BAB 1
PENDAHULUAN
Berdasarkan data dari SDKI tahun 2007, penyebab kematian ibu di Indonesia tetap merupakan
trias klasik yaitu perdarahan yang menduduki peringkat pertama dengan 28%, eklampsia 24%,
dan infeksi 11%. Dalam profil kesehatan Indonesia tahun 2006 disebutkan bahwa jumlah kasus
preeklampsia yang terjadi sebanyak 7.848 (5,8%) kasus (Indriani, 2011).
Preeklampsia adalah kelainan multiorgan spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan
terjadinya hipertensi, edema dan proteinuria, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan
vesikuler atau hipertensi sebelumnya dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 110 mmHg dan kadar proteinuria lebih dari 5 g/24 jam. Kondisi ini hanya
terjadi pada saat kehamilan. Preeklampsia jarang terjadi sebelum minggu ke-
28 tetapi dapat terjadi bahkan beberapa hari sebelum kelahiran. Preeklampsia terjadi pada kurang
lebih 5% dari semua kehamilan, 10% pada kehamilan anak pertama dan 20-25% pada
perempuan hamil dengan riwayat hipertensi sebelum hamil.
Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal di
seluruh dunia. Menurut WHO, UNFPA dan UNICEF, preeklampsia-eklampsia merupakan
penyebab utama masalah kesehatan di negara berkembang. Setiap tahun, diperkirakan 50.000
kematian ibu di seluruh dunia dan mempengaruhi 5% - 7% kehamilan di seluruh dunia
(Herlambang et al, 2012).
Indonesia merupakan negara dengan angka kematian ibu dan perinatal tertinggi. Berdasarkan
data yang dipublikasikan oleh WHO, diketahui di Indonesia kasus kematian ibu sebanyak 240
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Menurut SDKI (2009), AKI di Indonesia berada
pada peringkat ke 12 dari 18 negara anggota ASEAN dan SEARO (Sumarni, 2014).
Di Indonesia, preeklampsia berat dan eklampsia merupakan penyebab kematian ibu yang
berkisar 1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan kematian bayi antara 45 persen sampai 50
persen. Sedangkan eklampsia menyebabkan 50.000 kematian/tahun di seluruh dunia, 10 persen
dari total kematian maternal. Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya insiden
preeklamlpsia pada ibu hamil (Djannah dan Arianti, 2010).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, angka
kematian ibu pada tahun 2013 yang disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia
atau eklampsia) adalah 27 orang. Sementara pada tahun 2014 sebanyak 34 orang, dan pada tahun
2015 yaitu sebanyak 20 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan [DinKes provinsi
Kalimantan Selatan], 2013, 2014, 2015).
Menurut data yang diperoleh dari sensus ruang nifas Rumah Sakit Umum Daerah Ulin
Banjarmasin, angka sectio caesarea atas indikasi preeklampsia berat pada tahun 2015 menempati
urutan ke dua (56%) setelah ketuban pecah dini (67%), dan indikasi dilakukan sectio caesarea
yang lain adalah dengan riwayat/bekas sectio caesarea (44%), presentasi janin abnormal (37%),
gemelly atau janin kembar (7%) dan lainnya (15%). Pada tahun 2016 periode Januari-Maret
sectio caesarea dengan indikasi preeklampsia berat menempati urutan pertama (37%) dan diikuti
oleh presentasi janin abnormal (19%) (Medical Record, RSUD Ulin Banjarmasin, 2015, 2016).
Preeklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu hamil, meliputi 5-14% kematian ibu
hamil di dunia. Kondisi tersebut ditandai dengan hipertensi saat kehamilan, proteinuria, dan
berbagai komplikasi organ lainnya (Felicia et al, 2010).
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai
preeklampsia berat melalui Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Preeklampsia Berat” secara komprehensif meliputi biopsikososial dan spiritual guna mendeteksi
dini penyakit preeklampsia dan mencegah komplikasi yang menyertainya.
l. Parathormon
Hormon ini relatif tidak dipengaruhi oleh kehamilan.
2.1.1.3. Perubahan sistem kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular selama kehamilan memberikan banyak implikasi terhadap
manajemen penyakit jantung pada wanita hamil. Perubahan tersebut mempengaruhi manajemen
persalinan dan perawatan selama dan setelah kehamilan. Perubahan dasar pada sistem
kardiovaskular adalah:
a. Volume darah. Pada kehamilan 32 minggu, volume total darah meningkat 40%, dengan
peningkatan volume total plasma mencapai 50%. Akan tetapi, oleh karena tidak diikuti
peningkatan sel darah merah yang sesuai (hanya meningkat 20%) maka terjadi pengenceran
konsentrasi darah yang bisa berakibat anemia.
b. Cardiac output. Naiknya stroke volume menimbulkan peningkatan cardiac output sebesar 30-
50% pada kehamilan 20-24 minggu. Penurunan cardiac output juga terjadi bila wanita hamil
dalam posisi supinasi karena adanya kompresi vena cava.
