Anda di halaman 1dari 25

Tatalaksana Demam Dengue / Demam

Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan nasional di negara kita.1 Data
terakhir memperlihatkan bahwa seluruh propinsi di Indonesia telah pernah melaporkan adanya
kasus DBD.2 Sampai akhir tahun 1997, angka kematian nasional dapat ditekan sampai 2,1 %,
meskipun kematian di rumah sakit di beberapa tempat masih tinggi antara 5-15 %.3

Infeksi virus dengue cenderung menjadi wabah. Pada permulaan tahun 1998, telah terjadi
peningkatan jumlah kasus DBD di beberapa propinsi di Indonesia ( DKI jaya, Sumsel, Kaltim,
Sulteng, Sulut, NTT, Jateng, Jatim, Maluku Barat dan Timur).4

Sejak KLB DBD di Indonesia pertama kali pada tahun 1969, sebagian besar infeksi virus
dengue menyerang anak-anak terutama di bawah usia 15 tahun. Proporsi kasus DBD
pergolongan umur di Indonesia tahun 1993-1997 tertinggi pada usia sekolah (5-14 tahun),
sedangkan pada tahun 1995-1997 telah bergeser ke usia ³ 15 tahun. (Tetapi, akhir-akhir ini
infeksi dengue juga cenderung menyerang orang dewasa.) Patogenesis infeksi virus dengue
pada orang dewasa sama dengan pada anak walaupun tampaknya pada kasus dewasa lebih
ringan bila dibandingkan kasus anak. Di pihak lain, perlu dipahami bahwa manifestasi infeksi
dengue bervariasi dan perjalanan penyakit sulit diramalkan. Oleh karena itu, diperlukan
observasi baik secara klinis maupun pemeriksaan penunjang. Sebagian besar kematian
disebabkan oleh karena kegagalan dalam mengatasi syok dengan akibat terjadi perdarahan,
maka tatalaksana syok merupakan hal utama dalam pengobatan DBD. Untuk mendapatkan
hasil pengobatan yang maksimal, dirasakan perlu keseragaman tatalaksana kasus infeksi
dengue pada anak & dewasa. Dalam memperbaiki tatalaksana DBD di Asia Tenggara dan
Selatan, WHO-SEARO pada tahun 1997 telah diadakan training of trainers di Bangkok. Bahan
acuan dari pelatihan tersebut telah disempurnakan oleh tim Cibogo pada bulan September
1998. Dengan terbitnya buku paduan ini, penyunting mengucapkan terima kasih atas kerja-
sama anggota tim Cibogo. Melalui buku ini semoga para dokter baik yang bekerja di
Puskesmas maupun di Rumah sakit mempunyai paduan yang seragam untuk mengatasi
masalah infeksi virus dengue yang dihadapi sehari-hari di lapangan.

Penyebabnya virus dengue grup B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal
sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotype yaitu DEN-1 s/d 4.
Pada tes laboratorium mereka menunjukkan reaksi silang. DEN-2 dan 3 dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat. Nyamuk betina biasanya menggigit ( berpindah-pindah
orang) pada siang hari, 2-3 jam setelah matahari terbit dan 2-3 jam sebelum matahari terbenam.
Masa inkubasi dalam tubuh nyamuk (extrinsic incubation period) 8-10 hari sedangkan pada
manusia 4-6 hari (intrinsic incubation). Pada manusia, penularan hanya dapat terjadi pada saat
tubuh dalam keadaan viremia yaitu antara 5-7 hari.

Tabel 2

Klasifikasi infeksi Virus Dengue ( DD / DBD )


DD/DBD
Derajat Gejala Tatalaksana
DD Demam akut 2-7 h disertai 1 / lebih gejala: Rawat jalan
nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia,
artralgia
DBD I Gejala tersebut di atas, ditambah uji Rawat, Observasi di PKM
tourniquet positif / RS tipe D/C
DBD II Gejala tersebut di atas, ditambah Rawat inap di PKM /RS
perdarahan spontan tipe D/C
DBD III Gejala tersebut di atas, ditambah Rawat inap di RS tipe
kegagalan sirkulasi: C/B/A
DBD IV Syok berat disertai tekanan darah dan nadi Rawat inap di RS tipe
tak terukur B/A

Uji Tourniquet = Rumple Leede

Manifestasi klinis Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue

Demam Dengue Manifestasi klinik Demam Demam Berdarah


Berdarah Dengue (Dewasa)
Dengue
(Anak)
++ Nyeri kepala + 53,7 %
+++ Muntah ++ 46,3
+ Mual + 1,9
+ Nyeri otot + 16,7
Nyeri sendi – 31,5
++ Diare + 22,2
+ Batuk – pilek + 13
+ Kejang + –
0 Kesadaran menurun ++ –
0 Obstipasi + Konstipasi 79,6
+ Uji tourniquet ++ 90,7 %
++++ Petekie, epistaksis (17-30), +++ P + E + Hematuria +
hematuria (2,5%) *metrorrhagia 35 %
0 Perdarahan saluran cerna + 35 %
++ Hepatomegali +++ H+*splenomegali 3,7
+ Nyeri perut +++ 40,7
++ Trombositopenia (<100) ++++ –
0 Syok +++ –
Hemokonsentrasi 67,8-80,2 % –

Keterangan : + 25 %,   ++ 50 %,   +++ 75 %,   ++++ 100%


Indikator Diagnosa DBD

Tanda dini infeksi dengue : Indikator fase syok :


1. demam tinggi (>390 C) 1. Hari sakit ke 4-5 Suhu turun
2. facial flushing- tidak ada tanda 2. nadi cepat tanpa demam
ISPA tidak tampak infeksi fokal 3. tekanan nadi turun (£ 20) /
3. uji tourniquet positif hipotensi leukopenia < 5000
4. trombositopenia, Ht Â

Kriteria diagnosa DBD WHO, 1997

* Klinis :

1. Demam mendadak tinggi, 2-7 hari (yang khas adalah tidak berkeringat dan baru
berkeringat setelah panas turun)
2. Perdarahan spontan seperti petekie, epistaksis, hematemesis dll atau uji tourniquet /
uji bendung (+)
3. Hepatomegali syok, nadi kecil dan cepat, tekanan nadi £ 20 mm Hg, atau
hipotensi disertai gelisah dan akral dingin.

* Laboratorik :

-Â Â Â Â Â Â Â Â trombositopenia ( < 100.000)

-        hemokonsentrasi (kadar Ht ³ 20 % dari normal)

*Beratnya penyakit :

a.      Derajat I : demam dengan uji tourniquet (+)

b.     Derajat II : Derajat I ditambah perdarahan spontan

c.      Derajat III : nadi … dan lemah, TN £ 20 mm Hg, hipotensi, akral dingin
d.     Derajat IV : syok berat, nadi tak teraba, TD tak teratur.

