Anda di halaman 1dari 146

OPTIMASI DIMETIL SULFOKSIDA DAN SESAME OIL SEBAGAI ENHANCER

PADA FORMULASI GEL TRANSDERMAL KETOPROFEN

SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi S1 Farmasi
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi “Yayasan Pharmasi Semarang”

Charis Satun Ni’mah


1041311039

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI SEMARANG”
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

OPTIMASI DIMETIL SULFOKSIDA DAN SESAME OIL SEBAGAI ENHANCER


PADA FORMULASI GEL TRANSDERMAL KETOPROFEN

Oleh :
Charis Satun Ni’mah
1041311039

Program Studi S1 Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi “Yayasan Pharmasi Semarang”
Pada tanggal : Juni 2017
Mengetahui
Program Studi S1 Farmasi
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi
“Yayasan Pharmasi Semarang”
Pembimbing I Ketua

Suwarmi, M.Sc., Apt. Ika Puspitaningrum, M.Sc., Apt.

Pembimbing II

I Kadek Bagiana, M.Sc., Apt.

Penguji :

1. Dr. Endang Diyah Ikasari, M.Si., Apt.

2. Dra. Siti Munisih, M.Si., Apt.

3. Suwarmi, M.Sc., Apt.

4. I Kadek Bagiana M.Sc., Apt.

ii
HALAMAN PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Charis Satun Ni’mah

NIM : 1041311039

Judul Skripsi : Optimasi Dimetil Sulfoksida dan Sesame Oil sebagai

Enhancer pada Formulasi Gel Transdermal Ketoprofen

Tahun pembuatan : 2017

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam

naskah skripsi saya dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Semarang, Juni 2017

Charis Satun Ni’mah

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah


selesai (urusan dunia) maka bersungguh-sungguhlah (dalam beribadah).
Dan hanya kepada Tuhanmu-lah berharap.
(Q.S Al Insyirah : 6-8)

Kupersembahkan skripsi ini untuk :


Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW
Kedua orang tuaku tercinta ”Bapak Jumadi dan Ibu
Masti’ah”
Sebagai wujud hormat dan terima kasihku atas perjuangan,
kasih sayang
serta doa restu yang teriring dalam setiap langkah
Kakakku tersayang “Indah Ayu Nesiyanti”
Sebagai ungkapan terima kasih atas doa semangat dan
dukungan
Bu Mamik dan Pak Kadek
Sebagai sumber inspirasi dan motivatorku
Renanda Pratama Herdianto
Atas semangat dan cinta yang selalu diberikan
Sahabat dan teman-temanku
Atas kerjasama, bantuan, hiburan serta motivasi

iv
v

Almamaterku
Sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasihku
PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat serta

salam semoga terlimpah selalu kepada hamba dan kekasih Allah, Rasulullah

Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Atas berkah rahmat dan karunia dari Allah, penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Optimasi Dimetil Sulfoksida

dan Sesame Oil sebagai Enhancer pada Formulasi Gel Transdermal

Ketoprofen”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar

Sarjana Farmasi pada Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi ”Yayasan Pharmasi

Semarang”. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu, ucapan terimakasih yang sebesar-

besarnya penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Endang Diyah Ikasari, M.Si., Apt. selaku Ketua STIFAR “Yayasan

Pharmasi Semarang” yang telah memberikan arahan, bimbingan, kritik, saran

dan semangat serta dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Ika Puspitaningrum, M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi S1 Farmasi

STIFAR “Yayasan Pharmasi Semarang”.

3. Suwarmi, M.Sc., Apt., dan I Kadek Bagiana, M.Sc., Apt. selaku dosen

pembimbing I dan pembimbing II yang telah menyisihkan sebagian waktu,

tenaga, dan ilmunya yang berharga untuk memberikan arahan, saran,

dorongan, serta bimbingan dengan sabar hingga terselesaikannya skripsi ini.

vi
4. Dr. Endang Diyah Ikasari, M.Si., Apt. atas kesediaannya menjadi dosen

penguji I yang telah memberikan arahan, kritik dan saran dalam penyusunan

skripsi ini.

5. Dra. Siti Munisih, M.Si., Apt. atas kesediaannya menjadi dosen penguji II

yang telah memberikan arahan, kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. M. Ryan Radix Rahardian, M.Sc., Apt. selaku dosen wali yang telah

memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama skripsi.

7. Bapak dan Ibu dosen STIFAR “Yayasan Pharmasi Semarang” yang telah

memberikan bekal ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.

8. Seluruh staf dan karyawan laboratorium STIFAR “Yayasan Pharmasi

Semarang” yang telah memberikan bantuan selama penelitian ini berlangsung.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari tidak ada sesuatu yang

sempurna, demikian dengan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran dari

pembaca sangat penulis butuhkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak

pihak.

Semarang, Juni 2017

Penulis

vii
SARI

Ketoprofen merupakan NSAID yang memiliki efek antiinflamasi, analgesik


dan antipiretik. Ketoprofen pada pemberian peroral mengalami first pass
metabolism di hati sehingga dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, untuk
mengurangi first pass metabolism tersebut maka dibuat sediaan gel transdermal
yaitu sistem penghantaran yang memanfaatkan kulit sebagai tempat masuknya
obat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan
komposisi dimetil sulfoksida dan sesame oil sebagai enhancer dan menentukan
formula optimum dilihat dari karakteristik fisik sediaan gel transdermal dan
jumlah ketprofen terdifusi. Untuk meningkatkan penetrasi ketoprofen digunakan
dimetil sulfoksida dengan rentang konsentrasi 5-8% dan sesame oil dengan
rentang konsentrasi 7-10% menggunakan software Design Expert 10.0.2 dengan
metode Simplex Lattice Design.
Berdasarkan hasil penelitian, dimetil sulfoksida meningkatkan pH, viskositas,
dan daya lekat, serta menurunkan daya sebar dan jumlah ketoprofen terdifusi dari
sediaan gel transdermal ketoprofen. Sesame oil meningkatkan daya sebar dan jumlah
ketoprofen terdifusi, serta menurunkan pH, viskositas, dan daya lekat dari sediaan gel
transdermal ketoprofen. Interaksi antara dimetil sulfoksida dan sesame oil
meningkatkan daya sebar dan jumlah ketoprofen terdifusi, serta menurunkan pH,
viskositas, dan daya lekat dari sediaan gel transdermal ketoprofen.
Berdasarkan software Design Expert 10.0.2 formula optimum gel
transdermal ketoprofen adalah formula dengan komposisi dimetil sulfoksida
5,08% dan sesame oil 9,92%, akan menghasilkan pH 6,846, viskositas 5351,223
cPs, daya sebar 5,511 cm, daya lekat 1,449 detik, dan jumlah ketoprofen terdifusi
sebesar 21,57%. Berdasarkan uji beda antara hasil percobaan dan hasil teoritis
berbeda tidak signifikan.

Kata kunci : Dimetil sulfoksida, enhancer, gel transdermal, ketoprofen, sesame


oil, Simplex Lattice Design

viii
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
iv
PRAKATA
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
v
SARI
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
vii
DAFTAR ISI
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN

ix
x

..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN
............................................................................................................
............................................................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah
...................................................................................................................
...................................................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah
...................................................................................................................
...................................................................................................................
3
1.3 Batasan Masalah
...................................................................................................................
...................................................................................................................
3
1.4 Tujuan Penelitian
...................................................................................................................
...................................................................................................................
4
1.5 Manfaat Penelitian
...................................................................................................................
...................................................................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
............................................................................................................
............................................................................................................
5
2.1 Tinjauan Pustaka
...................................................................................................................
...................................................................................................................
5
2.1.1 Tinjauan Tentang Kulit Manusia

5
2.1.1.1 Struktur Kulit
.............................................................................................................
.............................................................................................................
5
xi

2.1.1.2 Fungsi Kulit


.............................................................................................................
.............................................................................................................
8
2.1.1.3 Pemberian Obat Melalui Kulit
.............................................................................................................
.............................................................................................................
9
2.1.1.4 Jalur Penetrasi Zat Melalui Kulit
.............................................................................................................
.............................................................................................................
11
2.1.2 Tinjauan Tentang Transdermal

12
2.1.2.1 Keuntungan dan Kekurangan Transdermal
.............................................................................................................
.............................................................................................................
12
2.1.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Transdermal
.............................................................................................................
.............................................................................................................
13
2.1.3 Tinjauan Tentang Enhancer

15
2.1.3.1 Peningkatan Penetrasi Secara Fisika
.............................................................................................................
.............................................................................................................
15
2.1.3.2 Peningkatan Penetrasi Secara Kimia
.............................................................................................................
.............................................................................................................
17
2.1.4 Tinjauan Tentang Gel

18
2.1.4.1 Definisi Gel
.............................................................................................................
.............................................................................................................
18
2.1.4.2 Keuntungan dan Kekurangan Sediaan Gel
.............................................................................................................
.............................................................................................................
19
2.1.4.3 Sifat dan Karakteristik Gel
.............................................................................................................
.............................................................................................................
20
2.1.4.4 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Formulasi Gel
.............................................................................................................
.............................................................................................................
21
2.1.5 Tinjauan Tentang Komponen dalam Formulasi Gel

22
2.1.5.1 Ketoprofen
.............................................................................................................
.............................................................................................................
22
2.1.5.2 Carbopol
.............................................................................................................
.............................................................................................................
23
2.1.5.3 Trietanolamin
.............................................................................................................
.............................................................................................................
24
2.1.5.4 Dimetil Sulfoksida
.............................................................................................................
.............................................................................................................
25
2.1.5.5 Minyak Wijen (Sesame Oil)

xii
xiii

.............................................................................................................
.............................................................................................................
25
2.1.5.6 Gliserin
.............................................................................................................
.............................................................................................................
26
2.1.5.7 Tween 80
.............................................................................................................
.............................................................................................................
26
2.1.5.8 Metil Paraben
.............................................................................................................
.............................................................................................................
27
2.1.5.9 Propil Paraben
.............................................................................................................
.............................................................................................................
28
2.1.5.10 Aquadestilata
.............................................................................................................
.............................................................................................................
28
2.1.6 Tinjauan Tentang Sel Difusi Franz

29
2.1.7 Tinjauan Tentang Spektrofotometri UV

30
2.1.8 Tinjauan Tentang Difusi Zat Aktif

33
2.1.9 Tinjauan Tentang Metode Optimasi

33
2.2 Hipotesis
...................................................................................................................
...................................................................................................................
36
BAB III METODE PENELITIAN
............................................................................................................
............................................................................................................
37
xiv

3.1 Obyek Penelitian


...................................................................................................................
...................................................................................................................
37
3.2 Sampel dan Teknik Sampling
...................................................................................................................
...................................................................................................................
37
3.3 Variabel Penelitian
...................................................................................................................
...................................................................................................................
37
3.3.1 Variabel Bebas

37
3.3.2 Variabel Terikat

38
3.3.3 Variabel Terkendali

38
3.4 Teknik Pengumpulan Data
...................................................................................................................
...................................................................................................................
38
3.4.1 Alat dan Bahan yang Digunakan

38
3.4.1.1 Alat yang Digunakan
.............................................................................................................
.............................................................................................................
38
3.4.1.2 Bahan yang Digunakan
.............................................................................................................
.............................................................................................................
38
3.4.2 Prosedur Kerja

39
3.4.2.1 Formula
.............................................................................................................
.............................................................................................................
39
3.4.2.2 Pembuatan Gel Transdermal Ketoprofen
.............................................................................................................
.............................................................................................................
39
3.4.2.3 Evaluasi Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen
.............................................................................................................
.............................................................................................................
40
3.4.2.4 Uji Penetrasi Gel Transdermal Ketoprofen
.............................................................................................................
.............................................................................................................
41
3.4.2.5 Penentuan Formula Optimum
.............................................................................................................
.............................................................................................................
43
3.5 Analisis Data
...................................................................................................................
...................................................................................................................
44

xv
xvi

3.6 Skema Kerja


...................................................................................................................
...................................................................................................................
45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
............................................................................................................
............................................................................................................
46
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
............................................................................................................
............................................................................................................
71
5.1 Simpulan
...................................................................................................................
...................................................................................................................
71
5.2 Saran
...................................................................................................................
...................................................................................................................
71
DAFTAR PUSTAKA
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
72
LAMPIRAN
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
77
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rancangan Formula Gel Transdermal Ketoprofen


39
2. Hasil Pengujian Organoleptis dan Karaketristik Fisik Gel Transdermal
Ketoprofen
48
3. Hasil Pencarian Baku Ketoprofen
59
4. Hasil Uji Penetapan Kadar Ketoprofen dalam Gel
61
5. Hasil Perhitungan Jumlah Ketoprofen Terdifusi
62
6. Penentuan Formula Optimum
67
7. Hasil Uji Formula Optimum Karakteristik Fisik Ketoprofen dalam
Sediaan Gel
69
8. Hasil Uji Jumlah Ketoprofen Terdifusi Formula Optimum
69
9. Hasil Uji t Teoritis dan Percobaan
70

xvii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Struktur Kulit Manusia

8
2. Struktur Kimia Ketoprofen

22
3. Struktur Kimia Carbopol

23
4. Struktur Kimia Trietanolamin

24
5. Struktur Kimia Dimetil Sulfoksida

25
6. Struktur Kimia Gliserin

26
7. Struktur Kimia Tween 80

26
8. Struktur Kimia Metil Paraben

27
9. Struktur Kimia Propil Paraben

28
10. Skema Sel Difusi Franz

29
11. Komponen Pokok Spektrofotometer

31
12. Skema Kerja Penelitian

45

xviii
xix

13. Profil pH Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen Berdasarkan Simplex


Lattice Design

50
14. Profil Viskositas Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen Berdasarkan
Simplex Lattice Design

52
15. Grafik Hubungan Viskositas dan pH Gel Transdermal Ketoprofen

53
16. Profil Daya Sebar Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen Berdasarkan
Simplex Lattice Design

54
17. Grafik Hubungan Daya Sebar dan Viskositas Gel Transdermal
Ketoprofen

55
18. Profil Daya Lekat Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen Berdasarkan
Simplex Lattice Design

56
19. Drafik Hubungan Daya Lekat dan Viskotitas Gel Transdermal
Ketoprofen

58
20. Grafik Deret Baku Ketoprofen Replikasi 1

60
21. Grafik Deret Baku Ketoprofen Replikasi 2

60
22. Grafik Deret Baku Ketoprofen Replikasi 3

60
23. Grafik Jumlah Ketoprofen Terdifusi

62
24. Profil Jumlah Ketoprofen Terdifusi Sediaan Gel Transdermal
Ketoprofen Berdasarkan Simplex Lattice Design
xx

63
25. Grafik Hubungan Jumlah Ketoprofen Terdifusi dan pH Gel Transdermal
Ketoprofen

64
26. Grafik Hubungan Jumlah Ketoprofen Terdifusi dan Viskositas Gel
Transdermal Ketoprofen

65
27. Profil Area Optimum Sediaan Gel Transdermal Berdasarkan Simplex
Lattice Design

68
28. Grafik Jumlah Ketoprofen Terdifusi pada Formula Optimum

70

xxi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Certificate of Analysis Ketoprofen
77
2. Certificate of Analysis Dimetil Sulfoksida
78
3. Certificate of Analysis Sesame Oil
79
4. Certificate of Analysis Potassium Dihydrogen Phosphate
80
5. Surat Keterangan Tikus
81
6. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Ketoprofen
82
7. Penimbangan Bahan pada Formula Gel Transdermal Ketoprofen
83
8. Uji Karakteristik Gel Transdermal Ketoprofen
84
9. Data Perhitungan dan Penimbangan Deret Baku Ketoprofen
85
10. Kurva Deret Baku Ketoprofen
87
11. Penetapan Kadar Zat Aktif Gel Transdermal Ketoprofen
88
12. Hasil Perhitungan Jumlah Ketoprofen Terdifusi
91
13. Hasil Optimasi
95
14. Persamaan Optimasi berdasarkan Design Expert 10.0.2
97
15. Hasil ANOVA berdasarkan Design Expert 10.0.2
102
16. Hasil Optimasi Formula Optimum Design Expert 10.0.2
105

xxii
xxiii

17. Hasil SPSS Verifikasi Persamaan


106
18. Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen
108
19. Alat yang Digunakan
109
20. Hewan yang Digunakan
112
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ketoprofen merupakan obat antiinflamasi non-steroid turunan asam

propionat yang memiliki efek antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik, dimana

ketoprofen banyak digunakan pada terapi inflamasi sendi karena lebih efektif

dibandingkan dengan aspirin, indometasin, dan ibuprofen. Ketoprofen merupakan

obat dengan biopharmaceutics clasification system kelas II dimana memiliki

permeabilitas yang baik dan kelarutan yang rendah dalam air (Rencber dkk.,

2009). Ketoprofen pada pemberian secara peroral memiliki beberapa kekurangan,

di antaranya yaitu ketoprofen memiliki waktu paruh eliminasi 2-4 jam sehingga

cepat dieliminasi dari dalam tubuh, oleh karena itu untuk menjaga konsentrasi

terapetiknya di dalam darah diperlukan pemberian ketoprofen yang lebih sering

(Vergote, 2002). Ketoprofen memiliki waktu paruh yang singkat karena

mengalami first pass metabolism di hati sehingga dapat mempengaruhi

bioavailabilitasnya (Shargel dkk., 2005).

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan

pemberian obat secara transdermal, karena obat yang diberikan secara

transdermal dapat langsung terdistribusi dalam tubuh sebelum dimetabolisme

oleh hati. Sistem penghantaran obat secara transdermal adalah suatu sistem yang

menghantarkan obat melewati kulit menuju sirkulasi sistemik (Allen dkk., 2011).

Obat yang diberikan melalui kulit memiliki kelemahan yaitu sulitnya penetrasi

1
2

obat ke dalam kulit, hal tersebut disebabkan oleh adanya lapisan stratum corneum

yang mempunyai struktur yang kompak sehingga sulit ditembus (Purnama dan

Mita, 2016). Salah satu upaya untuk meningkatkan penetrasi obat dari suatu

sediaan transdermal adalah dengan menambahkan peningkat penetrasi (enhancer)

(Kumar dkk., 2014).