c. Penurunan hambatan vaskuler sistemik Selama kehamilan. Puncaknya terjadi selama trimester
kedua dan kemudian menurun kembali seperti masa sebelum kehamilan pada usia aterm.
d. Redistribusi aliran darah. Selama kehamilan, aliran darah ke ginjal, kulit dan uterus menjadi
meningkat. Aliran darah ke uterus bisa mencapai 5000 mL/menit pada usia aterm.
e. Perubahan hemodinamik saat persalinan. Tekanan vena meningkat selama persalinan karena
kontraksi uterus menimbulkan peningkatan aliran venosa dari vena uterine. Akibatnya, cardiac
output meninggi, tekanan ventrikuler kanan dan tekanan arterial rata-rata pun meningkat.
f. Perubahan hemodinamik setelah persalinan. Pada masa postpartum, kompresi vena cava
menurun sehingga menimbulkan peningkatan volume darah. Cardiac output yang tinggi
memungkinkan munculnya reflex bradikardia. Oleh karena banyak darah hilang, perubahan
hemodinamik ini tidak begitu kentara pada pasien operasi sesar.
2.1.1.4. Perubahan sistem respiratorius
a. Perubahan struktur. Mukosa saluran respiratorius atas menjadi edema dan produksi mucus
meningkat yang menyebabkan rasa sumpek dan gejala flu kronik. Sudut subcosta meningkat
selama hamil. Diameter transversal dan lingkaran dada juga meningkat awal selama kehamilan.
Pada akhir kehamilan, diafragma naik, tetapi gerakan diafragma pada setiap nafas menjadi
bertambah.
b. Konsumsi oksigen
1) Meskipun ventilasi menit 30-40% selama hamil, konsumsi oksigen hanya meningkat 15-20%.
Akibatnya, tingkat PO2 meningkat hingga 104-108 mmHg. Meningkatnya konsumsi oksigen
terutama dikaitkan dengan kecukupan konsumsi oksigen fetus dan plasenta, meningkatnya
cardiac output maternal, meningkatnya kecepatan filtrasi glomerulus, dan meningkatnya massa
jaringan payudara dan uterus.
2) Meskipun produksi karbondioksida naik selama hamil, kadar PCO2 turun hingga 27-32 mmHg
karena naiknya ventilasi menit. Penurunan ini membantu pertukaran karbondioksida antara ibu
dan janin. Meningkatnya pH arterial hanya sedikit karena penurunan kadar PCO2 diimbangi
dengan penurunan kadar serum bikarbonat hingga 18-31 mEq/L akibat peningkatan kecepatan
ekskresi ginjal.
c. Volume tidal meningkat 30-40% selama kehamilan. Progesterone menurunkan ambang
karbondioksida dalam pusat respirasi. Volume cadangan ekspirasi dan kapasitas residual fungsi
menurun selama hamil, tetapi kecepatan respirasi dan kapasitas vital sama.
d. Resistensi Forced expiratory volume dan peak expiratory flow rate tidak berubah selama
kehamilan.
Perubahan sistem urinaria
1) Perubahan struktur. Selama kehamilan, panjang ginjal bertambah 1 cm, volumenya bertambah
30% dan ukuran system kolektivus meningkat lebih dari 80%, dengan dilatasi lebih banyak.
2) Fungsi ginjal. Wanita hamil mengalami akumulasi natrium 500-900 mEq dan 6-8 L air. Oleh
karena bertambahnya volume cairan, aliran plasma ginjal meningkat 60-80% pada pertengahan
trimester dua dan menetap hingga trimester tiga, selanjutnya 50% selama kehamilan. Kecepatan
filtrasi glomerulus mulai meningkat pada minggu ke-6 kehamilan dan mencapai puncak pada
akhir trimester pertama.
3) Fungsi tubulus. Resorpsi tubuler menurun selama hamil sehingga menimbulkan peningkatan
ekskresi glukosa, asam amino dan protein. Meningkatnya glukosa urin membuat wanita hamil
lebih rentan terhadap infeksi saluran kencing dan bakteriuri.
4) Penilaian fungsi ginjal. Proteinuria harus diperiksa pada kunjungan antenatal. Nilai +1 harus
diikuti dengan penilaian selanjutnya seperti urin midstream untuk kultur dan pemeriksaan
mikroskopik.
2.1.1.5. Perubahan sistem gastrointestinal
Perasaan tidak enak di ulu hati disebabkan oleh perubahan posisi lambung dan aliran balik asam
lambung ke esophagus bagian bawah. Produksi asam lambung menurun. Pada trimester I sering
terjadi nausea dan muntah karena pengaruh HCG. Penderita sering meludah dan tidak enak
makan. Hemoroid sering terjadi karena pengaruh estrogen. Selama kehamilan enzim hati tetap
normal dan mungkin menurun karena hemodilusi. Kadar lipid, fibrinogen dan alkali fosfatase
meningkat tajam selama kehamilan dan kadar albumin menurun 20% pada awal trimester satu.
