Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. Dimulai oleh


dunia usaha yang lebih dulu menyadari pentingnya perubahan bagi peningkatan
kualitas produksi yang dihasilkan, sampai ke administrasi pemerintahan. Berbagai
upaya dan pendekatan telah dilakukan untuk memecahkan masalah yang timbul
akibat adanya perubahan.

Perubahan memang selalu terjadi dan pasti akan selalu terjadi, pimpinan
organisasi baik organisasi pemerintah maupun non-pemerintah disamping harus
memiliki kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi diluar organisasi
yang dipimpinnya dan mampu memperhitungkan dan mengakomodasikan
dampak dari perubahan-perubahan yang terjadi itu, mutlak perlu pula untuk
mempunyai keterampilan dan keberanian untuk melakukan perubahan didalam
organisasi demi peningkatan kemampuan organisasional untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.

Dilain pihak tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau
begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Hal ini dapat menyebabkan konflik antar
kelompok pada suatu organisasi. Konflik dapat menjadi masalah yang serius
dalam setiap organisasi, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa
penyelesaian. Konflik dalam organisasi sering dilihat sebagai sesuatu yang
negatif. Akan tetapi tidak semua konflik merugikan, asalkan konflik tersebut
ditata dengan baik maka dapat menguntungkan organisasi.

Manajemen konflik adalah proses mengidentifikasi dan menangani konflik


secara bijaksana, adil, dan efisien dengan tiga bentuk metode pengelolaan konflik
yaitu stimulasi konflik, Pengurangan/penekanan konflik dan penyelesaian konflik.
Pengelolaan konflik membutuhkan keterampilan seperti berkomunikasi yang
efektif, pemecahan masalah, dan bernegosiasi dengan fokus pada kepentingan

1
organisasi. Konfik sebenarnya bisa baik (fungsional) yang dapat mendorong
meningkatkan produktivitas apabila konflik tersebut dapat dikelola dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian, manfaat dan tujuan dari manajemen perubahan?

2. Apa saja tipe-tipe, tahap-tahap dan pelaku dalam manajemen


perubahan?

3. Apa saja tantangan dan cara mengatasinya dalam manajemen


perubahan?

4. Apa pengertian manajemen konflik?

5. Apa ciri-ciri dan macam-macam konflik?

6. Apa saja tingkatan dan penyebab terjadinya konflik?

7. Apa saja dampak dan konsekuensi terjadinya konflik?

8. Bagaimana cara mengatasi dan teknik penyelesaian konflik antar


kelompok?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian, manfaat dan tujuan dari manajemen


perubahan?

2. Untuk mengetahui tipe-tipe, tahap-tahap dan pelaku dalam manajemen


perubahan?

3. Untuk mengetahui tantangan dan cara mengatasinya dalam manajemen


perubahan?

2
4. Untuk mengetahui pengertian manajemen konflik?

5. Untuk mengetahui ciri-ciri dan macam-macam konflik?

6. Untuk mengetahui tingkatan dan penyebab terjadinya konflik?

7. Untuk mengetahui dampak dan konsekuensi terjadinya konflik?

8. Untuk mengetahui cara mengatasi dan teknik penyelesaian konflik antar


kelompok?

1.4 Manfaat Penulisan

Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat kepada


semua pihak. Khususnya kepada mahasiswa Universitas Borneo Tarakan untuk
menambah wawasan dan dapat dijadiakn referensi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Manajemen Perubahan

A. Pengertian Manajemen Perubahan

Manajemen Perubahan adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola


akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan dalam organisasi.
Perubahan dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal dari dalam maupun dari
luar organisasi tersebut

Menurut Wibowo, dalam bukunya Manajemen Perubahan,


Manajemen perubahan adalah suatu proses secara sistematis dalam
menerapkan pengetahuan, sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk
mempengaruhi perubahan pada orang yang akan
terkena dampak dari proses tersebut.

Menurut Prof. Dr. J. Winardi, manajemen perubahan adalah upaya


yang ditempuh manajer untuk memanajemen perubahan secara
efektif, dimana diperlukan pemahaman tentang persoalan motivasi,
kepemimpinan, kelompok, konflik, dan komunikasi.