Definisi Kasus Demam Dengue (DD)

Tersangka (probable): jika ada episode demam dengan sekurang-kurangnya 2 gejala di


bawah ini :

 sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, arthralgia, rash, manifestasi


perdarahan atau leukopenia
 dan ditunjang laboratorium serologis IgM-IgG, atau adanya kasus lain yang
terbukti demam dengue di sekitarnya
o Terbukti (confirmed) secara laboratorik
o Reportable ( dapat dilaporkan)

Definisi Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD):

Semua gejala berikut harus ada :

-Â Â Â Â Â Â Â Â Demam, riwayat demam 2-7 hari biasanya bifasik

-Â Â Â Â Â Â Â Â Kecenderungan perdarahan, sekurang-kurangnya salah satu dari berikut


ini:

a.     uji tourniquet positif

b.    petekie, ekimosis atau purpura

c.     perdarahan mukosa, GI, lokasi injeksi

d.    hematemesis / melena

-Â Â Â Â Â Â Â Â Trombositopenia

-Â Â Â Â Â Â Â Â Bukti adanya kebocoran plasma, sekurang-kurangnya salah satu dari


berikut ini:

a.     nilai Ht meningkat

b.    efusi pleura, asites dan hipoproteinemia.

Demam Chikungunya (oleh virus Chikungunya) gejala mirip dengan DD/DBD, tapi gejala
nyeri sendi (arthralgia) jauh lebih berat dan tidak dijumpai perdarahan gastrointestinal dan
syok. Proporsi uji tourniquet positif, petekie / ekimosis dan epistaksis hampir = DBD.
Demam mendadak dan lebih tinggi, masa demam lebih pendek, hampir selalu disertai ruam
makulo-papular, injeksi konjungtiva.

Perbandingan observasi gambaran klinis demam dengue klasik, chikungunya, DBD anak di
Thailand:
Gejala DBD pada Anak Demam Demam Dengue
Chikungunya klasik (dewasa)
Demam ++++ ++++ ++++
Tourniquet test (+) ++++ +++ ++
Petekie / ekimosis ++ ++ +
Rash petekie + 0 0
Hepatomegali ++++ +++ 0
Rash makulopapular + ++ ++
Mialgia / arthralgia + ++ +++
Limfadenopati ++ ++ ++
Leukopenia ++ ++++ ++++
Trombositopenia ++++ + ++
Perdarahan GI + 0 +
Renjatan ++ 0 0

Halstead, SB. American Journal of Tropical Medicine & Hygiene, 1969, 18:984-996

(Petekie / ekimosis terjadi pada ekstremitas, muka dan palatum)

Hepatomegali biasanya pada fase demam dan sering ditemukan pada kasus DBD dengan syok.

Pada akhir fase demam, kewaspadaan akan terjadinya perburukan harus dipikirkan antara lain
dengan terjadinya gangguan sirkulasi : keringat banyak, gelisah, akral dingin dan adanya
perubahan nilai tekanan nadi / tekanan darah.

Trombositopenia dan peningkatan hematokrit (selalu ada pada DBD) sering ditemukan pada
saat penurunan suhu dan saat terjadinya renjatan.

Perubahan hematologi pada infeksi Dengue

Aktifasi sistem kinin akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dengan
akibat kebocoran / perembesan plasma ke ruang ekstra-vaskular disertai efusi cairan serosa
(melalui kapiler yang rusak) yang ditandai dengan peningkatan hematokrit.

Perembesan plasma dapat menyebabkan efusi pleura. Nilai hematokrit biasanya mulai
meningkat pada hari ke 3 dari perjalanan penyakit dan makin meningkat sesuai dengan proses
perjalanan penyakit. Hematokrit dikatakan meningkat jika naik ³ 20 %. Pada kasus yang
berat, yang telah disertai perdarahan, umumnya nilai hematokrit tidak meningkat, bahkan
menurun. Kadar Hb pada hari-hari pertama biasanya normal atau sedikit menurun. Kemudian
Hb akan naik mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan kelainan hematologi
paling awal yang dapat ditemukan pada DBD. Pada pasien DBD dapat terjadi leukopenia
ringan (hari ke1-3) sampai leukositosis sedang. Limfosit plasma biru (limfosit atipik) sudah
dapat ditemukan sejak hari ke 3 terjadinya panas dan merupakan penunjang diagnosa DBD.
(Blue lymphocyte ³ 4 %). (Limfositosis relatif: LPB >15 %). Pemeriksaan buffy coat akan
sangat membantu dengan ditemukannya banyak limfosit atipik (transformed lymphocytes)
biasanya 20-50 % pada hari awal. Hal ini dibedakan dengan infeksi bakterial yang memberikan
gambaran banyak toxic granulosit dan vakuolisasi. Pemeriksaan buffy coat pada 3 hari pertama
memberikan ketepatan diagnosa kira-kira 94,2 %. Trombositopenia (volume dan fungsinya
berkurang, merupakan salah satu kriteria sederhana yang diajukan WHO sebagai diagnosa
klinis) mulai tampak beberapa hari setelah panas dan mencapai titik terendah pada fase syok.
Jumlah trombosit biasanya masih normal selama 3 hari pertama. Protein plasma menurun.

Secara klinis perdarahan terjadi sebagai akibat trombositopenia berat, masa perdarahan dan
masa protrombin yang memanjang, penurunan kadar faktor pembekuan II, V, VII, VIII, IX dan
X bersama hipofibrinogenemia dan peningkatan produk pemecahan fibrin ( FDP). Pemeriksaan
protrombin time dan partial tromboplastin time yang agak memanjang dapat merupakan
prediktor terjadinya perdarahan pada pasien DBD.

Terjadinya DIC ( koagulasi intra-vaskular diseminata) pada pasien DBD masih menjadi
pertanyaan. FDP yang meningkat (tidak berhubungan dengan beratnya penyakit) disertai
trombositopenia menunjukkan adanya proses koagulasi intra-vaskular. DBD dengan syok,
hipoksia dan asidosis berkepanjangan dapat mencetuskan DIC. Peneliti lain mengatakan bahwa
pada semua kasus DBD ditemukan manifestasi DIC tipe akut.

Pada kasus berat, terjadi hiponatremia.

Pemeriksaan laboratorium penunjang :

Isolasi virus, deteksi antigen / PCR dan uji serologis.