Dengan membesarnya uterus ke abdomen atas, hepar terdesak ke belakang kanan. Perubahan
tempat ini mengurangi ukuran perkiraan waktu pemeriksaan fisik. Hepar yang teraba selama
hamil harus dianggap abnormal dan perlu tindakan lanjut.
2.1.1.6. Perubahan sistem skeletal
Uterus yang membesar akan memperbesar derajat lordosis sehingga sering menyebabkan sakit
pinggang. Bila wanita mengalami defisiensi kalsium, dapat terjadi demineralisasi tulang
dan/gigi. Sendi-sendi panggul menjadi lebih mobile.
2.1.1.7. Perubahan-perubahan metabolisme
a. Air
Menjelang aterm, akumulasi air dalam darah, uterus dan payudara yang membesar kira-kira 3
liter banyaknya. Janin, plasenta dan air ketuban mengandung kira-kira 3,5 liter sehingga
kelebihan air rata-rata adalah 6,5 liter. Oleh karena itu tekanan venosa yang meningkat di bagian
bawah (di bawah uterus), dapat dijumpai pitting edema di kaki/tungkai bawah.
b. Protein
Penambahan protein sebanyak kira-kira 500 gram dideposisikan di uterus sebagai miometrium,
ke kelanjar susu dan di dalam darah sebagai hemoglobin dan protein plasma.
c. Karbohidrat
Pada wanita sehat gula darah puasa sedikit turun. Estrogen, progesteron dan kortisol diduga juga
mempunyai efek diabetik. Dalam plasenta didapatkan juga insulinase, tetapi ternyata kecepatan
degradasi insulin invio pada wanita hamil tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Pada
wanita sehat dalam kehamilan sering dijumpai glukosuria karena naiknya kecepatan filtrasi
glomerulus dan menurunnya reabsorbsi oleh tubulus.
d. Lemak
Semua fraksi lemak mengalami kenaikan, yaitu lipid total, kolesterol, fosfolipid, lemak netral
lipoprotein dan asam lemak bebas.
e. Mineral
Konsentrasi tembaga pada awal kehamilan meningkat dan kalsium sedikit mengalami
penurunan, mungkin karena zat pembawanya, yaitu protein, mengalami sedikit penurunan pula.
2.1.1.8. Perubahan asam basa
Wanita hamil mengalami hiperventilasi sehingga timbul alkalosis respirasi, yang disebabkan
oleh penurunan PCO2 darah, yang dapat dikompensasi oleh bikarbonat plasma.
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya
hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan/atau edema pada kehamilan 20
minggu atau lebih (Nugroho, 2012).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa preeklampsia adalah suatu keadaan dimana terjadi kenaikan
tekanan darah sistolik 160/110 mmHg dan diastolik > 110 mmHg pada usia kehamilan 20
minggu, yang disertai dengan proteinuria serta terjadi penimbunan cairan pada ekstreimtas
tubuh.
2.1.4. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi preeklampsia, yaitu:
2.1.4.1. Abnormalitas invasi trofoblas.
2.1.4.2. Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)- fetal.
2.1.4.3. Maladaptasi kardiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari proses kehamilan normal.
2.1.4.4. Fator genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara mekanisme epigenetik.
2.1.4.5. Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan.
2.1.4.6. Faktor risiko
a. Primigravida, primipaternitas.
b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, hidrops
fetalis, bayi besar.
c. Umur yang ekstrim.
d. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia.
e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada selama hamil.
f. Obesitas.
2.1.5. Patofisiologi
Berdasarkan perjalanan penyakit teori 2 tahap, preeklampsia dibagi menjadi 2 tahap penyakit
tergantung gejala yang timbul. Tahap pertama bersifat asimtomatik (tanpa gejala), dengan
karakteristik perkembangan abnormal plasenta pada trimester pertama. Perkembangan abnormal
plasenta terutama proses angiogenesis mengakibatkan insufisiensi plasenta dan terlepasnya
material plasenta memasuki sirkulasi ibu.
Terlepasnya material plasenta memicu gambaran klinis tahap 2, yaitu tahap simtomatik (timbul
gejala). Pada tahap ini berkembang gejala hipertensi, gangguan renal, dan proteinuria, serta
potensi terjadinya sindrom HELLP, eklamsia dan kerusakan end organ lainnya.
Dua fakta klinis tersebut menuntun pada hipotesis kuat bahwa plasenta memegang peranan
penting dalam patogenesis preeklampsia. Terapi paling efektif dari preeklampsia adalah dengan
melahirkan plasenta. Selain itu bila plasenta berkembang berlebihan (hiperplasentosis), misalnya
pada mola hidatidosa atau gemeli, seringkali berkembang menjadi preeklampsia berat. Hal
tersebut didukung oleh pemeriksaan patologi bahwa pada plasenta dengan preeklampsia terdapat
infark luas, sklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri dan arteriol serta terdapat
remodeling yang in adekuat pada arteri spiralis.
