Digital - 137262-T Dewi Eka Putri PDF
Digital - 137262-T Dewi Eka Putri PDF
MANUSKRIP PENELITIAN
NPM : 0806469565
DEPOK
JULI 2010
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430, Indonesia
Email : dewi_adisifa@yahoo.com
Abstrak
Perilaku kekerasan (PK) adalah respon kemarahan maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri,
orang lain dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran Pengaruh Rational Emotive
Behaviour Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor. Desain
“Quasi Experimental Pre-Post Test with “Control Group” dengan intervensi Rational Emotive
Behaviour Therapy (REBT). Sampel penelitian adalah 53 klien skizoprenia paranoid dengan PK,
terdiri atas 25 kelompok intervensi dan 28 orang kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan
peningkatan respon kognitif dan sosial serta penurunan respon emosi, perilaku dan fisiologis secara
bermakna (P-value 0,05) pada klien yang mendapatkan REBT. REBT direkomendasikan untuk
diterapkan pada klien PK bersama dengan tindakan keperawatan generalis.
Abstract
Violent behavior is a maladaptive anger response, which is shown by the People whom treated
themselves, others and the environment. The study aims to get the explanation of the effect rational
emotive behavioral therapy in reducing violent behavioral in Bogor RSMM hospital. Design with
“Quasi-Experimental design Pre-Post Test with Control Group” and the intervention of rational
emotive behavior therapy (REBT). The samples of this research are 53 clients with paranoid
schizophrenia who has violent behavior, consisted of 25 clients as intervention group and 28 clients as
control group. The Results of this research show the increasing response of cognitive, social and
reducing of emotional response, behavioral, and physiological significantly, at (P-value 0,05) on the
clients who get REBT. In 2 times frequency treated associated with the client's social response
increased. REBT are recommended to provide to the clients with REBT critical nursing generalist.
PENDAHULUAN
Hidup sehat adalah idaman setiap orang, untuk itu setiap orang berupaya menjaga
kesehatannya. Berdasarkan Undang-Undang tentang kesehatan nomor 36 tahun 2009
pasal 1 ayat 1 menjelaskan definisi kesehatan adalah keadaan sehat baik fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian individu yang sehat adalah
individu yang dapat hidup dengan produktif di dalam kehidupannya.
Kesehatan jiwa merupakan hal yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk
menghasilkan manusia yang berkualitas dan terbebas dari gangguan jiwa. Kesehatan
jiwa adalah keadaan sejahtera ditandai dengan perasaan bahagia, keseimbangan,
merasa puas, pencapaian diri dan optimis (Stuart & Laraia, 2005). Kesehatan jiwa
adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari
hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep
diri yang positif dan kestabilan emosional (Johnson, 1997, dalam Videbeck, 2008).
Menurut WHO (2001) mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai suatu kondisi
sejahtera dimana individu menyadari kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi
stress dalam kehidupannya, dapat bekerja secara produktif, dan mempunyai
kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat.
Laporan WHO (2001) menjelaskan bahwa status kesehatan jiwa secara global
memperlihatkan 25% penduduk pernah mengalami gangguan mental dan perilaku,
namun hanya 40% yang terdiagnosis. Di Indonesia, jumlah penderita masalah
kesehatan jiwa cukup tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan
hampir di seluruh bagian dari wilayah Indonesia dalam beberapa dekade ini,
populasi mengalami masa sulit karena konflik, kemiskinan maupun bencana alam.
Sejumlah besar masyarakat Indonesia mengalami penderitaan mental yang bervariasi
mulai dari tekanan psikologis ringan hingga gangguan jiwa akut.
WHO (2001) mendefinisikan gangguan jiwa mengacu pada kriteria yang ditetapkan
oleh International Statistical Classification of Deseases and Related Health Problem
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
edisi sepuluh yang menyebutkan bahwa gangguan jiwa merupakan sekumpulan
gangguan pada fungsi pikir, emosi, perilaku dan sosialisasi dengan orang sekitar.
Definisi lain tentang gangguan jiwa yang digunakan praktisi keperawatan
bersumber dari American Psychiatric Association (2000, dalam Varcarolis, 2006),
gangguan jiwa didefinisikan sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau
perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan
adanya distres atau disabilitas atau disertai peningkatan risiko kematian yang
menyakitkan, nyeri, disabilitas atau kehilangan kebebasan. Sementara Townsen
(2005) mengungkapkan gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap
stresor dari lingkungan internal dan eksternal yang ditunjukkan dengan pikiran,
perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan budaya
setempat, dan mengganggu fungsi sosial, pekerja, dan fisik individu. Sedangkan
menurut Kaplan dan Sadock (2007), gangguan jiwa merupakan gejala yang
dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi
perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma,
dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak hanya dari respon yang diharapkan
pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan lingkungan
sekitarnya.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Skizoprenia merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa yang paling
banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat. Skizoprenia adalah
sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu,
termasuk fungsi berpikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan
realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan berperilaku yang dapat diterima
secara rasional (Stuart & Laraia, 2005). Perilaku maladaptif dari klien dengan
skizoprenia adalah penampilan yang buruk, berkurangnya kemampuan untuk
bekerja, perilaku streotip, agitasi, agresif, dan negativism. Munculnya pikiran negatif
pada klien skizoprenia dikarenakan adanya kesulitan dalam berpikir jernih dan logis,
sering kali sulit konsentrasi sehingga perhatian mudah beralih dan berlanjut
membuat klien menjadi gaduh gelisah(Stuart & Laraia, 2005). Dari penjelasan diatas
dapat diketahui bahwa klien dengan skizofrenia mengalami perubahan- perubahan
pada perasaan, pikiran dan perilaku menjadi maladaptif.
Menurut data statistik direktorat kesehatan jiwa, pasien gangguan jiwa terbesar
adalah skizofrenia yaitu 70% (Dep.Kes, 2003). Kelompok Skizofrenia juga
menempati 90% pasien di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Jalil, 2006).
American Association Psychiatric (2000) menyebutkan beberapa penelitian
melaporkan bahwa kelompok individu yang didiagnosa mengalami skizoprenia
mempunyai insiden lebih tinggi untuk mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000
dalam Sadino, 2007). Dari survey yang dilakukan oleh The National Institute of
Mental Nursing Health’s Epidemiologic Catchment Area terhadap 10.000 orang
yang pernah melakukan perilaku kekerasan di temukan 37,7% berhubungan dengan
penyalah gunaan zat, 24,6% alkoholik, 12,7 % skizoprenia, 11,7 gangguan depresi
berat, 11% gangguan bipolar dan 2,1% tanpa gangguan ( Kaplan & Saddock, 1995
dalam Keliat, 2003). Menurut Dyah (2009) jumlah klien skizoprenia dengan perilaku
kekerasan berdasarkan riwayat kekerasan didapatkan bahwa klien yang memiliki
riwayat kekerasan baik sebagai pelaku, korban, atau saksi lebih banyak yaitu 62,5%
dari 72 responden yang diteliti. Jadi dengan demikian jelas tergambar bahwa
perilaku kekerasan banyak ditemukan pada klien dengan skizoprenia.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Perilaku kekerasan adalah respon maladaptif dari marah. Marah adalah perasaan
jengkel atau perasaan yang tidak menyenangkan yang merupakan bagian dalam
kehidupan sehari-hari ( Stuart & Sundeen, 1995; Rawlins, et al, 1993), hal ini berarti
bahwa marah adalah normal dialami oleh setiap individu. Respon marah yang
dialami oleh setiap orang berada pada rentang respon kemarahan yang berbeda-
beda, dapat berupa: 1) Perilaku pasif yang ditandai dengan ketidakmampuan
mengkonfrontasikan masalahnya, merasa tegang, dan gangguan hubungan
interpersonal, 2) Perilaku asertif ditandai dengan menyampaikan perasaan diri secara
langsung tetapi menghormati orang lain, berbicara jelas dan nyata, kontak mata
langsung tetapi tidak tajam, gesture memberi penekanan pada pembicaraan tetapi
tidak menantang, postur tegak tetapi rileks. 3) Perilaku kekerasan ditandai dengan
seseorang melanggar hak-hak orang lain, melakukan tindakan kekerasan fisik dan
verbal, merasa harga dirinya tinggi bila lebih kuat dari orang lain (Beck, 1993).
Istilah marah (anger), agresif (aggression), dan perilaku kekerasan (violence) sering
digunakan bergantian dalam menguraikan perilaku yang terkait dengan kekerasan
(Rawlins, et, al 1993). Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk
melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik
(Stuart & Laraia, 2005). Perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai
tinggi yaitu dari memperlihatkan permusuhan pada tingkat rendah sampai pada
melukai dalam tingkat serius dan membahayakan (Stuart & Laraia,
2001;2005;2009). Proses perkembangan perilaku kekerasan, masih menjadi
perdebatan antara nature vs nurture , dibawa sejak lahir atau diperoleh selama
perkembangan. Menurut teori biopsikososial disebabkan oleh interaksi yang
kompleks antara faktor biologik, psikologik dan sosiokultural (Kneisl; Wilson &
Trigoboff, 2004). Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan
adalah respon kemarahan yang maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan sekitarnya secara verbal maupun nonverbal mulai
dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Pada klien dengan perilaku kekerasan, individu merupakan orang yang ambigue,
selalu dalam kecemasan, mempunyai penilaian yang negatif terhadap diri dan orang
lain, ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dengan baik sehingga perilaku
kekerasan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang menjadi alasan bagi keluarga
untuk merawat klien di rumah sakit jiwa karena berisiko membahayakan dirinya dan
orang lain (Keliat, 2003). Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan adalah perilaku yang menakutkan dan membahayakan bagi dirinya,
keluarga dan masyarakat sehingga mereka berusaha mencari pertolongan dengan
membawa klien ke rumah sakit dan berharap selama mendapat pengobatan dan
perawatan di rumah sakit perilaku klien berkurang atau berubah.
Perilaku adalah hal yang dapat diobservasi, dicatat, diukur, bergerak atau berespon
(Stuart & Laraia, 2005). Mengubah perilaku dapat dilakukan dengan 3 strategi
(WHO, dalam Notoadmojo, 2003) yaitu menggunakan kekuasaan/
kekuatan/dorongan, pemberian informasi, diskusi partisipan. Sedangkan menurut
Sunaryo (2004) menyatakan bahwa perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa
hal yaitu kebutuhan, motivasi, sikap dan kepercayaan. Dari pernyataan diatas dapat
diketahui bahwa perilaku dapat dirubah dengan pemberian informasi, diskusi dan
motivasi berdasarkan kebutuhan dan keyakinan individu, perubahan tersebut dapat
diobservasi atau diukur.
Intervensi secara umum yang dilakukan pada pasien dengan perilaku agresif /
perilaku kekerasan bervariasi yang berada dalam rentang preventive strategies,
Anticipatory Strategies, dan Containment Strategies (Stuart & Laraia, 2005). Strategi
pencegahan (preventive strategies), meliputi kesadaran diri, psikoedukasi pada
klien, dan latihan asertif. Strategi antisipasi (Anticipatory Strategies) meliputi
komunikasi, perubahan lingkungan, perilaku dan psikofarmaka. Kemarahan yang
dapat mengancam keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (kegawat
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
daruratan psikiatri) yang tidak dapat dikontrol dengan terapi psikofarmaka maka
perlu dilakukan strategi penahanan (containment Strategies) yang meliputi
manajemen krisis, pembatasan gerak, dan pengikatan.
Fokus tindakan untuk perilaku agresif atau perilaku kekerasan adalah mengarahkan
untuk pengurangan perilaku impulsif, tehnik manajemen marah, terapi drama, terapi
musik dan terapi dansa (Cleven, 2006 dalam Choi, 2008). Menurut Boyd dan Nihart
(1998) tindakan untuk klien dengan perilaku kekerasan yaitu terapi edukasi, tought
stopping, bibliotherapy dan terapi musik. Penelitian tentang pentingnya edukasi bagi
klien dengan perilaku kekerasan telah dilakukan oleh Keliat (2003) yaitu edukasi
pada klien dengan menggunakan standar asuhan keperawatan (SAK) cara
mengontrol marah baik secara : (1) Fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal,
berolah raga, memukul bantal / kasur atau pekerjaan yang memerlukan tenaga. (2)
Secara verbal : katakan anda sedang marah atau kesal/ tersinggung. (3) Secara sosial
: lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif , latihan
manajemen perilaku kekerasan. (4) Secara spiritual.
Selanjutnya penelitian untuk terapi lanjutan yaitu terapi musik pada klien dengan
perilaku kekerasan telah dilakukan pula. Menurut Endang (2009) terapi musik dapat
menurunkan perilaku kekerasan yang diketahui dari respon fisik, respon kognitif ,
respon perilaku dan respon sosial klien. Namun dalam pelaksanaan terapi musik
sedikit mengalami kendala karena membutuhkan persiapan alat-alat yang memadai
seperti, VCD player/ tape recorder, kaset CD yang berisikan musik klasik karena
jenis musik ini yang dapat menstimulasi otak sehingga menghasilkan respon yang
diharapkan, serta membutuhkan ruangan khusus agar tidak diganggu oleh klien
lainnya. Hal ini menjadi kendala karena tidak semua rumah sakit memiliki alat-alat
yang dibutuhkan untuk pelaksanaan terapi musik. Disamping itu tidak semua pasien
menyukai atau mengenal musik klasik tersebut. Dengan demikian terapi ini masih
belum bisa dilakukan untuk semua klien dan semua rumah sakit yang merawat klien
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
dengan perilaku kekerasan. Dari terapi diatas dapat diketahui bahwa perilaku
kekerasan dapat mengalami penurunan pada respon fisik, kognitif, perilaku dan
sosial.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan pada klien dengan perilaku
kekerasan juga perlu mengacu kepada emosi selain kognitif dan perilaku.
Berdasarkan teori diatas maka perlu adanya intervensi pada klien dengan perilaku
kekerasan yang mengarah kepada fisik, afektif (emosi), kognitif,fisiologis, perilaku,
dan sosial. Terapi Asssertiveness Trainning, terapi Musik dan terapi Perilaku
Kognitif belum mengarahkan intervensinya secara langsung kepada emosi klien
dengan perilaku kekerasan. Untuk itu agar intervensi untuk klien dengan perilaku
kekerasan lebih optimal maka perlu adanya suatu terapi yang juga mengarah pada
emosi. Adapun terapi yang dapat dilakukan untuk itu adalah Rational Emotive
Behaviour Therapy ( REBT).
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
kegagalan dalam mencapai tingkat perkembangan yang seharusnya, kesulitan
belajar, perilaku agresif, kurang konsentrasi dan tidak mampu berhubungan dengan
orang lain ( Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006). Dengan demikian tingkah laku yang
didasarkan pada cara berpikir yang irrasional dapat menimbulkan emosi yang tidak
menyenangkan sehingga dibutuhkan pembelajaran agar memiliki kemampuan untuk
mencari penjelasan yang rasional dalam memecahkan masalah perilaku.
Rumah sakit Marzoeki Mahdi merupakan rumah sakit yang terbesar dan tertua di
Indonesia, rumah sakit rujukan, memiliki kasus yang bervariasi dan cukup banyak
serta sangat terbuka akan pembaharuan. Rumah sakit ini memiliki 400 kapasitas
tempat tidur, dengan BOR sebesar 64,4%, TOI sebesar 47,96 hari dan LOS 86,7 hari
(Data tahun 2009). Berdasarkan data (2009) kasus skizoprenia yang ditemukan di
RSMM adalah 33,27% di rawat jalan, 36,99% di ruang gawat darurat dan 20,3%
yang di rawat inap. Adapun jumlah kasus yang terbanyak ditemukan pada klien yang
dirawat yaitu Halusinasi 26,24%, Defisit perawatan diri 19,15%, Isolasi sosial
16,31%, HDR 13% dan PK 10,64% dari masalah keperawatan klien yang dirawat di
RSMM Bogor (Data Aplikasi 2 & Residensi 2 Keperawatan Jiwa).
RSMM juga merupakan rumah sakit pendidikan. Sejak tahun 2000, RSMM bekerja
sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan UI mengembangkan ruang model praktik
keperawatan profesional, sehingga aplikasi dalam jangka panjang memungkinkan
untuk menjadi model pembelajaran. Mahasiswa yang berpraktek di RSMM
dibimbing dengan terstruktur oleh pihak rumah sakit dan dosen pembimbing dari
pendidikan. Mahasiswa yang praktek lapangan di RSMM mulai dari mahasiswa D3
sampai dengan mahasiswa S2 psikologi dan Spesialis keperawatan serta kedokteran.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Hal ini memungkinkan bagi klien yang di rawat mendapatkan terapi-terapi yang
bervariasi dan berkelanjutan. Khusus untuk keperawatan di RSMM sudah diterapkan
terapi-terapi lanjutan disamping terapi standar atau generalis yang wajib diberikan,
baik untuk individu, kelompok maupun keluarga seperti CT, CBT, terapi musik,
terapi asertif dan psikotherapy untuk keluarga.
1.2.3. Rational Emotive Behaviour Therapy belum diterapkan pada klien dengan
perilaku kekerasan di RSMM Bogor.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
1.2.4. Belum diketahui sejauh mana Pengaruh Rational Emotive Behaviour
Therapy dalam menurunkan perilaku kekerasan yang meliputi respon
kognitif, emosi dan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan di
RSMM Bogor
Oleh karena itu, peneliti ingin menerapkan terapi yaitu Rational Emotive Behaviour
Therapy dalam mengatasi masalah perilaku kekerasan, adapun pertanyaan penelitian
yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
Tujuan Khusus
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
1.4.1 Manfaat Aplikatif
1.4.1.1. Menambah kemampuan perawat spesialis dalam melakukan terapi-
terapi spesialis khususnya Rational Emotive Behaviour Therapy
sebagai suatu bentuk terapi individu.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, akan dikemukakan beberapa konsep dan
teori serta hasil penelitian yang terkait dengan bidang penelitian ini. Adapun konsep dan
teori ini meliputi : konsep skizoprenia, konsep perilaku kekerasan, konsep Rational
Emotive Behaviour Therapy ( REBT) dan tehnik pelaksanaan Rational Emotive
Behaviour Therapy ( REBT).
2.1 Skizoprenia
Skizoprenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang biasanya diderita pada usia
remaja akhir atau dewasa awal, dikarakteristikkan dengan terjadinya distorsi
persepsi, pikiran, dan emosi yang tidak sesuai (WHO, 2001). Skizoprenia adalah
kombinasi dari gangguan pikir, gangguan persepsi, perilaku abnormal, gangguan
afektif dan ketidakmampuan dalam bersosialisasi (Fontaine, 2003 : 396). Ini berarti
bahwa induvidu mengalami kesulitan dalam berpikir jernih, mengenali realita,
menentukan perasaan, mengambil keputusan dan berhubungan dengan orang lain.
2.1.1.1. Biologis
Universitas Indonesia
2.1.1.2. Psikologis
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.1.2.1. Gejala Positif terdiri atas halusinasi, delusi, bicara yang tidak
terorganisasi dan perilaku yang aneh.
Universitas Indonesia
Gejala yang ditemukan sama dengan gejala pada kondisi umum dari
skizoprenia tetapi kriteria untuk tipe yang lainnya tidak ditemukan
(DSM-IV-TR dalam Stuart & Laraia, 2005).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.2.1 Definisi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gejala-gejala yang terlihat pada klien dengan skizoprenia tidak dialami oleh
semua orang yang didiagnosa engan skizoprenia. Pada klien dengan perilaku
kekerasan terlihat adanya gejala positif dari empat dimensi utama gejala
skizoprenia. Ketika Individu mendapatkan stressor dalam faktor predisposisi
maupun presipitasi yang berasal dari biologis, psikologis maupun
sosiokultural akan berlanjut pada proses penilaian terhadap stressor tersebut.
Penilaian stresor adalah proses dari situasi stres yang komprehensif yang
berada pada beberapa tingkatan. Secara spesifik proses ini melibatkan respon
kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial
(Stuart & Laraia, 2009).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Skema 2.1 Rentang Respon Marah Menurut Stuart dan Sundeen ( 1995)
2.2.4.1 Asertif
Universitas Indonesia
2.2.4.2 Pasif
2.2.4.3 Frustrasi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Afektif Tidak merasa Merasa tertekan Merasa gagal, Merasa marah, Merasa marah
tersinggung merasa tidak merasa bersaing dan bersaing
dan bersalah bersemangat dan merasa yang kuat.
bila ditolak dan kurang malu
motivasi
Fisiologis Tidak ada Tidak ada Terjadi Tekanan darah Tekanan darah
perubahan perubahan pada perubahan meningkat, meningkat,
pada fisiologis. fisiologis frekuensi frekuensi
fisiologis. namun belum denyut jantung denyut jantung
mengganggu. meningkat. meningkat, ,
wajah tegang, peningkatan
tidak bisa diam, pernafasan,dan
mengepalkan pupil melebar,
atau dan frekuensi
memukulkan pengeluaran
tangan, rahang urin meningkat,
mengencang, wajah merah
peningkatan dan tegang,
pernafasan, serta rahang
mengencang,
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Rational Emotif Behaviour Therapy (REBT) dipelopori oleh Dr. Albert Ellis,
seorang psikologi klinik yang ahli dalam psikoanalisis. Pada awalnya REBT
disebut dengan Rational Therapy (Terapi Rasional) kemudian berubah menjadi
Rational Emotive Therapy (Terapi rasional dan emosi) dan akhirnya pada awal
Universitas Indonesia
Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) berdasar pada konsep bahwa emosi
dan perilaku merupakan hasil dari proses pikir yang memungkinkan bagi manusia
untuk memodifikasinya seperti proses untuk mencapai cara yang berbeda dalam
merasakan dan bertindak (Froggatt, 2005). Reaksi emosional seseorang sebagian
besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun
tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat
dari cara berpikir yang tidak logis dan irrasional, dimana emosi yang menyertai
individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irrasional.
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki
kecenderungan untuk berpikir rasional dan irrasional. Ketika berpikir dan
bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan memiliki kemampuan.
Ketika berpikir dan bertingkahlaku irrasional individu itu menjadi tidak efektif.
Universitas Indonesia
Konsep kunci teori Albert Ellis yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan
emotional Consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan
konsep atau teori ABC (Froggatt, 2005).
a. Antecedent event (A) yaitu seluruh peristiwa luar yang dialami atau terpapar
pada individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku,
atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan
seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi
seseorang.
b. Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu
terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu
keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak
rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara
berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan
menjadikan seseorang produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan
keyakinan atau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal,
emosional, dan membuat orang tidak produktif.
c. Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai
akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan
emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi
emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa
variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Albert Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis
harus melawan (Dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa
menikmati dampak-dampak (Effects; E) psikologis positif dari keyakinan-
keyakinan yang rasional.
Universitas Indonesia
b. Tunjukkan kepada klien bahwa keyakinan yang relevan dapat terbuka. Format
ABC merupakan hal yang tidak ternilai disini. Menggunakan suatu peristiwa
dari pangalaman klien yang baru, terapi mencatatnya di “C” kemudian di “A”
. Klien ditanya untuk mempertimbangkan di “B”: apa yang telah saya katakan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tujuan :
Membangun suatu hubungan dengan pelajar dan untuk
menginformasikan serta memotivasi pelajar agar ikut serta dalam
aktivitas dan diskusi. Tujuan lainnya adalah menyepakati kontrak (kapan
akan bertemu, jam berapa dan tempatnya).
Fokusnya adalah dilemma moral yang diambil dari The Defining Issues
Test (Rest, 1980 dalam Banks & Zions, 2009). Sesi ini digunakan untuk
menjelaskan apa yang harus dilakukan dan mengapa hal itu dapat
menolong mereka. Adapun aktivitas yang dilakukan pada sesi ini adalah
membuat thermometer perasaan (Feellings Thermometers), Menilai
kejadian berdasarkan thermometer perasaan yang telah dibuat dan saran
yang diberikan terkait dengan hal yang didiskusikan sebelumnya. Sebagai
pekerjaan rumahnya kelompok pelajar diminta untuk memikirkan
peraturan peraturan yang dapat membantu pelajar dalam proses dan di
dokumentasikan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2) Objektif : Ketika pelajar diberikan sebuah huruf (A, B atau C), baik
secara lisan maupun tulisan. Pelajar akan mampu mengidentifikasi
“A”, “C”, dan “B” dari model kognitif.
Universitas Indonesia
Dengan demikian dari hasil pelaksanaan REBT yang dilakukan Banks dan Zionts
terhadap pelajar terlihat bahwa ada 20 sesi yang dilaksanakan dengan dibagi
kedalam 3 fase secara garis besar. REBT yang dilakukan ini dalam bentuk
kelompok pelajar. Namun peneliti nantinya akan merencanakan pelaksanaan
REBT pada individu. Seperti yang disampaikan oleh Corsini (1987) bahwa
REBT menggunakan bentuk psikoterapi baik bersifat individu maupun bersifat
kelompok.
Pengertian :
Universitas Indonesia
Tujuan REBT :
Indikasi REBT :
Universitas Indonesia
1. Fase I
a. Sesi 1: Persiapan Kognitif : Bina hubungan dan harapan-
harapan
Tujuan : Klien mampu membina hubungan saling percaya dengan
terapis
Tindakan :
1) Bina hubungan saling percaya
2) Mendiskusikan dan membuat thermometer perasaan
3) Menilai kejadian yang menimbulkan perasaan
Universitas Indonesia
2. Fase II
Sesi 4: Belajar model Kognitif : ACBs
Tujuan : Klien mampu mempelajari komponen dari strategi kognitif dan
perilaku
Tindakan :
a. Mendiskusikan dan mengajarkan individu tentang Rational Self
Analysis yang terdiri atas :
A (Activating Event) : Mengidentifikasi kejadian yang sedang terjadi
C (Consequence) : Bagaimana individu bereaksi terhadap kejadian
B (Belief system) : Evaluasi pemikiran terhadap kejadian
E (new Effect) : Bagaimana saya seharusnya merasakan dan
berperilaku
D (Disputing) : Keyakinan rasional yang baru untuk menolong
menghadapi reaksi terhadap peristiwa
Universitas Indonesia
3. Fase III
Sesi 5: Latihan Model Kognitif : ACBs
Tujuan : Klien mampu menerapkan keterampilan yang diperoleh
Tindakan :
a. Mendemontrasikan keterampilan yang dilatih dalam
mengidentifikasikan kejadian (A), Konsekuensi(C) dan (B)
keyakinan.
b. Mengaplikasikan kemampuan dan berpartisipasi dalam
mengidentifikasi kejadian (A), Konsekuensi(C) dan (B) keyakinan.
Tujuan utama dari setiap sesi adalah untuk memahami keterampilan yang
diajarkan karena prasyarat untuk sesi berikutnya dan akan lebih baik individu
diberi kesempatan untuk mendemontrasikan setiap sesi yang sudah dipelajari
sebelum masuk ke sesi berikutnya. Dalam beberapa kasus terapis dapat
memodifikasi REBT agar lebih dapat dipahami oleh partisipan. Latihan strategi
kognitif dapat dikenalkan sebagai tugas di rumah (PR).
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
DAN DEFINISI OPERASIONAL
Dalam bab ini akan diuraikan tentang kerangka teori, kerangka konsep, hipotesis dan
definisi operasional yang memberikan arah pada pelaksanaan penelitian.
Kerangka teori ini merupakan uraian dari kerangka teoritis yang digunakan
sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Kerangka teori ini disusun dengan
modifikasi konsep-konsep teori yang diuraikan dalam BAB 2, yaitu tentang
skizoprenia, perilaku kekerasan, dan psikoterapi rasional emotif behaviour terapi
(REBT).
Menurut Stuart dan Laraia (2005), Perilaku kekerasan dapat dilihat dari
motorik, verbalisasi, afektif dan tingkat kesadaran. Sedangkan menurut Boyd dan
Nihart (1998) tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat diketahui secara
kognitif, afektif, perilaku dan fisiologi.
Universitas Indonesia
Menurut Banks dan Zionts fase dari pelaksanaan REBT terdiri atas Fase I
Persiapan kognitif : Keterampilan berupa kesiapan terhadap REBT, Fase II
Keterampilan yang diperoleh yaitu belajar model kognitif dan Fase III Aplikasi
Universitas Indonesia
dari latihan yaitu latihan model kognitif. Dari ketiga fase tersebut dibagi menjadi
sesi-sesi yang terdiri atas :
1. Fase I terdiri atas sesi 1–2 yang disebut sesi membina hubungan dan
mengidentifikasi harapan.
2. Fase II terdiri atas sesi 3- 5 yang disebut Memahami perasaan dan sesi 6 – 10
yang disebut sesi Fakta lawan opini.
3. Fase III terdiri atas sesi 11 – 15 yang disebut sesi Belajar ACBs dan sesi 16 –
20 yang disebut sesi Mendiskusikan A dan C serta pertanyaan Bs.
Gambaran kerangka teori penelitian yang telah dilakukan berdasarkan teori-teori yang
sudah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat pada skema 3.1
Universitas Indonesia
Intervensi Keperawatan
a. Standar Asuhan Keperawatan (SAK) pada klien Perilaku Kekerasan
Hypothalamus 1. Fase I terdiri atas sesi 1–2 yang disebut sesi membina hubungan dan mengidentifikasi
harapan, atas sesi 3- 5 yang disebut Memahami perasaan dan sesi 6 – 10 yang disebut
Neurotransmitter.
sesi Fakta lawan opini.
Faktor psikososial
Penolakan
Skizoprenia terbagi atas :
mengalami dan melihat
Paranoid Disorganisasi
kekerasan
Afektif
Faktor sosial budaya dan spiritual
kemiskinan Perilaku
ketidakmampuan memenuhi
Fisiologi.
kebutuhan hidup
Psikofarmaka
Keluarga single parent
Antiansietas, sedative hypnotics,
B. Kerangka Konsep
Pengangguran Antidepresan, mood stabilizer,
antipsikotik.
kesulitan mempertahankan tali
Universitas
persaudaraan, Indonesia
struktur keluarga,
Kerangka konsep penelitian ini terdiri atas 3 variabel yaitu variabel dependen,
variabel independen dan variabel perancu (Confounding).
3.2.1. Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat
karena variabel bebas (Hidayat, 2007). Pada penelitian ini yang menjadi
variabel terikat adalah perubahan perilaku pada klien dengan perilaku
kekerasan. Perubahan perilaku meliputi kognitif, afektif (emosi),
perilaku, fisiologis dan sosial (Boyd & Nihart, 1998; Stuart & Laraia,
2005).
Universitas Indonesia
Fase II terdiri atas sesi 4 yang disebut sesi belajar model kognitif ACBs
Fase III terdiri atas sesi 5 yang disebut sesi latihan model kognitif ACBs.
Keterkaitan ketiga variable yaitu bebas, terikat dan perancu tersebut dapat dilihat
pada skema 3.2
Universitas Indonesia
Variabel Independen
REBT
1. Fase I : Persiapan Kognitif
Variabel Perancu
1. Usia
2. Jenis kelamin
Universitas Indonesia
3. Pendidikan
Pengaruh rational...,
4. Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
Pekerjaan
77
2. Ada perubahan perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan sebelum dan
Universitas Indonesia
melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau
dengan menggunakan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian yang dapat
Tabel 3.3
Definisi Operasional Variabel Penelitian
(Variabel Confounding, Dependen, dan Independen)
N
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
o.
Universitas Indonesia
N
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
o.
B. Variabel Dependen
Universitas Indonesia
N
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
o.
C. Variabel Independen
7.. Rational Kegiatan terapi yang Menggunakan 1. Dilakukan Nominal
lembar observasi REBT
Emotive dilakukan untuk
dan kuesioner
Behaviour memahami dan 2. Tidak
Therapy mengatasi masalah dilakukan
REBT
(REBT) emosi dan perilaku
dengan menggunakan
pendekatan kognitif
dan perilaku yang
mengemukakan fakta-
fakta bahwa perilaku
yang dihasilkan bukan
berasal dari kejadian
yang dialami namun
dari keyakinan –
keyakinan yang tidak
rasional.
Terdiri atas 5 sesi
Universitas Indonesia
METODE PENELITIAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang desain penelitian, populasi dan sampel,
tempat penelitian, waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpulan data, prosedur
pengumpulan data dan analisa data.
Intervensi O1 O2
Kontrol O3 O4
Keterangan:
Universitas Indonesia
4.2.1 Sampel
Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu
sehingga dapat dianggap mewakili populasinya (Sastroasmoro dan Ismael,
2008). Sampel penelitian ini adalah klien dengan skizoprenia yang mengalami
perilaku kekerasan dengan kriteria inklusinya adalah :
a. Usia 18 – 60 tahun
Universitas Indonesia
Keterangan:
n : Besar sampel
= 10
Universitas Indonesia
(10) 2
Maka besar sampel untuk penelitian ini adalah 25 responden untuk setiap
kelompok.
Dalam studi quasi eksperimental ini, untuk mengantisipasi adanya drop out
dalam proses penelitian, maka kemungkinan berkurangnya sampel perlu
diantisipasi dengan cara memperbesar taksiran ukuran sampel agar presisi
penelitian tetap terjaga. Adapun rumus untuk mengantisipasi berkurangnya
subyek penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2008) ini adalah :
Keterangan :
maka :
25
1 – 0,1
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pemilihan ruang diatas disesuaikan juga dengan kriteria inklusi sampel penelitian
dimana ruangan yang dipilih adalah ruangan yang mempunyai klien dengan
perilaku kekerasan dan mendapatkan intervensi Preventive Strategies (strategi
pencegahan) dan Anticipatory Strategies ( strategi antisipasi) karena kliennya
sudah tidak amuk lagi serta ruang-ruangan tersebut merupakan ruangan yang
sudah terpapar MPKP dengan rata-rata tingkat pendidikan perawatnya D3 dan S1
sehingga perawat ruangan sudah mampu memberikan tindakan keperawatan
generalis pada klien dengan perilaku kekerasan diruangannya.
Salah satu bentuk tanggung jawab mendasar, peneliti sebelum melakukan penelitian
adalah diperlukan surat ijin penelitian (Brockopp & Tolsma, 2000). Berdasarkan hal
tersebut, maka sebelum melakukan penelitian, peneliti telah menyampaikan surat
permohonan penelitian pada Direktur RSMM Bogor. Selanjutnya peneliti
Universitas Indonesia
Responden adalah klien dengan perilaku kekerasan yang dirawat di RSMM Bogor
dan telah memenuhi kriteria inklusi karakteristik responden. Sebelum klien
ditetapkan sebagai responden penelitian, maka peneliti menjelaskan atau
memberikan informasi (informed consent) tentang rencana, tujuan, dan manfaat
penelitian bagi responden, perkembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan
pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit jiwa.
Informasi ini diberikan melalui pertemuan resmi dan tertulis. Setiap responden
diberi hak penuh untuk menyetujui atau menolak menjadi responden dengan cara
menandatangani surat pernyataan kesediaan yang telah disiapkan oleh peneliti.
Klien bisa memberikan tanda-tangan, maka lembar informed concent
ditandatangani sendiri oleh klien, dengan demikian informed concent yang
ditandatangani oleh seluruh responden, yaitu sebanyak 53 orang.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi Pearson Product
Moment dengan hasil valid apabila nilai r hasil (kolom corrected item – total
correlation) antara masing-masing item pernyataan lebih besar dari r tabel
(Hastono, 2007). Uji validitas ini pada tingkat kemaknaan 5%, maka pernyataan
tersebut dinyatakan valid, namun apabila lebih rendah maka dinyatakan tidak valid.
Adapun rumus yang dapat digunakan adalah
N (ΣXY ) − (ΣXΣY )
rxy =
[NΣX − (ΣX )][NΣY
2 2 2
− (ΣY )
2
]
Keterangan :
N : Jumlah subyek
Y : Skor total
Universitas Indonesia
Keputusan uji :
Bila r hitung lebih kecil dari r tabel Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid.
Uji validitas dilakukan pada 22 orang responden. Hasil uji validitas pada kuisioner
skala pengungkapan emosi marah ditemukan hanya 11 dari 45 pernyataan yang
hasilnya valid dimana r hasil > r tabel sehingga 45 pernyataan tersebut dimodifikasi
dengan makna yang sama dan mudah dipahami oleh klien perilaku kekerasan.
Setelah diperbaiki, peneliti menguji kembali validitas kuisioner skala pengungkapan
emosi marah maka didapat hasil bahwa dari 45 pernyataan, 26 item pernyataan
valid yaitu r hasil > r table (0,413) sedangkan kuesioner yang tidak valid dibuang
setelah terlebih dahulu dianalisa bahwa 26 pernyataan tersebut mewakili kuesioner
untuk menjawab penelitian yang dilakukan.
n ΣV
α= + 1− i
n −1 Vt
Keterangan :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
4.6.2 Intervensi
Pada tahap ini, peneliti melakukan intervensi berupa pemberian Rational
Emotive Behaviour Therapy yang memiliki 5 sesi kepada responden
kelompok intervensi, yaitu:
Universitas Indonesia
3) Sesi 3 yang disebut sesi Fakta lawan opini. Aktivitas pada sesi ini adalah
untuk membantu klien mendefinisikan dan menemukan perbedaan antara
fakta dan opini.
4) Sesi 4 yang disebut sesi Belajar ACBs . Objektif yang dipelajari pada
sesi ini adalah didisain untuk mengajarkan tentang :
a) A (ctivating event) : Mengidentifikasi kejadian atau situasi yang
sedang terjadi . “A” adalah masalah utama yang dirasakan oleh
pelajar. Pelajar diminta untuk menggambarkan apa yang telah
membuat emosinya timbul. “A” sering dijelaskan dalam bentuk hasil
obsevasi.
b) C(onsequence): individu menilai level dari perasaannya dan
membangun suatu tujuan untuk mencapai upaya menurunkan
intensitas, durasi dan frekuensi dari emosi yang mengganggu.
c) B(elief system) : individu berpikir untuk menganalisa dan
mengidentifikasi keyakinan-keyakinan atau pola pikirnya yang
membentuk konsekuensi emosi (C) (Vernon, 1996;Zionts, 1996
dalam Banks & Zionts, 2009). Pertanyaan yang berhubungan dengan
“B” ini adalah “ apa yang kamu pikirkan tentang situasi ini?”. Diskusi
dilakukan untuk penguatan dalam belajar, latihan keterampilan dan
mengetahui tentang pemahaman individu.
Universitas Indonesia
Untuk memperjelas alur kerja penelitian maka peneliti memaparkan pada skema
4.1.
Universitas Indonesia
!" # !$ %&
*: ' # !$ %&
4.7.2 Editing
Dilakukan untuk memeriksa ulang kelengkapan pengisian formulir atau
kuesioner apakah jawaban yang ada sudah lengkap, jelas, relevan dan
konsisten.
4.7.3 Coding
Peneliti memberi kode pada setiap respon responden untuk memudahkan
dalam pengolahan data dan analisis data. Kegiatan yang dilakukan, setelah di
edit data kemudian diberi kode terutama untuk membedakan kelompok
intervensi dan kontrol. Seluruh variabel yang ada diberi kode dan dilakukan
pengkategorian data (usia, pendidikan dan jenis kelamin dll.)
4.7.4 Processing
Universitas Indonesia
4.7.5 Cleaning
Suatu kegiatan pembersihan seluruh data agar terbebas dari kesalahan
sebelum dilakukan analisa data, baik kesalahan dalam pengkodean maupun
dalam membaca kode, kesalahan juga dimungkinkan terjadi pada saat kita
memasukkan data kekomputer. Setelah data didapat kemudian dilakukan
pengecekan kembali apakah data ada salah atau tidak. Pengelompokan data
yang salah diperbaiki hingga tidak ditemukan kembali data yang tidak sesuai,
sehingga data siap dianalisis.
Universitas Indonesia
Tabel 4.1
2. Jenis Kelamin (data katagorik) Jenis Kelamin (data katagorik) Chi- Square
Universitas Indonesia
5. Riwayat gangguan jiwa (data Riwayat gangguan jiwa (data Chi- Square
katagorik) katagorik)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Υ = a 0 + b 1 Χ 1 + b 2 Χ 2 +…….
Keterangan :
an + b1ΣΧ1 + b2ΣΧ 2 = ΣΥ
2
aΣΧ1 + b1Σ1 + b2ΣΧ1Χ 2 = ΣΧ1Υ
2
aΣΧ 2 + b1ΣΧ1Χ 2 + b2ΣΧ 2 = ΣΧ 2 Υ
Universitas Indonesia
HASIL PENELITIAN
Bab ini menjelaskan secara lengkap tentang proses pelaksanaan dan hasil
penelitian tentang pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)
terhadap klien dengan perilaku kekerasan di RSMM Bogor yang dimulai pada
tanggal 26 Mei sampai 21 Juni 2010. Pada penelitian ini telah diteliti 53 orang
klien yang memiliki masalah keperawatan perilaku kekerasan (PK). Klien
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 28 klien di kelompok kontrol dan 25 klien di
kelompok intervensi (3 orang drop out) sesuai dengan kriteria inklusi yang
telah ditetapkan. Pada kelompok intervensi, peneliti melakukan terapi
generalis dan REBT untuk dapat mengontrol perilaku kekerasan klien,
sedangkan pada kelompok kontrol hanya dilakukan terapi generalis.
102
Peneliti memilih lima ruangan rawat di RSMM Bogor sebagai tempat yang
akan dilakukan penelitian . Pemilihan lima ruangan ini didasarkan pada
ruangan klien dewasa dan banyaknya jumlah klien yang dirawat di ruangan
tersebut. Ruangan tersebut adalah Yudistira, Bratasena, Sadewa, Arimbi dan
Utari. Dari kelima ruangan ini peneliti memilih klien yang berada di ruangan
Yudistira, Sadewa dan Utari sebagai klien yang akan mendapatkan intervensi
REBT sedangkan klien yang ada di ruangan Bratasena dan Arimbi sebagai
klien kontrol. Pembagian ruangan intervensi dan kontrol di dasarkan pada
ruangan untuk jenis kelamin pria dan wanita kecuali ruang sadewa karena pada
ruangan ini kliennya bergabung antara pria dan wanita. Dengan demikian
penetapan kelompok intervensi dan kelompok kontrol diharapkankan sama
jumlah dan jenis kelamin antar kelompok.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
104
Setelah itu dilanjutkan dengan sesi 1 REBT sampai berlanjut pada sesi 5
REBT. Pada saat sesi 1 sampai sesi 3 dilakukan hanya sekali sedangkan sesi 4
dan 5 dilakukan 2 kali sehingga jumlah pertemuan dengan klien adalah 7 kali
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
105
Pada pelaksanaan sesi 1 dan sesi 2 klien tidak menemukan hambatan dalam
mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah dialaminya dan
menempatkan perasaan pada saat kejadian berdasarkan skala pada
thermometer perasaan yang telah disediakan di dalam buku kerja klien. Pada
sesi 3 klien mendapat hambatan dalam menentukan opini dan fakta dari
kejadian yang dialaminya khususnya pada klien yang mempunyai pendidikan
SD dan SMP. Penjelaskan tentang perbedaan opini dan fakta dari suatu
kejadian beserta contoh-contohnya ternyata dapat membantu klien untuk
memahaminya. Pada sesi 4 dan 5 dilakukan 2 kali karena pada sesi ini adalah
belajar dan latihan menganalisa diri sendiri terhadap kejadian dengan
mengubah cara berpikir sehingga dapat merubah suasana hati (emosi) dan pada
akhirnya juga mempengaruhi perilaku. Pengulangan sesi ini dilakukan peneliti
dengan harapan latihan berulang-ulang dapat membantu klien untuk lebih
memahami dan terlatih menggunakan cara berpikir seperti yang diajarkan.
Selama intervensi REBT diberikan pada klien yang termasuk dalam kelompok
intervensi tampak adanya kerjasama yang baik, hal ini dapat terlihat dari upaya
klien untuk mengerjakan PR pada buku kerjanya dan menjaga buku kerjanya
dengan baik sehingga tidak ada satupun bukunya yang hilang. Klien juga
langsung tanggap bila terapis (peneliti) datang ke ruangannya, klien sudah siap
dengan buku kerja dan penanya serta menunggu gilirannya masing-masing.
Kelompok kontrol selama tahap intervensi hanya mendapatkan terapi
generalis. Selama proses penelitian ini berlangsung ditemukan 3 orang klien
dari kelompok intervensi droup out yang disebabkan karena 2 orang pulang
paksa dan 1 orang melarikan diri dari ruangan sehingga jumlah klien pada
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
106
Setelah sesi 5 dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan kegiatan post test pada
klien yang termasuk kelompok intervensi untuk mengetahui kondisi akhir
kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan melalui respon
kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologisnya. Sedangkan kegiatan post test
pada klien yang termasuk kelompok kontrol dilaksanakan setelah pemberian
intervensi keperawatan generalis atau pada pertemuan ketujuh. Kegiatan
penelitian diakhiri setelah peneliti melakukan terminasi akhir untuk semua
responden dikedua kelompok.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
107
Hasil analisis usia klien dengan perilaku kekerasan pada tabel 5.1 menjelaskan
bahwa dari 53 orang responden dalam penelitian ini, rata-rata berusia 35,02
tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun. Uji statistik
kesetaraan karakteristik berdasarkan usia pada tabel 5.1 menunjukkan tidak
ada perbedaan yang bermakna rata-rata usia klien perilaku kekerasan pada
kelompok yang mendapatkan REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan
REBT dengan p value 0, 99 0,05. Ini berarti rata-rata usia klien PK pada
kedua kelompok homogen.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
108
Tabel 5.1.
Analisa Usia Klien PK Pada Kelompok yang Mendapatkan REBT Dan
Kelompok yang Tidak Mendapatkan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)
Jenis Min-
Variabel n Mean Median SD P Value
Kelompok Maks
Intervensi 25 35,04 36,00 7,44 19– 51 0,99
Usia Kontrol 28 35,00 34,00 10,19 20 – 56
Total 53 35,02 35,00 8,81 19 – 56
Berdasarkan uraian hasil analisis karakteristik pada tabel 5.2. dapat diketahui
bahwa karakteristik klien dengan perilaku kekerasan dalam penelitian ini
lebih banyak perempuan 27 orang (50,9%), sebagian besar tidak bekerja 30
orang (56,6%), memiliki jenjang pendidikan SD dan SMP 32 orang (60,4%),
dengan adanya riwayat gangguan jiwa 41 orang (77,4%) dan frekuensi
dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih 41 orang (77,4%).
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
109
Tabel 5.2.
Distribusi Karakteristik Klien PK Berdasarkan Jenis Kelamin, Pekerjaan,
Pendidikan, Riwayat Gangguan Jiwa, Dan Frekuensi Dirawat Pada
Kelompok yang Mendapatkan REBT Dan Kelompok yang Tidak
Mendapatkan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)
Kelompok Kelompok
Jumlah p Value
Intervensi Kontrol
Karakteristik (n = 53)
(n = 25) (n = 28)
N % N % N %
1. Jenis Kelamin Klien PK
a. Laki-laki 12 48,0 14 50,0 26 49,1
b. Perempuan 13 52,0 14 50,0 27 50,9 1,000
2. Pekerjaan Klien PK
a. Bekerja 12 48,0 11 39,3 23 43,4
b. Tidak bekerja 13 52,0 17 60,7 30 56,6 0,718
3. Pendidikan Klien PK
a. SD dan SMP 13 52,0 19 67,9 32 60,4
b. SMA dan PT 12 48,0 9 32,1 21 39,6 0,531
4. Riwayat Gangguan Jiwa
a. Ada 19 76,0 22 78,6 41 77,4
b. Tidak Ada 6 24,0 6 21,4 12 22,6 1,000
5. Frekuensi di rawat
a. Pertama 6 24,0 6 21,4 12 22,6
b. 2 kali/lebih 19 76,0 22 78,6 41 77,4 1,000
Pada tabel 5.2 menjelaskan hasil analisis uji statistik kesetaraan karakteristik
berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, riwayat gangguan jiwa dan
frekuensi dirawat pada klien PK didapatkan tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kelompok yang mendapatkan REBT dan kelompok yang
tidak mendapatkan REBT, ini berarti kedua kelompok memiliki varian yang
sama atau homogen (p value 0,05).
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
110
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
111
emosi sebelum dilakukan REBT adalah 17,19 dengan nilai minimal 12 dan
nilai maksimal 26. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon emosi
klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.
Tabel 5.3
Analisis Respon Perilaku Kekerasan Klien Sebelum Dilakukan
REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)
Min –
Respon PK Kelompok n Mean SD SE
Max p Value
Kognitif 1.Intervensi 25 18,88 2,86 0,57 15– 26
2. Kontrol 28 18,07 3,49 0,66 13 – 26 0,364
Total 53 18,48 3,18 0,62 13 - 26
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
112
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
113
Berdasarkan tabel 5.3 diatas hasil uji statistik terhadap kesetaraan respon-
respon perilaku kekerasan pada klien PK sebelum dilakukan REBT antara
kelompok yang mendapatkan REBT dan kelompok yang tidak mendapatkan
REBT menunjukkan respon kognitif, emosi, sosial, perilaku dan fisiologis
mempunyai kesetaraan yang sama atau homogen (p value 0,05)
Dari tabel 5.4 menjelaskan bahwa berdasarkan uji statistik yang dilakukan
pada kelompok yang mendapatkan REBT terdapat perubahan yang bermakna
sesudah mendapatkan REBT terhadap respon-respon PK. Respon kognitif
klien meningkat secara bermakna sebesar 3,80 dengan p value 0,000 0,05,
respon emosi klien menurun secara bermakna sebesar 2,92 dengan p value
0,001 0,05, respon perilaku klien menurun secara bermakna sebesar 2,32
dengan p value 0,000 0,05, respon sosial klien meningkat secara bermakna
sebesar 1,6 dengan p value 0,002 0,05 dan respon fisiologis klien menurun
secara bermakna sebesar 2,56 dengan p value 0,000 0,05.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
114
Tabel 5.4
Analisis Perubahan Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK
Sebelum Dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Intervensi
Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 25)
Respon PK Pelaksanaan n Mean SD SE p Value
REBT
Respon Sebelum 25 18,88 2,86 0,57 0,000
kognitif Sesudah 25 22,68 3,69 0,58
Selisih 3,80 0,83
Respon Sebelum 25 17,12 3,53 0,71 0,001
Emosi Sesudah 25 14,20 2,77 0,55
Selisih 2,92 0,76
Respon Sebelum 25 13,00 2,02 0,40 0,000
Perilaku Sesudah 25 10,68 1,82 0,36
Selisih 2,32 0,2
Respon Sebelum 25 14,24 1,88 0,38 0,002
Sosial Sesudah 25 15,84 1,57 0,15
Selisih 1,6 0,31
Respon Sebelum 25 9,04 1,31 0,26 0,000
Fisiologis Sesudah 25 6,48 0,59 0,12
Selisih 2,56 0,72
Dari tabel 5.5 dibawah menjelaskan bahwa berdasarkan uji statistik yang
dilakukan pada kelompok kontrol tidak terdapat perubahan yang bermakna
pada klien dengan PK yang tidak mendapat REBT. Respon kognitif
meningkat sebesar 0,47 dengan p value 0,613 0,05, respon emosi
menurun sebesar 0,36 dengan p value 0,514 0,05, respon perilaku sebesar
0,14 dengan p value 0,718 0,05, respon sosial meningkat sebesar 0,25
dengan p value 0,677 0,05 dan respon fisiologis menurun sebesar 0,43
dengan p value 0,184 0,05.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
115
Tabel 5.5
Analisis Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Pada klien PK
Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Kontrol
di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 28)
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
116
Tabel 5.6
Analisis Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK Setelah
Dilakukan REBT Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)
Min –
Respon PK Kelompok n Mean SD
Max p Value
Kognitif 1.Intervensi 25 22,68 2,90 18 – 31 0,000
2. Kontrol 28 18,54 3,21 11– 25
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
117
Tabel 5.7
Analisis Selisih Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien
PK Sebelum Dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Intervensi dan
Kontrol Di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 53)
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
118
Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon emosi PK antara yang
mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT ada perbedaan yang
bermakna (Pvalue= 0.009; = 0.05).
Berdasar tabel 5.7 diketahui selisih perubahan respon sosial PK antara yang
mendapat REBT dan yang tidak mendapat REBT tidak ada perbedaan yang
bermakna (Pvalue= 0.076; = 0.05).
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
119
Tabel 5.8
Faktor yang berkontribusi terhadap Respon Kognitif Perilaku
Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor
Tahun 2010
( n = 53 )
Respon Kognitif
Karakteristik Klien PK B SE p R2
(Constant) 0.933
-0.466 5.501
1. Terapi REBT 3.538 1.319 0.373 0.01
2. Usia -0.047 0.076 -0.088 0.534
3. Jenis Kelamin 0.89 1.509 0.094 0.558 0.163
4. Pendidikan -0.448 0.636 -0.099 0.485
5. Pekerjaan 0.054 0.591 0.015 0.928
6. Frekuensi di rawat 1.396 1.558 0.123 0.375
Hasil analisis dari tabel 5.8 diatas dapat diketahui bahwa REBT memiliki
hubungan yang sedang dengan nilai r sebesar 0,403. Adapun peluang untuk
memperbaiki respon kognitif dari perilaku kekerasan dengan memberikan
REBT adalah sebesar 16,3% (R2 = 0,163).
Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai P-value 0,25 seperti
usia, jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa
akan dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.9
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
120
Tabel 5.9
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Kognitif Perilaku
Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor Tahun 2010
( n = 53 )
Respon Kognitif
Karakteristik Klien PK B SE p R2
(Constant) 0.464 0.855 0.589
1. Terapi REBT 3,336 1,244 0,351 0,010 0.124
Hasil analisis dari tabel 5.10 dibawah dapat diketahui bahwa REBT memiliki
hubungan sedang dengan nilai r sebesar 0,455. Adapun peluang untuk
memperbaiki respon emosi dari perilaku kekerasannya dengan memberikan
REBT adalah sebesar 20,7% (R2 = 0,207).
Tabel 5.10
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Emosi Perilaku
Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor
Tahun 2010
(n = 53)
Respon Emosi
Karakteristik Klien PK B SE p R2
(Constant) 2.026 4.068 0.621
1. Terapi REBT 2.73 0.975 0.379 0.007
2. Usia 0.072 0.056 0.177 0.203
3. Jenis Kelamin -0.37 1.116 -0.051 0.742 0.207
4. Pendidikan -0.197 0.471 -0.058 0.678
5. Pekerjaan -0.407 0.437 -0.147 0.356
6. Frekuensi di rawat -1.275 1.152 -0.148 0.274
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
121
Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value 0,25 seperti
usia, jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa
akan dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.11
Tabel 5.11
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Emosi Perilaku
Kekerasan Pada Klien Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor
Tahun 2010
(n = 53)
Respon Emosi
Karakteristik Klien
PK B SE p R2
(Constant) 0.357 0.648 0.584
1. Terapi REBT 2,563 0,944 0,355 0,007 0,126
Tabel 5.12
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Sosial Perilaku
Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor,
Tahun 2010
(n = 53)
Respon Sosial
Karakteristik Klien
PK B SE p R2
(Constant) -0.754 3.085 0.808
1. Terapi REBT 1.151 0.739 0.209 0.126
2. Usia 0.044 0.042 0.143 0.300
3. Jenis Kelamin 1.155 0.846 0.21 0.179 0.215
4. Pendidikan 0.175 0.357 0.067 0.626
5. Pekerjaan 0.191 0.331 0.09 0.566
6. Frekuensi di rawat -1.776 0.874 -0.271 0.048
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
122
Hasil analisis dari tabel 5.12 diatas dapat diketahui bahwa frekuensi dirawat
mempunyai hubungan yang sedang dengan nilai r 0, 464. Adapun peluang
memperbaiki respon sosial dari perilaku kekerasannya dengan frekuensi
dirawat sebesar 21,5% (R2 = 0,215). Sedangkan REBT tidak memiliki
hubungan yang bermakna dengan perubahan pada respon sosial P-value
0,126 0,05.
Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value 0,25 seperti
usia, jenis kelamin, pendidikan, dan riwayat gangguan jiwa akan dikeluarkan
dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.13
Tabel 5.13
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Sosial Perilaku
Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor,
Tahun 2010
(n = 53)
Respon Sosial
Karakteristik Klien
PK B SE pValue R2
(Constant) 3.889 1.599 0.019
1. Terapi REBT 1,298 0,714 0,236 0,075
2. Frekuensi di rawat -2,038 0,852 -0,311 0,021 0.215
Berdasarkan table 5.13 diatas dapat diketahui bahwa terapi REBT tidak
mempunyai hubungan dengan respon sosial. Namun frekuensi di rawat lebih
memiliki hubungan dengan respon sosial pada klien PK.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
123
Tabel 5.14
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Perilaku dari
Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di
RSMM Bogor, Tahun 2010
Respon Perilaku
Karakteristik Klien PK B SE P R2
(Constant) 1.647 2.394 0.495
1. Terapi REBT 3.538 1.319 0.373 0.01
2. Usia -0.047 0.076 -0.088 0.534
3. Jenis Kelamin 0.89 1.509 0.094 0.558
4. Pendidikan -0.448 0.636 -0.099 0.485 0.273
5. Pekerjaan 0.054 0.591 0.015 0.928
6. Frekuensi di rawat 1.396 1.558 0.123 0.375
Hasil analisis dari tabel 5.14 diatas dapat diketahui bahwa REBT memiliki
hubungan yang kuat dengan nilai r sebesar 0,522. Adapun peluang untuk
memperbaiki respon perilaku dari PK dengan memberikan REBT adalah
sebesar 27,3% (R2 = 0,273).
Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value 0,25 seperti usia,
jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa akan
dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.15
Tabel 5.15
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Perilaku dari
Perilaku Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di
RSMM Bogor, Tahun 2010
(n = 53)
Respon Perilaku
Karakteristik Klien PK B SE p R2
(Constant) 0.143 0.371 0.702
1. Terapi REBT 2,177 0,541 0,491 0,000 0,241
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
124
Tabel 5.16
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap Respon Fisiologis Perilaku
Kekerasan Pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan di RSMM Bogor,
Tahun 2010
Respon Fisiologis
Karakteristik Klien PK B SE p R2
(Constant) 2.209 1.788 0.223
1. Terapi REBT 2.158 0.429 0.593 0
2. Usia -0.006 0.025 -0.028 0.813
3. Jenis Kelamin -0.199 0.49 -0.055 0.687 0.399
4. Pendidikan -0.211 0.207 -0.122 0.312
5. Pekerjaan 0.207 0.192 0.148 0.286
6. Frekuensi di rawat -0.58 0.506 -0.134 0.258
Hasil analisis dari tabel 5.16 diatas dapat diketahui bahwa REBT memiliki
hubungan yang kuat nilai r sebesar 0,631. Adapun peluang untuk
memperbaiki respon fisiologis dari perilaku kekerasan dengan memberikan
REBT adalah sebesar 39,9% (R2 = 0,399).
Dari regresi linier ganda variabel yang mempunyai p Value 0,25 seperti usia,
jenis kelamin, pendidikan, frekuensi di rawat dan riwayat gangguan jiwa akan
dikeluarkan dari pemodelan sehingga pemodelan seperti table 5.17
Tabel 5.17
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
125
( n = 53 )
Respon Fisiologis
Karakteristik Klien PK B SE p R2
(Constant) 0.429 0.284 1.37
1. Terapi REBT 2,131 0,413 0,586 0,000 0.343
Berdasarkan table 5.17 diatas dapat diketahui bahwa terapi REBT mempunyai
hubungan yang bermakna dengan respon fisiologis (p Value 0,05).
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
BAB 6
PEMBAHASAN
Bab ini akan memaparkan tentang pembahasan hasil penelitian, keterbatasan penelitian baik dari
aspek metodologis maupun proses pelaksanaan, dan implikasi hasil penelitian terhadap
pelayanan keperawatan jiwa, keilmuan dan penelitian berikutnya.
6.1 Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) Terhadap Respon Perilaku
Kekerasan pada Klien Perilaku Kekerasan (PK)
Pengaruh REBT terhadap respon-respon perilaku kekerasan seperti emosi, perilaku, sosial
dan fisiologis akan diuraikan terhadap masing respon tersebut .
Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan peningkatan secara
bermakna pada respon kognitif, ini berarti REBT berpengaruh terhadap peningkatan
respon kognitif klien PK sehingga pengetahuan klien meningkat tentang masalah perilaku
kekerasan yang dialaminya sebagai perilaku maladaptif yang dapat mencelakakan
dirinya, orang lain dan lingkungan. Hasil penelitian ini sesuai dengan Rieckert (2000)
menyatakan terapi REBT secara signifikan dapat mengurangi kemarahan, perasaan
bersalah dan harga diri yang rendah. Pemberian terapi REBT pada klien PK didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Jensen (2008) yang menyatakan bahwa respon-
respon prilaku kekerasan mengalami perubahan yang bermakna disebabkan karena terapi
REBT yang diberikan menggunakan pendekatan kognitif dan perilaku dengan
mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian
yang dialami namun dari keyakinan–keyakinan yang tidak rasional. Hal ini sesuai dengan
teori REBT yang memodifikasi keyakinan irrasional dari individu secara spesifik
sehingga dapat menurunkan perilaku agresifnya.
126
Berdasarkan literatur lainnya dinyatakan bahwa Perasaan dan pikiran negatif serta
penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat
diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional (faizmh,
2009). REBT diberikan bertujuan untuk mengurangi keyakinan irrasional dan
menguatkan keyakinan rasional yang dapat efektif untuk dewasa yang marah dan agresif
(Ellis, 1962 dalam Adomeh, 2006). Melalui terapi REBT klien dilatih untuk dapat
mengevaluasi diri sendiri dengan mengidentifikasi kejadian yang pernah dialami, pikiran-
pikiran irrasional yang timbul terkait dengan kejadian dan mempengaruhi perasaan
(emosi) klien sehingga menghasilkan perilaku maladaptif yang sebenarnya tidak
diinginkan. Oleh karena itu klien juga dilatih untuk mengubah pikiran yang tidak rasional
tersebut menjadi lebih rasional sehingga perasaan (emosi) menjadi lebih baik dan
menunjukkan perilaku yang adaptif. Dengan demikian klien mengetahui dan menyadari
bahwa pikiran dan persepsi yang negatif atau salah terhadap suatu kejadian atau peristiwa
yang menimbulkan terjadinya PK.
Sedangkan Pada klien yang tidak mendapatkan terapi REBT tidak ditemukan
peningkatan secara bermakna pada respon kognitif. Hal ini dapat disebabkan karena
klien belum mengetahui atau menyadari pikiran, persepsi atau keyakinannya yang salah
atau tidak rasional terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang dialami. Cristopher (2010)
mengatakan bahwa hubungan pemikiran dan emosi berperan penting dalam
menerjemahkan marah menjadi perilaku agresif atau PK. Banyak klien PK mengalami
kesulitan dalam mengidentifikasi perasaannya, kebutuhannya dan keinginannya untuk
diungkapkannya pada orang lain sehingga klien merasa tertekan. Pengetahuan dan
intelegensi adalah sumber koping yang akan menuntun individu untuk melihat cara lain
dalam menghadapi tekanan (Stuart, 2009). Dengan demikian Klien PK pada kelompok
ini tidak mendapatkan pendidikan kesehatan lanjutan untuk masalah PK sehingga klien
hanya mengetahui cara untuk mengontrol marahnya namun belum mengetahui cara untuk
mencegah timbulnya rasa marah dengan mengubah cara berpikir dan keyakinan menjadi
lebih rasional terhadap kejadian atau peristiwa yang dialami.
Universitas Indonesia
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi generalis kepada klien PK
dapat menurunkan perilaku kekerasan namun akan lebih maksimal penurunan perilaku
kekerasan bila dilanjutkan dengan terapi lanjutan (spesialis) seperti REBT. Terapi REBT
akan meningkatkan repon kognitif klien PK untuk dapat membedakan antara pikiran
yang rasional dan pikiran yang tidak rasional, karena pikiran yang tidak rasional akan
menimbulkan perasaan dan perilaku yang tidak sehat atau maladaptif.
Universitas Indonesia
Respon emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan
filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional
tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irrasional, dimana
emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal,
dan irrasional. Teori REBT menegaskan bahwa keyakinan yang tidak rasional akan
membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat seperti perilaku
amuk (agresif) dan rasa bersalah (Jensen, 2008). REBT baik diberikan pada klien PK
karena di dalam materi REBT menjelaskan pada klien cara berpikir rasional, mengubah
emosi yang mengganggu menjadi emosi yang menyenangkan sehingga klien dapat
menyelesaikan masalah. Berdasarkan pada konsep REBT bahwa emosi dan perilaku
merupakan hasil dari proses pikir yang memungkinkan bagi manusia untuk
memodifikasinya seperti proses untuk mencapai cara yang berbeda dalam merasakan dan
bertindak (Froggatt, 2005).
Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan terapi REBT pada penelitian ini
tidak mengalami penurunan emosi secara bermakna. Ini disebabkan karena klien belum
mampu mengidentifikasi perasaan-perasaannya terkait dengan adanya pemikiran dan
keyakinan yang tidak rasional ketika menghadapi suatu kejadian atau peristiwa dalam
kehidupannya. Ini dapat membuat klien tetap mempertahankan pemikiran yang tidak
rasional tersebut sehingga ketika bertemu dengan peristiwa yang sama maka emosi klien
akan tetap sama. Dengan demikian pemikiran irrasional yang tidak dirubah akan
mempengaruhi emosi dan menyebabkan perilaku yang maladaptif berulang.
Hasil analisis terhadap respon emosi setelah diberikan REBT pada kelompok yang
mendapatkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan REBT menunjukkan perbedaan
yang bermakna dimana pada kelompok yang mendapatkan REBT memperlihatkan
terjadinya penurunan respon emosi secara bermakna sedangkan pada yang tidak
mendapatkan terjadi penurunan yang tidak bermakna. Penurunan tetap terjadi pada
kelompok yang tidak mendapatkan REBT walaupun tidak sebesar penurunan pada
kelompok yang mendapatkan REBT disebabkan karena adanya terapi generalis yang
diberikan, ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Keliat (2003), pemberian terapi
Universitas Indonesia
generalis perilaku kekerasan pada klien secara afektif berupa kemauan untuk mengontrol
perilaku kekerasan yang dilatih.
REBT berpeluang 39,9% menurunkan respon perilaku dan ini dapat terlihat walaupun
dalam waktu yang singkat yaitu seminggu. Mengubah perilaku dapat dilakukan dengan 3
strategi (WHO, dalam Notoadmojo, 2003) yaitu menggunakan kekuasaan/
kekuatan/dorongan, pemberian informasi, diskusi partisipan. Dengan demikian masih
ada 60,1% lagi yang dapat dicapai oleh klien untuk menurunkan perilaku kekerasannya
dan ini dapat dicapai dengan memberikan kesempatan dan memotivasi klien untuk
melaksanakan latihan yang diberikan sehingga membudaya dalam diri klien. Sunaryo
(2004) menyatakan bahwa perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu
kebutuhan, motivasi, sikap dan kepercayaan.
Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT tidak terjadi penurunan
perilaku kekerasan secara bermakna. Penurunan respon perilaku tidak sebesar pada
kelompok yang mendapatkan REBT. Penurunan tetap ditemukan karena klien
mendapatkan terapi generalis yang melatih klien kemampuan secara psikomotor berupa
cara mengontrol perilaku kekerasan secara konstruktif ( Keliat, 2003).
Universitas Indonesia
Hasil analisis pada klien PK setelah dilakukan REBT pada kelompok yang mendapat dan
pada kelompok yang tidak mendapat REBT menunjukkan bahwa perbedaan penurunan
respon perilaku secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan REBT. Ini berarti
pemberian terapi REBT dan terapi generalis pada klien PK menurunkan respon perilaku
yang lebih besar dari pada hanya diberikan terapi generalis saja.
Sedangkan pada klien yang tidak mendapat REBT ditemukan tidak ada peningkatan
secara bermakna pada respon sosialnya. Peningkatan respon sosial pada klien PK yang
tidak mendapatkan terapi REBT disebabkan karena klien mendapatkan terapi generalis
tentang cara mengontrol perilaku kekerasan dan disamping itu sebagian dari klien ada
yang mendapatkan terapi generalis isolasi sosial. Sesuai dengan literature yang
menyatakan sebagian orang menyalurkan kemarahan dengan menilai dan mengkritik
tingkah laku orang lain sehingga orang lain merasa sakit hati. Proses tersebut dapat
menyebabkan seseorang menarik diri dari orang lain.
Hasil analisis setelah dilakukan REBT pada klien yang mendapat REBT menunjukkan
ada peningkatan respon sosial secara bermakna begitu juga pada saat membedakan
perubahan respon sosial setelah pemberian REBT pada kedua kelompok. Namun pada
hasil uji perbedaan selisih perubahan respon sosial pada klien PK terjadi peningkatan
Universitas Indonesia
respon sosial tidak bermakna. Sebenarnya terjadi peningkatan dikedua kelompok dan
secara substansi peningkatan pada kelompok yang mendapatkan REBT lebih besar dari
yang tidak mendapatkan REBT. Hal ini disebabkan karena adanya faktor lain yang ikut
berkontribusi dalam perubahan respon sosial ini selain REBT yaitu frekuensi di rawat di
rumah sakit, dimana frekuensi dirawat ini mempunyai hubungan yang kuat dengan
respon sosial pada klien PK. Dengan demikian REBT dapat meningkatkan respon sosial
klien PK namun dapat dipengaruhi oleh frekuensi klien dirawat di rumah sakit.
Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT menunjukkan tidak ada
penurunan yang bermakna pada respon fisiologisnya. Walaupun penurunan sebenarnya
juga terjadi namun tidak sebesar yang mendapatkan REBT. Ini disebabkan karena klien
hanya mendapatkan terapi generalis, dimana klien dilatih untuk dapat mengontrol
perilaku kekerasannya.
Universitas Indonesia
Hasil analisis setelah diberikannya terapi REBT pada kelompok yang mendapat dan tidak
mendapat REBT menunjukkan penurunan yang signifikan atau bemakna terhadap respon
fisiologis. Hal ini berarti REBT menunjukkan perbedaan penurunan respon perilaku
secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan REBT dibandingkan dengan yang
tidak mendapat REBT. Terapi REBT berpengaruh secara bermakna terhadap penurunan
respon fisiologis.
Menurut literatur karakteristik yang termasuk pada sosial budaya seperti: usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, peran sosial, latar belakang budaya, agama dan
kayakinan individu (Stuart & Laraia, 2005), riwayat perilaku kekerasan di masa lalu
(American Psychiatric Assosiations, 2000; steinert, Wiebe, & Gebhardt, 1999 dalam
Fauziah, 2009).Ini semua adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
perilaku kekerasan pada individu
Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara usia dengan respon PK ini
disebabkan karena peneliti melihat hubungan usia dari masing-masing respon perilaku
kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis,
sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku
kekerasan secara keseluruhan.
Universitas Indonesia
Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin
disebabkan karena peneliti melihat hubungan dari masing-masing respon perilaku
kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis
Universitas Indonesia
Pada hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan Keliat (2003)
menyebutkan karakeristik pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan mempengaruhi
dalam kejadian perilaku kekerasan. Kondisi sosial lain yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan seperti : keluarga single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan tali
persaudaraan, struktur keluarga, dan kontrol sosial ( Stuart & Laraia, 2005).
Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin
disebabkan karena peneliti melihat hubungan dari masing-masing respon perilaku
kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis
sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku
kekerasan secara keseluruhan.
Universitas Indonesia
Namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara riwayat gangguan
jiwa, disebabkan karena peneliti melihat hubungan dari masing-masing respon perilaku
kekerasan yaitu respon kognitif, emosi(afektif), perilaku, sosial maupun fisiologis
sedangkan pada penelitian sebelumya hubungan tersebut dikaitkan dengan perilaku
kekerasan secara keseluruhan. Dengan demikian diperlukan adanya penelitian untuk klien
PK dengan terapi REBT yang dilihat dari kemampuan klien yang dihasilkan dari terapi
sehingga lebih dapat dihubungkan dengan riwayat gangguan jiwa.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kesehatan jiwa dan dapat diberikan sebagai bahan pembelajaran keperawatan jiwa lanjut
khususnya di rumah sakit dan komunitas.
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai
berikut:
7.1 Simpulan
7.1.1 Karakterisitik dari 53 orang responden yang dilakukan dalam penelitian ini rata-rata
berusia 35tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun, lebih banyak
perempuan (50,9%), sebagian besar adalah tidak bekerja (56,6%), memiliki jenjang
pendidikan SD dan SMP (60,4%), dengan adanya riwayat gangguan jiwa (77,4%) dan
frekuensi dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih .
7.1.2 Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan diketahui dari respon –respon
PK klien yang meliputi respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologis. Respon-
respon tersebut sebelum pelaksanaan REBT bervariasi, pada respon Kognitif dan Sosial
bervariasi dari rendah sampai tinggi. Begitu juga dengan respon emosi, perilaku dan
fisiologis bervariasi dari tinggi sampai rendah.
7.1.3 Respon kognitif dan sosial PK meningkat secara bermakna pada kelompok yang
mendapatkan REBT. Sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT respon
kognitif dan sosial meningkat secara tidak bermakna.
7.1.4 Pada Respon Emosi, perilaku dan fisiologis menurun secara bermakna pada kelompok
yang mendapatkan REBT sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan REBT
menurun secara tidak bermakna.
7.1.5 Adanya perbedaan secara bermakna pada respon kognitif, emosi, perilaku, sosial dan
fisiologis pada kelompok yang mendapatkan REBT dengan kelompok yang tidak
mendapatkan REBT.
139
7.1.6 Ada pengaruh REBT terhadap kemampuan klien dalam mengontrol PK melalui respon
kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologisnya. Ada pengaruh frekuensi klien dirawat
di rumah sakit dengan respon sosial klien PK. Tidak ada pengaruh, usia, jenis kelamin,
pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan ferekuensi dirawat di rumah sakit dengan respon
kognitif, emosi, perilaku dan fisiologis klien PK.
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, ada beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan yaitu
sebagai berikut:
7.2.1.2 Perawat jiwa dirumah sakit sebaiknya memberikan terapi lanjutan pada klien selain terapi
generalis yang sudah standar untuk menjadikan kemampuan klien meningkat secara
lebih bermakna seperti memberikan generalis PK dan terapi REBT pada klien dengan
perilaku kekerasan.
7.2.2.2 Hasil penelitian ini hendaknya digunakan sebagai evidence based dalam mengembangkan
terapi REBT pada berbagai individu dan kelompok, sehingga menjadi modalitas terapi
keperawatan jiwa yang efektif dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa dan
meningkatkan kesehatan jiwa.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
141
7.2.3.2 Perlunya dilakukan penelitian tentang efektifitas terapi REBT terhadap kemampuan
mengontrol PK dibandingkan dengan pendekatan terapi yang lain.
7.2.3.3 Perlu dilakukan penelitian tentang respon perilaku kekerasan dengan berbagai
karakteristik seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, budaya, ras, agama, sosial
ekonomi keluarga, geografis dan sebagainya.
7.2.3.4 Perlu dilakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi respon-
respon PK, untuk mengetahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap
perubahan respon-respon PK.
Universitas Indonesia
Pengaruh rational..., Dewi Eka Putri, FIK UI, 2010
DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, I . (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan, Jakarta
: FKM-UI (tidak di publikasikan).
Banks & Zions (2009). Teaching a Cognitif Behaviour Strategy to Manage
Emotions, Rational Emotive Behaviour Therapy in Educational Setting,
Department Behaviour Management
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (2002). Psychiatric Nursing Contemporary Practice.
USA. Lippincott Raven Publisher
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice.
USA. Lippincott Raven Publisher
Dominic. J (2003), Effects of Trait Anger and Negative Attitudes Towards Women
on Physical Assaults in Dating Ralationships, Journal of Family Violence,
Vol 18, No.5, Oktober 2003 diperoleh tanggal 10 februari 2010
Endang (2009). Pengaruh Terapy Musik pada Klien Dengan Perilaku Kekerasan,
Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan
Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006). Psychiatric Mental Health Nursing. Third
edition. Canada. Thomson Delmar Learning
Universitas Indonesia
Hidayat, A.A.A. (2007). Metode penelitian keperawatan dan tehnik analisis data.
Jakarta : Salemba Medika.
Keliat, B.A. (1995). Peran serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan
Jiwa. Jakarta. EGC
Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan Klien dan Keluarga dalam Perawatan Klien
Skizofrenia dengan Perilaku Kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta.
FKM UI. tidak dipublikasikan
Keliat & Sinaga.(1991), Asuhan Keperawatan Pada Klien Marah, Jakarta : EGC
Kneisl, C.R., Wilson, S.K., and Trigoboff, E. (2004). Psychiatric Mental Health
Nursing. New Jersey: Pearson Prentice Hall
Maramis, W.F. (2006). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya. Airlangga
University Press
Martin & Dahlen (2004). Irrational Beliefs and The Experience and Expression of
Anger, Journal of Rational Emotive & Cognitif - Behaviour Therapy, Vol
22, No. 1, Spring
McDermut, dkk (2009). Trait Anger and Axis I Disorder : Implications for REBT,
Journal of Rational Emotive Behaviour Therapy, 27 : 121- 135
Universitas Indonesia
Pusat Penelitian dan Perkembangan Depkes RI. (2008). Riset Kesehatan Dasar
2007. www.litbang.go.id, diperoleh tanggal 20 Oktober 2009
Rawlins & Beck, C.K.(1993). Mental Health- Psychiatric Nursing 3 rd Ed. St.
Louis : Mosby Year
Sabri, L & Hastono, S.P. (2007). Statistik kesehatan. Edisi 1. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric
nursing. (7th edition). St Louis: Mosby
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2009). Principles and Practice of psychiatric
nursing. (7th edition). St Louis: Mosby
Stuart, G.W & Sundeen. (1995), Principles Practice Psychiatric Nursing (5th
edition). St. Louis : Mosby
Universitas Indonesia
WHO. (2001). The world Health Report: 2001: mental health: new
Understanding, new hope. www.who.int/whr/2001/en/ diperoleh tanggal
20 Januari 2010
WHO. (2003), Investing in Mental Health. www.who.int/mental_health. diperoleh
tanggal 23 Februari 2009
Universitas Indonesia
MANUSKRIP PENELITIAN
NPM : 0806469565
DEPOK
JULI 2010
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430, Indonesia
Email : dewi_adisifa@yahoo.com
Abstrak
Perilaku kekerasan (PK) adalah respon kemarahan maladaptif dalam bentuk perilaku menciderai diri,
orang lain dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran Pengaruh Rational Emotive
Behaviour Therapy terhadap penurunan perilaku kekerasan di ruang rawat inap RSMM Bogor. Desain
“Quasi Experimental Pre-Post Test with “Control Group” dengan intervensi Rational Emotive
Behaviour Therapy (REBT). Sampel penelitian adalah 53 klien skizoprenia paranoid dengan PK,
terdiri atas 25 kelompok intervensi dan 28 orang kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan
peningkatan respon kognitif dan sosial serta penurunan respon emosi, perilaku dan fisiologis secara
bermakna (P-value 0,05) pada klien yang mendapatkan REBT. REBT direkomendasikan untuk
diterapkan pada klien PK bersama dengan tindakan keperawatan generalis.
Abstract
Violent behavior is a maladaptive anger response, which is shown by the People whom treated
themselves, others and the environment. The study aims to get the explanation of the effect rational
emotive behavioral therapy in reducing violent behavioral in Bogor RSMM hospital. Design with
“Quasi-Experimental design Pre-Post Test with Control Group” and the intervention of rational
emotive behavior therapy (REBT). The samples of this research are 53 clients with paranoid
schizophrenia who has violent behavior, consisted of 25 clients as intervention group and 28 clients as
control group. The Results of this research show the increasing response of cognitive, social and
reducing of emotional response, behavioral, and physiological significantly, at (P-value 0,05) on the
clients who get REBT. In 2 times frequency treated associated with the client's social response
increased. REBT are recommended to provide to the clients with REBT critical nursing generalist.
METODOLOGI
Penelitian ini adalah penelitian quasi expermental dengan metode kuantitatif dengan
menggunakan desain penelitian “Quasi Experimental Pre-Post Test with “Control Group”
dengan intervensi Rational Emotive Behaviour Therapy ( REBT). Teknik pengambilan sampel
secara Consecutive Sampling. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan perilaku
pada klien dengan perilaku kekerasan baik secara kognitif, afektif (emosi), perilaku, sosial dan
fisiologis sebelum dan sesudah diberikan intervensi berupa pemberian terapi REBT. Pada
penelitian ini responden berjumlah 53 orang yang terdiri atas 28 orang pada kelompok kontrol
dan 25 orang pada kelompok intervensi. Hal ini disebabkan karena 3 orang dari kelompok
intervensi drop out. Analisis statistik yang dipergunakan adalah univariat, bivariat dan
multivariat dengan analisis dependen dan independent sample t-Test, Chi-square serta regresi
linier ganda dengan tampilan dalam bentuk tabel dan distribusi frekuensi.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan tanggal 26 Mei sampai dengan 21 Juni 2010 disajikan
sebagai berikut :
1. Karakteristik Klien Perilaku kekerasan
Berdasarkan uraian hasil analisis karakteristik pada klien perilaku kekerasan dalam
penelitian ini rata-rata berusia 35,02 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56
tahun, lebih banyak perempuan (50,9%), sebagian besar tidak bekerja (56,6%), memiliki
jenjang pendidikan SD dan SMP (60,4%), dengan adanya riwayat gangguan jiwa (77,4%)
dan frekuensi dirawat di rumah sakit 2 kali atau lebih (77,4%).
2.2 Berdasarkan kuesioner pada penelitian rentang respon emosi adalah minimal 7 dan
maksimal 28 (rendah 7 – 15 ; sedang 16 – 17; tinggi 18 - 28). Respon emosi pada klien
PK semakin menurun menunjukkan emosi yang semakin baik. Hasil analisis rata-rata
respon emosi sebelum dilakukan REBT adalah 17,19 dengan nilai minimal 12 dan
nilai maksimal 26. Maka dapat disimpulkan rata-rata respon emosi klien PK sebelum
dilakukan terapi REBT adalah sedang.
2.3 Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon perilaku adalah minimal 5
dan maksimal 20 (rendah 5 – 11 ; sedang 12 – 14; tinggi 15 - 20). Respon perilaku
pada klien PK semakin menurun menunjukkan perilaku yang semakin baik. Hasil
analisis respon perilaku. Rata-rata respon perilaku sebelum dilakukan REBT adalah
13,25 dengan nilai minimal 8 dan nilai maksimal 17. Maka dapat disimpulkan bahwa
rata-rata respon perilaku klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.
2.4 Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon sosial adalah minimal 6
dan maksimal 24 (rendah 6 – 12 ; sedang 13 – 14; tinggi 15 - 24). Respon sosial pada
klien PK semakin meningkat menunjukkan sosial yang semakin baik. Hasil analisis
rata-rata respon sosialnya sebelum dilakukan REBT adalah 13,77 dengan nilai minimal
10 dan nilai maksimal 19. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon sosial klien
PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.
2.5 Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini rentang respon fisiologis adalah minimal 6
dan maksimal 12 (rendah 6 – 8 ; sedang 8 – 9; tinggi 10 - 24). Respon fisiologis pada
klien PK semakin menurun menunjukkan fisiologis yang semakin baik. Hasil analisis
rata-rata respon fisiologis sebelum dilakukan REBT adalah 9,16 dengan nilai minimal
6 dan nilai maksimal 13. Maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon fisiologis
klien PK sebelum dilakukan terapi REBT adalah sedang.
Tabel 3.1
Analisis Perubahan Respon Perilaku Kekerasan Pada Klien PK
Tabel 3.2
Analisis Perubahan Respon-Respon Perilaku Kekerasan Pada klien PK
Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan REBT Pada Kelompok Kontrol
di RSMM Bogor Tahun 2010
(n = 28)
Berdasarkan tabel 3.2 uji statistik yang dilakukan pada kelompok kontrol sebelu dan
sesudah REBT diberikan tidak terdapat perubahan yang bermakna pada klien dengan
PK yang tidak mendapat REBT. Respon kognitif meningkat sebesar 0,47 dengan p
value 0,613 0,05, respon emosi menurun sebesar 0,36 dengan p value 0,514
0,05, respon perilaku sebesar 0,14 dengan p value 0,718 0,05, respon sosial
meningkat sebesar 0,25 dengan p value 0,677 0,05 dan respon fisiologis menurun
sebesar 0,43 dengan p value 0,184 0,05.
Min –
Respon PK Kelompok n Mean SD
Max p Value
Kognitif 1.Intervensi 25 22,68 2,90 18 – 31 0,000
2. Kontrol
28 18,54 3,21 11– 25
1.1 Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan peningkatan secara
bermakna pada respon kognitif, ini berarti REBT berpengaruh terhadap peningkatan
respon kognitif klien PK sehingga pengetahuan klien meningkat tentang masalah
perilaku kekerasan yang dialaminya sebagai perilaku maladaptif yang dapat
mencelakakan dirinya, orang lain dan lingkungan. Penelitian ini sesuai dengan
Rieckert (2000) menyatakan terapi REBT secara signifikan dapat mengurangi
kemarahan, perasaan bersalah dan harga diri yang rendah. Melalui terapi REBT klien
dilatih untuk dapat mengevaluasi diri sendiri dengan mengidentifikasi kejadian yang
pernah dialami, pikiran-pikiran irrasional yang timbul terkait dengan kejadian dan
mempengaruhi perasaan (emosi) klien sehingga menghasilkan perilaku maladaptif
yang sebenarnya tidak diinginkan.
1.2 Pada klien PK menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penurunan respon emosi
secara bermakna antara kelompok yang mendapatkan terapi REBT dan yang tidak
mendapatkan REBT. Hal ini karena terapi REBT memberikan kesempatan pada klien
untuk mengenali perasaan-perasaan yang disebabkan karena adanya pikiran yang tidak
rasional terhadap setiap kejadian atau peristiwa yang membuat klien berperilaku
kekerasan sehingga klien mengenali perasaan-perasaan yang dapat menimbulkan
perilaku maladaptif. REBT adalah metode untuk memahami dan mengatasi masalah
emosi dan perilaku (Froggatt, 2005). Teori REBT menegaskan bahwa keyakinan yang
tidak rasional akan membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak
sehat seperti perilaku amuk (agresif) dan rasa bersalah (Jensen, 2008).. REBT baik
diberikan pada klien PK karena di dalam materi REBT menjelaskan pada klien cara
berpikir rasional, mengubah emosi yang mengganggu menjadi emosi yang
menyenangkan sehingga klien dapat menyelesaikan masalah. Sesuai dengan konsep
REBT bahwa emosi dan perilaku merupakan hasil dari proses pikir yang
memungkinkan bagi manusia untuk memodifikasinya seperti proses untuk mencapai
cara yang berbeda dalam merasakan dan bertindak (Froggatt, 2005).
1.3 Hasil penelitian yang dilakukan terhadap klien PK memperlihatkan adanya penurunan
secara bermakna pada respon perilaku antara kelompok yang mendapatkan terapi
REBT dan yang tidak mendapatkan REBT. Ini berarti bahwa REBT memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap penurunan perilaku kekerasan pada klien.
Berdasarkan literatur Albert Ellis (Corsini & Wedding, 1989 dalam Dominic, 2003)
berpendapat bahwa yang perlu dirubah oleh individu untuk mengatasi masalah emosi
maupun perilakunya adalah adanya keyakinan irrasional yang dikembangkan sendiri
oleh individu dan Albert Ellis mengembangkan sebuah terapi bernama REBT
(Rational Emotive Behavioural Therapy). Sunaryo (2004) menyatakan bahwa
perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kebutuhan, motivasi, sikap dan
kepercayaan. Dengan terbinanya saling percaya perawat dengan klien, dan adanya
1.4 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada klien PK ditemukan peningkatan
secara bermakna pada respon sosial klien yang mendapatkan REBT. Hal ini berarti
REBT berpengaruh secara bermakna dalam meningkatkan respon sosial klien PK.
Menurut Boyd dan Nihart (1998) tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
akan ditemukan penurunan interaksi sosial. Menurut Beck, emosi marah sering
merangsang kemarahan orang lain. Pengalaman marah dapat mengganggu hubungan
interpersonal. Dengan diberikan REBT, klien akan belajar untuk berpikir secara
rasional dan berperilaku yang adaptif sehingga hubungan interpersonalnya dengan
orang lain meningkat.
1.5 Pada klien yang mendapatkan terapi psikososial REBT ditemukan penurunan secara
bermakna pada respon fisiologis, ini berarti REBT berpengaruh terhadap penurunan
respon fisiologis klien PK. Menurut Stuart dan Laraia (2009), Perilaku kekerasan dapat
dilihat dari wajah tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan,
rahang mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton.
Menurut Beck respons fisiologis marah timbul karena kegiatan system syaraf otomom
bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi
denyut jantung meningkat, wajah merah, pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran
urin meningkat. Dengan diberikannya REBT pada klien maka klien akan belajar untuk
berpikir rasional, mengontrol perasaannya dan perilakunya sehingga system syaraf
otonom tidak bereaksi dan respon fisiologis menjadi turun mencapai batas normal.
Berdasarkan hasil penelitian ini usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, riwayat
gangguan jiwa dan frekuensi di rawat tidak ada hubungan yang bermakna dengan respon
perilaku kekerasan. Ini berarti perubahan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
riwayat gangguan jiwa dan frekuensi di rawat tidak diikuti oleh perubahan pada respon
perilaku kekerasan (respon kognitif, emosi, perilaku, sosial maupun fisiologis). Namun
khusus untuk frekuensi di rawat ada hubungan yang bermakna dengan respon sosial yang
berarti bila terjadi perubahan pada frekuensi dirawat maka akan terjadi pula berubahan
pada respon sosial klien.
SIMPULAN
1. Karakterisitik dari 53 orang responden yang dilakukan dalam penelitian ini rata-rata berusia
35 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 56 tahun, lebih banyak perempuan
(50,9%), sebagian besar adalah tidak bekerja (56,6%), memiliki jenjang pendidikan SD dan
SMP (60,4%), dengan adanya riwayat gangguan jiwa (77,4%) dan frekuensi dirawat di
rumah sakit 2 kali atau lebih.
3. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa respon kognitif, emosi,perilaku, sosial dan
fisiologis pada klien PK yang mendapat REBT lebih baik secara bermakna dibandingkan
dengan klien PK yang tidak mendapatkan REBT.
4. Ada pengaruh REBT terhadap kemampuan klien dalam mengontrol PK melalui respon
kognitif, emosi, perilaku, sosial dan fisiologisnya. Ada pengaruh frekuensi klien dirawat di
rumah sakit dengan respon sosial klien PK. Tidak ada pengaruh, usia, jenis kelamin,
pekerjaan, riwayat gangguan jiwa dan ferekuensi dirawat di rumah sakit dengan respon
kognitif, emosi, perilaku dan fisiologis klien PK.
SARAN
1. Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan selalu memotivasi klien dan mengevaluasi
kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari dan dimiliki oleh klien sehingga latihan yang
diberikan membudaya. Pemberian terapi lanjutan dari terapi yang sesuai dengan SAK akan
memberikan hasil yang lebih maksimal seperti terapi generalis PK dan REBT pada Klien
PK.
2. Hasil penelitian ini hendaknya digunakan sebagai evidence based dalam mengembangkan
terapi REBT pada berbagai individu dan kelompok dengan masalah keperawatan jiwa
lainnya dan menjadi bagian dari kompetensi yang dimiliki oleh perawat spesialis.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary Practice. USA.
Lippincott Raven Publisher
Dyah W (2009). Pengaruh Assertive Trainning Terhadap Perilaku Kekerasan pada Klien
Skizoprenia, Tesis. Jakarta. FIK UI. tidak dipublikasikan
Dominic. J (2003), Effects of Trait Anger and Negative Attitudes Towards Women on Physical
Assaults in Dating Ralationships, Journal of Family Violence, Vol 18, No.5, Oktober
2003 diperoleh tanggal 10 februari 2010
Cristopher, E. (2010), Anger, Agression, and Irrational Beliefs In Adolescents, Cogn Ter Res.
Rawlins & Beck, C.K.(1993). Mental Health- Psychiatric Nursing 3 rd Ed. St. Louis : Mosby
Year
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th
edition). St Louis: Mosby
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2009). Principles and Practice of psychiatric nursing. (7th
edition). St Louis: Mosby
Sunaryo.(2004). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta : EGC
1
Dewi Eka Putri, S.Kp: Mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan Jiwa FIK UI.
2
Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M. App.Sc: Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK UI Jakarta.
3
Yusron Nasution, M.Kn: Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat.