Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan
tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air dan zat terlarut. Elektrolit adalah zat kimia
yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan.
Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV)
dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya
distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh.
Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan lainnya; jika salah satu
terganggu, maka demikian pula lainnya.
Karena cairan dan elektrolit yang menciptakan lingkungan intraseluler dan ekstraseluler bagi
semua sel dan jaringan tubuh, maka ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi pada
semua golongan penyakit.
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi sehingga tidak dapat memenuhi
kebutuhan oksigen jaringan. Sindroma klinis ini disebabkan oleh ketidak seimbangan antara
kebutuhan oksigen dan pasokan oksigen ke jaringan. Terganggunya pasokan oksigen merupakan
problem primer pada syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok obstruktif dan syok distributif.
Syok diatasi dengan resusitasi cairan. Tujuan resusitasi cairan adalah untuk memperbaiki gangguan
sirkulasi, sehingga kebutuhan oksigen jaringan dapat terpenuhi.

3
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI CAIRAN

A. Anatomi Cairan Tubuh


Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah
tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1
tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun
mengandung air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase
jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-
60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan. Hal ini terlihat pada
tabel berikut :
Usia Kilogram Berat (%)
3 bulan 80
6 bulan 70
1-2 tahun 59
11-16 tahun 58
Dewasa 58-60
Dewasa dengan obesitas 40-50
Dewasa kurus 70-75
Dikutip dari : Garner MW: Physiology and pathophysiology of the body fluid, St.Louis,
1981, Mosby.
Air adalah pelarut bagi semua zat terlarut dalam tubuh baik dalam bentuk suspensi
maupun larutan. Air tubuh total (TBW, total body water), yaitu persentase dari berat air
dibandingkan dengan berat badan total, bervariasi menurut jenis kelamin, umur dan
kandungan lemak tubuh. Air membentuk sekitar 60% dari berat seorang pria dan sekitar
50% dari berat badan wanita. Pada orangtua, TBW sekitar 45% sampai 50% dari berat
badannya. Karena lemak pada dasarnya bebas air, maka makin sedikitnya lemak akan
mengakibatkan makin tingginya persentase air dari berat badan orang itu. Sebaliknya,
jaringan otot memiliki kandungan air yang tinggi. Oleh karena itu dibandingkan dengan
orang kurus, orang gemuk mempunyai TBW yang relatif lebih kecil dibandingkan berat
badannya. Secara proporsional, wanita umumnya mempunyai lebih banyak lemak, dan lebih
sedikit otot jika dibandingkan dengan pria, sehingga kandungan airnyapun lebih kecil
dibandingkan dengan berat badannya. Orang yang lebih tua juga mempunyai persentase
lemak tubuh yang lebih tinggi jika dibandingkan orang muda. Akhirnya TBW paling tinggi
4
pada bayi baru lahir, yaitu 75% dari berat badan totalnya. Persentase ini akan cepat menurun
sampai menjadi sekitar 60% pada akhir tahun pertama, dan kemudian berangsur-angsur
turun sampai mencapai proporsi orang dewasa pada usia menjelang dewasa.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Pada orang dewasa kira-kira 40% berat badannya atau dua
pertiga dari TBW-nya berada di dalam sel atau disebut sebagai cairan intraseluler (ICF).
Sisanya yaitu sepertiga TBW atau 20% dari berat badan, berada di luar sel, disebut sebagai
cairan ekstraseluler (ECF). Bagian cairan ekstraseluler dibagi lagi menjadi bagian cairan
interstitiel-limfe (ISF) yang terletak diantara sel (15%) dan cairan intravaskuler (IVF) atau
plasma (5%). Selain ISF dan IVF, sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan
intraokuler, dan sekresi saluran cerna, membentuk sebagian kecil (1% sampai 2% dari berat
badan) dari cairan ekstraseluler yang disebut sebagai cairan transeluler.
1. Cairan intra seluler
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa,
sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter
rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya
pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.
2. Cairan ekstraseluler
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari
cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan
ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan
sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg. Cairan ekstraseluler
dibagi menjadi :
a. Cairan interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11-12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif
terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir
dibandingkan orang dewasa.
b. Cairan intravaskuler
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

