Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PPOK Eksaserbasi Akut
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), merupakan suatu penyakit paru
yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang bearcun atau berbahaya. 1,2,3,4. Eksaserbasi dan
komorbiditas secara keseluruhan memperberat tingkat keparahan penyakit pasien
PPOK.
PPOK merupakan penyebab morbiditas dan kematian ke-4 terbesar di
dunia. World Health Organization memprediksi pada tahun 2020, PPOK akan
meningkat dari peringkat 12 menjadi peringkat 5 penyakit terbanyak dan dari
peringkat 6 menjadi peringkat 3 penyebab kematian di seluruh dunia. The Global
Burden of Disease Study memperkirakan PPOK akan menjadi peringkat empat
penyebab kematian pada tahun 2030. PPOK di Indonesia juga akan meningkat
akibat faktor pendukungnya yakni kebiasaan merokok yang masih merupakan
perilaku yang sulit dihentikan disamping polusi udara dan lingkungan yang belum
dapat dikendalikan dengan baik serta pertambahan usia harapan hidup masyarakat
Indonesia.
1
PPOK eksaserbasi akut didefinisikan sebagai suatu kejadian akut yang
ditandai dengan memburuknya gejala respiratori pasien yang melebihi variasi
normal hari ke hari dan menyebabkan perlunya perubahan pengobatan.
3
1,5 PPOK
eksaserbasi merupakan kejadian penting pada perjalanan penyakit karena:
- Memberi pengaruh negatif pada kualitas hidup pasien
1
- Memberi efek pada fungsi paru yang membutuhkan waktu beberapa minggu
untuk perbaikan
- Mempercepat tingkat penurunan fungsi paru
- Berhubungan dengan meningkatnya kematian secara signifikan, terutama pada
mereka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
- Mengakibatkan tingginya biaya sosial ekonomi.
Eksaserbasi dari PPOK dapat dicetuskan oleh berbagai fakor. Penyebab
paling sering adalah infeksi saluran nafas (virus atau bakteri). Studi bronkoskopik
menunjukkan bahwa sedikitnya 50% pasien memiliki bakteri pada saluran nafas
bagian bawah selama eksaserbasi dari PPOK, tetapi proporsi signifikan dari
pasien tersebut juga memiliki bakteri yang berkolonisasi pada saluran nafas
bagian bawah pada fase PPOK stabil. Terlihat bahwa terjadinya peningkatan kerja
bakteri selama terjadinya eksaserbasi PPOK, dan bertambahnya strain bakteri
yang baru. Polusi udara juga dapat mencetuskan eksaserbasi PPOK. Eksaserbasi
dari gejala respiratori (terutama dispnu) pada pasien PPOK dapat terjadi dengan
mekanisme berbeda yang dapat terjadi secara bersamaan pada pasien yang sama.
Kondisi yang mirip dan/atau memperburuk eksaserbasi, yaitu pneumonia, emboli
paru, penyakit jantung kongestif, aritmia jantung, pneumotoraks, efusi pleura dan
kondisi tersebut harus dianggap sebagai diagnosa banding dan diterapi apabila
ditemukan.
Pasien PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien
mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi yang sebelumnya stabil dan
dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan
pengobatan yang biasa digunakan. Eksaserbasi ini biasanya disebabkan oleh
infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara atau obat golongan
sedatif. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi ini tidak diketahui. Pasien yang
mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala yang khas seperti sesak
nafas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau
purulensi sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti
malaise, fatigue dan gangguan susah tidur. Roisin membagi gejala klinis PPOK
eksaserbasi akut menjadi gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi
yaitu berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan
purulensi sputum, batuk yang semakin sering dan nafas yang dngakal dan cepat.
Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan deyut nadi
serta gangguan status mental pasien.
1
5
Universitas Sumatera Utara
Risiko PPOK : Placebo-limb data dari TORCH, Uplift dan Eclipse
GOLD
Exacerbations Hospitalization
Spirometric 3-year mortality
(per year) (per year)
Level
GOLD 1: Mild ? ? ?
