KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala Puji hanya kepunyaan Allah SWT karena atas segala
Rahmat dan Hidayahnya sehingga Buku Ajar ini dapat diselesaikan.
Buku Ajar ini merupakan bahan ajar untuk mata kuliah “Kimia Dasar” dan
disusun dengan tujuan untuk membantu dan memudahkan pemahaman mahasiswa
terhadap mata kuliah dalam bidang Kimia khususnya menyangkut konsep dasar dalam
melakukan pendalaman kimia.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan Buku Ajar ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik untuk
perbaikan dan pengembangan buku ini.
Semoga Buku Ajar ini dapat bermanfaat bagi kemajuan Ilmu Pengetahuan dan
mendapat Ridho Allah SWT, Aamiin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I STRUKTUR ATOM
DAN KONFIGURASI
ELEKTRON
1
dari satu senyawa, maka perbandingan massa dari unsur pertama dan unsur kedua
merupakan bilangan yang sederhana sedangkan hipotesis ketiga mendukung hukum
kekekalan massa yang diperkenalkan oleh Antoine Lavoisier pada tahun 1774.
1.1.2. Partikel Dasar Penyusun Atom
1.1.2.1 Elektron
Faraday (1834), menemukan bahwa materi dan listrik adalah ekivalen. Penemuan
elektron dimulai dengan pembuatan sinar katoda oleh J. Plucker (1855) dan dipelajari
lebih lanjut oleh W. Crookers, (1975) dan J.J. Thomson, (1879).
Penelitian ini membuktikan bahwa sinar yang kehijau-hijauan, yang dipancarkan
dari katoda, adalah sinar katoda. Setelah penelitian lebih mendalam, sifat-sifat sinar
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sinar itu berasal dari katoda dan bergerak menurut garis lurus.
2. Sinar katoda bermuatan negatif. Hal ini dibuktikan dari fakta bahwa sinar ini tertarik
oleh pelat bermuatan positif dan dibelokkan oleh medan magnet.
3. Sinar katoda dapat menyebabkan fluoresensi jika mengenai materi atau benda tertentu
dan dari kejadian fluoresensi ini kita dapat melihat adanya sinar, walaupun sinar
katoda itu sendiri tidak tampak.
4. Sinar katoda memiliki momentum oleh karena itu mempunyai massa, hingga dapat
menggerakkan baling-baling yang terdapat di dalam tabung.
5. Sifat-sifat di atas tidak bergantung pada bahan yang digunakan untuk membuat
katoda, sisa gas yang terdapat dalam tabung, maupun kawat penghubung katoda dan
bahan alat penghasil arus.
S + anoda katoda +
N - anoda
katoda -
-
+
Gambar 1. Illustrasi beberapa sifat sinar katoda pada tabung katoda Faraday
Semua sifat di atas, terutama sifat ke lima menunjukkan bahwa partikel sinar
katoda adalah partikel dasar yang ditemukan dalam setiap materi. Pada tahun 1891,
Stoney mengusulkan nama elektron untuk satuan listrik dan saat ini partikel sinar katoda
ini disebut elektron.
Melalui penelitian J.J. Thomson, sebagai sumber elektron dia menggunakan :
(a) sinar katoda yang berasal dari katoda Al, Pt dan Fe
(b) emisi fotoelektrik dari Zn
(c) emisi termionik dari filamen karbon
Meskipun kecepatan,v, berubah-ubah yang bergantung pada sumber elektron selalu
ditemukan bahwa :
8
e/m = 1,76 x 10 c/g
dimana e = muatan elektron
m = massa elektron
Berdasarkan percobaan tetes minyak, Robert A. Millikan (1906) berhasil
-19
menentukan muatan elektron (e) = 1,602 x 10 C
Massa Elektron
Dari percobaan J.J. Thomson (penentuan muatan/massa elektron) dan percobaan
Millikan (penentuan muatan elektron dengan percobaan tetes minyak) dapat dihitung
massa elektron sebagai berikut :
19
e 1,6 x 10 C
m 8 9,11 x 10 28 g
e/m 1,76 x 10 C/g
1.1.2.2 Proton
Percobaan dengan gas hidrogen menunjukkan bahwa e/m untuk sinar terusan
+
hidrogen lebih besar dari e/m untuk elektron, maka dipostulasikan bahwa H adalah suatu
partikel dasar dari atom yang besar muatannya sama dengan muatan elektron tetapi
+
dengan tanda yang berlawanan. Massa H ditemukan 1837 kali lebih besar dari massa
elektron. Partikel ini disebut Proton.
Jika muatan elektron sama besar dengan muatan ion hidrogen, perbandingan
massa elektron dan massa ion hidrogen dapat dihitung sebagai berikut :
8
e/m elektron = 1,76 x 10 Coulomb/g
e/m ion hidrogen = 96520/1,008 Coulomb/g
massa elekt ron e/m ion 96520/1,008 C/g 1
hidrogen
massa ion e/m elektron 8 1837
1,76 x 10 C/g
hidrogen
1.1.2.3 Neutron
Pada tahun 1920 Rutherford meramalkan bahwa kemungkinan besar dalam inti
terdapat partikel dasar yang tidak bermuatan. Akan tetapi karena netralnya maka partikel
ini sukar dideteksi. Baru pada tahun 1932, J. Chadwick dapat menemukan netron. Dari
reaksi inti, partikel alfa dengan massa atom relatif 4 ditangkap oleh boron (massa atom
relatif 11) menghasilkan nitrogen (massa atom relatif 14) dan netron (massa atom relatif
1). Reaksi ini dapat ditunjukkan dengan persamaan:
11 14 1
4
He 5 B 7 N 0n
2
Contoh soal :
Suatu lampu merkuri memancarkan cahaya dengan panjang gelombang 436 nm.
Berapakah frekuensi dan energi dari satu foton?
Jawab :
-7
= 436 nm = 4,36 x 10 m
c 2,9979 x 108 14 1 14
ν 6,88 x 10 det 6,88 x 10 Hz
m/det
λ 4,36 x 10 7 m
14 -1 -34
Jadi energi (E) = (6,88 x 10 det ) x (6,626.10 J.det)
-19
= 4,56 x 10 J
1 1
ν 3,288 x 1015 det 1 2 2
n
1 n2 (1.2)
Contoh soal :
Hitung frekuensi cahaya dan energi yang dipancarkan apabila elektron dalam atom
hidrogen yang berpindah dari satu kulit ke kulit lain sesuai dengan garis pertama dari
deret Lyman.
Jawab :
Garis pertama deret Lyman disebabkan oleh perpindahan elektron dari n2 = 2 ke
n1 = 1
15 1 1
1
ν 3,288 x 10 det
n 1 n 2
2 2
1 1
det 2 2
15 1
3,288 x 10
1 2
15 1 15
3,288 x 10 det (0,75) 2,45 x 10 det
1
-34 15 -1
E = h. = (6,626 x10 J.det) x (2,45 x10 det )
-18
= 1,62 x10 J
1.1.5. Model Atom
1.1.5.1 Model Atom Thomson
Thomson membayangkan bentuk atom dari sudut kelistrikan pada tahun 1904.
Menurut Thomson, atom menyerupai agar-agar yang tersusun atas muatan positif dan
negatif. Muatan positif tersebar secara merata dalam bulatan yang merupakan atom dan
elektron (muatan negatif) terdapat di dalamnya, artinya massa atomnya tersebar merata
pada bulatan tersebut, sehingga tidak terpusat. Atom Thomson dapat diumpamakan
sebagai roti kismis dimana roti merupakan muatan positif dan kismis adalah muatan
-10
negatif. Bagian positif dari atom Thomson mempunyai diameter 10 m (1 Å). Percobaan
penghamburan sinar alfa oleh Rutherford menunjukkan bahwa model atom berdasarkan
teori atom Thomson ini tidak dapat dipertahankan lagi.
Bila elektron bergerak dalam salah satu lintasan kuantum, maka elektron tidak akan
memancarkan energi.
2 (1.4)
E 1/2 m v
4. Elektron dalam lintasan ini berada dalam keadaan stasioner atau dalam tingkat energi
tertentu.
5. Bila elektron pindah dari tingkat energi E1, ke tingkat energi E2 yang lebih kecil dari
E1, maka akan terjadi radiasi energi.
E E hν (1.5)
1 2
h 1
ν n
(1.6)
Jika hukum-hukum klasik dipadukan, jari-jari dari lintasan yang diperbolehkan dapat
diturunkan. Untuk atom hidrogen (nomor atom Z = 1).
n2 h2 (n 1, 2, 3,
r 4
4π m e ........) (1.7)
Dari harga h, m dan e yang telah diketahui, dan jika n = 1, akan diperoleh :
r 0,529 x 108 cm
o
0,529 A
Jika jari-jari Bohr untuk n = 1, dinyatakan dengan ao maka,
r a o n2 (1.8)
o
dimana ao = 0,529 A dan n = tingkat energi
Energi En dari atom hidrogen, dengan elektron berada dalam lintasan yang dicirikan oleh
harga n, diberikan oleh
4 (n 1,2,3,
2π m e
En 2 2 ......) (1.9)
n h
A 2π m e
4
dimana
2
h
-
Dengan E dinyatakan dalam Joule dan h adalah tetapan Planck yang harganya 6,626 x 10
34
Joule detik. Planck mengemukakan bahwa ”benda hitam” terdiri atas sejumlah benda
yang bergetar atau osilator yang memancarkan energi dalam bentuk paket-paket energi
atau kuanta.
Misalnya, energi 1 kuantum sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 125 nm
-9
(1 nm = 10 m) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
= c/, (c = kecepatan cahaya dan panjang gelombang dalam m) maka,
-18 -18
Jadi energi dari 4 kuanta adalah 4 (1,59 x 10 J) = 6,36 x 10 J
2
Jumlah orbital dalam kulit sesuai dengan n .
Cara yang sering digunakan untuk menunjukkan orbital-orbital atom ialah dengan
2
menggambarkan kebolehjadian radial 4r terhadap jarak inti, r. Ini merupakan suatu
permukaan yang membatasi ruangan dimana kebolehjadian untuk menemukan elektron
adalah paling besar.
Bentuk orbital s berupa bola simetris, orbital p memiliki tiga macam
orientasi sesuai dengan harga ml (-1, 0, 1), orbital d memiliki lima macam orientasi
sesuai dengan harga ml (-2, -1, 0, 1, 2) sedangkan orbital f memiliki tujuh macam
orientasi. Bentuk
orbital s, p, d dan f dapat dilihat pada gambar 6. Jumlah elektron sesuai dengan bilangan
kuantum dapat dilihat pada tabel 1.
Orbital s hanya satu macam.
Orbital p terdiri atas tiga macam yaitu orbital-orbital
px py pz
Orbital s
Orbital p
Orbital d
1 s
2
p
p
3
Aturan (n + 1)
Aturan tingkat energi dalam pengisian elektron sebagai berikut :
2 2 3
N 1s 2s 2p
2 2 4
O 1s 2s 2p
24Cr :
29Cu :
LATIHAN SOAL
BAB I . STRUKTUR ATOM DAN KONFIGURASI ELEKTRON
1. Tuliskan nama, simbol, siapa yang menemukan, menggunakan alat apa, dan jelaskan
sifat-sifat partikel yang teramati dikutub anoda (positif) dan katoda (negatif) ?.
2. Hitunglah panjang gelombang elektron, energi pada kulit pertama dan ke empat, dan
energi yang dihasilkan jika elektron tersebut teremisi mengikuti deret Balmer ?.
3. Apakah yang dimaksud dengan orbital, tuliskan semua orbital (s, p dan d), gambarkan
2 2
orbital s, py, dxy, dxz, dan dx - y .
4. Tuliskan Konfigurasi lektron atom yang memiliki jumlah elektron 13, 17, 26 dan 29,
tentukan periode, golongan dan variasi bilangan kuantumnya ?.
5. Karakteristik sinar katoda yang tidak benar adalah:
a. tidak tergantung dari bahannya
b. bergerak menurut garis lurus
c. disebut elektron
d. bermuatan negatif
e. tidak mempunyai massa
6. Jika lampu kalsium memancarkan radiasi dengan λ = 422 nm, maka:
-14 -19
a. frekuensinya = 7,1x10 Hz dan energinya = 4,7x10 J
14 -19
b. frekuensinya = 7,1x10 Hz dan energinya = 4,7x10 J
16 -17
c. frekuensinya = 7,1x10 Hz dan energinya = 4,7x10 J
-16 17
d. frekuensinya = 7,1x10 Hz dan energinya = 4,7x10 J
16 -12
e. frekuensinya = 7,1x10 Hz dan energinya = 4,7x10 J
-7
7. Lampu mercuri memancarkan cahaya dengan panjang gelombang 4,6 x 10 m., jika
8 -27
kecepatan cahaya 3 x 10 m./det., tetapan Planck 6,62 x 10 erg.det. maka energi dari
satu foton adalah :
-27
a. 1,52 x 10 J.det./m.
-7
d. 2,11 x 10 J.
8. Unsur X mempunyai data variasi bilangan kuantum n = 3 , l = 2, m = +2 dan s = -1/2,
maka nomor atom X :
a. 32 b. 31 c. 30 d. 29 e. 28
9. Teori atom Rutherford menunjukkan suatu konsep yang menjelaskan bahwa elektron
yang beredar mengelilingi inti atom suatu saat akan energinya habis dan akan jatuh
atau bergabung dengan inti (atom tidak stabil) .
SEBAB
Teori atom Rutheford sesuai dengan hukum mekanika kuantum namun tidak sesuai
dengan hukum elektrodinamika klasik .
10. Pengisian elektron dalam orbital, mulai dari orbital yang energinya terendah
mengikuti prinsip :
1. Aturan Hund
2. Azas larangan Pauli
3. Aturan (n + l)
4. Orbital penuh dan orbital setengah penuh serta orbital bonding.
BAB II
SISTEM PRIODIK UNSUR
Skema klasifikasi unsur dalam tabel berkala yang kita kenal sekarang ini
ditemukan secara simultan dan bertahap oleh beberapa ahli yang hasil penemuannya
saling berkaitan satu sama lain dan saling mendukung dalam terciptanya sistim periodik
unsur-unsur yang tersususn dalam suatu tabel berkala. Pandangan beberapa ahli diuraikan
secara berurut sampai terbentuknya sistim tabel periodik modern sekarang ini yaitu
adalah sebagai berikut :
Semakin besar afinitas elektron suatu unsur maka energi yang dilepaskan semakin besar
(nilai negatif E bertambah) khususnya unsur yang berbentuk padat dan cair, sedangkan
unsur-unsur yang berbentuk gas yang memiliki E positif berarti bahwa unsur-unsur
tersebut membutuhkan energi untuk membentuk atom tersebut menjadi ion negatif.
Afinitas elektron suatu unsur ditentukan oleh tiga faktor yaitu muatan inti, jari-jari atom
dan konfigurasi elektron. Bila muatan inti atom makin besar maka afinitas elektron makin
besar sedangkan semakin besar jari-jari atom atau semakin besar ukuran atom, semakin
kecil afinitas elektron.