Pada tahap asimtomatik meskipun gejala klinik belum terlihat, tetapi pemeriksaan tertentu dapat
mengidentifikasi perubahan yang terjadi. Pemeriksaan USG doppler arteri uterina dapat menilai
adanya perubahan pada aliran darah yang disebabkan karena peningkatan resistensi vaskular
sebelum gejala klinis timbul. Selanjutnya peningkatan vasokontriksi ateri uterina akan
menimbulkan hipertensi, proteinuria, dan endoteliosis glomerular. Gejala-gejala tersebut yang
mendukung untuk ditegakkannya diagnosis preeklampsia, dan merupakan suatu tahap kedua atau
preeklampsia dengan manifestasi gejala klinik. Sehingga adanya ganguan histologi, fungsi, dan
metabolisme plasenta diduga sangat besar peranannya pada patofisologi preeklampsia (Pribadi et
al, 2015).
Skema 2.1 Pathway Preeklampsia
Sumber (NANDA & NIC NOC, 2013)
2.1.6. Tanda dan gejala
Gejala klinis preeklampsia sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang mengancam kematian
ibu. Efek yang sama terjadi pula pada janin, mulai dari yang ringan, PJT dengan komplikasi
pascasalin sampai kematian intrauterin.
2.1.6.1. Gejala
Kebanyakan ibu hamil pada awal preeklampsia tidak menunjukkan gejala. Sementara
preeklampsia fase lanjut sering menimbulkan gejala yang berhubungan dengan kurangnya
perfusi jaringan, misalnya terjadi sakit ulu hati, mual, muntah, sakit punggung, dll. Gejala
hipoksia terjadi sakit kepala, kurangnya kesadaran, penurunan penglihatan, skotomata, dll.
Parestesia, pegal, dapat terjadi bila saraf terganggu karena kompresi. Terdapat gejala yang sangat
serius ditangani terutama bila menyangkut organ vital seperti jantung, dan perdarahan
antepartum karena preeklampsia akan meningkatkan risiko untuk solutio plasenta.
2.1.6.2. Tanda
Tanda preeklampsia meliputi :
a. Tanda tersering adalah hipertensi.
b. Proteinuria.
c. Perubahan retinal.
d. Hiperrefleksia.
e. Tanda spesifik kelainan organ seperti dekompensasi jantung menimbulkan edema tungkai yang
masif kadang disertai asites dan hidrotoraks. Pembesaran hepar menyebabkan nyeri tekan,
pecahnya pembuluh darah perifer seperti ptechiae, purpura, dan bila berat menyebabkan
gangguan pembekuan darah sistemik (seperti disseminated intracorpuscular/DIC).
2.1.7. Pemeriksaan penunjang
2.1.7.1. Maternal
a. Asam urat
Hipertensi yang disertai peningkatan asam urat berhubungan dengan PJT. Hiperurikemia
merupakan tanda dini penyakit karena terjadi penurunan klirens asam urat sebelum penurunan
filtrasi glomerular filtration rate (GFR) ginjal terjadi. Peningkatan asam urat dalam darah tidak
hanya gangguan fungsi ginjal tetapi dapat pula disebabkan peningkatan stres oksidatif.
b. Kreatinin
Terjadi peningkatan kreatinin pada preeklampsia berat tetapi biasanya belum terjadi perubahan
pada preeklampsia ringan.
c. Tes fungsi hepar
Peningkatan aspartat aminotranferase (AST/SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT/SGPT)
merupakan tanda prognosis buruk pada ibu dan janin. Konsentrasi dari protein ini berhubungan
dengan beratnya penyakit preeklampsia dengan komplikasi berat pada hepar.
d. Faktor pembekuan
Terjadi penurunan dari faktor III, faktor VIII selain trombositopenia. Gangguan ini menimbulkan
risiko terjadi perdarahan pasca persalinan.
e. Analisis urine (proteinuria).
f. Pencocokan ulang : cross matching.
g. Pemeriksaan urine untuk ekskresi protein 24 jam.
2.1.7.2. Fetal
a. Klik chart (rekaman gerakan janin).
b. CTG (kardiografi).
2.1.8. Penatalaksanaan medis
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama
perawatan maka perawatan dibagi menjadi:
2.1.8.1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhri atau diterminasi ditambah pengobatan medisinal.
2.1.8.2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah pengobatan medisinal.
Perawatan aktif
a. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan pemeriksaan fetal
assaement (NST & USG).
b. Indikasi
1) Ibu
a) Usia kehamilan 37 minggu atau lebih.
b) Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia.
c) Kegagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan
tekanan darah atau setelah 24 jam terapi medikamentosa tidak ada perbaikan.
2) Janin
a) Hasil fetal assesment jelek (NST & USG).
b) Adanya tanda IUGR.
3) Laboratorium
a) Adanya “HELLP syndrome” (hemolisis dan peningkatan fungsi hepar, trombositopenia).
c. Pengobatan medikamentosa
1) Segera masuk rumah sakit.
2) Tidur baring, miring ke satu sisi (sebaiknya kiri), tanda vital diperiksa setiap 30 menit, refleks
patella setiap jam.
3) Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125 cc/jam) 500 cc.
4) Antasida.
5) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
6) Pemberian obat anti kejang: diazepam 20 mg IV dilanjutkan dengan 40 mg dalam Dekstrose
10% selang 4-6 jam atau MgSO4 40% 5 gram IV pelan-pelan dilanjutkan 5 gram dalam RL 500
cc untuk 6 jam.
7) Diuretik tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah jantung kongestif atau
edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40 mg/IV.
8) Antihipertensi diberikan bila: tekanan darah sistolik e”180 mmHg, diastolik e” 110 mmHg atau
MAP lebih 125 mmHg. Dapat diberikan catapres ½-1 ampul IM dapat diulang tiap 4 jam, atau
alfametildopa 3 x 250 mg, dan nifidipine sublingual 5-10 mg.
9) Kardiotonika, indikasinya, bila ada tanda-tanda payah jantung, diberikan digitalisasi cepat
dengan cedilanid.
10) Lain-lain:
a) Konsul bagian penyakit dalam/jantung, mata.
b) Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih dari 38,5 derajat celcius dapat dibantu
dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylamidon 2 cc IM.
c) Antibiotik diberikan atas indikasi, diberikan ampicilin 1 gr/6 jam/IV/hari.
d) Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus, dapat diberikan petidin
HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam sebelum jalan lahir.
d. Pengobatan obstetrik
1) Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu
a) Induksi persalinan: tetesan oksitosin dengan syarat nilai bishop 5 atau lebih dan dengan fetal
heart monitoring.
b) Sectio caesarea bila:
(1) Fetal assesment jelek
(2) Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai bishop kurang dari 5) atau adanya kontraindikasi
tetesan oksitosin.
(3) 12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif.
(4) Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan sectio caesarea.
2) Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu
Kala I
a) Fase laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan sectio caesarea.
b) Fase aktif : amniotomi saja, bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap
maka dilakukan sectio caesarea (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).
Kala II
a) Pada persalinan per vaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan. Amniotomi dan
tetesan oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian terapi
medikamentosa. Pada kehamilan 32 minggu atau kurang; bila keadaan memungkinkan, terminasi
ditunda 2 kali 24 jam untuk memberikan kortikosteroid.
Perawatan konservatif
a. Indikasi: bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda inpending
eklampsia dengan keadaan janin baik.
b. Terapi medikamentosa: sama dengan terapi medikamentosa pada pengelolaan aktif, hanya
laoding dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup intramuskular saja dimana 4 gram pada
bokong kiri dan 4 gram pada bokong kanan.
c. Pengobatan obstetri:
1) Selama perawatan konservatif: observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif hanya disini
tidak dilakukan terminasi.
2) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda preeklampsia ringan, selambat-
lambatnya dalam 24 jam.
3) Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap terapi medikamentosa gagal dan harus
diterminasi.
4) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu MgSO4 20% 2 gram
intravenous.
d. Penderita dipulangkan bila:
1) Penderita kembali ke gejala-gejala/tanda-tanda preeklampsia ringan dan telah dirawat selama 3
hari.
2) Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan preeklampsia ringan: penderita dapat
dipulangkan dan dirawat sebagai preeklampsia ringan (diperkirakan lama perawatan 1-2
minggu).
2.1.9. Prognosis
The morbidity and mortality of both the mother and fetus are considered:
Fetal mortality and morbidity. The fetal mortality is 2% in a preeclamptic pregnancy.
Reccurence of preeclampsia, preeclampsia fetus in 25% of subsequent pregnances for early
onset (< 32 weeks), and in 5-8% of subsequent pregnancies for late onset preeclampsia.
Maternal complications of preeclampsia, preeclampsia is a life-long disease, and has an impact
on maternal cardiovascular health. There is a risk of hypertension in later life and an eight-fold
increase in risk of death from stroke for those with preeclampsia prior to 37 weeks gestation
(Cameron et al, 2009).
2.1.10. Komplikasi
Bergantung pada derajat preeklampsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi antara
lain sebagai berikut:
2.1.10.1. Pada ibu
a. Eklampsia.
b. Solusio plasenta.
c. Perdarahan subskapula hepar.
d. Kelainan pembekuan darah (DIC).
e. Sindrom HELLP (hemolisis, elevated, liver, enzymes, dan low platelet count).
f. Ablasio retina.
g. Gagal jantung hingga syok dan kematian.
2.1.10.2. Pada janin
a. Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus.
b. Prematur.
c. Asfiksia neonatorum.
d. Kematian dalam uterus.
e. Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal.
Pelahiran dengan caesar didefinisikan sebagai kelahiran janin melalui insisi di dinding abdomen
(laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi) (Leveno., et al, 2009).
Caesarean section is an operative procedure, which is carried out under anaesthesia (regional
or general), whereby the fetus, placenta and membranes are delivered through an incision made
in the abdominal wall and uterus (Marshall & Raynor, 2014).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sectio caesarea adalah sebuah tindakan pembedahan yang
dilakukan guna mengeluarkan janin dan plasenta melalui insisi pada abdomen dan uterus dengan
syarat berat janin tidak kurang dari 500 gram.
