menggunakan metodologi yang berfokus pada interaksi sel-scaffold, memberikan
strategi yang efektif untuk untuk menjembatani dua komponen dari trias rekayasa
jaringan yaitu scaffold dan sinyal (Gambar 2.2). Pemilihan bahan baku komponen
scaffold yang berfungsi sekaligus sebagai scaffold dan sinyal menunjukkan bahwa
Menggunakan bahan baku yang merupakan komponen alami dari ECM jaringan
berfungsi tidak hanya sebagai substrat untuk proliferasi sel, tetapi juga
jaringan dan organ baru. Scaffold memberikan bantuan inisial untuk sel yang di-
seed, melokalisasi sel pada tempat yang seharusnya, memberikan sinyal fisik dan
biologis untuk adesi, migrasi, proliferasi dan diferensiasi, dan mengumpulkan sel-
sel yang dibiakkan dan matrik-matrik yang disekresikan ke dalam jaringan dan
yang di-seed untuk menyusun prosesnya. Sementara itu, kultur substrat two-
dimensional sel yang digunakan untuk in vitro subkultur sel somatic dan sel punca
juga penting untuk rekayasa jaringan. Substrat harus memiliki kapasitas untuk
karakteristik dari sal yang berkembang. Persyaratan yang spesial inilah yang
3
mendorong perkembangan scaffold dan substrat yang memiliki fungsi yang sama
ideal untuk rekayasa jaringan karena sel tubuh kita terletak atau dikelilingi oleh
ECM. Fungsi ECM tidak hanya sebagai material pendukung tetapi juga sebagai
yang diaktifkan oleh berbagai bioaktif molekul seperti growth factor dan sitokin.
Idealnya, scaffold dan substrat yang digunakan untuk rekayasa jaringan dan kultur
sel dapat memberikan lingkungan mikro yang sama atau mirip terhadap sel yang
di-seed sebagaimana pada ECM yang ada pada in vivo. Akan tetapi, ECM alamiah
tersusun atas berbagai jenis protein dan struktur yang sangat rumit. Meskipun
masih ada sejumlah protein yang belum teridentifikasi. Oleh karenanya, sulit
untuk merekonstruksi scaffold atau substrat yang memiliki komposisi yang sama
untuk menggunakan ECM dari jaringan dan organ atau protein ECM yang
dihasilkan oleh kultur sel in vivo setelah dilakukan deselularisasi (Gambar 2.3).
(39)
4
Sejumlah besar matirks deselularisasi sudah dikembangkan darii jaringan
dan organ berbeda seperti kultur sel. Matriks deselularisasi mengandung protein
ECM spesifik jaringan atau sel dan bersisa mikrostruktur spesifik jaringan atau
sel. Matriks deselularisasi sudah banyak digunakan untuk rekayasa dari jaringan
dan organ fungsional seperti cartilage, kulit, tulang, kandung kemih, pembuluh
Untuk mengisi defek pada tulang rawan host maupun rekayasa jaringan,
kontruksi yang tidak memungkinkan penetrasi sel yang dikulturkan dan antigen
selular allogenic maupun xenogenic dapat dikenali oleh sel induk sehingga
5
penolakan dari jaringan yang diimplantasikan. Karena komponen ECM baik
dilestarikan antar spesies dan ditoleransi bahkan oleh resipien xenogenic, respon
dapat menyulitkan proses deselularisasi akibat penetrasi yang tidak efisien dari
cairan deselularisasi dan dapat bertindak sebagai barrier untuk sel repopulasi
dalam matrix. Sebagai hasilnya, proses deselularisasi jaringan cartilage jauh lebih
(40,41). Saat ini, belum didapatkan metode standar untuk deselularisasi cartilage.
Banyak metode yang telah dicoba pada penelitian sebelumnya, termasuk physical
6
dengan hypotonic buffer atau detergent, seperti SDS atau Triton X-100 (41).
melarutkan membran sel dengan cara merusak interaksi lipid-lipid dan lipid-
merupakan ionic detergent yang secara umum efektif dalam melarutkan nuclear
dan membran sitoplasma sel sedangkan Triton X-100 merupakan surfactant non-
ionic yang secara umum digunakan dalam deselularisasi sel karena efeknya yang
minimal pada struktur jaringan (44,45). SDS dan Triton X-100 telah dikatakan
pada literature cukup efektif untuk menyingkirkan material immunogenic sel tapi
sel dengan pewarnaan DAPI dan tidak didapatkannya struktur lacunar pada SEM
(5). SDS telah menunjukkan cukup berhasil dalam proses deselularisasi jaringan
7
dari ECM. Elder et al membandingkan karakteristik biomekanik articular
cartilage yang diisolasi dari distal femur bovine 2 jam, 4 jam, atau 8 jam setelah
SDS yang lebih lama, didapatkan eliminasi semua nucleus setelah 4 jam
berdasarkan pewarnaan H&E dan penurunan DNA yang signifikan pada 8 jam.
kolagen menunjukkan tidak ada perbedaan pada 2 jam, 4 jam, 8 jam dibandingkan
perbedaan yang signifikan dalam hal Poisson’s ratio diantara semua kelompok.
dengan pemberian SDS selama 2 jam, namun menurun secara signifikan pada
kelompok dengan pemberian SDS 4 jam dan 8 jam (47). Menurunnya aggregate
GAG. Ketika konstruksi yang sama diuji dengan tensile loading, tensile Young’s
modulus pada kelompok pemberian SDS 2 % 2 jam, 4 jam, dan 8 jam tetap sama
8
tris buffer untuk melisiskan sel, diberikan dengan SDS 0,1 % dengan protease
inhibitor dan 0,1 % EDTA, dibilas dalam buffer yang berisi RNase dan DNase,
dan dibilas lagi dengan hypertonic buffer dan PBS untuk menghilangkan remnant
sel dan retensi dari kolagen tipe I, II, dan III dengan IHC. Namun, didapatkan
kehilangan yang signifikan pada GAG dilihat dengan pewarnaan Alcian blue,
sama seperti pada penelitian Elder et al. Tensile testing menunjukkan tidak ada