B. Tujuan dan Manfaat Manajemen Perubahan


Perubahan mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup suatu organisasi,
tanpa adanya perubahan maka dapat dipastikan bahwa usia organisasi tidak akan
bertahan lama. Perubahan bertujuan agar organisasi tidak menjadi statis
melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan jaman dan kemajuan
teknologi.

4
C. Tipe-Tipe Perubahan

Perubahan terdiri dari 3 tipe yang berbeda, dimana setiap tipe memerlukan
strategi manajemen perubahan yang berbeda pula. Tiga macam perubahan
tersebut adalah:
(1) Perubahan Rutin, dimana telah direncanakan dan dibangun melalui proses
organisasi;
(2) Perubahan Peningkatan, organisasi harus selalu meningkatkan manfaat atau
nilai yang dicapai, sehingga kedepan bisa lebih memberi nampak bagi
masyarakat luas.
(3) Perubahan Inovatif, yang mencakup cara bagaimana organisasi memberikan
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Perubahan ini membutuhkan
ide/gagasan baru yang bisa diaplikasikan untuk masyarakat, ini erat kaitannya
dengan perubahan peningkatan dalam organisasi.

Tidak ada satupun pendekatan yang sesuai untuk Manajemen Perubahan.


Metoda-metoda yang digunakan untuk komunikasi, kepemimpinan, dan
koordinasi kegiatan harus disesuaikan dalam menemukan kebutuhan masing-
masing situasi perubahan.
Beberapa pertanyaan yang perlu ditanyakan untuk mengakses jenis-jenis
perubahan yang ditemukan dalam organisasi adalah:

1. Apakah perubahan itu berarti terjadi pergerakan dari rutinitas ke lainnya ?


Jika jawabannya “ya”, berarti terjadi perubahan rutinitas

2. Apakah perubahan mempertinggi intensitas kegiatan yang ada ?


Jika jawabannya “ya”, berarti terjadi peningkatan perubahan

3. Apakah perubahan tersebut memerlukan pemikiran ulang dari prosedur-


prosedur organisasi saat ini ?
Jika jawabannya “ya”, berarti terjadi sebuah perubahan inovatif

5
D. Pelaku dalam manajemen perubahan
Setidak-tidaknya ada tiga pelaku perubahan yang bisa berperan dalam
setiap proses perubahan, diantaranya adalah:

1. Para pelaku perubahan dengan kekuasaan resmi (legitimacy of change)


adalah mereka yang memiliki kekuasaan yang diakui secara formal dan
dianggap sah.

2. Para pendorong dan penganjur timbulnya perubahan (instigators of


change) adalah mereka yang memandang perlunya perubahan karena telah
membandingkan dan melihat sesuatu yang baik di tempat lain, seperti
mereka yang baru kembali dari studi banding.

3. Para fasilitator perubahan (facilitator of change) adalah mereka yang


memiliki kewibawaan dan diakui serta dikenal sebagai pemimpin informal
yang memudahkan serta melicinkan proses timbulnya perubahan.

Para pelaku perubahan tersebut diatas memiliki karakteristik dan ciri-ciri sebagai
berikut :

1. Memiliki pemikiran dan ide inovatif, bersemangat dan berani.

2. Selalu mencari hal-hal baru yang menantang dengan


mempertimbangkan resiko yang tidak terlalu tinggi.

3. Ingin selalu melihat organisasi, masyarakat atau institusinya


berkembang maju dan memilii loyalitas yang tinggi serta komitmen yang
kuat

4. Pandai berorganisasi, cerdik dalam berpolitik, mengerti sistem


kekuasaan serta batas-batas perubahan yang ingin dilakukan tetapi tidak
terkalahkan oleh rintangan dan keterbatasan yang ada.

5. Dapat menjadi anggota dan pemain tim yang efektif serta gampang dan
senang berkawan.

6
E. Macam-macam Perubahan :

Perubahan tidak berencana :

 Perubahan karena perkembangan ( Developmental Change)


 Perubahan secara tiba-tiba (Accidental Change)

Perubahan berencana :

 Perubahan yangg disengaja/ bahkan direkayasa oleh pihak manajemen


 Penerapan pengetahuan tentang manusia secara sistematis dan tepat
dengan maksud melakukan tindakan yg berarti (Bennis, Benne dan
Chin).

