Email :leaveurmailhere@gmail.com
Pendahuluan
Pembahasan
Skenario 3
1
Seorang laki-laki berusia 45 tahun, datang ke dokter untuk berkonsultasi karena ia
merasa semakin lemas sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus
sejak 5 tahun yang lalu dan minum metformin dan glibenklamid secara teratur.
A. Anamnesis
Anamnesis atau wawancara medis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan
pasien, baik secara langsung pada pasien yang bersangkutan atau secara tidak langsung
melalui keluarga maupun relasi terdekatnya. Setelah anamnesis, kita dapat merumuskan
masalah-masalah pasien dan dilanjutkan dengan proses pengkajiannya. Kemudian ditetapkan
rencana pengelolaan terhadap pasien, yaitu rencana pemeriksaan untuk diagnosis,
pengobatan, maupun penyuluhannya, dan diikuti dengan pelaksanaan rencana tersebut
beserta evaluasi atau tindak lanjuitnya.22
Data anamnesis, terdiri atas beberapa kelompok data penting sebagai berikut:
Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, nama orang tua atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa
dan agama.3
Keluhan Utama. Keluhan utama merupakan bagian paling penting dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Anamnesis ini biasanya memberikan informasi terpenting untuk
mencapai diagnosis banding, dan memberikan wawasan vital mengenai gambaran keluhan
yang menurut pasien paling penting.4 Pada skenario 3, keluhan utama pasien adalah lemas
sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan
minum obat secara teratur.
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS). RPS adalah cerita kronologis, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang
berobat.2 Biasa pasien datang dengan keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.1
3P (poliuri, polidipsia, polifagia). Pada poliuri tanyakan apakah pasien merasa haus
atau lelah yang lebih dari biasanya, mengalami penurunan berat badan lebih dari 5% akhir-
akhir ini. Eksplorasi tentang frekuensi dan pola poliuria, mulai terjadi gejala, adakah faktor
presipitasi, bagaimana pola dan jumlah asupan cairan perhari. Tanyakan adakah gangguan
penglihatan, sakit kepala, trauma kepala yang dapat merupakan gejala awal diabetes
2
insipidus. Terakhir tanyakan tentang obat-obat yang digunakan pasien. Begitu pula pada
polidipsia perlu ditanyakan berapa banyak minum setiap harinya, berapa sering dan berapa
banyak pasien berkemih, apakah malam hari ketika ingin berkemih sampai menyebabkan
pasien terbangun, apakah di keluarga terdapat riwayat penyakit diabetes atau ginjal, serta
apakah ada obat yang diminum secara rutin akhir ini. Sedangkan pada polifagia, bisa
ditanyakan adakah perubahan kebiasaan makan, program diet yang dijalani, serta bagaimana
asupan makanan, kualitas, dan kuantitas.5
Diabetes mellitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis diabetik, koma hiperglikemia,
disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia (poliuria, polidipsi, nokturia), efek samping
diabetes pada organ akhir (IHD, retinopati, penyakit vaskular perifer, neuropati perifer), atau
komplikasi akibat meningkatnya keretanan terhadap infeksi (misalnya ISK, ruam kandiada).
Keadaan ini juga bisa ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan pemeriksaan darah atau
urin.2 Maka hal di atas harus ditanyakan secara lengkap melalui anamnesis.4
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD). RPD penting untuk mencatat secara rinci semua
masalah medis yang pernah timbul sebelumnya dan terapi yang pernah diberikan, seperti
adakah tindakan operasi dan anastesi sebelumnya, kejadian penyakit umum tertentu. 4
Pada pasien yang diketahui mengidap diabetes mellitus perlu ditanyakan bagaimana
manifestasinya dan apakah obat yang didapat, bagaimana pemantauan untuk control, seperti
frekuensi pemeriksaan pemeriksaan urin, tes darah, HbA1C, buku catatan, kesadaran akan
hipoglikemia, serta tanyakan mengenai komplikasi sebelumnya. 4
2. Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular perifer
(klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus, perawatan kaki, impotensi),
neuropati perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesis – muntah, kembung,
diare)
4. Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida
6. Hipertensi – tetapi
3
7. Diet, berat badan, atau olahraga
Riwayat Pribadi dan Sosial. Secara umum menanyakan bagaimana kondisi sosial,
ekonomi dan kebiasaan-kebiasaan pasien seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, dan hal
yang berkaitan. Asupan gizi pasien juga perlu ditanyakan, meliputi jenis makanannya,
kuantitas dan kualitasnya. Begitu pula juga harus menanyakan vaksinasi, pengobatan, tes
skrining, kehamilan, riwayat obat yang pernah dikonsumsi, atau mungkin reaksi alergi yang
dimiliki pasien. Selain itu, harus ditanyakan juga bagaimana lingkungan tempat tinggal
pasien.4
Riwayat Keluarga. Riwayat keluarga berguna untuk mencari penyakit yang pernah
diderita oleh kerabat pasien karena terdapat kontribusi genetik yang kuat pada berbagai
penyakit. Sedangkan riwayat sosial penting untuk memahami latar belakang pasien, pengaruh
penyakit yang diderita terhadap hidup dan keluarga mereka. Selain itu yang juga perlu
diperhatikan adalah riwayat berpergian (penyakit endemik).4
B. Pemeriksaan Fisis
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang memiliki efek kepada seluruh tubuh.