Dimetil sulfoksida adalah salah satu enhancer yang banyak digunakan

(Williams dan Barry, 2004), dimana dapat meningkatkan penetrasi dengan baik

pada konsentasi 5% (Novita dkk., 2011). Dimetil sulfoksida dapat meningkatkan

penetrasi obat melalui interaksi dengan lipid pada stratum corneum, serta merubah

struktur keratin dari α-helical conformation menjadi β-sheet conformation yang

dapat menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas kulit (Damayanti dan

Yuwono, 2015). Dimetil sulfoksida pada penggunaannya dapat menyebabkan

terjadinya keratolisis, dimana penyembuhannya memerlukan waktu hingga

beberapa hari (Dinda dan Ratna, 2006). Untuk mengurangi efek samping yang

ditimbulkan oleh dimetil sulfoksida tersebut, maka pada formulasi gel

transdermal ketoprofen ini juga ditambahkan enhancer dari bahan alam yang

memiliki efek samping lebih kecil.

Minyak wijen (sesame oil) merupakan salah satu contoh enhancer alami

(Kumar dkk., 2014). Sesame oil memiliki kandungan asam lemak seperti asam

oleat yang dapat meningkatkan penetrasi obat melalui interaksi dengan lipid pada

stratum corneum (Swarbrick dan Boylan, 1995), dan diketahui efektif sebagai

enhancer hingga konsentrasi 10% (Dinda dan Ratna, 2006).


3

Gel merupakan salah satu bentuk sediaan transdermal. Sediaan gel

mempunyai beberapa kelebihan diantaranya memiliki viskositas dan daya lekat

yang tinggi, memiliki sifat tiksotropi sehingga mudah merata bila dioles, tidak

meninggalkan bekas pada tempat penggunaan dan hanya berupa lapisan tipis

seperti film, mudah dicuci dengan air, serta dapat memberikan sensasi dingin

setelah digunakan (Lund, 1994).

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian untuk

mengetahui pengaruh kombinasi dimetil sulfoksida dan sesame oil terhadap

karakteristik fisik dan jumlah ketoprofen terdifusi dari sediaan gel transdermal

sehingga diperoleh formula optimum dengan menggunakan metode Simplex

Lattice Design.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan beberapa

masalah antara lain :

1. Bagaimana pengaruh dimetil sulfoksida dan sesame oil pada karakteristik fisik

sediaan gel transdermal dan jumlah ketoprofen terdifusi melewati kulit ?

2. Berapa perbandingan konsentrasi dimetil sulfoksida dan sesame oil untuk

memperoleh sediaan gel transdermal dengan karakteristik fisik dan jumlah

ketoprofen terdifusi melewati kulit yang optimum ?

1.3 Batasan Masalah


4

1. Sediaan dibuat dalam bentuk gel, yaitu suatu sistem semipadat yang terdiri

dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik kecil atau molekul organik

besar, dan terpenetrasi oleh suatu cairan.

2. Bahan aktif yang digunakan adalah ketoprofen.

3. Enhancer yang digunakan adalah dimetil sulfoksida dan sesame oil.

4. Karakteristik fisik sediaan meliputi organoleptis, homogenitas, pH, viskositas,

daya sebar, dan daya lekat.

5. Metode optimasi yang digunakan adalah Simplex Lattice Design.

6. Uji jumlah ketoprofen terdifusi diukur menggunakan metode sel difusi Franz

yaitu difusi sel vertikal.

7. Uji in vitro gel ketoprofen menggunakan kulit tikus jantan galur Wistar.

8. Media penetrasi yang digunakan adalah larutan buffer phosphate pH 7,4 dan

penetrasi dilakukan selama 6 jam.

9. Umur tikus yang digunakan 2-3 bulan.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh dimetil sulfoksida dan sesame oil sebagai enhancer

pada karakteristik fisik sediaan gel transdermal dan jumlah ketoprofen

terdifusi melewati kulit.

2. Menentukan formula optimum komposisi enhancer dimetil sulfoksida dan

sesame oil pada karakteristik fisik sediaan gel transdermal dan jumlah

ketoprofen terdifusi melewati kulit.


5

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dimetil sulfoksida

dan sesame oil sebagai enhancer sehingga didapatkan formula optimum dalam

sediaan gel transdermal ketoprofen menggunakan metode Simplex Lattice

Design.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tinjauan Tentang Kulit Manusia

Kulit adalah organ tubuh paling luar yang menjadi pembatas dari

lingkungan, kulit juga merupakan organ tubuh paling luas, dimana luas total kulit

manusia dewasa mencapai 1,5-2 m2 dengan berat sekitar 15% dari berat badan.

Selain itu kulit juga sangat kompleks, elastis, sensitif, serta bervariasi menurut

iklim, umur, seks, ras, dan tergantung pada lokasi tubuh (Sulaiman dan

Kuswahyuning, 2008).

2.1.1.1 Struktur Kulit

Secara mikroskopik, kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda, yaitu

berturut-turut dari luar ke dalam meliputi lapisan epidermis, lapisan dermis, dan

lapisan subkutan.

1. Epidermis

Epidermis adalah lapisan kulit terluar yang terdiri dari lapisan sel mati atau

disebut lapisan tanduk. Epidermis berfungsi sebagai pelindung terhadap bakteri,

iritasi, maupun alergi. Ketebalan epidermis berkisar antara 0,006-0,8 mm, dengan

kadar air 10-25%. Lapisan epidermis merupakan perintang utama terhadap

absorpsi obat. Lapisan epidermis terbagi atas 5 lapisan yaitu :

a. Lapisan tanduk (Stratum corneum)

Stratum corneum adalah lapisan kulit paling luar dari epidermis. Lapisan

tanduk terdiri dari beberapa lapis sel gepeng yang telah mati, tidak berinti, dan

6
7

protoplasmanya telah berubah menjadi zat tanduk atau keratin. Ketebalan stratum

corneum bervariasi tergantung lokasi, dimana yang paling tebal terdapat pada

telapak kaki.

b. Daerah sawar (Stratum lucidum)

Stratum lucidum adalah lapisan kulit yang berada di bawah stratum

corneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang

telah berubah menjadi protein yang disebut oleidin.

c. Lapisan seperti butir (Stratum granulosum).

Stratum granulosum adalah lapisan keratohialin yang terdiri dari 2-3 lapis

sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya,

dimana butir-butir kasar tersebut terdiri atas keratohialin.

d. Lapisan sel duri (Stratum spinosum)

Stratum spinosum atau disebut stratum malpighi terdiri dari beberapa lapis

sel berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda akibat adanya proses mitosis.

Stratum spinosum memiliki protoplasma yang jernih karena banyak mengandung

glikogen, dan memiliki inti yang terletak di tengah-tengah. Semakin dekat

letaknya menuju permukaan, maka sel ini akan berbentuk semakin gepeng.

Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan antarsel yang terdiri atas

protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antarjembatan ini membentuk

penebalan bulat kecil yang disebut nodus bizzozero. Di antara sel-sel spinosum

juga terdapat sel langerhans.

e. Lapisan sel basal (Stratum germinativum)

Stratum germinativum terdiri atas sel-sel berbentuk kubus atau kolumnar

yang tersusun vertikal pada perbatasan epidermis-dermis yang berbaris seperti


8

pagar (palisade). Stratum germinativum merupakan lapisan sel paling bawah yang

terdiri dari dua jenis sel yaitu sel-sel berbentuk kolumnar dengan protoplasma

basofilik inti lonjong dan besar yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh

jembatan antarsel, serta sel pembentuk melanin (melanosit) yaitu sel berwarna

muda dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap serta mengandung butir pigmen

(melanosom).

2. Dermis

Lapisan dermis merupakan lapisan di bawah epidermis, dengan tebal antara

3-5 mm yang berupa anyaman serabut kolagen serta elastin. Dermis mengandung

pembuluh darah, pembuluh limfe, folikel rambut, kelenjar lemak atau sebasea,

kelenjar keringat, serabut saraf, dan korpus pacini. Karena lapisan dermis

mengandung pembuluh darah serta pembuluh yang lain, maka apabila suatu obat

sudah mencapai lapisan ini, absorpsinya akan menjadi lebih mudah atau cepat.

Lapisan dermis dibagi menjadi dua bagian yaitu :

a. Pars papilare, yaitu bagian dermis yang menonjol ke epidermis, berisi ujung

serabut saraf dan pembuluh darah.

b. Pars retikulare, yaitu bagian dermis yang menonjol ke arah subkutan, terdiri

dari serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen, elastin, dan retikulin.

Matriks lapisan pars retikulare ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat

dan kondroitin sulfat, pada lapisan ini juga terdapat fibroblas.

3. Lapisan subkutan

Lapisan ini merupakan lapisan yang paling dalam serta berfungsi sebagai

bantalan dan isolator panas, dimana di dalamnya terdapat jaringan ikat longgar
9

berisi sel-sel lemak. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh

darah, dan getah bening (Sulaiman dan Kuswahyuning, 2008).

Gambar 1. Struktur Kulit Manusia


(Wasitaatmadja, 1997)

2.1.1.2 Fungsi Kulit

Kulit memiliki beberapa fungsi, diantaranya :

1. Fungsi perlindungan

Fungsi kulit yang paling penting adalah sebagai pelindung antara individu

dengan lingkungan sekitar. Serabut elastis yang terdapat pada dermis serta

jaringan lemak subkutan berfungsi mencegah trauma mekanik langsung terhadap

interior tubuh. Stratum corneum dan mantel lemak kulit menjaga kadar air tubuh

dengan cara mencegah masuknya air dari luar tubuh, mencegah penguapan air,

serta sebagai barier terhadap racun dari luar. Mantel asam kulit berfungsi untuk

mencegah pertumbuhan bakteri pada kulit (Tranggono dan Latifah, 2007). Kulit
10

juga melindungi tubuh dari gangguan panas atau dingin, zat-zat kimia, dan radiasi

sinar UV (Wasitaatmadja, 1997).

2. Pengatur suhu

Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan konstriksi

pembuluh kapiler dan perspirasi yang dipengaruhi saraf otonom. Vasokonstriksi

terjadi pada saat suhu tubuh menurun, sedangkan vasodilatasi terjadi ketika suhu

tubuh meningkat (Tranggono dan Latifah, 2007).

3. Fungsi absorpsi

Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,

kelembaban, metabolisme, dan jenis vehikulum (Wasitaatmadja, 1997).

4. Fungsi ekskresi

Kelenjar kulit dapat mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme dari dalam

tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia (Wasitaatmadja, 1997).

5. Fungsi persepsi

Kulit dapat merasakan perubahan kondisi lingkungan luar, seperti tekanan,

sentuhan, suhu, dan nyeri (Mitsui, 1997).

6. Sintesis vitamin D

Dengan bantuan sinar matahari, epidermis mampu mensintesis vitamin D

yang diperlukan tubuh (Wasitaatmadja, 1997).

2.1.1.3 Pemberian Obat Melalui Kulit

Absorbsi perkutan didefinisikan sebagai absorbsi yang dapat menembus

lapisan stratum corneum dan berlanjut menembus lapisan di bawahnya hingga

akhirnya masuk ke sirkulasi darah (Lachman dan Baltes, 1994). Prinsip absorbsi

obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses dimana suatu substansi bergerak
11

dari daerah suatu sistem ke daerah lain, dan terjadi penurunan gradien kadar yang

diikuti bergeraknya molekul (Anief, 1997). Daya dorong untuk difusi pasif ini

adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel, dimana molekul

obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi

rendah (Martin dkk., 1993).

Absorbsi perkutan suatu obat disebabkan oleh penetrasi obat secara

langsung melalui stratum corneum yang terdiri dari kurang lebih 40% protein

(pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa trigliserida, asam

lemak bebas, kolesterol, dan fosfat lemak. Stratum corneum sebagai jaringan

keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi-permeable, dan molekul

obat dapat berpenetrasi dengan cara difusi pasif. Jumlah obat yang dapat

menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat, kelarutannya dalam

air, dan koefisien partisinya. Bahan obat yang mempunyai sifat larut dalam

minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum

corneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel, 1989).

Penembusan molekul dari luar ke bagian dalam dapat terjadi baik melalui

penetrasi transepidermal maupun melalui penetrasi transappendageal. Penetrasi

melalui rute transappendageal adalah penetrasi melalui kelenjar-kelenjar dan

folikel yang ada pada kulit (Swarbrick dan Boylan, 1995). Rute transappendageal

merupakan rute yang sedikit digunakan untuk transport molekul obat, karena

hanya mempunyai daerah yang kecil (kurang dari 0,1% dari total permukaan

kulit), namun rute ini berperan penting pada beberapa senyawa polar dan molekul

ion yang hampir tidak berpenetrasi melalui stratum corneum (Moghimi dkk.,

1999). Rute transappendageal dapat menghasilkan difusi yang cepat dan segera
12

setelah penggunaan obat karena dapat menghilangkan waktu yang diperlukan oleh

obat untuk melintasi stratum corneum. Difusi melalui transappendageal ini dapat

terjadi dalam 5 menit setelah pemakaian obat. Pada keadaan normal, jalur

penetrasi obat umumnya melalui epidermis, dibandingkan penetrasi melalui

folikel rambut maupun melewati kelenjar keringat (Swarbrick dan Boylan, 1995).

2.1.1.4 Jalur Penetrasi Zat Melalui Kulit

Masuknya zat melalui lipid di stratum corneum dapat terjadi melalui 3 jalur

yaitu :

1. Jalur Interseluler

Jalur interseluler yaitu zat berpenetrasi melewati antarsel korneosit di

stratum corneum. Jalur ini dilewati oleh hampir sebagian besar zat yang

berukuran < 0,1 μm. Hal-hal yang berpengaruh terhadap transportasi zat melalui

jalur interseluler adalah karakteristik zat seperti ukuran molekul, lipofilisitas,

muatan, dan variasi formula.

2. Jalur Intraseluler

Jalur intraseluler adalah jalur transportasi melewati sel korneosit. Pada

awalnya diperkirakan bahwa mekanisme difusi intraseluler adalah jalur yang

mendominasi untuk transport zat melalui kulit, namun bukti eksperimental

menunjukkan bahwa jalur transport utama melalui stratum corneum adalah

melalui jalur interseluler.

3. Jalur Transappendageal.

Jalur transappendageal adalah jalur transportasi zat melalui pori-pori folikel

rambut atau melalui kelenjar minyak. Jalur ini kurang signifikan dalam
13

transportasi zat karena mempunyai luas permukaan yang kecil, yaitu hanya

sebesar 0,1% dari luas permukaan kulit (Murthy, 2011).

2.1.2 Tinjauan Tentang Transdermal

Sistem penghantaran obat secara transdermal adalah suatu sistem yang

menghantarkan obat melewati kulit menuju sirkulasi sistemik (Allen dkk., 2011).

Sediaan transdermal dapat berupa krim atau gel. Bentuk sediaan transdermal

menjadi pilihan utama untuk obat-obat yang apabila diberikan secara oral bisa

memberikan efek samping yang tidak diinginkan, misalnya iritasi lambung

(Lucida dkk., 2008).

Obat berpenetrasi ke kulit utuh melalui dinding folikel rambut, kelenjar

minyak atau kelenjar lemak, dan juga melalui celah antarsel dari epidermis.

Penetrasi melalui celah antarsel dari epidermis merupakan cara yang paling dominan

untuk penetrasi obat melalui kulit dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut,

kelenjar minyak, maupun kelenjar lemak. Hal ini terkait perbandingan luas permukaan

antara folikel rambut, kelenjar minyak atau kelenjar lemak, dan celah antarsel (Patel

dkk., 2011).

2.1.2.1 Keuntungan dan Kekurangan Transdermal

Keuntungan sistem pemberian obat secara transdermal antara lain :

1. Menghindari terjadinya kesulitan absorpsi obat pada saluran gastrointestinal

yang disebabkan oleh pH, aktivitas enzim, maupun interkasi obat dengan

makanan, minuman, atau dengan obat lain yang diberikan secara peroral.

2. Substitusi pemberian obat peroral ketika rute oral tidak memungkinkan.


14

3. Menghindari efek lintas pertama atau deaktivasi obat oleh enzim pencernaan

dan hati.

4. Tidak invasif, menghindari ketidaknyamanan pada terapi dengan rute

pemberian parenteral (Allen dkk., 2011).

Kerugian obat transdermal antara lain :

1. Terbatas untuk obat-obat dengan dosis kecil (Allen dkk., 2011).

2. Kadang-kadang mengiritasi kulit (Allen dkk., 2011).

3. Terbatas untuk bahan obat yang memiliki berat molekul rendah, karena obat

dengan berat molekul besar (> 500 g/mol) biasanya sulit untuk menembus

stratum corneum (Bharadwaj dkk., 2011).

2.1.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Transdermal

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas sediaan

transdermal yaitu faktor kimia dan faktor biologi. Faktor-faktor kimia obat yang

dapat mempengaruhi pelepasan obat melalui kulit yaitu :

1. Berat Molekul Obat

Absorpsi berhubungan terbalik dengan berat molekul, dimana semakin kecil

molekul obat maka semakin cepat penetrasinya ke dalam kulit, dan semakin tinggi

berat molekul obat maka semakin rendah tingkat penetrasinya ke dalam kulit.

2. Formulasi

Konsentrasi obat mempengaruhi penghantaran topikal, sementara formulasi

memainkan peranan penting dalam pemasukan obat melalui kulit. Peningkatan

viskositas pada formulasi menurunkan penetrasi obat ke dalam kulit yang

mungkin disebabkan oleh penurunan difusi.


15

3. Koefisien Partisi

Koefisien partisi merupakan faktor yang penting pada penetrasi obat melalui

stratum corneum, dimana semakin tinggi nilai koefisien partisi maka obat tidak

mudah masuk ke dalam stratum corneum (Prakash dan Thiagarajan, 2012).

Faktor-faktor biologis yang dapat mempengaruhi pelepasan obat melalui

kulit yaitu :

1. Kondisi Kulit

Kulit yang utuh berfungsi juga sebagai pelindung yang kuat tetapi banyak

bahan yang diketahui dapat merusak pelindung tersebut. Beberapa asam maupun

basa dapat melukai sel pelindung dan mengizinkan penetrasi obat. Selain itu,

penyakit tertentu seperti penyakit dengan kerusakan stratum corneum, dapat

menyebabkan peningkatan penetrasi. Difusi pasif dapat terjadi secara maksimum

pada area yang memiliki banyak folikel rambut daripada area yang memiliki

lapisan stratum corneum yang tebal.

2. Usia Kulit

Hal ini sering diasumsikan bahwa kulit muda dan tua lebih permeabel

dibandingkan orang dewasa setengah baya.

3. Aliran Darah

Perubahan sirkulasi perifer tidak mempengaruhi absorpsi transdermal tetapi

peningkatan aliran darah dapat mengurangi waktu molekul terdifusi untuk

bertahan pada dermis, serta meningkatkan konsentrasi gradien melalui kulit.

4. Metabolisme Kulit

Beberapa proses metabolisme dapat terjadi pada kulit akibat enzim yang

terletak di epidermis (Prakash dan Thiagarajan, 2012).


16

2.1.3 Tinjauan Tentang Enhancer

Kulit merupakan suatu barrier alami dengan lapisan terluar (stratum

corneum) tersusun atas jalinan kompak crystalline lipid lamellae sehingga

bersifat impermeabel terhadap sebagian besar senyawa obat (Lucida dkk., 2008).

Untuk itu, enhancer dapat digunakan dalam formulasi obat transdermal untuk

meningkatkan penetrasi obat melewati membran.

Bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain : air,

sulfoksida, senyawa azone, pyrolidone, asam-asam lemak, alkohol, glikol,

surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen, dan fosfolipid (Swarbrick dan Boylan,

1995). Senyawa peningkat penetrasi yang banyak digunakan adalah dimetil

sulfoksida, dimetil asetamida, dimetil formamida, propilen glikol, gliserol, dan lain-

lain. Air dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi karena air akan

meningkatkan hidrasi pada jaringan kulit sehingga akan meninggalkan

penghantaran obat baik untuk obat-obat yang bersifat hidrofilik. Air juga akan

mempengaruhi kelarutan obat dalam stratum corneum dan mempengaruhi partisi

ke dalam membran (Williams dan Barry, 2004).

2.1.3.1 Peningkatan Penetrasi Secara Fisika

Peningkatan penetrasi secara fisika dapat dilakukan dengan :

1. Tato Obat (Medicated

Tattoos)

Merupakan modifikasi dari tato biasa, yaitu tato ini mengandung bahan obat.

Tidak dapat ditentukan durasi dari sediaan ini. Tato dilepas apabila sudah terjadi
17

perubahan warna. Obat yang biasa digunakan antara lain acetaminophen, vitamin

C, dan lain-lain.

2. Gelombang Tekanan

Gelombang tekanan yang dihasilkan dari radiasi laser yang kuat dapat

meningkatkan permeabilitas stratum corneum dan membran sel.

3. Frekuensi Radio

Cara ini melibatkan pemaparan kulit pada frekuensi tinggi yaitu sekitar 100

KHz, yang dapat menyebabkan membentukan kanal mikro pada membran sel.

4. Magnetophoresis

Magnetophoresis merupakan suatu gaya dorong untuk meningkatkan

penetrasi obat melalui kulit. Magnetophoresis menyebabkan perubahan struktur

kulit sehingga meningkatkan permeabilitasnya.

5. Ionthophoresis

Merupakan peningkatan penetrasi obat melalui kulit menggunakan arus

listrik. Obat digunakan di bawah elektroda yang memiliki muatan yang sama

dengan obat, dan elektroda lain dengan muatan berbeda ditempatkan pada bagian

tubuh yang lain.

6. Elektroporasi

Merupakan peningkat penetrasi dengan menggunakan tegangan tinggi (50-

1000 volt) dalam waktu yang sangat singkat (mikrosekon atau milisekon).

7. Mikroporasi

Merupakan metode dengan menggunakan jarum mikro yang hanya

menembus stratum corneum dan meningkatkan permeabilitasnya.


18

8. Injeksi Tanpa Jarum

Merupakan metode bebas rasa sakit untuk memasukkan obat ke dalam kulit.

Dilakukan dengan menembakkan partikel cair dan padat dengan kecepatan

supersonik ke dalam stratum corneum.

9. Sonophoresis

Menggunakan energi ultrasonik untuk meningkatkan penetrasi obat,

biasanya digunakan frekuensi 20-100 KHz (Sharma dkk., 2012).

2.1.3.2 Peningkatan Penetrasi Secara Kimia

Tujuan peningkatan penetrasi adalah untuk mempercepat pengurangan barier

stratum corneum tanpa merusak sel dan bekerja secara reversibel.

1. Sifat enhancer kimia yang ideal adalah :

a. Inert secara farmakologi.

b. Nontoksik, noniritasi dan nonalergik.

c. Onset of action obat cepat dan durasi kerja obat yang digunakan sesuai dan

dapat diperkirakan.

d. Dengan penghilangan enhancer, stratum corneum segera pulih kembali.

e. Kompatibel secara fisika dan kimia dengan berbagai bahan obat.

f. Merupakan pelarut yang baik bagi obat.

g. Mudah disapukan pada kulit dan cocok dengan kulit.

h. Tidak mahal dan dapat diterima secara kosmetik.


19

i. Bekerja satu arah, yaitu membantu masuknya zat dari luar ke dalam tubuh,

tapi mencegah keluarnya material endogen dari dalam tubuh (Ramteke dkk.,

2012).

2. Mekanisme kerja enhancer kimia :

Enhancer kimia dapat bekerja dengan salah satu atau lebih mekanisme

utama berikut ini :

a. Meruntuhkan struktur lipid stratum corneum yang rapat.

b. Berinteraksi dengan struktur protein interseluler.

c. Meningkatkan partisi obat atau pelarut ke dalam stratum corneum (Bhowmik

dkk., 2013).

2.1.4 Tinjauan Tentang Gel

2.1.4.1 Definisi Gel

Gel adalah sediaan semipadat yang terdiri dari suspensi yang dibuat dari

partikel anorganik kecil atau molekul organik besar, dan terpenetrasi oleh suatu

cairan (Departemen Kesehatan RI., 1995). Gel merupakan sediaan yang

digunakan pada kulit, umumnya berfungsi sebagai pembawa pada obat-obat

topikal, sebagai pelunak kulit, atau sebagai pembalut dimana fase cairnya

dibentuk dalam suatu matriks polimer. Polimer alam yang biasa dipakai dalam

sediaan gel adalah tragakan, pektin, karagen, agar, dan asam alginat, sedangkan

polimer sintetis yang banyak digunakan adalah carbopol, selulosa, dan CMC

(Lachman dan Baltes, 1994). Berdasarkan komposisinya, dasar gel dapat

dibedakan menjadi dua jenis yaitu dasar gel hidrofobik dan dasar gel hidrofilik.

1. Dasar Gel Hidrofobik


20

Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila

ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara

kedua fase.

2. Dasar Gel Hidrofilik

Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang

besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi

(Ansel, 1989).

2.1.4.2 Keuntungan dan Kekurangan Sediaan Gel

Keuntungan sediaan gel diantaranya adalah :

1. Kemampuan penyebarannya baik pada kulit.

2. Memberikan efek dingin.

3. Tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis.

4. Mudah dicuci dengan air.

5. Pelepasan obatnya baik (Voigt, 1994).

Kekurangan sediaan gel antara lain :

1. Untuk hidrogel harus menggunakan zat aktif yang

larut di dalam air sehingga diperlukan penggunaan peningkat kelarutan seperti

surfaktan agar gel tetap jernih pada berbagai perubahan temperatur, tetapi gel

tersebut sangat mudah dicuci atau hilang ketika berkeringat, kandungan

surfaktan yang tinggi dapat menyebabkan iritasi.

2. Penggunaan emolient golongan ester harus

diminimalkan untuk mencapai kejernihan yang tinggi.

3. Untuk hidroalkoholik atau gel dengan kandungan

alkohol yang tinggi dapat menyebabkan pedih pada wajah dan mata,
21

penampilan yang buruk pada kulit bila terkena pemaparan cahaya matahari,

serta alkohol akan menguap dengan cepat dan meninggalkan film yang berpori

atau pecah-pecah sehingga tidak semua area tertutupi atau kontak dengan zat

aktif (Lachman dkk., 1987).

2.1.4.3 Sifat dan Karakteristik Gel

Sifat dan karakteristik sediaan gel meliputi :

1. Swelling

Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat

mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan

berpenetrasi di antara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel.

2. Sineresis

Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel.

Cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu

pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel yang

kuat. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase relaksasi akibat

adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada

kekuatan gel akan mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga

memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan.

3. Efek Suhu

Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui

penurunan temperatur ataupun setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Polimer

seperti hydroxypropyl metil cellulose hanya terlarut pada air yang dingin

membentuk larutan kental, sedangkan pada peningkatan suhu, larutan tersebut


22

membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang

disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation.

4. Efek Elektrolit.

Gel yang tidak terlalu hidrofilik dengan konsentrasi elektrolit kecil akan

meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi waktu untuk menyusun diri sesudah

pemberian tekanan geser. Gel Na-alginat akan segera mengeras dengan adanya

sejumlah konsentrasi ion kalsium yang disebabkan karena terjadinya pengendapan

parsial dari alginat sebagai kalsium alginat yang tidak larut.

5. Elastisitas dan Rigiditas

Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa,

selama transformasi dari bentuk solut menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas

dengan peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten

terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik. Struktur

gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk gel.

6. Rheologi

Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang

terflokulasi memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas, dan menunjukkan

jalan aliran non-Newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan

peningkatan laju aliran (Zats dan Gregory, 1996).

2.1.4.4 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Formulasi Gel

Dalam pembuatan gel perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya :

1. Inkompatibilitas dapat terjadi dengan mencampur obat yang bersifat

kationik pada kombinasi zat aktif, pengawet, atau surfaktan dengan


23

pembentuk gel yang bersifat anionik (terjadi inaktivasi atau pengendapan zat

kationik tersebut).

2. Gelling agent yang dipilih harus bersifat inert, aman dan tidak bereaksi

dengan komponen lain dalam formulasi.

3. Penggunaan polisakarida memerlukan penambahan pengawet sebab

polisakarida bersifat rentan terhadap mikroba.

4. Viskositas sediaan gel yang tepat, sehingga saat disimpan bersifat solid

tetapi sifat soliditas tersebut mudah diubah dengan pengocokan sehingga

mudah dioleskan saat penggunaan topikal.

5. Pemilihan komponen dalam formula yang tidak banyak menimbulkan

perubahan viskositas saat disimpan di bawah temperatur yang tidak terkontrol.

6. Konsentrasi polimer sebagai gelling agent harus tepat sebab saat

penyimpanan dapat terjadi penurunan konsentrasi polimer yang dapat

menimbulkan sineresis (air mengambang diatas permukaan gel).

7. Pelarut yang digunakan tidak bersifat melarutkan gel, sebab bila daya

adhesi antara pelarut dan gel lebih besar dari daya kohesi antargel maka sistem

gel akan rusak (Winarti, 2013).

2.1.5 Tinjauan Tentang Komponen dalam Formulasi Gel

2.1.5.1 Ketoprofen
24

Gambar 2. Struktur Kimia Ketoprofen

Rumus molekul : C16H14O3.

Berat molekul : 254,3 g/mol.

Nama kimia : Asam 2-(3-benzoilfenil) propionate.

Pemerian : Serbuk hablur berwarna putih atau hampir putih, serta tidak

atau hampir tidak berbau.

Titik lebur : 92-97 oC.

Kelarutan : Mudah larut dalam etanol, kloroform, dan dalam eter, serta

praktis tidak larut dalam air (Departemen Kesehatan RI.,

2014).

Ketoprofen merupakan obat antiinflamasi non-steroid turunan asam

propionat yang memiliki efek antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik (Rencber

dkk., 2009). Aktivitas antiinflamasi ketoprofen melalui mekanisme penghambatan

terhadap aktivitas enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2

(COX-2), yaitu enzim yang terlibat dalam sintesis prostaglandin melalui jalur

asam arakidonat. Hal ini menyebabkan penurunan kadar prostaglandin yang

memediasi nyeri, demam, dan peradangan (Kay dkk., 2000).

Ketoprofen dieliminasi melalui ginjal, dosis oral ketoprofen adalah 70 mg, 3

kali sehari (Swarbrick dan Boylan, 2002). Ketoprofen merupakan obat yang

memiliki kelarutan yang rendah dalam air yaitu 0,13 mg/mL (Khaleel dkk., 2011)

dengan pKa 5,94 (Hosny dkk., 2013).

2.1.5.2 Carbopol
25

Gambar 3. Struktur Kimia Carbopol

Rumus molekul : (C3H4O2)n.

Nama lain : Acritamer, acrylic acid polymer, carbomer.

Pemerian : Serbuk higroskopis berbau khas, warna putih, asam, bentuk

seperti benang halus.

Kelarutan : Larut dalam air, dalam etanol 95%, dan dalam gliserin.

Kegunaan : Sebagai pengemulsi pada konsentrasi 0,1-0,5%, bahan

pembentuk gel pada konsentrasi 0,5-2%, bahan pensuspensi

pada konsentrasi 0,5-1,0% dan bahan perekat sediaan tablet

pada konsentrasi 5-10% (Rowe dkk., 2003).

Carbopol merupakan salah satu jenis gelling agent yang banyak digunakan

di dalam formulasi sediaan semisolid. Carbopol dapat terdispersi di dalam air

membentuk larutan koloidal bersifat asam dengan daya rekat rendah, dan dapat

menghasilkan gel yang bening (Rowe dkk., 2003).

2.1.5.3 Trietanolamin
26

Gambar 4. Struktur Kimia Trietanolamin

Pemerian : Cairan kental, tidak bewarna sampai kuning pucat, dan memiliki

sedikit bau ammonia.

Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, dengan etanol, eter, dan dengan air

dingin.

Titik lebur : 20-21 oC

Kegunaan : Sebagai alkalizing agent dan emulgator pada konsentasi 2-4%

(Rowe dkk., 2003).

2.1.5.4 Dimetil Sulfoksida

Gambar 5. Struktur Kimia Dimetil Sulfoksida

Dimetil sulfoksida merupakan pelarut yang dapat meningkatkan penetrasi

dengan cepat (Graham-Brown dan Burns, 2002). Nama kimia dimetil sulfoksida

adalah Sulfinylbismethane, dimetil sulfoksida memiliki rumus bangun C2H6OS

dengan berat molekul 78,13 g/mol (Rowe dkk., 2003). Dimetil sulfoksida

merupakan larutan tidak berwarna yang memiliki sifat aprotik dipolar, yaitu dapat

melarutkan senyawa polar dan nonpolar. Selain itu, dimetil sulfoksida juga

memiliki sifat ampifilik (memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik) yang

mendukung kemampuannya dalam menembus membran sel sehingga dapat

melakukan penetrasi ke dalam sel (Sum dan Pablo, 2003).

Dimetil sulfoksida dapat meningkatkan penetrasi obat melalui interaksi

dengan lipid pada stratum corneum, serta merubah struktur keratin dari α-helical
27

conformation menjadi β-sheet conformation yang dapat menyebabkan terjadinya

perubahan permeabilitas kulit (Damayanti dan Yuwono, 2015).

2.1.5.5 Minyak Wijen (Sesame Oil)

Sesame oil memiliki kandungan asam lemak seperti asam oleat yang dapat

meningkatkan penetrasi obat melalui interaksi dengan lipid pada stratum corneum

(Swarbrick dan Boylan, 1995). Selain itu minyak wijen juga diketahui efektif

sebagai peningkat penetrasi hingga konsentrasi 10% (Dinda dan Ratna, 2006).

Sesame oil tidak larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol (95%), dapat

bercampur dengan karbon disulfida, kloroform, eter, heksan, dan petroleum eter

(Rowe dkk., 2003).

2.1.5.6 Gliserin

Gambar 6. Struktur Kimia Gliserin

Gliserin merupakan cairan jernih, tidak berwarna, rasa manis, berbau khas

lemah, higroskopik, dan netral terhadap lakmus. Gliserin dapat bercampur dengan

air dan dengan etanol, tidak larut dalam kloroform, dalam eter, dalam minyak

lemak, dan dalam minyak menguap (Departemen Kesehatan RI., 1995).

Kegunaannya sebagai emolient dan wetting agent dengan konsentrasi  30%

(Rowe dkk., 2003).

2.1.5.7 Tween 80
28

Gambar 7. Struktur Kimia Tween 80

Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama

kimia polioksietilen 80 sorbitan monooleat. Pada suhu 25˚C tween 80 berwujud

cair, berwarna kekuningan dan berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa

pahit. Larut dalam air dan etanol, tidak larut dalam minyak mineral. Kegunaan

tween 80 antara lain sebagai zat pembasah, emulgator, peningkat kelarutan

(Rowe dkk., 2003), serta sebagai peningkat penetrasi (Novita dkk., 2011).

2.1.5.8 Metil Paraben

O OCH3

OH

Gambar 8. Struktur Kimia Metil Paraben

Metil paraben berbentuk hablur kecil tidak berwarna atau serbuk hablur

putih, tidak berbau atau berbau khas lemah, sukar larut dalam air, dalam benzena,

dan dalam karbon tetraklorida, mudah larut dalam metanol dan dalam eter
29

(Departemen Kesehatan RI., 1995). Metil paraben digunakan secara luas sebagai

pengawet pada kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetik. Metil

paraben dapat digunakan secara tunggal atau dengan kombinasi dengan paraben

lain atau dengan antimikroba lain. Pada kosmetik, metil paraben merupakan

pilihan utama yang digunakan sebagai pengawet antimikroba (Rowe dkk., 2003).

Paraben (hidroksibenzoat) efektif pada rentang pH 4-8 dan mempunyai

spektrum antimikroba yang luas meskipun lebih efektif terhadap jamur dan

kapang. Peningkatan aktivitas antimikroba berbanding lurus dengan peningkatan

panjang rantai dan gugus alkil yang tersubstitusi, namun berbanding terbalik

dengan kelarutan. Campuran paraben digunakan untuk mendapatkan pengawet

yang efektif. Kekuatan pengawet meningkat dengan penambahan 2-5%

propilenglikol, atau menggunakan paraben dengan kombinasi antimikroba lain

seperti imidurea. Penggunaaan topikal metil paraben berkisar antara 0,02-0,3%

(Rowe dkk., 2003).

2.1.5.9 Propil Paraben

Gambar 9. Struktur Kimia Propil Paraben

Propil paraben berupa serbuk putih atau hablur kecil tidak berwarna, sangat

sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan dalam eter, serta sukar larut

dalam air mendidih (Departemen Kesehatan RI., 1995). Propil paraben digunakan

sebagai pengawet pada sediaan topikal dengan konsentrasi 0,01-0,6%. Propil


30

paraben aktif sebagai pengawet pada rentang pH 4-8. Propil paraben dapat

digunakan secara tunggal, kombinasi dengan ester paraben lain, atau antimikroba

lain. Pada kosmetik merupakan pilihan kedua yang sering digunakan sebagai

pengawet (Rowe dkk., 2003).

2.1.5.10 Aquadestilata

Aquadestilata adalah air yang dimurnikan dengan destilasi, perlakuan

dengan penukar ion, osmosis balik atau proses lain yang sesuai. Dibuat dari air

yang memenuhi persyaratan untuk diminum dan tidak mengandung zat tambahan

lain. Aquadestilata berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, dan

memiliki pH antara 5-7 (Departemen Kesehatan RI., 1995).

2.1.6 Tinjauan Tentang Sel Difusi Franz

Gambar 10. Skema Sel Difusi Franz


(Particle Sciences Drug Development Services, 2009)

Sel difusi Franz adalah suatu sel difusi tipe vertikal untuk mengetahui

penetrasi zat secara in vitro. Sel difusi Franz mempunyai komponen berupa

kompartemen donor, kompartemen reseptor, tempat pengambilan sampel, cincin

O, dan water jacket. Kompartemen donor berisi zat yang akan diuji penetrasinya,

sedangkan kompartemen reseptor berisi cairan berupa dapar fosfat pH 7,4 yang
31

diaduk dengan magnetic stirer. Tempat pengambilan sampel adalah tempat yang

digunakan untuk mengambil cairan dari kompartemen reseptor dengan volume

tertentu. Water jacket berfungsi untuk menjaga temperatur tetap konstan selama

sel difusi Franz dioperasikan (Stringer, 2006).

Diantara kompartemen donor dan kompartemen reseptor diletakkan

membran yang digunakan untuk sel difusi Franz. Cincin O berguna untuk

menjaga posisi membran supaya tidak berubah. Membran bisa berupa membran

sintesis, membran kulit manusia, ataupun membran kulit hewan. Membran kulit

hewan yang akan digunakan terlebih dahulu dihilangkan bulu dan lapisan lemak

subkutannya. Cairan pada kompartemen reseptor diaduk untuk menjamin bahwa

cairan dalam kompartemen reseptor tersebut homogen. Kondisi pada

kompartemen reseptor harus bisa untuk memfasilitasi penetrasi zat seperti

keadaan in vivo (Stringer, 2006).

Cara melakukan uji penetrasi dengan sel difusi Franz adalah sejumlah

tertentu zat diaplikasikan pada membran dan dibiarkan berpenetrasi secara difusi

pasif melalui membran. Untuk mengetahui jumlah zat yang berpenetrasi dan laju

penetrasi zat dilakukan sampling cairan di kompartemen reseptor selama waktu

tertentu (Stringer, 2006). Cairan dari kompartemen reseptor yang diambil

digantikan dengan cairan awal sesuai volume yang diambil. Hal ini bertujuan

untuk menjaga volume dalam cairan reseptor tetap konstan (Walters, 2002).

2.1.7 Tinjauan Tentang Spektrofotometri UV

Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara

radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang
32

sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet,

cahaya tampak, infra merah dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang

untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, dan daerah cahaya tampak 380-780

nm (Departemen Kesehatan RI., 1995).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri ultraviolet

yaitu :

1. Pemilihan panjang gelommbang

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah

panjang gelombang di mana terjadi serapan maksimum. Untuk memperoleh

panjang gelombang maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan

antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada

konsentrasi tertentu.

2. Pembuatan kurva kalibrasi

Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai

konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi

diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi

dengan konsentrasi.

3. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan

Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-0,8.

Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut,

kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal (Rohman, 2007).

Prinsip spektrofotometri UV-Vis adalah cahaya yang berasal dari sumber

cahaya diuraikan dengan menggunakan prisma sehingga diperoleh cahaya


33

monokromatis yang dapat diserap oleh zat yang akan diperiksa. Cahaya

monokromatis merupakan cahaya satu warna yang mempunyai satu panjang

gelombang (Day dan Underwood, 2002). Komponen-komponen pokok dari

spektrofotometer seperti terlihat pada Gambar 11 :

Sumber Monokromator Sel penyerap Detektor Pencatat

Gambar 11. Komponen Pokok Spektrofotometer


(Sastrohamidjojo, 1991)

Keterangan :

1. Sumber radiasi

Sumber radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi hingga ke tingkat tenaga

yang tinggi oleh sumber listrik yang bertegangan tinggi. Benda yang kembali ke

tingkat tenaga yang lebih rendah akan melepaskan foton dengan tenaga tertentu.

Sumber radiasi yang ideal untuk pengukuran serapan harus menghasilkan

spektrum continue dengan intensitas yang seragam pada seluruh kisaran panjang

gelombang tertentu. Lampu yang banyak digunakan adalah lampu hidrogen dan

lampu deuterium, yang terdiri dari sepasang elektroda yang terselubung dalam

tabung gelas dan diisi dengan gas hidrogen atau deuterium pada tekanan yang

rendah.

2. Monokromator

Pada spektrofotometer, radiasi polikromatik harus diubah menjadi radiasi

monokromatik. Alat yang digunakan untuk mengubah radiasi tersebut adalah

monokromator. Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang

menguraikan radiasi polikromatik menjadi panjang gelombang tunggalnya dan

memisahkan panjang gelombang tersebut menjadi jalur-jalur yang lebih sempit.


34

3. Tempat cuplikan

Cuplikan pada daerah ultraviolet biasanya berupa gas atau larutan yang

ditempatkan dalam sel atau kuvet yang terbuat dari silika yang dilebur. Sebelum

dipakai, sel harus dibersihkan dengan air atau dicuci dengan larutan detergen atau

asam nitrat panas.

4. Detektor

Detektor berfungsi untuk mengubah tenaga radiasi agar dapat diukur secara

kuantitatif (Sastrohamidjojo, 1991).

2.1.8 Tinjauan Tentang Difusi Zat Aktif

Obat yang diberikan melalui kulit berpenetrasi dengan mekanisme difusi

pasif (Aiache, 1982). Difusi adalah suatu proses perpindahan massa molekul suatu

zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan

adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu

membran polimer. Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi karena

permeasi molekular sederhana atau gerakan melalui pori dan lubang atau saluran

(Martin dkk., 1993). Laju penyerapan melalui kulit tidak segera mencapai keadaan

tunak, tetapi selalu teramati adanya waktu laten. Waktu laten menggambarkan

penundaan penembusan senyawa ke bagian stratum corneum dan pencapaian

gradien difusi. Waktu laten ditentukan oleh tebal membran dan tetapan difusi obat

dalam stratum corneum. Obat akan mengalami difusi sesuai gradien konsentrasi

dengan gerakan yang acak (Aiache, 1982).


35

2.1.9 Tinjauan Tentang Metode Optimasi

Desain dari produk farmasi dan prosesnya seringkali melibatkan

kompromisasi antara dua atau lebih faktor yang saling bertentangan, sehingga

diinginkan hasil optimum yang memberikan kemungkinan terbaik dalam setiap

keadaan. Penyelesaian yang optimum merupakan nilai-nilai dari dua atau lebih

variabel penelitian yang ketika digunakan bersamaan memberikan nilai terbaik

untuk sebuah variabel terikat. Ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk

mencapai respon optimum dan dibagi menjadi dua yaitu metode sekuensial dan

metode simultan. Metode simultan dibagi lagi menjadi dua cara yaitu Simplex

Lattice Design (SLD) dan Factorial Design (FD), sedangkan metode sekuensial

adalah optimasi Simplex Sequential (Armstrong dan James, 1996).

Simplex Lattice Design digunakan untuk campuran yang secara fisik dapat

dicampur. Syarat untuk metode ini adalah jumlah proporsinya harus non negatif,

harus nol atau positif, dan jumlah proporsi sama dengan 1. Proporsi komponen A

100%, B 100%, dan 50%-50% campuran A dan B, sehingga respon dinyatakan

pada persamaan 1 atau 2 sebagai berikut :

Untuk dua komponen : Y = Ba(A) + Bb(B) + Bab(A)(B) ................................ (1)

Untuk tiga komponen : Y = Ba(A) + Bb(B) + Bc(C) + Bab(A)(B) + Bac(A)(C) +

Bbc(B)(C) + Babc(A)(B)(C) ............................................................................... (2)

Keterangan :
Y = Respon atau hasil percobaan.
(A), (B), (C) = Proporsi komponen (0-1).
Ba, Bb, Bc = Koefisien yang menggambarkan pengaruh interaksi.
36

Koefisien yang diperoleh dari hasil percobaan menunjukkan bahwa semakin kecil

koefisien maka semakin kecil interaksi (Bolton, 1997).

2.2 Hipotesis

1. Perbedaan konsentrasi dimetil sulfoksida dan sesame oil sebagai enhancer

berpengaruh pada karakteristik fisik sediaan gel transdermal dan jumlah

ketoprofen terdifusi melewati kulit.

2. Komposisi dimetil sulfoksida dan sesame oil pada proporsi tertentu akan

memberikan karakteristik fisik sediaan gel transdermal dan jumlah ketoprofen

terdifusi melewati kulit yang optimum.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Obyek Penelitian

Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah karakteristik fisik gel

transdermal ketoprofen dan laju difusi oleh kemampuan enhancer yaitu dimetil

sulfoksida dan sesame oil sebagai jumlah ketoprofen terdifusi dari sediaan gel

menggunakan sel difusi Franz tipe vertikal.

3.2 Sampel dan Teknik Sampling

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah gel transdermal

ketoprofen dengan dimetil sulfoksida dan sesame oil sebagai enhancer. Teknik

sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik acak sederhana

(random sampling), dimana setiap anggota populasi mempunyai peluang yang

sama untuk diuji.

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi dimetil sulfoksida

dan sesame oil sebagai enhancer.

3.3.2 Variabel Terikat

37
38

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah karakteristik fisik gel meliputi

organoleptis, homogenitas, pH, viskositas, daya sebar, dan daya lekat, serta

jumlah ketoprofen terdifusi dari basis gel dengan metode sel difusi Franz tipe

vertikal menggunakan kulit tikus jantan galur Wistar.

3.3.3 Variabel Terkendali

Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah umur tikus, galur tikus,

media difusi, pelarut dan waktu sampling, alat dan bahan, temperatur, volume

kompartemen donor dan reseptor.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Alat dan Bahan yang Digunakan

3.4.1.1 Alat yang Digunakan

Timbangan digital (Shimadzu ATX224), pH meter, sel difusi Franz tipe

vertikal, viskometer Brookfield (DV-1 PRIME), alat uji daya sebar, alat uji daya

lekat, spektrofotometer UV (Shimadzu), kuvet, hot plate, spinbar, mortir, stemper,

alat-alat gelas.

3.4.1.2 Bahan yang Digunakan

Ketoprofen, trietanolamin, carbopol 940, dimetil sulfoksida, sesame oil,

gliserin, tween 80, propil paraben, metil paraben, aqua destilata, NaOH, dan

kalium difosfat, serta tikus jantan galur Wistar.

3.4.2 Prosedur Kerja

3.4.2.1 Formula
39

R/ Ketoprofen 1%

Carbopol 940 1%

Trietanolamin 2%

Dimetil sulfoksida 5-8%

Sesame oil 7-10%

Gliserin 10%

Tween 80 1,5%

Metil paraben 0,1%

Propil paraben 0,05%

Aquadest sampai 100%

Tabel 1. Rancangan Formula Gel Transdermal Ketoprofen

No Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5


1 Ketoprofen 1% 1% 1% 1% 1%
2 Carbopol 940 1% 1% 1% 1% 1%
3 Trietanolamin 2% 2% 2% 2% 2%
4 Dimetil Sulfoksida 5% 5,75% 6,5% 7,25% 8%
5 Sesame Oil 10% 9,25% 8,5% 7,75% 7%
6 Gliserin 10% 10% 10% 10% 10%
7 Tween 80 1,5% 1,5% 1,5% 1,5% 1,5%
8 Metil Paraben 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1%
9 Propil Paraben 0,05% 0,05% 0,05% 0,05% 0,05%
10 Aquadest sampai 100% 100% 100% 100% 100%

3.4.2.2 Pembuatan Gel Transdermal Ketoprofen

Pembuatan basis gel dilakukan dengan menimbang carbopol 940 untuk

dikembangkan dalam air hingga kurang lebih 15 menit. Ketoprofen didispersikan

dalam air panas dan ditambahkan metil paraben serta propil paraben. Kemudian

carbopol 940 yang telah mengembang diaduk dan ditambahkan gliserin, serta

campuran ketoprofen, metil paraben, dan propil paraben, serta ditambahkan


40

trietanolamin. Enhancer dimetil sulfoksida dan sesame oil ditambahkan sedikit

demi sedikit sambil diaduk, lalu ditambah tween 80 serta aquadest kemudian

diaduk hingga terbentuk sediaan gel yang siap diuji karakteristik fisik dan jumlah

ketoprofen terdifusi.

3.4.2.3 Evaluasi Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen

1. Organoleptis gel transdermal

ketoprofen dilakukan pengamatan meliputi bentuk, warna, bau, dan tekstur

sediaan.

2. Uji homogenitas, dilakukan untuk

melihat apakah sediaan yang telah dibuat homogen atau tidak. Gel dioleskan

pada kaca transparan dimana sediaan diambil 3 bagian yaitu atas, tengah, dan

bawah. Homogenitas ditunjukkan dengan tidak adanya agregat kasar.

3. Pengukuran pH, dilakukan

menggunakan alat pH meter dan digunakan dua larutan dapar baku ekuimolar

fosfat pada pH 7 dan larutan baku KH ftalat pada pH 4. Elektroda gelas

dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan dapar baku pH 4 dan pH 7.

Elektroda dicelupkan ke dalam sediaan gel.

4. Uji viskositas, digunakan alat

Viskosimeter Brookfield DV-1 PRIME. Sampel gel dimasukkan ke dalam

tabung sampai tanda kalibrasi. Spindle dan RPM diatur sesuai dengan sampel

yang diukur. Sampel diukur viskositasnya dengan cara menekan tombol start

dan dibiarkan selama 15 menit, kemudian dilihat nilai viskositas (cPs) pada

layar Viskosimeter Brookfield DV-1 PRIME.


41

5. Daya sebar, gel transdermal

ketoprofen ditimbang 0,5 g kemudian diletakkan di tengah plat kaca,

kemudian plat kaca lain (telah diketahui bobotnya) diletakkan di atas sediaan

dan dibiarkan selama 1 menit. Setelah itu, ditambahkan 50 gram beban,

didiamkan 1 menit dan diukur hingga diameter konstan (Astuti dkk., 2010).

6. Daya lekat, sebanyak 0,5 g gel

diletakkan pada bagian tengah kaca obyek, lalu ditutup dengan kaca obyek

lain, dan diberi beban 1 kg selama 5 menit, kemudian kaca obyek dijepit

dengan klip dan diberi beban 50 gram lalu dihitung dan dicatat lama waktu

kaca obyek terlepas (Astuti dkk., 2010).

3.4.2.4 Uji Penetrasi Gel Transdermal Ketoprofen

1. Pembuatan Buffer

Phosphate pH 7,4

KH2PO4 ditimbang sebanyak 6,8 g, dilarutkan dalam 250 mL aquadest, dan

ditambahkan NaOH 0,2 N hingga pH 7,4, kemudian ditambahkan aquadest hingga

1000 mL.

2. Pembuatan Kurva

Baku

a. Pembuatan Baku Induk Ketoprofen

Ketoprofen ditimbang 50 mg dilarutkan dengan larutan buffer phosphate pH

7,4 hingga 50 mL diperoleh konsentrasi 1000 ppm. Dari baku induk 1000 ppm

dipipet 10 mL dan diencerkan dengan larutan buffer phosphate pH 7,4 hingga

100 mL didapatkan konsentrasi 100 ppm.


42

b. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan spektrofotometer UV

menggunakan larutan baku ketoprofen dalam larutan buffer phosphate pH 7,4.

c. Pembuatan Deret Baku

Larutan baku dibuat dengan konsentrasi 4, 6, 8, 10, dan 12 mg/L dengan

pemipetan larutan baku 100 ppm berturut-turut sebanyak 1, 3, 2, 5, dan 3 mL,

kemudian diencerkan dengan larutan buffer phosphate pH 7,4 hingga 25, 50, 25,

50, dan 25 mL.

d. Pembuatan Kurva Baku

Deret baku yang diperoleh kemudian diukur dengan spektrofotometer UV

dan dibuat kurva baku.

3. Penetapan Kadar

Ketoprofen

Sebanyak 100 mg gel diencerkan dengan menggunakan buffer phosphate pH

7,4 dalam labu takar hingga volume 50 ml. Larutan tersebut diukur serapannya

dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimal yang dihasilkan.

4. Preparasi Kulit Tikus

untuk Sel Difusi Franz

Tikus jantan galur Wistar dimasukkan dalam chamber jenuh uap eter hingga

mati. Tikus yang sudah mati diambil kulit bagian punggungnya. Bulu tikus

dicukur secara hati-hati dan lapisan lemak subkutan dihilangkan dengan scalpel.

Kulit yang sudah bersih dipotong berbentuk lingkaran dengan diameter sesuai

dengan alat difusinya. Kulit yang telah disiapkan ini disimpan selama maksimal
43

24 jam dalam almari es suhu 4ºC. Sebelum digunakan kulit tikus ini dihidrasi

terlebih dahulu selama kurang lebih 1 jam dengan buffer phosphate pH 7,4 yang

merupakan cairan kompartemen reseptor.

5. Uji Penetrasi Gel

Transdermal Ketoprofen

Uji penetrasi dilakukan dengan menggunakan sel difusi Franz tipe vertikal.

Membran kulit tikus yang dihidrasi selama 1 jam dengan buffer phosphate pH 7,4

dipasangkan ke kompartemen reseptor. Buffer phosphate pH 7,4 dan pengaduk

magnetik dimasukkan ke dalam kompartemen reseptor dengan batas yang

ditentukan. Sebanyak 500 mg gel dimasukkan ke kompartemen donor. Selama sel

difusi Franz beroperasi, suhu diatur konstan pada 37 ± 0,5ºC dengan water jacket

dan homogenitas cairan dijaga dengan pengadukan magnetik dengan kecepatan

600 rpm. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan pipet volume

sebanyak 2,0 ml dari larutan kompartemen reseptor pada menit ke 5, 10, 15, 30,

45, 60, 120, 180, 240, 300, dan 360. Sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Larutan yang disampling segera diganti dengan buffer phosphate pH 7,4 untuk

mempertahankan volume cairan tetap konstan. Larutan yang disampling diukur

serapannya dengan spektrofotometer UV dan sebagai blanko digunakan buffer

phosphate pH 7,4.

3.4.2.5 Penentuan Formula Optimum

Penentuan formula optimum didasarkan pada software Design Expert 10.0.2

dari parameter pH, viskositas, daya sebar, daya lekat, dan jumlah ketoprofen
44

terdifusi dari sediaan gel transdermal ketoprofen. Formula yang terpilih dibuat

dan diuji karakteristik fisik serta jumlah ketoprofen terdifusi dengan spesifikasi

yang sama, kemudian dilakukan uji validitas menggunakan uji t untuk mengetahui

apakah persamaan hasil optimasi dengan Simplex Lattice Design tersebut sudah

valid.

3.5 Analisis Data

Data kuantitatif yang diperoleh dari uji karakteristik fisik gel transdermal

meliputi : pH, viskositas, daya sebar, daya lekat, dan jumlah ketoprofen terdifusi.

Data dari semua formula kemudian diolah dengan software Design Expert 10.0.2

sehingga didapatkan formula terpilih yang kemudian dibuat kembali dengan

spesifikasi yang sama. Hasil optimasi software dibandingkan dengan hasil

sesungguhnya dengan uji validitas one sample t-Test untuk mengetahui kevalidan

formula yang dihasilkan.


45

3.6 Skema Kerja

Formula Design Expert

Carbopol 940 Ketoprofen didispersi Carbopol 940 yang


dikembangkan dalam dalam air + metil mengembang + gliserin +
air paraben dan propil campuran 2
paraben

Ditambahkan trietanolamin 2% tetes demi tetes

Ditambahkan dimetil sulfoksida, sesame oil, tween 80, dan


aquadest, diaduk sampai terbantuk gel

Evaluasi Sediaan

Uji difusi gel ketoprofen Uji karakteristik fisik gel Organoleptis,


ketoprofen : pH, Viskositas, homogenitas
daya sebar, dan daya lekat

Optimasi pada Design Expert

Penentuan formula optimum

Verifikasi persamaan
46

Gambar 12. Skema Kerja Penelitian


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dimetil sulfoksida dan

sesame oil sebagai enhancer dalam sediaan gel transdermal ketoprofen, serta

untuk menentukan formula optimum komposisi dimetil sulfoksida dan sesame oil

terhadap karakteristik fisik dan jumlah ketoprofen terdifusi melewati kulit secara

in vitro.

Ketoprofen merupakan obat antiinflamasi non-steroid turunan asam

propionat yang memiliki efek antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik, dimana

ketoprofen banyak digunakan pada terapi inflamasi sendi karena lebih efektif

dibandingkan dengan aspirin, indometasin, dan ibuprofen. Ketoprofen merupakan

obat dengan biopharmaceutics clasification system kelas II dimana memiliki

permeabilitas yang baik dan kelarutan yang rendah dalam air (Rencber dkk.,

2009). Dalam penelitian ini, ketoprofen diformulasikan dalam bentuk sediaan gel

transdermal, hal ini dikarenakan pada pemberian secara peroral ketoprofen

mengalami first past effect sehingga dapat mengurangi bioavailabilitas ketoprofen

(Shargel dkk., 2005). Namun pemberian obat melalui kulit memiliki kelemahan

yaitu sulitnya penetrasi obat ke dalam kulit, hal tersebut disebabkan oleh adanya

lapisan stratum corneum yang mempunyai struktur yang kompak sehingga sulit

ditembus (Purnama dan Mita, 2016). Untuk itu pada formulasi gel transdermal

ketoprofen ditambahkan bahan peningkat penetrasi atau enhancer yaitu dimetil

sulfoksida dan sesame oil.

47
48

Dimetil sulfoksida dapat meningkatkan penetrasi obat melalui interaksi

dengan lipid pada stratum corneum, serta merubah struktur keratin dari α-helical

conformation menjadi β-sheet conformation yang dapat menyebabkan terjadinya

perubahan permeabilitas kulit (Damayanti dan Yuwono, 2015). Sesame oil

memiliki kandungan asam lemak seperti asam oleat yang dapat meningkatkan

penetrasi obat melalui interaksi dengan lipid pada stratum corneum (Swarbrick

dan Boylan, 1995).

Pemilihan bentuk sediaan gel dikarenakan sediaan gel memiliki viskositas dan

daya lekat yang tinggi, memiliki sifat tiksotropi sehingga mudah merata bila

dioles, tidak meninggalkan bekas pada tempat penggunaan dan hanya berupa

lapisan tipis seperti film, mudah dicuci dengan air, serta dapat memberikan

sensasi dingin setelah digunakan (Lund, 1994), selain itu sediaan gel memiliki daya

penetrasi yang lebih baik dibanding sediaan krim dan salep (Mekkawy dkk., 2013).

Gel ketoprofen dibuat dalam basis carbopol 940 dengan kandungan ketoprofen untuk

tiap formula sebesar 1% b/b. Bahan tambahan lain dalam basis gel antara lain

gliserin, metil paraben, propil paraben, trietanolamin, tween 80, dan aquadest.

Pemilihan penggunaan carbopol 940 karena carbopol bersifat stabil, mudah

terdispersi dalam air, mempunyai kekentalan yang cukup baik sebagai basis gel

dengan konsentrasi yang kecil (0,5-2%) (Melani dkk., 2005). Carbopol 940 yang

terdispersi dalam air memiliki pH 2,8-3,2 sehingga menyebabkan gel menjadi encer.

Oleh karena itu, untuk membentuk viskositas gel dan meningkatkan pH sediaan,

ditambahkan trietanolamin sebagai alkalizing agent. Gliserin dalam pembuatan gel

digunakan sebagai emolient. Kombinasi metil paraben dan propil paraben sebagai
49

pengawet digunakan untuk memperluas spektrum pengawet karena adanya

kandungan air yang cukup besar pada gel yang dapat digunakan sebagai medium

pertumbuhan mikroba. Penggunaan kombinasi pengawet tersebut diharapkan dapat

memberikan efek yang sinergis sehingga penghambatannya menjadi lebih efektif.

4.1 Uji Organoleptis dan Karakteristik Fisik Gel Transdermal Ketoprofen

Evaluasi sediaan yang dilakukan adalah uji organoleptis meliputi bentuk,

warna, bau, dan tekstur, serta uji karakteristik fisik meliputi homogenitas, pH,

viskositas, daya sebar, dan daya lekat. Hasil uji organoleptis dan karakteristik fisik gel

transdermal ketoprofen dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 8.

Tabel 2. Hasil Pengujian Organoleptis dan Karaketristik Fisik Gel Transdermal Ketoprofen

Uji F1 F2 F3 F4 F5
Setengah Setengah Setengah Setengah Setengah
Bentuk
padat padat padat padat padat
Putih Putih Putih Putih Putih
Warna
kekuningan kekuningan kekuningan kekuningan kekuningan
Khas Khas Khas Khas Khas
Bau
sesame oil sesame oil sesame oil sesame oil sesame oil
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Tekstur
lengket lengket lengket lengket lengket
Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen
6,88 ± 6,79 ± 6,99 ± 7,10 ± 7,19 ±
pH
0,045 0,127 0,032 0,061 0,040
5413 ± 5195 ± 5493 ± 5593 ± 5800 ±
Viskositas (cPs)
72,333 223,544 154,039 45,431 70,323
5,483 ± 5,575 ± 5,425 ± 5,367 ± 5,250 ±
Daya Sebar (cm)
0,014 0,043 0,025 0,014 0,109
1,51 ± 1,28 ± 1,54 ± 1,62 ± 1,78 ±
Daya Lekat (detik)
0,036 0,193 0,056 0,035 0,100
Jumlah Ketoprofen 21,01 ± 22,71 ± 18,90 ± 17,35 ± 14,01 ±
Terdifusi (%) 0,457 1,012 0,698 0,879 2,008

Keterangan :
F1 = Formula gel dengan 5,00% dimetil sulfoksida dan 10,00% sesame oil.
F2 = Formula gel dengan 5,75% dimetil sulfoksida dan 9,25% sesame oil.
F3 = Formula gel dengan 6,50% dimetil sulfoksida dan 8,50% sesame oil.
F4 = Formula gel dengan 7,25% dimetil sulfoksida dan 7,75% sesame oil.
50

F5 = Formula gel dengan 8,00% dimetil sulfoksida dan 7,00% sesame oil.

4.1.1 Uji Organoleptis Gel Transdermal Ketoprofen

Pengamatan organoleptis gel dilakukan secara visual pada sediaan yang

bertujuan untuk mengetahui kualitas secara fisik dari bentuk sediaan. Pengamatan

yang dilakukan meliputi bentuk, warna, bau dan tekstur. Hasil pengujian

organoleptis pada semua formula menunjukkan hasil yang relatif sama. Masing-

masing sediaan memiliki warna putih kekuningan, hal tersebut terjadi karena pada

tiap formula terdapat penambahan minyak yaitu sesame oil yang memiliki warna

kuning pekat sehingga pada saat sesame oil ditambahkan ke dalam basis dan

diaduk maka terbentuk emulsi yang menyebabkan perubahan warna secara fisik

dari sediaan. Namun perubahan konsentrasi sesame oil tidak mempengaruhi

perubahan warna yang signifikan. Bau sediaan juga dipengaruhi oleh penambahan

sesame oil dalam sediaan. Tekstur sediaan gel ketoprofen pada semua formula

menunjukkan hasil yang tidak lengket. Data hasil pengujian organoleptis dari

masing-masing sediaan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 8.

4.1.2 Uji Homogenitas Gel Transdermal Ketoprofen

Pengujian homogenitas bertujuan untuk mengetahui keseragaman bahan

aktif ketoprofen dalam sediaan gel. Homogenitas sediaan akan mempengaruhi

penetrasi ketoprofen, dimana sediaan yang homogen memiliki penyebaran zat

aktif dan dosis obat dalam sediaan yang merata sehingga pelepasan zat aktif oleh

basis yang menembus kulit akan semakin baik. Data hasil pengujian homogenitas
51

dari masing-masing sediaan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 8,

menunjukkan bahwa semua sediaan homogen.

4.1.3 Uji pH Gel Transdermal Ketoprofen

Pengujian nilai pH pada sediaan gel dilakukan untuk mengetahui pH

sediaan, karena pH berpengaruh pada ketersediaan obat. Selain itu diharapkan pH

sediaan tidak terlalu jauh dari pH kulit 4,5-7,0 (Wasitaatmadja, 1997) sehingga

aman bagi kulit. Sediaan tidak boleh terlalu asam atau terlalu basa karena dapat

mengiritasi kulit. Hasil penelitian menunjukkan semua formula mempunyai pH

6,79-7,19. Data pH dari masing-masing sediaan dapat dilihat pada Tabel 2 dan

Lampiran 8.

Gambar 13. Profil pH Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen Berdasarkan Simplex Lattice
Design

Persamaan yang diperoleh berdasarkan Gambar 13 adalah :

Y = 7,21 (A) + 6,84 (B) - 0,32 (A)(B) ………………………………………...(3)

Keterangan :
Y : Respon pH
A : Dimetil sulfoksida yang digunakan (bagian)
B : Sesame oil yang digunakan (bagian)
52

Berdasarkan persamaan 3 dapat dilihat pengaruh masing-masing komponen dan

interaksi keduanya, dimana semakin tinggi konsentrasi dimetil sulfoksida maka

pH sediaan akan meningkat, sedangkan semakin tinggi konsentasi sesame oil

maka pH sediaan akan menurun. Hal tersebut disebabkan karena pH dimetil

sulfoksida lebih besar (8,24-8,63) dibandingkan pH sesame oil (4,33) (Dim,

2013). Sedangkan interaksi dimetil sulfoksida dengan sesame oil mempunyai

pengaruh dalam menurunkan pH sediaan. Hal ini dapat disebabkan karena adanya

ikatan antara dimetil sulfoksida dan sesame oil yang dapat menyebabkan pH

eutektik sehingga campuran keduanya memberikan nilai pH yang rendah.

Data hasil pengujian pH yang diperoleh, berdasarkan uji ANOVA pada

Design Expert 10.0.2 menunjukkan bahwa hasil respon pH sediaan antarformula

berbeda signifikan dengan signifikasi sebesar 0,0002 artinya perbedaan

konsentrasi dimetil sulfoksida dan sesame oil berpengaruh signifikan terhadap pH

sediaan, sedangkan hasil respon pH sediaan antarreplikasi berbeda tidak

signifikan dengan signifikasi sebesar 0,0507. Tabel uji ANOVA dapat dilihat pada

Lampiran 15.

4.1.4 Uji Viskostitas Gel Transdermal Ketoprofen

Pengujian viskositas pada sediaan gel dilakukan untuk mengetahui pengaruh

penambahan enhancer pada konsentrasi yang berbeda terhadap viskositas sediaan gel

transdermal ketoprofen. Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu

cairan untuk mengalir. Semakin tinggi viskositasnya, maka akan semakin besar

tahanannya yang berarti sediaan tersebut semakin kental. Pengukuran viskositas

sediaan gel transdermal ketoprofen dilakukan dengan menggunakan alat Viskometer


53

Brookfield DV-1 PRIME dengan spindel nomor 64 dan putaran sebesar 100 rpm. Data

viskositas dari masing-masing sediaan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 8.

Gambar 14. Profil Viskositas Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen Berdasarkan Simplex
Lattice Design

Persamaan yang diperoleh berdasarkan Gambar 14 adalah :

Y = 5826,64 (A) + 5357,57 (B) - 745,90 (A)(B) ………………………...……(4)

Keterangan :
Y : Respon viskositas (cPs)
A : Dimetil sulfoksida yang digunakan (bagian)
B : Sesame oil yang digunakan (bagian)

Berdasarkan persamaan 4 dapat dilihat pengaruh masing-masing komponen dan

interaksi keduanya, dimana penambahan dimetil sulfoksida hingga 0,19 bagian

dapat menurunkan viskositas sediaan, dan penambahan dimetil sulfoksida lebih

dari 0,19 bagian dapat meningkatkan viskositas sediaan. Penambahan sesame oil

hingga 0,81 bagian dapat menurunkan viskositas sediaan, dan penambahan

sesame oil lebih dari 0,81 bagian dapat meningkatkan viskositas sediaan,

sedangkan interaksi antara dimetil sulfoksida dan sesame oil memberikan

pengaruh dalam menurunkan viskositas sediaan.


54

Hal tersebut dapat disebabkan oleh perubahan pH karena penambahan kedua

komponen tersebut, dimana carbopol yang digunakan sebagai basis gel akan

mengembang dengan peningkatan pH sehingga viskositasnya semakin tinggi.

Carbopol merupakan polimer anionik yang bersifat asam bebas, dimana dengan

adanya kenaikan pH maka terjadi kerenggangan muatan negatif sepanjang rantai

polimer dan menyebabkan polimer menjadi terurai lalu mengembang membentuk

sediaan semi padat yang sedikit kaku (Mulyono, 2010). Hubungan antara pH dan

viskositas dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Grafik Hubungan Viskositas dan pH Gel Transdermal Ketoprofen

Dari data hubungan viskositas dengan pH sediaan didapatkan nilai r sebesar

0,9771, nilai tersebut menunjukkan bahwa respon pH memberikan pengaruh pada

respon viskositas sebesar 97,71%. Data hasil pengujian viskositas yang diperoleh,

berdasarkan uji ANOVA pada Design Expert 10.0.2 menunjukkan bahwa hasil

respon viskositas sediaan antarformula berbeda signifikan dengan signifikasi

sebesar 0,0017 artinya perbedaan konsentrasi dimetil sulfoksida dan sesame oil

berpengaruh signifikan terhadap viskositas sediaan, sedangkan respon viskositas


55

sediaan antarreplikasi berbeda tidak signifikan dengan signifikasi sebesar 0,1116.

Tabel uji ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 15.

4.1.5 Uji Daya Sebar Gel Transdermal Ketoprofen

Pengujian daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan gel

menyebar di permukaan kulit, dan diharapkan gel mudah menyebar tanpa

menggunakan penekanan yang berlebihan. Perbedaan daya sebar sediaan sangat

berpengaruh pada difusi zat aktif dalam melintasi membran, dimana semakin luas

membran, maka koefisien difusi semakin besar, sehingga difusi obat akan semakin

meningkat. Daya sebar untuk sediaan topikal yaitu sekitar 5-7 cm (Garg dkk.,

2002). Data daya sebar dari masing-masing sediaan dapat dilihat pada Tabel 2 dan

Lampiran 8.

Gambar 16. Profil Daya Sebar Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen Berdasarkan Simplex
Lattice Design

Persamaan yang diperoleh berdasarkan Gambar 16 adalah :

Y = 5,24 (A) + 5,51 (B) + 0,37 (A)(B) …………..…………………….....……(5)

Keterangan :
56

Y : Respon daya sebar (cm)


A : Dimetil sulfoksida yang digunakan (bagian)
B : Sesame oil yang digunakan (bagian)

Berdasarkan persamaan 5 dapat dilihat pengaruh masing-masing komponen dan

interaksi keduanya, dimana penambahan dimetil sulfoksida hingga 0,14 bagian

dapat meningkatkan daya sebar, dan penambahan dimetil sulfoksida lebih dari

0,14 bagian dapat menurunkan daya sebar. Penambahan sesame oil hingga 0,86

bagian dapat meningkatkan daya sebar, dan penambahan sesame oil lebih dari

0,86 bagian dapat menurunkan daya sebar, sedangkan interaksi antara dimetil

sulfoksida dan sesame oil memberikan pengaruh dalam meningkatkan daya sebar.

Hal tersebut dapat disebabkan oleh perubahan viskositas karena penambahan

kedua komponen enhancer, dimana daya sebar berbanding terbalik dengan

viskositas. Semakin tinggi viskositas sediaan maka daya sebar semakin kecil. Hal

ini disebabkan karena tahanan dari sediaan semakin kuat saat diberikan beban

sehingga penyebaran gel semakin kecil. Hubungan daya sebar dengan viskositas

dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Grafik Hubungan Daya Sebar dan Viskositas Gel Transdermal Ketoprofen
57

Dari data hubungan daya sebar dengan viskositas sediaan didapatkan nilai r

sebesar 0,9965, nilai tersebut menunjukkan bahwa respon viskositas memberikan

pengaruh pada respon daya sebar sebesar 99,65%. Data hasil pengujian daya sebar

yang diperoleh, berdasarkan uji ANOVA pada Design Expert 10.0.2 menunjukkan

bahwa hasil respon daya sebar sediaan antarformula berbeda signifikan dengan

signifikasi sebesar 0,0002 artinya perbedaan konsentrasi dimetil sulfoksida dan

sesame oil berpengaruh signifikan terhadap daya sebar sediaan, sedangkan hasil

respon daya sebar sediaan antarreplikasi berbeda tidak signifikan dengan

signifikasi sebesar 0,0749. Tabel uji ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 15.

4.1.6 Uji Daya Lekat Gel Transdermal Ketoprofen

Pengujian daya lekat bertujuan untuk mengetahui kemampuan gel melekat

pada kulit. Semakin besar daya lekat gel maka diharapkan waktu kontak gel

dengan kulit akan semakin lama, sehingga diharapkan penetrasinya akan semakin

baik, sehingga efek yang dihasilkan menjadi lebih maksimal. Hasil uji daya lekat

dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 8.


58

Gambar 18. Profil Daya Lekat Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen Berdasarkan
Simplex Lattice Design

Persamaan yang diperoleh berdasarkan Gambar 18 adalah :

Y = 1,81 (A) + 1,46 (B) - 0,69 (A)(B) ……………………………….......……(6)

Keterangan :
Y : Respon daya lekat (detik)
A : Dimetil sulfoksida yang digunakan (bagian)
B : Sesame oil yang digunakan (bagian)

Berdasarkan persamaan 6 dapat dilihat pengaruh dari masing-masing komponen

dan interaksi keduanya, dimana penambahan dimetil sulfoksida hingga 0,25

bagian dapat menurunkan daya lekat, dan penambahan dimetil sulfoksida lebih

dari 0,25 bagian dapat meningkatkan daya lekat. Penambahan sesame oil hingga

0,75 bagian dapat menurunkan daya lekat, dan penambahan sesame oil lebih dari

0,75 bagian dapat meningkatkan daya lekat, sedangkan interaksi antara dimetil

sulfoksida dan sesame oil memberikan pengaruh dalam menurunkan daya lekat.

Hal tersebut dapat disebabkan oleh perubahan viskositas karena penambahan

kedua komponen enhancer. Profil daya lekat berhubungan erat dengan viskositas,

dimana nilai viskositas yang tinggi menyebabkan daya lekatnya akan semakin

kuat. Menurut Zats dan Gregory (1996), daya lekat yang baik untuk sediaan

semisolid adalah lebih dari 1 detik. Semua formula menunjukkan daya lekat lebih

dari 1 detik sehingga diharapkan kontak sediaan gel dengan kulit dapat berjalan

dengan baik. Hubungan daya lekat dengan viskositas dapat dilihat pada

Gambar 19.
59

Gambar 19. Grafik Hubungan Daya Lekat dan Viskositas Gel Transdermal Ketoprofen

Dari data hubungan daya lekat dengan viskositas sediaan didapatkan nilai r

sebesar 0,9938, nilai tersebut menunjukkan bahwa respon viskositas memberikan

pengaruh pada respon daya lekat sebesar 99,38%. Data hasil pengujian daya lekat

yang diperoleh, berdasarkan uji ANOVA pada Design Expert 10.0.2 menunjukkan

bahwa hasil respon daya lekat antarformula berbeda signifikan dengan signifikasi

sebesar 0,0030 artinya perbedaan konsentrasi dimetil sulfoksida dan sesame oil

berpengaruh signifikan terhadap daya lekat sediaan, sedangkan hasil respon daya

lekat sediaan antarreplikasi berbeda tidak signifikan dengan signifikasi sebesar

0,0531. Tabel uji ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 15.

4.2 Penetapan Kadar Ketoprofen dalam Gel dan Pelepasan Bahan Aktif dari

Sediaan

4.2.1 Pembuatan Kurva Baku

Pengujian pelepasan bahan aktif ketoprofen diawali dengan pembuatan kurva

baku dan penentuan panjang gelombang serapan maksimum. Penetapan panjang


60

gelombang maksimum dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV

pada kisaran 190-380 nm. Hasil serapan larutan ketoprofen dalam buffer

phosphate pH 7,4 memberikan puncak serapan pada panjang gelombang 260 nm.

Perhitungan deret baku dapat dilihat pada Lampiran 9. Dilakukan pencarian baku

dengan 3 kali replikasi. Pemilihan hasil baku yang dipilih dilihat dari regresi linier

dan hasil CV. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat ketelitian dan ketepatan dalam

memilih metode analisis yang memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin

dengan nilai sesungguhnya. Hasil regresi linier dan CV dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pencarian Baku Ketoprofen

% Recovery
a b r Rata-rata SD CV (%)
Replikasi 1 -0,0634 0,0638 0,9980 101,64 0,2315 3,38
Replikasi 2 -0,0062 0,0586 0,9985 97,36 0,2626 3,90
Replikasi 3 -0,0614 0,0646 0,9991 100,50 0,2383 3,36

Berdasarkan Tabel 3, diperoleh nilai % recovery yang memenuhi rentang

persyaratan yaitu 80-120% (Harmita, 2004) serta CV yang baik yaitu kurang dari

5%. Persamaan regresi linier yang dipilih dari pembuatan kurva baku ketoprofen

adalah y = 0,0646x - 0,0614 dengan harga r = 0,9991 pada baku replikasi 3 yang

mempunyai garis linier mendekati 1. Nilai koefisien korelasi ini menunjukkan

bahwa grafik regresi linier memiliki keakuratan 99,1% dalam menentukan jumlah

ketoprofen yang lepas dari basis gel. Grafik deret baku dapat dilihat pada

Gambar 20, Gambar 21, dan Gambar 22.


61

Gambar 20. Grafik Deret Baku Ketoprofen Replikasi 1

Gambar 21. Grafik Deret Baku Ketoprofen Replikasi 2

Gambar 22. Grafik Deret Baku Ketoprofen Replikasi 3


62

4.2.2 Penetapan Kadar Ketoprofen dalam Gel

Pembuatan suatu sediaan obat dalam bentuk sediaan apapun perlu dilakukan

pemeriksaan kadar zat aktif karena merupakan persyaratan yang harus dipenuhi

untuk menjamin dosis obat dalam sediaan. Sediaan obat yang berkualitas baik

akan menunjang tercapainya efek terapeutik yang diharapkan. Salah satu

persyaratan mutu adalah kadar yang dikandung harus memenuhi persyaratan

kadar seperti yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi V. Persyaratan

penetapan kadar ketoprofen yaitu tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari

101,0% dari kadar ketoprofen yang ditetapkan yaitu 1% b/b. hasil penetapan

kadar ketoprofen dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

masing-masing formula gel transdermal ketoprofen telah memenuhi persyaratan

kadar tersebut.

Tabel 4. Hasil Uji Penetapan Kadar Ketoprofen dalam Gel

Formula Rata-rata Kadar (ppm) Rata-rata Persen Kadar (%)


F1 10.1868 ± 0.240 99.51 ± 0.789
F2 9.9959 ± 0.170 98.87 ± 0.488
F3 10.1713 ± 0.064 99.23 ± 0.942
F4 10.2900 ± 0.166 99.52 ± 0.946
F5 10.0475 ± 0.171 98.94 ± 0.722

4.2.3 Pelepasan Bahan Aktif

Pelepasan bahan aktif dilakukan setelah penetapan kadar ketoprofen dalam

sediaan gel. Uji pelepasan ketoprofen dalam penelitian ini menggunakan alat

difusi sel Franz vertikal dengan media difusi pelarut buffer phosphate pH 7,4

dengan suhu 37 ± 0,5 ºC yang sesuai dengan suhu tubuh manusia. Pemilihan

media difusi dengan pelarut buffer phosphate pH 7,4 merupakan sistem buffer

kimia yang menyerupai sistem buffer darah. Pengambilan cuplikan diambil pada

waktu 5, 10, 15, 30, 45, 60, 120, 180, 240, 300, dan 360 menit untuk mengetahui

jumlah ketoprofen yang masuk melalui kulit tiap waktu. Efektifitas terapi sediaan
63

transdermal tergantung pada pelepasan obat dari pembawanya yang kemudian

akan berdifusi secara pasif untuk dapat mencapai tempat kerja (site of action)

dalam jumlah yang sesuai dalam waktu tertentu.

4.2.4 Jumlah Ketoprofen Terdifusi

Persentase jumlah ketoprofen terdifusi dari masing-masing formula

dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Jumlah Ketoprofen Terdifusi


Waktu Jumlah Ketoprofen Terdifusi (%)
(menit) F1 F2 F3 F4 F5
5 1,77 ± 0,019 1,92 ± 0,086 1,71 ± 0,017 1,66 ± 0,009 1,46 ± 0,212
10 2,56 ± 0,007 2,81 ± 0,197 2,24 ± 0,226 2,07 ± 0,008 1,98 ± 0,072
15 3,38 ± 0,008 3,57 ± 0,263 3,05 ± 0,249 2,87 ± 0,003 2,65 ± 0,317
30 4,40 ± 0,072 4,74 ± 0,072 4,05 ± 0,344 3,82 ± 0,010 3,33 ± 0,279
45 5,67 ± 0,132 5,99 ± 0,150 5,12 ± 0,223 4,93 ± 0,077 4,22 ± 0,274
60 7,09 ± 0,044 7,33 ± 0,165 6,15 ± 0,282 5,84 ± 0,219 4,90 ± 0,364
120 9,61 ± 0,186 10,32 ± 0,127 8,57 ± 0,176 8,05 ± 0,476 6,70 ± 0,719
180 12,45 ± 0,330 13,72 ± 0,290 11,34 ± 0,243 10,58 ± 0,649 8,73 ± 1,148
240 15,90 ± 0,291 17,19 ± 0,858 14,25 ± 0,436 13,29 ± 0,763 10,89 ± 1,593
300 18,64 ± 0,386 20,07 ± 0,990 16,45 ± 0,569 15,29 ± 0,810 12,50 ± 1,861
360 21,01 ± 0,457 22,71 ± 1,012 18,90 ± 0,698 17,35 ± 0,879 14,01 ± 2,008

Gambar 23. Grafik Jumlah Ketoprofen Terdifusi

Keterangan :
F1 = Formula gel dengan 5,00% dimetil sulfoksida dan 10,00% sesame oil.
F2 = Formula gel dengan 5,75% dimetil sulfoksida dan 9,25% sesame oil.
F3 = Formula gel dengan 6,50% dimetil sulfoksida dan 8,50% sesame oil.
F4 = Formula gel dengan 7,25% dimetil sulfoksida dan 7,75% sesame oil.
F5 = Formula gel dengan 8,00% dimetil sulfoksida dan 7,00% sesame oil.
64

Berdasarkan Gambar 23, dapat dilihat persentase jumlah ketoprofen terdifusi

dalam waktu 360 menit.

Gambar 24. Profil Jumlah Ketoprofen Terdifusi Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen
Berdasarkan Simplex Lattice Design

Persamaan yang diperoleh berdasarkan Gambar 24 adalah :

Y = 13,81 (A) + 21,55 (B) + 8,95 (AB)………………..………….….................(7)

Keterangan :
Y : Respon jumlah ketoprofen terdifusi dari sediaan gel (%)
A : Dimetil sulfoksida yang digunakan (bagian)
B : Sesame oil yang digunakan (bagian)

Berdasarkan persamaan 7 dapat dilihat pengaruh dari masing-masing komponen

dan interaksi keduanya, dimana semakin tinggi konsentrasi dimetil sulfoksida

dapat menurunkan jumlah ketoprofen terdifusi, sedangkan semakin tinggi

konsentasi sesame oil dapat meningkatkan jumlah ketoprofen terdifusi.

Sedangkan interaksi dimetil sulfoksida dengan sesame oil mempunyai pengaruh

dalam meningkatkan jumlah ketoprofen terdifusi. Komponen yang berpengaruh

besar dalam meningkatkan jumlah ketoprofen terdifusi adalah sesame oil. Sesame

oil memiliki kandungan asam lemak seperti asam oleat yang dapat meningkatkan
65

penetrasi obat melalui interaksi dengan lipid pada stratum corneum (Swarbrick

dan Boylan, 1995).

Data hasil pengujian jumlah ketoprofen terdifusi yang diperoleh,

berdasarkan uji ANOVA pada Design Expert 10.0.2 menunjukkan bahwa hasil

respon jumlah ketoprofen terdifusi antarformula berbeda signifikan dengan

signifikasi sebesar 0,0001 artinya perbedaan konsentrasi dimetil sulfoksida dan

sesame oil berpengaruh signifikan terhadap jumlah ketoprofen terdifusi,

sedangkan hasil respon jumlah ketoprofen terdifusi antarreplikasi berbeda tidak

signifikan dengan signifikasi sebesar 0,0562. Tabel uji ANOVA dapat dilihat pada

Lampiran 15.

Gambar 25. Grafik Hubungan Jumlah Ketoprofen Terdifusi dan pH


Gel Transdermal Ketoprofen

Dari Gambar 25 dapat dilihat bahwa jumlah ketoprofen terdifusi berbanding

terbalik dengan pH sediaan. Semakin tinggi pH sediaan, maka semakin rendah

jumlah ketoprofen terdifusi. Hal ini dapat disebabkan karena ketoprofen

merupakan obat yang bersifat asam lemah dimana dalam suasana yang semakin

basa ketoprofen akan terionisasi sehingga menjadi lebih polar dan sulit menembus
66

stratum corneum yang bersifat nonpolar. Dari data hubungan jumlah ketoprofen

terdifusi dengan pH sediaan didapatkan nilai r sebesar 0,9870, nilai tersebut

menunjukkan bahwa respon pH memberikan pengaruh pada respon jumlah

ketoprofen terdifusi sebesar 98,70%.

Gambar 26. Grafik Hubungan Jumlah Ketoprofen Terdifusi dan Viskositas


Gel Transdermal Ketoprofen

Dari Gambar 26 dapat dilihat bahwa profil jumlah ketoprofen terdifusi

berbanding terbalik dengan viskositas. Hal ini disebabkan karena semakin besar

viskositas maka semakin rapat dan kuat ikatan antarmolekul pada basis gel

sehingga ketoprofen akan sulit bergerak menuju permukaan kulit, hal tersebut

menyebabkan rendahnya gradien konsentrasi sehingga jumlah ketoprofen terdifusi

akan berkurang. Dari data hubungan jumlah ketoprofen terdifusi dengan

viskositas sediaan didapatkan nilai r sebesar 0,9851 yang menunjukkan bahwa

respon viskositas memberikan pengaruh pada respon jumlah ketoprofen terdifusi

sebesar 98,51%.

4.3 Penentuan Formula Optimum


67

4.3.1 Area Optimum Berdasarkan Parameter yang Dipilih

Tabel 6. Penentuan Formula Optimum

Parameter Optimasi Goal Batas Bawah Batas Atas Bobot


pH Minimize 6,64 7,23 ++++
Viskositas Minimize 4937 5855 +++
Daya Sebar Maximize 5,125 5,600 ++
Daya Lekat Maximize 1,06 1,86 ++
Jumlah Ketoprofen Terdifusi Maximize 11,71 23,56 +++++

Bobot pada masing-masing parameter dapat berbeda-beda tergantung tujuan

penelitian berdasarkan pentingnya pengaruh tiap parameter, sehingga formula

optimum yang diperoleh juga akan berbeda. Nilai pH dipilih minimize dengan

bobot ++++ karena diharapkan pH sediaan tidak terlalu jauh dari pH kulit (4,5-

7,0). Viskositas dipilih minimize dengan bobot +++ karena viskositas

menunjukkan tahanan sediaan untuk mengalir yang akan mempengaruhi

kenyamanan pada saat penggunaan, dan diharapkan pada viskositas kecil

menghasilkan difusi yang besar. Daya sebar dipilih maximize dengan bobot ++

karena diharapkan gel mudah menyebar tanpa menggunakan penekanan yang

berlebihan, serta dapat menghasilkan difusi yang besar. Daya lekat dipilih

maximize dengan bobot ++ karena diharapkan dengan daya lekat yang besar maka

difusi menjadi lebih besar. Parameter jumlah ketoprofen terdifusi dipilih

maximize dengan bobot +++++ karena diharapkan jumlah ketoprofen yang

terdifusi lebih tinggi.

4.3.2 Formula Optimum

Penentuan formula optimal diperoleh dari perhitungan menggunakan

software Design Expert 10.0.2 dengan parameter optimasi pH, viskositas, daya

sebar, daya lekat, dan jumlah ketoprofen terdifusi dari sediaan gel. Formula yang

terpilih sebagai formula optimal adalah formula dengan perbandingan dimetil


68

sulfoksida dan sesame oil sebesar (0,025 : 0,975), dengan hasil pH 6,846,

viskositas 5351,223 cPs, daya sebar 5,511 cm, daya lekat 1,449 detik, dan jumlah

ketoprofen terdifusi sebesar 21,57%, dengan desirability 0,674. Gambaran sifat

optimal yang dapat dilihat pada Gambar 29 adalah formula yang berada pada garis

puncak maksimum.

Gambar 27. Profil Area Optimum Sediaan Gel Transdermal Berdasarkan Simplex Lattice
Design

Formula optimum dibuat dengan cara dan spesifikasi yang sama dengan

formula sebelumnya dan dilakukan pengujian sifat fisik dan jumlah ketoprofen

terdifusi untuk dibandingkan dengan sifat fisik dan jumlah ketoprofen terdifusi

formula prediksi. Hasil pengujian organoleptis dan pengujian karakteristik fisik

gel transdermal ketoprofen didapatkan hasil seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Uji Formula Optimum Karakteristik Fisik Ketoprofen dalam

Sediaan Gel

Uji R1 R2 R3
Bentuk Setengah padat Setengah padat Setengah padat
Warna Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan
Bau Khas sesame oil Khas sesame oil Khas sesame oil
69

Tekstur Tidak lengket Tidak lengket Tidak lengket


Homogenitas Homogen Homogen Homogen
pH 6,81 6,80 6,85
Viskositas (cPs) 5371 5353 5405
Daya Sebar (cm) 5,500 5,525 5,475
Daya Lekat (detik) 1,47 1,43 1,50

4.4 Jumlah Ketoprofen Terdifusi pada Formula Optimum

Pengujian jumlah ketoprofen yang terdifusi melalui membran kulit tikus

pada formula optimum dilakukan dengan 3 replikasi. Jumlah ketoprofen terdifusi

dari sediaan gel transdermal pada formula optimum menunjukkan hasil yang

berbeda tidak signifikan, dimana replikasi 1 menghasilkan jumlah ketoprofen

terdifusi sebesar 21,34%, replikasi 2 sebesar 21,62%, dan replikasi 3 sebesar

21,14%, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 28.