 Usaha untuk mengumpulkan, menggunakan data dan informasi guna


memecahkan persoalan sosial (Kurt Lewin).

 Perubahan yg dilakukan secara sengaja, lebih banyak dilakukan atas


kemauan sendiri, sehingga proses perubahan itu lebih banyak
diusahakan oleh sistem itu sendiri.

F. Tahap-Tahap Manajemen Perubahan

Suatu perubahan terjadi melalui tahap-tahapnya. Pertama-tama adanya


dorongan dari dalam (dorongan internal), kemudian ada dorongan dari luar
(dorongan eksternal). Untuk manajemen perubahan perlu diketahui adanya
tahapan perubahan. Tahap-tahap manajemen perubahan ada empat, yaitu:

Tahap 1, yang merupakan tahap identifikasi perubahan, diharapkan seseorang


dapat mengenal perubahan apa yang akan dilakukan /terjadi. Dalam tahap ini
seseorang atau kelompok dapat mengenal kebutuhan perubahan dan
mengidentifikasi tipe perubahan.

7
Tahap 2, adalah tahap perencanaan perubahan. Pada tahap ini harus dianalisis
mengenai diagnostik situasional tehnik, pemilihan strategi umum, dan pemilihan.
Dalam proses ini perlu dipertimbangkan adanya factor pendukung sehingga
perubahan dapat terjadi dengan baik.

Tahap 3, merupakan tahap implementasi perubahan dimana terjadi proses


pencairan, perubahan dan pembekuan yang diharapkan. Apabila suatu perubahan
sedang terjadi kemungkinan timbul masalah. Untuk itu perlu dilakukan
monitoring perubahan.

Tahap 4, adalah tahap evaluasi dan umpan balik. Untuk melakukan evaluaasi
diperlukan data, oleh karena itu dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data dan
evaluasi data tersebut. Hasil evaluasi ini dapat di umpan balik kepada tahap 1
sehingga memberi dampak pada perubahan yang diinginkan berikutnya.

Suatu perubahan melibatkan perasaan, aksi, perilaku, sikap, nilai-nilai dari


orang yang terlibat dan tipe gaya manajemen yang dibutuhkan. Jika perubahan
melibatkan sebagian besar terhadap perilaku dan sikap mereka, maka akan lebih
sulit untuk merubahnya dan membutuhkan waktu yang lama. Jika pimpinan
manajemen perubahan mengetahui emosi normal yang dicapai, ini akan lebih
mudah untuk memahami dan menghandel emosi secara benar.

G. Tantangan dalam Manajemen Perubahan

Tantangan dari perubahan adalah akan banyak masalah yang bisa terjadi
ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol
adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam
manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas
perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut
maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk
yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya
mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa
juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi

8
berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi
meningkat, dan lain sebagainya.

Untuk keperluan analitis, dapat dikategorikan sumber penolakan atas


perubahan, yaitu penolakan yang dilakukan oleh individual dan yang dilakukan
oleh kelompok atau organisasional.

a. Penolakan individual

Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan, maka individu


punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan. Penolakan individual
dapat terjadi karena hal-hal dibawah ini :

1. Kebiasaan. Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara
berulang-ulang sepanjang hidup kita. Kita lakukan itu, karena kita merasa
nyaman, menyenangkan. Bangun pukul 5 pagi, ke kantor pukul 7, bekerja, dan
pulang pukul 4 sore. Istirahat, nonton TV, dan tidur pukul 10 malam. Begitu terus
kita lakukan sehingga terbentuk satu pola kehidupan sehari-hari. Jika perubahan
berpengaruh besar terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri,
yaitu penolakan.

2. Rasa aman. Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita
memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak
perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal
memunculkan rasa tidak aman bagi para pegawai.

3. Faktor ekonomi. Faktor lain sebagai sumber penolakan atas perubahan adalah
soal menurun-nya pendapatan. Pegawai menolak konsep 5 hari kerja karena akan
kehilangan upah lembur.

4. Takut akan sesuatu yang tidak diketahui. Sebagian besar perubahan tidak
mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu muncul ketidak pastian dan
keraguraguan. Kalau kondisi sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah

9
perubahan belum pasti, maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan
menolak perubahan.

5. Persepsi. Persepsi cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara


pandang ini mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana
banyak ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini
bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif.

b. Penolakan Organisasional

Organisasi, pada hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka


menolak perubahan. Misalnya saja, organisasi pendidikan yang mengenal-kan
doktrin keterbukaan dalam menghadapi tantangan ternyata merupakan lembaga
yang paling sulit berubah. Sistem pendidikan yang sekarang berjalan di sekolah-
sekolah hampir dipastikan relatif sama dengan apa yang terjadi dua puluh lima
tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Begitu pula sebagian besar organisasi bisnis.
Terdapat enam sumber penolakan atas perubahan yaitu:

1. Inersia struktural. Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap


dengan tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya
menghasil- kan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan
stabilitas terganggu.

2. Fokus perubahan berdampak luas. Perubahan dalam organisasi tidak mungkin


terjadi hanya difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu
sistem. Jika satu bagian dubah maka bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika
manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi baru tanpa mengubah
struktur organisasinya, maka perubahan sulit berjalan lancar.

3. Inersia kelompok kerja. Walau ketika individu mau mengubah perilakunya,


norma kelompok punya potensi untuk menghalanginya. Sebagai anggota serikat
pekerja, walau sebagai pribadi kita setuju atas suatu perubahan, namun jika

10
perubahan itu tidak sesuai dengan norma serikat kerja, maka dukungan individual
menjadi lemah.

4. Ancaman terhadap keahlian. Perubahan dalam pola organisasional bisa


mengancam keakhlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer
untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru gambar.

5. Ancaman terhadap hubungan kekuasaan yang telah mapan. Mengintroduksi


sistem pengambilan keputusan partisipatif seringkali bisa dipandang sebagai
ancaman kewenangan para penyelia dan manajer tingkat menengah.

6. Ancaman terhadap alokasi sumberdaya. Kelompok-kelompok dalam organisasi


yang mengendalikan sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat
perubahan organisasi sebagai ancaman bagi mereka. Apakah perubahan akan
mengurangi anggaran atau pegawai kelompok kerjanya.

H. Mengatasi Penolakan atas Perubahan

Dalam Mengatasi Penolakan Atas Perubahan, Coch dan French Jr.


mengusulkan ada enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi resistensi
perubahan yaitu sebagai berikut:
1) Pendidikan dan Komunikasi. Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar
belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak.
Komunikasikan dalam berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan,
presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya.
2) Partisipasi. Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan
hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi
yang mengambil keputusan
3) Memberikan kemudahan dan dukungan. Jika pegawai takut atau cemas,
lakukan konsultasi atau bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang
memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat penolakan.
4) Negosiasi. Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi
dengan pihak-pihak yang menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika

11
yang menentang mempunyai kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan
serikat pekerja. Tawarkan alternatif yang bisa memenuhi keinginan mereka
5) Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang
sesungguhnya. Misalnya memlintir (twisting) fakta agar tampak lebih
menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain
sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting
kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan.
6) Paksaan. Taktik terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan
hukuman bagi siapapun yang menentang dilakukannya perubahan.

Pendekatan dalam manajemen perubahan organisasi dengan pendekatan


klasik yang dikemukaan oleh kurt lewin mencakup tiga langkah. pertama:
unfreezing the status quo, lalu movement to the new state, dan ketiga refreezing
the new change to make it pemanent Selama proses perubahan terjadi terdapat
kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak .
Melalui strategi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung
akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit.

a) Unfreezing : Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok


penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang
sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang merasa kurang
nyaman.
b) Movement : Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan.
Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk
mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.
c) Refreezing : Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui
aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara pengelolaan organisasi yang
baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang,
sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.

12
2.2 Manajemen Konflik
A. Pengertian Manajemen Konflik
Konflik adalah perbedaan pendapat antara dua / lebih banyak anggota
organisasi atau kelompok, karena harus membagi sumber daya yang langka, atau
aktivitas kerja dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, penelitian, atau
pandangan yang berbeda.
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan
atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain,
sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi
terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik
yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain.
Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat
tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja
(Wijono,1993, p.4)
Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn
(1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) suatu
situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu
permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan
timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.

B. Ciri-ciri Konflik

Menurut Wijono (1993 : 37) ciri-ciri konflik adalah :

1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang


terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.

2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun
kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya
nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.

13
3. Munculnya interaksi yang sering kali ditandai dengan gejala-gejala perilaku
yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap
pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti : status, jabatan, tanggung
jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik seperti: sandang pangan,
materi, dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu.

4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan


yang berlarut-larut.

5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang


terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan,
kekuasaan, harga diri, dan sebagainya.

C. Macam-Macam Konflik

Di lihat dari fungsi, Robins membagi konflik menjadi 2 macam, yaitu :

1. Konflik fungisonal adalah pertentangan antara kelompok yang mempertinggi


atau yang menguntungkan prestasi organisasi. Sebagai contoh, dua departemen
rumah sakit berselisih tentang metode yang paling efisien dalam memberikan
perawatan kesehatan kepada keluarga – keluarga yang berpendapatan rendah di
pedesaan, kedua departemen tersebut sepakat tentang tujuannya, tetapi tidak
sepakat mengenai cara mencapai tujuan tersebut. Apapun hasilnya, keluarga
yang berpendapatan rendah di daerah pedesaan tersebut mungkin akhirnya
mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang lebih baik ketika konflik tersebut
dapat dipecahkan. Tanpa jenis konflik ini dalam organisasi, akan terdapat
sedikit komitmen untuk perubahan dan sebagian kelompok mungkin akan
mengalami kemandekan. Jadi, konflik fungsional dapat dianggap sebagai suatu
jenis “ketegangan yang sukses”.
2. Konflik disfungsional adalah setiap pertentangan atau interaksi antara
kelompok yang mengganggu organisasi atau merintangi upaya pencapaian
tujuan organisasi. Konflik yang bermanfaat dapat berubah menjadi konflik

14
yang merugikan. Dalam kasusnya, titik dimana konflik fungsional menjadi
disfungsional tidak mungkin diketahui dengan pasti. Tekanan dan konflik
setara yang menciptakan gerakan sehat dan positif mengarah pada tujuan di
suatu kelompok dapat menimbulkan kehancuran yang parah dan tidak berguna
bagi kelompok lain (atau pada waktu yang berbeda di kelompok lain).
Toleransi kelompok akan tekanan dan konflik dapat juga tergantung pada jenis
organisasi yang dibantunya.

D. Tingkatan Konflik
1. Konflik Intrapersonal, yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri
seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu harus
memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang
mana yang harus dipilih untuk dilakukan.

2. Konflik Interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar individu. Konflik


yang terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan
tujuan dimana hasil bersama sangat menentuan.

3. Konflik Intragrup, yaitu konflik antara angota dalam satu kelompok.


Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik
substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda,
ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda
atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tangapan
emosional terhadap suatu situasi tertentu.

4. Konflik Intergrup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik


intergrup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi,
perbedaan tujuan, da meningkatkatnya tuntutan akan keahlian.

5. Konflik Interorganisasi, yang terjadi antar organisasi. Konflik inter


organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu
sama lain, konflik terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang

15
menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik
yang terjadi antara lembaga pendidikan dengan salah satu organisasi
masyarakat.

6. Konflik Intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagian dalam


suatu organisasi, meliputi:

 Konflik Vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak
sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya
konflik antara Rektor dengan tenaga kependidikan;

 Konflik Horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen yang


memiliki hierarkhi yang sama dalam organisasi Misalnya antara tenaga
kependidikan;

 Konflik Lini-Staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi


tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh
manajer lini. Misalnya konflik antara Rektor dengan tenaga administrasi.

 Konflik Peran, yang terjadi karena seserang memiliki lebih dari satu peran.
Misalnya Rektor menjabat sebagai ketua dewan pendidikan;

E. Penyebab Terjadinya Konflik

Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi
tinggi karena alternatif yang bersifat integrative dinilai sulit didapat. Ketika
konflik semacam ini terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri
atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap.
Aspirasi dapat mengakibatkan konflik karena salah satu dari dua alasan,
yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu
mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya

16
bahwa berhak memeiliki objek tersebut. Pertimbangan pertama bersifat realistis,
sedangkan pertimbangan kedua bersifat idealis.
1. Faktor Manusia: Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya
kepemimpinannya, Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan
secara kaku, dan timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain
sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.

2. Faktor Organisasi

 Persaingan dalam menggunakan sumberdaya. Apabila sumberdaya baik


berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka
dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi
terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.

 Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi. Tiap-tiap unit dalam


organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya.
Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut.
Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan
tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi
menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan
perusahaan.

 Interdependensi Tugas. Konflik terjadi karena adanya saling


ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari
kelompok lainnya.

 Perbedaan Nilai dan Persepsi. Suatu kelompok tertentu mempunyai


persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak
“adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka
mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para
manajer senior mendapat tugas yang ringan dan sederhana.

17
 Kekaburan Yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak
jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.

 Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen


mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan
unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam
posisinya dalam status hirarki organisasi.

 Hambatan Komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan,


pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan
konflik antar unit/ departemen.

F. Dampak Konflik Terhadap Kelompok

Dampak konflik terhadap kelompok dibagi menjadi 2 yaitu konflik yang


berdampak positif dan juga konflik berdampak negatif yang rinciannya adalah
sebagai berikut :

1. Dampak Positif Konflik

Menurut Wijono (1993 : 3), bila upaya penanganan dan pengelolaan


konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan
muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya
manusia potensial dengan berbagai akibat sebagai berikut :

a. Meningkatkan ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja.


Contohnya adalah seperti tidak ada karyawan yang absen tanpa alas an yang jelas,
masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, sedangkan pada saat jam kerja
karyawan menggunakan waktunya secara efektif, dan akhirnya hasil kerja
meningkatkan baik kuantitas maupun kualitas kerjanya.

18
b. Meningkatkan hubungan kerja sama yang produkif. Hal ini terlihat dari cara
pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-
masing.

c. Meningkatkan motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar


pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi. Seperti terlihat dalam upaya
peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran, inisiatif
dan kreativitas.

d. Semakin berkurannya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress


bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan
memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam
keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi
dirinya secara optimal.

e. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan


potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan
konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini
bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat
akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.

2. Dampak Negatif Konflik

Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan


oleh kurangefektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk
membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya
muncul keadaan-keadaan sebagai berikut :

a. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada


waktu jam-jam kerja berlangsung. Contohnya adalah seperti misalnya ngobrol
berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir
menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal
atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.

19
b. Banyaknya karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman
kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Contoh seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing
kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan,
kondisi psikis dan keluarganya.

c. Banyaknya karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam


pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh
teman maupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stress
yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag atau
dan lainnya.

d. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh


teguran dari atasan. Contoh misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya
produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan
provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.

e. Meningkatkan kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut


labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan
orgabnisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan
potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan
dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.

Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus


orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika
tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:

1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis.

2. Menahan dan mengubah informasi yang diperluhkan rekan-rekan sekerja yang


lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.

3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena
mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.

20
4. Kemungkinana sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali
dimaklumi sebagian fktor “kecelakaan” atau “lupa”.

5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gossip
dan kabar burung.

6. Menurunkan modal, semangat, dan motivasi kerja.

7. Masalah yang berkaitan dengan stress. Ada bermacam-macam, mulai dari


efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin, 2000 :131-
132).

G. Konsekuensi Dari Konflik

1. Perubahan dalam kelompok


a. Meningkatkan kekompakan kelompok.
b. Timbulnya kepemimpinan otokrasi dalam situasi konflik yang ekstrim
dan ketika ancaman mulai terlihat cara kepemimpinan demokratis menjadi
kurang popular, para pemimpin menjadi lebih otokratis.
c. Focus pada aktivitas,
d. Menekankan pada loyalitas.
2. Perubahan di antara kelompok
a. Destorsi persepsi
Persepsi dari setiap anggota kelompok menjadi terganggu, para anggota
kelompok menembangkan pendapat yang lebih kuat akan pentingnya
kesatuan mereka.
b. Stereotip yang negative
Sejalan dengan meningkatnya konflik dan presepsi menjadi lebih
terganggu, semua stereotip yang negatif yang pernah ada menguat
kembali.
c. Penurunan komunikasi

21
Dalam konflik komunikasi di antara kelompok biasanya terputus, ini
biasanya menjadi sangat tidak berguna, khususnya jika ada saling
ketergantungan yang berurutan atau timbal balik.

H. Strategi Mengatasi Konflik

Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih


kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini
bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan.

1. Pengenalan

Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana


keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah
kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau
menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).

2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji
mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan
sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal
sepele.

3. Menyepakati Suatu solusi

Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari


orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak
dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan
dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.

4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan

22
biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah
kelompok.

5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika
penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah
sebelumnya dan cobalah lagi.

I. Teknik Penyelesaian Konflik


1. Rujuk, merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama
dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.

2. Persuasi, yaitu usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan


menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual
serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan
konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.

3. Tawar-menawar, suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak,


dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam
cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa
mengemukakan janji secara eksplisit.

4. Pemecahan masalah terpadu, usaha menyelesaikan masalah dengan


memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi,
fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur.
Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif
pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi
kedua pihak.

5. Penarikan diri, suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau


kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam
tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila
tugas saling bergantung satu sama lain.

23
6. Pemaksaan dan penekanan, cara ini memaksa dan menekan pihak lain
agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai
wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan
wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk
intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu
pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.

7. Intervensi (campur tangan) pihak ketiga, Apabila fihak yang


bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui
jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian
konflik.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam kehidupan manusia, perubahan tidak dapat dihindari. Dimulai oleh


dunia usaha yang lebih dulu menyadari pentingnya perubahan bagi peningkatan
kualitas produksi yang dihasilkan, sampai ke administrasi pemerintahan. Berbagai
upaya dan pendekatan telah dilakukan untuk memecahkan masalah yang timbul
akibat adanya perubahan. Oleh karena perubahan memang selalu terjadi dan pasti
akan selalu terjadi, pimpinan organisasi baik organisasi pemerintah maupun non-
pemerintah disamping harus memiliki kepekaan terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi diluar organisasi yang dipimpinnya dan mampu memperhitungkan
dan mengakomodasikan dampak dari perubahan-perubahan yang terjadi itu,
mutlak perlu pula untuk mempunyai keterampilan dan keberanian untuk
melakukan perubahan didalam organisasi demi peningkatan kemampuan
organisasional untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Karena tidak dapat dihindari, perubahan akan menimbulkan konflik


dimana konflik adalah perbedaan pendapat antara dua / lebih banyak anggota
organisasi atau kelompok, karena harus membagi sumber daya yang langka, atau
aktivitas kerja dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, penelitian, atau
pandangan yang berbeda.

3.2 Saran

25
Dengan dibuatnya makalah ini penulis berharap para pembaca bisa
memahami dan mengerti dengan jelas mengenai manajemen perubahan, konflik,
dan perilaku antar kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. “Manajemen Perubahan”. 7 April 2016.


http://www.satujam.com/manajemen-perubahan/

Bagus, Denny. “Manajemen Konflik Definisi Ciri Sumber”. 8 April 2017.


http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-
sumber.html

Pertiwi, Ajeng. “Perilaku Antar Kelompok Dalam Manajemen”. 8 April


2017. http://ajengpertiwi09.blogspot.co.id/2015/04/perilaku-antar-kelompok-
dalam-manajemen.html

Putra, Indrawan Dwi. “Manajemen Perubahan”. 7 April 2017.


http://indrawandp.blogspot.co.id/2013/10/manajemen-perubahan.html

Simbolon, Frank Sinatra. “Manajemen Perubahan Change Management”.


7 April 2017. http://mgt-sdm.blogspot.co.id/2010/11/manajemen-perubahan-
change-management.html

26

Anda mungkin juga menyukai