2.2.2. Etiologi
Seorang ibu yang akan melahirkan perlu dilakukan tindakan persalinan sectio caesarea tentu
berdasarkan indikasi terlebih dahulu. Indikasi tersebut dapat dilakukan dengan alasan medis
antara lain: karena ibu maupun bayinya berisiko tinggi, bukan karena alasan pribadi dari ibu
sendiri/elektif. Adapaun indikasi dilakukannya sectio caesarea pada klien karena keadaan
berikut:
2.2.2.1. Faktor ibu
a. Distosia
Distosia merupakan suatu keadaan persalinan yang lama karena adanya kesulitan dalam
persalinan yang disebabkan oleh beberapa faktor dalam persalinan, baik faktor dari ibu sendiri
maupun faktor dari bayi dalam proses persalinan, seperti: kelainan tenaga (his), kelelahan
mengedan, kelainan jalan lahir, kelainan letak dan bentuk janin, kelainan dalam besar/bobot
janin, serta psikologis ibu.
b. Chepalopelvic disproportion (CPD)
Chepalopelvic disproportion (CPD) is a condition in which the size, shape, or position of the
fetal head prevents it from passing through the lateral aspect of the maternal pelvis or when the
maternal pelvis is of a size or shape that prevents the descent of the fetus through the pelvis
(Durham & Chapman, 2013).
CPD merupakan keadaan panggul ibu yang tidak sesuai dengan keadaan panggul normal yang
dimiliki kebanyakan wanita. Keadaan panggul yang tidak normal tidak baik untuk dilakukan
tindakan persalinan pervaginam.
c. Preeklampsia berat dan eklampsia
PEB dan eklampsia sangat rawan untuk dilakukan persalinan pervaginam karena ibu dan bayinya
berisiko tinggi terjadinya injuri. Pada umumnya, ibu hamil yang menderita PEB ataupun
eklampsia acap kali berakhir dengan persalinan sectio caesarea.
d. Gagal proses persalinan
Gagal induksi persalinan merupakan indikasi dilakukannya sectio caesarea untuk segera
menyelamatkan ibu dan bayinya.
e. Sectio ulang
Jika seorang ibu mempunyai riwayat persalinan sectio, maka persalinan berikutnya harus melalui
tindakan persalinan sectio caesarea karena khawatir terjadi robekan pada rahim.
f. Plasenta previa
Plasenta previa yaitu plasenta yang letaknya abnormal, yaitu plasenta yang terletak pada segmen
bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium
internum).
g. Solutio plasenta
Solutio plasenta disebut juga dengan nama abrupsio plasenta. Solutio plasenta adalah terlepasnya
sebagian atau seluruh plasenta sebelum janin lahir.
h. Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
Tumor tersebut seperti mioma uteri, tumor ovarium, dan kanker rahim. Hal ini bergantung pada
jenis dan besarnya tumor tersebut. Hal yang perlu dipertimbangkan, apakah persalinan dapat
dilakukan secara pervaginam atau secara sectio caesarea.
i. Ruptur uteria
Adalah keadaan robekan pada rahim yang telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion
dan rongga peritoneum. Ruptur uteri, baik yang terjadi pada masa hamil atau proses persalinan
merupakan suatu kondisi bahaya yang besar pada wanita dan janin yang dikandungnya.
j. Takut persalinan pervaginam
Pengalaman buruk yang dialami oleh orang lain saat persalinan pervaginam pun dapat menjadi
pencetus bagi seorang ibu untuk melakukan persalinan dengan sectio caesarea.
k. Pengalaman buruk melahirkan pervaginam
Pengalaman buruk melahirkan pervaginam yang dialami ibu pada saat persalinan sebelumnya,
seperti adanya nyeri serta kecemasan yang sangat, dan menimbulkan trauma bagi seorang ibu
untuk menjalani persalinan pervaginam untuk melahirkan berikutnya.
l. Adanya keinginan untuk melahirkan pada hari yang telah ditentukan.
Indikasi ini bukan merupakan indikasi medis, melainkan indikasi elektif akibat keinginan pribadi
seorang ibu atau keluarganya yang memilih persalinan sectio caesarea.
m. Disfungsi uterus
Disfungsi uterus merupakan kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan tidak adanya
kekuatan untuk mendorong bayi keluar dari rahim.
p. Usia ibu lebih dari 35 tahun
Kehamilan di atas usia 35 tahun memiliki resiko tiga kali lebih besar untuk terjadinya persalinan
dengan tindakan sectio caesarea dibandingkan dengan usia di bawah 35 tahun. Usia lebih dari 35
tahun termasuk ke dalam golongan usia berisiko tinggi dalam kehamilan dan persalinan. Pada
usia ini, berbagai masalah sering kali menyertai kehamilannya, seperti plasenta previa totalis
preeklampsia berat, kelelahan dalam mengedan, dan sebagainya.
q. Herpes Genital Aktif
Herpes genital merupakan penyakit kelamin yang disebabkan oleh virus bernama Herpes
Simpleks Virus (HSV). Virus ini ditularkan melalui kontak langsung kulit atau membran mukus
dengan lesi yang aktif. Lesi herpes yang aktif pada genital ibu hamil dapat menular ke bayi pada
saat proses persalinan pervaginam. Penyebaran virus herpes dari ibu hamil kepada janinnya
dapat terjadi pada saat proses persalinan.