2
(∆EN) x 96 = IRE
Dimana (∆EN) adalah selisih elektronegatifitas unsur, IRE = Energi resonansi ionik atau
selesih energi ikat terhitung rata-rata dengan energi ikat terukur dan 96 = konstanta Linus
Pauling.
Contoh Soal :
Jika energi ikat H-H adalah 435 kj/mol, Cl-Cl adalah 243 kj/mol, dari hasil percobaan
diperoleh energi ikat total adalah 431 kj/mol, tentukanlah keelektronegatifan Cl apabila
elektronegatifitas H = 2,20.
Pembahasan :
2
(∆EN) x 96 = IRE
dimana IRE = { ½ (435 + 243) }- 431 = 92
2 1/2
jadi (∆EN) x 96 = 92 → ∆EN = (0,96) = 0,98
Karena EN(H) = 2,20 , maka EN(Cl) = 2,20 + 0,98 = 3,18
Berdasarkan Tabel Periodik EN(Cl) = 3,19
Na
5. Reaksi logam alkali dengan asam : 2M(p) + 2HX (aq) → 2MX(aq) + H2(g)
6. Reaksi peroksida logam alkali dengan gas CO2 dan melepaskan gas oksigen :
2M2O2(p) + 2CO2 (g) → 2M2CO3 (p) + O2(g)
2.7.3 Unsur-Unsur Golongan IIA
Logam-logam alkali tanah adalah : Be, Mg, Ca, Sr dan Ba , logam ini juga cukup
reaktif namun tidak sereaktif jika dibandingkan dengan logam alkali. Konfigurasi
2
elektron terluarnya adalah (ns , n ≥ 2), memiliki kecenderungan melepaskan kedua
2+
elektron terluarnya membentuk ion M dengan bentuk konfigurasinya menyerupai
konfigurasi gas mulia yang stabil dan karakter ini meningkat dari Berilium ke Barium.
Energi ionisasi pertama dan kedua dari logam ini menurun dari Berilium sampai ke
Barium dan khusus untuk Berilium dialam lebih cenderung berbentuk molekular
dibanding berbentuk ionik terutama oksidanya berbentuk oksida amfoter bukan oksida
logam yang bersifat basa.
Reaktifitas logam alkali tanah dengan air sangat berbeda-beda yaitu, Berilium
tidak bereaksi dengan air, Magnesium bereaksi lambat dengan air mendidih dan Kalsium,
Stronsium serta Barium cukup reaktif dengan air dingin. Dengan oksigen juga bervariasi
dan meningkat dari atas kebawah dalam golongannya, Berilium dan Magnesium dapat
membentuk oksida diatas suhu kamar dan Kalsium, Stronsium serta Barium dapat
membentuk oksida pada suhu kamar. Bahkan unsur Kalsium, Stronsium dan Barium
dapat membentuk peroksida ionik. Logam alkali tanah juga dapat bereaksi dengan asam
membentuk garam dan gas hidrogen. Beberapa contoh reaksi yang berhubungan dengan
logam alkali tanah adalah sebagai berikut :
1. Reaksi hidroksida logam alkali tanah : M(p) + 2H2O(c) → M(OH)2(aq) + H2(g)
3. Reaksi peroksida logam alkali tanah dengan gas CO2 dan melepaskan gas oksigen :
4. Reaksi logam alkali tanah dengan asam : M(p) + 2HX (aq) → MX2(aq) + H2(g)
2. Reaksi pembentukan Oksida yang bersifat amfoter : 4Al(p) + 3O2(g) → 2Al2O3 (p)
3. Reaksi logam golongan IIIA dengan asam : 2Al(p) + 6HX (aq) → 2AlX3(aq) +
3H2(g)
4. Reaksi logam golongan IVA dengan asam : M(p) + 2HX (aq) → MX2(aq) + H2(g)
2.7.6 Unsur-Unsur Golongan VA
Golongan VA memiliki kelompok unsur yaitu : N, P, As, Sb dan Bi dengan
2 3
konfigurasi elektron terluar adalah (ns np , n ≥ 2). Dua unsur pertama yakni Nitrogen
dan Posfor adalah non-logam, Arsen dan antimon adalah metaloid serta Bismut adalah
logam yang kurang reaktif jika dibandingkan dengan logam-logam golongan IA sampai
golongan IVA. Unsur golongan VA memiliki kecenderungan menerima tiga elektron
untuk mencapai konfigurasi gas mulia yang stabil.
Nitrogen dapat bereaksi dengan oksigen membentuk banyak jenis oksida yaitu
NO, NO2, N2O, N2O4 dan N2O5 , dimana semua jenis oksida tersebut berbentuk gas
kecuali N2O5 yang berbentuk padat. Nitrogen juga dapat bereaksi dengan logam
3-
membentuk senyawa nitrida (N ) yang isoelektronik dengan gas mulia Neon, diantara
senyawa nitrida yang dikenal adalah : Li3N, Na3N, Mg3N2, dan lain-lain. Nitrogen dan
Posfor dapat berbentuk molekular karena unsur tersebut adalah non-logam yaitu N2 dan
P4. Posfor dapat membentuk dua macam oksida yang berbentuk padat yaitu : P4O6 dan
P4O10.
+ - + -
Interaksi antara ion Na dan ion Cl kemudian menghasilkan pasangan ion Na Cl
yang mempunyai energi potensial yang lebih rendah bila dibandingkan dengan energi
potensial unsur-unsur tersebut secara terpisah.
+ -
Na + Cl NaCl
Contoh di atas menggambarkan pembentukan pasangan ion dalam keadaaan gas
dari atom-atom dalam keadaan bebas. Pada proses ini perubahan energi menyangkut
potensial ionisasi (pada pembentukan kation), afinitas elektron (pada pembentukan
anion) dan energi interaksi coulomb antara kedua jenis ion tersebut. Natrium klorida
biasanya ditemukan sebagai kristal zat padat, dimana dalam kisi kristal tiap-tiap ion
+ - - +
Na dikelilingi oleh 6 ion Cl dan tiap ion Cl dikelilingi oleh enam ion Na yang lain.
Kekuatan ikatan ini ditunjukkan dengan energi kisi (U) yang didefenisikan sebagai
jumlah energi yang dilepaskan bila satu senyawa terbentuk dari ion-ionnya dalam
keadaan gas.
-1
Na(s) Na(g) S (energi sublimasi) = +180,7 kJ mol
+ -1
Na(g) Na (g) + e I (energi ionisasi) = + 493,8 kJ mol
-1
½ Cl2(g) Cl(g) ½ D (energi dissosiasi) = +120,9 kJ mol
- -1
Cl(g) + e Cl (g) A (afinitas elektron) = -379,5 kJ mol
- + - -1
Na+(g) + Cl (g) Na Cl U (energi kisi) = -754,8 kJ mol
Sesuai dengan konvensi termodinamika, energi yang dilepaskan dinyatakan
sebagai harga negatif dan energi yang diserap dinyatakan sebagai harga positif.
Jika kalor pembentukan NaCl adalah Hf maka
Hf = S + I + ½ D + A + U
= (+ 180,7 + 493,8 + 120,9 - 379,5 - 754,8)
-1
= - 410,9 kj mol
+ -
Kalor pembentukan Na Cl (padat) dapat pula ditentukan dengan menggunakan
daur Born-Haber sebagai berikut:
Dengan menggunakan hukum Hess, entalpi pembentukan NaCl dapat dihitung
sebagai berikut:
Hf = H1 + H2 + H3 + H4 + H5
atau Hf = S + ½ D + 1 + A + U
Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa faktor utama dalam pembentukan senyawa
ion adalah energi ionisasi, afinitas elektron dan energi kisi. Dengan demikian, suatu
senyawa ion mudah terbentuk jika:
1. Energi ionisasi salah satu atom relatif rendah
2. Afinitas elektron atom yang lain lebih besar (membentuk ion negatif)
3. Energi kisi besar
Energi kisi merupakan faktor yang banyak menentukan sifat ion suatu senyawa.
Senyawa ion yang umum dijumpai adalah senyawa ion yang terbentuk dari logam-
logam golongan IA dan IIA, serta unsur-unsur non-logam dari golongan VIA dan VIIA
pada susunan berkala unsur. Mudah tidaknya atom membentuk ion bergantung pada
berbagai faktor. Menurut Fayans, atom dapat membentuk ion dengan mudah, jikalau
struktur ion yang bersangkutan stabil, muatan ion kecil, dan ukuran atom besar pada
pembentukan kation (+) dan ukuran atom kecil pada pembentukan anion (-). Ion akan
stabil jikalau ion itu mempunyai konfigurasi elektron gas mulia,
K 2.8.8.1 Br 2 . 8 . 18 . 7
+ -
K 2.8.8 Br 2 . 8 . 18 . 8
Ca 2 . 8 . 8 . 2 O 2.6
++ -2
Ca 2.8.8 O 2.8
La 2 . 8 . 18 . 18 . 8 . 3 P 2.8.5
3+ -3
La 2 . 8 . 18 . 18 . 8 P 2.8.8
Konfigurasi elektron ion dari unsur-unsur golongan transisi (golongan B) tidak
sesuai dengan konfigurasi unsur gas mulia; seperti contoh berikut ini.
Ag 2 . 8 . 18 . 18 . 1 Cd 2 . 8 . 18 . 18 . 2
+ 2+
Ag 2 . 8 . 18 . 18 Cd 2 . 8 . 18. 18
Berdasarkan aturan Fayans, maka unsur-unsur yang paling mudah membentuk
ikatan ion adalah unsur golongan IA dan VIIA. Unsur golongan IA yang berbilangan
kuantum besar pada keadaan dasar lebih mudah melepaskan elektron terakhirnya. Hal
ini berkaitan dengan energi orbitalnya sehingga gaya tarik antara elektron dengan pusat
inti tidak begitu kuat dibandingkan dengan elektron yang jaraknya lebih dekat dengan
inti atom. Misalnya unsur sesium (Cs) yang terletak di periode 6 golongan IA, begitu
mudah melepaskan elektron terluarnya sehingga banyak dipakai dalam sel foto listrik.
Adakalanya dua atom dapat menggunakan bersama lebih dari sepasang elektron
membentuk ikatan rangkap. Pemakaian bersama dua pasang elektron menghasilkan
ikatan rangkap dua dan pemakaian bersama tiga pasang elektron menghasilkan ikatan
rangkap tiga, seperti pada senyawa N2 dan CO2.
Teori oktet dapat menjelaskan kestabilan hampir semua senyawa kovalen dengan
baik, tetapi tidak cukup baik untuk menjelaskan beberapa sifat kimia dan fisika
senyawa kovalen tertentu. Misalnya menurut pengamatan, molekul O2 bersifat
paramagnetik, jadi harus terdapat elektron yang tidak berpasangan, tetapi dalam
struktur Lewis semua elektron berpasangan. Hal ini akan dijelaskan kemudian dalam
0
konsep orbital molekul. Demikian juga kepolaran air dengan sudut molekul 104,5
tidak dapat dijelaskan oleh teori Oktet.
Kadang ditemui suatu senyawa kovalen yang cukup stabil tetapi tidak memenuhi
kaedah oktet. Diantaranya ada senyawa yang dikelilingi oleh kurang dari delapan
elektron seperti BeCl2 dan BCl3 (oktet tidak sempurna) dan ada senyawa yang
dikelilingi oleh lebih dari delapan elektron (oktet diperluas) seperti PCl5 dan SF6.
2 2
O 1s 2s 2px2 2py1 2pz1
2 2
C 1s 2s 2px 2py
2 2 1
B 1s 2s 2p
P
1
3pz
S
1
3pz
o
Misalkan dipole moment LiH teramati 5,9 D. Pada jarak antar muatan r = 1,60 A
(100% ionik), terhitung = 7,7 D. Jadi % sifat ion ikatan itu adalah :
5,9
Sifat ionik molekul LiH x 100 % 77 %
7,7
(Hasil eksperimen = 80%)
2.2.2. Elektronegativitas
Cara ini dapat dilakukan dengan menggunakan tabel elektronegatifitas beberapa
unsur sebagai berikut :
Tabel 1. Elektronegativitas Beberapa Unsur
IA
H
2,10 IIA III IVA VA VIA VIIA
A
Li
0,97
Na
1,00
K
0,91
Rb
0,89
Cs
0,86
Sumber : Chemistry; Modern Introduction, F. Brescia Cs
Berdasarkan data nilai elektronegativitas ini dapat diramalkan apakah suatu
molekul itu ionik atau kovalen. Jikalau perbedaan elektronegativitas antara atom-atom
yang saling mengikat itu besar maka senyawa itu cenderung berikatan ionik, misalnya,
Cesium, Cs (0,86) dan Fluor, F (4,10), jikalau bereaksi membentuk molekul, maka
senyawa yang terbentuk akan berikatan ion. Hal ini disebabkan oleh tarikan pasangan
elektron yang kuat pada F. Akan tetapi klor, Cl (2,80) dan Brom (2,70) dimana nilai
elektronegativitasnya setara, akan membentuk senyawa dengan ikatan kovalen.
Masalah yang timbul adalah, sampai seberapa jauh perbedaan nilai elektronegativitas
itu memberikan patokan terhadap jenis ikatan kovalen atau ionik? Untuk menjawab
masalah ini dibuat suatu perjanjian bahwa senyawa yang nilai perbedaan
elektronegativitasnya lebih besar dari 1,5 akan membentuk senyawa ionik, sedangkan
yang kurang dari 1,5 akan membentuk senyawa kovalen. Jikalau perbedaan
elektronegativitas tidak mendekati nol, senyawanya adalah polar, sebaliknya jikalau
perbedaannya mendekati nol, senyawanya adalah non-polar.
Pada rumus Lewis digunakan garis untuk menyatakan pasangan elektron, maka
ikatan koordinat kovalen dapat dinyatakan dengan tanda panah dari atom yang
memberikan pasangan elektron. Misalnya pada pembentukan BCl3/NH3 dapat ditulis:
Pada reaksi di atas nitrogen dapat disebut donor pasangan elektron bebas
sedangkan boron adalah akseptor pasangan elektron bebas.
Ikatan antara HF itu disebabkan oleh adanya gaya elektrostatik dan ikatan ini
sangat lemah.
Contoh lain ; (H2O)n, alkohol (R-OH)n dan senyawa amina
2.6 IKATAN VAN DER WAALS
Yang dimaksud dengan ikatan V.D. Waals adalah gaya yang timbul antara
atom/molekul pada jarak tertentu sehingga seolah-olah terjadi senyawa baru. Pada jarak
tertentu atom/senyawa itu saling tarik menarik yang sangat lemah, akan tetapi bila jarak
ini dilampaui maka keduanya akan saling menolak sehingga keduanya menjauh.
Dengan demikian atom/molekul berada dalam suatu ruangan pada jarak tertentu satu
terhadap yang lain.
Kekuatan ikatan bergantung pada derajat pertindihan yang terjadi. Makin besar
derajat pertindihan makin kuat ikatan. Pertindihan antara dua orbital s tidak kuat, oleh
karena distribusi muatan berbentuk bola; pada umumnya ikatan s-s relatif lemah.
Orbital p dapat bertindih dengan orbital s atau orbital p lainnya dengan lebih efektif
karena orbital-orbital p terkonsentrasi pada arah tertentu.
Beberapa contoh:
Pada ketiga contoh di atas terjadi pertindihan pada sumbu molekul. Kerapatan
elektron maksimal. Ikatan yang terbentuk disebut ikatan sigma (ikatan ).
Ikatan Pi (ikatan ) akan terbentuk apabila pertindihan terjadi antara orbital-
orbital yang tegaklurus pada sumbu molekul. Jadi, ikatan ini terjadi antara orbital-
orbital p yang sejajar.
Pada teori ikatan valensi terdapat dua konsep penting yakni konsep resonansi dan
konsep hibridisasi.
Berilium sekarang mempunyai dua buah elektron tunggal yang dapat membentuk
dua ikatan, misalnya dengan dua atom Cl. Akan tetapi sekarang timbul kesulitan lain,
yaitu kedua ikatan pada Cl – Be – Cl tidak sama oleh karena ikatan satu terjadi karena
pertindihan antara orbital 2s dari Be dengan orbital sp dari Cl. Dan ikatan yang satu lagi
terjadi karena pertindihan antara orbital 2p dari Be dengan orbital 3p dari Cl. Kenyatan
menunjukkan adalah bahwa kedua ikatan tersebut adalah sama. Untuk mengatasi
kesulitan ini dipostulatkan, bahwa orbital 2s dan orbital 2pz mengalami hibridisasi
(pencampuran) dan terbentuk dua buah orbital baru yang identik dan yang terarah
secara linier. Kedua orbital baru ini disebut hibrid sp. Pada senyawa BeCl2, ikatan
antara Be dan Cl terjadi karena pertindihan antara orbital hibrid sp dari Be dengan
orbital 3p dari Cl. Bahwa molekul ini lurus dapat dibuktikan secara eksperimen.
Dengan cara yang sama seperti di atas dapat diturunkan, bahwa pada senyawa BCL3
2
atom boron mengalami hibridisasi sp dengan ketiga orbital hibrid terletak dalam satu
0
bidang dan membentuk sudut 120 .
3
Demikian pula pada CCl4 atom karbon mengalami hibridisasi sp ; keempat
3
orbital hibrid sp ini terarah ke sudut-sudut suatu tetrahedron (sudut antara dua orbital
0
adalah 109 ).
Di samping ketiga macam hibridisasi di atas ada beberapa contoh lainnya. Suatu
iktisar tentang orbital-orbital ini diberikan di bawah :
Orbital
Hibrid
sp
2
sp
3
sp
2
dsp
3
sp d
2 3
d sp
3 2
sp d
2-
Semua elektron berpasangan, jadi Ni (CN)4 bersifat diamagnetik
I II
Kedua struktur ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Jarak antara
kedua atom karbon ternyata sama besar untuk keenam ikatan karbon-karbon, yaitu 1,39
Å, sedangkan panjang ikatan C C adalah 1,54 Å dan panjang ikatan C = C adalah
1,34 Å. Secara eksperimen ditemukan pula bahwa kalor pembentukan benzena dari C
(g) dan H (g) sebesar 1315 kkal/mol, sedangkan perhitungan dari struktur I atau II
menghasilkan harga 1276 kkal/mol. Menurut konsep ini struktur benzena yang
sebenarnya bukan struktur I atau II, melainkan suatu struktur (yang tak dapat
digambarkan) yang terletak diantaranya. Struktur yang sebenarnya beresonansi antara
struktur I dan struktur II, atau merupakan hibrida resonansi dari kedua struktur tersebut
2.7.2. Konsep Orbital Molekul
Orbital molekul terbentuk dari hasil interaksi antara dua atau lebih orbital atom.
Jika dua oribital atom berinteraksi maka akan dihasilkan dua orbital molekul pula,
demikian seterusnya. Distribusi elektron dalam molekul tidak lagi berada pada orbital
atom masing-masing pembentuk melainkan ditempatkan atau yang dikenal dengan
istilah terlokalisasi (dilokalisir) pada daerah tumpang tindih yang kita kenal sebagai
orbital molekul.
Ditinjau dari profil energinya maka orbital molekul terbagi dua, yakni orbital
molekul bonding (ikatan) yang dilambangkan dengan OM dimana orbital molekul
memiliki tingkat energi rendah. Sedangkan orbital molekul antibonding (anti ikatan)
yang dilambangkan dengan OM* adalah orbital molekul yang memiliki energi lebih
tinggi.
Gambar 3. Diagram tenaga lintasan (energi level diagram) gabungan dua orbital
atom, satu bonding dan satu anti bonding
Adanya orbital molekul bonding dan anti bonding dapat dibuktikan dalam studi
spekstroskopi molekul. Pengisian elektron dalam orbital-orbital molekul seseuai dengan
pengisian elektron dalam orbital atom yaitu: (1) orbital dengan energi terendah diisi
lebih dahulu (2) dalam satu orbital molekul terdapat maksimum dua elektron, (3) jika
terdapat orbital molekul yang energinya sama, sedapat mungkin elektron tidak
berpasangan (aturan Hund).
Orbital molekul yang terbentuk dari orbital atom dapat berupa orbital molekul
sigma (s) atau orbital molekul pi (p). Masing-masing orbital molekul dapat merupakan
orbital molekul bonding dan orbital molekul anti bonding (s*, p*). Orbital sigma adalah
orbital molekul yang simetris terhadap sumbu ikatan, sedangkan orbital pi mempunyai
bidang nodal (bidang tanpa kerapatan elektron) yang terdapat pada sumbu antar-inti.
Orbital pi terbentuk dari orbital atom p yang sejajar. Sebagai sumbu digunakan sumbu
x, y, z. Orbital molekul untuk molekul diatomik homonuklear yang terbentuk dari
orbital-orbital atom dapat dinyatakan sebagai berikut :
1s * 1s terbentuk dari orbital atom 1s
2s * 2s terbentuk dari orbital atom 2s
2pz * 2pz terbentuk dari orbital atom 2pz
2px * 2px terbentuk dari orbital atom 2px
2py * 2py terbentuk dari orbital atom 2py
Urutan tingkat energi dari orbital-orbital molekul mulai dari tingkat energi
terendah, ialah
1s< *1s< 2s< *2s< 2pz < 2px = 2py < *2px = *2py < *2pz.
Jika ada interaksi antara 2s dan 2p, tingkat energi 2p >2px = 2py.
Molekul H2
Diagram di atas menunjukkan kontribusi elektron dari masing-masing atom ke
dalam orbital molekul. Satu elektron dari masing-masing atom berkontribusi dan
berpasangan dalam orbital molekul ls yang memiliki energi lebih rendah. orbital
molekul *ls tidak terisi elektron, konfigurasi elektron molekul H2.
2
H2 : [(ls) ]
Molekul He2
Helium mempunyai nomor atom 2. jika terdapat molekul He2 maka pada molekul
ini terdapat 4 elektron. Sesuai dengan teori, terbentuk orbital molekul bonding ls dan
orbital anti bonding *ls dan konfigurasi elektronnya dapat ditulis :
2 2
He2 [(ls) (s*s) ]
Dalam molekul ini jumlah elektron dalam orbital anti ikatan sama banyak dengan
jumlah elektron dalam orbital bonding. Oleh karena itu molekul He2 tidak stabil, jadi
dapat dikatakan bahwa molekul ini tidak pernah ada. Molekul He2 tidak pernah
2+ +
ditemukan secara eksperimen. Yang pernah ditemukan adalah He2 He 2.
2+
He2 [(ls)2]
+ 2 1
He2 [(ls) (*ls) ]
Oleh karena jumlah elektron dalam orbital ikatan lebih banyak dari jumlah
elektron dalam orbital anti ikatan, dapat diharapkan bahwa terdapat senyawa helium
yang stabil.
Molekul Li2
Dengan cara yang sama dengan molekul H2 dan He2 diperoleh konfigurasi untuk
molekul Li2 sebagai :
Li2 : [(ls)2 (*ls)2 (2s)2]
Contoh untuk molekul-molekul dimana terjadi interaksi antara 2s dan 2p dapat
dilihat pada molekul-molekul B2, C2 dan N2 berikut:
2 2 2 1 1
B2 : [(ls) (*ls) (*2s) (2px) (2py) ]
2 2 2 2 2
C2 : [(ls) (*ls) (*2s) (2px) (2py) ]
2 2 2 2 2 2
N2 : [(ls) (*ls) (*2s) (2px) (2py) (2pz) ]
Pada H2 dan Li2 terdapat masing-masing satu pasang elektron yang berbentuk
ikatan tunggal kovalen. Dalam teori orbital molekul, kestabilan ikatan kovalen
berhubungan dengan orde ikatan. Orde ikatan adalah setengah dari perbedaan jumlah
elektron dalam orbital ikatan dan dalam orbital anti ikatan. Orde ikatan (OI) dapat
diungkapkan sebagai:
N b N a
OI
2
Nb = jumlah elektron dalam orbital ikatan
Na = jumlah elektron dalam orbital anti ikatan
Untuk helium,
N b N a 2 2
OI 0
2 2
Soal-soal Latihan :
1. Tuliskan struktur Lewis untuk senyawa ion berikut :
a. BaO b. MgCl2 c. K2S
2. Gunakan rumus Lewis untuk membuat pembentukan ikatan kovalen dalam NH3,
H2O, HCl.
3. Diantara senyawa berikut yang manakah tidak mengikuti aturan oktet ? ClF3,
OF2, SF4, BCl3, PCl5, PCl3.
4. Jelaskan tentangpengertian berikut :
a. Resonansi
b. Energi ikatan
c. Sudut ikatan
d. Orbital
e. Eleketronegativitas
f. Polaritas iakatn, polaritas molekul.
- -
5. Gambarkan bentuk resonansi dari NO3 (ion nitrat), SO2(g) , SO2 (ion sulfit),
2-
SO4 (ion sulfat) (termasuk muatan termal tiap atom !).
6. Apa sebabnya tidak semua molekul dengan rumus AB3 mempunyai bentuk yang
sama.
7. Faktor apa saja yang menentukan bentuk suatu molekul kovalen ?
8. N2O adalah molekul linier yang polar. Bagaimana menjelaskannya ?
2- -
9. Apakah sudut ikatan dalam molekul atau ion berikut ? SO2, SO2 , CO2, NO3 ,
2-
SO3, SO4 ?
- 3-
10. Ramalkan bentuk geometri dari ClO3 , XeF4, dan I .
11. Jelaskan ikatan dalam molekul Cl2 dengan teori ikatan valensi.
12. Apa yang dimaksud dengan orbital hibrida ?
13. Jelaskan tentang iakatan dalam molekul N2 menurut teori orbital molekul.
14. Beleran dioksida SO2, dan nitrogen dioksida NO2 adalah polar, sedangkan CO2
adalah non polar. Bagaimana menjelaskannya ?
15. Jelaskan perbedaan antara ke-elektronegativitas dan afinitas elektron.
BAB IV
STOIKIOMETRI
Setelah membahas masalah struktur atom, tabel periodik dan ikatan kimia, maka
timbul permasalahan tentang reaksi antar atom dengan suatu persamaan yakni tentang
perubahan suatu materi menjadi materi lain. Kajian reaksi kimia secara kuantitatif dapat
memberi informasi yang lebih jelas tentang perubahan kimia yang terjadi dan perubahan
ini mengikuti hukum-hukum dasar ilmu kimia. Bidang kimia yang membicarakan
hubungan-hubungan kuantitatif antara pereaksi dan hasil reaksi dikenal sebagai
stoikiometri, yang berasal dari bahasa Yunani, stoicheion (unsur) dan metron
(pengukuran).
Pada pokok pembahasan ini akan dibicarakan masalah yang berhubungan dengan
(a). Hukum-hukum dasar ilmu kimia, (b). Massa atom relatif dan massa rumus relatif, (c).
Konsep mol (d). Bilangan oksidasi. (e). Cara menyatakan konsentrasi (f). Persamaan dan
tipe reaksi.
4.1 Hukum-Hukum Dasar Ilmu Kimia
4.1.1 Hukum kekekalan massa.
Penelaahan reaksi kimia secara kuantitatif dapat memberi informasi tentang
o
perubahan kimia yang mungkin terjadi. Pada kondisi normal, suhu 25 C, tekanan 1 atm
perubahan kimia juga disertai dengan perubahan massa yang berubah menjadi energi.
Tetapi karena perubahan massa ini kecil sekali, perubahan dapat diabaikan. Pada
umumnya dikatakan bahwa pada kondisi itu perubahan kimia tidak menyebabkan
perubahan massa, dengan demikian dalam perubahan kimia, jumlah massa zat yang
dihasilkan oleh perubahan itu sama dengan jumlah massa zat sebelum terjadi perubahan.
Peristiwa ini sesuai dengan hukum kekekalam massa, yaitu massa zat sebelum dan
sesudah reaksi sama. Pernyataan ini dikemukakan oleh Antoine Lavoisier (1774) dari
hasil percobaan-percobaan yang dilakukannya, dengan jalan menimbang massa zat
sebelum dan sesudah suatu reaksi kimia terjadi.
Contoh:
Larutan A terdiri dari 3,40 gram perak nitrat dan 25 gram air ditambahkan ke dalam
larutan B yang terdiri dari 3,92 gram kalium kromat dan 25 gram air. Pada pencampuran
ini terjadi reaksi dan menghasilkan endapan coklat. Setelah reaksi selesai dan ditimbang
ternyata berat campuran larutan A dan B itu tetap, yaitu 57,32 gram.
Gambaran di atas dapat diringkaskan seperti reaksi berikut:
2 AgNO3 + K2CrO4 Ag2CrO4 + 2 KNO3
Berdasarkan hukum kekekalan massa nampak disini bahwa jumlah atom tiap unsur
(bersenyawa atau bebas) yang ada disebelah kiri tanda panah persis sama dengan jumlah
atom tiap unsur yang ada disebelah kanan tanda panah. Hukum kekekalan massa itu tidak
berlaku untuk reaksi inti/transformasi inti, karena pada proses inti terjadi perubahan
massa dan energi. Untuk reaksi inti/transformasi inti lebih tepat apabila digunakan hukum
kekekalan massa-energi, dengan demikian hukum kekekalan massa berlaku untuk semua
reaksi kimia, kecuali reaksi inti/transformasi inti.
4.1.2 Hukum perbandingan tetap
Setelah diketahui adanya hubungan antara massa zat sebelum dan sesudah reaksi
kimia, dengan munculnya hukum kekekalan massa, maka pada tahun 1799 Josep Louis
Proust melakukan penelitian tentang hubungan massa unsur-unsur yang membentuk
suatu senyawa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa senyawa yang sama selalu
mengandung unsur-unsur penyusunnya dalam perbandingan yang sama. Susunan unsur-
unsur dalam suatu senyawa dapat ditentukan dengan cara analisis kimia, berdasarkan data
hasil analisis itu dapat ditentukan rumus kimia dari senyawa yang bersangkutan. Sebagai
contoh senyawa besi sulfida, dimana perbandingan massa besi dan belerang tetap yaitu
7 : 4. Contoh lain misalnya air yang perbandingan massa hidrogen dan oksigen juga tetap
yaitu 1 : 8. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, Proust mengusulkan suatu
hukum yang kemudian dikenal dengan istilah hukum Proust (hukum perbandingan tetap).
Nitrogen monoksida
Nitrogen dioksida
Dinitrogen trioksida
Dinitrogen tetraoksida
Dinitrogen pentaoksida
Berdasarkan data di atas dapat dikatakan bahwa setiap empat belas gram nitrogen
bersenyawa dengan 1, 2, 3, 4 atau 5 massa ekivalen oksigen untuk menghasilkan lima
jenis oksida nitrogen yang berbeda. Ungkapan hasil percobaan ini oleh John Dalton
dirangkum dalam hukum yang disebut: Hukum Perbandingan Ganda, yaitu bila
dua macam unsur dapat membentuk dua senyawa atau lebih, sedang massa salah satu
unsur
sama banyaknya maka massa unsur lainnya dalam senyawa-senyawa itu akan
berbanding sebagai bilangan bulat positif dan sederhana.
4.1.4 Hukum Perbandingan Volume
Hubungan antara volume-volume dari gas-gas dalam reaksi kimia telah diselidiki
oleh Joseph Louis Gay-Lussac dalam tahun 1905. Pada penelitian itu ditemukan bahwa
pada suhu dan tekanan tetap, setiap satu volume gas oksigen akan bereaksi dengan dua
volume gas hidrogen menghasilkan dua volume uap air, dengan demikian perbandingan
antara volume hidrogen, volume oksigen dan volume uap air berurut adalah 2:1:2.
Contoh lain : satu volume gas hidrogen bereaksi dengan satu volume gas klor
menghasilkan dua volume gas hidrogen klorida; perbandingan volume dari hidrogen, klor
dan hidrogen klorida berurut adalah 1:1:2. Pada reaksi antara gas nitrogen dan gas
hidrogen membentuk gas amonik, maka perbandingan volume dari ketiga gas itu berturut
adalah 1:3:2 (N2 : H2 : NH3). Konsep hubungan antara volume gas yang bereaksi dengan
volume gas yang dihasilkan dari reaksi tersebut sangat berguna untuk menjelaskan
tentang proses reaksi kimia yang terjadi. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa
volume-volume gas yang bereaksi dan gas hasil reaksi, bila diukur pada suhu dan
tekanan yang sama akan berbanding sebagai bilangan yang bulat dan sederhana.
Pernyataan ini dikenal dengan hukum Gay Lussac atau hukum perbandingan volume.
4.1.5 Hukum Avogadro
Pada tahun 1911, Amadeo Avogadro membuat hipotesis untuk menjelaskan
bagaimana gas-gas itu bereaksi seperti apa yang diungkapkan oleh Gay Lussac. Hipotesis
yang diajukan oleh Avogadro adalah, pada suhu dan tekanan tetap, semua gas yang
volumenya sama akan mengandung molekul yang sama jumlahnya, dengan demikian
perbandingan volume sama dengan perbandingan molekul. Berdasarkan uraian ini
Avogadro menyatakan bagian terkecil suatu unsur tidak harus merupakan atom tunggal,
akan tetapi dapat berupa suatu kelompok atom yang disebut molekul. Avogadro dapat
menjelaskan percobaan Gay-Lussac tentang reaksi sintesis air sebagai berikut:
2 volume hidrogen + 1 volume oksigen 2 volume air (uap)
2n mol hidrogen + 1n mol oksigen 2n mol air (uap)
2 molekul hidrogen + 1 molekul oksigen 2 molekul air (uap)
Menurut John Dalton bagan reaksi di atas sebagaimana yang diungkapkan oleh
Avogadro dapat digambarkan sebagai berikut:
oo oo o o o o
+ OO O + O
hidrogen oksigen air air
Pernyataan dalam bentuk reaksi kimia adalah:
H-H + H-H + O-O H-O-H + H-O-H
2 molekul 1 molekul 2 molekul
hidrogen oksigen air
atau lebih umum dituliskan sebagai 2H2 + O2 2H2O
Dengan demikian tanda 2 dimuka H2 menunjukkan adanya dua molekul hidrogen yang
masing-masing terdiri dari atas dua atom hidrogen, tanda 1 (tidak ditulis) dimuka O2
menunjukkan adanya satu molekul oksigen yang terdiri atas dua atom oksigen, demikian
juga tanda 2 didepan H2O menunjukkan adanya dua molekul air yang terdiri atas dua
atom hidrogen dan satu atom oksigen.
Ada dua cara untuk menyetarakan reaksi redoks yaitu cara reaksi setengah dan
cara perubahan bilangan oksidasi.
Contoh:
Setarakan reaksi
FeSO4 + KMnO4 + H2SO4 Fe2(SO4)3 + MnSO4 + H2O + K2SO4
2+ - 3+ 2+
Tahap 1: Fe + MnO4 Fe + Mn
2+ - 3+ 2+
Tahap 2,3,4: Fe + MnO4 Fe + Mn
+2 +7 +3 +2
2+ - 3+ 2+
Tahap 5: 5 Fe + MnO4 5 Fe + Mn
2+ - + 3+ 2+
Tahap 6: 5 Fe + MnO4 + 8 H 5 Fe + Mn
2+ - + 3+ 2+
Tahap 7: 5 Fe + MnO4 + 8 H 5 Fe + Mn + 4 H2O
Selanjutnya diubah menjadi molekul netral, diperoleh:
5
5FeSO4 + KMnO4 + 4H2SO4 /2Fe2(SO4)3 + MnSO4 + 4H2O + ½ K2SO4
Karena koefisien masih ada yang pecahan maka persamaan dikalikan 2,
10FeSO4 + 2KMnO4 + 8H2O 5Fe2(SO4)3 + 2MnSO4 + 8H2O + K2SO4
LATIHAN SOAL
BAB IV. STOKHIOMETRI
1. Jelaskan yang saudara ketahui tentang konsep mol, Hukum Avogadro dan reaksi
redoks?.
2. Gas CO hasil pembakaran mesin kendaraan bermotor yang tidak sempurna,
merupakan salah satu gas yang sangat berbahaya bagi tubuh, hitunglah jumlah
partikel dan volume pada STP untuk 3,5 mol bensin yang terbakar mengikuti reaksi
berikut kemudian tentukan massa CO yang dihasilkan (Ar C = 12 dan O = 16).
2 C8H10(l) + aO2(g) → bCO(g) + cH2O(g)
3. Selesaikanlah reaksi berikut dalam suasana asam dan basa yaitu :
- - 2+
I + MnO4 → Mn + I2
4. Jika pada reaksi No.3, digunakan 9 g KMnO4 , berapakah massa iod yang harus
bereaksi agar tercapai ekivalensi reaksi?.
5. Contoh tanah 1,35 kg dari tambang emas PT. INCO telah diteliti kandungan nikelnya,
ditemukan sebanyak 1,275 mg, hitunglah berapa banyak kandungan Ni dalam 1 ton
contoh tanah tersebut dalam satuan mol dan atom.
6. Pada pemanasan 108 g HgO menurut reaksi 2HgO(s) → 2Hg(l) + O2(g) diperoleh
4,8 g O2, maka HgO yang terurai sebanyak (Ar Hg = 200, O = 16) :
a. 40 % b. 50% c. 60% d. 75% e. 80%
7. Jika hidrat tembaga (II) sulfat dipanaskan, akan berkurang sebanyak 36%.
Berdasarkan data tersebut, maka rumus molekul hidrat tersebut adalah (Ar Cu = 63,5
; S = 32 ; O = 16 dan H = 1) :
a. CuSO4.5H2O
d. CuSO4.2H2O
8. Reaksi berikut yang tergolong reaksi redoks adalah :
1. Zn + 2 HCl → ZnCl2 + H2
2. SnCl2 + I2 + 2 HCl → SnCl4 + 2HI
3. Cu2O + CO → 2Cu + CO2
4. C6H12O6 + 2Ag(NH3)2OH + 3O2 → 2Ag + C6H12O7 + 2N2 + 7H2O
9. Jika pada STP, volume dari 4,25 g gas sebesar 2,8 liter, maka massa molekul
relatifnya adalah 34.
SEBAB
Hal tersebut sesuai dengan hukum Avogadro.
10. Jelaskan yang dimaksud dengan oksidasi, oksidator, reduksi, dan reduktor dan pada
soal No. 8 option 2 dan 4, yang manakah yang teroksidasi, tereduksi, reduktor, dan
oksidator.
BAB V
LARUTA
5.1. Komponen Larutan N
Larutan terdiri atas zat terlarut dan pelarut, dengan demikian apa yang disebut
zat terlarut dan apa pula yang disebut pelarut perlu diketahui terlebih dahulu. Pelarut
adalah zat/komponen, umumnya berwujud cair yang jumlahnya lebih banyak,
sedangkan zat terlarut adalah zat/komponen baik yang berwujud gas, cair maupun
padatan yang jumlahnya lebih kecil sehingga terbentuk larutan homogen. Larutan
yang pelarutnya berwujud padatan dan zat terlarutnya juga berwujud padatan disebut
paduan, misalnya kuningan merupakan larutan yang terdiri atas seng dan tembaga.
Larutan dapat juga dilihat sebagai suatu sistem homogen yang komposisinya
bervariasi. Meskipun larutan dapat mengandung banyak komponen, tetapi pada
kesempatan ini hanya dibahas larutan yang mengandung dua komponen yaitu larutan
biner. Komponen dari larutan biner yaitu zat terlarut dan pelarut. Contoh larutan biner
dapat dilihat dalam tabel 5.1.
Tabel 5.1. Contoh larutan biner.
Zat terlarut Pelarut
Gas
Gas
Gas
Cair
Cair
Padat
Padat
5.2 Jenis
larutan
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa larutan terdiri atas pelarut (solvent) dan
zat terlarut (solute). Pasangan zat tertentu dapat saling melarutkan dalam
semua perbandingan. Hal ini biasanya terjadi pada larutan gas-gas. Akan tetapi
untuk larutan lain yang wujudnya berbeda (cair-gas, cair-padat, padat-padat) ada batas
antara keduanya dalam membentuk larutan homogen. Nilai batas jumlah zat terlarut
dalam jumlah pelarut tertentu pada suhu dan tekanan tertentu untuk membentuk larutan
homogen itu disebut kelarutan. Dengan demikian yang dimaksud dengan
kelarutan adalah nilai batas
3
kemampuan pelarut dalam volume tertentu (biasanya 1 dm ) untuk melarutkan
zat
o
terlarut pada suhu 25 C, tekanan 1 atm yang menghasilkan larutan homogen (sistem
yang homogen). Jumlah zat terlarut dalam larutan atau dalam pelarut pada volume/berat
tertentu itu disebut konsentrasi. Berdasarkan nilai konsentrasi itu larutan dapat
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu larutan encer dan larutan pekat.
Pengelompokan ini akan
menimbulkan permasalahan yaitu berapa nilai batas antara pekat dan encer. Dari buku
acuan yang dibaca sampai saat ini belum ditemukan kriteria larutan pekat dan encer.
Misalnya ada yang menganggap larutan pekat bila zat terlarutnya lebih besar dari 1%, hal
ini tentu kurang tepat sebab bagaimana dengan zat yang kelarutannya sangat kecil. Oleh
sebab itu pada pembicaraan ini dibuat suatu perjanjian atau kesepakatan untuk
menetapkan batas antara pekat dan encer. Larutan dikatakan encer jikalau konsentrasi zat
terlarutnya lebih kecil daripada setengah nilai kelarutannya, sedangkan larutan dikatakan
pekat jikalau konsentrasi zat terlarutnya sama atau lebih besar daripada setengah nilai
kelarutannya.
Khusus untuk keadaan di mana tidak terdapat batas kelarutan zat terlarut misalnya
larutan etanol dalam air atau sebaliknya, maka larutan encer adalah larutan yang berat
(volume) zat terlarut lebih kecil daripada setengah berat (volume) pelarutnya, sedangkan
larutan dikatakan pekat bila berat (volume) zat terlarut sama atau lebih besar daripada
setengah berat (volume) zat pelarutnya dan maksimum sama dengan zat pelarutnya.
Jikalau berat (volume) zat terlarut lebih besar daripada zat pelarut, maka kriterianya
dibalik yaitu zat terlarut berubah fungsinya menjadi pelarut begitu juga sebaliknya (ingat
definisi larutan dan kriteria pelarut dan zat terlarut). Jikalau zat terlarut berlebihan (lebih
besar daripada nilai kelarutan bakunya) ditambahkan ke dalam pelarutnya dengan volume
tertentu maka keseimbangan antara zat terlarut murni dengan zat terlarut dalam larutan
terjadi. Pada keadaan keseimbangan ini kecepatan larutnya zat terlarut murni yang dapat
larut setara dengan laju keluarnya zat terlarut yang telah larut dari larutan homogen.
Dalam keadaan demikian ini konsentrasi zat terlarut yang telah larut adalah tetap,
sehingga disebut larutan jenuh, di mana larutannya dikatakan sebagai larutan jenuh pada
suhu dan tekanan tertentu. Larutan tak jenuh adalah larutan yang konsentrasinya masih
lebih kecil dari nilai batas kelarutan zat terlarut dalam pelarut tertentu.
Molaritas (M).
Molaritas atau molar disingkat dengan M didefinisikan sebagai jumlah mol zat terlarut
3
setiap volume tertentu (1 dm ) larutan. Secara sederhana molar dinyatakan sbb:
Berat z at t erlarut
M
massa molekul zat terlarut x volume larutan
berat
massa molekul zat terlarut
mol zat terlarut
M
volume larutan volume larutan
jumlah n z at t erlarut
M
massa molekul zat terlarut x larutan (dm3 )
V
3
Larutan dikatakan 1 molar jikalau dalam 1 dm larutan terdapat 1 mol zat terlarut.
1M 1 mol z at
t erlarut
Contoh: 1 dm3 larutan
Molalitas (m)
Molalitas atau molal didefinisikan sebagai jumlah mol zat terlarut setiap kilogram
pelarut. Secara sederhana molal (m) dapat dinyatakan sbb:
molalitas mol z at t erlarut
M olal
kilogram p elarut
molalitas berat z at t erlarut
M olal
(massa molekul zat terlarut) x (Kg p
elarut)
Larutan mempunyai konsentrasinya satu molal, jikalau dalam setiap 1 Kg pelarut terdapat
1 mol zat terlarut.
Normalitass (N) dan Titer (T)
Normalitas didefinisikan sebagai jumlah larutan yang mengandung ekivalen zat terlarut
3
setiap volume larutan 1 dm . Secara sederhana normal (N) dapat dinyatakan sbb:
Gram ekivalen z at atau
N
t erlarut
Volume larutan
berat z at t erlarut
N
(massa ekivalen zat terlarut) x (volume larutan)
M r , maka
oleh karena BE
n
N n berat z at t erlarut
x (massa molekul zat terlarut) x (Volume
larutan)
N n x M
Persamaan di atas menyatakan hubungan antara normal dan molar dan n merupakan
jumlah proton yang dapat diterima atau dilepaskan oleh zat terlarut. Larutan dikatakan
3
konsentrasinya 1 normal jikalau dalam 1 dm larutan itu terdapat 1 gram massa ekivalen
zat terlarut.
Contoh:
Berapa normalitas H2SO4 1M dan larutan HCl pekat (11,8 M)
Pembahasan:
N (H2SO4) = n x M = 2 x 1 = 2N dan N (HCl) = n x M = 1 x 11,8 N = 11,8 N.
Selain normalitas kadang juga digunakan titer dalam kimia analitik. Satuan titer adalah
berat per volume, tetapi berat digunakan untuk pereaksi yang bereaksi dengan larutan dan
bukan untuk zat yang terlarut. Contohnya: 1 mL HCl tepat menetralkan 4,00 mg NaOH,
maka konsentrasi larutan HCl dapat dinyatakan sebagai titer NaOH 4,00 mg/mL =
4,00 gram/L. Titer ini dengan mudah diubah menjadi normalitas sebagai berikut:
T = mg/mL.
mg maka T = N x BE
Sedang N
BE x mL
mol B
Fraksi mol B XB
mol A mol B
mol A mol B
Fraksi mol total = 1 XA XB
mol A mol B mol A mol B
mol A mol B
1
mol A mol B
ppm
bagian suat u komp W x 106
pp m
onen
satu juta bagian camp W Wo
uran
mg z at t erlarut
ppm 3
larutan x1000.000 cm
Formalitas
Formalitas ini kadang nilainya sama dengan molaritas, kecuali dalam hal tertentu yang
mana zat terlarut biasanya mempunyai suatu bentuk dalam larutan yang berbeda dengan
molekulnya, mungkin karena pengaruh ikatan hidrogen atau lainnya. Misalnya larutan
asam asetat dalam larutan air biasanya berbentuk dimer (2 molekul bergabung menjadi 1
bentuk) demikian juga asam benzoat dll. Formalitas didefinisikan sebagai banyaknya
3
bentuk yang terjadi yang sama dengan bilangan Avogadro dalam 1 dm larutan. Dengan
demikian untuk larutan asam asetat (CH3COOH), 1M = ½ F karena 1 molar berarti ada
3
sebanyak bil. Avogadro molekul dalam 1 dm larutan maka bila zat ini membentuk dimer
(CH3COOH)2 dalam larutan berarti ada sebanyak ½ bil. Avogadro bentuk yang terjadi
3
dalam 1 dm larutan sehingga formalitasnya = ½ F.
0 0
P = XB . P ; P = XA . P dan XA = 1 - XB
0
P = tekanan uap jenuh pelarut murni
P = tekanan uap jenuh lautan
P = penurunan takanan uap jenuh larutan
XA = fraksi mol zat pelarut
XB = fraksi mol zat tarlarut
Larutan yang memenuhi hukum Raoult disebut larutan ideal dan larutan yang seperti itu
adalah larutan-larutan encer. Untuk lebih memahami hukum Raoult, perhatikanlah contoh
soal berikut.
1. Contoh :
o
Tekanan uap jenuh air pada 100 C adalah 760 mm Hg. Berapakah tekanan uap jenuh
o
larutan glukosa 10% pada 100 C? (H = 1; C = 12; O = 16)
Pembahasan:
Tekanan uap jenuh larutan sebanding dengan fraksi mol pelarut. Dalam 100 gram larutan
terdapat:
90
Air 90% 90 gram mol 5 mol
18
10
Glukosa 10% 10 gram mol 0,056 mol
180
5
Xair 0,99
5 0,056
o
P = Xair . P = 0,99 . 760 mmHg = 752,4 mmHg
o o
atau P = Xglukosa x P = (1 – Xair) x P = ( 1 – 0,99 ) x 760 = 7,6 mmHg
o
P = P - P = 760 mmHg - 7,6 mmHg = 752,4 mmHg
5.4.2 Kenaikan Titik Didih (ΔTb) dan Penurunan Titik Beku (ΔTf)
Titik didih suatu cairan ialah suhu pada saat tekanan uap jenuh cairan itu sama
dengan tekanan luar (tekanan yang dikenakan pada permukaan cairan). Apabila tekanan
uap sama dengan tekanan luar, maka gelembung uap yang terbentuk dalam cairan dapat
mendorong diri ke permukaan menuju fase gas. Oleh karena itu, titik didih suatu cairan
bergantung pada tekanan luar. Di permukaan laut (tekanan = 760 mm Hg), air mendidih
o
pada 100 C. di puncak Everest (ketinggian 8882 m dari permukaan larut), yang
o
tekanannya kurang dari 760 mm Hg, air mendidih pada 71 C. Biasanya, yang dimaksud
dengan titik didih adalah titik didih normal , yaitu titik didih pada tekanan 760 mm Hg.
o
Titik didih normal air adalah 100 C.
Hubungan antara tekanan uap jenuh dengan suhu air dan larutan berair diberikan
pada Gambar 5.1. Gambar seperti ini disebut diagram PT (P = tekanan; T = suhu).
Garis C-D disebut garis didih air. Setiap titik pada garis itu menyatakan suhu dan
tekanan air mendidih. Titik D menyatakan titik didih normal air. Oleh karena itu tekanan
uap jenuh larutan lebih rendah daripada tekanan uap pelarut, maka garis didih larutan
o
(garis BE) berada paralel di bawah garis didih air. Pada suhu 100 C, tekanan uap larutan
masih berada di bawah 760 mm Hg. Oleh karena itu, larutan belum mendidih pada 100
o
C. larutan harus dipanaskan lebih tinggi lagi hingga tekanan uapnya mencapai 760 mm
Hg. Jadi, titik didih larutan lebih tinggi daripada titik didih pelarutnya. Selisih antara titik
didih larutan dengan titik didih pelarut itu disebut kenaikan titik didih larutan (Tb =
boiling point elevation), atau Tb = titik didih larutan – titik didih pelerut.
Adapun titik beku dari suatu cairan atau suatu larutan adalah suhu pada saat
tekanan uap cairan (larutan) itu sama dengan tekanan uap pelarut padat murni. Garis CF
(lihat Gambar 5.1) disebut garis beku air. Setiap titik pada garis itu menyatakan suhu dan
takanan air membeku. Titik C, yaitu perpotongan garis didih dan garis beku, disebut titik
triple. Titik itu menyatakan suhu dan tekanan pada saat es, air, dan uap air berada dalam
o
suatu kesetimbangan. Titik tripel air adalah 0,0099 C dan tekanan 0,0060 atm. Jadi,
o
tekanan 0,0060 atm air membeku dan mendidih pada suhu 0,0099 C. ternyata tekanan
luar praktis tidak mempengaruhi titik beku. Titik beku normal dari air, yaitu titik beku
o
pada tekanan luar 1 atm, adalah 0 C. Jadi, garis CF pad gambar 5.1 praktis tegak lurus.
Oleh karena tekanan uap larutan lebih rendah daripada tekanan uap pelarut, maka larutan
o
membeku pada 0 C. Jika suhu terus diturunkan ternyata pelarut padat murni mengalami
penurunan tekanan uap yang lebih cepat daripada larutan, sehingga pada suatu suhu di
bawah titik beku pelarut, tekanan uap larutan sama dengan tekanan uap pelarut padat.
Pada suhu itu larutan mulai membeku. Ketika larutan membeku, yang membeku adalah
pelarutnya, zat terlarut tidak membeku (es yang terbentuk di permukaan laut waktu
musim dingin adalah air murni/tawar). Dengan demikian larutan makin pekat dan titik
bekunya juga makin rendah. Jadi larutan tidak membeku pada suhu yang tepat. Yang
dimaksud dengan titik beku larutan ialah suhu pada saat larutan mulai membeku. Selisih
antara titik beku larutan disebut penurunan titik beku (Tf = freezing point depression),
atau (Tf = titik beku pelarut – titik beku larutan).
Percobaan-percobaan menunjukkan bahwa kenaikan titik didih maupun
penurunan titik beku tidak bergantung pada jenis zat terlarut, tetapi hanya pada jumlah
atau konsentrasi partikel dalam larutan. Oleh karena itu kenaikan titik didih dan
penurunan titik beku sebanding dengan konsentrasi larutan. Untuk larutan-larutan encer,
kenaikan titik didih (Tb) maupun penurunan titik beku (Tb) sebanding dengan
kemolalan larutan.
Tb = Kb x m Tf = Kf x m
Tb = kenaikan titik didih, Tf = penurunan titik beku, Kb = tetapan kenaikan
titik didih molal, Kf = tetapan penurunan titik beku molal, m = kemolalan larutan.
Tetapan kenaikan titik didih molal ialah nilai kenaikan titik didih jika konsentrasi larutan
(konsentrasi partikel dalam larutan) sebesar satu molal.
Tb = Kb x m, jika m = 1 maka Tb = Kb.
Demikian juga halnya dengan Kf adalah penurunan titik beku jika konsentrasi
larutan (konsentrasi partikel dalam larutan) sebesar satu molal. Harga Kb dan Kf ini
bergantung pada jenis pelarut. Harga Kb dan Kf dari beberapa pelarut diberikan pada
Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Tetapan Kenaikan Titik Didih molal (Kb) dan Tetapan Penurunan Titik Beku
molal (Kf) dari Beberapa Pelarut.
Pelarut
Air
Asam asetat Benzena Kloroform Kamfer Sikloheksana
Data kenaikan titik didih atau penurunan titik beku dapat digunakan untuk menentukan
massa molekul relatif (Mr) zat terlarut. Selain itu juga dapat digunakan untuk
menentukan konsentrasi larutan.
Contoh Soal:
Sebanyak 18 gram glukosa (Mr = 180) dilarutkan dalam 500 gram air. Tentukanlah titik
o
didih larutan itu. Kb air = 0,52 C
Pembahasan:
18 g
M ol Glukosa 0,1mol
180 g / mol
0,1 mol
kemolalan Larutan m
0,5 kg
0,2 mol/kg
o o
ΔTb = m x Kb = 0,2 x 0,52 C = 0,104 C
o o
titik didih larutan = Tb = titik didih pelarut + ΔTb = 100 + 0,104 C = 100,104 C
Harga i dari berbagai jenis larutan dari berbagai konsentrasi diberikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Harga i (faktor van’t Hoff) untuk penurunan titik beku berbagai jenis elektrolit
Tipe Nama Zat 0,100 m 0,0100 m 0,00500 m Batas
Elektrolit teoretis
1. Ion
2. Kovalen
Apa penyebab larutan elektrolit mempunyai harga sifat koligatif yang lebih besar?
Pada permulaan bab ini telah disebutkan bahwa sifat koligatif larutan bergantung pada
konsentrasi partikel dalam larutan dan tidak bergantung pada jenisnya, apakah partikel itu
berupa molekul, atom atau ion. Sebagaimana telah kita ketahui, zat elektrolit sebagian
atau seluruhnya terurai menjadi ion-ion. Jadi, untuk konsentrasi yang sama larutan
elektrolit mengandung jumlah partikel lebih banyak daripada larutan nonelektrolit. Oleh
karena itu, larutan elektrolit mempunyai sifat koligatif lebih besar daripada sifat koligatif
larutan nonelektrolit. Satu mol zat non elektrolit dalam larutan menghasilkan satu mol
23
(6,02 x 10 butir) partikel. Sebaliknya, satu mol elektrolit tipe ion seperti NaCl terdiri
+ - +
atas satu mol ion Na dan satu mol ion Cl , satu mol K2SO4 terdiri atas dua mol ion K
dan satu mol ion SO42-.
Secara teoritis, larutan NaCl akan mempunyai penurunan titik beku dua kali lebih
besar daripada larutan urea (mempunyai harga i = 2) sedangkan larutan K2SO4 tiga kali
lebih besar (i = 3). Akan tetapi, seperti tampak pada tabel 5.6 harga i dari elektrolit tipe
ion itu selalu lebih kecil dari harga teoritis. Hal ini disebabkan oleh tarikan listrik antar
ion yang berbeda muatan sehingga tidak satupun dari ion-ion itu yang 100% bebas.
Makin kecil konsentrasi larutan, jarak antar ion makin besar dan ion-ion makin
bebas,.akibatnya harga i semakin mendekati harga teoritis.
Harga i dari elektrolit tipe kovalen ternyata lebih bervariasi, bergantung pada
kekuatan elektrolit itu. Elektrolit lemah mempunyai harga i mendekati satu, sedangkan
elektrolit kuat mempunyai harga i yang mendekati harga teoritisnya, hubungan harga i
dengan persen ionisasi (derajat disosiasi) dapat diturunkan sebagai berikut. Misal
konsentrasi larutan M molar, dan derajat disosiasi , maka jumlah elektrolit yang
mengion adalah M.
Jumlah y ang mengion
Jumlah mula - mula
Jumlah yang mengion = jumlah mula-mula x α
=Mxα
misalkan pula 1 molekul elektrolit membentuk n ion. Jadi, jika Mα mol elektrolit
mengion akan menghasilkan nMα mol ion, sedangkan jumlah mol elektrolit yang tidak
mengion adalah M – Mα. Supaya lebih jelas perhatikanlah perincian berikut.
A (elektrolit) ↔ n B (ion)
Mula-mula :
-
3. Ionisasi : -M α
4. Setimbang : M–Mα
5. Konsentrasi partikel dalam larutan = konsentrasi partikel elektrolit (A) +
konsentrasi ion-ion (B) = M – Mα + nMα = M[1 + (n – 1)α]. Dengan demikian
pertambahan jumlah partikel dalam larutan elektrolit = 1 + (n – 1)α. Oleh karena
pertumbuhan sifat koligatif larutan elektrolit sebanding dengan pertambahan jumlah
partikel dalam larutan, maka rumus-rumus sifat koligatif untuk larutan elektrolit menjadi:
ΔTb = Kb x m x i
ΔTf = Kf x m x i
= MRT x i
i = 1 + (n – 1)α
Rumus-rumus di atas juga dapat digunakan untuk larutan elektrolit tipe ion, di mana α
menyatakan aktivitas, yaitu tingkat kebebasan ion-ion (karena ion-ion tidak bebas 100%,
,maka derajat ionisasi larutan elektrolit tipe ion tidak sama dengan satu tetapi mendekati
satu).