Maka dalam pemeriksaan fisik harus dilakukan pemeriksaan secara lengkap. Dan biasanya
ditemukan beberapa kelainan sebagai berikut:6
4
Gambar 1. Keadaan-keadaan yang mungkin ditemukan dalam pemeriksaan fisik.6
5
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisis sesuai tiga keluhan utama pada pasien DM
yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia.
Poliuri. Pada poliuri perlu dilakukan evaluasi status hidrasi pasien, perhatikan adakah
kekeringan pada kulit dan membran mukosa, penurunan turgor, dan elastisitas kulit, serta
berkurangnya keringat.5
Polidipsi. Pada keadaan ini perlu diperiksa tanda-tanda dehidrasi, seperti mukosa
mulut atau bibir yang kering dan turgor kulit yang turun.5
Pada skenario 3, pasien memiliki IMT 22,5, yang artinya adalah berat badan normal.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu, pengambilan sampel darah dilakukan
tanpa perlu memperhatikan waktu terakhir makan. Pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
plasma vena dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring dan memastikan diagnosis,
sedangkan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu darah kapiler hanya untuk pemeriksaan
penyaring saja. Pada pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, pengambilan sampel darah
dilakukan setelah penderita berpuasa paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa dari plasma vena dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring,
memastikan diagnosis, memantau hasil pengobatan, dan pengendalian DM. Sedangkan
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dari darah kapiler hanya digunakan untuk
pemeriksaan penyaring, memantau hasil pengobatan, dan pengendalian DM.7
Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan (post prandial) sukar dilakukan
standarisasi karena jenis dan jumlah makanan yang dimakan sukar disamakan. Selain itu
sukar pula mengamati apakah pasien dalam tenggang waktu 2 jam untuk tidak makan atau
minum lagi. Namun pemeriksaan glukosa darah 2 jam post prandial masih bermanfaat untuk
memantau pengobatan dan pengendalian DM.7
7
Pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa (TTGO)
merupakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM bila
berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau sewaktu diagnosis DM belum
dapat dipastikan. Dengan demikian, pemeriksaan ini tidak diperlukan bagi penderita dengan
gejala khas DM dan kadar glukosa darah puasa dan atau sewaktu yang memenuhi kriteria
diagnostik DM.7
3. Puasa paling sedikit 8 jam, mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih
diperbolehkan
7. Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
8
Metode pemeriksaan kadar glukosa darah. Metode pemeriksaan glukosa darah
terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu metode kimia dan metoe enzimatik. Metode pemeriksaan
yang dianjurkan adalah metode enzimatik. Prinsip metode kimia adalah berdasarkan atas
kemampuan reduksi. Dengan metode ini, selain glukosa darah terukur pula zat-zat yang
mempunyai kemampuan untuk mereduksi sehingga akan diperoleh hasil yang lebih tinggi
daripada keadaan seharusnya. Sedangkan metode enzimatik, metode ini bersifat spesifik
terhadap glukosa. Dikenal dua maca metode enzimatik, yaitu metode glucose oxidase dan
metode hexokinase.7
Tabel 2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis
DM (mg/dl)1
Bukan DM Belum pasti DM DM
Plasma vena <110 110-199 ≥200
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler <90 90-199 ≥200
Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO pada penderita
tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu antara 110-199
mg/dl tercantum pada table dibawah ini.7
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa Darah
Sewaktu 110-199 mg/dl.7
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Penilaian
<140 Normal
140-199 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
≥200 DM
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau 2
jam setelah makan perlu dilakukan untuk menyesuaikan dosis obt yang diberikan
pada penderita DM.
11
kecil hemoglobin, bersifat stabil dan terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-
enzimatik dari hemoglobin dan glukosa. Reaksi non-enzimatik ini berlangsung terus-
menerus sepanjang eritrosit (kira-kira 120 hari), sehingga eritrosit tua mengandung
A1C lebih tinggi daripada eritrosit muda. Proses glikosilasi non-enzimatik ini
dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa darah. Karena eritrosit bersifat permeabel
dialalui glukosa maka pengukuran kadar A1C mencerminkan keadaan glikemik
selama masa 120 hari. Berdasarkan waktu paruh A1C yang lamanya sekitar setengah
dari masa hidup eritrosit yaitu 60 hari, maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk
memantau keadaan glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lampau. Nilai normal
kadar A1C adalah 5-8% dari kadar Hb total. Pada penderita DM dengan hiperglikemi
kronik, jumlah protein yang terglikosilasi (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan A1C
digunakan untuk menilai efek perubahan pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi
tidak dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini
dianjurkan untuk dilakukan sedikitnya 2 kali dalam setahun.
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri. Sampel darah untuk pemeriksaan ini adalah
darah kapiler dan diperlukan reagen kering. Pada umumnya pemeriksaan ini
sederhana dan mudah dilakukan. Yang perlu diingat adalah alat pemriksaan perlu
dikaliberasi. PDGM dianjurkan bagi pasien yang mendapat pengobatan dengan
insulin atau pemicu sekresi insulin.
5. Pemeriksaan benda keton. Pemeriksaan benda keton darah maupun urin cukup
penting dilakukan terutama pada penderita DM tipe-2 terkendali buruk, misalnya
kadar glukosa darah >300 mg/dl, penderita DM tipe-2 dengan penyulit akut, serta
terdapat gejala keto asidosis diabetik (KAD), dan pada penderita DM tipe-2 yang
sedang hamil. Pemeriksaan benda keton dapat dilakukan dengan metode carik celup,
metode Rothera, dan metode Gerhardt. Benda keton dalam darah yang penting adalah
asam betahidroksi butirat. Bila kadar benda keton darah <0.6 mmol/L dianggap
normal, kadar benda keton darah diatas 1 mmol/L disebut ketosis, dan kadar benda
keton darah diatas 3 mmol/L merupakan indikasi adanya KAD. Dengan melakukan
12
pemeriksaan ini, diharapkan penyulit akut DM dapat dicegah, khusunya KAD, yang
mempunyai angka kematian yang tinggi.
Untuk penderita berumur lebih dari 60 tahun kadar glukosa darah lebih tinggi yaitu
kadar glukosa darah puasa <150 mg/dl dan kadar glukosa darah sesudah makan <200 mg/dl.
Demikian pula dengan kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain mengacu pada batasan kriteria
pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus penderita usia lanjut dan
juda mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.7
13
D. Differential Diagnosis
LADA.
MODY.
E. Working Diagnosis
Dalam beberapa dekade akhir ini hasil penelitian baik klinik maupun laboratorik
menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan suatu keadaan heterogen baik sebab
maupun macamnya. Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes, tetapi sebenarnya
ada yang berpendapat diabetes hanya merupakan suatu spectrum defisiensi insulin. Individu
yang kekurangan insulin secara total atau hampir total dikatakan sebagai diabetes “Juvenile
onset” atau “insulin dependent” atau “ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi
kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat
individu yang “stable” atau “maturity onset” atau “non-insulin dependent”. Orang-orang ini
hanya menunjukkan defisiensi insulin yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka
mungkin memerlukan suplementasi insulin, tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis
walaupun insulin eksogen dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin terdapat kenaikan
jumlah insulin secara absolute bila dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini biasanya
berhubungan dengan obesitas dan atau inaktifasi fisik.1
Sesuai dengan konsep mutakhir, kedua kelompok besar diabetes dapat dibagi lagi atas
kelompok kecil. Pada satu kelompok besar “IDDM” (Insulin Dependent Diabetes
Mellitus)atau diabetes tipe 1, terdapat hubungan dengan HLA tertentu pada kromosom 6 dan
beberapa auto-imunitas serologik dan cell-mediated. Infeksi virus pada atau dekat sebelum
onset juga disebut-sebut berhubungan dengan patogenesis diabetes. Pada percobaan binatang,
virus, dan toksin diduga berpengaruh pada kerentanan proses auto-imunitas ini.1
Kelompok besar lainnya “NIDDM” (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) atau
diabetes tipe 2, tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau autoimunitas dan
14
biasanya mempunyai sel beta yang masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak
bergantung kepada insulin seumur hidup.1
Dalam teminologi juga terdapat perubahan dimana pada klasifikasi WHO 1985 tidak
lagi terdapat istilah tipe 1 dan tipe 2. Tetapi karena istilah ini sudah mulai dikenal umum,
maka untuk tidak membingungkan, kedua istilah ini masih dapat dipakai tetapi tanpa
mempunyai arti khuss seperti implikasi etiopatogenik. Istilah ini pun kemudian kembali
digunakan oleh ADA pada tahun 1997 sampai 2005, sehingga DM tipe 1 dan tipe 2
merupakan istilah yang saat ini dipakai ketimbang IDDM dan NIDDM.1
F. Etiologi
Diabetes mellitus tipe 1. DM tipe ini disebabkan destruksi sel beta, dan umumnya
menjurus ke defisiensi insulin absolute melalui proses imunologik atau idiopatik.1
Diabetes mellitus tipe lain. Sedangkan diabetes mellitus tipe lain dapat disebabkan
oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, obat atau zat kimia, infeksi (seperti rubella kongenital, CMV), imunologi,
serta sindroma genetik lain.1
G. Epidemiologi
Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidka
menular yang meningkat jumlahnya. Diabetes merupakan salah satu ancaman utama bagi
kesehatan umat manusia pada abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000
jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun
waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah ini akan membengkak menjadi 300 juta
orang.1
Secara epidemiologik, diabetes sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau
mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas
15
dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini. Penelitian lain menyatakan
bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat
karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah
secara epidemiologic diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lamanya
obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani, dan hiperinsulinemia. Semua
faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya
DM tipe 2.1
H. Patofisiologi
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh salah satu
atau lebih faktor berikut, yaitu kerusakan sekresi insulin, produksi glukosa yang tidak tepat di
dalam hati, atau penurunan sensitivitas reseptor insulin perifer. Faktor genetik merupakan hal
yang signifikan, dan awitan diabetes dipercepat oleh obesitas serta gaya hidup sering duduk.
Sekali lagi stress tambahan dapat menjadi faktor penting.9
Pada diabetas mellitus tipe 2, jumlah insulin normal malah mungkin lebih banyak
tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang. Reseptor insulin
ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi
jumlah lubang kuncinya yang kurang, hinga walaupun anak kunci (insulin) banyak, tetapi
karena lubang kunci (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga
sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat.
Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2
di samping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi, dan normal. Keadaan ini disebut
resistensi insulin.10
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi
faktor-faktor yang berperan antara lain, obsitas terutama yang bersifat sentral, kurang gerak
badan, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, Kurang gerak badan, diet tinggi lemak dan
rendah karbohidrat, dan faktor keturunan (herediter).10
Pada DM tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal. Yang
menyolok adalah peningkatan jumlah jaringan amilois pada sel beta yang disebut amilin.10
Baik pada DM tipe 1 ataupun tipe 2 kadar glukosa darah jelas meningkat dan bila
kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urin.10
16
Kekurangan glukosa sebagai sumber energi pada sel menyebabkan berbagai macam
akibat diantaranya muncul dari tingginya kadar glukosa dalam darah disebabkan adanya
resistensi insulin atau sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor insulin. Pada sebagian
besar pasien DM tipe 2 mengalami hiperinsulinemia pada awalnya sebagai bentuk
kompensasi terhadap kurangnya glukosa yang masuk ke dalam sel, konsekuensi terjadinya
hiperinsulinemia berkepanjangan adalah terjadinya defiensi insulin yang dalam keadaan ini
relatif.10
Sekresi insulin residual berarti bahwa seseorang dengan diabetes mellitus tipe 2 tidak
mengalami ketoasidosis diabetik, namun orang tersebut dapat mengalami koma hiperosmolar
non-ketotik (HONK) yang diinduksi oleh hiperglikemia berkepanjangan serta dehidrasi dan
hipernatremia.10
Manifestasi neuropati diabatik sangat bervariasi mulai dari tanpa keluhan yang
terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisologis, hingga keluhan nyeri hebat. Bisa juga
keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada
lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi. Rasa yang dikeluhkan pasien karena neuropati
diabetik bervariasi mulai dari kesemutan, kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar, seperti
ditusuk, disobek, dan ditikam.10
17
I. Manifestasi Klinis
Keluhan khas DM berupa poliuri, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulvae pada pasien wanita.1
1. Poliuria dan polidipsia, yang disebabkan oleh osmolalitas serum yang tinggi akibat
kadar glukosa serum yan tinggi.
3. Penurunan berat badan (10% hingga 30%) karena tidak dapat metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang normal, sebagai akibat fungsi insulin yang rusak
atau tidak ada.
4. Sakit kepala, rasa cepat lelah, mengantuk, tenaga yang berkurang, dan gangguan pada
kinerja sekolah serta pekerjaan, semua ini disebabkan oleh kadar glukosa intrasel
yang rendah.
5. Kram otot, iribilitas, dan emosi yang labil, akibat ketidakseimbangan elektrolit.
8. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen, akibat neuropati otonom yang
menimbulkan gastroparesis dan konstipasi.
10. Infeksi atau luka pada kulit yang lambat sembuhnya, serta rasa gatal pada kulit.
J. Penatalaksanaan
18
Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan
karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi,
bergantung pada kebutuhan, apakah untuk mempertahankan, menurunkan atua meningkatkan
berat tubuh. Rencana diet harus dikonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan
berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan yang lebih disukai, gaya hidup, latar belakang
budaya, dan aktivitas fisik.1
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
faktor yai tu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.1
19
latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga
dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfoniurea.10,11
Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan tiazolidinedion. Metformin
yang merupakan suatu biguanid, dapat memberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan
dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin menurunkan prouksi glukosa hepatik,
menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di
hati. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan,
khususnya pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan
komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif.
Sedangkan tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi
glukosa hepatik.10,11
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan cara-
cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau
Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan
sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin.
Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya
untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek
potensial yang merugikan akibat penggunaan agen-agen hipoglikemik oral. Namun, sulfonil
urea generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang
merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan
sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid 2,5 hingga 40 mg/hari, dan gliburid
2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama dari pada glipizid,
dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan
pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien ini, absorbsi
karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial,
20
yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan
kompleks karbohidrat.10,11
Pasien-pasien dengan gejala diabetes mellitus tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar
glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi,
sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan
yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfoniurea.10,11
Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan tiazolidinedion. Metformin
yang merupakan suatu biguanid, dapat memberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan
dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin menurunkan prouksi glukosa hepatik,
menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di
hati. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan,
khususnya pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan
komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif.
Sedangkan tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi
glukosa hepatik.10,11
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan cara-
cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau
Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan
sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin.
Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya
untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek
potensial yang merugikan akibat penggunaan agen-agen hipoglikemik oral. Namun, sulfonil
urea generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang
merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan
21
sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid 2,5 hingga 40 mg/hari, dan gliburid
2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama dari pada glipizid,
dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan
pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien ini, absorbsi
karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial,
yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan
kompleks karbohidrat.10,11
K. Preventif
Pencegahan tersier. Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat
komplikasi itu. Usaha ini meliputi mencegah timbulnya komplikas, mencegah progresi dari
pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan organ, serta mencegah kecacatan tubuh.1
Dalam menyelenggarakn upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien
dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu pendekatan populasi atau
masyarakat serta pendekatan individu beresiko tinggi.1
L. Komplikasi
2. Displipidemia
22
3. Penyakit makrovaskuler, termasuk penyakit arteri koroner, arteri perifer, dan arteri
serebri
4. Ketoasidosis diabetik
7. Ulserasi kulit
M. Prognosis
Prognosis DM pada umumnya baik hanya butuh pengobatan seumur hidup dan
menjaga agar gula darah terkontrol dengan baik.
Kesimpulan
Melalui tinjauan pustaka diatas telah dipaparkan apa yang menimbulkan keluhan
pasien pada skenario 3, yaitu l lemas sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat
diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan minum obat secara teratur. Dengan demikian diambil
hipotesis bahwa OS menderita diabetes mellitus tipe II. Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang, differential diagnosis, working diagnosis, etiologi, epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, prevemtif, komplikasi, serta prognosis,
tinjauan pustaka ini mencoba untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi sehingga pasien
datang dengan keluhan tersebut, dan bagaimana cara diagnosis serta terapi yang benar dan
baik.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Ilmu penyakit dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006.h.1874-91.
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta; Interna Publishing; 2011.h.11-25, 47-8, 61,
155-65.
3. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010.h.181-3.
23
4. Gleadle Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2007.h.12-21.
6. Boon, Nicholas A. Walker, Brian. Davidson’s Principles and Practice of Medicine. 20th Edition. Elsevier.
2006.
7. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Jakarta: Bagian
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013.h.51-68.
8. Setiati S, Sari DP, Rinaldi I, Ranitya R, Pitoyo CW. Lima puluh masalah kesehatan di
bidang ilmu penyakit dalam. Buku kesatu. Jakarta: Interna Publishing; 2008.h.292-9.
24