2.2.2.2. Alasan janin
a. Terjadinya gawat janin (distress)
Terjadinya gawat janin antara lain disebabkan: syok, anemia berat, preeklampsia berat,
eklampsia, dan kelainan kongenital. Keadaan gawat janin biasanya dinilai dengan menghitung
Denyut Jantung Janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium di dalam cairan
amnion. Janin disebut gawat janin apabila ditemukan denyut jantung janin di atas 160/menit atau
di bawah 100/menit, denyut jantung tak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal
kehamilan.
b. Letak janin
Kelainan dengan letak sungsang, lintang, dan presentasi ganda atau majemuk merupakan faktor
penyulit dalam persalinan.
c. Kehamilan ganda
Kehahamilan ganda (kembar) adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih dalam satu rahim
dengan satu atau dua plasenta. Kehamilan kembar dapat berisiko tinggi, baik terhadap ibu
maupun bayinya.
d. Adanya bobot badan bayi yang ukurannya lebih dari normal
Bobot bayi lahir normalnya antara 2.500-4000 gram. Bobot bayi di atas 4000 gram atau lebih
dinamakan bayi besar (giant baby). Hal ini mengakibatkan bayi sulit keluar dari jalan lahir ibu.
e. Cacat atau kematian janin sebelumnya
Khususnya pada ibu-ibu yang pernah melahirkan bayi yang cacat atau mati dilakukan sectio
caesarea elektif
f. Prolapsus funiculus umbilicalis
Prolapsus funiculus umbilicalis dengan cervix yang tidak berdilatasi sebaiknya diatasi dengan
sectio caesarea, asalkan bayinya berada dalam keadaan baik.
g. Insufisiensi placenta
Pada kasus retardasi pertumbuhan intrauterin atau kehamilan post matur dengan pemeriksaan
klinis dan berbagai test menunjukkan bahwa bayi dalam keadaan bahaya, maka kelahiran harus
dilaksanakan. Jika induksi tidak mungkin terlaksana atau mengalami kegagalan, sectio caesarea
menjadi indikasi.
h. Inkompabilitias rhesus
Kalau janin mengalami cacat berat akibat antibodi dari ibu Rh-negatif yang menjadi peka dan
kalau induksi serta persalinan per vaginam sukar teralaksana, maka kehamilan dapat diakhiri
dengan sectio caesarea bagi keselamatan janin.
i. Postmortem caesarean
Kadang-kadang bayi masih hidup, bilamana sectio caesarea segera dikerjakan pada ibu hamil
yang baru saja meninggal dunia.
2.2.4. Prognosis
Previous history of classical caesarean section or hysterotomy makes the woman vulnurable to
unpredictable rupture of the uterus. This may occur either late during pregnancy or during labor
and when it does, the maternal mortality is to the extent of 5% and the perinatal mortality to
75%. The risk of lower segment scar-rupture is low (0.2-1.5%) and even if it does occur,
maternal death is much less and the perinatal mortality is about one in eight (Konar, 2015).
Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang, oleh
karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah,
indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun. Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit
dengan fasilias operasi yang baik dan oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per
1000. Nasib janin yang ditolong secara sectio caesarea sangat tergantung dari keadaan janin
sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari negara-negara dengan pengawasan antenatal yang
baik dan fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4-7 %.
2.2.5. Komplikasi
Berbeda dengan persalinan normal, pasca sectio caesarea kemungkinan bisa saja terjadi infeksi
nifas, perdarahan pasca persalinan akibat teratnya pembuluh darah cabang di rahim. Bisa juga
terjadi luka kerat tak disengaja pada kandung kemih yang letaknya memang di bawah rahim,
selain kemungkinan emboli paru-paru, yakni terhanyutnya butiran bekuan darah, atau apa saja
yang terbawa ke dalam aliran darah, dan tiba di paru-paru, sehingga terjadi sumbatan yang fatal
akibatnya.
Komplikasi lainnya, bagaimana pun kuatnya jahitan pada rahim yang sudah pernah disayat tidak
lebih kuat dibanding rahim yang masih utuh. Risiko rahim untuk sobek lebih besar dibanding
rahim yang masih utuh. Selain itu, tentu bagaimana layaknya tindakan pembedahan, persalinan
dengan sectio caesarea memerlukan hari perawatan yang lebih panjang ketimbang persalinan
normal.