5
c. Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.
Elektrolit merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.
Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan
anion dalam larutan adalah selalu sama.
1. Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation utama
dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding
sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
2. Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-),
sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-).
Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama
maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak
mencerminkan komposisi cairan intraseluler.
1. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di dalam
mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.12 Kadar
natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:
a. Left atrial stretch reseptor
b. Central baroreseptor
c. Renal afferent baroreseptor
d. Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
e. Atrial natriuretic factor
f. Sistem renin angiotensin
g. Sekresi ADH
h. Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat
berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan
keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl). Natrium
dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan
6
keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah, diare) sedangkan
pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium.
Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari
cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari
dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah
kegagalan sirkulasi.
2. Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting di
dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh
sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat
berpindah adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel. Kadar kalium plasma
3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat
berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90
mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.
3. Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan lewat
faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake,
besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh
kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%)
ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam
sel.
4. Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk pertumbuhan +10
mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.
5. Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir
daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat
yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat
penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.
Zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh selain air dan elektrolit ada zat non elektrolit.
Zat non elektrolit merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam
cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.
B. Asupan dan Kehilangan Cairan dan Elektrolit pada Keadaan Normal
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres
akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru,
7
kulit atau traktus gastrointestinal. Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-
rata sebanyak 2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan
kehilangan cairan rata-rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml
kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu
1. Perubahan volume
a. Defisit Volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling
umum. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat
muntah, penyedot nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat
berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan,
peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang
cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada
kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan
ekstraselular yang berat terjadi.
Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari
natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau
hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering
terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10%
dari kasus.
1) Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama
dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium
besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen
ekstravaskular.
2) Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis).
Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air
yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen
intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan
penurunan volume intravaskular.
3) Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan
kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara
garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang
hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah
8
ke kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume
intravaskular.
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic
(pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl
ataupun pemberian cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air)
ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis,
ataupun gagal jantung kongestif.9,10 Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika
terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.
2. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi,
iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan
timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah,
third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat
diterapi dengan restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-
X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg. Koreksi hiponatremia yang
sudah berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan, sedangkan untuk
hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan
dapat menggunakan rumus :
Na= Na1 – Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang actual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,
letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan
(diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang,
asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%
dekstrose dalam air sebanyak :
{(X-140) x BB x 0,6}: 140.12