GOLD 2:
0.7-0.9 0.11-0.2 11%
Moderate
GOLD 3: Severe 1.1-1.3 0.25-0.3 15%
GOLD 4: Very
1.2-2.0 0.4-0.54 24%
Severe
Dikutip dari: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
EPIDEMIOLOGI
1
Dari systemic review dan penelitian metaanalisis yang dilakukan pada 28
negara antara tahun 1994-2004, dan studi tambahan dari Jepang, memberikan
bukti bahwa prevalensi PPOK cukup tinggi pada: perokok dan mantan perokok
dibandingkan dengan bukan perokok; usia diatas 40 tahun; pria dibandingkan
dengan wanita.
PPOK merupakan penyebab kematian nomor empat di Amerika Serikat
dan sekitar 500.000 orang pertahun memerlukan perawatan rumah sakit karena
eksaserbasi PPOK. Pasien dengan PPOK biasanya menunjukkan dekompensasi
akut dari penyakit mereka satu sampai tiga kali dalam satu tahun. Dari eksaserbasi
yang dilaporkan, 3-16% memerlukan perawatan di rumah sakit. Kematian pada
rawat inap berkisar 3-10% pada pasien PPOK berat. Kematian 180 hari, satu
tahun dan 2 tahun setelah perawatan rumah sakit adalah 13.4%, 22%, dan 35.6%.
Tingkat kematian rumah sakit setelah perawatan ICU adalah 15-24% dan menjadi
30% pada pasien lebih dari 65 tahun.
1
Di Hong Kong, PPOK merupakan penyebab kematian ke 5, dan penyebab
4% dari seluruh perawatan akut di rumah sakit pada tahun 2003. Prevalensi PPOK
lansia di Cina (umur > 70 tahun) yang tinggal di Hong Kong diperkirakan
mencapai 7%.
9
13
Universitas Sumatera Utara
PATOFISIOLOGI
Merokok dan berbagai partikel berbahaya seperti inhalasi dari biomass
fuels menyebabkan inflamasi pada paru, respons normal ini kelihatannya berubah
pada pasien yang berkembang menjadi PPOK. Respons inflamasi kronik dapat
mencetuskan destruksi jaringan parenkim (menyebabkan emfisema), mengganggu
perbaikan normal dan mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis jalan nafas
kecil). Perubahan patologis ini menyebabkan air trapping dan terbatasnya aliran
udara progresif, mengakibatkan sesak nafas dan gejala khas PPOK lainnya.
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK muncul sebagai modifikasi dari
respons inflamasi saluran nafas terhadap iritan kronik seperti merokok.
Mekanisme untuk menjelaskan inflamasi ini tidak sepenuhnya dimengerti tetapi
mungkin terdapat keterlibatan genetik. Pasien bisa mendapatkan PPOK tanpa
adanya riwayat merokok, dasar dari respons inflamasi pasien ini tidak diketahui.
Stres oksidatif dan penumpukan proteinase pada paru selanjutnya akan mengubah
inflamasi paru. Secara bersamaan, mekanisme tersebut menyebabkan karakteristik
perubahan patologis pada PPOK. Inflamasi paru menetap setelah memberhentikan
merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, walaupun autoantigen dan
mikroorganisme persisten juga berperan.
1
Perubahan yang khas pada PPOK dijumpai pada saluran nafas, parenkim
paru, dan pembuluh darah paru. Perubahan patologi tersebut meliputi: inflamasi
kronik, dengan peningkatan sejumlah sel inflamasi spesifik yang merupakan
akibat dari trauma dan perbaikan berulang. Secara umum, inflamasi dan
perubahan struktur pada jalan nafas meningkat dengan semakin parahnya penyakit
dan menetap walaupun merokok sudah dihentikan.
1
DIAGNOSIS
1
Diagnosis klinis PPOK harus disangkakan pada pasien dengan gejala
dispnu, batuk kronik atau produksi sputum, dan/atau adanya riwayat pemaparan
terhadap faktor risiko PPOK. Spirometri dibutuhkan untuk membuat diagnosis,
bila didapatkan post-bronchodilator FEV1/FVC < 0.7, menegaskan adanya
terbatasnya aliran udara persisten dan dianggap sebagai PPOK. FEV1 dan FVC
Universitas Sumatera Utara
dapat memprediksi seluruh penyebab kematian independen pada perokok dan
fungsi paru abnormal.
Gejala khas dari PPOK adalah dispnu kronik dan progresif, batuk dan
produksi sputum. Batuk kronik dan produksi sputum dapat menjadi awal
berkembangnya menjadi terbatasnya aliran udara bertahun tahun kemudian.
Pemeriksaan fisik jarang dapat mendiagnosis PPOK. Gejala klinis dari terbatasnya
aliran udara biasanya tidak terlihat sampai terjadinya gangguan fungsi paru
signifikan, dan deteksi ini biasanya memiliki sensitifitas dan spesifitas yang
rendah. Spirometri merupakan pengukuran yang objektif terhadap terbatasnya
aliran udara. Pengukuran Peak expiratory flow (PEF) saja tidak dapat diandalkan
sebagai tes diagnostik, karena walaupun memilik sensitifitas yang baik, tapi
spesifitasnya rendah.
1
1
Klasifikasi keparahan dari keterbatasan aliran udara pada PPOK
Classification of Severity of
Airflow Limitation in COPD
(Based on Post-
Bronchodilator FEV1)
In Patients with FEV1
GOLD 1: Mild FEV
/FVC < 0.7:
1
GOLD 2: Moderate 50% ≤
FEV
> 80% predicted
1
GOLD 3: Severe 30% ≤
FEV
< 80% predicted
1
GOLD 4: Very Severe FEV
< 50% predicted
1 < 30% predicted
Dikutip dari: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
Diagnosis eksaserbasi berdasarkan pada temuan klinis dari pasien yang
mengeluhkan perubahan gejala akut (gejala biasanya dispnu, batuk, dan/atau
produksi sputum) yang semakin memberat hari ke hari.
1
1
Universitas Sumatera Utara
Penilaian dari eksaserbasi PPOK: riwayat klinis
Assessment of COPD
Exacerbations: Signs of
Severity
• Severity of COPD based
on degree of airflow
limitation
• Duration of worsening or
new symptoms
• Number of previous
episodes
(total/hospitalizations)
• Comorbidities
• Present treatment regimen
• Previous use of mechanical
ventilation
Dikutip dari: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 1
Penilaian dari eksaserbasi PPOK: tanda keparahan
Assessment of COPD
Exacerbations: Medical
History
• Use of accessory
respiratory muscles
• Paradoxical chest wall
movements
• Worsening or new onset
central cyanosis
• Development of peripheral
edema
• Hemodynamic instability
• Deteriorated mental status
Dikutip dari: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 1
Tes lain yang duanggap dapat menilai keparahan dari eksaserbasi :
- Pulse oximetry dan analisa gas darah. Penilaian status asam basa diperlukan
sebelum memulai ventilasi mekanik.
1,5
- Foto toraks untuk menyingkirkan diagnosis alternatif lainnya.
- EKG dapat membantu mendiagnosis dari penyakit jantung yang timbul
bersamaan dengan PPOK.
- Darah lengkap, untuk melihat polisitemia (hematokrit > 55%), anemia atau
leukositosis.
- Adanya sputum purulen saat eksaserbasi dapat dianggap sebagai indikasi
untuk memulai terapi antibiotik empiris. Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumonia, dan Moraxella catarrhalis merupakan bakteri
pathogen yang paling sering terlibat pada eksaserbasi pada pasien GOLD3 dan
GOLD 4. Pseudomonas aeroginosa juga dianggap penting. Apabila infeksius
Universitas Sumatera Utara
eksaserbasi tidak respons terhadap pemberian antibiotika awal, kultur sputum
dan tes sensitivitas antibiotik dapat dilakukan.
- Abnormalitas tes biokimia: gangguan elektrolit, hiperglikemia.
- Spirometri tidak dianjurkan selama eksaserbasi karena sulit dilakukan dan
pengukurannya tidak cukup akurat.
KLASIFIKASI
Berdasarkan health-care utilization, eksaserbasi dapat diklasifikasikan: (i)
ringan, apabila pasien membutuhkan penambahan jumlah obat, apabila seseorang
masih dapat melakukan pekerjaan untuk diri sendiri secara normal; (ii) sedang,
apabila membutuhkan penambahan jumlah obat, dan merasa membutuhkan
bantuan asisten medis; (iii) berat, apabila kondisi pasien memburuk dengan cepat
dan membutuhkan perawatan rumah sakit.
