Aktivitas Antioksidan Dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria PDF
Aktivitas Antioksidan Dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria PDF
AZWIN APRIANDI
AZWIN APRIANDI
C34070081
Skripsi
NRP : C34070081
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pemimbing II
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul “Aktivitas
Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong (Fasciolaria salmo)
“adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Azwin Apriandi
C34070081
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan
penyusunan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar
Sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi
hasil penelitian ini berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada
Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis selama penyusunan skripsi ini , terutama kepada:
1. Dr. Ir. Nurjanah, MS dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M. selaku
dosen pembimbing, atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan
yang telah diberikan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi
Hasil Perairan.
3. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi
Departemen Teknologi Hasil Perairan, yang telah banyak membantu
penulis selama proses penyusunan skripsi.
4. Pak Haris Fadillah selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun,
yang telah memberikan motivasi serta dukungannya kepada penulis.
5. Keluarga terutama Bapak, ibu dan Adik yang telah memberikan semangat,
materil dan doanya, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
6. Novi Winarti yang telah memberi semangat dan motivasi kepada penulis
selama menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman THP 44, 43, 42 yang telah banyak memberikan masukan
dan informasi-informasi penting pada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Azwin Apriandi
C34070081
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Halaman
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………..... ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… xi
1 PENDAHULUAN…………………………………………………..... 1
1.1 LatarBelakang …………………………………………………..... 1
1.2 Tujuan …………………………………………………………….. 2
2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………... 3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong
(Fasciolaria salmo)……………………………………………….… 3
Nomor Halaman
1. Bentuk cangkang keong ipong-ipong…. ……....……….…... 63
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan rendemen, kandungan
zat gizi (air, lemak, protein, abu, abu tidak larut asam, dan karbohidrat), aktivitas
antioksidan dan komponen bioaktif yang terkandung dalam keong ipong-ipong
(Fasciolaria salmo) dari Cirebon, Jawa Barat.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Moluska memiliki keragaman yang sangat besar, hal ini dapat dilihat dari struktur
dan habitatnya. Komoditas ini menempati semua lingkungan laut, mulai dari tepi
laut berbatu yang merupakan daerah deburan ombak sampai ke hydrothermal vent
di laut dalam (Castro dan Huber 2007). Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)
merupakan salah satu spesies dari kelas gastropoda yang memiliki bentuk
cangkang seperti kerucut dari tabung yang melingkar seperti konde (gelung,
worl). Puncak kerucut merupakan bagian yang tertua yang disebut apex, terdapat
bulu-bulu kecil sekeliling cangkang dan memiliki warna kuning kehijauan.
Cangkang dari keong terdiri dari 4 lapisan. Lapisan paling luar adalah
periostrakum, yang merupakan lapisan tipis terdiri dari bahan protein seperti zat
tanduk, disebut conchiolin atau conchin. Lapisan ini terdapat endapan pigmen
beraneka warna, yang menjadikan banyak cangkang siput terutama spesies laut
termasuk keong ipong-ipong ini yang memiliki warna sangat indah, kuning, hijau
cemerlang dengan bercak-bercak merah atau garis-garis cerah. Periostrakum
berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya yang terdiri dari kalsium
karbonat terhadap erosi. Lapisan kalsium karbonat terdiri dari 3 lapisan atau lebih,
yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling
dalam adalah lapisan nacre atau hypostracum (Suwignyo et al. 2005).
Keong ipong-ipong merupakan kelas Gastropoda yang hidup di laut.
Gastropoda yang hidup di laut dapat dijumpai di berbagai jenis lingkungan dan
bentuknya telah beradaptasi dengan lingkungannya tersebut (Nontji 1987). Di laut
dalam gastropoda dapat hidup sampai pada kedalaman 5000 meter
(Plaziat 1984). Barnes (1987) menyebutkan beberapa jenis dari gastropoda hidup
menempel pada subtrat yang keras, akan tetapi ada juga yang hidup di subtrat
seperti pasir dan lumpur. Gastropoda juga dapat hidup di zona litoral, daerah
pasang surut dengan menempel pada terumbu karang, laut dalam maupun dangkal
bahkan ada yang hidup di air tawar (Berry 1972). Dilingkungan laut gastropoda
dapat ditemukan di daerah benthik, antara bebatuan dan pada subtrat lunak
(lumpur).
2.2 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,
membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen
dan nitrogen reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan mempunyai peran
berupa penghambatan proses aterosklerosis, yaitu merupakan komplikasi dari
penyakit diabetes mellitus yang sangat berperan untuk terjadinya penyakit jantung
koroner (Musthafa et al. 2000). Rohman dan Riyanto (2005) menyatakan bahwa
antioksidan adalah sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas
dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit karsinogenis, kardiovaskuler dan
penuaan. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem
pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal
berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari
luar) (Wiji dan Sugrani 2009).
2.2.1 Fungsi antioksidan
Fungsi utama antioksidan yaitu dapat digunakan sebagi upaya untuk
memperkecil tejadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil
terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian
dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam
makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan
Sunardi 2007). Antioksidan juga dapat menetralkan radikal bebas, seperti enzim
SOD (Superosida Dismutase), gluthatione, dan katalase. Antioksidan dapat
diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E
dan berkaroten serta senyawa fenolik (Prakasih 2001; Frei 1994; Trevor 1995
diacu dalam Andayani et al. 2008). Musthafa dan Lawrence (2000) menambahkan
bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir atau meredam
dampak negatif dari radikal bebas.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi.
Fungsi utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan
disingkat (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai
antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat
ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara
turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding
radikal bebas. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder, yaitu memperlambat laju
autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai
autooksidasi dengan pengubahan radikal bebas kebentuk lebih stabil
(Gordon 1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah dapat
menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi. Penambahan tersebut dapat
menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2).
Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif
stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul
tertentu membentuk radikal bebas baru (Gordon 1990). Menurut
Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk
produk non radikal dapat dilihat pada Gambar 2.
Inisiasi ; R* + AH --------------------------RH + A*
2.6.2 Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa
alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna,
berbentuk Kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif (Harborne 1987).
Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen
sebenarnya, steroid, saponin, dan glokisida jantung (cardiac glycoside). Beberapa
triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007).
Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat
diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, sehingga
golongan senyawa ini cenderung tidak larut air (Wilson dan Gisvold 1982).
Adapun contohnya seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D.
Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu
lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Hasil penelitian Silva et al. (2002)
menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata
memiliki aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek
hemolitik yang tidak diinginkan. Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas
hemolitik karena steroid memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada
membran eritrosit. Struktur dari steroid dapat dilihat pada Gambar 5.
2.6.3 Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua
inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki
karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B
biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996). Senyawa ini
dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah
ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol,
oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak
(Harborne 1987).
Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu
menunjukkan pita swrapan kuat pada daerah spectrum UV dan spectrum tampak.
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan
aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-
mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar
sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon,
glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon (Harborne 1987)
Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja
antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995). Adapun
fungsi flavonoid dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung,
hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi berkerja
sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait 2007).
2.6.4 Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam
lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula
pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam
air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat
(Winarno 1997). Selain itu saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering
menyebabkan heomolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai
senyawa aktif permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik
dengan gula yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998). Banyak
saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum
ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu
mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti
terpercaya akan adanaya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin
karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum
disajikan pada Gambat 6.
25 gr Sampel
Maserasi dengan
metanol selama 48 jam
Ekstrak metanol
Residu
Gambar 9. Rendemen cangkang dan isi cangkang (daging dan jeroan) keong
ipong-ipong
Rendemen cangkang lebih dari setengah berat keong ipong-ipong utuh,
yaitu sebesar 69,69%. Hal ini menunjukkan bahwa cangkang keong ipong-ipong
berpotensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sumber kalsium.
Suwignyo et al. (2005) menyatakan cangkang gastropoda tersusun atas kalsium
karbonat. Lapisan kalsium karbonat yang terdapat pada cangkang terdiri dari
3 lapisan antara lain perismatik, lamella dan nacre.
Rendemen isi cangkang (daging dan jeroan) sebesar 30% yang terdiri dari
22,08% dari daging dan 8,22% dari jeroan. Selain cangkang, isi cangkang keong
ipong-ipong juga berpotensi untuk dimanfaatkan dengan jumlahnya yang berkisar
30% tersebut. Pemanfaatannya bisa berupa dijadikan lauk pauk sebagai sumber
protein hewani dan asam amino. Protein dan asam-asam amino berfungsi sebagai
zat pembangun pada tubuh manusia serta membantu dalam proses metabolisme
tubuh manusia (Winarno 2008).
Hasil perhitungan pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa cangkang, isi
cangkang (daging dan jeroan) memiliki rendemen masing-masing sebesar
69,69%, 22,08% dan 8,22%. Apabila ketiga nilai rendemen tersebut dijumlahkan,
maka jumlahnya tidak mencapai 100%. Hal ini diduga sisa berat yang hilang
selama proses preparasi merupakan berat air yang terkurung dalam cangkang dan
tidak terikat di dalam jaringan. Air ini terbuang ketika isi cangkang dikeluarkan
dan ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditimbang. Persentasi air yang hilang ini
sekitar 0,01%. Air ini terperangkap dalam cangkang saat operkulum menutup
rapat lubang aperture.
4.1.2 Komposisi kimia
Kandungan gizi pada isi cangkang keong ipong-ipong dapat diketahui
dengan melakukan analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk
memperoleh data tentang komposisi kimia dalam suatu bahan. Komposisi kimia
tersebut diantaranya kandungan air, protein, lemak, abu, abu tidak larut asam dan
karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam keong ipong-ipong diperoleh melalui
perhitungan by difference. Selain analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu
dan karbohidrat), pengujian abu tidak larut asam juga dilakukan. Pengujian abu
tidak larut asam pada keong ipong-ipong dilandasi karena keong ipong-ipong
merupakan golongan Gastropoda yang hidup di perairan laut berlumpur dan
menempel pada substrat. Keong ipong-ipong di duga mengandung abu tidak larut
asam yang berasal dari mineral-mineral dalam lumpur yang ikut masuk ke dalam
saluran pencernaannya, ketika keong ipong-ipong sedang melakukan aktivitas
makan. Hasil analisis proksimat isi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat
pada Gambar 10 dan cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.
1) Kadar air
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan.
Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena
air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan.
Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan
pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang
dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan
pangan yang dapat mempercepat pembusukan (Winarno 2008). Hasil pengukuran
kadar air menunjukkan bahwa keong ipong-ipong memiliki kadar air yang cukup
tinggi, yaitu sebesar 73,07%.
Prinsip análisis kadar air yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
megukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan
dengan bantuan panas. Air yang teruapkan ini merupakan air tipe III
(Winarno 2008). Air tipe III ini biasa disebut air bebas dan merupakan air yang
hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler,
serat dan lain sebagainya. Air ini dapat dimanfaatkan unutk pertumbuhan mikorba
dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi (Winarno 2008). Tingginya air tipe III ini
pada keong ipong-ipong, dapat menyebabkan keong ipong-ipong mudah sekali
mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar.
Hal ini karena air tipe ini dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan
juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya
enzim protease seperti katepsin.
2) Kadar lemak
Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang
terkandung pada isi cangkang keong ipong-ipong. Lemak merupakan komponen
yang larut dalam pelarut organik seperti heksan, eter dan kloroform. Menurut
Poedjiadi (1994), lemak hewan umumnya berupa padatan pada suhu ruang,
sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak dapat
dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan
karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 gram lemak dapat menghasilkan
9 kkal, dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang
dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat
digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (A, D, E dan K)
(Winarno 2008; Belitz et al. 2009).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung
lemak dalam kadar yang cukup rendah, yaitu hanya sebesar 0,57%. kadar lemak
yang rendah dapat disebabkan karena kandungan air keong ipong-ipong sangat
tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun secara
drastis. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air
umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998).
Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar
air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi.
Kandungan lemak keong ipong-ipong ini lebih rendah daripada kandungan
lemak pada daging keong air laut lainnya dari Genus Cerithidea, yaitu sebesar
2,55% (Prabowo 2009). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa
faktor, yaitu umur, hábitat, ukuran dan tingkat kematangan gonad.
3) Protein
Pengukuran protein pada bahan pangan digunakan untuk mengetahui
kemampuan bahan pangan sebagai sumber protein atau tidak. Protein merupakan
makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida.
Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta berperan sebagai zat
pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam amino yang
mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun
karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam seperti besi dan
tembaga (Winarno 2008).
Protein merupakan komponen terbesar setelah air pada sebagian besar
jaringan tubuh (Winarno 2008). Hal ini terbukti dari hasi análisis proksimat keong
ipong-ipong yang disajikan pada Gambar 10. Nilai kadar protein keong ipong-
ipong merupakan nilai terbesar kedua setelah air. Komponen lemak, abu, abu
tidak larut asam dan karbohidrat memiliki jumlah yang lebih kecil dibandingkan
dengan protein.
Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa keong ipong-pong
memiliki protein dalam jumlah yang tinggi, yaitu sebesar 18,28%. jumlah ini jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan keong air laut lainnya seperti dari Genus
Cerithidea yang mengandung protein sebesar 9,85% (Prabowo 2009). Variasi ini
dapat disebabkan oleh bebrapa faktor, yaitu hábitat, umur, makanan yang dicerna,
laju metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad.
4) Kadar abu
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral
yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan
organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga
dikenal sebagi zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-
bahan organik akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah
disebut sebagai kadar abu (Winarno 2008).
Hasil pengujian kadar abu total menunjukakan bahwa keong ipong-ipong
mengandung kadar abu sebesar 2,77%, ini jauh lebih rendah dari kadar abu yang
terkandung dalam Genus Cerithidea yaitu sebesar 5,73% (Prabowo 2009). Tinggi
rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan
hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan
mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya.
Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda
dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan
memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.
5) Kadar abu tidak larut asam
Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam,
yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tidak
larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau
logam yang tidak dapat larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam
juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan
dalam proses pengolahan suatu produk (Basmal et al. 2003).
Hasil pengujian kadar abu tidak larut asam menunjukkan bahwa keong
ipong-ipong mengandung residu abu tidak larut asam sebesar 0,15%. Nilai kadar
abu yang diperoleh pada penelitian ini masih di bawah 1%, seperti yang
disyaratkan oleh Food Chemical Codex (1991) untuk produk kappa-karaginan
food grade. Kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari material-material
abu tidak larut asam yang terdapat di perairan tempat keong ipong-ipong hidup,
seperti pasir, lumpur, silika dan batu. Mineral tidak larut asam ini ikut masuk ke
dalam saluran pencernaan keong ipong-ipong ketika keong ipong-ipong sedang
melakukan aktivitas makan, kemudian mengendap di dalamnya karena tidak dapat
dieksresikan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Adriyanti (2009) dan Nurjanah (2009) pada lintah laut
(Discodoris ap.) yang juga termasuk dalam kelas Gastropoda dan hidup
menempel pada substrat dasar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
lintah laut yang telah dibuang jeroannya memiliki kadar abu tidak larut asam yang
lebih rendah dari pada lintah laut yang tidak dibuang jeroannya, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tempat tertimbunnya material tidak larut asam dalam tubuh
Gastropoda adalah pada bagian jeroannya. Nurjanah (2009) menambahkan bahwa
komponen abu tidak larut asam ini dapat merusak kinerja organ ginjal jika
dikonsumsi dalam jumlah yang besar.
6) Kadar karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik yang paling banyak tersebar di
permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan
tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak
digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari
karbohidrat sebesar 4 kkal (Belitz et al. 2009). Karbohidrat juga mempunyai
peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa,
warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 2008).
Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference
menunjukkan bahwa keong ipong-ipong mengandung karbohidrat sebesar 5,2%.
Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode
penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar
juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008). Kadar karbohidrat yang
terhitung ini diduga berupa glikogen dan serat kasar. Hal ini dikarenakan
karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen
(Winarno 2008).
EKSTRAK
Uji Kloroform Etil Asetat Metanol
Daging Jeroan Daging Jeroan Daging Jeroan
Alkaloid:
a. Dragendorf - - + - + +
b. Meyer - + - - - -
c. Wegner - - + + + +
Steroid ++ ++ + + + +
Flavonoid - - - - - -
Saponin - - - - - -
Fenol
Hidroquinon - - - - - -
Molisch + + + + + +
Benedict - - - - + -
Biuret - - - - ++ ++
Ninhidrin - - - - ++ ++
Keterangan:
+ : Lemah
++: Kuat
1) Alkaloid
Komponen alkaloid merupakan substansi dasar yang memiliki satu atau
lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan bergabung dalam satu sistem siklis,
yaitu cincin heterosiklik (Harborne 1984). Komponen alkaloid ini ditemukan pada
ekstrak jeroan dan ditiap-tiap pelarut, sedangkan untuk ekstrak daging, alkaloid
hanya ditemukan pada pelarut etil asetat dan metanol, akan tetapi tidak ditemukan
pada pelarut kloroform. Bioaktif jenis dari alkaloid ini umunya larut pada pelarut
organik non polar, akan tetapi ada beberapa kelompok seperti pseudoalkaloid dan
protoalkaloid, kelompok ini larut pada pelarut polar seperti air (Lenny 2006).