9
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari
cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium
tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan
EKG (QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot
skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi
faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida
sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium
klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia
berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat). Rumus untuk
menghitung defisit kalium:
K = (K1 – K0) x 0,4 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau
obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin,
diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia,
kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi
untuk hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit,
sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.
3. Perubahan komposisi
a. Asisdosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan
ventilasi alveolar. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat
termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi
abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan.
Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi
endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene
trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang
dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi
10
sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk
mengkoreksi masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia,
penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang
terjadi.
c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan
bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus
kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah
peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok,
diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol.
Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah
kompensasi alkalosis respirasi digunakan.
d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat
dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah
adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang
digunakan adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium.
Koreksi alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH,
PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.
C. Patofisiologi Cairan Tubuh
Tiga kategori umum dari perubahan yang menjelaskan abnormalitas cairan tubuh
adalah: volume, osmolalitas, dan komposisi. Meskipun gangguan-gangguan pada ketiga hal
ini saling berhubungan, tapi sesungguhnya masing-masing merupakan bagian yang terpisah.
Ketidakseimbangan volume terutama mempengaruhi cairan ekstraseluler (ECF) dan
menyangkut kehilangan atau bertambahnya natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama,
sehingga berakibat kekurangan atau kelebihan volume ECF. Misalnya, kehilangan cairan
ECF isotonik yang mendadak, seperti yang terjadi pada diare, diikuti dengan penurunan
yang bermakna pada volume cairan intraseluler (ICF). Cairan tidak akan berpindah dari ICF
ke ECF selama osmolalitas pada kedua kompartemen tetap sama. Gangguan volume ECF
umumnya diketahui dari gejala dan tanda klinis.
Ketidakseimbangan osmotik terutama mempengaruhi ICF dan menyangkut
kehilangan atau bertambahnya natrium dan air dalam jumlah yang relatif tidak seimbang.
Jika hanya air saja yang hilang, atau bertambahnya air yang berasal dari ECF, maka
konsentrasi partikel-partikel yang aktif secara osmotik akan berubah. Ion natrium
11
merupakan 90% dari partikel-partikel yang aktif secara osmotik pada ECF, dan umumnya
mencerminkan osmolalitas dari kompartemen cairan tubuh. Jika konsentrasi natrium pada
ECF menurun, maka air berpindah dari ECF ke ICF (menyebabkan pembengkakan sel)
sampai tercapainya kembali keseimbangan osmolalitas pada kedua kompartemen.
Sebaliknya jika konsentrasi natrium pada ECF naik, maka air akan berpindah dari ICF ke
ECF (menyebabkan pengkerutan sel), sampai tercapai kembali keseimbangan osmolalitas
pada kedua kompartemen. Gangguan osmotik umumnya berkaitan dengan hiponatremi dan
hipernatremi, sehingga nilai natrium serum penting untuk mengenali keadaan ini.
Kekurangan volume ECF atau hipovolemia didefinisikan sebagai kehilangan cairan
tubuh isotonik, yang disertai kehilangan natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama.
Kekurangan volume isotonik seringkali disalahartikan sebagai dehidrasi.
Kekurangan volume cairan adalah keadaan yang umum terjadi pada berbagai
keadaan dalam klinik. Keadaan ini hampir selalu berkaitan dengan kehilangan cairan tubuh
melalui ginjal atau diluar ginjal. Penurunan volume cairan lebih cepat terjadi jika kehilangan
cairan tubuh yang abnormal disertai dengan penurunan asupan.
Penyebab tersering kekurangan volume cairan adalah kehilangan sebagian dari
sekresi saluran cerna (total 8L/ hari). Kehilangan yang bermakna dapat terjadi pada muntah
yang berkepanjangan, penyedotan nasogastrik, diare berat, fistula, atau perdarahan. Karena
konsentrasi natrium pada cairan ini tinggi, maka kehilangan cairan ini merupakan gabungan
dari kekurangan natrium dan air. Sekresi lambung juga mengandung ion kalium dan
hidrogen dalam jumlah besar, maka kekurangan volume di atas sering disertai alkalosis dan
hipokalemia. Kehilangan sekresi saluran cerna bagian bawah, yang mengandung banyak
bikarbonat selain natrium dan kalium, sering mengakibatkan kekurangan volume cairan
yang disertai asidosis metabolik dan hipokalemia.
Penyebab-penyebab kekurangan volume cairan lain yang sering terjadi adalah
tersimpannya cairan pada cedera jaringan lunak, luka bakar berat, peritonitis atau obstruksi
saluran cerna. Terkumpulnya cairan di dalam ruang non ECF dan non-ICF disebut
penempatan pada ruang ketiga. Yang dimaksud adalah distribusi cairan yang hilang ke
ruang tertentu dimana tidak mudah terjadi pertukaran dengan ECF. Pada prinsipnya cairan
menjadi terperangkap dan tidak dapat dipakai oleh tubuh. Penumpukan volume cairan yang
cepat dan banyak pada ruang-ruang seperti itu berasal dari volume ECF sehingga dapat
mengurangi volume sirkulasi darah efektif.

12
D. Cairan Intravena
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap
pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok
anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama.
Kriteria cairan kristaloid
a. Mengandung zat dengan Berat Molekul rendah (<8000 dalton)
b. Dengan atau tanpa glukosa
c. Tekanan onkotik rendah  cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraseluler
d. Efek volume interstisiel lebih baik daripada koloid
e. Lebih sering menyebabkan sembab perifer dibandingkan dengan cairan koloid
f. Potensial menyebabkan sembab paru sama dengan cairan koloid
g. Contoh: Ringer Laktat, NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30
menit. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru
serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila
seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian lain menunjukkan pemberian
sejumlah cairan kristaloid dapat mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu,
pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan
meningkatnya tekanan intra kranial.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer
Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi
cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami
metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering
digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar
bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

13
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini
cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada
syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar). Kerugian dari plasma expander
yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada “cross match”.
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%)
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Prekallikrein activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat dalam
fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infuse
dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.
b. Koloid sintesis
1) Dextran
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70
(Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri
Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun
Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan
Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi
mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu
Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan
melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat
mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal
ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu
dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

14
2) Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata
71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian
500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam
waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase (
walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch)
mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali
volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya
sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan
tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk
resusitasi cairan pada penderita gawat.
3) Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-
rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
a) modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
b) Urea linked gelatin
c) Oxypoly gelatin
Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat.
Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan
urea linked gelatin.
3. Cairan Kombinasi

15
BAB III
SYOK HIPOVOLEMIK

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang
serius seperti perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik),
infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak
terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat
respons imun (syok anafilaktik).
A. Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah dalam
pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif atau
kehilangan plasma darah.
Syok hipovolemik disebabkan oleh turunnya volume intravaskuler lebih dari 15-20%.
Perdarahan adalah penyebab tersering dari syok hipotensif tetapi defisit volume darah dapat
juga disebabkan oleh kehilangan protein plasma, garam, dan air. Keadaan-keadaan klinik
yang biasanya berkaitan dengan syok hipovolemik mencakup trauma, luka bakar, peritonitis,
pankreatitis, muntah berat, diare, fistula dan diuresis.
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya
terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh
seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang
besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500–1000 ml perdarahan atau fraktur
femur menampung 1000–1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma
atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
a. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
b. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
B. Patofisiologi Syok
Proses patofisiologi yang umum pada syok dapat diterapkan pada syok hipovolemik.
Pada dasarnya kerusakan sel-sel diakibatkan oleh gangguan mikrosirkulasi akibat adanya

16
penurunan curah jantung. Mekanisme kompensasi mencakup otoregulasi pembuluh darah
organ dan adanya kenaikan pelepasan simpatoadrenal. Kenaikan katekolamin yang beredar
berakibat rangsangan terhadap debar jantung dan kontraktilitas serta vasokonstriksi.
Konstriksi terjadi di arteriole dan pembuluh vena kapasitans, sehingga ini merupakan upaya
untuk mengembalikan tekanan darah dan memelihara venous return. Vasokonstriksi pada
mulanya bermanfaat oleh karena darah dialirkan dari organ-organ yang kurang vital (kulit,
ginjal, usus) ke organ-organ yang lebih vital seperti otak dan jantung.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah
yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan.
Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme
anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam
laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam
klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis
adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera
dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan
prioritas utama.
Pada awal syok terjadi hiperventilasi karena adanya rangsangan terhadap kemoreseptor
dan adanya asidosis metabolik. Frekuensi pernapasan meningkat kadang-kadang sampai 3 kali
normal, tetapi volume tidal sering turun. Banyak ventilasi yang menjadi percuma oleh karena
aliran pembuluh paru menurun. Kenaikan ventilasi dead space dibarengi oleh kenaikan
ventilasi: ketidakseimbangan perfusi. Shunt yang sebenarnya meningkat kemudian, sebagai
akibat adanya edema paru dan atelektasis.
Sebagai akibat dari hipotensi dan hipovolemi cairan bergerak cepat ke dalam sirkulasi
dan ruang interstisiel. Vasokonstriksi lebih besar pada arterioral (prekapiler) dibandingkan
dengan tahanan (resistance vessels) venular (post kapiler) dari pada anyaman kapiler. Jadi
tahanan kapiler rata-rata menurun dan cairan berpindah ke ruang vaskuler dengan cara
osmosis.
Proses yang sebaliknya terjadi pada syok akhir (late shock) ketika konstriksi naik,
sehingga cairan berpindah ke dalam ruang jaringan. Kehilangan cairan dari sirkulasi juga
didorong oleh berkumpulnya metabolit-metabolit zat vasoaktif yang menaikkan permeabilitas
kapiler. Hemokonsentrasi dan hipovolemi terjadi akibat kehilangan cairan intravaskuler.
Zat-zat vasoaktif yang dilepaskan ke dalam sirkulasi pada syok meliputi histamin, kinin,
dan prostaglandin. Sebagian kinin terjadi dari enzim-enzim proteolitik yang dilepaskan oleh
pemecahan lysosomes. Zat-zat vasoaktif bertanggung jawab terhadap vasodilatasi, kenaikan
permeabilitas kapiler dan efek-efek lain yang meluas terhadap otot-otot halus, jantung dan
17
mikrosirkulasi disebabkan oleh agregasi platelet dan eritrosit. Pengentalan ini menaikkan
viskositas, menurunkan aliran darah di pembuluh darah kecil dan bisa menjadi predisposisi
untuk DIC.
Penurunan perfusi jaringan menghambat metabolisme sel. Metabolisme anaerob
menyebabkan laktic asidosis, hiperglikemia, dan kegagalan sodium pump. Akibatnya sel-sel
rusak oleh influks Na dan air, dan K berdifusi keluar cairan ekstrasel.
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah
jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian
pada beberapa organ:
a. Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung menurun, tahanan vaskuler sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan
otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal.
Kebutuhan energi untuk melaksanakan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi
tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya
sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi
iskemia yang sangat berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan
otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial pressure/ MAP) jatuh hingga ≤ 60
mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan
terganggu.
b. Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor
tubuh. Kedua reeptor tersebut berperan dalam respon autonom tubuh yang mengatur
perfusi serta substrat lain.
c. Kardiovaskuler
Tiga variabel seperti: pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan
kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung,
penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali dari volume sekuncup dan
frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada
akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat
bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
curah jantung.

18
d. Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan
absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati dalam usus. Hal
ini memacu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan
memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.
e. Ginjal
Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak
terjadi kini adalah nekrosis tubuler akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan
pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi.
Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air.
Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteiol aferen meningkat untuk
mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan
vasopresin bertanggungjawab terhadap menurunnya produksi urin.
C. Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non perdarahan atau
perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok.
Respon fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung
sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi
peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon
stress serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan
cairan interstisiel, intraseluler dan menurunkan produksi urin.
Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan dengan
sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Pada
hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia
lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, Namun dapat
ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka
gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastis dan tak stabil walau dalam
posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke
susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan
kesadaran adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi
bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki
penyakit berat dimana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari
terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat.

19
BAB IV
PENATALAKSANAAN SYOK HIPOVOLEMIK

A. Penatalaksanaan Secara Umum


1. Manajemen Airway
Kalau kesadaran berkabut/ menurun, jalan napas yang bebas harus diamankan.
Oksigen diberikan melalui suatu semi-rigid mask dengan laju aliran tinggi. Terapi
oksigen adalah keharusan pada semua penderita syok. Bila ventilasi tidak baik, intubasi
dan ventilasi terkontrol dilaksanakan. Kanula intravena yang besar dipasang dan
masalah primer diatasi dimana diperlukan (misalnya menghentikan perdarahan).
2. Prinsip Terapi Cairan
Jenis cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kekurangan cairan intravaskuler
akan tergantung pada situasi klinis. Secara umum, plasma diperlukan pada luka bakar,
peritonitis, dan obstruksi usus, sedangkan cairan kristaloid diperlukan pada kehilangan
cairan melalui kehilangan gastrointestinal, diuresis dan dehidrasi akibat berkeringat.
Darah dibutuhkan bila perdarahan melebihi 25% dari volume darah. Bila
kehilangan darah lebih sedikit ini dapat diatasi dengan cairan kristaloid atau plasma
ekspander oleh karena mekanisme kompensasi sangat efektif sampai hematokrit turun di
bawah 0,2. Cairan kristaloid terutama garam fisiologik merupakan suplemen yang
bermanfaat terhadap transfusi darah pada syok hemorhagik, tetapi dibutuhkan volume
yang setara dengan 3 kali volume darah yang hilang, oleh karena akan terjadi distribusi
ke jaringan, yang dapat meningkatkan risiko timbulnya edema paru. Karenanya larutan
koloid (plasma ekspander) sebaiknya digunakan dengan kristaloid. Hematokrit sebesar
0,3, yang optimal untuk transportasi oksigen, sebaiknya dipertahankan.
3. Monitoring
Monitoring rutin harus meliputi debar dan irama jantung, tekanan darah, pernapasan,
keluaran urin, dan suhu. Penggantian cairan diawasi dengan CVP dan dimana ada
indikasi, dengan menentukan tekanan wedge kapiler paru. Hematokrit serial, gas darah,
dan penentuan kadar elektrolit membantu menilai manfaat terapi.
4. Tindakan supportif
a. Terapi elektrolit dan asam basa
Kebanyakan problem asam basa pada syok hipovolemik membaik dengan spontan
bila dilakukan penggantian cairan dan perbaikan ventilasi. Asidosis metabolik berat
yang menetap merupakan tanda prognostik yang jelek dan merupakan indikasi/