Penilaian tingkat keparahan PPOK eksaserbasi akut
9
Dikutip dari: Evidence-Based Approach to Acute Exacerbations of chronic
Obstructive Pulmonary Disease 14
Anthonisen dkk mendefinisikan PPOK eksaserbasi akut dengan
dijumpainya adanya peningkatan sputum purulen, peningkatan volume sputum
dan memburuknya dispnu. Tipe I (berat) apabila memiliki ketiga gejala tersebut,
tipe II (sedang) apabila memiliki dua gejala, dan tipe III (ringan) apabila memiliki
satu gejala ditambah sedikitnya satu dari gejala berikut: infeksi saluran nafas atas
pada 5 hari terakhir, demam tanpa penyebab jelas lainnya, bertambahnya
wheezing, batuk yang meningkat, meingkatnya pernafasan atau nadi 20% dari
baseline. 9
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi PPOK eksaserbasi akut oleh Anthonisen
Dikutip dari: Acute Exacerbation of Chronic Obstructibe Pulmonary Disease 15
Kriteria Winnipeg untuk PPOK eksaserbasi akut
Dikutip dari: Acute Exacerbations and Respiratory Failure in COPD 16
PENATALAKSANAAN
Tujuan dari penatalaksanaan PPOK eksaserbasi adalah untuk
meminimalkan pengaruh eksaserbasi yang sedang berlangsung dan mencegah
terjadinya ekseserbasi berikutnya. Berdasarkan dari tingkat keparahan eksaserbasi
dan/atau keparahan penyakit penyerta, eksaserbasi dapat ditatalaksana pada rawat
jalan maupun rawat inap. Lebih dari 80% eksaserbasi dapat ditatalaksana pada
rawat jalan dengan terapi farmakologis yang meliputi bronkodilator,
kortikosteroid dan antibiotik. 1
Universitas Sumatera Utara
Indikasi utama untuk penilaian pada saat perawatan ke rumah sakit
Potential Indications for
Hospital Assessment or
Admission
• Marked increase in
intensity of symptoms, such
as sudden development of
resting dyspnea
• Severe underlying COPD
• Onset of new physical
signs (e.g. cyanosis,
peripheral edema)
• Failure of an exacerbation
to respond to initial medical
management
• Presence of serious
comorbidities (e.g. heart
failure or newly occurring
arrhythmias)
• Frequent exacerbations
• Older age
• Insufficient home support
Dikutip dari: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 1
Inhalasi beta2 agonist kerja pendek dengan/tanpa antikolinergik kerja
pendek merupakan bronkodilator pilihan untuk eksaserbasi. Kortikosteroid
sistemik dan antibiotik dapat mempercepat waktu penyembuhan, memperbaiki
fungsi paru (FEV1) dan hipoksemia arteri (PaO2), dan mengurangi risiko
terjadinya kambuh, gagal pengobatan dan lamanya pengobatan. 1
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit
Therapeutic Components of
Hospital Management
Respiratory Support
• Oxygen therapy
• Ventilatory support
Noninassive ventilation
Invasive ventilation
Pharmaacologic Treatment
• Bronchodilators
• Corticosteroids
• Antibiotics
• Adjunct therapies
Dikutip dari: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 1
Universitas Sumatera Utara
Indikasi perawatan ICU
Indications for ICU
Admission
• Severe dyspnea that
responds inadequately to
intial emergency therapy
• Changes in mental status
(confusion, lethargy, coma)
• Persistent or worsening
hypoxemia (PaO2 , 5,3 kPa,
40 mmHg) and/or
worsening respiratory
acidosis (pH < 7,25) despite
supplemental oxygen
and noninvasive ventilation
• Nedd for invasive
mechanical ventilation
• Hemodynamic instability-
need for vasopressors
Dikutip dari: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 1
2.2. KEMATIAN PADA PPOK EKSASERBASI AKUT
Kematian pada PPOK dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi komorbid
kronik lain (seperti penyakit kardiovaskular, gangguan muskuloskletal, diabetes
mellitus) yang berhubungan dengan PPOK dan memberikan pengaruh pada status
kesehatan pasien, yang akan mengganggu penatalaksanaan PPOK.