Tabel 8. Hasil Uji Jumlah Ketoprofen Terdifusi Formula Optimum

Waktu Absorbansi
(menit) R1 R2 R3
5 0,417 0,423 0,406
10 0,559 0,551 0,534
15 0,673 0,680 0,661
30 0,801 0,833 0,809
45 0,918 1,005 0,961
60 1,095 1,117 1,099
120 1,641 1,666 1,582
180 2,183 2,239 2,168
240 2,716 2,774 2,739
300 2,988 3,038 3,012
360 3,248 3,269 3,197
% Terdifusi 21,34% 21,62% 21,14%
70

Gambar 28. Grafik Jumlah Ketoprofen Terdifusi pada Formula Optimum

Validasi persamaan dengan uji t digunakan untuk membuktikan apakah

persamaan Simplex Lattice Design yang diperoleh sudah valid atau belum.

Analisis yang digunakan adalah one sample t-test dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil analisis uji t didapatkan hasil seperti pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Uji t Teoritis dan Percobaan

Signifikasi Hasil
Hasil Hasil Percobaan
Parameter Uji Kesimpulan
Percobaan Teoritisdengan Hasil
Teoritis
pH 6,820 6,846 0,231 Berbeda Tidak Signifikan
Viskositas (cPs) 5377,000 5351,223 0,240 Berbeda Tidak Signifikan
Daya Sebar (cm) 5,500 5,511 0,526 Berbeda Tidak Signifikan
Daya Lekat (detik) 1,470 1,449 0,475 Berbeda Tidak Signifikan
Jumlah Ketoprofen 21,37 12,57 0,282 Berbeda Tidak Signifikan
Terdifusi (%)

Berdasarkan Tabel 9, hasil percobaan masing-masing parameter uji bila

dibandingkan dengan hasil teoritis untuk validasi persamaan Simplex Lattice

Design pada formula tersebut menunjukkan hasil yang berbeda tidak signifikan,

dilihat dari nilai signifikasi hasil teoritis dengan hasil percobaan > 0,05. Hal ini

menunjukkan bahwa persamaan dari masing-masing parameter adalah valid.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Pengaruh dimetil sulfoksida dan sesame oil serta interaksi keduanya :

a. Dimetil sulfoksida meningkatkan pH, viskositas, dan daya lekat, serta

menurunkan daya sebar dan jumlah ketoprofen terdifusi dari sediaan gel

transdermal ketoprofen.

b. Sesame oil meningkatkan daya sebar dan jumlah ketoprofen terdifusi, serta

menurunkan pH, viskositas, dan daya lekat dari sediaan gel transdermal

ketoprofen.

c. Interaksi antara dimetil sulfoksida dan sesame oil meningkatkan daya sebar,

dan jumlah ketoprofen terdifusi, serta menurunkan pH, viskositas, dan daya

lekat dari sediaan gel transdermal ketoprofen.

2. Formula optimum gel transdermal ketoprofen adalah formula dengan

komposisi 5,08% dimetil sulfoksida dan 9,92% sesame oil, akan menghasilkan

pH 6,846, viskositas 5351,223 cPs, daya sebar 5,511 cm, daya lekat 1,449

detik, dan jumlah ketoprofen terdifusi sebesar 21,57%.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penetrasi zat aktif secara in vivo.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada uji stabilitas fisik pada formula

optimum sediaan gel transdermal ketoprofen.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang uji iritasi dan tanggap responden dari

formula optimum gel transdermal ketoprofen.

71
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J.M. 1982. Farmasetika 2: Biofarmasi. Diterjemahkan oleh Soeratri, W.


Edisi II. Surabaya : Airlangga University Press.

Allen, L.V., Popovich, N.G., dan Ansel, H.C. 2011. Bentuk Sediaan Farmasetis
dan Sistem Penghantaran Obat. Diterjemahkan oleh Hendriati, L., Foe, K.
Edisi IX. Jakarta : EGC.

Anief, M. 1997. Formulasi Obat Topikal dengan Dasar Penyakit Kulit. Cetakan
Pertama. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Diterjemahkan oleh


Ibrahim, F., Asmanizar, Aisyah, I. Edisi IV. Jakarta : UI Press.

Armstrong, N.A. dan James, K.C. 1996. Pharmaceutical Experimental Design


and Interpretation. London : Taylor and Francis Ltd.

Astuti, I.Y., Hartanti, D., dan Aminiati, A. 2010. Peningkatan Aktivitas Antijamur
Candidia albicans Salep Minyak Atsiri Daun Sirih (Piper bettle Linn.)
Melalui Pembentukan Kompleks Inklusi dengan β-siklodekstrin. Majalah
Obat Tradisional. 15 (3) : 94-99.

Bharadwaj, S., Vipin K.G., Sharma, P.K., dan Mayank, B. 2011. Recent
Advancement In Transdermal. Meerut : Meerut Institute of Engineering and
Techology.

Bhowmik, D., Dasari, V., Duraivel, S., dan Kumar, K.P.S. 2013. Recent Trends In
Penetration Enhancer Used in Transdermal Drug Delivery System. The
Pharma Innovation Journal. 2 (2) : 127-134.

Bolton, S. 1997. Pharmaceutical Statistic: Practical and Clinical Applications.


3rd Ed. New York : Marcel Dekker Inc.

Damayanti, R.A. dan Yuwono, T. 2015. Dimetilsulfoksid Sebagai Enhancer


Transpor Transdermal Teofilin Sediaan Gel. Majalah Farmaseutik. 11 (1) :
263-267.

Day, R.A. dan Underwood, A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Diterjemahkan
oleh Pudjaatmaka, A.H. Edisi VI. Jakarta : Erlangga.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta :


Departemen Kesehatan RI.

______________________. 2014a. Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta :


Departemen Kesehatan RI.

72
73

Dim, P.E. 2013. Extraction and Characterization of Oil from Sesame Seed.
Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. 4
(2) : 752-757.

Dinda, S.C. dan Ratna, J.V. 2006. Enhancement of Skin Permeation of Ibuprofen
from Ointments and Gels by Sesame Oil, Sunflower Oil, and Oleic Acid.
Indian Journal of Pharmaceutical Sciences. (3) : 313-316.

Garg, A., Aggarwal, D., Garg, S., dan Singla, A.K. 2002. Spreading of Semisolid
Formulation : An Update. Pharmaceutical Technology. September 2002 :
84-105.

Graham-Brown, R. dan Burns, T. 2002. Lecture Notes on Dermatology. 8th Ed.


Malden : Blackwell Science Ltd.

Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya.


Majalah Ilmu Kefarmasian. 1 (3) : 117-134.

Hosny, K.M., Rambo, S,M., Al-Zahrani, M.M., Al-Subhi, S.M., dan Fahmi, U.A.
2013. Ketoprofen Emulgel : Preparation, Characterization, and
Pharmacodynamic Evaluation. International Journal of Pharmaceutical
Sciences Review and Research. 20 (2) : 306-310.

Kay, M.P., Benn, S.J., LaMarre, J. dan Conlon, P. 2000. In Vitro Effects of
Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs on Cyclooxygenase Activity in
Dogs. American Journal of Veterinary Research. 61 (7) : 802-810.

Khaleel, N.Y., Abdulrasool, A.A., Ghareeb, M.M., dan Hussain, S.A. 2011.
Solubility and Dissolution Improvement of Ketoprofen by Solid Dispersion
in Polymer and Surfactant Using Solvent Evaporation Method. International
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 3 (4) : 431435.

Kumar, A., Aggarwal, G., Singh, K., dan Harikumar, S.L. 2014. Comparison of
Vegetable and Volatile Oils As Skin Permeation Enhancers for Transdermal
Delivery of Losartan Potassium. Der Pharmacia Lettre. 6 (1) : 199-213.

Lachman, L., Lieberman, H.A., dan Kaning, J.L. 1987. Teori dan Praktek
Farmasi Industri. Diterjemahkan oleh Suyatmi, S. Edisi I. Jakarta : UI Press.

Lachman, M.E. dan Baltes, P.B. 1994. Psychologycal Aging in Life-span


Perspective. Dalam Rutter, M. dan Hay, D.F. (Eds). Development Throught
Life : A Handbook for Clinicians. London : Blackwell Scientific.

Lucida, H., Hosiana, V., dan Muharmi, V. 2008. Pengaruh Virgin Coconut Oil
(VCO) di dalam Basis Krim terhadap Penetrasi Zat Aktif. Jurnal Sains dan
Teknologi Farmasi. 13 (1) : 23-30.

Lund, W. 1994. The Pharmaceutical Codex Principles and Practice of


Pharmaceutics. 12th Ed. London : The Pharmaceutical Press.
74

Martin, A., Bustamante, P., dan Chun, A.H.C. 1993. Physical Pharmacy.
Philadelphia : Lea and Febiger.

Mekkawy, A., Fathy, M., dan El-Shanawany, S. 2013. Formulation and In Vitro
Evaluation of Fluconazole Topical Gels. British Journal of Pharmaceutical
Research. 3 (3) : 293-313.

Melani, D., Purwanti, T., dan Soeratri, W. 2005. Korelasi Kadar Propilenglikol dalam
Basis dan Pelepasan Dietilammonium Diklofenak dari Basis Gel Carbopol ETD
2020. Majalah Farmasi Airlangga. 5 (1) : 1-6.

Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. 1st Ed. Amsterdam : Elsevier.

Moghimi, H.R., Barry, B.W., dan Williams, A.C. 1999. Percutaneous Absorption
Drug Cosmetics Mechanism Methodology. New York : Marcel Dekker Inc.

Mulyono, T.S. 2010. Pembuatan Etanol Gel Sebagai Bahan Bakar Padat
Alternatif. Laporan Tugas Akhir. UNS.

Murthy, N. 2011. Dermatokinetics of Therapeutic Agents. Florida : CRC Press.

Novita, F.G., Delfiana, N., dan Febrina, L. 2011. Pengaruh Tween 80 dan
Dimetilsulfoksida Terhadap Penetrasi Gel Natrium Diklofenak
Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Farmasains. 1 (3) : 139-143.

Particle Sciences Drug Development Services. 2009. Development and Validation


of In Vitro Release Testing Methods for Semisolide Formulations. Technical
Brief. Volume 10.

Patel, D., Patel, N., Parmar, M., dan Kaur, N. 2011. Transdermal Drug Delivery
System : Review. Moradabad : Teethanker Mahaveer University.

Prakash, R.T. dan Thiagarajan, P. 2012. Transdermal Drug Delivery System


Influencing Factors, Study Methods and Therapeutic Applications.
International Journal of Pharmacy. 2 (2) : 366-374.

Purnama, H. dan Mita, S.R. 2016. Review Artikel : Studi In-Vitro Ketoprofen
Melalui Rute Transdermal. Farmaka. 14 (1) : 1-13.

Ramteke, K.H., Dhole, S.N., dan Patil, S.V. 2012. Transdermal Drug Delivery
System : A Review. Journal of Advanced Scientific Research. 3 (1) : 22-35.

Rencber, S., Karavana, S.Y., dan Ozyazici, M. 2009. Bioavailability File :


Ketoprofen. J. Pharm. Sci. (34) : 203-216.

Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis : Spektrofotometri UV dan Tampak


(Visibel). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
75

Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Paul, J.W. 2003. Handbook of Pharmaceutical
Excipient. 4th Ed. Washington DC : Pharmaceutical Press and American
Pharmaceutical Association.

Sastrohamidjojo, H. 1991. Dasar-Dasar Spektroskopi. Edisi II. Yogyakarta :


Liberty.

Shargel, L., Wu-Pong, S., dan Yu, A.B.C. 2005. Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics. 5th Ed. New York : McGraw-Hill.

Sharma, G.N., Sanadya, J., Kaushik, A., dan Dwivedi, A. 2012. Penetration
Enhancment of Medicinal Agents. International Research Journal of
Pharmacy. 3 (5) : 82-88.

Stringer, J.L. 2006. Konsep Dasar Farmakologi : Panduan untuk Mahasiswa.


Diterjemahkan oleh Hartanto, H. Edisi III. Jakarta : EGC.

Sulaiman, T.N.S. dan Kuswahyuning, R. 2008. Teknologi dan Formulasi Sediaan


Semipadat. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Press.

Sum, A.K. dan Pablo, J.J. 2003. Molecular Simulation Study on the Influence of
Dimethylsulfoxide on the Structure of Phospholipid Bilayers. Biophysical
Journal. 85 (6) : 3636-3645.

Swarbrick, J. dan Boylan, J.C. 1995. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology.


1st Ed. Volume 11. New York : Marcel Dekker Inc.

______________________________. 2002a. Encyclopedia of Pharmaceutical


Technology. 2nd Ed. Volume 1. New York : Marcel Dekker Inc.

Taurina, W. dan Rafikasari. 2014. Uji Efektivitas Sediaan Gel Minyak Atsiri Kulit
Buah Jeruk Pontianak (Citrus nobilis Lour. Var. Microcarpa) Terhadap
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Traditional Medicine Journal.
19 (2) : 71-75.

Tranggono, R.I. dan Latifah, F. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan


Kosmetik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Vergote, A. 2002. De sublimate : Een uitweg uit Freuds impasses. Amsterdam :


SUN.

Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Noerono,


S. Edisi V. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Walters, K.A. 2002. Dermatological and Transdermal Formulation. New York :


Marcel Dekker Inc.

Wasitaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta : Universitas


Indonesia Press.
76

Williams, A.C. dan Barry, B.W. 2004. Penetration Enhancers. Advanced Drug
Delivery Reviews. 56 (5) : 603-618.

Winarti, L. 2013. Diktat Kuliah Formulasi Sediaan Semisolid (Formulasi Salep,


Krim, Gel, Pasta, dan Suppositoria). Jember : Universitas Jember.

Zats, J.I. dan Gregory, P.K. 1996. Gel. Dalam Lieberman, H.A., Rieger, M.M., and
Banker, G.S. (Eds). Pharmaceutical Dosage Forms : Disperse System. New
York : Marcel Dekker Inc.
Lampiran 1. Certificate of Analysis Ketoprofen

77
Lampiran 2. Certificate of Analysis Dimetil Sulfoksida

78
Lampiran 3. Certificate of Analysis Sesame Oil

79
Lampiran 4. Certificate of Analysis Potassium Dihydrogen Phodphate

80
Lampiran 5. Surat Keterangan Tikus

81
Lampiran 6. Scanning Panjang Gelombang Maksimum Ketoprofen

82
Lampiran 7. Penimbangan Bahan pada Formula Gel Ketoprofen

No Bahan Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Formula 5


1 Ketoprofen 1,2 g 1,2 g 1,2 g 1,2 g 1,2 g
2 Carbopol 940 1,2 g 1,2 g 1,2 g 1,2 g 1,2 g
3 Trietanolamin 2,4 g 2,4 g 2,4 g 2,4 g 2,4 g
4 Dimetil Sulfoksida 6g 6,9 g 7,8 g 8,7 g 9,6 g
5 Sesame Oil 12 g 11,1 g 10,2 g 9,3 g 8,4 g
6 Gliserin 12 g 12 g 12 g 12 g 12 g
7 Tween 80 1,8 g 1,8 g 1,8 g 1,8 g 1,8 g
8 Metil Paraben 0,12 g 0,12 g 0,12 g 0,12 g 0,12 g
9 Propil Paraben 0,06 g 0,06 g 0,06 g 0,06 g 0,06 g
10 Aquadest sampai 120 g 120 g 120 g 120 g 120 g

83
Lampiran 8. Uji Karakteristik Gel Transdermal Ketoprofen

Daya Daya
Viskositas %
Uji Bentuk Warna Bau Tekstur Homogenitas pH Sebar Lekat
(cPs) Terdifusi
(cm) (Detik)
Khas
Setengah Putih Tidak
R1 Sesame Homogen 6,84 5345 5,500 1,52 21,39
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
F1 R2 Sesame Homogen 6,88 5405 5,475 1,47 20,50
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
R3 Sesame Homogen 6,93 5489 5,475 1,54 21,12
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
R1 Sesame Homogen 6,87 5331 5,525 1,39 21,59
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
F2 R2 Sesame Homogen 6,85 5317 5,600 1,40 22,98
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
R3 Sesame Homogen 6,64 4937 5,600 1,06 23,56
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
R1 Sesame Homogen 6,98 5341 5,425 1,59 18,78
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
F3 R2 Sesame Homogen 6,97 5649 5,450 1,48 19,65
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
R3 Sesame Homogen 7,03 5489 5,400 1,55 18,27
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
R1 Sesame Homogen 7,15 5645 5,350 1,66 16,36
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
F4 R2 Sesame Homogen 7,03 5561 5,375 1,59 17,63
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
R3 Sesame Homogen 7,11 5573 5,375 1,62 18,05
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
R1 Sesame Homogen 7,23 5855 5,125 1,86 11,71
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
F5 R2 Sesame Homogen 7,19 5721 5,325 1,82 15,42
padat kekuningan lengket
oil
Khas
Setengah Putih Tidak
R3 Sesame Homogen 7,15 5825 5,300 1,67 14,90
padat kekuningan lengket
oil

Keterangan :
F1 = Formula gel dengan 5,00% dimetil sulfoksida dan 10,00% sesame oil.
F2 = Formula gel dengan 5,75% dimetil sulfoksida dan 9,25% sesame oil.
F3 = Formula gel dengan 6,50% dimetil sulfoksida dan 8,50% sesame oil.
F4 = Formula gel dengan 7,25% dimetil sulfoksida dan 7,75% sesame oil.
F5 = Formula gel dengan 8,00% dimetil sulfoksida dan 7,00% sesame oil.

84
Lampiran 9. Data Perhitungan dan Penimbangan Deret Baku Ketoprofen

Ketoprofen

A’ = 365 in aqueous acid = 260 nm

A’ = 647 in aqueous alkali = 262 nm

A = a.b.c A = a.b.c

0,2 = 647 . 1 . c 0,8 = 647 . 1 . c

c = 3,0912.10-4 g/100ml c = 1,2365.10-3 g/100ml

= 3,0912 ppm = 12,365 ppm

Rentang deret baku 3,0912 – 12,365 ppm

Perhitungan deret baku (secara teoritis)

Baku induk = 50,0 mg/50 mL

= 1000 ppm

P 10x (10 mL sampai 100 mL)

100 ppm

Perhitungan Deret Baku yang Sebenarnya

Kertas + Zat = 0,2913 g

Kertas + Sisa = 0,2404 g

Zat = 0,0509 g

Konsentrasi baku induk sebenarnya = 50,9 mg/50 mL

= 1018 ppm

P 10x (10 mL sampai 100 mL)

101,8 ppm

85
86

Deret Baku Koreksi Kadar


4 ppm 4 ppm
V1.C1 = V2.C2 V1.C1 = V2.C2
V1 . 100 mL = 25 mL . 4 ppm 1 . 101,8 ppm = 25 mL . C2
V1 = 1 mL sampai 25 mL C2 = 4,072 ppm
6ppm 6 ppm
V1.C1 = V2.C2 V1.C1 = V2.C2
V1 . 100 mL = 50 mL . 6 ppm 3 . 101,8 ppm = 50 mL . C2
V1 = 3 mL sampai 50 mL C2 = 6,108 ppm
8 ppm 8 ppm
V1.C1 = V2.C2 V1.C1 = V2.C2
V1 . 100 mL = 25 mL . 8 ppm 2 . 101,8 ppm = 25 mL . C2
V1 = 2 mL sampai 25 mL C2 = 8,144 ppm
10 ppm 10 ppm
V1.C1 = V2.C2 V1.C1 = V2.C2
V1 . 100 mL = 50 mL . 10 ppm 5 . 101,8 ppm = 50 mL . C2
V1 = 5 mL sampai 50 mL C2 = 10,180 ppm
12 ppm 12 ppm
V1.C1 = V2.C2 V1.C1 = V2.C2
V1 . 100 mL = 25 mL . 12 ppm 3 . 101,8 ppm = 25 mL . C2
V1 = 3 mL sampai 25 mL C2 = 12,216 ppm
Lampiran 10. Kurva Deret Baku Ketoprofen

Konsentrasi Absorbansi
4,072 0,209
6,108 0,333
8,144 0,454
10,180 0,591
12,216 0,738

a = -0,0614
b = 0,0646
r = 0,9991
Y = 0,0646x - 0,0614

87
Lampiran 11. Penetapan Kadar Zat Aktif Gel Transdermal Ketoprofen

Formula Absorbansi Kadar (ppm) Persen Kadar (%)


R1 0,579 9,9133 98,94
F1 R2 0,608 10,3622 100,41
R3 0,603 10,2848 99,18
R1 0,593 10,1300 98,54
F2 R2 0,588 10,0526 99,43
R3 0,572 9,8050 98,64
R1 0,591 10,0991 98,72
F3 R2 0,597 10,1920 98,66
R3 0,599 10,2229 100,32
R1 0,594 10,1455 98,60
F4 R2 0,615 10,4706 100,49
R3 0,601 10,2539 99,46
R1 0,576 9,8669 99,77
F5 R2 0,589 10,0681 98,51
R3 0,598 10,2074 98,53

Keterangan :
F1 = Formula gel dengan 5,00% dimetil sulfoksida dan 10,00% sesame oil.
F2 = Formula gel dengan 5,75% dimetil sulfoksida dan 9,25% sesame oil.
F3 = Formula gel dengan 6,50% dimetil sulfoksida dan 8,50% sesame oil.
F4 = Formula gel dengan 7,25% dimetil sulfoksida dan 7,75% sesame oil.
F5 = Formula gel dengan 8,00% dimetil sulfoksida dan 7,00% sesame oil.

88
89

Contoh perhitungan penetapan kadar gel transdermal ketoprofen (Formula 1


Replikasi 1) :

Persamaan kurva baku : Y = bx + a


Y = 0,0646 x – 0,0614

Nilai serapan 0,579 maka, Y = 0,0646 x – 0,0614


0,579 = 0,0646 x – 0,0614
x = 9,9133 mg/L

Penimbangan : Berat kertas + zat = 0,2539 g


Berat kertas + sisa = 0,1537 g
Berat zat = 0,1002 g = 100,2 mg

50 mL
% kadar ketoprofen = 9,9133 mg x x 2 x 100%
1000 mL
100,2 mg

= 0,9894%

0,9894%
% kadar terhadap etiket = x 100% = 98,94%
1%
(Memenuhi syarat 98,5-101,0%)
Lampiran 12. Hasil Perhitungan Jumlah Ketoprofen Terdifusi

Absorbansi
% Terdifusi
Waktu 5 10 15 30 45 60 120 180 240 300 360

R1 0,409 0,550 0,667 0,806 0,980 1,213 1,723 2,224 2,795 3,081 3,187 21,39%

F1 R2 0,419 0,547 0,664 0,819 1,046 1,222 1,707 2,186 2,638 2,895 2,998 20,50%

R3 0,416 0,545 0,669 0,838 1,023 1,217 1,622 2,062 2,713 2,998 3,171 21,12%

R1 0,430 0,567 0,630 0,891 1,059 1,231 1,887 2,355 2,714 2,996 3,188 21,59%

F2 R2 0,468 0,595 0,739 0,886 1,045 1,222 1,794 2,467 3,028 3,272 3,435 22,98%

R3 0,472 0,664 0,732 0,889 1,095 1,269 1,800 2,463 3,098 3,398 3,532 23,56%

R1 0,394 0,433 0,567 0,715 0,901 1,019 1,503 1,972 2,354 2,599 2,814 18,78%

F3 R2 0,403 0,535 0,661 0,838 0,937 1,065 1,495 2,003 2,502 2,701 2,935 19,65%

R3 0,398 0,429 0,560 0,710 0,880 0,984 1,481 1,961 2,410 2,504 2,701 18,27%

R1 0,387 0,420 0,556 0,705 0,864 0,928 1,274 1,695 2,091 2,240 2,381 16,36%

F4 R2 0,382 0,425 0,557 0,708 0,871 0,943 1,391 1,818 2,249 2,441 2,617 17,63%

R3 0,384 0,422 0,558 0,710 0,902 1,030 1,506 1,980 2,391 2,511 2,630 18,05%

R1 0,267 0,394 0,424 0,542 0,677 0,709 0,956 1,198 1,436 1,542 1,631 11,71%

F5 R2 0,362 0,414 0,555 0,600 0,753 0,804 1,211 1,616 2,032 2,194 2,229 15,42%

R3 0,369 0,408 0,550 0,649 0,748 0,818 1,204 1,599 1,928 2,029 2,131 14,90%

Keterangan :
F1 = Formula gel dengan 5,00% dimetil sulfoksida dan 10,00% sesame oil.
F2 = Formula gel dengan 5,75% dimetil sulfoksida dan 9,25% sesame oil.
F3 = Formula gel dengan 6,50% dimetil sulfoksida dan 8,50% sesame oil.
F4 = Formula gel dengan 7,25% dimetil sulfoksida dan 7,75% sesame oil.
F5 = Formula gel dengan 8,00% dimetil sulfoksida dan 7,00% sesame oil.

90
91

Contoh perhitungan hasil pengukuran % terdifusi ketoprofen (Formula 1


Replikasi 1) :

Menit ke 5
Absorbansi = 0,409, hasil absorbansi dimasukkan dalam perhitungan
kurva baku ketoprofen didapat kadar 7,2817 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 7,2817 mg
= 0,0873808 mg
= 87,3808 g
Faktor koreksi = -
Total faktor koreksi =-
Q 5 menit = 87,3808 g
Menit ke 10
Absorbansi = 0,550 dengan kadar 9,4644 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 9,4644 mg
= 0,1135728 mg
= 113,5728 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 87,3808 g
= 14,5635 g
Total faktor koreksi = 0 g + 14,5635 g
= 14,5635 g
Q 10 menit = 113,5728 g + 14,5635 g
= 128,1362 g
Menit ke 15
Absorbansi = 0,667 dengan kadar 11,2755 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 11,2755 mg
= 0,1353065 mg
= 135,3065 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 113,5728 g
= 18,9288 g
Total faktor koreksi = 14,5635 g + 18,9288 g
= 33,4923 g
Q 15 menit = 135,3065 g + 33,4923 g
= 168,7988 g
92

Menit ke 30
Absorbansi = 0,806 dengan kadar 13,4272 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 13,4272 mg
= 0,1611269 mg
= 161,1269 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 135,3065 g
= 22,5511 g
Total faktor koreksi = 33,4923 g + 22,5511 g
= 56,0433 g
Q 30 menit = 161,1269 g + 56,0433 g
= 217,1703 g

Menit ke 45
Absorbansi = 0,980 dengan kadar 16,1207 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 16,1207 mg
= 0,1934489 mg
= 193,4489 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 161,1269 g
= 26,8545 g
Total faktor koreksi = 56,0433 g + 26,8545 g
= 82.8978 g
Q 45 menit = 193,4489 g + 82.8978 g
= 276,3467 g

Menit ke 60
Absorbansi = 1,213 dengan kadar 19,7276 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 19,7276 mg
= 0,2367307 mg
= 236,7307 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 193,4489 g
= 32,2415 g
Total faktor koreksi = 82,8978 g + 32,2415 g
= 115,1393 g
Q 60 menit = 236,7307 g + 115,1393 g
= 351,8700 g
93

Menit ke 120
Absorbansi = 1,723 dengan kadar 27,6223 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 27,6223 mg
= 0,3314675 mg
= 331,4675 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 236,7307 g
= 39,4551 g
Total faktor koreksi = 115,1393 g + 39,4551 g
= 154,5994 g
Q 120 menit = 331,4675 g + 154,5994 g
= 486,0619 g

Menit ke 180
Absorbansi = 2,224 dengan kadar 35,3777 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 35,3777 mg
= 0,4245325 mg
= 424,5325 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 331,4675 g
= 55,2446 g
Total faktor koreksi = 154,5994 g + 55,2446 g
= 209,8390 g
Q 180 menit = 424,5325 g + 209,8390 g
= 634,3715 g

Menit ke 240
Absorbansi = 2,795 dengan kadar 44,2167 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 44,2167 mg
= 0,5306006 mg
= 530,6006 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 424,5325 g
= 70,7554 g
Total faktor koreksi = 209,8390 g + 70,7554 g
= 280,5944 g
Q 240 menit = 530,6006 g + 280,5944 g
= 811,1950 g
94

Menit ke 300
Absorbansi = 3.081 dengan kadar 48,6440 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 48,6440 mg
= 0,5837276 mg
= 583,7276 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 530,6006 g
= 88,4334 g
Total faktor koreksi = 280,5944 g + 88,4334 g
= 369,0279 g
Q 300 menit = 583,7276 g + 369,0279 g
= 952,7554 g
Menit ke 360
Absorbansi = 3.187 dengan kadar 50,2848 ppm
Kadar dalam aseptor = (12 mL/1000 mL) x 50,2848 mg
= 0,6034180 mg
= 603,4180 g
Faktor koreksi = (2 mL/12 mL) x 583,7276 g
= 97,2879 g
Total faktor koreksi = 369,0279 g + 97,2879 g
= 466,3158 g
Q 360 menit = 603,4180 g + 466,3158 g
= 1069,7337 g

Kadar ketoprofen pada tiap formula = 1%


Gel yang digunakan pada uji difusi = 0,5 g
Ketoprofen dalam 0,5 g gel = 1/100 x 0,5 gram
= 0,005 g
= 5000 g
Q 360 menit
% ketoprofen terdifusi = x 100%
Jumlah bahan obat
= 1069,7337 g/5000 g x 100%
= 21,39%
Lampiran 13. Hasil Optimasi

1. Uji Organoleptis, Homogenitas, pH, Viskositas, Daya Sebar, dan Daya Lekat.
Uji R1 R2 R3
Bentuk Setengah padat Setengah padat Setengah padat
Warna Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan
Bau Khas sesame oil Khas sesame oil Khas sesame oil
Tekstur Tidak lengket Tidak lengket Tidak lengket
Homogenitas Homogen Homogen Homogen
pH 6,81 6,80 6,85
Viskositas (cPs) 5371 5353 5405
Daya Sebar (cm) 5,500 5,525 5,475
Daya Lekat (detik) 1,47 1,43 1,50

2. Uji Difusi Franz


Replikasi I

Total
Kadar Faktor
Waktu Faktor Q Total %
Absorbansi X (ppm) Aseptor Koreksi
(menit) Koreksi (µg) Terdifusi
(µg) (µg)
(µg)

5 0,417 7,4056 88,8669 0,0000 0,0000 88,8669 1,78


10 0,559 9,6037 115,2446 14,8111 14,8111 130,0557 2,60
15 0,673 11,3684 136,4211 19,2074 34,0186 170,4396 3,41
30 0,801 13,3498 160,1981 22,7368 56,7554 216,9536 4,34
45 0,918 15,1610 181,9319 26,6997 83,4551 265,3870 5,31
60 1,095 17,9009 214,8111 30,3220 113,7771 328,5882 6,57
120 1,641 26,3529 316,2353 35,8019 149,5789 465,8142 9,32
180 2,183 34,7430 416,9164 52,7059 202,2848 619,2012 12,38
240 2,716 42,9938 515,9257 69,4861 271,7709 787,6966 15,75
300 2,988 47,2043 566,4520 85,9876 357,7585 924,2105 18,48
360 3,248 51,2291 614,7492 94,4087 452,1672 1066,9164 21,34

Replikasi II

95
96

Total
Kadar Faktor
Waktu Faktor Q Total %
Absorbansi X (ppm) Aseptor Koreksi
(menit) Koreksi (µg) Terdifusi
(µg) (µg)
(µg)

5 0,423 7,4985 89,9814 0,0000 0,0000 89,9814 1,80


10 0,551 9,4799 113,7585 14,9969 14,9969 128,7554 2,58
15 0,680 11,4768 137,7214 18,9598 33,9567 171,6780 3,43
30 0,833 13,8452 166,1424 22,9536 56,9102 223,0526 4,46
45 1,005 16,5077 198,0929 27,6904 84,6006 282,6935 5,65
60 1,117 18,2415 218,8978 33,0155 117,6161 336,5139 6,73
120 1,666 26,7399 320,8793 36,4830 154,0991 474,9783 9,50
180 2,239 35,6099 427,3189 53,4799 207,5789 634,8978 12,70
240 2,774 43,8916 526,6997 71,2198 278,7988 805,4985 16,11
300 3,038 47,9783 575,7399 87,7833 366,5820 942,3220 18,85
360 3,269 51,5542 618,6502 95,9567 462,5387 1081,1889 21,62

Replikasi III

Total
Kadar Faktor
Waktu Faktor Q Total %
Absorbansi X (ppm) Aseptor Koreksi
(menit) Koreksi (µg) Terdifusi
(µg) (µg)
(µg)

5 0,406 7,2353 86,8235 0,0000 0,0000 86,8235 1,74


10 0,534 9,2167 110,6006 14,4706 14,4706 125,0712 2,50
15 0,661 11,1827 134,1920 18,4334 32,9040 167,0960 3,34
30 0,809 13,4737 161,6842 22,3653 55,2693 216,9536 4,34
45 0,961 15,8266 189,9195 26,9474 82,2167 272,1362 5,44
60 1,099 17,9628 215,5542 31,6533 113,8700 329,4241 6,59
120 1,582 25,4396 305,2755 35,9257 149,7957 455,0712 9,10
180 2,168 34,5108 414,1300 50,8793 200,6749 614,8050 12,30
240 2,739 43,3498 520,1981 69,0217 269,6966 789,8947 15,80
300 3,012 47,5759 570,9102 86,6997 356,3963 927,3065 18,55
360 3,197 50,4396 605,2755 95,1517 451,5480 1056,8235 21,14
Lampiran 14. Persamaan Optimasi berdasarkan Design Expert 10.0.2

1. Respon pH

97
98

2. Respon Viskositas
99

3. Respon Daya Sebar


100

4. Respon Daya Lekat


101

5. Respon Jumlah Ketoprofen Terdifusi


Lampiran 15. Hasil ANOVA berdasarkan Design Expert 10.0.2

1. Respon pH

2. Respon Viskositas

102
103

3. Respon Daya Sebar

4. Respon Daya Lekat


104

5. Respon Jumlah Ketoprofen Terdifusi


Lampiran 16. Hasil Optimasi Formula Optimum Design Expert 10.0.2

105
Lampiran 17. Hasil SPSS Verifikasi Persamaan

Explore
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
pH .314 3 . .893 3 .363
Viskositas .247 3 . .969 3 .664
Daya Sebar .175 3 . 1.000 3 1.000
Daya Lekat .204 3 . .993 3 .843
Jumlah Ketoprofen Terdifusi .211 3 . .991 3 .817
a. Lilliefors Significance Correction

T-Test

106
107

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


108

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


109

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


111

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


112

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


113

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


114

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


115

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


116

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

pH 3 6.82000 .026458 .015275

One-Sample Test

Test Value = 6.846

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

pH -1.702 2 .231 -.026000 -.09172 .03972

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Viskositas 3 5.37633E3 26.407070 15.246129

One-Sample Test

Test Value = 5351.159

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Viskositas 1.651 2 .240 25.174333 -40.42446 90.77313

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Sebar 3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511

95% Confidence Interval


of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper

Daya Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Daya Lekat 3 1.46667 .035119 .020276


117

One-Sample Statistics

Std. Error
N Mean Std. Deviation Mean
Daya_Sebar
3 5.50000 .025000 .014434

One-Sample Test

Test Value = 5.511


95% Confidence
Interval of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper
Daya_Sebar -.762 2 .526 -.011000 -.07310 .05110

One-Sample Statistics
Std. Error
N Mean Std. Deviation Mean
Daya_Lekat
3 1.46667 .035119 .020276

One-Sample Test

Test Value = 1.449


95% Confidence
Interval of the Difference
Mean
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper
Daya_Lekat .871 2 .475 .017667 -.06957 .10491

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean


Daya_Penetrasi 3 2.13667E1 .241109 .139204
118

One-Sample Test

Test Value = 21.570


95% Confidence Interval of
the Difference
Sig. (2- Mean
t Df tailed) Difference Lower Upper
Daya_Penetrasi -1.461 2 .282 -.203333 -.80228 .39561
Lampiran 18. Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen

F1 R3 F2 R3 F3 R3 F4 R3 F5 R3

F1 R2 F2 R2 F3 R2 F4 R2 F5 R2

F1 R1 F2 R1 F3 R1 F4 R1 F5 R1

Formula Sediaan Gel Transdermal Ketoprofen

R1 R2 R3

Formula Optimum Gel Transdermal Ketoprofen

119
Lampiran 19. Alat yang Digunakan

pH meter Hanna Instruments Viskometer Brookfield

Alat Uji Daya Lekat Uji Daya Sebar

120
121

Hot Plate Stirrer Model L-8 Spektrofotometer UV

Spinbar Neraca Digital


122

1 5
2
3

Sel Difusi Franz Vertikal


Keterangan :
1. Kompartemen donor (tempat gel ketoprofen)
2. Membran difusi (kulit tikus)
3. Kompartemen reseptor (buffer phosphate pH 7,4)
4. Spinbar
5. Tempat pengambilan sampel (dengan pipet volume)
Lampiran 20. Hewan yang Digunakan

Tikus Sudah Mati Tikus Sudah Dibersihkan dari Bulu

Kulit Tikus

123

Anda mungkin juga menyukai