Anda di halaman 1dari 16

CH.

11 KEPEMILIKAN, PENGENDALIAN DAN KELOMPOK BISNIS; IMPLEMENTASI CORPORATE GOVERNANCE DI


INDONESIA

Struktur Kepemilikan Korporasi


 Struktur kepemilikan akan menentukan karakteristik problem keagenan sehingga akan memetakan pembagian
antara pengawasan dan kekuasaan korporasi (Jensen dan Warner, 1988)
 Keberadaan pemilik mayoritas diharapkan berperan sebagai mekanisme governance untuk mengurangi dampak
negatif dari problematika keagenan.
 Pemilik dengan jumlah saham yang besar dapat memonitor secara intens investasi yang dilakukan.
 Asumsinya tingkat pengendalian akan meningkat sesuai besarnya saham yang dimiliki.
 Kondisi ini diharapkan dapat meminimalkan biaya pengawasan (monitoring cost) yang berdampak positif pada
peningkatan kinerja korporasi
 Kepemilikan mayoritas PT di Indonesia terkonsentrasi pada sekelompok individual, keluarga atau kepemilikan
melalui perusahaan lainnya (Lukviarman, 2004).
 Karakteristik tersebut mengindikasikan: kecenderungan rendahnya pemisahan antara kepemilikan dan
pengendalian.
 Tidak terdapat manfaat dan dampak positif kepemilikan terkonsentrasi terhadap kinerja perusahaan pada PT di
Indonesia (Lukviarman, 2004)
 Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan dampak kepemilikan terkonsentrasi pada PT di Indonesia:
perbedaan tingkat konsentrasi, struktur governance yang dimiliki dan sistem legal yang dianut.
 Kepemilikan mayoritas PT di Indonesia terkonsentrasi pada sekelompok individual, keluarga atau kepemilikan
melalui perusahaan lainnya (Lukviarman, 2004).
 Karakteristik tersebut mengindikasikan: kecenderungan rendahnya pemisahan antara kepemilikan dan
pengendalian.
 Tidak terdapat manfaat dan dampak positif kepemilikan terkonsentrasi terhadap kinerja perusahaan pada PT di
Indonesia (Lukviarman, 2004)
 Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan dampak kepemilikan terkonsentrasi pada PT di Indonesia:
perbedaan tingkat konsentrasi, struktur governance yang dimiliki dan sistem legal yang dianut.
 PT yang tetap dikendalikan keluarga melalui kepemilikan dalam jumlah besar merupakan upaya untuk tetap
menguasai perusahaan dan sebagai bagian proteksi terhadap kekayaan keluarga mereka.
 Salah satu motivasi terkonsentrasinya kepemilikan di Indonesia: terdapat peluang penyalahgunaan kekuasaan
berupa ekspropriasi oleh pihak pemilik yang memiliki pengendalian penuh atas perusahaan (controlling owner).
 Ekspropriasi biasanya diikuti dengan penunjukkan anggota dewan komisaris atau direksi yang memiliki hubungan
kekeluargaan dengan pendiri atau keluarga pemilik perusahaan.
 Proses ekspropriasi yang lazim dilakukan pemilik pengendali: aktivitas penjualan hasil produksi/operasi atau aset
perusahaan di bawah harga pasar kepada perusahaan yang memiliki afiliasi pada kelompok bisnis yang sama.
 Namun output/aset perusahaan yang dijual tersebut dibiayai sepenuhnya oleh investor yang berada di luar
kelompok bisnis mereka.
 Hal ini menimbulkan distrorsi transaksi berbasis pasar dan memaksa perusahaan untuk membayar lebih besar
dari yang seharusnya untuk jasa yang dihasilkan pada perusahaan di mana mereka tertarik untuk melakukan
transaksi.
 Dalam jangka panjang kepemilikan terkonsentrasi akan melemahkan efisiensi dan daya saing perusahaan serta
mengurangi dampak positif mekanisme CG.
 Secara institusional kepemilikan terkonsentrasi berbasis keluarga tidak memberikan dampak terhadap kinerja
perusahaan namun dapat menguntungkan pemilik pengendali, tetapi dapat merugikan pihak berkepentingan
lainnya terutama pemegang saham minoritas.

Pengendalian Korporasi
 PT di Indonesia: pemilik saham pengendali menempatkan anggota keluarga mereka sebagai bagian dari dewan
komisaris (Lukviarman, 2004)
 Anggota keluarga pemilik mayoritas yang dilibatkan dalam kepengurusan perseroan harus mengikuti arahan
keluarga, terutama berkewajiban untuk menjaga kepentingan keluarga dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawab mereka di perusahaan.
 Tingkat pengendalian yang tinggi dikombinasikan dengan keterlibatan keluarga dalam sebuah korporasi
merupakan struktur organisasi perusahaan yang berorientasi pada upaya memaksimumkan nilai perusahaan.
 Keterlibatan pemilik dalam perseroan cukup dalam jumlah minimal saja karena sudah dapat melindungi
kepentingan pemilik pengendali.
 Di Indonesia pemegang saham mayoritas bisa mengendalikan perusahaan tanpa melibatkan anggota keluarga
dalam perusahaan, namun dengan menunjuk anggota dewan komisaris yang terafiliasi dengan mereka.
 Walaupun pemilik pengendali tidak menempatkan anggota keluarga di dewan komisaris/direksi, pemimpin
keluarga tetap memiliki kekuasaan besar sehingga mampu melakukan pengendalian/menunjukkan pengaruh
mereka.
 Hal ini juga tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja perusahaan.

Perusahaan Terafiliasi dan Kelompok Bisnis


 Tidak liquidnya pasar modal di berbagai Negara berkembang sehingga perusahaan mencari alternative
pembiayaan.
 Perusahaan yang merupakan anggota dan terafiliasi dengan kelompok bisnis dapat berperan sebagai subtitusi
pasar modal internal yang menyediakan kebutuhan pembiayaan bagi perusahaan.
 Keunggulannya: rendahanya biaya pembiayaan dan kemudahan akses dengan waktu relative cepat → dampak
positif bagi kinerja perusahaan.
 Perusahaan yang terafiliasi tidak lebih unggul dari perusahaan yang tidak terafiliasi.
 Salah satu dugaan: pemegang saham dengan kepemilikan mayoritas berada dalam posisi yang kuat untuk
mengalihkan sumber daya perusahaan ke perusahaan terafiliasi lainnya dalam kelompok bisnis melalui business
group (Johnson et. al., 2000)
 Perusahaan yang terafiliasi dengan kelompok bisnis di Indonesia beroperasi layaknya perusahaan independen
dan tidak terafiliasi.
 Dalam kaitan antara kepemilikan terkonsentrasi dengan keberadaan kelompok bisnis, maka kelompok bisnis
memiliki peluang dan insentif untuk mentransfer (tunneling) sumber daya antarperusahaan di bawah bendera
kelompok tersebut untuk kepentingan kelompok mereka.
 Penerapan transfer sumber daya antar perusahaan dalam kelompok bisnis akan menguntungkan pemilik yang
terafiliasi namun berpotensi merugikan pemilik minoritas.
 Hal ini mungkin terjadi karena tidak berjalannya ketentuan dan lemahnya penegakan aturan hukum serta regulasi
dalam mencegah berlangsungnya praktik tersebut.
 Dalam upaya mitigasi praktik bisnis yang tidak sehat, diperlukan alternatif pengendalian dari luar kelompok untuk
menjaga kepentingan kreditur.
 Karena sistem hukum cenderung lemah dalam melindungi kepentingan kreditur diikuti dengan penegakan hukum
yang tidak konsisten.
 2/3 perusahaan terbuka di berbagai Negara Asia Timur terafiliasi dan dimiliki kelompok bisnis besar yang
didalamnya ada institusi keuangan.
 Pola keterkaitan pemilik ini menghilangkan peranan disciplinary roles yang seharusnya dimiliki oleh lembaga
keuangan.
 Peran tersebut penting dan diharapkan efektif mendisiplinkan perusahaan terutama oleh pihak kreditur yang
bukan pemilik dan berada di luar perusahaan, serta memiliki insentif di dalam memonitor investasi yang
dilakukan secara baik.
 Belum efektifnya sistem hukum dan tidak konsistennya penegakan hukum, maka praktik tersebut berpotensi
terus diterapkan.

Implikasi Terhadap Implementasi Corporate Governance


 Melalui keberadaan pemilik saham mayoritas terutama pada perusahaan yang dikendalikan keluarga, hak suara
(voting rights) dapat dieksploitasi sesuai dengan kepentingan mereka.
 Hal ini dapat diminimalisir melalui proteksi yang kuat dari segi hukum dan ditujukan untuk menjaga kepentingan
seluruh pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan.
 Menggunakan law and finance approach: terdapat hubungan yang erat antara hak legal para investor di setiap
Negara dengan struktur pasar modal dan pembiayaan korporasi di Negara tersebut (La Porta et al., 1998).
 Faktor budaya dianggap sebagai salah satu aspek yang memberikan kontribusi besar atas terjadinya jalur
ketergantungan dari pola CG yang dianut oleh suatu Negara.
 Konsekuensi: berbagai aturan hukum yang tercipta untuk mengatur praktik bisnis di Negara tersebut akan sangat
ditentukan dan tergantung dari budaya dan sumber penyusunan aturan hukum yang dijadikan dasar regulasi
perusahaan di Negara tersebut.
Aspek Legal dan Praktikal Corporate Governance
 Kelemahan penerapan CG di Indonesia: berasal dari sudut pandang hukum/legal dan lingkungan regulasi.
 Jenis kepemilikan saham mayoritas cenderung mengunci dan mendominasi pengendalian terhadap perusahaan
jika pemilik pengendali berkeyakinan terdapat manfaat pengendalian yang substansial terhadap tindakan
perusahaan (Bebchuk, 1999).
 Walaupun struktur regulasi mendasar untuk sistem sudah cukup, kelemahan tetap muncul sebagai akibat dari
rendahnya budaya kepatuhan dan penegakan aturan hukum.
 Hal ini mempengaruhi substansi struktur CG yang dapat menghmbat kinerja pasar dan pada akhirnya
mempengaruhi kinerja perekonomian nasional.
 Poin penting:
o Indonesia belum memiliki budaya kepatuhan terhadap aturan dengan disclosure yang memadai, sehingga
diperlukan aturan yang kuat dan mengikat untuk melakukan pengungkapan sesuai prinsip transparansi
dalam CG.
o Pemegang saham pengendali memiliki risiko dan sanksi sosial yang terbatas karena tidak terdapat prosedur
pengendalian yang memadai diikuti lemahnya penegakan hukum dalam melindungi kepentingan pemegang
saham minoritas.

Sistem Hukum, Budaya Hukum dan Regulasi


 Pentingnya interaksi selaras antara konsepsi sistem hukum dan budaya hukum di dalam kehidupan
bermasyarakat.
 Kedua elemen konseptual tersbut bersifat saling berinteraksi dalam membentuk dan menentukan aturan main
setiap institusi yang dibutuhkan sebagai acuan dalam suatu kehidupan bermasyarakat.
 Permasalahan yang muncul: konflik antara sistem legal formal yang diimpor dari Negara lain dengan budaya
hukum lokal.
 Hal ini menyebabkan tidak efektinya implementasi sistem hukum dalam masyarakat.
 Di Indonesia, elemen kunci penyebab terjadinya konflik: budaya patrimonialism yang mempengaruhi perilaku CG
di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
 Kepntingan keluarga berfungsi sebagai otoritas legitimasi, sehingga nilai kekluargaan tradisional akan menjadi
aturan yang lebih dominan dibandingkan dengan hukum perusahaan formal dengan perangkat institusi
pendukungnya.
 Perusahaan yang didominasi pemilik pengendali akan mempengaruhi berbagai transaksi berbasis pasar yang
berada di bawah aturan legal formal sebagai kekuatan penyeimbang (Das, 2000).
 Untuk menghindari itu diperlukan sistem legal yang berfungsi melindungi kepentingan pemegang saham lainnya.
 Dalam kasus kepemilikan keluarga di berbagai Negara Asia, keluarga pemilik memiliki hubungan dekat dengan
para politikus sehingga membatasi mereka dari tekanan dan pengaruh eksternal, pengawasan maupun supervisi
dari pihak yang memiliki otoritas (Das, 2000).
 “Law is not the whole strory and that social norms play an important role in shaping CG” (Gorga, 2003).
 Setiap upaya yang ditujukan untuk meningkatkan CG di Indonesia, seharusnya mempertimbangkan budaya
hukum lokal agar dapat berjalan secara efektif.

Aspek Budaya Kepemilikan Perusahaan oleh Keluarga


 Suatu budaya akan terdiri dari seperangkat kepercayaan, nilai nilai dan praktik yang dianut secara bersama oleh
sebagian besar anggota organisasi atau bagi mayoritas masyarakat dari suatu Negara.
 Jaringan personal yang saling terkoneksi serta hubungan sosial dan bisnis yang lazim ditemukan pada masyarakat
kolektivistik (Amber, 1995).
 Buktinya hubungan kekerabatan serta jaringan bisnis yang kuat antara anggota keluarga juga ditemukan pada
masyarakat pribumi di Indonesia sebagaimana lazim hidup dan berkembang pada masyarakat nonpribumi yang
menganut paham Confucianism.
 Pada umumnya praktik bisnis di Asia berhubungan dengan jaringan bisnis yang tertutup melalui ikatan personal
serta berbasis kekeluargaan.
 Dalam pola ini, anggota keluarga dalam (inner circle) biasanya terdiri dari keluarga dekat dan teman dekat atau
trusted business associates lebih dipercaya dibandingkan pihak lainnya.
 Mayoritas konglomerat: masyarakat keturunan China serta memiliki kelompok bisnis dengan jaringan yang kuat
baik di dalam maupun luar negeri.
 Praktik bisnis di Indonesia merupakan refleksi dari budaya mereka karena penguasaan yang dominan terhadap
berbagai perusahaan besar di Indonesia.
 Eksistensi kelompok bisnis berbasis keluarga sebagai bentuk perusahaan di Indonesia merupaka refleksi dari
dominasi faktor high power distance dan high levels of collective orientation dalam kehidupan bermasyarakat.
 Seperangkat nilai tersebut tidak hanya ditemukan dan didominasi oleh komunitas etnis China, tetapi sudah lazim
ditemukan pada masyarakat pribumi Indonesia lainnya (Abdat dan Pervan, 1999).
 Aspek budaya merupakan bagian penting dan krusial dalam perkembangan konseptual maupun praktik CG di
Indonesia karena akan mempengaruhi bagaimana sebuah perusahaan dikelola dan diarahkan.

Kepemilikan Keluarga dan Kelompok Bisnis


 Struktur dan praktik kelompok bisnis berbasis keluarga didasarkan pada 2 hal utama:
1. Melindungi kepentingan keluarga
2. Tidak percaya pada pihak lain yang berasal dari luar keluarga
 Kehadiran kelompok bisnis keluarga juga dapat dijelaskan sebagai bentuk respons yang rasional terhadap konteks
institusional yang memiliki ciri:
1. Tidak terdifinisikannya hak kepemilikan
2. Terdapatnya kroniisme (cronyism)
3. Pasar modal yang tidak berkembang
4. Tidak ada atau lemahnya aturan hukum terhadap produk
5. Minimnya tenaga manajemen profesional
 Berbagai tindakan yang memungkinkan untuk dilakukan melalui kelompok bisnis keluarga:
a. Mengeksploitasi berbagai peluang bisnis baru.
b. Melakukan tindakan sebagai respons terhadap lingkungan bisnis yang tidak menentu.
c. Meningkatkan kekayaan keluarga.
d. Mengurangi eksposur risiko yang dihadapi perusahaan keluarga yang terafiliasi dengan kelompok bisnis.
 Tahapan proses perkembangan perusahaan di Indonesia:
1. Mendirikan perusahaan sebagai entrepreneurial firm dengan praktik bisnis dikelola secara langsung oleh
pemilik (privately owned-managed firms)
2. Perusahaan sudah mulai berkembang dan menjual saham melalui pasar modal.
3. Korporasi telah berkembang dan menjadi perusahaan holding dari kelompok bisnis keluarga dengan lini
bisnis telah terdiversifikasi kepada serangkaian bisnis lainnya.
 Pola pengembangan perusahaan di Indonesia dicirikan oleh 3 hal utama:
a. Struktur kepemilikan
b. Keterlibatan pemilik dalam keanggotaan dewan komisaris/direksi
c. Afiliasi terhadap kelompok bisnis
 Saling ketergantungan antara ketiga faktor tersebut berjalan secara kohesif, sehingga motivasi untuk
menciptakan serta mempertahankan keberadaan pemegang saham pengendali oleh keluarga semakin kuat.
 Kekuatan hubungan individual dikombinasikan dengan seperangkat nilai paternalistic, hubungan antara anggota
keluarga dari kelompok tersebut, secara simultan akan mempengaruhi integrasi internal dari kelompok bisnis
mereka.
 Peran ini semakin kuat melalui keterlibatan anggota pemilik di dalam kepengurusan perseroan, serta rantai
kepemilikan perusahaan melalui kepemilikan silang dengan perusahaan terafiliasi.
 Dari perspektif teori keagenan: anggota dewan komisaris merupaka representasi atau perwakilan dari para
pemegang saham yang dipilih serta bertanggung jawab kepada pemegang saham melalui RUPS.
 Dewan komisaris akan memiliki peran sebagai jembatan antara pemegang saham dengan direksi atau pihak
eksekutif yang bertanggung jawab terhadap operasionalisasi perusahaan.
 Peran ini semakin penting pada kepemilikan saham secara luas dan menyebar karena pemilik tidak dapat
menggunakan kekuasaan mereka dalam mengintervensi, mengawasi dan memastikan kinerja manajerial direksi.
 Kepemilikan berpola struktur piramida dan keterlibatan pemilik melalui anggota keluarga mereka pada
kepengurusan perseroan, pihak keluarga tetap mempertahankan posisi yang kuat serta mendominasi
pengendalian atas perusahaan.
 Pola demikian memperkuat argumentasi budaya kolektivistik dengan nilai nilai paternalistik melalui penekanan
kepada pentingnya peranan solidaritas antar perusahaan dalam suatu kelompok bisnis dalam menjaga kekayaan
keluarga.
CH. 12 GOVERNANCE DAN PROFESI AKUNTAN

Profesi Akuntan dan Corporate Governance


 CG terdiri dari berbagai subsistem yang saling berintegrasi dalam suatu bentuk struktur dan mekanisme
governance.
 2 faktor utama (World Bank, 2000):
 Faktor internal: terdiri dari struktur governance yang menggambarkan berbagai elemen di dalam korporasi.
 Faktor eksternal: Dalam melaksanakan profesinya, akuntan berpotensi untuk terperosok ke dalam
perangkap ketaatan.
o Terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan korporasi (stakeholder) serta para agen yang
dikenal karena reputasinya (profesi akuntan).
o Perangkat aturan main dan di antaranya terdapat standar akuntansi dan pemeriksaan, serta aturan
hukum dan perundang undangan.
 Selain itu terdapat potensi dari anggota profesi ini untuk mengaburkan substansi dari tugas yang diembannya,
terutama jika ukuran pelaksanaan tugas dan fungsi akuntan hanya sebatas berpedoman pada aspek kepatuhan
terhadap norma/standar ketaatan yang ada.
 Akuntan yang sudah melakukan tugas sesuai dengan standar profesi belum tentu memenuhi kaidah-kaidah yang
ada dalam prinsip prinsip CG.
 Jadi walaupun akuntan sudah taat dan patuh terhadap aturan, hal itu bukan kriteria untuk dapat diterapkannya
CG yang sehat.
 Akuntan harus mematuhi secara konsisten standar profesi untuk menjaga kepercayaan publik dan meyakinkan
pemakai informasi bahwa laporan keuangan yang dibuat sesuai dengan kaidah akuntansi yang diterima umum.
 Pernyataan ini berhubungan dengan 5 prinsip CG: fairness, transparency, accountability, responsibility &
integrity.
 Laporan keuangan dibuat sebagai pertanggung jawaban manajemen yang disajikan secara wajar.
 Prinsip yang berhubungan dengan profesi akuntan adalah transparency.
 Laporan keuangan yang disajikan secara tepat waktu, akurat & disclosure yang memadai dapat meminimalisir
kemungkinan manajer/pemegang saham mayoritas memanfaatkan kesempatan yang berpotensi merugikan
pihak lain.
 Dari sudut pandang teori keagenan, profesi akuntan dapat dianggap sebagai mekanisme penyeimbang antara
berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan.

Peranan Strategis Akuntan


 Konsepsi CG dengan pendekatan open-system mengisyaratkan dinamisnya konsep ini sejalan dengan dinamika
perubahan lingkungan organisasi.
 Kondisi ini menyebabkan perlunya profesi akuntan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang
terjadi dalam lingkungan korporasi.
 Implikasi: tuntutan profesi akuntan untuk selalu melakukan peningkatan terhadap standar profesi (accounting
and auditing standards) agar dapat sejalan dan kompatibel dengan perubahan praktik bisnis.
 Kasus di Indonesia, secara lebih spesifik, peranan akuntan menjadi semakin penting dan berbeda dengan Negara
maju lainnya karena karakteristik CG di Indonesia juga relatif berbeda dan spesifik.
 Satu di antara faktor yang berpotensi untuk menghalangi penerapan CG di Indonesia: karakteristik struktur
kepemilikan korporasi.
 Hal ini berpengaruh di dalam penerapan CG jika dihubungkan dengan isu utama; who control whom within the
corporation (Monks dan Minow, 2004)
 Konflik keagenan di Indonesia terjadi antara pemilik mayoritas dengan pemilik minoritas.
 Implikasi: substansi mekanisme CG di dalam menyelesaikan konflik kepentingan di Indonesia menjadi berbeda.
 Lemahnya fungsi ekternal (pasar) dengan belum optimalnya mekanisme internal di Indonesia menyebabkan
peranan akuntan menjadi sangat dibutuhkan.
 Salah satu mekanisme yang disarankan: pemberdayaan peranan auditor eksternal yang independen atau akuntan
publik dalam melakukan penilaian dan atestasi terhadap akurasi laporan keuangan korporasi.
 Tantangan terhadap aspek independensi dan professional akuntan menjadi relative berat karena penunjukkan
penugasannya dilakukan oleh RUPS yang dikuasai sepenuhnya oleh pemilik mayoritas.
 Dalam konsepsi CG yang berkualitas berlandaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas maka peranan akuntan
seharusnya tidak bersifat counterproductive di dalam menjalankan profesinya yang akan memberikan
keuntungan bagi pemilik mayoritas yang berkuasa.

Profesi Akuntan; Reputational Agents


 Sebagai reputational agent anggota profesi akuntan harus mempunyai sikap, tindakan dan pertimbangan yang
kompatibel atau sesuai dengan berbagai prinsip CG di dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya.
 Untuk menjaga etika dan perilaku profesi akuntan dapat diatur melalui kode etik profesi dan dikawal
pelaksanaannya oleh organisasi profesi akuntan.
 Langkah awal dan mendasar dari profesi akuntan sebagai reputational agent dalam menegakkan CG: melalui
prinsip to comply or explain, namun cakupan yang demikian secara substantive belum cukup memadai.
 Profesi ini dituntut untuk lebih memperhatikan substansi dari setiap permasalahan yang dihadapi di dalam
menjalankan profesinya sehingga terhindar dari perangkap ketaatan.
 Sebuah kantor akuntan yang mempunyai klien dengan skala usaha yang besar dan dengan audit-fee yang
seimbang mempunyai kepentingan untuk tetap menjaga hubungan yang berkelanjutan dengan klien tersebut.
 Kondisi ini dapat membawa akuntan untuk berperilaku kompromistis dengan sikap profesionalisme mereka.
 Perangkap ketaatan dapat terjadi jika akuntan tersebut melakukan penugasannya hanya sebatas ketaatan
terhadap standar professional yang ditetapkan.
 Pemberian layanan dengan format jasa relatif berbeda tetapi berhubungan dapat membawa dampak pada
melemahnya professional judgements akuntan berkaitan dengan fungsinya sebagai auditor eksternal yang
independen.
 Duska dan Duska (2006) mengkhawatirkan terjadinya erosi di dalam penggunaan kompetensi dan keahlian
akuntan yang pada akhirnya akan mengarah pada perilaku yang tidak etis.
 Dibeberapa Negara di Asia termasuk Indonesia, hukuman (penalties) terhadap akuntan yang melanggar hukum
dan aturan main sesuai dengan standar yang sudah lama dimiliki, belum efektif ditegakkan.
 Untuk mempertahankan posisi akuntan sebagai reputational agent dalam CG, maka penguatan profesi ini
diperlukan melalui upaya menghindari potensi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugas sesuai profesi.
 Hal ini diharapkan dapat memperkecil jurang antara kerangka aturan atau standar yang disusun dengan substansi
dan jiwa di dalam penerapannya.

Komite Audit dan Akuntan


 Secara umum paling tidak ada 3 komite dewan komisaris:
1. Komite audit
Tugas paling menantang komite audit adalah menetapkan tujuan institusi mereka sendiri dengan jelas dan
terukur, serta melakukan kajian terhadap kinerja mereka berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan.
2. Komite remunerasi
3. Komite nominasi
 Kritikan yang muncul karena terlalu terlibat dalam lingkup kerja manajemen dapat menimbulkan konflik dewan
komisaris dengan direksi/manajemen yang berpengaruh kepada efektivitas pelaksanaan tugas komite audit.

Proses Governance dan Komite Audit


 Peran mendasar dan esensial komite audit: jembatan antara KAP dan Dewan Komisaris.
 Hal penting adanya komite audit: menutup kemungkinan dan peluang pihak komisaris (non independen) dan
direksi untuk berhubungan dengan KAP yang berpotensi mempengaruhi hasil audit sebelum diserahkan kepada
institusi DK.
 Dalam beberapa tahun terakhir, peran dan tanggung jawab komite audit telah berkembang dengan cakupan
semakin luas, yaitu: tugas memberikan nasihat dan masukan terkait:
o memastikan kepatuhan terhadap implementasi CG sesuai dengan standar yang ditetapkan.
o memberikan laporan kepada dewan komisaris terhadap proses dan isu audit
o pengawasan dan monitoring terhadap audit internal
o melakukan review terhadap informasi keuangan yang akan disampaikan kepada pemegang saham dan pihak
lainnya yang berkepentingan,
o komunikasi dengan KAP
o memberikan nasihat dan masukan tentang berbagai hal terkait akuntabilitas dewan komisaris
o sistem pengendalian internal manajemen
 Rapat 4 kali dalam setahun membahas berbagai hal terkait perincian pekerjaan audit, diskusi hasil audit yang
memerlukan tindakan lebih lanjut serta menerima rekomendasi auditor terkait audit dan hal lainnya yang
berhubungan dengan pengendalian manajemen korporasi.
 Pada perusahaan terbuka di Negara maju, pimpinan yang bertanggung jawab terhadap fungsi pengendalian
internal perusahaan memiliki jalur organisasi untuk pelaporan langsung kepada ketua komite audit.
 Selanjutnya komite audit juga dapat meminta saran dan rekomendasi professional dari pihak independen yang
berada di luar perusahaan dalam upaya optimalisasi fungsi dan tanggung jawabnya.
Penelitian Akuntansi dalam Bidang Corporate Governance
 Secara tradisional, penelitian CG terkait dengan akuntansi dan keuangan lebih di dominasi pada konteks pasar
modal di berbagai Negara Anglo-Saxon yang merefleksikan dominasi dari teori keagenan.
 Mayoritas penelitian mutakhir di bidang internasionalisasi CG lebih di dominasi oleh penelitian diberbagai Negara
berkembang dengan penekanan kepada CG best practices.

CH. 10 Board of Directors; Strategic Human Capital


Peran Strategis Board of Directors
 Menurut Rindova (1999), jika peranan BOD hanya dipandang sebagai bagian dari fungsi mekanisme kontrol dalam
korporasi, maka pandangan tersebut cenderung underestimate atas peranan BOD di dalam memberikan
kontribusi terhadap berbagai hal yang bersifat strategis bagi perusahaan.
 Bila dikaitkan dengan pentingnya suatu korporasi untuk mempertahankan posisi bersaingnya, peran strategis
BOD di dalam berbagai aktivitas korporasi dipercaya dapat meningkatkan nilai perusahaan secara signifikan.
 BOD di dalam sebuah korporasi terdiri dari individu yang terpilih dari berbagai latar belakang yang berbeda.
Keberagaman BOD dapat memberikan berbagai keuntungan.
 Keterlibatan BOD merupakan tantangan bagi BOD dan manajemen karena harus bekerja sama tanpa harus
mengorbankan tanggung jawab mereka (terutama BOD dalam mengendalikan dan memonitor aktivitas
perusahaan).
 Rindova (1999) berargumen tentang pentingnya keterlibatan BOD:
1. Anggota BOD dapat memberikan kontribusi terhadap proses strategis secara kreatif, karena mereka dapat
memberikan masukan berdasarkan berbagai pengalaman yang dimiliki dalam bentuk pertimbangan yang
lebih berkualitas.
2. BOD akan dapat melaksanakan fungsi monitoringnya secara lebih baik jika mereka memahami secara
mendalam strategi perusahaan karena terlibat dalam proses formulasinya.

Board of Directors dan Proses Stratejik


 Menurut Johnson et al (1996) minimnya konsensus dari BOD secara efektif dapat diakibatkan oleh multiple roles
yang harus dilakukan board member sebagai anggota BOD.
 Zahra dan Pearce (1989), pendekatan agency theory merupakan satu satunya perspektif yang mencakup fungsi
strategis dari BOD.
 Dari sudut pandang agency theory keberadaan BOD bukan hanya menjalani fungsi kontrol dalam mekanisme
governance, namun juga memberikan kontribusi dalam formulasi strategi perusahaan.
 BOD memiliki pengaruh terhadap setiap keputusan berhubungan dengan isu strategis perusahaan namun tidak
sadar telah dilibatkan (Henke, 1983).
 Judge dan Zeithmal (1992): tekanan terhadap semakin besarnya akuntabilitas dalam setiap pengambilan
keputusan korporasi menyebabkan semakin fokusnya perhatian terhadap keterlibatan BOD di dalam proses
pengambilan keputusan.
 Tiga (3) alasan utama sebagai dasar tekanan akuntabilitas tersebut:
o Meningkatnya aktivitas investor institusional semakin memberikan tekanan pada BOD untuk mengkritisi
kepemimpinan stratejik oleh manajemen.
o Bentuk pertahanan terbaik dalam menghadapi corporate raiders adalah melalui keterlibatan mendalam BOD
dalam proses pengambilan keputusan.
o Ancaman potensial dan riil menyangkut unwanted takeovers menyebabkan terjadinya tekanan eksternal
yang secara signifikan mendorong perlunya keterlibatan BOD di dalam proses strategis.
Board of Directors; Kontribusi dalam Keputusan Strategis
 Dari sudut pandang kognitif (De Hass & Kleingeld, 1999) menyatakan bahwa bentuk partisipasi BOD akan
menghasilkan peningkatan arus informasi, distribusi pengetahuan & kreativitas yang pada akhirnya diharapkan
mampu untuk menyelesaikan berbagai masalah korporasi melalui komunikasi & pemanfaatan berbagai
pengetahuan yang dimiliki anggota BOD.
 Dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman variatif, anggota BOD dapat berhadapan langsung dengan
kompleksitas strategi dan ketidakpastian (Rindova, 1999).
 Melalui keterlibatan aktif BOD, perusahaan dapat menemukan cara dan memberikan kontribusi dalam
meningkatkan proses strategi.
 Sehubungan dengan perspektif perlunya keterlibatan BOD dalam proses strategi korporasi sesuai dengan
governance framework, ada 3 school of thoughts (Zahra, 1990):
o Legalistic-traditional view yang beranggapan bahwa tugas dan tanggung jawab BOD adalah sebagai
representasi dan melindungi berbagai kepentingan pemegang saham.
o BOD seharusnya aktif, baik dalam tahapan formulasi maupun implementasi strategi.
o Keaktifan BOD berupa bentuk partisipasi dalam proses strategi perusahaan selayakanya hanya dilakukan
dalam bentuk partnership antara pihak manajemen dengan BOD di dalam aktivitas mapping the strategic
direction perusahaan.
 Keterlibatan BOD dalam proses strategis perusahaan harus didasarkan pada tingkatan atau strata dari strategi
yang disusun perusahaan.
 Andrews (1981) membedakan strategi berdasarkan 4 strata:
o Corporate strategy for annual report: strategi disiapkan oleh manajemen puncak dan ditujukan kepada
pemilik perusahaan yang isinya arah strategi sebagai jaminan bahwa manajemen memahami sepenuhnya
arah perusahaan yang dipimpin (keterlibatan BOD dalam belum diperlukan).
o Corporate strategy for BOD, financial analysts, and middle management: strategi perusahaan bersifat lebih
komprehensif sehingga keterlibatan BOD diperlukan untuk proses enlightment atas strategi yang telah
disusun oleh manajemen.
o Corporate strategy for top management: strategi yang dikembangkan mencakup berbagai hal yang bersifat
teknis dan operasional, termasuk antisipasi manajemen terhadap kekuatan persaingan dalam industri sejenis
(keterlibatan BOD tidak diperlukan).
o CEO’s private corporate strategy: hasil pemikiran CEO sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap
keberhasilan perusahaan. Sebagai strategi yang bersifat private, maka hasil rumusan strategi pada level ini
merupakan cerminan keberadaan CEO sebagai strategic thinker.

Peran Strategis Board of Directors; Isu Relevan


a) Dilema Peranan Strategis BOD
 Peranan BOD dalam proses penyusunan strategi perusahaan cenderung memperlebar rentang tugas dan
tanggung jawab BOD.
 Memerlukan peranan lebih aktif BOD dalam proses bisnis perusahaan dan tanggung jawabnya terhadap
kinerja perusahaan.
 Hal ini tidak menjadi masalah selama BOD tidak mengabaikan: pengawasan dan monitor perilaku
manajemen.
 Governance board tetap melaksanakan 2 fungsi: conformance dan performance
 Jika kedua fungsi dijalankan bersamaan dapat menimbulkan dilema ketika BOD harus melaksanakan aktivitas
governance board namun dituntut untuk berperan aktif terutama oleh independent non-executive director
dalam board governance process.
 Hung (1998) meragukan kemampuan anggota BOD untuk melaksanakan fungsi kontrol secara efektif jika
berperan aktif dalam pengambilan keputusan strategis perusahaan.
 Zahra (1990) mengindikasikan terdapat potensi masalah, jika BOD berpartisipasi aktif dalam berbagai isu
strategis perusahaan.
 Sebagian masalah dapat muncul dari manajemen karena menganggap isu strategis merupakan wilayah
tanggung jawab mereka.
 Dari pihak BOD (terutama outside director) tidak bersedia untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan aktivitas strategis perusahaan karena perubahan kinerja perusahaan tidak berdampak
langsung pada kompensasi anggota BOD.
b) Efektivitas Kontribusi Strategis BOD
 Pada unitary board system mengharapkan kontribusi outside directors dalam proses strategis daripada inside
directors.
 Namun kontribusi outside directors diragukan efektivitasnya karena kurangnya pengetahuan mengenai
perusahaan (terutama hal hal spesifik) dan waktu yang terbatas untuk melaksanakan fungsi strategis tersebut.
 Penyusunan strategi perusahaan merupakan hal yang kompleks dan melibatkan multilevel process (Andrews,
1981).
 Namun kurangnya pengetahuan tentang perusahaan oleh BOD dapat menghambat persetujuan keputusan
stratejik yang berdampak pada melemahnya daya saing perusahaan.
c) Ketergantungan Perusahaan dengan Lingkungannya
 Isu lainnya yang relevan sehubungan dengan kontribusi BOD di dalam proses strategi: pengaruh lingkungan
organisasi perusahaan dalam kaitannya dengan peranan conformance dan performance BOD.
 Zahra dan Pearce (1989) → konsentrasi kepemilikan dan lingkungan eksternal suatu perusahaan merupakan
faktor contingency penting dalam menentukan peranan BOD, terutama menyangkut keterlibatan dan
kontribusi mereka dalam proses strategis perusahaan.

Board Governance di Indonesia


• Perbedaan struktur antara keberadaan BOD sebagai organ perseroan (PT) di Indonesia dan Negara lainnya
diantaranya disebabkan oleh perbedaan tradisi dan sistem hukum yang dianut masing masing Negara tempat
perusahaan berada.
• Dalam melaksanakan aktivitas dan untuk kelangsungan hidup PT, dibutuhkan beberapa organ perseroan
(Tumbuan, 2006):
1. RUPS sebagai wadah pemilik modal: pihak yang berwenang sepenuhnya untuk menentukan siapa yang
dipercayai untuk kepengurusan PT.
2. Direksi: oleh UU ditugaskan untuk mengurus dan mewakili PT.
3. Dewan Komisaris: oleh UU ditugaskan untuk melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada
Direksi.

Penelitian tentang Board Governance di Indonesia


 Belum terdapat hasil penelitian yang konklusif dan komprehensif menyangkut berbagai aspek yang berhubungan
dengan board governance di Indonesia.
 Perbedaan hasil penelitian dapat dijelaskan: adanya perbedaan sistem dewan yang dianut berbagai Negara.
 Belum terdapat hasil penelitian yang konklusif serta komprehensif menyangkut berbagai aspek yang
berhubungan dengan board governance di Indonesia.
 Board size terhadap kinerja perusahaan.
o Novia dan Lukviarman (2006) & Jeanly dan Lukviarman (2006): berpengaruh positif & signifikan
o Yenmark (1996) & Lorderer dan Peyer (2006): berpengaruh negatif & signifikan
o Beiner et al. (2004): tidak berpengaruh
 Perbedaaan antara one tier boad system dan two tier board, perbedaan karkateristik perusahaan, faktor regulasi,
faktor lingkungan ekonomi, sosial dan budaya merupakan hal yang perlu dipertimbangkan sebagai penyebab
perbedaaan hasil penelitian.
 Secara umum dapat disimpulkan bahwa masih dibutuhkan suatu struktur dewan yang optimal sehingga
memungkinkan perusahaan memiliki governing board yang efektif dalam menunjang peningkatan kinerja
perusahaan.

Kasus tentang Board Governance di Indonesia


Selama tahun 2007, terjadi kasus perseteruan antara Direksi khususnya Direktur Utama dengan Dewan Komisaris
pada beberapa perusahaan di Indonesia (PT.Jamsostek, PT Humpuss Intermoda Transportasi, dan PT. Telkom).
 Masalah tersebut muncul karena ketidakpatuhan pelaku bisnis terhadap peraturan perundang undangan yang
mengatur kewenangan direksi dan komisaris.
 Hal tersebut karena terjadi penafsiran yang berbeda terhadap ketentuan hukum yang memberikan Komisaris
wewenang untuk memberhentikan sementara Dirut.
 Selain itu konflik antara dirut dan dewan komisaris juga karena faktor bad CG.
 Hal ini karena pada perusahaan yang memiliki konflik tersebut belum dilakukan penerapan konsepsi governance
secara subtantif walaupun secara formal sudah.
 Hal tersebut memperlihatkan bahwa selama terdapat konflik kepentingan antara berbagai pihak yang terlibat
dalam perusahaan, maka isu governance menjadi hal krusial untuk menjadi perhatian.
 Keberadaan CG diharapkan dapat mereduksi terjadinya konflik di atas.
 Konflik yang muncul dapat mempengaruhi kegiatan operasional perusahaan yang akhirnya mempengaruhi
kesejateraan pemegang saham dengan kesuksesan perusahaan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
 Sehubungan dengan masalah tersebut peranan mekanisme governance berupa kepatuhan terhadap regulasi dan
penegakan aturan main sangat diperlukan.

Keseimbangan kinerja dan Peran Kepatuhan Dewan Komisaris


 Dewan komisaris menghadapi tantangan untuk menjaga keseimbangan antara: formulasi strategi dan
pembuatan kebijakan serta kinerja )dengan pengawasan terhadap direksi dan akuntabilitas) dan kepatuhan
terhadap aturan yang ditetapkan.
 Pada kenyataannya sebagian komisaris berkeyakinan bahwa esensi konsep CG: aspek kepatuhan, karena
menganggap bahwa peran dewan komisaris adalah melakukan supervise terhadap direksi dan memastikan
akuntabilitas perusahaan kepada pemegang saham.
 Dalam kasus ini aspek kinerja berupa formulasi dan pembuatan kebijakan sebagian besar didelegasikan ke pihak
direksi dan manajemen.
 Pada kondisi perusahaan yang memiliki anggota Dewan Komisaris dari pihak independen (dominasi oleh
komisaris independen) maka fokus akuntansi mereka terhadap aspek kepatuhan semakin besar.
• Dalam kasus ini maka aktivitas terkait kinerja secara penuh didelegasikan kepada direksi atau pihak manajemen.
• Sebagian dewan komisaris lainnya memiliki pemahaman menjaga keseimbangan antara aktivitas yang
berhubungan dengan aspek kepatuhan dengan tetap memiliki komitmen dan kontribusi terhadap kinerja
perusahaan
• Sebagian dewan komisaris lainnya memiliki pemahaman menjaga keseimbangan antara aktivitas yang
berhubungan dengan aspek kepatuhan dengan tetap memiliki komitmen dan kontribusi terhadap kinerja
perusahaan
• Disini dewan komisaris melakukan fungsi pengarahan terhadap perusahaan, meyakinkan bahwa perusahaan
berjalan sesuai dengan arah yang diharapkan, memahami potensi risiko serta menetapkan berbagai arahan untuk
masa depan perusahaan.

Penguatan Peran Dewan Komisaris dalam Implementasi Governance


 Dewan komisaris bertugas untuk mengarahkan berbagai aktivitas perusahaan namun tidak bertanggung jawab
dalam pengelolaan perusahaan.
 Keberadaan BOD memiliki greatest impact on the behavior of firm sebagai akibat dari peranannya di dalam
menentukan misi perusahaan.
 Strategic competitiveness sebuah perusahaan diharapkan dapat meningkat jika mekanisme governance yang ada
mempertimbangkan berbagai kepentingan stakeholders.
 Melalui penerapan CG yang tepat maka strategi perusahan dapat diformulasikan dan diimplementasikan secara
lebih baik.
 Perlunya penguatan peranan board governance dalam rangka meningkatkan efektivitas implementasi CG pada
berbagai perusahaan di Indonesia

Rekomendasi Kebijakan; Penguatan Peran Dewan Komisaris


 Berdasarkan uraian terkait peranan strategis dewan komisaris, dapat disimpulkan bahwa hanya melalui
penerapan CG secara proper maka strategi perusahan dapat diformulasikan dan diimplementasikan secara lebih
baik.
 Peran lebih aktif dewan komisaris dalam proses governance lebih jauh diharapkan:
– Meredam konflik kepentingan antar stakeholders
– Meningkatkan kinerja
– Meningkatkan akses terhadap sumber pembiayaan internasional
– Meningkatkan daya saing perusahaan
CH. 13 Studi Governance Lintas Budaya: Implikasi Konseptual dan Metodologis Peranan Budaya dalam Penelitian

Hoftede (1984) mendefenisikan budaya sebagai ‘cara’ sekelompok indvidu dalam masyarakat menyelesaikan masalah
mereka dan melakukan rekonsiliasi terhadap berbagai dilema yang dihadapi dengan ‘cara mereka’.
Defenisi dimaksud memberikan dasar argumentasi bahwa sekelompok indvidu yang berbeda dapat memiliki pola pikir
yang berbeda, memahami suatu permasalahan secara berbeda, sehingga mencari serta menemukan solusi terhadap
masalah mereka dengan cara meraka yang dapat pula berbeda dibandingkan sekelompok individu lainnya.

Berbagai Isu Budaya dan Dimensi Penelitian


Sifat alamiah dunia sosial yang relevan untuk menjadi rujukan dalam melakukan penelitian di ranah ilmu sosial di
bedakan menjadi dua, yaitu:
1. Subjektifistik
Berdasarkan sudut pandang subjectivist maka seorang peniliti akan mengumpulkan informasi berdasarkan
pendekatan metodologi ideographic (qualitative). Tujuannya agar peniliti dapat ‘terlibat’ secara rasional maupun
emosional terhadap fenomena yang diteliti, sehingga dapat melakukan observasi secara baik dan menghasilkan
keluaran penelitian yang memenuhi asumsi dari dimensi subjectivist.
2. Objektifistik
Dimensi objectivist memberikan penekanan pada penggunaan metodologi nomothetic (qualitative) di dalam
mengumpulkan informasi untuk mencapai tujuan penelitian yang dilakukan. Pemilihan paradigma penelitian memiliki
nilai penting didalam melakukan investigasi terhadap fenomena yang sedang diteliti.

Penelitian Lintas Budaya


Brisilin (1976) mendefenisikan penelitian lintas budaya sebagai studi empirikal yang dilakukan oleh seorang atau
sekelompok peneliti dari beragamlatar belakang budaya dengan pengalaman yang berbeda, sehingga memiliki
perilaku penelitian yang berbeda secara signifikan. Bebagai ahli menganggap bahwa tipe penilitian ini secara alamiah
bersifat relatif kompleks dan membutuhkan sudut pandang yang lebih luas, karena keharusan untuk mengakomodasi
berbagai faktor budaya yang berbeda dalam studi yang dilakukan.

Perbedaan Antarnegara
Sebelum melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan aspek budaya, setiap peneliti terlebih dahulu harus
mampu memberikan penjelasan dan pertimbangan sebagai argumentasi untuk memperoleh higher external validity.
Dalam kaitan ini Redding (1995) menyarankan cara terbaik untuk mengidentifikasi sebuah budaya adalah melalui
penggunaan batasan nasionalitas suatu negara. Kesepakatan atau kenyamanan di dalam menggunakan batasan
negara sebagai suatu entitas budaya, tidak banyak dipertanyakan dan telah digunakan dalam berbagai studi
komparasi terutama dalam bidang manajemen.

Pengaruh Budaya dalam Metodologi Penelitian


Terdapat dua pilihan yang tersedia terkait peranan budaya dalam metodologi penelitian; apakah penelitian dilakukan
tanpa memperhatikan faktor budaya (cultural free) atau menggunakan faktor budaya sebagai pembatas (culturaly-
bond).
Penelitian tanpa mempertimbangkan faktor budaya (cultural free) mempunyai pandangan bahwa faktor budaya
merupakan hal yang tidak relevan, sehingga menjaga asumsi universalitas; suatu teori yang dibangun dan dihasilkan
di suatu negara akan dapat diaplikasikan pada negara lainnya.
Pada sisi lainnya (culturaly-bond), beberapa peneliti yang menekankan pentingnya setiap peneliti untuk
mempertimbangkan elemen budaya dalam setiap riset yang dilakukan. Hal tersebut tidak hanya terbatas untuk
penelitian yang bersifat lintas budaya, namun juga untuk penelitian dalam konteks budaya tertentu namun
menggunakan konsep teori yang dibangun di negara dengan budaya berbeda.

Latar belakang Budaya Peneliti


Kesesuaian antara kerangka konseptual dan metodologis dengan tujuan penelitian merupakan tema kunci dalam
setiap studi yang berseifat lintas budaya.
Kedua hal dimaksud berhubungan dengan kemampuan seorang peneliti dalam mengonseptualisasikan suatu
fenomena tertentu, dan cara untuk melakukan penilitian untuk konteks budaya yang berbeda terkait penelitian
dengan jenis tersebut.
Dengan demikian, maka latar belakang budaya seorang peneliti dapat dianggap sebagai elemen utama dan bersifat
sentral di dalam proses penelitian lintas budaya. Konsekuensinya latar belakang budaya peneliti tersebut berpotensi
untuk melemahkan hasil penelitian, terutama berupa resiko akibat bias yang ditimbulkan oleh latar belakang budaya.
Berbagai bias yang berpotensi muncul dalam penelitian lintas budaya dapat disebabkan oleh seperangkat faktor
berikut.
1. Dimensi Budaya (the Cultural Dimension)
2. Nilai-nilai Budaya (the Cultural Values)
3. Peranan Bahasa (the Language)
4. Aspek Keagamaan (Religious Aspect)

Implikasi Terhadap Penelitian Corporate Governance


Perkembangan governance juga mengalami perbedaan lintas negara maupun budaya sesuai dengan karakteristik
masing-masing.
Kondisi demikian menjadi dasar argumentasi utama bahwa konsepsi CG secara inherent bersifat context-specific,
dengan budaya nasional berperan sebagai bagian penting di dalam mengakomodasi ekspetasi masyarakat terkait;
bagaimana seharusnya praktik bisnis dilakukan oleh korporasi?
Kondisi yang diharapkan tersebut merupakan hal strategis, terutama bagi perusahaan multinasional yang akan
dihadapkan pada budaya yang berbeda di berbagai negara tempat perusahaan beroperasi.

CH. 8 Penerapan Governace di Indonesia

Struktur Governance di Indonesia


Struktur CG di Indonesia masih banyak yang diatur dan dimiliki oleh keluarga pendiri. Hak kepemilikan & kontrol
manajemen masih dimiliki oleh lingkaran anggota keluarga & rekan bisnis yang dipercayai. Kepemilikan perusahaan
dijual ke public biasanya 20% sesuai dengan ketentuan minimal yang harus dijual. Kondisi ini diperkuat dengan
keberadaan pasar modal yang relatif kecil, tidak berkembang, tidak liquid mengakibatkan tidak berjalannya
mekanisme disiplin & pengendalian terhadap manajemen melalui mekanisme pasar sebagai bagian dari corporate
control.
Ciri perusahaan di Indonesia
 Minimnya pemisahan antara kepemilikan dan kontrol.
 Tingginya tingkat konsentrasi kepemilikan (sebagian besar memiliki afiliasi/merupakan bagian dari kelompok
bisnis yang juga dimiliki keluarga).
 Kepercayaan tinggi sumber pembiayaan dari pinjaman bank. Kelompok bisnis top di Indonesia sekurang
kurangnya mengendalikan 1 bank.
Kelemahan implementasi peraturan di Indonesia: setengah dari seluruh bank yang meminjamkan modal untuk
perusahaan merupakan bagian dari kelompoknya sendiri dan pinjamannya melebihi 20 kali tawaran batasan
peminjaman maksimum yang sah. Check and balances dapat ditingkatkan melalui peranan aktif dari BOD dalam
menjalankan fungsi supervisory & advisory. Dominasi anggota dewan komisaris yang mempunyai hubungan keluarga
pemilik berpotensi mengaburkan efektivitas peran pengawasan dalam mekanisme check and balances sebagai esensi
keberadaan CG dalam perusahaan. ADB (2000) mengatakan kelemahan CG di Asia Timur:
- Struktur tingkat kepemilikan yang tinggi
- Intervensi pemerintah yang excessive
- Pasar modal yang tidak berkembang
- Lemahnya penegakan hukum yang berlaku terhadap perlindungan investor
Selain itu tidak ditemukannya kerangka peraturan & hukum yang bersifat memaksa dan sah
Konteks dan Struktur Governance
Sistem CG dapat diklasifikasikan:
- Sistem yang didominasi pasar. Pasar untuk corporate control
- Mekanisme terletak pada jantung sistem pengendalian → outsider control system
- Sistem yang didominasi bank → insider dominated control
Walaupun telah ada UU baru (UU Dagang: UU No 1 thn 1995 → UU No 40 thn 2007 dan UU mengenai kebangkrutan)
masih banyak ditemukan berbagai praktik bisnis dari sistem hukum sipil yang diterapkan oleh Belanda (Lindsey, 2000).
Perkembangan struktur korporasi melalui teori path dependence → struktur corporate dalam suatu suatu
perekonomian bergantung pada struktur bagaimana ekonomi suatu Negara dimulai. Sistem keuangan Negara akan
menentukan orientasi perusahaan khususnya dalam membangun hubungan antara berbagai pihak yang terlibat
dalam kerja sama tersebut.

Indonesia; Stakeholding versus Shareholding


Indonesia → Continental European → Stakeholding
Melalui sudut pandang stakeholding diharapkan pemahaman fenomena CG yang terjadi di Indonesia dapat sesuai
serta tidak kontradiktif antara konsep & praktik. Di Indonesia pemahaman fenomena CG dapat dilakukan
menggunakan sudut pandang shareholding → problem keagenan di Indonesia bukan antara pemilik dan manajemen
tetapi antara pemegang saham mayoritas dengan minoritas.
“[governance] can not be pre-designed asa optimal or “appropriate”. It must emerge through a dynamic process in
which there are continuous interactions between choices made and their complex contexts. It is hard to find a reliable
structural solution to the governance issue, especially when working across cultural boundaries and historical
periods”
Dari kutipan tersebut tidak ada perspektif yang lebih baik dibandingkan perspektif lainnya. Hal ini memberikan
implikasi adanya perspekptif lain diantara shareholding & stakeholding. Di Indonesia (penerapan CG) dari uraian di
atas memberikan implikasi bahwa reformasi CG harus mempertimbangkan karakteristik spesifik dari prkatik bisnis,
hukum yang dianut serta kondisi kemasyarakatan yang hidup dan berkembang. Jika tidak masalah yang muncul:
terjadinya konflik antara praktik CG yang diadopsi dengan seperangkat nilai budaya yang telah lama hidup dan
berkembang di Indonesia.
Faktor utama yang layak dipertimbangkan dalam mengidentifikasi sistem & model CG di suatu Negara yaitu
lingkungan budaya, aspek hukum & perundang undangan, pola bisnis yang dianut secara dominan. Pertimbangan ini
terlepas dari pilihan perspektif yang digunakan dalam memahami prkatik CG di Negara tersebut. Efektivitas dari
berbagai perangkat governance (terutama best practices) menjadi sangat tergantung pada lingkungan regulasi dan
penegakan hukum di suatu Negara.

Karakteristik Corporate Governance di Indonesia


Sistem yang digunakan di Indonesia mengikuti pola continental European system yang dapat dijelaskan dengan teori
path dependence. Sistem pengelolaan perusahaan di Indonesia mengikuti/dipengaruhi faktor ketergantungan pada
struktur perusahaan dan hukum Belanda. Berdasarkan pendekatan one-size-fits-all (OECD, 1999) mekanisme
pengendalian dalam sistem CG yang dianut oleh suatu Negara mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Negara
lainnya. Misalnya: Anglo-Saxon → sistem keuangannya berbasis pasar. Negara berkembang → sistem keuangan
berbasis jaringan (network oriented). Kendala paling mendasar penerapan CG di Indonesia: berhubungan dengan
moral & etika. Misalnya: perusahaan di Indonesia berpola kepemilikan terkonsentrasi basis hubungan keluarga. Tanpa
basis moral & etika yang kuat untuk mendahulukan kepentingan kelompok dan mengorbankan kepentingan lainnya
jadi sangat besar.

Kendala Implementasi Corporate Governance di Indonesia


Salah satu alasan tidak berfungsinya hukum di suatu Negara berkembang (Indonesia) itu karena hukum yang diadopsi
dari Negara Barat tidak sesuai dengan budaya lokal. Nilai budaya lokal lebih berperan sebagai aturan yang dominan
dibandingkan dengan aturan hukum yang terinstitusionalisasi secara legal-formal (Lukviarman, 2004). Lebih dominan
aturan informal dibandingkan aturan legal-formal tidak masalah asalkan berdasar prinsip dasar moral yang jelas
(untuk kemaslahatan umat). Namun yang terjadi di praktik, dominasi sikap oportunistis para pelaku bisnis
(Willramson, 1985) dapat mengakibatkan beberapa pihak menguntungkan mereka namun merugikan yang lain.
Dalam CG dapat mengganggu keseimbangan sistem → mekanisme kontrol. Karena di Indonesia mekanisme kontrol
tidak berjalan secara optimal → pihak mayoritas yang sangat kuat tidak mempunyai kekuatan penyeimbang yang
akhirnya dapat terjadi disorder
CH. 9 Governance dan Peran Board of Directors

Konsepsi Board of Directors


 Peran BOD → jembatan antara pemilik dan manajemen.
 Dari sudut pandang governance → fungsi utama BOD: menyakinkan bahwa korporasi telah dijalankan
manajemen dengan appropriate manner sehingga dapat mencapai tujuan yang ditetapkan.
 BOD mempunyai fungsi controlling & directing → tergantung kemampuan setiap anggota BOD dalam melakukan
tugasnya secara tim.
 Terdapat 2 perspektif keberadaan BOD:
a. The managerial dominant
b. The true BOD
 Seharusnya BOD melindungi pemilik dengan monitoring agar manajer tidak memperkaya dirinya sendiri.
 Pada kenyataannya di berbagai Negara maju BOD memiliki konflik dengan pemilik.
 Kegagalan fungsi monitoring disebabkan tidak efektifnya outside directors dalam mekanisme board of
governance. (Finkelstein dan Hambrick, 1996)
 Johnson et al (1996) dalam the proponent of the agency theorist mengatakan BOD yang efektif didominasi outside
directors, karena lebih independen dari insider directors.
 Sebaliknya Baysinger dan Hoskisson (1990) mengatakan manfaat keberadaan inside directors antara lain memiliki
akses informasi yang cukup tentang perusahaan, sehingga mereka mempunyai dasar dan penilaian yang baik
dalam pengambilan keputusan.

Peranan Board of Directors


 BOD sebagai the governing body, peran utama: bertanggung jawab dengan seluruh keputusan dan kinerja
organisasi.
 Dalam one-tier board, BOD merupakan elemen struktur CG yang memiliki akuntabilitas kepada pemilik & pihak
lainnya yang memiliki legitimasi.
 Pada one-tier board & two tier board, BOD memiliki advisory roles (pemberian nasihat).
 Peranan BOD merupakan 1 dari 4 fitur yang merupakan karakteristik sistem governance.
 Hal ini tergambar dari mekanisme governance di dalam mendisiplinkan manajemen perusahaan melalui
struktur governance sebuah perusahaan.
 Pada Negara yang mengadopsi Continental European System berbagai hak investor cenderung tidak terlindungi,
maka BOD dipilih menjadi pengontrol pihak manajemen

Atribut Anggota Board of Directors


 Dari berbagai unsur CG, hal yang paling penting adalah SDM.
 The human face of governance: pelaku korporasi pada berbagai posisi struktur CG memberi dampak yang besar;
tergambar dari sikap & perilaku mereka terhadap berbagai aspek CG.
 Jika dihubungkan dengan dasar fisiolofis & konseptual CG, syarat utama BOD: integritas, karena BOD menerima
amanah pemilik, konsekuensinya mereka harus bertindak terbuka (act openly) & jujur terhadap kepentingan
pemilik sebagai investor.
 Sikap integritas BOD: setiap anggota BOD selalu bertindak untuk kepentingan perusahaan serta mampu
menahan godaan diri untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain, namun merugikan perusahaan.
 Dari sudut pandang legal, perusahaan merupakan entitas legal & memiliki berbagai hak sebagaimana halnya
seorang individu.
 BOD harus bertindak sebagai “ruh perusahaan”.
 Keberadaan BOD akan menghasilkan karakter korporasi yang menjadi dasar bagaimana sebuah organisasi
melakukan berbagai kegiatan operasionalnya yang selalu mengacu kepada aspek hukum yang mengatur perilaku
organisasi dalam masyarakat.
 Disamping integritas, atribut utama yang harus dimiliki BOD: intelektualitas → karakteristik ini merupakan
kombinasi dari tingkat berpikir pada berbagai tingkatan abstraksi & memiliki imajinasi untuk dapat melihat dan
memetakan situasi dari berbagai perspektif yang berbeda.
 Selain itu anggota BOD harus memiliki kekuatan karakter termasuk memiliki pemikiran yang independen,
objektif dan imparsial: anggota BOD perlu memiliki pola pikir yang kuat, tidak cepat menyerah dengan keadaan
dan tangguh dengan keberanian untuk menentukan pilihan posisi.
 Kemampuan untuk mengambil keputusan secara bijaksana dan bukan berdasarkan kondisi apa adanya serta tidak
memiliki dasar yang jelas dan dapat dipertanggung-jawabkan.
 Kemudian personalitas yang positif (termasuk kemampuan untuk berinteraksi secara positif & fleksibel dengan
orang lain).
 Anggota BOD diharapkan juga memiliki sensitivitas terhadap situasi, mampu berdiplomasi, bersikap persuasive,
kemampuan untuk memotivai pihak lain dan memiliki humor, menjadi pendengar yang baik, komunikator yang
andal dan memiliki sensitivitas politik yang memadai.
 Indikator kesuksesan anggota BOD: kemampuan memandang ke depan, mengantisipasi masalah dan mampu
mengartikulasikan berbagai alternatif solusi dari setiap permasalahan.
 Anggota BOD diharapkan memiliki kemampuan untuk menerima kritikan dan saran dari berbagai pihak.
 Anggota BOD dapat diandalkan dan dipercaya oleh sesama anggota lainnya serta pimpinan BOD sendiri.

Kompetensi Inti Board of Directors


Yang harus dimiliki oleh BOD
a. Pengalaman: pengalaman dalam bidang CG, prosedur dalam melaksanakan tugas BOD, pengalaman dalam hal
formulasi strategi dan pembuatan kebijakan institusi BOD.
b. Keahlian: kemampuan dasar strategi, memiliki visi, kemampuan analitikal baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, interpretasi laporan keuangan, kapabilitas perencanaan dan pengambilan keputusan, kemampuan
komunikasi dan interpersonal, kemampuan dalam bidang politik serta memiliki jaringan yang luas.
c. Pengetahuan
 Pengetahuan tentang perusahaan: berbagai hal tentang perusahaan.
 pengetahuan terhadap bisnis perusahaan: pemahaman terkait aktivitas mendasar serta proses bisnis
perusahaan.
 pengetahuan terhadap aspek keuangan: kemampuan untuk memahami berbagai aspek terkait keuangan
perusahaan serta konsekuensi yang ditimbulkan, sehingga anggota BOD dapat memberikan apresiasi
menyeluruh terhadap aspek keuangan.

Perspektif Board Governance


Menurut Zahra & Pearce (1989) terdapat 4 perspektif yang dapat mempengaruhi peranan BOD dalam melaksanakan
fungsi board governance:
a. Perspektif Agency Theory memandang fungsi dan peranan BOD tidak hanya pengendalian & pengawasan
manajemen, tetapi juga memberikan kontribusi strategis pada manajer di dalam menjalankan kegiatan
perusahaan. BOD merupakan bagian dari mekanisme yang efisien didalam aktivitas monitoring manajemen/para
eksekutif korporasi.
b. Perspektif The Managerial Dominance berpendapat keberadaan BOD di dalam korporasi tidaklah efektif,
karena tidak independen dan tidak mempunyai pengetahuan memadai terhadap berbagai hal operasional yang
berhubungan secara spesifik pada perusahaan.
c. Terdapat perspektif lain diantara managerial hegemony & agency theory yang menyatakan bahwa BOD &
manajemen dapat bekerja sama dalam menjalankan fungsi masing-masing untuk kesuksesan organisasi. Kedua
dewan perusahaan dapat terlibat dalam menyusun & mengembangkan strategi korporasi sehingga BOD dapat
memberikan kontribusi lebih dari expertise yang mereka miliki.
 Dalam konteks governance, kata monitoring sering digunakan sebagai label yang bersifat komprehensif
untuk berbagai hal yang berhubungan dengan value-enhancing act dari korporasi.
 Dari perspektif agency theory aktivitas tersebut mengacu pada peranan & fungsi utama BOD sebagai bahan
penting mekanisme kontrol internal.
 Tidak berfungsinya mekanisme kontrol eksternal berbasis pasar secara efektif, maka peran BOD melalui
monitoring diharapkan mampu menutupi kelemahan mekanisme pasar tersebut.

Board of Directors; Perspektif Continental Europan


 Beberapa perspektif teori yang mengamati tentang hal apa saja yang dilakukan oleh BOD dan bagaimana hal
tersebut dilakukan.
a. Resource Dependence Theorists: keberadaan board dapat digunakan sebagai mekanisme untuk mengurangi
dampak ketidakpastian dari lingkungan organisasi melalui cara kooptasi dengan berbagai pihak eksternal
yang merepresentasikan ketergantungan organisasi terhadap berbagai faktor yang bersifat kritikal (Pfeffer,
1972; Burt, 1983)
b. Social Class Theorist: fokus terhadap keberadaaan managerial elites dan board interlocks
c. Management Theorist: kesimpulan → keberadaan boards lebih bersifat inert daripada aktif
d. Agency Theorist: menempatkan BOD sebagai pusat CG dengan penekanan dan fokus perhatian terhadap
peranan board di dalam menjalankan fungsi monitoring dan mendisiplinkan top management.
 Secara konseptual BOD harus menjalankan 2 fungsi utama dalam organisasi (Finkelstein, Hambrick and Canella,
2009):
a. Externally directed: bertindak sebagai penyangga dan boundary spanners, menghubungkan organisasi dengan
sumber daya kritikan di organisasi dan berbagai informasi yang memiliki nilai melalui jaringan yang terjadi
lewat proses director interlocks.
b. Internally focused: memiliki peranan di dalam pengadministrsian dan pengendalian internal, bertanggung
jawab secara paut
 Kondisi kontekstual utama yang mempengaruhi karakteristik board: komposisi dan struktur dari board itu
sendiri.
a. Dalam kaitan ini termasuk: faktor ketergantungan kritikal yang dihadapi perusahaan, kekuatan institusional
dan kondisi keagenan.
b. Selain itu keberadaan board dalam organisasi juga dapat diamati melalui observasi terhadap proses (melalui
interaksi antara anggota BOD sebagai suatu kelompok), style (personalitas atau modus operasional fungsi
BOD) dan internal organisasi (keanggotaan dalam komite dan aliran informasi diantara komite)
c. atively (dan secara legal) di dalam membuat kebijakan dan memonitor pihak manajemen.

Peran dan Fungsi Board Governance


 Ditengah maraknya implementasi CG, kritik yang muncul: perlunya reformasi tentang peran & fungsi board
governance, karena ketidakmampuan BOD dalam melaksanakan tugas & tanggungjawab utamanya berupa
fiduciary roles secara efektif.
 Fungsi utama BOD secara legal: duty of loyalty & duty of care.
 Keduanya lebih diprioritaskan disbanding fungsi fiduciary lainnya & monitoring dari seperangkat tugas BOD.
 Duty of loyalty menegaskan bahwa tugas BOD yang utama: harus bertindak dengan niat baik dan menahan diri
dari berbagai tindakan yang mendahulukan kepentingan pribadi dibandingkan institusi.
 Duty of care: BOD harus bertindak secara cermat & penuh kehati hatian terutama dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Hal ini mengharuskan anggota BOD berperilaku jujur dan niat baik dalam menjalankan fungsinya.
 Berbagai fungsi yang berhubungan dengan fiduciary duties BOD: the duty of obedience, the duty of good faith,
dan the duty of fair disclosure.

Lingkungan Eksternal dan Peranan Board of Directors


 Perananan human capital di dalam perusahaan penting untuk menghadapi perubahan lingkungan perusahaan
diiringi dengan peningkatan intensitas persaingan.
 Berbagai perubahan mendasar di lingkungan perusahaan telah memberikan dampak signifikan terhadap
perlunya peningkatan BOD melalui board governance process, terutama jika dihubungkan dengan faktor berikut
ini:
a. Akselerasi persaingan di pasar global tidak hanya mensyaratkan kinerja persaingan yang superior,tetapi juga
kepekaan perusahaan terhadap permintaan dan ekspektasi dari stakeholders perusahaan.
b. Semakin kompleksnya lingkungan bisnis perusahaan menyebabkan semakin besarnya ketidakpastian dan
kemungkinan terjadinya ancaman takeover bids dan potensi bencana keuangan lainnya, sehingga berbagai
perusahaan berhadapan dengan tingkat risiko yang semakin tinggi. Peningkatan permintaan terhadap perlunya
transparansi dan akuntabilitas perusahaan akan membawa dampak pada meningkatnya stander kinerja dan kualifikasi
BOD, khususnya pada perusahaan publik.
c. Semakin aktif dan dominannya peranan institutional investors menjadikan investor tersebut sebagai
pemegang saham yang bersifat permanen, sehingga menghendaki perusahaan untuk semakin meningkatkan
kinerjanya.
d. Tekanan kepada perusahaan untuk semakin terlibat di dalam aktivitas kemsyarakatan sebagai pengembangan
dari konsepsi stakeholder (seperti CSR) mengisyaratkan semakin perlunya perhatian perusahaan terhadap
pekerja, komunitas, dan aspek sosial lainnya.
e. Tantangan yang semakin kompleks mengisyaratkan perlunya respons perusahaan berupa peningkatan
kemampuan daya saing melalui desain strategi yang semakin baik dan mampu mengakomodasi berbagai
kebutuhan perusahaan dalam menghadapi persaingan.

Anda mungkin juga menyukai