Kematian pasien rawat inap pada pasien yang datang ke rumah sakit
karena hiperkapnia dengan asidosis berkisar 10%. Pada pasien yang
membutuhkan bantuan nafas mekanik selama dirawat di rumah sakit, kematian
meningkat 40% satu tahun setelah pasien dipulangkan untuk berobat jalan. Dan
keseluruhan kematian 3 tahun setelah dirawat di rumah sakit meningkat menjadi
49%.
1
Beberapa studi melaporkan tingkat kematian pada rawat inap 11-24% dan
22-35,6% setelah 1 dan 2 tahun. Soler-Cataluna melaporkan bahwa PPOK
eksaserbasi akut mempunyai pengaruh independen prognostik negatif, dimana
kematian meningkat dengan semakin seringnya terjadi eksaserbasi akut dan
membutuhkan perawatan rumah sakit. The Study to Understand Prognosis and
Preferences for Outcomes and rates of Treatment (SUPPORT), melaporkan
tingkat kematian rawat inap dijumpai pada 11% pasien dengan gagal nafas akut
hiperkapnia. Tingkat kematian 180 hari adalah 33% dan tingat kematian 2 tahun
adalah 49%.
1
Beberapa studi telah menunjukkan faktor yang secara langsung
berhubungan dengan kematian rawat inap rumah sakit yang terjadi pada PPOK
10,11,12
Universitas Sumatera Utara
eksaserbasi, yaitu disfungsi sistem organ non-respiratori (terutama jantung),
lamanya rawat inap di rumah sakit, usia yang lebih tua, kondisi komorbid dan
status nutrisi, oksigen arteri (PaO2) dan tekanan karbondioksida pada saat masuk,
dan membutuhkan perawatan ICU.
Studi prospektif multisenter oleh Roche dkk di Perancis (2008), menilai
hal hal yang menentukan hasil akhir perawatan rumah sakit pada pasien pada
pasien yang datang ke instalasi gawat darurat (IGD) oleh karena PPOK
eksaserbasi akut, hasil akhir adalah kematian pada rawat inap dan dibutuhkannya
post-hospital support. Penelitian ini mendapatkan hasil tingkat kematian rawat
inap RS adalah 7,4%. Faktor prognostik independen adalah umur ≥ 70 tahun;
jumlah dari keparahan tanda klinis (sianosis, gangguan neurologis, edema tungkai
bawah, asterexis, penggunaan otot aksesori pada saat inpirasi dan ekspirasi; dan
baseline dyspnoe grade (0-1, 2-3, 4-5) pada keadaan stabil. Hasil dari studi ini
menunjukkan faktor prognostik sederhana yang dapat digunakan pada pasien
PPOK eksaserbasi akut yang datang ke IGD.
6
Penelitian oleh Gudmundsson dkk di Swedia (2006) bertujuan
menganalisa mortalitas dan faktor risiko yang berhubungan, yang lebih ditujukan
pada status kesehatan, pengobatan dan komorbiditas, pada pasien PPOK
eksaserbasi akut yang memerlukan perawatan rumah sakit. Hasil penelitian ini
menunjukkan kematian yang tinggi pada PPOK setelah perawatan rumah sakit,
dengan usia yang lebih tua, berkurangnya fungsi paru, status kesehatan yang
menurun dan diabetes sebagai faktor risiko yang paling penting.
6
Soler-Cataluna dkk di Spanyol (2005) meneliti apakah PPOK eksaserbasi
akut yang berat menunjukkan efek langsung terhadap kematian. Faktor prognostik
yang berpengaruh pada PPOK eksaserbasi akut yang mendapatkan perawatan di
rumah sakit dikelompokkan atas umur pasien, merokok, indeks massa tubuh,
komorbiditas, terapi oksigen jangka panjang, parameter kekuatan spirometri,
tekanan arteri gas darah. Hanya usia yang lebih tua, tekanan karbondioksida arteri
yang ditemukan sebagai indikator prognostik buruk pada pasien PPOK
eksaserbasi akut. Kematian meningkat dengan seringnya terjadi eksaserbasi berat,
terutama pada pasien yang membutuhkan perawatan rumah sakit.
17
18
Universitas Sumatera Utara
Studi prospektif oleh Groenewegen dkk (2003) meneliti hasil akhir dari
pasien PPOK eksaserbasi akut yang datang ke rumah sakit selama dirawat di
rumah sakit dan setelah follow up 1 tahun. Hasil studi ini menunjukkan tingginya
tingkat kematian setelah eksaserbasi akut, terutama pada pasien yang lebih tua
dengan gagal nafas kronik. Hal ini penting diketahui untuk memindahkan pasien
ke perawatan suportif yang lebih baik apabila diperlukan. Penelitan ini
menyimpulakan bahwa prognosis pasien yang datang ke rumah sakit dan
memerlukan perawatan rumah sakit adalah jelek. Penggunaan kortikosteroid oral
jangka panjang, PaCO2 yang tinggi, dan usia lebih tua dianggap sebagai faktor
risiko yang berhubungan dengan tingginya kematian pada PPOK eksaserbasi
akut.
Penelitian oleh Archibald dkk (2012), mencoba menentukan prediktor
kematian rawat inap pada pasien dengan dengan PPOK eksaserbasi akut, dan
menghasilkan sistem skor prediksi untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko
tinggi kematian rawat inap RS. CAUDA 70 dapat digunakan untuk memprediksi
kematian rawat inap RS pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Skor ini
menggabungkan 6 variabel klinis: asidosis, albumin, ureum, perubahan status
mental (confusion), skor MRCD dan umur. Pada penelitian ini menunjukkan
bahwa CAUDA 70 akurat dalam memprediksi kematian rawat inap pada PPOK
eksaserbasi akut .
19
2.3. SKOR CAUDA 70
Pada penelitian yang dilakukan oleh Archibald dkk (2012), mencoba
menentukan prediktor kematian rawat inap pada pasien dengan dengan PPOK
eksaserbasi akut, dan menghasilkan sistem skor prediksi untuk mengidentifikasi
pasien dengan risiko tinggi kematian rawat inap RS. Dari 1031 pasien yang
mengikuti studi kohort ini, tingkat kematian rawat inap RS adalah 5,2%. Prediktor
independen dari kematian ditemukan dan diperoleh sistem skor baru: CAUDA 70
dapat digunakan untuk memprediksi kematian rawat inap RS pada pasien PPOK
eksaaserbasi akut. Skor ini menggabungkan 6 variabel klinis: asidosis, albumin,
ureum, perubahan status mental (confusion), skor MRCD dan umur. Pada
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini menunjukkan bahwa CAUDA 70 akurat dalam memprediksi
kematian rawat inap pada PPOK eksaserbasi akut.
The Medical Research Council Dypsnoea Scale (MRCD) pada pasien PPOK
7
Dikutip dari: Dyspnoe Severity and Pneumonia as A Preddictors of In-Hospital
Mortality and Early Readmission in Acute Exacerbations of COPD
Skor CAUDA 70 dibagi atas skor 0-1: pasien yang mempunyai risiko
kematian yang rendah dan lebih baik diobati di rumah. Skor 2: pasien yang
mempunyai risiko kematian yang rendah tetapi membutuhkan perawatan rumah
sakit apabila terjadi confusion atau asidosis. Skor 3 atau lebih: pasien dengan
risiko tinggi kematian rawat inap, tingkat kematian meningkat sampai 14%.
20
Skor prediktif CAUDA 70
7
Dikutip dari: Prediction of In-Hospital Mortality in Acute Exacerbations
of COPD
Hanya sejumlah kecil studi sebelumnya yang memperoleh sistem skor
pediksi untuk kematian rawat inap rumah sakit pada pasien PPOK eksaserbasi
akur. Pada skor prediktif yang baru, CAUDA 70, terdapat alasan yang
memungkinkan kenapa enam variabel pada skor tersebut berkorelasi dengan
7
Universitas Sumatera Utara
kematia rawat inap pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Sebagai contoh,
confusion (yang juga merupakan marker penting untuk hasil akhir buruk pada
CAP), dapat meningkat pada PPOK eksaserbasi akut dengan hiperkapnia, dan
dapat bekerja sebagai indikator respons tubuh terhadap proses patofisiologi yang
mendasarinya. Ureum juga terlihat sebagai prediktor penting terhadap hasil akhir
buruk pada penyakit respiratori. Ureum juga dapat memperlihatkan gagal ginjal
akut sebagai akibat berkurangnya volume yang terjadi pada hiperventilasi atau
buruknya intake cairan oral sebelum dirawat di rumah sakit. Hal ini menandakan
bahwa marker patofisiologi dari penaykit, merupakan prediktor yang kuat untuk
kematian rawat inap RS pada pasien PPOK eksaserbasi akut.
Perbandingan skor CAUDA 70 dengan skor lain
Dikutip dari: Prediction of In-Hospital Mortality in Acute Exacerbations
of COPD 7
CAUDA 70 dapat memprediksi kematian rawat inap RS pada pasien
PPOK eksaserbasi akut. Ke enam variabel yang masuk dalam skor merupakan
variabel klinis yang mudah didapatkan dan sangat sederhana dikerjakan. Sistem
skor ini dapat digunakan dalam mengambil keputusan pada saat pasien darang ke
rumah sakit, memberhentikan pengobatan dan memberikan pelayanan kesehatan
yang sesuai.
Universitas Sumatera Utara
Kematian dan survival berdasarkan skor CAUDA 70
Dikutip dari: Prediction of In-Hospital Mortality in Acute Exacerbations of COPD
2.4. SKOR BAP-65
Studi yang dilakukan oleh Shorr dkk di Amerika Serikat (2010)
memperkenalkan satu skor baru, yaitu skor risiko PPOK eksaserbasi akut, BAP-
65. Penggunaan skor CURB-65 oleh dokter dalam memprediksi hasil akhir pasien
dengan pneumonia sangat akurat, tetapi keakuratannya pada PPOK eksaserbasi
akut masih belum jelas. Hal inilah yang melatar belakangi munculnya skor baru
dalam memprediksi kematian pada PPOK eksaserbasi akut yaitu skor BAP-65.
Skor ini terdiri dari peningkatan blood urea nitrogen (BUN), perubahan status
mental, nadi > 109 kali permenit, umur diatas 65 tahun. Penelitian ini mencoba
menghubungkan skor BAP-65 dengan CURB-65. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bawa kedua skor, BAP-65 dan CURB-65 berhubungan dengan
tingginya kematian dan perlunya ventilator mekanik pada pasien dengan PPOK
eksaserbasi akut. CURB-65 hanya memiliki tingkat keakuratan sedang dalam
mengetahui pasien risiko tinggi untuk mendapatkan hasil akhir buruk (prognosis
buruk). Skor BAP-65 lebih akurat dalam memprediksi hasil akhir PPOK
eksaserbasi akut.
Penelitian yang dilakukan oleh Shorr dkk (2011) mecoba memvalidasi
skor BAP-65 (peningkatan BUN, perubahan status mental, nadi > 109x/menit, dan
umur > 65 tahun). Hasil penelitian ini menunjukkan sistem BAP-65 dapat
memberikan gambaran tingkat keparahan penyakit dan menunjukkan alat
sederhana dalam mengelompokkan pasien dengan PPOK eksaserbasi akut
26
Universitas Sumatera Utara
terhadap risiko untuk terjadinya efek yang merugikan. BAP-65 merupakan alat
tambahan yang dapat digunakan pada penilaian awal PPOK eksaserbasi akut. 8
Sensifisitas, spesifisitas, positive dan negative predictive value
BAP- 65 terhadap kematian dan ventilator mekanik.
Dikutip dari: Validation of Novel Risk Score for Severity of Illness in Acute
Exacerbations of COPD
Skor BAP-65 dibuat berdasarkan dari informasi yang didapatkan pada
awal pasien masuk ke rumah sakit. Skor BAP-65 ini diabagi menjadi 5 kelas:
8
1) Kelas I : Usia ≤ 65 tahun, tidak memiliki 3 faktor risiko (kadar BUN ≥ 25
mg/dL, perubahan status mental, nadi ≥ 109 x/ menit).
8
2) Kelas II : Usia > 65 tahun, tanpa faktor risiko.
3) Kelas III : Memiliki satu faktor risiko
4) Kelas IV : Memilikki dua faktor risiko
5) Kelas V : Memiliki tiga faktor risiko
Jika BAP-65 kelas I disebut risiko rendah, kelas II-III disebut risiko sedang, kelas
≥ IV disebut risiko tinggi.

Anda mungkin juga menyukai