Contoh soal:
Satu gram MgCl2 dilarutkan dalam 500 gram air. Tentukanlah
o
a. titik didih, b. titik beku, c. tekanan osmotik larutan itu pada 25 C. Jika derajat
o o
ionisasi (aktivitas) = 0,9. Kb air = 0,52 C; Kf air = 1,86 C. (Mg = 24; Cl = 35,5)
Pembahasan:
Molaritas larutan juga dapat dianggap = 0,022 mol/liter (untuk larutan encer,kemolalan
dan kemolaran mempunyai harga yang hampir sama).
i = 1 + ( n – 1 ) . α , diperoleh nilai i = 1 + ( 3 – 1 ) . 0,9 = 2,8
o
a) ΔTb = Kb x m x i , maka nilai ΔTb = 0,52 x 0,022 x 2,8 = 0,032 C
o o
titik didih larutan = 100 + 0,032 C = 100,032 C
o
b) ΔTf = Kf x m x i , maka nilai ΔTf = 1,86 x 0,022 x 2,8 = 0,115 C
o o
titik beku larutan = Tf = 0 – 0, 115 C = -0,115 C
c) π = MRT x i , maka nilai π = 0,022 x 0,08205 x 298 x 2,8 = 1,51 atm.
5.4.1.3 Adsorpsi
Beberapa partikel koloid mempunyai sifat adsorpsi (penyerapan pada permukaan)
terhadap partikel atau ion atau senyawa lain. Penyerapan terhadap ion positif atau ion
negatif dari partikel koloid menyebabkan koloid menjadi bermuatan. Partikel koloid
Fe(OH)3 sebetulnya tidak bermuatan, tetapi karena partikel koloid Fe(OH)3 mampu
+
mengikat (mengadsoprsi) ion-ion positif (ion H ) maka permukaan koloid Fe(OH)3
menjadi bermuatan positif.
5.4.1.4 Koagulasi
Koagulasi adalah penggumpalan partikel koloid dan membentuk endapan.
Dengan terjadinya koagulasi, berarti zat terdispersi tidak lagi membentuk koloid.
Koagulasi dapat terjadi secara fisik karena pemanasan, pendinginan, pengadukan atau
secara kimia seperti penambahan elektrolit, pencampuran koloid yang berbeda muatan.
5.4.1.5 Koloid liofil dan Koloid liofob
Koloid ini terjadi pada sol yaitu fase terdispersinya padatan dan fase
pendispersinya cairan. Koloid liofil adalah koloid sol di mana partikel koloid (sebagai
fase terdispersi) senang (dapat menarik/mengikat) cairannya (sebagai fase pendispersi).
Liofil artinya : lio = cairan dan philia = senang, cinta. Contoh koloid liofil adalah sol
kanji, agar-agar, lem, cat, gelatin, protein, sabun, dan lain-lain.
5.4.2 Peristiwa Elektroforesis
Kita sudah mempelajari adanya koloid yang bermuatan seperti: koloid bermuatan
positif: Fe(OH)3, Al(OH)3 dan koloid bermuatan negatif : sol, emas, As2S3. Jika koloid
yang bermuatan positif seperti sol Fe(OH)3 dialiri arus listrik searah kemudian
dimasukkan elektroda positif dan elektroda negatif, maka partikel koloid Fe(OH)3
bergerak dan mengumpul pada elektroda negatif. Begitu juga jika kedua elektroda
dimasukkan dalam koloid As2S3, maka partikel koloid tersebut akan bergerak dan
mengumpul pada elektroda positif. Peristiwa pergerakan partikel koloid yang bermuatan
ke salah satu elektroda disebut elektroforesis. Elektroforesis dapat digunakan untuk
menentukan muatan partikel koloid. Jika partikel koloid berkumpul di elektroda positif
berarti koloid bermuatan negatif dan jika partikel koloid berkumpul di elektroda negatif
berarti koloid bermuatan positif.
5.4.3 Dialisis
Dialisis adalah proses pemurnian partikel koloid dari muatan-muatan yang
menempel pada permukaannya. Adanya ion-ion tersebut merupakan sisa dari pereaksi
pada proses pembuatannya. Misalnya pada pembuatan koloid Fe(OH)3 terdapat ion-ion
+ - + 2-
H dan Cl . Begitu juga pada pembuatan koloid As2S3 terdapat ion-ion H dan S .
5.4.4 Pembuatan Sistem Koloid
5.4.4.1 Cara Kondensasi
Cara kondensasi termasuk cara kimia. Pada proses kondensasi, molekul-molekul
dari larutan direaksikan menghasilkan suatu senyawa yang sukar larut dalam air dan
membentuk partikel koloid.
Reaksi kimia untuk menghasilkan partikel koloid dapat merupakan:
a) Reaksi Redoks
Pada reaksi ini terjadi perubahan bilangan oksidasi.
Contoh : Pembuatan sol belerang
2H2S (g) + SO2 (aq) 3 S(s) + 2H2O (l)
b) Reaksi Hidrolisis
Sol senyawa hidrolisis yang sukar larut seperti Fe(OH)3 , Al(OH)3 dapat dibuat dari
reaski hidrolisis dengan air.
Contoh : Pembuatan sol Fe(OH)3
Larutan FeCl3 , ditambahkan pada air mendidih maka,
FeCl3 (aq) + 3H2O (l) Fe(OH)3 (s) + 3 HCl (aq)
c) Reaksi Substitusi
Contoh : Pembuatan sol As2S3
Sol As2S3 dibuat dengan mengalirkan gas H2S ke dalam larutan asam arsenit yang
encer melalui reaksi substitusi berikut,
2H3AsO3 (aq) + 3H2S (g) As2S3 (s) + 6H2O(l)
Kinetika reaksi merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari tentang proses
yang berhubungan dengan kecepatan atau laju suatu reaksi dan faktor-faktor yang
mempengaruhi laju reaksi. Dalam praktek suatu reaksi kimia dapat berlangsung dengan
laju atau kecepatan yang berbeda beda. Reaksi yang berlangsung sangat cepat misalnya
adalah reaksi terbentuknya endapan perak klorida dari larutan perak nitrat dengan larutan
natrium klorida. Contoh lain misalnya adalah reaksi antara larutan natrium tiosulfat
dengan asam klorida encer yang akan membentuk endapan belerang beberapa saat
kemudian. Namun dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai reaksi yang berlangsung
lambat seperti misalnya peristiwa perkaratan besi atau korosi. Reaksi yang menyangkut
proses geologi juga berlangsung sangat lambat misalnya peristiwa pelapukan materi atau
perubahan struktur kimia pada batu karang yang disebabkan oleh pengaruh air dan gas-
gas yang terdapat di atmosfir.
Dalam industri suatu proses atau reaksi perlu dikondisikan sedemikian rupa
sehingga produknya dapat diperoleh dalam waktu yang sesingkat mungkin. Oleh karena
itu dengan mempelajari kinetika kimia maka seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi
laju suatu reaksi dapat dikendalikan sehingga lebih hemat dan efisien dan hasil reaksinya
diharapkan sesuai yang diinginkan. Berkaitan dengan hal itu dalam materi kinetika kimia
ini akan dipelajari tentang laju atau kecepatan suatu reaksi, mekanisme reaksi, orde reaksi
dan faktor-faktor penentu laju suatu reaksi kimia.
Contoh soal:
1. Reaksi pembakaran metana CH4 : CH4(g) + 2 O2(g) CO2 (g) + 2 H2O(g)
-1 -1
Jika metana terbakar dengan laju 0,15 mol L s , hitung laju pembentukan CO2 dan
H2O
Pembahasan:
0,15 mol CH 1 mol CO
Laju p embentukan CO x
2 4 2
Lxs 1 mol CH 4
1
0,15 mol CO 2 s
1
L
0,15 mol CH 2 mol H 2
Laju p embentukan O x
H 4 O
2
Lxs
1 mol CH 4
1
0,30 mol H 2 O s
1
L
Contoh soal:
2. Perhatikan reaksi berikut ini:
4NH3 (g) + 3O2 (g) 2N2 (g) + 6H2O(g)
-1 -1
Pada suatu saat terbentuk N2 dengan laju 0,60 mol L s , hitung Laju:
a.Pembentukan H2O
b.Bereaksinya NH3
c.Penggunaan O2
Pembahasan:
0,60 mol N 2 6 mol H 2 1 1
O
a. Laju p embentukan H 2 O Lxs x 1,80 mol H 2 O L s
2 mol N 2
Berdasarkan data-data tersebut, tentukanlah persamaan laju, orde reaksi, dan tetapan laju
reaksinya.
Pembahasan:
a) Persamaan laju reaksinya adalah v = k [A]a
[B]b
b) Jika data-data dimasukkan ke dalam persamaan laju, maka:
I : 8,0 x 10-3 = k (0,250)a (0,125)b
II : 2,8 x 10-2 = k (0,500)a (0,250)b
III : 1,4 x 10-2 = k (0,250)a (0,250)b
Untuk mendapatkan nilai b, persamaan I dibagi dengan persamaan III:
b
0,5 (o,5)
k0,250
3 a
8,0x10 b1
sehingga
1,6x10 0,125
2 b
k0,250
a
0,250b
Untuk mendapatkan nilai a, persamaan II dibagi dengan III
a
2,0 (2,0) sehingga
k0,50
2 a
3,2x10 a1
1,6x10 0,250
2 b
k0,250
a
0,250b
c) Tetapan laju, k dapat ditentukan
berdasarkan salah satu persamaan:
1,6 x 10 = k [0,250]1 [0,250]1
-2
dA (8.4)
Laju reaksi, v k.A
k
o
dt
Dalam persamaan ini tampak bahwa reaksi merupakan orde nol, karena pangkat-
pangkat m, n … sama dengan nol, sehingga satuan k sama dengan satuan laju reaksinya.
Hubungan antara k, dA, dan d t setelah persamaan disederhanakan adalah -dA = k , d t .
A t
dA k dt
Ao to
Untuk zat mula-mula adalah A0, dan zat sisa adalah A, hubungan tersebut menjadi,
-A = k . t + C, pada saat t = 0 C = -Ao , sehingga -A = k . t – A0
A0 -A = k . t atau A = A0 – k . t
Hubungan antara konsentrasi dengan waktu dari persamaan ini merupakan hubungan
linier dengan tg = -k. Konsentrasi A berkurang dari nilai maksimum, [A0], pada saat
t = 0 menjadi [A] = 0 pada saat t = [A0]/k. Tetapan laju reaksi, k, merupakan kemiringan
kurva. Jika waktu yang diperlukan untuk mengubah konsentrasi reaktan A, menjadi
separuh konsentrasi mula-mula, ½ A0, selanjutnya disebut waktu paruh ( t1/2 ).
mol.L
1
dimensi k
waktu
Reaksi peruraian hidrogen peroksida dalam larutan air, sesuai persamaan reaksi
berikut ini :
H2O2 (aq) H2O + ½ O2 (g)
Reaksi tersebut merupakan satu contoh orde satu terhadap H2O2, artinya bahwa [H2O2]
pada persamaan laju reaksinya berpangkat satu. Selama reaksi berlangsung, oksigen akan
dilepaskan dari campuran sampai reaksi sempurna. Reaksi ini berlangsung sangat lambat,
dan umumnya digunakan katalis untuk mempercepat reaksi. Persamaan laju reaksinya
adalah laju reaksi = k [H2O2]. Identik dengan kasus di atas, reaksi hipotetik berikut:
A P (hasil reaksi)
dA dA
Laju reaksi, v v
A k.dt
k.A
1
dt jika persamaan ini diintegralkan
maka :
(8.7)
A t
dA
Ao A k
dt
to
k .t
log Ao log A
2,303
atau (8.8)
k.t
log A log Ao
2,303
Uraian persamaan di atas jika digambarkan dalam bentuk grafik akan memberikan suatu
persamaan garis lurus dengan kemiringan grafik atau tg = - k/2,303. Untuk waktu
paruh t1/2 , maka A = ½ A0. Dengan demikian persamaan laju reaksi orde satu menjadi:
Ao k.t
log
1A 2,303
2 o
k .t
atau log 2
2,303
2,303 log 2 (8.9)
t1
0,693
2
k k
0,693 dimensi k 1 bilangan
atau k ;
t21 waktu menit atau det
ik
6.3.3. Reaksi Orde Dua
Jika memperhatikan reaksi hipotetik berikut ini, maka persamaan laju reaksinya
menunjukkan nilai pangkat m = 2 untuk pereaksi, A, yang berarti bahwa reaksi tersebut
merupakan reaksi orde dua terhadap pereaksinya yaitu : 2 A P (hasil reaksi)
dA (8.10)
Laju reaksi, v
k.A
2
dt
dA k.dt
v
A 2
1 1
k ; Dimensi k 1
t1/ 2 Ao. molL waktu
Contoh soal:
Apabila konsentrasi hidrogen peroksida adalah 0,78 M. dan laju reaksi sesuai persamaan
reaksi : H2O2 (aq) H2O + 1/2O2(g), adalah 5,7 x10-4 mol.L-1. det-1. Tentukanlah besar
tetapan laju, k, untuk reaksi tersebut.
Pembahasan:
Reaksi tersebut adalah orde satu, persamaan laju reaksinya adalah :
v = k . [H2O2]1
4
k v mol.L1. det 1
5,7 x10 0,78M det
7,3x10 4
H 2 O2
Contoh soal:
Suatu larutan hidrogen peroksida dalam air dengan konsentrasi awal 2,32 M dibiarkan
1/2
terdissosiasi sesuai persamaan reaksi :H2O2 (aq) H2O + O2 (g). Jika untuk reaksi
-4 –1
dekomposisi tersebut memiliki nilai k sebesar 7,3 x 10 det , berapa banyak hidrogen
peroksida, dalam dimensi molar, yang tersisa setelah reaksi berlangsung 20 menit?
Pembahasan :
Diketahui : [A0] = 2,32 M
-1
k = 7,3 x 10-4 det , dan t = 20 menit = (20 x 60) det = 1200 det
Berdasarkan dimensi k , maka soal tersebut mengikuti persamaan reaksi orde satu :
log A log Ao k.t
2,303
Sehingga :
-4 -1
7,3 x 10 det 1 x 1200 det
log A log 2,32
2,303
= 0,365 – 0,380 = - 0,015
A = 10-0,015 = 0,97 M
Contoh soal:
Pada reaksi dekomposisi hipotetik, A 2 B + C, tentukanlah waktu paruh reaksi tersebut
jika konsentrasi awal A adalah 1,00 M, dan tetapan laju, k = 0,12 mol-1 .L.menit-1.
Pembahasan:
Berdasarkan dimensi k , maka reaksi tersebut adalah orde dua dengan waktu paruh:
1 1
t1 / 2 1 1 8,3 menit
1
k.Ao 0,12.mol L.menit x1,00mol, L
6.4.2. Konsentrasi
Pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi dapat diterangkan melalui pendekatan
teori tumbukan. Makin besar konsentrasi zat yang terlibat dalam suatu reaksi berarti
makin banyak partikel atau molekul yang bertumbukan. Akibatnya, jumlah tumbukan
persatuan luas, persatuan waktu, juga mengalami kenaikan dan reaksi bertambah cepat.
Dalam reaksi hipotetik dengan persamaan reaksi : A + B C , di mana A dan B disebut
pereaksi, sedangkan C adalah hasil reaksi, maka laju reaksi yang merupakan pengurangan
pereaksi atau pertambahan hasil reaksi persatuan waktu, dapat diamati pada grafik
konsentrasi verses waktu berikut.
Gambar 6.2. Hubungan konsentrasi pereaksi dan hasil reaksi dengan waktu.
Pada grafik tersebut tampak bahwa za-zat yang bereaksi, dalam hal ini A dan B ,
mengalami pengurangan jumlah dari jumlah maksimum, A0 atau B0, di awal reaksi (t = 0)
sampai pada konsentrasi tertentu setelah reaksi berlangsung selama waktu tertentu.
Sebaliknya, hasil reaksi mengalami kenaikan yang sebanding dengan pengurangan
pereaksi, dari konsentrasi minimum C0 (c = 0 pada t = 0) hingga konsentrasi tertentu
dengan waktu yang sama. Cato Guldberg dan Peter Wage (1864) mengemukakan bahwa
pada suhu tertentu. Laju reaksi homogen pada umumnya berbanding dengan pangkat
tertentu dari konsentrasi masing-masing pereaksinya, yang dinyatakan dalam dimensi
molar.
6.4.3. Suhu
Pengetahuan praktis mengajarkan pada kita bahwa reaksi-reaksi kimia umumnya
cenderung berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Reaksi pelarutan gula di
dalam air, misalnya, akan lebih cepat jika digunakan air panas dibandingkan jika
menggunakan air dingin. Sebaliknya, penurunan suhu dapat memperlambat reaksi. Hal
ini dapat diamati pada reaksi-reaksi biokimia, seperti proses pendinginan atau pembekuan
untuk mencegah pembusukan.
Frekuensi tumbukan akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu, dan
hal ini dapat diasumsikan sebagai factor mempercepat reaksi kimia.
aA + bB P (hasil reaksi )
a b
Reaksi hipotetik di atas mempunyai persamaan laju, v = k [A] [B] , dan berdasarkan
persamaan Arrhenius, tetapan k merupakan fungsi suhu.
k = A . e-Ea/RT
6.
Dengan tetapan Arrhenius, A, energi pengaktifan reaksi, Ea, tetapan gas, R (0,082
L.atm.mol-1,K-1 atau 1,99 kal.K-1), serta suhu mutlak, T, hubungan antara tetapan k
dengan suhu dapat dipahami. Persamaan tersebut dapat dikembangkan
ln k = ln A –Ea/RT
ln k – ln A = - Ea/RT
Ea 1 (8.14)
log k log A .
2,303.R T
Gambar 6.3. Grafik hubungan antara log k dengan 1/T dari persamaan Arrhenius
Jika menyimak lebih jauh persamaan tersebut dapat diidentikkan dengan persamaan garis
lurus, y = m. x + b, dengan tg = -Ea/2,303 R dan log A sebagai intersepnya.
Ea 1 log A
log k .
2,303.R T
6.4.4. Katalisator
Peruraian asam formiat (HCOOH) berlangsung dengan laju yang sangat lambat,
karena untuk memecahkan ikatan C-O, salah satu atom hydrogen harus dipindahkan
terlebih dahulu dari salah satu bagian molekul asam formiat ke bagian lain.. Energi yang
dibutuhkan untuk pemindahan tersebut sangat besar, sehingga energi aktivasinya juga
besar, mengakibatkan reaksi berjalan lambat. Berbeda halnya dengan peruraian asam
formiat dengan katalisator asam , seseuai persamaan reaksi berikut,
+
Sebuah ion H dari larutan mengikatkan diri pada oksigen C-O membentuk
+
kompleks (HCOOH2) . Selanjutnya ikatan C-O putus, membentuk dua spesies molekul,
+ +
yaitu (H-C-O) dan H-O-H, di mana atom H yang terikat pada karbon (H-C-O)
dilepaskan kembali ke dalam larutan sebagai ion hydrogen, jalur reaksi ini tidak
membutuhkan pemindahan sebuah atom hydrogen seperti pada proses peruraian tanpa
katalisator, sehingga energi aktivasinya menjadi relative lebih rendah dan reaksi dapat
berlangsung dengan laju yang lebih cepat.
LATIHAN SOAL
BAB VI : KINETIKA REAKSI
1. Berdasarkan reaksi H2O2 (aq) H2O + 1/2O2 (g) , jika 3 M hidrogen peroksida
-4 -1
pada reaksi tersebut memiliki tetapan k = 7 x 10 det , tentukanlah : Konsentrasi
yang terurai, konsentrasi yang tersisa, waktu paruh dan konsentrasi H2O2 yang
dibutuhkan agar tersisa 0,75 M setelah 3,5 menit.
0
2. Jika reaksi soal No. 1 berlangsung pada suhu 45 C ternyata kecepatan reaksinya
peruraiannya memiliki kemiringan grafik -0,25 maka tentukanlah energi aktifasi
reaksi dan tetapan Arhenius yang dihasilkan.
3. Jelaskan faktor-faktor yang menentukan laju reaksi.
4. Bila data eksperimen dari reaksi aA + bB cC, seperti di bawah
Percobaan
I
II
III
Maka orde reaksinya adalah:
a. orde 1 terhadap A dan orde 1 terhadap B
b. orde 1 terhadap A dan orde 2 terhadap B
c. orde 2 terhadap A dan orde 1 terhadap B
d. orde 2 terhadap A dan orde 2 terhadap B
e. orde -1 terhadap A dan orde -2 terhadap B
5. Dari soal No. 4 di atas maka tetapan laju reaksi (k) adalah:
2 -1
A. 0,4 M .menit
2 -1
D. 4 M .menit
6. Pada reaksi N2O5 diperoleh grafik antara log N2O5 terhadap waktu merupakan garis
lurus dengan kemiringan grafik 0,0054. Jika mula-mula N2O5 sebanyak 2 mol/L,
maka setelah 3 menit akan tersisa :
A. 0.121 M B. 0,632 M C. 1,321 M D. 1,010 M E. 4,688 M
-1
7. Suatu reaksi penguraian A B + C memiliki tetapan k = 0,0231 M.mnt .
jika Zat A mula-mula 24,56 M maka setelah 11,5 jam, maka jumlah zat A yang
terurai adalah :
A. 3,072 M B. 8,621 M Reaksi 3A 1/2B + 2C , m adalah,
8.
3
A. V = k.[A]
y z
D. V = k .[B] .[C]
9. Pernyataan berikut berkaitan dengan reaksi orde dua terhadap zat A :
x
A.V = k.[A]
-1 -1
D. Satuan k = mol .L.dtk
-Ea/RT
10. Dari persamaan k = A.e , jika dilogaritmakan lalu dibuat grafik antara log k
0
terhadap 1/T dengan kemiringan kekiri 26,57 , maka Ea-nya adalah (R= 1,99 dlm
kalori, 8,314 dalam joule) :
A.1,99 kal
D. 8,314 joule
99
BAB VII
KESETIMBANGAN KIMIA
7.1. PENDAHULUAN
Pada umumnya ketika suatu reaksi kimia berlangsung, laju reaksi berlangsung
dan konsentrasi pereaksipun berkurang. Dalam banyak hal, setelah waktu tertentu reaksi
dapat berkesudahan, yaitu semua pereaksi habis bereaksi. Namun banyak reaksi tidak
berkesudahan dan pada seperangkat kondisi tertentu, konsentrasi pereaksi dan produk
reaksi menjadi tetap. Reaksi yang demikian disebut reaksi reversibel dan mencapai
kesetimbangan. Pada reaksi semacam ini produk reaksi yang terjadi bereaksi membentuk
kembali pereaksi. Ketika reaksi berlangsung laju reaksi ke depan (ke kanan), sedangkan
laju reaksi sebaliknya bertambah, sebab konsentrasi pereaksi berkurang dan konsentrasi
produk reaksi bertambah.
Dalam bahasan berikut ini kita akan membicarakan beberapa jenis reaksi
kesetimbangan yang berbeda-beda, pengertian kesetimbangan dan hubungannya dengan
konstanta kecepatan reaksi, serta faktor-faktor yang dapat mengganggu suatu sistem
kesetimbangan.
Kemajuan reaksi ini mudah dimonitor karena N2O4 adalah suatu gas tak
berwarna, sedangkan NO2 adalah gas berwarna coklat tua.
100
Andaikan sejumlah tertentu gas N2O4 diinjeksikan ke dalam labu tertutup maka
segera tampak warna coklat yang menunjukkan terbentuknya molekul NO2. Intensitas
warna terus meningkat dengan berlangsungnya peruraian N2O4 terus-menerus sampai
kesetimbangan tercapai. Pada keadaan ini, tidak ada lagi perubahan warna yang teramati.
Secara eksperimen kita juga dapat mendapatkan keadaan kesetimbangan di mana gas
NO2 murni sebagai starting material (bahan baku), atau dengan suatu campuran antara
o
gas NO2 dan gas N2O4. Tabel 6.1. memperlihatkan beberapa data eksperimen pada 25 C
untuk reaksi-reaksi tersebut.
N2 O4
Konsentrasi
N2O
Konsentrasi
4
N2O4
NO2
Konsentrasi
NO2
NO2
tk tk tk
Gambar 7.1 Perubahan konsentrasi NO2 dan N2O4 dengan waktu, (a) mula-mula hanya NO2 yang
ada, (b) mula-mula hanya N2O4 yang ada, (c) mula-mula yang ada adalah campuran
NO2 dan N2O4.
o
Tabel 7.1 Data sistem NO2N2O4 pada 25 C
Konsentrasi
mula-mula
(M)
[NO2]
0,0000
0,0500
0,0300
0,0400
0,2000
K NOO2 4,63 103
2
...................... (5.1)
N 4
2
Harus diingat bahwa pangkat 2 untuk [NO2] dalam pernyataan ini adalah sama
dengan koefisien stoikiometri untuk NO2 dalam persamaan reaksi dapat balik.
Kita dapat membuat menjadi lebih umum pembicaraan ini dengan meninjau
reaksi dapat balik berikut:
K
C c D d .......................(5.2)
A a B b
Persamaan (5.2) adalah suatu bentuk matematika hukum aksi massa yang
diusulkan oleh Cato Gulberg dan Peter Waage pada tahun 1864.
Konsep konstanta kesetimbangan sangat penting dalam ilmu kimia. Konsep ini
digunakan sebagai kunci untuk menyelesaikan berbagai permasalahan stoikiometri yang
melibatkan sistem kesetimbangan. Untuk menggunakan konstanta kesetimbangan, kita
harus mengetahui cara menyataSkannya dalam konsentrasi-konsentrasi reaktan dan
produk. Oleh karena konsentrasi reaktan dan produk dapat dinyatakan dalam beberapa
jenis satuan, dan fase spesies pereaksi tidak selalu sama maka dimungkinkan ada lebih
dari satu cara untuk menyatakan konstanta kesetimbangan dari reaksi yang sama.
Kesetimbangan homogen adalah reaksi dalam mana semua spesies pereaksi ada
dalam fase yang sama. Salah satu contoh kesetimbangan homogen fase gas adalah
peruraian N2O4. Konstanta kesetimbangannya dinyatakan dalam persamaan:
K c NO
2
...................... (5.3)
N 2 O4
Kc adalah konstanta kesetimbangan di mana konsentrasi pereaksi-pereaksi
dinyatakan dalam mol per liter. Konsentrasi reaktan dan produk gas dapat dinyatakan
dalam tekanan parsialnya {ingat: P = (n/V)RT }. Jadi untuk proses kesetimbangan
Umumnya Kc tidak sama dengan Kp karena tekanan parsial reaktan dan produk
tidak sama dengan konsentrasinya yang dinyatakan dalam mol per liter. Hubungan
sederhana antara Kc dan Kp dapat diturunkan sebagai berikut. Andaikan suatu reaksi
kesetimbangan dalam fase gas
dinyatakan dengan
n A RT
PA
V
di mana V adalah volume wadah dalam satuan liter. Demikian pula
PBV = nBRT
nB RT
PB
V
Dengan mengganti hubungan ke dalam pernyataan Kp maka diperoleh persamaan
n RT n
B
B
b b
V V
K p n RT a RTba
A n
A
a
V V
Sekarang nA/V dan nB/V mempunyai satuan mol/L dan dapat dinyatakan dengan
[A] dan [B], sehingga
Kp B RT n
b
.........(5.5)
Aa
K c RT n
di mana n = b - a
= (mol gas produk) - (mol gas reaktan)
Oleh karena tekanan biasanya dinyatakan dalam atm maka harga R yang
-1 -1
digunakan adalah 0,0821 L atm mol K , dan kita dapat menulis hubungan antara Kp dan
Kc sebagai
n
Kp = Kc(0,0821 T) ................................ (5.6)
Umumnya Kp Kc kecuali dalam hal khusus jika n = 0.
Contoh soal 1 :
o
Konstanta kesetimbangan (Kc) pada 25 C untuk reaksi
n
Kp = Kc(0,0821 T)
Reaksi dapat balik yang melibatkan reaktan dan produk berbeda fase disebut
kesetimbangan heterogen. Sebagai contoh, jika kalsium karbonat dipanaskan dalam
suatu bejana tertutup maka akan tercapai kesetimbangan seperti berikut:
Konstanta kesetimbangan dari reaksi kesetimbangan ini diharapkan seperti
K
berikut: c '
CaOCO2
....................... (5.7)
CaCO3
Oleh karena CaCO3 dan CaO adalah padatan murni, maka konsentrasinya
dianggap tidak berubah selama reaksi berjalan. Melalui penataan ulang persamaan (5.7)
maka diperoleh:
CaCO3 K c' CO2 .................. (5.8)
CaO
Oleh karena [CaCO3] dan [CaO] konstan dan K C' adalah suatu konstanta
kesetimbangan maka semua suku yang ada di sebelah kiri persaamaan (5.8) adalah
konstanta.
[CaCO3 ] Kc' Kc [CO2 ]
[CaO]
Dalam hal ini konstanta kestimbangan adalah suatu bilangan yang sama dengan
tekanan CO2.
maka
NO2
2
3
K c N O 4,63 10
2 4
Selanjutnya, jika kesetimbangan dituliskan seperti berikut :
K
' N2 O4 1
1
3
216
c NO 2 2 K c 4,63 10
'
K
NO 2
2 O4
1/2
c
N
Sedangkan kalau persamaan dituliskan seperti berikut:
N2O4 2 NO2(g)
(g)
maka
NO2 2
Kc
N 2 O4
Terlihat bahwa
K 'c Kc
o
Di dalam suatu percobaan pada 430 C, ke dalam wadah 1,00 L ditempatkan 0,243
mol H2; 0,146 mol I2 dan 1,98 mol HI. Akankah dalam reaksi tersebut membentuk H2 dan
I2, atau HI lagi ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus memasukkan
harga konsentrasi-konsentrasi zat awal ke dalam pernyataan konstanta kesetimbangan
seperti berikut:
HI o2
H 2 o I 2 o 111
di mana indeks “o” menyatakan konsentrasi awal. Oleh karena hasil bagi
[HI]o2/[H2]o[I2]o lebih besar daripada Kc (54,3), berarti sistem ini belum mencapai
kesetimbangan. Akibatnya beberapa HI akan bereaksi membentuk H2 dan I2. Jadi reaksi
berjalan dari kanan ke kiri untuk mencapai kesetimbangan.
Kuantitas yang diperoleh melalui pemasukan harga konsentrasi awal spesies-
spesies ke dalam pernyataan konstanta kesetimbangan disebut hasil bagi reaksi (Qc).
Untuk menentukan arah pergeseran reaksi untuk mencapai kesetimbangan, kita harus
membandingkan harga Qc dengan Kc. Ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi:
1. Qc > Kc Harga perbandingan konsentarasi awal produk terhadap reaktan
adalah cukup besar. Untuk mencapai kesetimbangan maka produk harus berubah
menjadi reaktan. Proses berjalan dari kanan ke kiri.
2. Qc = Kc
3. Qc < Kc
Contoh soal 2 :
o -2
Suatu reaksi pada 200 C, mula-mula terdapat 0,249 mol N2, 3,21x10 mol H2,
-4
dan 6,42x10 mol NH3 dalam tabung reaksi 3,50 L. Jika konstanta kesetimbangan (Kc)
pada temperatur tersebut untuk reaksi
N2(g) + 3H2(g) 2NH3(g)
adalah 0,65 ; tentukan apakah reaksi berada pada keadaan kesetimbangan?. Jika
tidak, prakirakan ke arah mana reaksi berjalan!.
Jawab:
Konsentrasi awal spesies-spesies dalam reaksi adalah
0,249 mol 0,0711 M
[N 2 ]0
3,50 L
-3
3,21 x 10 9,17 x 10 M
-
[H 2 ]0 2
-4
3,50 L
6,42 x 10 mol
1,83x 10 M
-4
[NH 3 ]0
3,50 L
Selanjutnya kita bandingkan konsentrasi produk dengan reaktan.
[NH 3 ]20 (1,83 x 10-4 2)
3 -3 3 0,611 Qc
[N 2 ]0 [H 2 ]0 (0,0711)(9,17 x 10 )
Oleh karena Qc lebih kecil daripada Kc (0,65) maka sistem tidak berada dalam
keadaan kesetimbangan. Reaksi akan berjalan dari kiri ke kanan sampai kesetimbangan
tercapai.
7.5. PENGHITUNGAN KONSENTRASI DALAM KESETIMBANGAN
Jika kita mengetahui harga konstanta kesetimbangan untuk suatu reaksi tertentu
maka kita dapat menghitung konsentrasi campuran pada kesetimbangan dari data
konsentrasi awal. Penghitungan dapat langsung ataupun rumit, tergantung pada data yang
diberikan. Di dalam situasi yang umum, hanya data konsentrasi awal reaktan yang
diberikan. Sebagai contoh, marilah kita tinjau sistem berikut yang mempunyai konstanta
kesetimbangan (Kc) = 24,0 pada suatu temperatur tertentu.
A B
Anggaplah bahwa A yang mula-mula ada adalah 0,850 mol/L. Dari stoikiometri
reaksi terlihat bahwa setiap 1 mol A yang berubah akan dihasilkan 1 mol B. Jika
konsentrasi B pada kesetimbangan adalah x maka konsentrasi A pada kesetimbangan
adalah (0,850 - x) mol/L.
A B
Mula-mula (M):
Perubahan :
Kesetimbangan: (0,850 - x) x
K c B
A
x
24,0
0,850 x
x 0,816 M
Contoh soal 3 :
Suatu campuran 0,500 mol H2 dan 0,500 mol I2 ditempatkan dalam tabung 1,00 L
o
pada 430 C. Hitunglah konsentrasi H2, I2, dan HI pada kesetimbangan. Diketahui
konstanta kesetimbangan (Kc) reaksi:
H2(g) + I2(g) 2HI(g)
pada temperatur tersebut adalah 54,3.
Jawab:
Langkah 1: Stoikiometri reaksi adalah 1 mol H2 bereaksi dengan 1 mol I2 menghasilkan 2
mol HI. Bila x adalah pengurangan (dalam mol/L) masing-masing H2 dan I2 pada
kesetimbangan, maka konsentrasi HI yang terjadi adalah 2x.
Konsentrasi kesetimbangan (M):(0,500 - x) (0,500-x) 2x
Kc
HI2
H 2 I 2
Dengan memasukkan harga-harganya maka diperoleh
54,3 2x 2
0,500 x 0,500 x
Dengan demikian,
Ag Cl K
AgCl c
Konsentrasi perak klorida dalam fase padat adalah suatu konstanta dan tidak
berubah. Tidak peduli berapa banyak padatan itu yang kontak dengan larutan. Oleh
karenanya kita dapat menuliskan
+ -
[Ag ][Cl ] = Kc[AgCl (p)] = Ksp
Konstanta Ksp disebut konstanta hasil kali kelarutan (solubility product), dan
+ -
pernyataan [Ag ][Cl ] adalah hasil kali konsentrasi ion-ion hasil. Bila larutan jenuh
berada dalam kesetimbangan dengan padatan yang berlebih, hasil kali konsentrasi ion-
+
ionnya harus sama dengan harga Ksp-nya. Tidak ada pembatasan bahwa konsentrasi Ag
- +
harus sama dengan konsentrasi Cl . Konsentrasi Ag boleh saja tidak sama dengan
-
konsentrasi ion Cl , tapi hasil kalinya sama dengan Ksp.
Harga Ksp harus ditentukan melalui percobaan. Salah satu contoh percobaan
yang dilakukan adalah sebagai berikut: barium sulfat digerus dan diaduk dalam satu liter
o
air pada 25 C sampai terbentuk larutan jenuh. Larutan disaring, endapan BaSO4 yang
berlebih disingkirkan, dan filtratnya dievaporasi sampai kering. Endapan BaSO4 yang
diperoleh dari filtrat kemudian dikeringkan dan ditimbang. Kelarutan BaSO4 dalam air
o -5
pada 25 C yang diperoleh adalah 3,9 x 10 mol/L.
Seperti halnya semua garam, BaSO4 adalah elektrolit kuat dan terurai sempurna
-5 2+
dalam air. Oleh karenanya jika 3,9 x 10 mol/L BaSO4 yang terlarut, ion Ba yang
-5 2- -5
terbentuk adalah 3,9 x 10 mol/L dan ion SO4 juga 3,9 x 10 mol/L.
2+
Hal ini berarti bahwa untuk suatu larutan jenuh BaSO4, hasil kali konsentrasi Ba
2- -9 2+
dengan konsentrasi SO4 harus sama dengan 1,5 x 10 . Jika hasil kali [Ba ] dengan
2- -9
[SO4 ] lebih kecil daripada 1,5 x 10 , larutan tersebut belum jenuh dan padatan BaSO4
2+ 2-
masih dapat melarut untuk meningkatkan konsentrasi Ba dan SO4 . Jika hasil kali
2+] 2-] -9
[Ba dengan [SO4 lebih besar daripada 1,5 x 10 , BaSO4 akan mengendap untuk
2+ 2-
menurunkan konsentrasi Ba dan SO4 .
2+
Kita dapat membuat larutan yang dalam kesetimbangan konsentrasi Ba dan
2-
SO4 tidak sama. Sebagai contoh: andaikan kita mencampur larutan BaCl2 dengan
2+ 2-
Na2SO4 dalam jumlah yang berbeda. Jika hasil kali konsentrasi Ba dan SO4
melampaui harga Ksp BaSO4 maka terbentuk endapan BaSO4. Dalam hal ini konsentrasi
2+ 2-
ion Ba pasti tidak sama dengan konsentrasi ion SO4 , karena mereka berasal dari
sumber yang berbeda. Dengan alasan ini pula, kelarutan BaSO4 dalam larutan Na2SO4
atau dalam larutan BaCl2 akan lebih kecil daripada kelarutannya dalam air murni.
3-
Larutan merah berubah menjadi kuning karena pembentukan ion Fe(C2O4)3 .
Contoh soal 4 :
o
Konstanta kesetimbangan (Kc) pada 350 C untuk reaksi
N2(g) + 3H2(g) 2NH3(g)
-3
adalah 2,37x10 . Dalam suatu percobaan, konsentrasi-konsentrasi pada
kesetimbangan: [N2] = 0,683 M, [H2] = 8,80 M, dan [NH3] = 1,05 M. Kemudian ke dalam
campuran ditambahkan NH3 sehingga konsentrasinya meningkat menjadi 3,65 M. (a)
Gunakanlah prinsip Le Chatelier untuk memprakirakan arah pergeseran reaksi untuk
mencapai kesetimbangan. (b) Cocokkanlah prakiraan saudara dengan perhitungan harga
pembagian (Qc) dan bandingkanlah harga ini dengan harga Kc.
Jawab:
a. Gangguan yang diberikan kepada sistem adalah penambanhan NH3. Untuk mengatasi
gangguan ini, beberapa NH3 bereaksi menghasilkan N2 dan H2 sampai tercapai
kesetimbangan baru. Reaksi bergeser dari kanan ke kiri,
N2(g) + 3H2(g) 2NH3(g)
b. Setelah penambahan NH3 , sistem segera mencapai kesetimbangan. Perbandingan
reaksi dinyatakan dengan
Qc
NH302
N 2 0 H 230
3,65
2
0,6838,803
-2
2,86 10
-3
Oleh karena harga Qc lebih besar daripada harga Kc (2,37 x 10 ) maka reaksi akan
bergeser dari kanan ke kiri sampai Qc sama dengan Kc.
7.7.2. Perubahan Volume dan Tekanan
Perubahan tekanan tidak mempengaruhi konsentrasi spesies fase cair dan padat.
Akan tetapi konsentrasi gas sangat dipengaruhi oleh perubahan tekanan. Mari kita lihat
persamaan berikut:
PV nRT
nRT
P V
Jadi P dan V saling berhubungan secara timbal-balik. Pada jumlah mol dan T
tetap, semakin besar tekanan maka volume semakin kecil, demikian sebaliknya. Suku
(n/V) adalah konsentrasi dalam mol/L, dan dipengaruhi langsung oleh perubahan tekanan.
K c NO 2
2
N 2 O 4
Kemudian tekanan gas dalam tabung ditingkatkan dengan cara menekan piston.
Oleh karena volume menurun maka konsentrasi N2O4 (stoikhiometri kecil) meningkat
sedangkan [NO2]. Pada pernyataan konstanta kesetimbangan terlihat bahwa [NO2]
dikuadratkan, sedangkan [N2O4] hanya pangkat satu. Oleh karenanya peningkatan
tekanan akan menyebabkan sistem tidak berada pada posisi kesetimbangan dalam hal ini
terjadi perubahan dari kanan ke kiri.
Qc
NO 220
N 2 O 4
0
Umumnya peningkatan tekanan (penurunan volume) lebih disukai oleh reaksi
yang menurun jumlah mol total gasnya, dan penurunan tekanan (peningkatan volume)
lebih disukai oleh reaksi yang meningkat jumlah mol total gasnya. Untuk reaksi yang
tidak ada perubahan jumlah mol gas totalnya, perubahan tekanan dan volume tidak akan
menggeser posisi kesetimbangan.
Pada gambar terlihat perbedaan energi rintangan antara reaksi yang dikatalis
dengan reaksi tanpa katalis. Sebagaimana terlihat pada Gambar 7.2, katalisator
menurunkan energi rintangan reaksi sehingga kecepatan rekasi meningkat. Jika energi
rintangan perubahan ke arah maju diturunkan maka energi rintangan untuk perubahan ke
arah belakang juga turun. Dengan demikian, peningkatan kecepatan reaksi oleh
katalisator ke arah maju harus sama dengan peningkatan kecepatan reaksi ke arah
sebaliknya.
Soal-soal latihan
1. Satu mol gas hidrogen dan satu mol gas Iodium dimampatkan dalam wadah 2 L, pada
temperatur tertentu. Tetapan kesetimbangan sama dengan 64,0. Hitung berapa mol
gas hidrogen, H2, iodium, I2 dan asam iodida, KI pada keadaan setimbang !
o
5. Sejumlah gas PCl5 ditempatkan dalam satu wadah ukuran 1 L pada suhu 200 C. Jika
derajat disosiasinya 0,574 dan tekanan total 0,5 atm maka hitung Kp-nya !
6. Tetapan kesetimbangan untuk reaksi A → B + C sama dengan 1,60. Diperlukan
berapa mol A dalam wadah 2,0 L untuk memperoleh 0,5 mol C pada keadaan
kesetimbangan ?
o
8. Sejumlah gas N2O4 ditempatkan dalam suatu wadah, T = 150 C. Tekanan total pada
o
kesetimbangan adalah 0,64 atm, derajat disosiasi 0,40. Hitunglah Kp dan ΔG reaksi nya
pada suhu tersebut.
9. Suatu gas X dengan tekanan 4 atm, diberi katalis sehingga terurai dan mencapai
kesetimbangan X(g) 2Y (g) dengan harga Kp = 4/3. Berapakah tekanan total
pada saat setimbang ?
10. Jika untuk reaksi kesetimbangan : N2O4 (g) 2NO2(g), dengan derajat disosiasi
α dan tekanan total P atm. Bagaimanakah ungkapan reaksinya ?
11. Tetapan kesetimbangan untuk reaksi A + 3B C sama dengan 0,25. Berapa
jumlah mol A yang harus dicampurkan dengan 4 mol B dalam volume 2 L untuk
memperoleh 1 mol C pada keadaan setimbang ?
3,37
13. Pada 300 K reaksi A(g) + B(g) AB(g) mempunyai harga Kp = e . Jika
o o
ΔH reaksi adalah -1,9 kJ. Hitunglah ΔS !
14. Terangkanlah bagaimana keadaan produk reaksi dibawah ini jika tekanan dinaikkan.
a. N2(g) + 2O2(g) NO2
b. 2CO2(g) 2CO(g) + O2(g)
c. 4HCl(g) + O2(g) 2Cl2(g) + 2H2O(g)
d. 2NH3(g) 3H2(g) + N2(g)
15. Diketahui :
o
N2(g) + 3H2(g) 2NH3(g) pada suhu 25 C
8
Kc = 4,1 x 10
Hitung konsentrasi NH3 jika pada keadaan kesetimbangan konsentrasi N2 dan H2
masing-masing 0,010 M.
PUSTAKA
1. McMurry J, Fay RC. 2003. Chemistry. Ed. Ke-4. New Jersey: Prentice Hall.
2. Olmsted JA, Williams JM. 2005. Chemistry. Ed. Ke-4. New York: John Wiley &
Sons.
3. Silberberg SM. 2007. Principles of General Chemistry. New York: McGraw-Hill.
4. Whitten WK, Davis RE, Peck ML, Stanley GG. 2003. General Chemistry.
California: Brook Cole.