-Â Â Â Â Â Â Â Â Isolasi virus terbaik saat viremia ( 3-5 hari)

-Â Â Â Â Â Â Â Â IgM terdeteksi hari ke 5, meningkat sampai minggu III, menghilang


setelah 60-90 hari

-Â Â Â Â Â Â Â Â IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi
sekunder mulai hari ke 2. IgG ini akan tetap ada ( titer rendah) seumur hidup.

-Â Â Â Â Â Â Â Â Uji HI ( hemaglutinasi inhibisi, paling banyak dipakai karena murah dan


relatif cepat, tapi butuh 2 specimen darah atau serum yaitu darah saat peny. masih akut dan
darah konvalesens yaitu 1-2 minggu setelah specimen I, hanya dapat mengetahui grup saja),
Dengue Blot ( single / Rapid / duo)

Interpretasi test HI : titer specimen ke 2 naik > 4 x kelipatan titer I, Salah satu specimen
titernya tinggi ( > 1280)

Dengue Fever IgM and IgG Rapid immunochromatographic Test ( PanBio)

Dengue Fever ELISA adalah pemeriksaan serologi dengan menentukan besarnya IgM dan
IgG jika seseorang terinfeksi virus dengue, baik infeksi primer maupun sekunder. Setelah 3-4
hari terinfeksi, akan timbul IgM

TATALAKSANA

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD
dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus
DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD
dengan baik, diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik,
diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan
kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan
memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang
penting untuk mengurangi angka kematian.

Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong.
Kunci keberhasilan tata-laksana DBD / SSD terletak pada para dokter untuk dapat mengatasi
masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase afebris / fase kritis, fase syok)
dengan baik. Jadi pada saat suhu turun , observasi / pemeriksaan harus lebih sering (untuk dapat
segera mengetahui adanya syok).

TATALAKSANA PADA ANAK

Demam Dengue

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam, pasien dianjurkan :

-Â Â Â Â Â Â Â Â Tirah baring, selama masih demam.

-Â Â Â Â Â Â Â Â Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk


menurunkan suhu menjadi < 390 C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/ salisilat tidak
dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan, atau
asidosis.

-Â Â Â Â Â Â Â Â Pada pasien dewasa, analgetik atau sedatif ringan kadang-kadang


diperlukan untuk mengurangi rasa sakit kepala, nyeri otot atau nyeri sendi.

-Â Â Â Â Â Â Â Â Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
di samping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.

-Â Â Â Â Â Â Â Â Monitor suhu, jumlah trombosit serta kadar hematokrit sampai menjadi


normal kembali.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun
demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari
setelah suhu turun (fase afebris, fase kritis, fase syok). Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan
tampak jelas pada saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada
DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi
pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila
terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa
seperti mimisan, perdarahan gusi, apabila bila disertai berkeringat dan kulit dingin, hal tersebut
merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa ke rumah sakit. Penerangan untuk
orang tua tertera pada lampiran. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu
turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada bagan 1.

DEMAM BERDARAH DENGUE


Ketentuan umum

Perbedaan patofisiologik utama antara DBD/SSD dengan DD dan penyakit lain, adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Gambaran klinis DBD/ SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemorhagik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka, keberhasilan tatalaksana DBD
terletak pada bagaimana mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of
defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan
observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis
DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000/ ul atau
kurang dari 1-2 trombosit / lpb (rata-rata dihitung pada 10 lpb) terjadi sebelum peningkatan
hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20 % atau lebih
mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan.
Pemberian cairan awal sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam
isotonik atau ringer laktat, yang kemudian dapat disesuaikan berat ringan penyakit.

Pada saat suhu menurun merupakan masa kritis (bisa terjadi syok 30-40 %), yaitu hari ke 3
dan paling banyak pada hari ke 4-5.

Pada DBD derajat I dan II, terapi syok berupa cairan intravena dapat diberikan selama 12-24
jam (bila pasien muntah). Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang
terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/ul. Secara umum pasien DBD derajat
I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit tipe D,C dan pada ruang rawat sehari di rumah
sakit B dan A.

Fase demam

Bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan peroral untuk mencegah dehidrasi.
Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri
perut yang berlebihan, maka perlu diberikan cairan intravena rumatan. Antipiretik kadang-
kadang perlu diberikan untuk mempertahankan suhu tubuh di bawah 390 C. (tidak dapat
mengurangi lama demam pada DBD)

Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, larutan oralit. Pasien
perlu diberi minum 50 ml/kg bb dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi sudah
dapat teratasi, anak diberi cairan rumatan (IVFD) 80-100 ml/kg bb dalam 24 jam berikutnya.
Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang, di
samping antipiretik, diberikan fenobarbital 5 mg/kg bb/hari, dibagi dalam 3 dosis selama masih
demam.

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah
waktu transisi, yaitu suhu turun pada umumnya hari ke3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar
hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil
pengobatan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah
dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali dari hari sakit ketiga sampai
suhu normal kembali. Bila pemeriksaan hematokrit tidak ada, pemeriksaan hemoglobin dapat
dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.
Penggantian Volume Cairan pada DBD

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu
(fase afebris, fase kritis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana
dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama, sedangkan pada
kasus syok, mungkin harus lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48 jam
berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume
urin. Pengganti volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran
plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan + 5-8 %.

Cairan intravena dibutuhkan apabila :

1.     anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak
mungkin diberikan minum peroral, ditakutkan terjadi dehidrasi sehingga mempercepat
terjadinya syok.

2.     Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan
yang diberikan tergantung pada derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan
glukosa 5 % dalam 1/3 larutan NaCl 0,9 %. Bila terdapat asidosis, ¼ dari jumlah cairan
total dikeluarkan dan diganti dengan larutan yang berisi 0,167 mol / liter Na bikarbonat (¾
bagian berisi larutan NaCl 0,9 % + glukosa ditambah ¼ Na Bikarbonat).

Apabila terdapat kenaikan hematokrit 20 % atau lebih, maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi tersebut dapat sesuai seperti
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6 %
(5 –8 %), seperti tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel 6

Kebutuhan Cairan untuk Dehidrasi Sedang

Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg bb/h


<7 220
7-11 165
12-18 132
> 18 88

Pemilihan jenis cairan dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang
terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan berat badan ideal anak umur
yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut :

Tabel 7

Kebutuhan Cairan Rumatan

Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml /kgbb)


10 100
10-20 1000 + 50 x selisih kg (di atas 10 kg)
> 20 1500 + 20 x selisih kg (di atas 20 kg)

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500 + (20 x 20) = 1900
ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan perembesan
plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka
volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang
dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Perlu mendapat perhatian bahwa pengganti
volume yang berlebihan dan terus menerus setelah perembesan plasma berhenti…… pada saat
fase konvalesens, terjadi reabsobsi cairan ekstravaskular, sehingga akan menyebabkan edema
paru dan distress pernapasan. (Cairan IVFD yang diberikan tidak boleh melebihi 24 jam setelah
syok teratasi.)

Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, lethargy
/ lemah, ekstremitas dingin, oliguria dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (£ 20 mmHg)
atau hipotensi, bibir sianosis dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar
hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan intravena.

Jenis Cairan (yang direkomendasikan oleh WHO)

Kristaloid :

 Larutan ringer laktat ( RL ) atau dextrose 5 % dalam larutan ringer laktat


(D5/RL). Dipakai RL karena komposisi mirip dengan cairan ekstrasel.
 Larutan ringer asetat (RA) dextrose 5 % dalam larutan ringer asetat (D5/ RA)
 Larutan NaCI 0,9% (garam faali = GF) atau dextrose 5 % dalam larutan garam
faali ( D5/GF).

Koloid : (jika syok belum teratasi) Maksimal 30 ml / kg bb.

 Dekstran L 40
 Plasma (atau fresh frozen plasma, untuk pengobatan DIC)

Sindrom Syok Dengue

Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama, yang
berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami
syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.

Penggantian Volume Plasma segera

Pengobatan awal cairan intravena larutan kristaloid 20 ml/kg bb /jam dengan tetesan
secepatnya (diberikan secara bolus selama 30 menit). Apabila syok belum dapat teratasi atau
dan keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan
koloid (dekstran L 40 atau plasma) 10-20 ml/ kg bb/ jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kg
berat badan.

(Jika ada perbaikan, koloid 20 ml / kg bb / jam.)


Jika setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan
kadar hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi
darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol. %, maka berikan darah dalam volume
kecil (10 ml/kg berat badan / jam), tetapi apabila terjadi perdarahan masif berikan 20 ml/kg
berat badan. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan (kristaloid) dikurangi sesuai
dengan tanda vital dan kadar hematokrit.

Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml / kg berat badan/jam, dan
kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Pemasangan CVP kadang-kala diperlukan pada pasien SSD berat, untuk mengetahui
kebutuhan cairan.

Cairan intravena dapat diberikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40 vol %. Jumlah urin
2 ml/kg berat badan/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik.
Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam setelah syok teratasi dan Ht
± 40 %. Apabila cairan tetap diberikan berlebih pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari
ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan
atau tidak diberikan lagi), maka akan menyebabkan hipervolemia, edema paru, dan gagal
jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan
terjadinya fase reabsorbsi.

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD / SSD, maka
pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat.
Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC (disseminated intravascular
coagulation) sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Dalam keadaan demikian
maka diperlukan pemberian heparin, tetapi perlu perhatian apabila heparin akan diberikan.
Pada umumnya apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi
pada asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat DIC tidak akan
terjadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Sedatif

Pada pasien yang gelisah dapat diberikan sedatif untuk menenangkan pasien. Diusahakan
jangan memberikan obat yang bersifat hepato-toksik. Kloral hidrat diberikan per-oral atau
per-rektal dengan dosis 12,5-50 mg/kg berat badan (tidak melebihi 1 gram). Keadaan gelisah
sebagai akibat dari keadaan perfusi jaringan yang kurang baik akan menghilang setelah
pemberian cairan secara adekuat.

Pemberian Oksigen

Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan
pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi gelisah apabila dipasang masker oksigen.
Transfusi Darah

Pemeriksaan golongan darah dan cross matching harus dilakukan pada setiap pasien syok,
terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadang-kala sulit untuk
mengetahui perdarahan internal (internal hemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50 % ke 40 %) tanpa perbaikan klinis walaupun telah
diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk menaikkan konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan masif.
DICÂ biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif dan dapat
menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu
protrombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk
mendeteksi terjadinya dan berat ringannya DIC. Pemeriksaan hematologis tersebut juga
menentukan prognosis.

Kelainan Ginjal

Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intra-vaskular telah benar-
benar adekuat (terpenuhi dengan baik). (Jika Tensi 60, fungsi ginjal sudah tidak baik). Apabila
diuresis tidak mencukupi 2ml/kg bb / jam sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai
kebutuhan, maka selanjutnya furosemide 1-2 mg/ kg bb dapat diberikan. Pemantauan tetap
dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka
pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan
selanjutnya.

Monitoring

Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai
hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah,

 Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
 Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien
stabil.
 Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah, dan tetesan untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
 Jumlah dan frekuensi diuresis.

Kriteria Memulangkan Pasien

Pasien dapat dipulangkan apabila,

 Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik.


 Nafsu makan membaik
 Tampak perbaikan secara klinis
 Hematokrit stabil
 Tiga hari setelah syok teratasi
 Jumlah trombosit > 50.000/ul
 Tidak dijumpai distress pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis).

Tatalaksana Ensefalopati Dengue

Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok telah teratasi
maka cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3– dan jumlah cairan harus
segera dikurangi. Larutan laktat ringer dextrose segera ditukar dengan larutan NaCI (0,9 %) :
glukosa (5%) = 3:1. Untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila
terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat
disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah
diusahakan > 60 mg%, mencegah terjadinya peningkatan intra-kranial dengan mengurangi
jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan
nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat
diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri
sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin
100 mg / kg bb / hari + kloramfenikol 75 mg / kg bb / hari. Usahakan tidak memberikan obat-
obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas
indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan transfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat
diberikan asam amino rantai pendek.

Ruang Rawat Khusus untuk DBD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di
ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan
khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang
penting untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara
intravena, serta menampung urin mencatat jumlahnya.

Bagan 1

Tatalaksana Kasus Tersangka DBD


Keterangan Bagan 1

Tatalaksana Kasus Tersangka DBD

Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda / gejalanya tidak spesifik, oleh karena itu
masyarakat / keluarga diharapkan untuk waspada jika terdapat tanda / gejala yang mungkin
merupakan awal perjalanan penyakit DBD. Tanda / gejala awal penyakit DBD ialah demam
tinggi mendadak tanpa sebab jelas, terus menerus, badan lemah / lesu.

Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu;

(1)Â Â Â Adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan
dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah
darah, berak darah, maka pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan).