20
pemberian bikarbonat. Gangguan elektrolit harus dikoreksi bersamaan dengan
pemberian cairan.
b. Obat-obat inotropik
Stimulan jantung diberikan bila keadaan syok tetap ada meskipun pemberian cairan
yang cukup, yang dinilai CVP dan PCWP, telah diberikan. Dopamin adalah obat
pilihan, dan diberikan dengan takaran 5-30 ug/kgBB/menit melalui infus.
c. Diuretik
Kalau oliguri tetap ada meskipun volume darah cukup, harus diberikan furosemid
10 mg iv. Bila tidak ada respon, harus dibedakan adanya kegagalan prerenal atau
nekrosis tubular akut dengan memberikan manitol dan dosis tinggi furosemid.
d. Steroid
Penggunaan kortikosteroid pada syok hipovolemik adalah kontroversial. Tidak ada
bukti-bukti yang kuat, Namun steroid dosis tinggi yang diberikan seawal mungkin
bermanfaat melalui efek vasodilatasi, inotropik, lysosime-stabilizing, dan efek
metabolisme seluler. Dosisnya adalah 150 mg hidrokortison/kg (atau ekivalennya),
diulangi setiap 4-6 jam selama 24-48 jam.
B. Resusitasi Cairan Pada Syok Hipovolemik
Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan hipovolemia yaitu
menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk
mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang hilang
dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan yang hilang berasal dari cairan ekstraseluler
(intravaskuler dan interstisium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan isotonik.
Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan interstisium dan intravaskuler adalah sama, maka
penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada persen berkurangnya plasma (cairan
intravaskular).
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan
menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus
merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan
pasien.
Bila perdarahan sebaiknya diganti dengan darah juga. Bila persediaan darah tidak ada,
dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan ringer-
laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam intravaskuler, sedangkan cairan kristaloid akan
masuk sebanyak dua pertiganya ke cairan interstisium. Bila cairan keluar dari saluran
intestinal (diare atau muntah), jenis cairan pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau ringer-
21
laktat. Pada diare lebih dianjurkan pemberian ringer-laktat oleh karena potensi terjadinya
asidosis metabolik pada diare berat.
Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6% dari berat badan orang dewasa.
Sebagai contoh, deplesi volume ringan (20%) pada orang dewasa seberat 60 kg, volume
cairan yang hilang sebesar 20% dari 3,6L adalah 0,72L (720mL). Kecepatan pemberian
cairan tergantung pada keadaan klinis yang terjadi. Pada deplesi volume yang berat,
kecepatan cairan diberi dalam waktu yang cepat hingga terjadi perbaikan takikardia dan
tekanan darah.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan
isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk
resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada
pasien kombustio 18--24 jam sesudah cedera luka bakar.
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid,
koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan
cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan
reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat
berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis
yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam
jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai
cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat
terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada
hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer
Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati
berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat
membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti
kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.
Pada dehidrasi :
1. Tentukan defisit
2. Atasi syok
a. Cairan infus 20-40 ml/kg secepatnya
22
b. Dapat diulang
3. Sisa defisit
a. 50% dalam 8 jam pertama + maintenance
b. 50% dalam 16 jam berikutnya + maintenance
Pada Perdarahan
1. Tentukan Blood Loss (ada 3 cara)
Tabel 1
ESTIMASI BLOOD LOST GEJALA – TANDA
% EBV
10 – 15 % minimal
15 – 25 % Preshock, akral mulai dingin
25 - 35 % Shock, perfusi menurun, T < 90, N > 120
> 35 – 50% Shock berat, perfusi sangat buruk, tensi tak
terukur, nadi tak teraba dan gangguan kesadaran

Tabel II
Class Lost EBV Tekanan Darah Nadi Tanda Lain
I < 15 % Masih normal < 100 Agak gelisah
(<10 ml/kg) Hipotensi Postural + Napas 14-20
II 15 – 30 % Sistolik + tetap > 100 Agak gelisah
(10-20 ml/kg) Tek. Nadi menurun Napas 20 – 30
Hipotensi postural
III 30 – 40 % Sistolik turun > 120 Cap. Refill lambat
(20-30 ml/kg) Oliguria
Gelisah, bingung
Napas : 30 – 40
IV > 40 % Sistolik sangat turun >140 Kulit dingin keabu-
( >30 ml/kg) abuan
Anuria
Bingung lethargy
Sumber : Klasifikasi dari Stene-Gieseck (1991) & ACS (1993)

23
Tabel III
KELAS I KELAS II KELAS III KELAS IV
Kehilangan darah sp > 750 cc 750 cc – 1500 cc 1500- 2000 cc > 2000 cc
Sp 15% EBV 15-30 % EBV 30-40% EBV > 40% EBV
Denyut nadi < 100 x/m > 100 x/m > 120 x/m > 140 x/m
Tekanan darah Normal Mulai menurun Sangat menurun Tak terukur
Tekanan nadi Normal Menurun Sangat menurun Sangat
menurun
Frequensi 14 – 20 20 – 30 5 – 15 > 40
pernapasan
Produksi urine > 30 20 – 30 5 - 15 Tidak ada
( ml/jam )
Kesadaran Sedikit cemas Cemas Cemas-bingung Lesu – coma
Kesadaran
mulai menurun
Replacement Kristaloid Kristaloid Kristaloid + Kristaloid +
therapy darah darah
Sumber : ATLS
2. Atasi Syok
a. Cairan infus 20-40 ml/kg secepatnya
b. Dapat diulang

24
BAB V
SIMPULAN

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik
ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-
organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti
perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas
atau emboli paru (syo kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok septik), tonus
vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respons imun (syok anafilaktik).
Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan hipovolemia yaitu
menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk mengetahui
jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang hilang dari tubuh. Pada
hipovolemia, cairan yang hilang berasal dari cairan ekstraseluler (intravaskuler dan interstisium)
oleh karena cairan yang hilang adalah cairan isotonik. Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan
interstisium dan intravaskuler adalah sama, maka penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada
persen berkurangnya plasma (cairan intravaskular).
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan
kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan
fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek
terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Bila perdarahan sebaiknya
diganti dengan darah juga. Bila persediaan darah tidak ada, dapat diberikan cairan koloid atau
cairan kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan ringer-laktat.

25
DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati, 2006.
Keseimbangan Cairan dan Elektrolit dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: FKUI.

Fakultas Kedokteran Unpad. 2003. Protokol Tindakan Bedah. Bandung: Unpad Press.

Graber, M. A. 2003. Terapi cairan, Elektrolit dan Metabolik Ed.2. Jakarta: Farmedia.

Harnawatiaj, 2008. Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) pada Syok Hipovolemik dalam
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/16/terapi-cairan-intravena/.

Hartanto, Widya W. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran.

Kaswiyan, U. 2000. Terapi Cairan Perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi. Bandung:
Fakultas Kedokteran Unpad/ RS. Hasan Sadikin.

Latief, A.S., dkk. 2002. Petunjuk Praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan. Ed.
Kedua. Jakarta: Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.

Leksana, E. 2004. Terapi Cairan dan Elektrolit. Semarang: Smf/bagian anestesi dan terapi intensif
FK Undip.

Muhardi, Indro Mulyono, Adji Suntoro, O.E. Tampubolon. 1989. Syok Hipovolemik dalam
Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit. Jakarta: FKUI. Hal:79-82.

Silvia A. Price, Orraine M. Wilson.1995. Gangguan Cairan dan Elektrolit dalam Patofisiologi
konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sunatrio, S. 2000. Resusitasi cairan. Jakarta: Media Aesculapius.

Toni Ashadi, 2008. Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) pada Syok Hipovolemik dalam
http://www.tempointeraktif.com/medika/arsip/012001/sek-1.htm

26

Anda mungkin juga menyukai