Pelarut organik yang digunakan pada penelitian ini adalah pelarut kloroform p.a.,
tetapi pada ekstrak daging keong ipong-ipong tidak menunjukkan reaksi positif
adanya alkaloid. Ekstrak daging yang menunjukkan hasil yang positif justru
dengan pelarut etil asetat p.a. (semi polar) dan metanol p.a. (polar). Hal ini
menunjukkan bahwa bagian daging keong ipong tidak mengandung alkaloid
(sesungguhnya) yang bersifat racun, tetapi hanya mengandung protoalkaloid dan
pseudoalkaloid saja. Akan tetapi pada ekstrak jeroannnya mengandung alkaloid
(sesungguhnya) yang bersifat racun. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif
sederhana dimana nitrogen-nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin
heterosiklik, sedangkan pseudoalkaloid merupakan komponen alkaloid yang tidak
diturunkan dari prekursor asam amino dan biasanya bersifat basa (Lenny 2006).
Bioaktif alkaloid yang terdapat pada ekstrak metanol dan etil asetat pada
ekstrak daging dan ekstrak kloroform, etil asetat dan metanol di jeroan pada
keong ipong-ipong ini dapat digolongkan sebagai hasil metabolisme sekunder dari
keong ipong-ipong sendiri. Kutchan (1995) menyatakan bahwa, alkaloid
digolongkan sebagai metabolit sekunder karena kelompok molekul ini merupakan
substansi organik yang tidak bersifat vital bagi organisme yang menghasilkannya,
tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa komponen alkaloid pada keong ipong-
ipong ini juga berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh keong ipong-ipong
sendiri
Alkaloid berasal dari sejumlah kecil asam amino antara lain ornitin dan
lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik; fenilalanin dan tirosin yang menurunkan
alkaloid jenis isokuinolin; dan triftopan yang menurunkan alkaloid jenis indol.
Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi
Mannich, dimana menurut reaksi ini suatu aldehid berkondensasi dengan suatu
amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam
iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa
suatu enol atau fenol (Lenny 2006). Reaksi Mannich ini terjadi juga dalam
jaringan tubuh keong ipong-ipong yang turut menghasilkan alkaloid.
Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada juga yang
memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara
luas dalam pengobatan (Harborne 1984). Komponen alkaloid pada ekstrak
keong ipong-ipong ini diduga juga memiliki sifat antioksidan, sama seperti jenis
alkaloid yang ditemukan oleh Porto et al. (2009) pada daun Psychotria
brachyceras yaitu brachycerine, yang memiliki aktivitas antioksidan dan juga
berperan sebagai pelindung dari radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C). Alkaloid
jenis isokuinolin diduga berhubungan erat dengan senyawa alkaloid tipe quinin,
dan diduga pula memiliki aktivitas sebagai obat malaria seperti quinine
(Putra 2007). Hal ini menekankan bahwa perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut
tentang jenis alkaloid yang terkandung dalam ekstrak metanol dengan
menggunakan reagen alkaloid, kromatografi, atau metode spektra (UV, IR, MS
dan NMR) (Harborne 1984). Ketika jenis alkaloidnya telah diketahui dengan
jelas, maka fungsi fisiologisnya pun dapat ditentukan dengan tepat.
2) Steroid
Adapun pengujian yang telah dilakukan dan digunakan secara luas untuk
mendeteksi triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang
memberikan warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid. Triterpenoid
merupakan komponen dengan kerangka karbon yang terdiri dari 6 unit isoprene
dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C30 hidrokarbon asiklik). Triterpenoid
memiliki struktur siklik yang kompleks, sebagian besar terdiri atas alkohol,
aldehid, atau asam karboksilat. Triterpenoid tidak berwarna, jernih, memiliki
titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit dikarakterisasi
(Harborne 1984).
Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin
cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan
hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks,
hormon adrenal, asam empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini
steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1984).
Adapun komponen steroid yang terdeteksi pada ekstrak daging dan jeroan
keong ipong-ipong ini diduga merupakan hormon adrenal dan hormon seks
(progesterone, 17-β-estradiol, testosterone, 4-androstene-dione dan cortisol)
seperti steroid yang terdeteksi pada Achatina fulica yang juga merupakan
Gastropoda (Bose et al. 1997). Steroid ini juga diduga memiliki efek peningkat
stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Setzer (2008), triterpenoid alami juga memiliki aktivitas antitumor
karena mempunyai kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II,
dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA
dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat
mengikat DNA.
Berdasarkan hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen
triterpenoid/steroid ini terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan
keong ipong-ipong yang memiliki tingkat polaritas yang berbeda. Prekursor dari
pembentukan triterpenoid/steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar
(Harborne 1984), sehingga diduga triterpenoid/steroid dapat larut pada pelarut
organik (non polar). Hal ini menekankan bahwa sangatlah wajar apabila
triterpenoid/steroid terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut
kloroform (non polar) ataupun ekstrak kasar daging dan jeroan dengan pelarut etil
asetat (semipolar) keong ipong-ipong. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa triterpenoid/steroid juga terdeteksi pada ekstrak kasar daging dan jeroan
dengan pelarut metanol (polar). Hal ini dapat terjadi mengingat metanol
merupakan pelarut polar, yang juga dapat mengekstrak komponen lainnya yang
bersifat non polar ataupun semipolar. Schimidt dan Steinhart (2001) menyatakan
bahwa kandungan steroid pada ekstrak polar dan non polar tidak menunjukkan
hasil yang berbeda nyata.
3) Karbohidrat
Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk
melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama
dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati),
transportasi energi (sukrosa), serta pembangun dinding sel (selulosa)
(Harborne 1984). Karbohidrat mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul
yang berbeda-beda. Karbohidrat umumnya aman untuk dikonsumsi
(tidak beracun). Rumus kimia karbohidrat umumnya C x(H2O)y (Fennema 1996).
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ketiga ekstra kasar daging dan
jeroan keong ipong-ipong positif mengandung unsur karbohidrat. Hasil
pengujian ini mendukung hasil analisis proksimat karbohidrat keong ipong-ipong,
yaitu sebesar 5.2%. Komponen serat kasar ini tidak ada yang terlarut pada ketiga
pelarut yang digunakan dan tertinggal sebagai residu selama proses filtrasi,
sehingga karbohidrat yang terdeteksi dari hasil uji fitokimia pada ketiga ekstrak
kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong bukanlah komponen serat kasar,
tetapi komponen glikogen yang terekstrak pada ketiga pelarut dengan tingkat
kepolaran yang berbeda. Karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya
berbentuk glikogen, dan dapat dipecah menjadi D-glukosa (Winarno 2008).
Karbohidrat yang memiliki berat molekul rendah, umumnya mempunyai
banyak kegunaan. Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan,
perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing
(Harborne 1984). Karbohidrat di dalam tubuh manusia berguna untuk mencegah
ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan
berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008).
Hasil positif pengujian kandungan karbohidrat dengan menggunakan
pereaksi Molisch ini diikuti dengan reaksi positif pengujian kandungan gula
pereduksi pada ektrak metanol dari daging, akan tetapi tidak diikuti reaksi positif
pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform dan etil asetat, serta ekstrak jeroan
pada ketiga pelarut tersebut untuk ekstrak kasar keong ipong-ipong dengan
menggunakan pereaksi Benedict. Ekstrak daging keong ipong-ipong dengan
metanol terdapat gula jenis aldosa, sedangkan untuk ekstrak daging dengan
pelarut kloroform dan etil asetat dan ekstrak jeroan dari ketiga pelarut tersebut
diduga gula pereduksi yang terdapat dalam ketiga ekstrak keong ipong-ipong
tersebut didominasi oleh gula pereduksi jenis ketosa, bukan jenis aldosa. Pada
pereaksi Benedict yang tidak alkali, komponen aldosa dapat terdeteksi tetapi
komponen ketosa tidak. Ketosa hanya akan terdeteksi pada suasana alkali saja,
seperti pada pereaksi Fehling. Hal ini dikarenakan, ketosa akan terisomerisasi
menjadi aldosa pada suasana alkali dan dapat mereduksi tembaga (II) menjadi
tembaga (I) yang akan mengendap sebagai Cu2O yang berwarna merah bata
(Fennema 1996).
4) Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya
gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak
mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,
sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus
glukosanya (Winarno 2008).
Hasil pengujian fitokimia untuk gula pereduksi, terdeteki pada ekstrak
kasar daging dengan pelarut metanol, sedangkan untuk kedua pelarut lainnya pada
ekstrak daging tidak terdeteksi, begitu juga pada ekstrak jeroan untuk ketiga
pelarut yang digunakan. Terdeteksinya gula pereduksi pada ekstrak metanol
daging keong ipong-ipong ini menandakan bahwa, pada ekstrak daging tersebut
terdapat gula jenis aldosa. Terdeteksinya gula pereduksi ini disebabkan karena
gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict
dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi Ag+
menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk
mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes
(Pine et al. 1988) .
5) Peptida
Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua atau lebih molekul asam
amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini dibentuk dengan menarik
unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari
molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat. Transisi dari polipeptida
menjadi protein tidak banyak dijelaskan, tetapi batasan pengertian protein
umumnya diasumsikan sebagai rantai peptida yang memiliki berat molekul sekitar
10 kDa atau mengandung kurang lebih 100 residu asam amino (Lehninger 1988;
Belitz et al. 2009).
Berdasarkan hasil pengujian fitokimia, komponen peptida ini terdeteksi
pada ekstrak kasar daging dan jeroan dengan ekstrak metanol. Sedangkan pada
kedua pelarut lainnya tidak telihat reaksinya begitu pula pada kedua pelarut
lainnya pada ekstrak jeroan. Pada ekstrak daging, peptide yang terdeteksi diduga
jenis protein yang berasal yang merupakan komponen metabolit primer,
sedangakan untuk peptida yang terdeteksi pada ekstrak jeroan diduga jenis
hormon tertentu. Beberapa peptida menunjukkan aktivitas biologis yang nyata.
Salah satunya adalah peptida pendek enkefalin, hormon yang dibentuk dalam
pusat sistem syaraf. Hormon ini berperan sebagai analgesik alami dalam tubuh
yang dapat meniadakan rasa sakit ketika molekul-molekul ini berikatan dengan
reseptor spesifik pada sel tertentu dalam otak, yang biasanya berikatan dengan
morfin, heroin dan jenis candu lainnya (Lehninger 1988). Hasil penelitian
Kannan et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat peptida dari kulit padi yang
memiliki berat molekul <5 kDa memiliki aktivitas antikanker. Fraksi peptida
tersebut memiliki nilai IC50 sekitar 750 ppm setelah diujikan pada sel kanker
kolon (HCT-116) dan sel kanker payudara (HTB-26).
6) Asam amino
Asam amino merupakan unit struktural dasar dari protein. Asam amino
dapat diperoleh dengan menghidrolisis protein dalam asam, alkali, ataupun enzim.
Sebuah asam amino tersusun atas sebuah atom α-carbon yang berikatan secara
kovalen dengan sebuah atom hidrogen, sebuah gugus amino, dan sebuah gugus
rantai R. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai konfigurasi L,
kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L
yang merupakan komponen protein (Fennema 1996; Winarno 2008).
Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan pereaksi Ninhidrin
terdeteksi asam amino pada ekstrak kasar daging dan jeroan pada pelarut
metanol, akan tetapi tidak terdeteksi pada kedua pelarut lainnya untuk kedua
ekstrak tersebut. Asam amino yang terdeteksi ini diduga asam amino-asam amino
yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein, serta asam amino-asam amino non
protein (bukan penyusun protein). Kamil et al. (1998) menyatakan bahwa, asam
amino-asam amino yang terlarut pada pelarut metanol ini merupakan asam amino
yang memiliki sifat polar (hidrofilik), baik yang bermuatan ataupun yang tidak
bermuatan, seperti arginin, histidin, lisin (asam amino polar bermuatan), treonin
(asam amino polar tak bermuata). Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak
kloroform (non polar) ataupun ekstrak etil asetat (semipolar) tidak mengandung
asam amino. Hal ini diduga karena asam amino-asam amino non polar ini
terdapat dalam jumlah yang sangat kecil pada sampel keong ipong-ipong yang
digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terdeteksi oleh pereaksi Ninhidrin
0,10% pada ekstrak kloroform ataupun ekstrak etil asetat.
Hasil positif pada pengujian kandungan asam amino ini didahului dengan
hasil positif pada pengujian peptida menggunakan pereaksi Biuret pada ekstrak
daging dan jeroan dari metanol. Peptida merupakan ikatan kovalen antara dua
atau lebih molekul asam amino melalui suatu ikatan amida substitusi. Ikatan ini
dibentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus karboksil suatu asam amino dan
gugus α-amino dari molekul lain, dengan reaksi kondensasi yang kuat
(Lehninger 1988; Belitz et al. 2009). Tidak terdeteksinya komponen-komponen
yang berikatan peptida ini diduga karena komponen-komponen tersebut telah
terhidrolisis sempurna menghasilkan asam amino-asam amino penyusunnya yang
terdeteksi pada uji Ninhidrin ekstrak metanol. Pembentukan ikatan peptida
memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan
energi, sehingga reaksi keseimbangan ini lebih cenderung untuk berjalan ke arah
hidrolisis daripada sintesis (Winarno 2008).
Tabel 4. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar daging keong ipong-
ipong (Fasciolaria salmo)
% Inhibisi
Sampel Daging IC50 (ppm)
200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm
Ekstrak Kloroform 22,90 24,14 24,61 25,19 9210
Ekstrak Etil Asetat 23,85 24,23 24,42 26,52 6825
Ekstrak Metanol 33,93 34,60 38,02 41,82 1513,8
Tabel 5. Hasil uji aktivitas antioksidan larutan ekstrak kasar jeroan keong ipong-
ipong (Fasciolaria salmo)
% Inhibisi
Sampel Jeroan IC50 (ppm)
200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm
Ekstrak Kloroform 13,49 15,30 21,19 21,38 2825
Ekstrak Etil Asetat 15,39 15,87 17,96 20,24 4600
Ekstrak Metanol 19,96 28,13 33,84 43,63 994,47
Empat konsentrasi larutan BHT (2, 4, 6 dan 8 ppm) yang digunakan dalam
penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian Hanani et al. (2005), dimana
dengan menguji keempat konsentrasi tersebut, diperoleh nilai IC50 BHT sebesar
3,81 ppm. Penelitian ini, nilai IC50 BHT yang diperoleh sebesar 4,91 ppm. Nilai
IC50 BHT ini tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperoleh Hanani et al. (2005)
dalam penelitiannya, dan tetap menunjukkan bahwa antioksidan BHT merupakan
antioksidan dengan aktivitas yang sangat kuat (< 50 ppm) menurut klasifikasi
Blois (1958) dalam Molyneux (2004). Pengujian aktivitas antioksidan BHT ini
menghasilkan hubungan antara konsentrasi BHT yang digunakan dengan persen
inhibisinya, yang dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 14. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar daging keong ipong-ipong
dengan persen inhibisinya.
Gambar 15. Grafik hubungan konsentrasi ekstrak kasar jeroan keong ipong-ipong
dengan persen inhibisinya.
Grafik pada Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa persen inhibisi
tertinggi selalu dihasilkan oleh larutan yang mengandung konsentrasi ektrak kasar
daging dan jeroan yang terbanyak, yaitu larutan dengan konsentrasi 800 ppm
(pada masing-masing ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong).
Sedangkan, persen inhibisi terendah selalu dihasilkan oleh larutan yang
mengandung konsentrasi atau ekstrak kasar daging dan jeroan paling sedikit, yaitu
larutan dengan konsentrasi 200 ppm (pada masing-masing ekstrak kasar daging
dan jeroan). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar
daging dan jeroan keong ipong-ipong yang ditambahkan, maka semakin tinggi
pula persen inhibisi yang akan dihasilkan. Pernyataan ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005), yang menyatakan bahwa
persentase penghambatan (persen inhibisi) terhadap aktivitas radikal bebas akan
ikut meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak.
Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi
(Molyneux 2004). Tabel 4 dan 5 di atas menunjukkan bahwa ekstrak metanol
daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas antioksidan yang lebih
besar dari dua ekstrak yang lainnya, ditandai dengan nilai IC 50-nya yang terkecil,
yaitu 1513,8 dan 994,47 ppm. Sedangkan, ekstrak kloroform dari daging keong
ipong-ipong merupakan ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan yang paling
lemah. Hal ini terbukti dari nilai IC50-nya yang terbesar, yaitu 9210 ppm. Akan
tetapi pada ekstrak kasar jeroan, ekstrak jeroan dengan etil asetat memiliki
aktivitas antioksidan yang paling lemah yaitu sebesar 4600 ppm.
Walaupun rendemen ekstrak kloroform lebih sedikit dari rendemen ektrak
kasar jeroan dengan kloroform, tetapi aktivitas antioksidannya lebih kuat. Hal ini
diduga karena pada ekstrak kasar jeroan dengan kloroform terdapat komponen
bioaktif tertentu seperti alkaloid. Alkaloid telah diketahui memiliki aktivitas
antioksidan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Porto et al. (2009), yang
menunjukkan bahwa komponen alkaloid pada daun Psychotria brachyceras yaitu
brachycerine, memiliki aktivitas antioksidan dan berperan sebagai pelindung dari
radiasi sinar UV (UV-B dan UV-C).
Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai
IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml,
sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai
IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004).
Menurut klasifikasi ini, ketiga esktrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong
tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC 50-nya
lebih besar dari 0,20 mg/ml atau 200 ppm. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas
antioksidan dari BHT.
Data-data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa antioksidan BHT memiliki
aktivitas yang lebih kuat dari senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada
ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Hal ini terlihat dari
nilai IC50 BHT yang jauh berbeda dengan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak
kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong. Nilai IC50 antioksidan BHT jauh
lebih kecil dari nilai IC50 ketiga ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-
ipong. Hal ini dapat terjadi dikarena ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong
yang digunakan dalam pengujian ini masih tergolong sebagai ekstrak kasar
(crude). Ekstrak kasar ini masih mengandung senyawa lain yang bukan
merupakan senyawa antioksidan. Senyawa lain tersebut ikut terekstrak dalam
pelarut selama proses ekstraksi.
Senyawa-senyawa ini dapat meningkatkan nilai rendemen ekstrak, tetapi
tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan ekstrak tersebut. Senyawa murni
dari ekstrak kasar ini diduga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.
Contohnya adalah komponen alkaloid yang terdeteksi pada ekstrak kasar jeroan
pada ketiga pelarut dan ekstrak daging pada etil asetat dan metanol. Komponen
alkaloid murni dari ekstrak daging dan jeroan keong ipong-ipong diduga memiliki
aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi dari ekstrak kasarnya. Hal ini
menunjukan bahwa perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar daging dan
jeroan keong ipong-ipong tersebut. Setelah ekstrak yang telah dimurnikan
tersebut diperoleh,maka pengujian aktivitas antioksidannya pun perlu dilakukan.
Ekstrak kasar daging dengan kloroform dari keong ipong-ipong yang
bersifat non polar tidak sepenuhnya benar jika dinyatakan memiliki aktivitas
antioksidan yang paling lemah, walaupun berdasarkan hasil uji DPPH
menunjukkan bahwa nilai IC50-nya cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila
pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak memiliki sifat kepolaran yang
berbeda dengan ekstrak tersebut. Pelarut yang digunakan untuk melarutkan DPPH
pada penenlitian ini adalah metanol yang memiliki sifat polar, sehingga dapat
diduga bahwa komponen bioaktif yang bersifat non polar pada ekstrak kloroform
tidak larut sepenuhnya pada pelarut ini. Jumlah komponen bioaktif yang terlarut
pada masing-masing pelarut akan berbeda dan pada akhirnya akan berpengaruh
pada nilai IC50 yang dihasilkan. Nilai IC50 akan semakin besar jika ekstrak yang
terlarut pada pelarut yang digunakan semakin sedikit. Hal ini menyebabkan perlu
dilakukan pengujian aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode pengujian
lainnya yang universal, baik untuk komponen bioaktif yang bersifat polar, semi
polar ataupun non polar. Metode DPPH merupakan salah satu metode pengujian
aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi komponen antioksidan yang bersifat
polar, karena kristal DPPH sendiri hanya dapat larut dan memberikan absorbansi
maksimum pada pelarut etanol ataupun metanol seperti yang dikemukakan oleh
Vattem dan Shetty (2006) ; Amrun dan Umiyah (2005); serta Molyneux (2004).
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo) yang berasal dari Desa Gebang,
Kota Cirebon, Jawa memiliki rendemen daging (22,08%), jeroan (8,22%) dan
cangkang (69,69%), yang sangat potensial dan ekonomis untuk dimanfaatkan
lebih lanjut. Keong ipong-ipong ini mengandung air yang cukup tinggi (73,07%),
lemak yang rendah (0,57%), protein dalam jumlah yang tinggi (18,28%), abu
(2,77%), abu tidak larut asam (0,15%) dan karbohidrat (5,2%).
Ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong memiliki aktivitas
antioksidan yang sangat lemah jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan
BHT. Walaupun begitu, ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong ini
mengandung 6 komponen bioaktif yang terdeteksi melalui uji fitokimia, yaitu
komponen alkaloid, steroid, karbohidrat, gula pereduksi, peptida dan asam amino.
Komponen-komponen bioaktif ini diduga memiliki banyak aktivitas fisiologis
yang positif bagi tubuh manusia. Selain itu adanya kandungan steroid pada keong
ipong-ipong membuktikan khasiat dari keong tersebut secara empiris yang dapat
meningkatkan stamina tubuh dan vitalitas.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjutan berupa pemurnian ekstrak dan pengujian aktivitas antioksidan
ekstrak murni tersebut, serta penentuan struktur bangun komponen bioaktif pada
ekstrak murni dengan spektrum UV, IR dan NMR. Identifikasi senyawa-senyawa
bioaktif lainnya dalam ekstrak daging dan jeroan dari keong ipong-ipong
menggunakan GC-MS (gaschromatography mass spectroscopy). Penentuan
komposisi asam lemak, vitamin dan mineral juga perlu dilakukan. Selain itu,
perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dari steroid yang terkandung di dalam
tubuh keong ipong-ipong, dikaitkan dengan pengaruh pengolahan.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier Y. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keenam. Jakarta: Gramedia.
Buck DF. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive User’s
Handbook. UK: Blackie Academic & Profesional, Glasgow.
Campanella L, Gatta T, Ravera O. 2005. Relationship between anti-oxidant
capacity and manganese accumulation in the soft tissues of two
freshwater molluscs: Unio pictorum mancus (Lamellibranchia,
Unionidae) and Viviparus ater (Gastropoda, Prosobranchia). J. Limnol
64(2): 153-158
Cavas L, Yurdakoc K, Yokes B. 2004. Antioxidant status of Lobiger serradifalci
and Oxynoe olivacea (Opisthobranchia, Mollusca). Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology 314:227-235
Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton,
editor. Rancidity in Foods. London: Applied Science Publishers.
Fennema OR, editor. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker,
Inc.
Halliwell B. 2007. Dietary polyphenols: good, bad, or indifferent for your health.
J. Cardiovascular Research 73:341–347.
Hamilton, R.J. 1983. The Chemistry of Rancidity in Foods. Di dalam: J.C. Allen
dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. London: Applied
science Publishers.
Harborne JB. 1984. Phytochemical methods. Ed ke-2. New York: Chapman and
Hall.
Herbert R B. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder.Diterjemahkan: Srigandono
dari, The Biosintesis of Secondary Metabolites. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Huber M E, Castro P,. 2007. Marine Biology Sixth ed. New York: The MC.Graw
Hill Companies, inc.
Kasih AL. 2007. Ekstraksi komponen antioksidan dan antibakteri dari biji lotus
(Nelumbium nelumbo) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor.
Kutchan TM. 1995. Alkaloid biosynthesis: the basis for metabolic engineering of
medical plants. The Plant Cell 7:1059-1070.
Mohsen SM, Ammar ASM. 2009. Total phenolic contents and antioxidant activity
of corn tassel extracts. J.Food Chemistry 112:595–598.
Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical dyhenylpicrylhydrazil
(DPPH) for estimating antioxidant activity. Journals science and
technology: 26:211-219
Nurjanah. 2009. Karakterisasi lintah laut (Discodoris sp.) dari perairan pantai
Pulau Buton sebagai antioksidan dan antikolesterol [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Porto DD, Henriques AT, Fett-Neto AG. 2009. Bioactive alkaloids from South
American Psychotria and related species. The Open Bioactive
Compounds Journal 2:29-36.
Prabowo TT. 2009. Uji aktivitas antioksidan dari keong matah merah (Cerithidea
obtusa) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T.
Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food
and Their Effects on Health H. Washington DC: American Society.
Pratt, D.E. dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants not Exploited
Comercially. Di dalam : B.J.F.Hudson, editor. Food Antioxidants.
London: Elsevier Applied Science.
Sarastani D et al. 2002. Aktivitas antiksidan ekstrak dan fraksi ekstrak biji atung
(Parinarium glaberrimum). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
XII(2):149-156
Vorontsova YA, Yurlova NI, Vodyanitskaya SN, Glupov VV. 2010. Activity of
detoxifying and antioxidant enzymes in the pond snail Lymnaea
stagnalis (Gastropoda: Pulmonata) during invasion by Trematode
Cercariae. Journal of Evolutionary Biochemistry and Physiology 46(1):
28-34
Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam: flavonoid
(quercetin). Makasar: Program S2 Kimia, FMIPA, Universitas
Hasanuddin.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.
b. Kadar lemak
c. Kadar protein
d. Kadar abu
Ulangan 1 = 0.1 %
Ulangan 2 = 0.2 %
= 5.2 %
Lampiran 4. Data ekstrak kasar daging dan jeroan keong ipong-ipong
Jenis Berat Sampel Kering (g) Berat ekstrak (g) Rendemen (%)
Pelarut Daging Jeroan Daging Jeroan Daging Jeroan
Kloroform 25 25 0.0615 0.496 0.246 1.984
Etil Asetat 25 25 0.3346 1.603 1.3384 6.412
Metanol 25 25 2.6928 3.417 10.7712 13.668
a. Ekstrak kloroform
- Daging
- Jeroan
- Daging
- Jeroan
c. Ekstrak methanol
- Daging
- Jeroan
Lampiran 5. Perhitungan pembuatan larutan stock dan pengencerannya
0,001 M =
berat DPPH =
= 12,5 mg = 0,0125 g
BHT sebanyak 0,0125 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
BHT 2 ppm =
=
= 50 mg = 0,05 g
Ekstrak sebanyak 0,05 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
Ekstrak 200 ppm =
=
1) Persen inhibisi
BHT 2 ppm =
BHT 4 ppm =
BHT 6 ppm =
BHT 8 ppm =
2) IC50
y = 14,32x – 20,34
50 = 14,32x – 20,34
70,34 = 14,32x
x = 4,91 ppm
IC50 untuk BHT adalah 4,91 ppm.
b. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daging dengan pelarut kloroform
- Daging
- Jeroan
Lampiran 8. Gambar hasil uji fitokimia ekstrak daging dan jeroan keong
ipong-ipong
a. Ekstrak kloroform