(2)Â Â Â Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet dan hitung
trombosit;
a.      Bila uji tourniquet positif dan / atau trombosit < 100.000/ ul, pasien dirawat
untuk observasi (tatalaksana DBD derajat 1, Bagan 2)

b.     Bila uji tourniquet negatif dengan trombosit > 100.000 / ul atau normal, pasien
boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Pasien
dianjurkan minum banyak seperti air teh, susu, sirop, oralit, jus buah, dll. serta diberikan obat
antipiretik golongan parasetamol jangan golongan salisilat. Dan bila keadaan memburuk
(gelisah, ujung kaki / tangan dingin) segera ke rumah sakit (lihat lampiran formulir pesan untuk
orang tua).

(3)Â Â Â Jika dalam 2 hari demam tidak turun atau timbul tanda / gejala lanjut seperti
perdarahan, muntah, gelisah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau ke
Puskesmas, rumah sakit.

Bagan 2

Tatalaksana Kasus DBD Derajat 1

Pemberian Cairan

 Pasien perlu minum banyak, 1,5-2 liter / hari atau paling sedikit 1 sendok
makan setiap 3-5 menit.
 Minuman yang dapat diberikan air putih, air teh manis, sirop, susu, sari buah,
soft drink, atau oralit

Obat-obatan Lain Atas Indikasi

 Bila terdapat hiperpireksi (suhu > 39,5OC) berikan obat antipiretik, dianjurkan
parasetamol, asetosal / salisilat kontra indikasi Kompres hangat
 Obat anti kejang diberikan bila kejang.

Monitor Gejala Klinis dan Laboratorium

(Dapat berobat jalan, monitor sampai suhu turun)

 Perhatikan tanda klinis, bila demam menetap setelah hari sakit ketiga
 Periksa Hb, Ht, trombosit berkala minimal tiap 24 jam, selama masih demam
terutama pada hari sakit ketiga dan seterusnya

Perawatan Diperlukan bila:

 Tidak mau / tidak bisa minum


 Muntah terus menerus
 Hematokrit cenderung meningkat dan atau trombosit turun pada pemeriksaan
berkala
 Berikan cairan rumatan dextrose 5 % + 1/3 larutan NaCI 0,9 % 3-5 ml/ kg bb /
jam atau kebutuhan rumatan ditambah 5 %
Bagan 3

Tatalaksana Kasus DBD Derajat II

Keterangan Bagan 3

Tatalaksana Kasus DBD Derajat II

Pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, mendadak, terus menerus selama 7 hari
tanpa sebab yang jelas disertai tanda perdarahan spontan (paling tersering perdarahan kulit dan
mukosa yaitu petekie atau mimisan) disertai penurunan jumlah trombosit < 100.000 /ul, dan
peningkatan kadar hematokrit.

Padat saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat / NaCI 0,9 % atau dextrose 5
% dalam ringer laktat / NaCI 0,9 % 6-7 ml/ kg bb/ jam. Monitor tanda vital dan kadar
hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam.
1.     Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak tampak tenang,
tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung turun minimal
dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kg bb/ jam.
Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml /
kg bb / jam dan akhirnya dihentikan pada 24-48 jam.

2.     Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka apabila
keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat (distress
pernapasan), frekuensi nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi < 20 mm Hg memburuk,
disertai peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/kg bb / jam. Apabila belum
terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan lagi menjadi 15 ml/kg bb/ jam.
Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernapasan menjadi lebih berat dan
Ht naik maka berikan cairan koloid 20-30 ml/ kg bb/ jam. Tetapi bila Ht turun, berikan transfusi
darah segar 10 ml / kg bb / jam. Bila keadaan klinis membaik, maka cairan disesuaikan seperti
ad 1.

Bagan 4

Tatalaksana Kasus DBD Derajat III & IV


Keterangan Bagan 4

Tatalaksana Kasus SSD atau DBD Derajat III & IV

Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala, gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut
atau tak teraba, tekanan nadi menyempit (misalnya sistolik 90 dan diastolik 80 mm Hg, jadi
tekanan nadi < 20 mm Hg), bibir biru, tangan kaki dingin, tidak ada produksi urin.

1.     Segera beri infus kristaloid (ringer laktat atau NaCI 0,9 %) 20 ml / kg berat
badan secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 liter / menit. Untuk
SSD berat (DBD derajat IV, nadi teraba dan tensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20 ml /
kg berat badan bersama koloid ( lihat butir 2). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,
hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2.     Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan 15-20 ml/ kg berat badan, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (
dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/ kg berat badan, maksimal 30 ml / kg berat badan (koloid
diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi
keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6
jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.

a.      Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin / hematokrit,
tekanan nadi < 20 mm Hg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/kg bb/jam.
Volume 10 ml/kg bb/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabil dan
hematokrit menurun < 40 %. (atau di Bag IKA FK Unsrat: 8 jam pertama 10 ml/kg bb/jam, 8
jam II : 8 ml/kg bb/jam, dan 8 jam III : 6 ml/kg bb/jam { @ 2 x BB}, kemudian secara bertahap
cairan diturunkan jadi 5ml dan seterusnya 3 ml /kg bb/jam.) Selanjutnya cairan diturunkan
menjadi 7 ml/kg bb/jam sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap
cairan diturunkan 5ml dan seterusnya 3 ml /kg bb/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak
melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin
dikerjakan tiap jam (usahakan urin ³ 1 ml / kg bb/jam, BJ urin < 1,020) dan pemeriksaan
hematokrit & trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.

b.     Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tapi
masih > 40 %, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/kg bb. Apabila tampak perdarahan
masif, berikan darah segar 20 ml/kg bb dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/kg bb/jam.
Pemasangan CVP (dipertahankan 5-8 cm H2O) pada syok berat kadang-kadang diperlukan,
sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.

FORMULIR PESANAN

Nama :                 .
…………………………………………..

No. Rek. Medik : ……..……………………………………..

Tanggal & jam datang ke UGD :  ……………………………

Isi pesan

1.     kontrol ke Poliklinik …………………………….

Hari / tanggal: ………………………

2.     Segera kembali ke UGD membawa kartu pesanan ini apabila timbul salah satu
gejala seperti di bawah ini :

a.      Muntah terus menerus

b.     Anak lemas

c.      Tidak mau makan / minum

d.     Kaki / tangan dingin atau disertai gelisah


e.      Kejang

f.       Mimisan, muntah darah, berak darah atau tanda perdarahan lain

Fisiologi, patofisiologi dan patogenesis

Kemampuan jantung untuk memompa darah guna memenuhi kebutuhan tubuh ditentukan oleh
curah jantung, yang dipengaruhi oleh Preload, afterload, kontraktilitas miokardium dan
frekuensi denyut jantung. Preload atau beban diastolic adalah fungsi dari alir balik dan
kelenturan ventrikel, yang menentukan isi dan tekanan atrium kanan. Sesuai dengan hukum
Starling, maka bertambahnya volume diastolic akhir sampai titik optimal akan meningkatkan
curah jantung.

Afterload adalah tenaga yang melawan ejeksi ventrikel yang merupakan keadaan beban
sistolik. Bila afterload meningkat maka isi sekuncup dan curah jantung menurun. Derajat
maupun intensitas aktivitas miokardium sangat menentukan keadaan inotropik atau
kontraktilitas otot jantung. Perubahan kontraktilitas adalah perubahan fungsi jantung yang
tidak bergantung pada variabilitas preload maupun afterload.9 Peningkatan frekuensi denyut
jantung memperbesar curah jantung, tetapi bila terlalu tinggi dapat berakibat turunnya curah
jantung.

Patogenesis terjadinya syok pada DSS diawali oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi.
Kompleks antigen-antibodi ini akan menggiatkan sistem komplemen, koagulasi, trombosit, dan
fibrinolitik yang melepaskan mediator-mediator dalam sirkulasi seperti C3a, C5a, histamin,
bradykinin, serotonin trombin. Mediator ini meningkatkan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga terjadi kebocoran plasma ke jaringan atau rongga ekstravaskular, hemokosentrasi,
syok dengan perdarahan hebat1,4. Pada syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.4

Pada hipovolemik tekanan pengisian sistemik akan turun, sehingga arus balik vena ke jantung
kanan juga turun. Arus balik vena adalah faktor yang menentukan preload, sehingga preload
menurun. Sesuai dengan hukum Starling terjadinya penurunan preload diikuti penurunan
sekuncup. Akibatnya curah jantung turun di bawah normal. Bila lebih dari 35% dari volume
darah total yang telah hilang, maka curah jantung dan tekanan arteri dapat turun menjadi 0.
Penurunan tekanan arteri menimbulkan refleks simpatis kuat, yang merangsang sistem
vasokonstriktor simpatis di seluruh tubuh, sehingga terjadi 3 efek penting: peningkatan tahanan
perifer total, alir balik vena dapat dipertahankan dan peningkatan frekuensi jantung.

Pada keadaan dengan perfusi jaringan yang turun disertai kegagalan pompa jantung dan
peningkatan resistensi pembuluh darah kapiler, kebutuhan metabolisme jaringan terhadap
oksigen dan nutrisi tidak tercukupi, sehingga terjadi hipoksia diikuti glikolisis anaerob serta
penumpukan asam laktat dan piruvat yang berakhir dengan asidosis metabolik.3,7,10

Karena kurangnya aliran darah jaringan pada jantung, maka sistem kardiovaskular sendiri (otot
jantung), pembuluh darah, sistem vasomotor menjadi lemah sehingga syok bertambah buruk
secara progresif. Juga terjadi pelepasan substansi norepinefrin dari ujung saraf adrenergic,
epinefrin dan norepinefrin dari medula adrenal. Sel jukstaglomerulus akan menstimulasi
produksi renin yang menyebabkan produksi renin yang menyebabkan produksi angiotensin I
dan II (yang merupakan vasokontriktorpoten). Substansi lain yang dilepaskan saat syok adalah
histamin, plasmakinin dan prostaglandin.3,7
Pada syok berat timbul berbagai umpan balik positif sehingga terbentuk suatu lingkaran setan
yaitu menurunnya curah jantung dan syok berat berlangsung secara progresif. Dan ketika syok
menjadi sangat berat, terjadi kerusakan sel rubuh dengan berbagai efek, yaitu berkurangnya
transport aktif natrium dan kalium melalui membran sel, metabolisme bahan gizi intraseluler
serta kegiatan mitokondria dalam sel. Jika tidak segera dipulihkan perfusi yang tidak adekuat
ini maka segera terjadi kerusakan sel yang ireversibel. Pada keadaan lanjut terjadi kegagalan
berat pada berbagai organ, terutama otak, jantung dan ginjal dan kematian terjadi karena kolaps
kardiovaskular dan henti jantung.3,10

Manifestasi klinis

Secara klinis DBD ditandai oleh demam tinggi akut, perdarahan, hepatomegaly dan gangguan
sirkulasi serta syok.1 Pada DSS 57,2% terjadi hepatomegaly. Perdarahan intestinal biasanya
terjadi bersamaan dengan syok.4 Syok biasanya berlangsung kurang dari 48 jam, tetapi pada
kasus yang jarang dapat berlangsung lebih dari 72 jam.1 Terdapat gangguan pernapasan dalam
berbagai stadium oleh karena adanya edem paru dan efusi pleura. Pada kasus yang berat dapat
disertai perdarahan pada paru dan jalan napas.11

Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik merupakan parameter fisiologi untuk
mengenali syok. Pada anak TD sering normal karena dipertahankan oleh mekanisme
kompensasi vasokontriksi sampai syok berlangsung lanjut. Tanda vaskuler lainnya adalah
takikardi, tekanan nadi tidak ada atau lemah, kulit pucat, biru atau motel. Perubahan kesadaran
di mulai dengan gelisah atau iritabilitas, kemudian letargi dan tidak berespons terhadap
stimulus sakit. Tonus otot hilang, ekstremitas dingin. Pada syok berat ditandai dengan
hipotensi, oligouri, dan asidosis metabolik sedang, napas periodik sampai apne yang berakhir
dengan henti jantung dan sirkulasi. 2,5,7,8,10

Pemantauan hemodinamik

Kebanyakan pasien syok membutuhkan pemantauan dan tata laksana yang agresif yang
dilakukan secara invasif dan non-invasif. Pemantauan sederhana yang non invasif dalam
pemeriksaan efek sekunder dan tersier syok terhadap sirkulasi, yaitu temperatur dan warna
kulit, motel pada kulit, perlambatan pengisian kapiler dan kualitas nadi, perubahan kesadaran,
keadaan membran mukosa, vena perifer, pernapasan, produksi urin, AGD dan EKG.

Pemantauan kardiovaskuler yang invasif berupa kateterisasi arteri sistemik dan pulmonalis
serta pemasangan CVP. Pada kateterisasi arteri sistemik dapat dimonitor tekanan darah sistolik,
diastolic. Selain itu kateterisasi juga berguna untuk pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan AGD dan elektrolit. Kateterisasi arteri pulmonalis berguna untuk menilai volume
intravaskuler, penentuan indeks jantung, penentuan tahanan vaskular sistemik dan pulmonal.
Pemasangan kateter ini mempunyai komplikasi lebih tinggi dibandingkan dengan CVP.2

Dalam keadaan syok lebih obyektif dinilai transport oksigen (DO2) dan konsumsi oksigen
(VO2). Dengan kateter arteri pulmonalis, dapat dinilai curah jantung, konsumsi oksigen, dan
oksigen vena campuran. Dengan menghitung curah jantung, AGD dari kateter arteri pulmonalis
dan AGD arteri sistemik, maka dapat dihitung DO2 dan VO2.2

CVP akan menunjukkan tekanan atrium kanan dan dapat dijadikan sebagai ukuran kemampuan
jantung untuk memompa darah yang masuk ke atrium kanan. Karena pada anak tekanan atrium
kanan juga menunjukkan tekanan atrium kiri, maka CVP dapat dipakai sebagai pedoman
volume intravascular dan pemberian cairan. Pengukuran CVP sangat berguna untuk
mengevaluasi pemberian cairan pada pasien DSS.

Penilaian efektivitas obat untuk menurunkan afterload dilakukan dengan cara mengukur
tekanan darah, frekuensi jantung, serta menilai perfusi perifer. Apabila perfusi perifer menjadi
baik, tekanan darah aorta relatif konstan dan tidak terdapat peningkatan frekuensi jantung yang
bermakna, maka dapat diperkirakan terdapat peningkatan isi sekuncup dan curah jantung.9

Tata laksana syok hipovolemik pada Dengue

Langkah pertama adalah menjaga jalan napas dan memberikan oksigen dengan konsentrasi
tinggi. Pada keadaan koma, sianosis atau gagal napas perlu diintubasi endotrakeal dan
pemasangan respirator.5.10,11,12

Pada awal terapi diberikan RL secara diguyur, bila perlu dengan semprit dimasukkan secara
paksa 100-200 ml dilanjutkan dengan 20 ml/KgBB dengan tetesan cepat 10 ml/kgBB/ jam.
Pada syok berat yang tidak memberikan respon diberikan plasma atau ekspander plasma 20-30
ml/kgBB dengan tetesan 10-20 ml/kg/jam. Bila syok teratasi, kecepatan tetesan dikurangi
menjadi 10ml/kg/jam. Nilai Ht penting untuk pedoman pemberian cairan.4 Pada syok berat atau
berulang dipasang CVP. Cairan diberikan sampai nilai CVP lebih dari 5 torr, tetapi tidak lebih
dari 10-15 torr karena dapat terjadi edema paru, terutama pada kasus DSS.5 Bila nilai CVP
lebih dari 15 dapat diberikan furosemide.4 Pada anak CVP lebih baik diukur dengan transduser
daripada manometer air. 3,5,7,8,11,13

Secara berkala diperiksa Hb, Ht, AGD serta elektrolit darah. Asidosis, hipoksemia, defisiensi
elektrolit dan hipoglikemi serta hipokalsemi dikoreksi. Hipokalsemia sering terjadi pada gagal
sirkulasi terutama setelah pemberian dalam jumlah besar darah, FFP dan albumin.7,8 Kateter
urin dipasang untuk mengetahui jumlah dan berat jenis urin setiap 4 jam.12 Pemasukan cairan
setiap hari dihitung. Keseimbangan cairan dikoreksi. Dijaga agar jumlah urin tidak kurang dari
1 ml/kgBB/jam dengan berat jenis lebih rendah dari 1,020.10,11 Elektrokardiografi dilakukan
untuk memonitor adanya bradikardi, takikardi, bradipne dan takipne, serta melihat
kemungkinan adanya disritmia. Foto toraks dibuat setiap hari untuk melihat luasnya efusi
pleura serta melihat kelainan paru dan jantung.11

Zat vasotropik carbazochrome sodium sulfonate (AC-17) yang memiliki aktivitas ekspander
plasma dan mempersingkat waktu perdarahan dapat diberikan pada kasus DSS untuk mencegah
risiko anoksia jaringan, asidosis metabolik dan perdarahan hebat.14

Manfaat pemberian hidrokortison pada DSS masih diperdebatkan. Dilaporkan pemberian


hidrokortison dosis tinggi akan memperbaiki curah jantung curah sekuncup, stabilisasi
membran trombosit dan endotel, berkurangnya tahanan perifer dan memperbaiki
mikrosirkulasi.2 Pemberian hidrokortison tidak memberikan keuntungan ditinjau dari segi
pengobatan, tetapi pemberian obat ini tidak memperburuk perjalanan penyakit, sehingga
pemberian hidrokortison pada DSS tidak merupakan indikasi kontra.4

Bila terjadi perdarahan hebat diberikan transfusi darah dan suspensi trombosit sampai Hb lebih
dari 10 g/dl dan Ht antara 30-40%. Pada kasus berat dapat diberikan FFP, suspensi trombosit
atau kriopresipitat (faktor VIII). Bila terdapat koagulasi intravascular diseminata diberikan
heparin.11,15
Idealnya pasien syok dipasang flow directed thermodilution swan-gamz catheter. Nilai indeks
jantung < 2,5 1/menit/m2 merupakan indikasi gagal sirkulasi, sehingga perlu obat
vasokonstriktor dan initropik positif.8 jika terapi dapat meninggikan indeks jantung, DO2 dan
VO2 maka dapat diasumsikan bahwa mikrosirkulasi lebih banyak yang terbuka sehingga
jaringan yang sebelumnya hipoksia dapat lebih banyak melakukan ekstraksi oksigen.2

Sesudah preload optimal, maka usaha selanjutnya adalah memperbaiki kontraktilitas dengan
pemberian inotropik. Obat inotropik yang ideal dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung
tanpa menyebabkan peninggian pemakaian O2 dan dobutamine.9 Dopamin adalah precursor
epinefrin dan katekolamin dan merangsang reseptor dopamin D1 dan D2 yang terletak dalam
kotak dan pembuluh darah ginjal, mesenterium dan koroner. Ia juga dapat merangsang reseptor
alfa dan beta dengan afinitas yang rendah.16,17 Pada dosis rendah yaitu 2,5 mg/kgBB/menit,
dopamin mempunyai efek inotropik, namun sering menimbulkan gangguan irama jantung.9
Dobutamin merupakan obat simpatomimetik yang berkhasiat inotropik, yang akan menambah
kontraktilitas jantung tanpa meningkatkan FJ secara bermakna. Dobutamine mempunyai efek
terbatas pada TD, tetapi meningkatkan curah jantung melalui peningkatan curah jantung dan
laju jantung. Dosis awal 2,5-1 mg/kg/menit.5,18

Nitroprusid merupakan vasodilator yang bekerja dengan menurunkan preload dan afterload
yang menyebabkan vasodilatasi vena dan arteri yang sebanding sehingga menurunkan tekanan
pengisian ventrikel dan penambahan curah jantung. Obat ini berguna pada peninggian tekanan
pengisian ventrikel yang disertai curah jantung yang rendah. Setelah TD diperbaiki Nitroprusid
dapat diberikan bila tahanan vaskular sistemik masih tinggi atau normal. Dimulai dengan dosis
0,1-0,25 mg/kg/menit. Adanya penurunan TD segera diatasi dengan pemberian cairan atau
menaikkan dosis obat inotropik. Bila toleransi baik dosis obat nitroprusid dinaikkan sampai
perfusi kulit menjadi baik.5,18

Pada keadaan anuria yang disertai dengan kadar ureum dan kreatinin darah yang tinggi
seringkali pemberian furosemide tidak berhasil, sehingga pada keadaan ini dapat dilakukan
dialisis peritoneal intermiten.19

Pada keadaan koma tanpa aktifitas motorik dan pupil lebar serta tidak ada refleks cahaya maka
di duga kemungkinan adanya kematian otak. Pada keadaan ini ditentukan adanya kematian
otak. Bila diagnosis kematian otak telah ditegakkan maka semua pengobatan dihentikan dan
penderita dinyatakan meninggal. Bila aktifitas otak masih ada maka pengobatan dilanjutkan.20

Sekuele syok

Kelainan yang sering ditemukan pada otopsi pasien DSS ialah perdarahan pada hampir seluruh
organ. Hati selalu membesar dan terdapat perlemakan, perdarahan atau sarang nekrosis
hemoragik. Efusi serosa bersifat eksudat, lemak kelenjar adrenal tampak deplesi sedangkan
ginjal menunjukkan dilatasi lobular ruang Bowman dan proliferasi kapiler gelung glomelurus.4

Pada syok yang berlangsung lama, timbul komplikasi berupa kegagalan berbagai organ yang
progresif. Umumnya kerusakan tersebut pada sistem saluran napas, ginjal, hati, pankreas,
gastrointestinal, fungsi imunologis, koagulasi intravascular diseminata dan perubahan mental.
Kerusakan terakhir adalah otak dan kardiovaskular.7

Prognosis
Sampai sekarang masih sulit meramalkan prognosis perjalanan DSS. Salah satu usaha untuk
menekan mortalitas pada DSS adalah dengan merawat dan mengusahakan pengobatan yang
maksimal di URI.11 Secara umum keberhasilan penanganan syok bergantung pada beratnya
penyakit, lamanya syok berlangsung fungsi organ vital sebelumnya, dan reversibilitas.3,5

ANALISIS KASUS

Syok hipovolemi adalah jenis syok yang paling sering terjadi pada anak, seperti pada kasus
ini.1 Diagnosis syok pada kedua kasus mudah dikenal dan diperkirakan stok sudah berlangsung
lama, sehingga diperkirakan mungkin terjadi kegagalan berbagai organ dan syok ireversibel.
Tampaknya perjalanan penyakit pada kedua kasus ini tidak lazim, karena syok dan perdarahan
hebat terjadi pada hari ke 8.21

Diagnosis DBD pada pasien ini ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, hanya pada kasus I
pada saat datang tidak ada trombositopeni. Trombositopeni dijumpai pada lebih dari 80%
penderita DBD, akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir mengalami penurunan sekitar 50-
60%.22 terdapat korelasi positif antara syok dan trombositopeni.21

Saat ini pengobatan pada DBD bersifat simtomatis. Intubasi dan pemasangan respirator
berguna untuk memperbaiki hipokseminya, karena dasar patofisiologi syok adalah terjadi
hipoperfusi.2 cairan awal terapi dipilih RL yang merupakan cairan kristaloid bersifat isotonic
dan efektif meningkatkan isi intravascular dan didistribusikan ke dalam kompartemen
ekstraseluler. Pada syok dapat diberikan cairan koloid, seperti albumin, dekstran dan gelatin.
Koloid berfungsi sebagai pompa intravascular, karena mempunyai tekanan osmotic yang tinggi
dan tetap berada dalam intravascular untuk waktu yang lama. Masing-masing mempunyai efek
toksik, selain harganya lebih mahal dan lebih sulit di dapat dibandingkan cairan RL, sehingga
pada keadaan akut dipilih cairan RL.23 Pada pasien ini syok belum teratasi dengan RL, sehingga
pasien diberi plasma. Plasma ekspander sama baiknya bila dibandingkan dengan plasma darah
dalam hal mengatasi syok, sehingga bila plasma segar tidak tersedia, cairan ini dapat
diberikan.24 Pemberian antibiotika ditujukan untuk menghindari infeksi sekunder. Pada DSS
berat infeksi sekunder mungkin memperburuk perjalanan penyakit DBD.4

Idealnya pada pasien ini dipasang swan-gamz catheter, sehingga dapat ditentukan tahanan
pembuluh darah sistemik dan diputuskan apakah perlu pemberian obat inotropik positif dan
obat vasodilator. Penggunaan obat yang tidak tepat dapat berakibat fatal. Mengingat kesulitan
tehnis dan komplikasi yang tinggi, kateter tersebut tidak dipasang pada kedua kasus.

Pada kasus I terdapat perdarahan yang sulit diatasi pada tempat pemasangan CVP. Hal tersebut
sering terjadi bila CVP dipasang pada v. subklavia. Dianjurkan CVP dipasang pada v. basilika
kanan atau kiri.11

Pada syok berat sering timbul masalah pada pernapasan yang biasanya sulit diatasi. Hal
tersebut diperburuk dengan adanya edema paru dan perdarahan paru. Hal ini akan
menyebabkan terganggunya difusi O2 yang dapat dilihat dari turunnya pO2. Pada stadium
lanjut akan diikuti oleh peningkatan pCO2.11 dengan pemasangan respirator keadaan tersebut
dapat dibuat normal, tetapi pada keadaan lanjut hal ini sulit diperbaiki baik dengan penggunaan
PEEP maupun obat inotropik. Oleh karena DBD dapat menyebabkan syok dan kematian,
masyarakat perlu mengenal tanda syok secara dini dan dapat segera membawa anaknya ke
rumah sakit terdekat.
Sri Rezeki H Hadinegoro, Soegeng Soegijanto, Suharyono Wuryadi, Thomas Suroso

Sub Direktorat Arbovirosis Dirjend. PPM & PLP, Depkes RIÂ Oktober 1998

Halaman 18-31

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Name *

Email *

Website

Comment

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title="">
<acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime="">
<em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

Anda mungkin juga menyukai