DAFTAR RUJUKAN
Burnside, Jhon W & McGlynn, Thomas J. (2008). Diagnosa Fisik. Ed. 17. Jakarta: EGC
Cameron, Peter., Jelinek, George., Kelly, Maree. A., Murray, Lindsay & Brown, Anthony. FT. (2009).
Textbook Of Adult Emergency Medicine. Third Edition. China: Elsevier
Damayanti, Ika Putri., Pitriani, Risa & Ardhiyanti, Yulrina. (2015). Panduan Lengkap Keterampilan
Dasar Kebidanan II. Ed. 1. Yogyakarta: Deepublish
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan selatan. (2013, 2014, 2015). Rekapitulasi Jumlah Kematian Ibu dan
Neonatal di Puskesmas dan Rumah Sakit Propinsi Kalimantan Selatan.
Djannah Nur, S & Arianti Sukma, I. (2010). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Gambaran
Epidemiologi Kejadian Preeklampsia/Eklampsia di RSKU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Tahun 2007-2009. Vol. 13 No. 4, Hal. 378.
Durham, Roberta & Chapman, Linda. (2013). Maternal-Newborn Nursing: The Critical Components of
Nursing Care. Philadelpia: F.A. Davis Company
Felicia, Devi., Fredy Chikita, f. & Iskandar Jayadi, W. (2008). Jurnal Mahasiswa Kedokteran Ilmiah
Indonesia. Suplementasi Asam Folat Sebagai Upaya Pencegahan Preeklampsia Pada Ibu Hamil
di Indonesia. Vol. III No. 01, Hal. 31
Hartono, Andry. (2014). Instant Access Ilmu Kebidanan. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher
Hidayat, A.Alimul. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika
Humas RSHS. (2014). Tahapan Mobilisasi Dini Post Operasi SC. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
James, David K & Steer, Philip J. (2011). High Risk Pregnancy Management Options. China: Elsevier
Kementerian Kesehatan RI. (2014). InfoDATIN Pusat Data dan Informasi. Kementerian Kesehatan RI.
Konar, Hiralal. (2015). DC Dutta’s Textbook Of Obstetrics. Eight Edition. Elsevier: China
Latin. (2014). Instant Access Ilmu Kebidanan. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher
Leveno, Kenneth J., Cunningham, Gary F., Gant, Norman F., Alexander, James M & Bloom, Steven L.
(2009). Williams Panduan Ringkas. Editor bahasa Indonesia, Egi Komara Yudha, Nike Budhi
Subekti. Ed. 21. Jakarta: EGC
Manuaba, Chandranita Ayu I., Manuaba, Fajar Gde Bagus I & Manuaba, Gde Bagus, I. (2009).
Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC
Marshall, Jayne & Raynor, Maureen. (2014). Myles Textbook For Midwives. Sixteenth Edition. China:
Elsevier
Medical record RSUD Ulin Banjarmasin. (2015, 2016). Buku Sensus Tahunan Ruang Nifas. RSUD Ulin
Banjarmasin.
Mitayani. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika
Nadesul, Hendrawan. (2009). Kiat Sehat Pranikah. Menjadi Calon Ibu, Membesarkan Bayi dan
Membangun Keluarga Muda. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Nanien, Indriani. (2011). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Preeklampsia/Eklamsia
Pada Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal Tahun 2011. Skripsi,
Universitas Indonesia.
Norwitz, Errol. R & Schorge, Jhon. O. (2007). At A Glance Obstetri dan Ginekologi. Edisi kedua. Jakarta:
Gelora Aksara Pratama
Nugroho, Taufan. (2012). Obsgyn : Obstetri dan Ginekologi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan
Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda. Jilid 2. Yogyakarta: Media Action
Prawirohardjo, Sarwono. (2008). Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed. 4, Cet. 4. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Pribadi, Adhi., Mose, Johannes. C & Anwar, Deborah A. (2015). Kehamilan Resiko Tinggi. CV. Jakarta:
Sagung Seto
Rahmadani, Apri., Noerjasin, Herlambang. & Zamri, Aywar. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Terjadinya Preeklampsia-Eklampsia. Hal. 3
Setiyaningrum, Erna. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternitas (Asuhan Kebidanan Patologi).
Jakarta: In Media
Siswosudarmo, Risanto & Emilia, Ova. (2008). Obstetri Fisiologi. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta:
EGC
Solehati, Tetti & Kosasih, Eli. C. (2015). Konsep dan Aplikasi Relaksasi Dalam Keperawatan
Maternitas. Jakarta: Refika Aditama
Sumarni, Sri., Hidayat, Syaifurrahman. & Mulyadi, Eko. (2012). Jurnal Kesehatan Wirajaja Medika.
Hubungan Gravida Ibu Dengan Kejadian Preeklampsia. Hal. 3
Tharpe, Nell. L & Farley, Cindy. L. (2012). Kapita Selekta : Praktik Klinik Kebidanan. Editor Edisi
Bahasa Indonesia, Pamilih Eko Karyuni. Ed. 3. Jakarta: EGC
Uliyah, Musrifatul & Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Praktikum Keterampilan Dasar Praktik Klinik:
Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika