Anda di halaman 1dari 207

Baram

Antara Madu dan Racun dalam


Kehidupan Etnik Dayak Ngaju

Santi Dwiningsih
Samuel Josafat Olam
Tety Rachmawati

Editor:
Dede Anwar Musadad

PENERBIT PT KANISIUS
Baram Antara Madu dan Racun dalam
Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
1016003073
© 2016 - PT Kanisius

Penerbit PT Kanisius (Anggota IKAPI)


Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
E-mail : office@kanisiusmedia.com
Website : www.kanisiusmedia.com

Cetakan ke- 3 2 1
Tahun 18 17 16

ISBN 978-979-21-5070-4

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta


UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada seluruh warga Desa


Tewang Rangkang yang telah menerima kami sebagai bagian dari
masyarakat selama kami melakukan riset. Mereka mengizinkan kami
berbaur, bersosialisasi dan belajar mengenai kehidupan sehari-hari di
desa Tewang Rangkang.
Buku ini merupakan hasil dari pembelajaran selama di Desa
Tewang Rangkang dan kerja sama masyarakat desa bersama tim
peneliti serta penerimaan masyarakat dan keterbukaan, keramahan
selama kami di desa.
Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu selama penelitian ini sampai dengan
selesainya penyusunan buku.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada:
1. Kepala Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan,
Kemenkes RI;
2. Kepala Puslitbang Humaniora dan Manajemen kesehatan,
Kemenkes RI;
3. Kepala Dinas Kesehatan dan Staf Dinas Kesehatan Kabupaten
Katingan;
4. Ketua Pelaksana Riset Khusus Etnografi Kesehatan 2016;
5. Camat dan Staf kecamatan Tewang Sangalang Garing.
6. Kepala Puskesmas Pendahara.
7. Kepala Desa dan Staf Desa Danum Simak Harum .

iii
KATA PENGANTAR

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat


di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan
rasional sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks.
Di saat pendekatan rasional belum dapat menyelesaikan masalah-
masalah kesehatan secara tuntas, dirasa perlu dan penting untuk
mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara menyelesaikan
masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah, dilakukan Riset
Etnografi Kesehatan sebagai salah satu alternatif mengungkap ber­
bagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.
Dengen mempertemukan pandangan rasional dan indigenous
knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menumbuhkan krea­
tivitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan
masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan
rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of
togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan
status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 seri buku
Riset Etnografi Kesehatan yang dihasilkan dari riset di berbagai daerah
di Indonesia tahun 2016. Buku seri ini berisi informasi etnografi
kesehatan dari berbagai suku/budaya yang mengungkap dan
menggali nilai-nilai yang berkembang di masyarakat agar dapat diuji
dan dimanfaatkan untuk riset pengembangan intervensi kesehatan
berbasis budaya serta bagi peningkatan upaya kesehatan dengan
memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan,
partisipan, dan penulis yang sudah berkontribusi dalam penyelesaian
buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kese­-

v
hatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Pene-
litian dan Pengembangan Humaniora dan Manajemen Kesehatan
untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2016 sehingga dapat
tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Jakarta, Oktober 2016


Kepala Puslitbang Humaniora
Dan Manajemen Kesehatan
Badan Litbang Kesehatan

Dr. Dede Anwar Musadad, S.K.M., M.Kes.

vi Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH. ....................................................................................... iii


KATA PENGANTAR..................................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL. ........................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR. .................................................................................................... x

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1.1. Mengapa Baram ?. ................................................................... 1
1.2. Langkah Awal Merancang Intervensi............................. 6
1.3. Membaur dengan Masyarakat. ......................................... 7

BAB 2 KATINGAN DAN MASYARAKATNYA............................................... 9


2.1. Selayang Pandang Dayak Ngaju
di Kalimantan Tengah. ............................................................ 9
2.2. Berjumpa Baram di Kabupaten Katingan..................... 14
2.3. Danum Simak Harum: Sebuah Desa
di Tepi Sungai Katingan.......................................................... 17

BAB 3 BARAM: DULU DAN KINI.................................................................... 31


3.1. Baram dalam Kisah Hulu dan Hilir................................... 31
3.2. Sejarah Minuman Beralkohol di Dunia......................... 38
3.3. Sejarah Minuman Beralkohol di Indonesia................. 45
3.4. Sejarah Minuman Beralkohol
di Kabupaten Katingan........................................................... 52

vii
BAB 4 MERACIK BARAM................................................................................... 65
4.1. Tuak dengan Cita Rasa Rempah........................................ 65
4.2. Para Pembuat Baram:
Antara Mata Pencaharian, Adat, dan Agama............ 71

BAB 5 SEJUTA CERITA DALAM SEGELAS BARAM................................. 81


5.1. Mihup Baram, Musik Dangdut, dan Tawa................... 81
5.2. Minuman Para Roh. ................................................................. 88
5.3. Baram di Tengah Kaum Muda............................................ 100
5.4. Madu atau Racun?................................................................... 120
5.5. Perkelahian, kekerasan, dan tindakan kriminal........ 151
5.6. Baram dan Kepentingan Politik......................................... 155

BAB 6 PULIH............................................................................................................ 159


6.1. Pulih, Nyatakah?........................................................................ 159
6.2. Mawas Diri Untuk Menjaga Harmoni............................ 163
6.3. Pulih dan Etiologi Penyakit. ................................................. 167

BAB 7 CATATAN PENELITI. ................................................................................ 171


7.1 Kesimpulan................................................................................... 171
7.2 Apa yang bisa dilakukan........................................................ 175

INDEKS ............................................................................................................. 179

GLOSARIUM ............................................................................................................. 181


DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 191

viii Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jumlah penduduk Desa Danum Simak Harum


berdasarkan mata pencahariannya...................................... 24
Tabel 7.1. Panduan minum dalam jumlah cukup
(drinking in moderation) di berbagai negara.. ................ 122

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta Kabupaten Katingan di Provinsi


Kalimantan Tengah................................................................. 16
Gambar 2.1. Beberapa upacara keagamaan Kaharingan,
yang merupakan kepercayaan asli suku
Dayak Katingan: napesan (a), basarah (b),
dan tiwah (c).............................................................................. 19
Gambar 2.2. Contoh bangunan rumah penduduk (a),
jamban terapung dan kelotok yang biasa
ditambatkan di tepi sungai di belakang rumah
(b), serta bangunan kantor desa dan Posyandu.... 20
Gambar 3.1. Di Desa Danum Simak Harum, baram tak
hanya dinikmati oleh para lelaki, namun juga
oleh perempuan...................................................................... 61
Gambar 4.1. Segelas baram dan bahan-bahan dasar ragi............ 66
Gambar 4.2. Proses pembuatan ragi baram secara
gotong-royong.......................................................................... 68
Gambar 5.1. Seorang ceker di pesta pernikahan menuangkan
baram untuk para tamu yang hadir............................. 85
Gambar 5.2. Baram dan musik dangdut selalu membawa
keceriaan di tengah kebersamaan
masyarakat desa...................................................................... 86
Gambar 5.3. Baram dalam acara laluhan yang merupakan
bagian dari rangkaian upacara tiwah,
diminum dari tanduk kerbau............................................ 94
Gambar 5.4. Baram pali disimpan dalam guci dan
tidak boleh dibuka hingga upacara adat selesai.... 95

x
Gambar 5.5. Proses fermentasi glukosa menjadi alkohol............. 124
Gambar 5.6. Pembacaan ancaman denda adat untuk
berbagai pali dan perbuatan yang dapat
mengganggu ketertiban aat berlangsungnya
upacara bayar hajat.............................................................. 153

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju xi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Mengapa Baram ?


Awal hingga pertengahan tahun 2016, minuman beralkohol
mendapatkan sorotan tajam di media massa melebihi tahun-tahun
sebelumnya. Pasalnya, beberapa kasus kriminal yang menjadi
isu nasional terkait erat dengan konsumsi minuman beralkohol.
Dua di antaranya adalah kasus tewasnya sejumlah orang karena
meng­konsumsi minuman beralkohol oplosan di DIY1, serta kasus
pemerkosaan dan pembunuhan seorang siswi SMP secara sadis oleh
sejumlah pemuda yang dipengaruhi alkohol di Bengkulu2.
Berbagai analisis yang muncul di kalangan cendekiawan,
dari aspek kemanusiaan, pendidikan, hukum, ekonomi, dan sosial,
seolah menggiring opini publik kepada suatu kesimpulan bahwa
minuman beralkohol adalah minuman berbahaya dan harus dilarang
peredarannya. Di berbagai media sosial maupun media massa,
minuman beralkohol dianggap bertanggung jawab atas perilaku
agresif dan asusila, yang pada akhirnya berbuntut pada perilaku
kriminal. Minuman ini pun sering dipandang tidak sesuai dengan
nilai-nilai keluhuran bangsa Indonesia. Padahal pada kenyataannya,
Nusantara telah mengenal tradisi pembuatan minuman beralkohol
sejak berabad-abad yang lalu dan hingga kini minuman tersebut masih


1
http://m.harianjogja.com berita tentang meninggalnya 13 orang di Jogjakarta
karena miras oplosan pada tanggal 18 Mei 2016.

2
http://tribunnews.com berita tentang meninggalnya Yuyun karena diperkosa dan
dibunuh sekelompok pria yang sedang di bawah pengaruh minuman keras pada
bulan Mei 2016.

1
menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Sebut saja tuak, arak, moke, saguer, peneraci, ciu, lapen, dan baram,
yang merupakan sebagian dari minuman beralkohol tradisional yang
ada di Indonesia.
Minuman beralkohol tradisional memang memiliki potensi
dampak negatif di masyarakat karena peredarannya sulit diawasi dan
dikendalikan, serta konsumsinya seringkali terkait dengan berbagai
tindak kriminal. Seiring dengan meningkatnya potensi masalah
tersebut, pemerintah lantas mulai membahas Rancangan Undang-
Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU LMB)3 di tahun 2015.
Pada pasal 4 RUU tersebut mengenai klasifikasi disebutkan bahwa
minuman beralkohol yang dilarang diklasifikasi berdasarkan golongan
dan kadarnya a) minuman beralkohol golongan A adalah minuman
beralkohol dengan kadar etanol (C2H5OH) lebih dari 1% -5% ; b)
minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan
kadar etanol (C2H5OH) lebih dari 5% -20%; dan c) minuman beralkohol
golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol (C2H5OH)
lebih dari 20% -55%.
Selain Minuman Beralkohol berdasarkan golongan sebagai­
mana dimaksud pada ayat (1), minuman beralkohol yang dilarang
meliputi minuman beralkohol tradisional dan minuman beralkohol
campuran atau racikan. Pasal 2 juga menyebutkan minuman ber­
alkohol tradisional sebagai salah satu jenis minuman beralkohol yang
dilarang peredarannya, kecuali untuk kepentingan acara adat dan
ritual keagamaan.
Salah satu alasan yang membuat banyak masyarakat memilih
mengkonsumsi minuman beralkohol tradisional adalah karena har­
ganya yang ramah di kantong mereka. Namun di satu sisi harga
yang ramah di kantong juga tidak memberikan efek alkohol yang
seperti mereka harapkan, karena dianggap ‘kurang keras’ sehingga
pengoplosan pun dilakukan. Sebagian besar minuman yang dioplos
adalah minuman beralkohol tradisional yang dibuat dalam skala kecil
3
www.dpr.go.id>doksileg>proses2

2 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
oleh industri rumahan. Minuman ini diproduksi tanpa ijin usaha dan
tak pelak label sebagai minuman ilegal pun melekat erat. Minuman
ini kalah bersaing dengan minuman modern yang banyak diimpor
dari luar negeri yang jelas memberikan kontribusi pada pemerintah
karena terdaftar dalam wajib pajak dan bea cukai. Hal ini tentu saja
mengancam pundi-pundi ekonomi masyarakat yang bergantung
padanya.
Minuman beralkohol tradisional di Indonesia juga bukan hanya
sekedar minuman yang dikonsumsi untuk tujuan mabuk semata. Di
banyak tempat di Indonesia misalnya di Nusa Tenggara Timur dan
Pulau Kalimantan, minuman beralkohol tradisional adalah warisan
leluhur yang dipergunakan untuk keperluan adat, agama, resolusi
konflik, serta ritual pemujaan leluhur. Minuman ini memiliki nilai
luhur dengan filosofi yang dalam. Namun patut diingat, alkohol juga
bagaikan pisau bermata dua, ia bisa memberikan manfaat yang baik
dan sebaliknya juga bisa mematikan. Ia bisa mengancam kesehatan
manusia, menimbulkan berbagai jenis penyakit, dan mengganggu
proses pikir. Alkohol juga bisa menimbulkan adiksi, dan yang lebih
memprihatinkan, konsumennya tidak terbatas pada individu dewasa
saja tetapi juga anak di bawah umur.
Hal itu pula yang kami telusuri dan dalami pada tulisan ini, yaitu
tentang sifat alkohol yang paradoksikal, yang seolah-olah memiliki
dua wajah; baik dan buruk, dicintai sekaligus juga dibenci. Kami
menemukan semua gambaran tersebut pada baram, yaitu minuman
beralkohol tradisional dari Kalimantan Tengah.
Melalui Riset Etnografi Kesehatan 2016 yang dilakukan di
Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, peneliti mencoba melihat
paradoks baram secara lebih dekat bukan hanya dari sudut pandang
kesehatan, ekonomi, tetapi juga dari sudut pandang sosio-kultural.
Minuman ini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Suku
Dayak Ngaju yang merupakan suku Dayak terbesar yang menghuni
Kalimantan Tengah. Baram hampir selalu bisa ditemukan pada ritual
adat Dayak Ngaju dan pada ritual agama Kaharingan, yaitu agama tua

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 3
yang dianut oleh suku Dayak Ngaju. Baram juga mudah ditemukan
pada kehidupan masyarakat sehari-hari, entah pada suasana formal
maupun informal. Walaupun baram begitu dekat dengan masyarakat
dan mudah dijumpai, pada kenyataannya kami kesulitan untuk
mencari literatur yang terkait dengan minuman beralkohol itu. Bahkan
kami juga tidak bisa menemukan kata baram disebut di dalam caption
atau tulisan yang tertera pada berbagai peninggalan bersejarah yang
dipamerkan di Museum Balanga, di Kota Palangka Raya.
Agak Sulit menemukan literatur yang membahas tentang baram
secara khusus. Buku yang ditulis oleh Riwut (2003) lebih banyak
membahas kosmologi Suku Dayak secara umum, termasuk Suku
Dayak Ngaju. Baram hanya beberapa kali disebut pada pembahasan
mengenai ritual saja. Ada satu artikel yang ditulis oleh Ansori (2016)
yang membahas baram dalam kaitannya dengan identitas lokal
orang Dayak. Tulisannya berdasarkan pada riset yang dilakukannya di
beberapa wilayah di Kalimantan Tengah, termasuk Katingan. Ansori
secara terperinci menyebutkan bahwa baram telah termarjinalisasi
secara politis oleh suatu rezim, dan pada perkembangannya orang
Dayak mengangkat baram sebagai suatu identitas lokal mereka. Dia
juga menyebutkan bahwa marjinalisasi baram tidak hanya terkait
isu politis, tetapi juga terkait dengan kontestasi sosial dan kultural di
Kalimantan Tengah, lebih tepatnya kontestasi antara orang Dayak vs
orang migran, dan antara Kaharingan vs Kristen dan Muslim migran.
Di luar isu politis, kontestasi etnis, serta religi yang Ansori
sebutkan di atas, kami melihat baram ternyata menempati posisi
istimewa di dalam struktur sosial-kultural masyarakat, bukan hanya
masyarakat di akar rumput tetapi juga pada elit lokal. Pada satu waktu
baram bisa berada di tengah masyarakat adat, di waktu lain ia bisa
ditemukan di tengah masyarakat yang khusyuk beribadah, esok hari
ia bisa ditemukan di tengah masyarakat yang hanya membutuhkan
suka cita, dan yang teristimewa baram bisa berada di tengah-tengah
masyarakat yang sedang bernegosiasi berbau politis. Kompleksitas
dan fleksibilitas baram itulah yang terbaca di lokasi penelitian kami

4 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
di Desa Danum Simak Harum, Kecamatan Tewang Sangalang Garing,
Kabupaten Katingan, yang dikenal sebagai salah satu penghasil baram
yang terbaik di Kalimantan Tengah. Disana dengan mudah melihat
bagaimana masyarakat menghabiskan banyak waktu produktifnya
bersama alkohol, mengisi organ pencernaan mereka dengan me­
nenggak berliter-liter baram, kehilangan kesadaran karena mabuk
berat di saat berpesta sembari membawa anak mereka yang melihat
secara langsung, dan ironisnya kami juga menemukan orang yang
sudah jera meminumnya karena sudah dalam keadaan sakit parah.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, diketahui bahwa
prevalensi konsumsi minuman beralkohol di Kabupaten Katingan
sebesar 13,9% sedangkan untuk Kalimantan Tengah sebesar 6,5%,
dan angka nasional sebesar 4,6%. Proporsi penduduk yang minum
tiap minggu adalah sebesar 16,7%, di mana mayoritas peminum
mengkonsumsi minuman tradisional 58,4%. Proporsi peminum yang
sudah mencapai ambang mabuk (5-6 satuan standar) adalah sebesar
10,6% (Riskesdas, 2007).
Laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak sudah
menganggap minum alkohol hingga mabuk sebagai suatu hal yang
biasa. “Ini adat kami” atau “Ini sudah biasa karena ritual pakai itu
juga”, kata mereka.Betulkah? Inikah yang mereka yakini? Sebagian
besar masyarakat memang yakin jika baram adalah bagian dari
budaya orang Dayak dan juga merupakan bagian dari Kaharingan.
Kami pun menghormati pernyataan tersebut karena pada
kenyataannya baram memang menempati posisi yang vital dalam
budaya orang Dayak Ngaju serta dalam Kaharingan. Baram berkaitan
erat dengan mata pencaharian, religi, kekerabatan, dan unsur budaya
lain dalam masyarakat Dayak Ngaju. Tetapi ketika baram juga memiliki
potensi negatif yang tidak hanya berlaku pada jangka pendek namun
juga jangka panjang, bukankah kita harus melihat apa yang menjadi
penyebabnya? Lebih jauh lagi, apa yang bisa kita tindak lanjuti dengan
sifat baram yang paradoksikal ini?

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 5
Dalam tulisan ini peneliti tidak menampilkan baram secara
hitam dan putih saja, atau baik dan buruk saja. Apa yang dituliskan
adalah apa yang dirasakan, lihat, alami, amati, diskusikan, dan
perdebatkan selama di lokasi penelitian.
Tulisan ini sebagai upaya mengajak pembaca mengenal budaya
masyarakat Katingan dan mengajak pembaca menilai kontroversi
tentang baram, serta bagaimana persepsi pembaca tentang baram
apakah sebagai madu atau racun?

1.2. Langkah Awal Merancang Intervensi


Riset etnografi Kesehatan adalah riset yang berbasis pada
pendekatan budaya masyarakat. Dengan melihat dimensi budaya
sebagai aspek yang penting dalam menentukan status kesehatan
masyarakat karena segala unsur dalam masyarakat termasuk perilaku
kesehatan dipengaruhi oleh kebudayaan. Tidak jarang, peneliti hanyut
dalam sudut pandangnya sendiri ketika berada di budaya yang baru.
Untuk itu melihat masyarakat dari sisi emik dalam riset etnografi
adalah hal yang mutlak dilakukan. Ini dilakukan agar peneliti juga
mampu melihat segala dinamika yang terjadi dari sudut pandang
masyarakat itu sendiri, bukan sudut pandang peneliti.
Kemudian, dari Riset etnografi kesehatan ini dapat dirancang
model intervensi untuk mengambil suatu kebijakan atau langkah
intervensi atas budaya yang dianggap perlu dimodifikasi atau justru
diperkuat, peneliti diharapkan mampu menggunakan sisi etik. Kedua
hal ini adalah pakem yang harus dipahami peneliti etnografi karena
Spradley (1997: 3) pernah berkata:
“Etnografi sebagai pekerjaan untuk mendeskripsikan suatu
kebudayaan, dan oleh karena itu penelitian etnografi
melibatkan aktifitas belajar dunia orang yang telah belajar
melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak
dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari
masyarakat,tetapi lebih dari itu, etnografi berarti belajar
dari masyarakat”

6 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Sering kali apa yang dikatakan Spradley tidak berjalan dengan
baik di lapangan, bahkan banyak penelitian kesehatan di Indonesia
pun luput untuk melakukan itu. Tidak heran banyak upaya intervensi
dan strategi peningkatan status kesehatan masyarakat tidak berjalan
dengan baik karena pengambil kebijakan tidak melihat sisi budaya
sebagai hal yang penting.

1.3. Membaur dengan Masyarakat


Riset Etnografi Kesehatan adalah penelitian dengan metode
penelitian kualitatif. Idealnya metode ini dilakukan dalam kurun
waktu yang lama, minimal selama 1 tahun. Peneliti harus tinggal serta
membaur dengan masyarakat agar bisa memahami konteks budaya
yang dipelajari.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai nilai baram dalam
budaya masyarakat Katingan diKalimantan Tengah, yang angka
konsumsi minuman beralkohol tradisional yang lebih tinggi dari rata-
rata nasional, dilakukan penelitian etnografi selama lima puluh hari di
Desa Danum Simak Harum. Sebuah desa di Kabupaten Katingan yang
namanya disamarkan guna menjaga kerahasiaan para informan.
Walaupun tidak ditemukan data kuantitatif terkait konsumsi
minuman beralkohol maupun mengenai dampak kesehatan atau
volume minuman beralkohol yang dikonsumsi, secara kualitatif bisa
digali informasi penting melalui proses wawancara dan observasi yang
dilakukan di lapangan. Tim Peneliti tinggal di desa, berbaur dengan
masyarakat, mengikuti ritual, mengikuti pesta yang mereka adakan,
menginap di beberapa rumah penduduk yang berbeda, memasak
serta memakan makanan lokal, dan juga turut minum baram.
Semua dilakukan denga tujuan mendekatkan diri dengan
masyarakat setempat dan berusaha melihat segala sesuatu tanpa
prasangka, terlebih ketika banyak hal yang kami hadapi sesungguhnya
sangat jauh berbeda dengan kondisi budaya di tempat asal peneliti
masing-masing. Namun di tengah berjalannya penelitian, ternyata tim
peneliti sudah bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat setelah

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 7
membaur dalam kegiatan yang mereka lakukan, tanpa terkecuali
ketika minum baram.
Pengambilan data yang dilakukan ketika di lokasi penelitian
adalah Observasi Partisipasi yaitu peneliti melakukan observasi dan
terlibat langsung dalam kegiatan masyarakat yang diobservasi untuk
melihat berbagai aspek budaya yang ingin dilihat dengan dekat. Selain
itu observasi partisipasi mampu mendekatkan jarak budaya antara
peneliti dengan masyarakat. Pada konteks ini peneliti akan dikenal
dan berbaur dengan masyarakat. Observasi partisipasi yang dilakukan
meliputi kegiatan pembuatan baram, ritual pada acara adat, acara
agama, dan pada acara minum baram formal maupun informal.
Observasi Non-partisipasi dilakukan karena peneliti tidak
terlibat di dalamnya. Observasi ini dilakukan hanya dengan meng­
amati perilaku peminum baram.
Wawancara mendalam adalah istilah yang relatif subyektif
karena kedalaman wawancara bisa menjadi berbeda antara satu
orang informan dengan informan lain. Wawancara dilakukan secara
intens dengan tujuan untuk mendapatkan data yang diinginkan, pada
beberapa informan kunci dan informan lain yang berkontribusi pada
pengumpulan data.
Untuk memperkuat data juga diambil Dokumentasi Visual,
Dokumentasi Audio, dan Dokumentasi Audio Visual yaitu dengan
dilakukan pendokumentasian suara berupa rekaman wawancara
yang dilakukan dengan menggunakan alat perekam suara, dan
pendokumentasian gambar serta pembuatan film dengan meng­
gunakan kamera.
Data sekunder sangat bermanfaat untuk membantu meng­
analisa dan memperkuat temuan, misalnya data dari RPJMDes, BPS,
dan Katingan Dalam Angka. Studi literatur sangat penting dilakukan.
Studi literatur yang kdilakukan bermanfaat dalam upaya mencari sisi
etno-historis baram serta minuman beralkohol lain pada umumnya.

8 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
BAB 2
KATINGAN DAN MASYARAKATNYA

2.1. Selayang Pandang Dayak Ngaju di Kalimantan


Tengah
Datang dan melakukan penelitian di Kalimantan Tengah adalah
pengalaman yang menarik, terlebih karena tema penelitian adalah
baram. Peneliti menyadari bahwa tema yang ini merupakan tema
yang tergolong baru di Riset Etnografi Kesehatan, dan mungkin
sensitif bagi beberapa pihak. Terlepas dari itu, Kalimantan Tengah
adalah laboratorium hidup yang memberikan ilmu, wawasan, juga
pengalaman baru.
Sejujurnya, selain mandau4, hal pertama yang terlintas di benak
ketika mendengar bahwa peneliti akan ditempatkan di Kalimantan
Tengah adalah konflik berdarah di Sampit. Perang saudara antara
etnik Dayak dan Madura yang terjadi pada tahun 2001 silam tersebut
menjadi viral di berbagai media massa nasional maupun internasional.
Berbagai media berlomba-lomba menginvestigasi apa sebab musabab
konflik dan bagaimana cara mencari jalan damai. Lima belas tahun
telah berlalu sejak konflik berdarah itu terjadi, namun rasanya
bayangan konflik tersebut masih melekat pada saat pertama kali
menginjakkan kaki di tanah Kalimantan Tengah. Beberapa orang yang
ditemui pertama kali ketika tiba di Kalimantan Tengah masih ingat
kronologi konflik serta bumbu-bumbu cerita perseteruan dari versi


4
Mandau adalah senjata tradisional Suku Dayak yang mirip parang. Pada masa
lalu dan pada masa kerusuhan berdarah di Sampit, Mandau digunakan untuk
mengayau (memenggal kepala) musuh atau lawan.

9
mereka masing-masing. Namun nyatanya, bekas-bekas kengerian dan
keberingasan konflik tidak pernah ditemukan selama berada di sana.
Kami justru melihat sosok Kalimantan Tengah yang saat ini tengah giat
membangun, meski tak bisa dipungkiri, masih berusaha mengobati
luka lama paska konflik berdarah dengan isu SARA tersebut.
Lokasi penelitian secara spesifik berada di Desa Danum Simak
Harum, Kecamatan Tewang Sangalang Garing, Kabupaten Katingan.
Banyak hal yang ingin diceritakan tentang tempat itu, terutama yang
terkait dengan tema penelitian, yaitu baram. Namun ada baiknya kita
melihat juga profil Kalimantan Tengah, induk dari Kabupaten Katingan.
Tidak elok rasanya jika hanya mengingat masa lalu Kalimantan
Tengah yang kelam karena konflik, karena sesungguhnya Kalimantan
Tengah menyimpan banyak potensi wisata alam dan budaya yang
luar biasa kaya. Untuk wisata budaya, daya tarik yang terbesar
masih berupa budaya Suku Dayak yang memang sangat menarik
dan indah. Kalimantan Tengah berusaha ‘menjual’ hal tersebut dan
mengemasnya secara menarik dan autentik. Salah satu contoh yang
pernah peneliti saksikan secara langsung misalnya acara budaya
sekaligus keagamaan berupa tiwah massal di Desa Tumbang Manggu,
Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan. Selain budaya
yang kaya, Kalimantan Tengah yang beribukota di Palangka Raya
adalah provinsi yang terdiri dari banyak etnik. Suku aslinya adalah
Suku Dayak dan suku pendatang yang banyak ditemui antara lain
Jawa, Banjar, Melayu, Sunda, Tionghoa dan lain-lain.
Suku Dayak di Kalimantan Tengah sendiri terdiri dari beberapa
rumpun suku besar, dan yang terbesar adalah rumpun Dayak Ngaju.
Secara umum, Suku Dayak diyakini sebagai penghuni asli Pulau
Kalimantan dan mendiami pulau tersebut sejak ribuan tahun yang
lalu. Demikian pula dengan Suku Dayak yang tinggal di Kalimantan
Tengah. Menurut Riwut (2003 : 16), Suku Dayak di Kalimantan
Tengah terdiri 10 suku besar yaitu; Dayak Ngaju, Dayak Ma’anyan,
Dayak Lawangan, Dayak Dusun, Dayak Klementen, Dayak Ot Danum,
Dayak Siang, Dayak Witu, Dayak Katingan, dan Dayak Kapuas. Bahasa

10 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
pemersatu Suku Dayak tersebut adalah bahasa Dayak Ngaju, dan itu
dikarenakan digunakannya bahasa tersebut pada penerjemahan kitab
suci pada masa zending.
Suku Dayak Katingan adalah subetnis rumpun Dayak Ngaju
yang mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai Katingan di
Kabupaten Katingan. Suku ini baru muncul dalam sensus tahun 2000
dan populasinya sebesar 3,34 % dari penduduk Kalimantan Tengah.
Sebelumnya suku ini tergabung dalam Suku Dayak pada sensus 1930
(Tirtosudarmo, 2007). Bahasa yang digunakan Suku Dayak Ngaju
Katingan adalah bahasa Katingan, dan itu berbeda dengan bahasa
Dayak Ngaju. Namun antara satu sama lain bisa berkomunikasi
dengan bahasa Ngaju yang dianggap sebagai bahasa persatuan Suku
Dayak di Kalimantan Tengah. Orang Dayak Katingan yang kami temui
di lokasi penelitian sendiri sering menyebut diri mereka sebagai orang
Ngaju Katingan, dan kadang kala hanya menyebut ‘orang Katingan’
saja. Secara garis besar, di antara Dayak Ngaju dan Dayak Katingan
memiliki persamaan menonjol dalam dua hal; yaitu kosmologi dan
agama asli. Hal itu tentu tidak terbantahkan karena mereka sejatinya
berasal dari rumpun yang sama.
Secara kosmologi, suku Dayak Ngaju memahami dunia mereka
dari pemaknaan terhadap Pohon Batang Garing (pohon kehidupan)
yang diturunkan langsung oleh Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang
Maha Esa). Hal itu termaktub dalam tetek tatum yang berisi tentang
penciptaan dua buah pohon yang berbuah serta berdaun emas,
berlian dan permata, yang diberi nama Batang Garing Tingang
(Pohon Kehidupan) dan Bungking Sangalang (Riwut, 2003:490).
Pohon Batang Garing yang berlambang tombak dan menunjuk ke
arah atas adalah simbol dari Ranying Hatalla Langit. Di bagian bawah
pohon terdapat guci yang berisi air suci dan dahan berlekuk yang
melambangkan Jata atau dunia bawah. Sedangkan daun-daunnya
melambangkan ekor burung enggang. Masing-masing dahan memiliki
tiga buah yang menghadap ke atas dan ke bawah, melambangkan

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 11
tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang,
Maharaja Sangen, dan Maharaja Bunu.
Pohon Batang Garing adalah simbol dari dunia yang terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu alam atas, pantai danum kalunen (bumi),
dan alam bawah. Dalam tetek tatum disebutkan tentang penciptaan
alam tersebut. Saat itu Ranying Hatalla Langit sedang melepas
dan melempar selatup atau lawung (ikat kepala) yang terbuat dari
emas, intan, dan permata. Tiba-tiba ikat kepala tersebut berubah
menjadi Batang Garing Tingang dan Bungking Sangalang (Riwut,
2003). Adanya Pohon Batang Garing ternyata berpengaruh kepada
kehidupan suku Dayak Ngaju. Pengaruh pertama, mereka percaya jika
nenek moyang mereka berasal dari keturunan Maharaja Bunu yang
diturunkan dari langit ketujuh oleh Ranying Hatalla Langit (Riwut,
2001:497). Pengaruh kedua, tampak pada adanya upacara menabur
beras (menawur behas) yaitu menaburkan beras ke segala penjuru
dalam setiap upacara adat. Beras diyakini berasal dari pantis kambang
kabanteran bulan, lelek lumping matanandau di bukit kagantung
langit di langit ketujuh. Melalui beras orang Dayak Ngaju yakin kalau
mereka dapat berkomunikasi dengan putir selang tamanang dan raja
angking langit yang diteruskan kepada ranying hatalla langit (Riwut,
2003:201).
Agama asli yang dianut oleh Suku Dayak Ngaju adalah
Kaharingan. Namun sepanjang pengamatan kami, Suku Dayak tidak
hanya menganut Kaharingan saja, tetapi juga agama Samawi seperti
Kristen, Katolik, dan Islam. Hal ini ternyata sesuai dengan yang ditulis
oleh Mahin (2009) yang menyebut jika orang Dayak Ngaju adalah suku
yang sangat plural, dan mereka bisa menganut agama apa saja. Mahin
bahkan berkata jika bagi orang Dayak Ngaju agama adalah identitas
berikutnya, sedangkan identitas pertamanya adalah sebagai orang
Dayak. Dia membandingkan dengan orang Banjar yang menganggap
Islam adalah Banjar, dan Banjar adalah Islam.
Kata Kaharingan semula hanya dipakai pada upacara ritual
agama Dayak Ngaju. Dalam bahasa sangiang (bahasa ritual), kata

12 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
kaharingan berarti hidup atau kehidupan. Tahun 1945 kaharingan
diajukan kepada pemerintah pendudukan Jepang di Banjarmasin
sebagai penyebutan agama Dayak. Tahun 1950 dalam kongres Sarikat
Kaharingan Dayak Indonesia, Kaharingan resmi dipakai sebagai
generik agama dayak. Tahun 1980 para penganutnya berintegrasi
dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Kitab suci mereka
disebut dengan Panaturan, dan terdapat buku agama yang disebut
dengan Talatah Basarah (kumpulan doa) dan Tawar (petunjuk tata
cara meminta pertolongan tuhan dengan menabur beras). Sejak
tahun 1980 Kaharingan dimasukkan sebagai penganut Hindu. BPPS
Kalimantan Tengah pada tahun 2007 mencatat ada 223.349 penganut
Kaharingan (Muhin, 2003)5. Kaharingan sangat erat kaitannya dengan
Suku Dayak Ngaju, dan bahkan dikatakan sebagai agama asli suku ini.
Jika Kaharingan adalah agama asli suku Dayak Ngaju, lalu bagaimana
dengan suku Dayak lain yang ada di Kalimantan Tengah? Ternyata
menurut Muhin (2007), perkembangan Kaharingan tidak hanya
terhenti di Dayak Ngaju dan rumpunnya saja, tetapi juga berlanjut ke
suku Dayak yang lain seperti Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan
Siang. Meskipun menurut Muhin sistem kepercayaan yang dianut
berbeda dengan Dayak Ngaju, agama yang dianut oleh suku-suku tadi
juga disebut Kaharingan.
Tanpa bermaksud mengurangi makna dan latar belakang sejarah
yang ada, dalam tulisan ini kami lebih memilih untuk menuliskan
Kaharingan tetap sebagai Kaharingan saja, bukan sebagai Hindu
Kaharingan. Hal itu semata-mata kami lakukan untuk membedakan
antara agama Hindu yang ada di Indonesia (terutama Hindu Bali)
dengan Kaharingan yang secara nilai dan praktik ritualnya memang
berbeda.


5
Lihat juga (Riwut, 2003)

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 13
2.2. Berjumpa Baram di Kabupaten Katingan
Setelah berbicara tentang Dayak Ngaju dan Kaharingan se­
cara umum, mari bergeser ke arah Kabupaten Katingan yang bisa
ditempuh selama 1,5 jam perjalanan darat dari Kota Palangka Raya.
Jarak tempuh tersebut adalah jarak dari Kota Palangka Raya menuju
ibukota Kabupaten Katingan yaitu Kasongan. Di Katingan, kami tidak
hanya menemukan cerita menarik tentang Dayak dan Kaharingan,
tetapi juga cerita tentang baram.
Semula kami sama sekali tidak tahu jika salah satu daya tarik
yang ada di Kabupaten Katingan adalah baram, yaitu minuman
alkohol tradisional yang dibuat melalui fermentasi beras, ragi, dan
rempah-rempah. Kami belum pernah melihat seperti apa bentuk
baram dan bagaimana rasanya. Topik tentang baram terdengar
eksotis bagi beberapa orang yang pernah bertukar pikiran dengan
kami. Tetapi sesungguhnya kami tidak pernah sekalipun berpikir untuk
menjadikan ‘eksotisme’ baram sebagai alasan mengapa kami memilih
topik baram, karena bagi kami mencari tahu alasan mengapa orang
meminum baram dan apa yang mereka rasakan, jauh lebih menarik.
Ada kegelisahan yang kerap kami dengar dari kerabat baru kami
serta rekan diskusi di lokasi penelitian yang mengusik benak kami,
mereka khawatir kami hanya menampilkan baram sebagai minuman
beralkohol yang merusak, jahat, dan sudah selayaknya dilenyapkan
selamanya. Mereka berpikir kami memiliki kuasa untuk melakukan
itu.
Bukan hanya mereka yang gelisah. Membayangkan kami
men­dapat banyak kesempatan untuk meminum baram membuat
nyali kami berdua sedikit menciut. Sejujurnya, kami tidak memiliki
hubungan ‘baik’ dengan alkohol walaupun pernah memiliki peng­
alaman mencobanya dalam jumlah yang sedikit di kesempatan yang
lain dan di tempat yang lain pula. Kami terusik untuk memikirkan
bagaimana langkah terbaik yang dapat kami ambil untuk mengatasi
dua hal, yaitu kegelisahan kami sekaligus rasa tertarik kami yang

14 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
tinggi untuk berada sedekat mungkin dengan baram. Ketika akhirnya
kami sudah sampai di Kabupaten Katingan, maka pilihan satu-satunya
adalah kami harus menghadapi keduanya dengan bijak, yaitu dengan
menjadi orang yang siap untuk belajar tentang apapun itu, entah baik
atau pun buruk.
Baram adalah minuman beralkohol yang dibuat dengan cara
tradisional dengan menggunakan beras sebagai bahan baku utama,
ragi, air, gula, dan rempah-rempah. Semua bahan tersebut difer­
entasikan dalam jangka waktu tertentu sampai akhirnya menjadi
baram6. Baram yang berasal dari DAS7 Katingan adalah salah satu yang
terbaik di seluruh wilayah Kalteng, selain baram yang berasal dari
DAS Kahayan. Konon rasanya yang nikmat tidak bisa dikalahkan oleh
baram yang dibuat oleh pembuat baram di DAS lainnya di Kalteng.
Di wilayah Kalteng, baram memiliki nama lain yaitu tuak, barom, dan
arak. Untuk di Kabupaten Katingan sendiri, nama yang populer adalah
baram. Seorang budayawan WS yang juga merupakan informan kami
bahkan berkata;
“Katingan itu terkenal sekali dengan baramnya, bisa dikatakan
hampir semua kecamatan di Katingan pasti ada baram. Beda kalau
sudah di kabupaten lain misal Kabupaten Gunung Mas, itu hanya
sedikit saja (baram)”.


6
Pemaparan tentang cara pembuatan baram dan bahan-bahannya akan dibahas
lebih lanjut pada bab selanjutnya

7
DAS adalah akronim dari Daerah Aliran Sungai

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 15
Sumber: Google.
Gambar 1.1. Peta Kabupaten Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah.

Kabupaten Katingan adalah kabupaten yang berdiri tahun 2002.


Sebelumnya Kabupaten Katingan menjadi bagian dari Kabupaten
Kotawaringin Timur. Secara geografis Kabupaten Katingan berbatasan
dengan Kabupaten Sintang (Kalbar) di sebelah utara, di sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas dan Kota Palangka Raya,
di sebelah selatan berbatasan dengan laut jawa, dan di sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Seruyan serta Kabupaten Kota
Waringin Timur. Kabupaten Katingan dialiri oleh Sungai Katingan yang
memiliki panjang sekitar 650 km dengan 12 anak sungai, yaitu; Sungai
Kalanaman, Sungai Samba, Sungai Hiran, Sungai Bemban, Sungai
Sanamang, Sungai Mahup, Sungai Sebangau, Sungai Bulan, Sungai
Panggualas, Sungai Kamipang, dan Sungai Rasau. Kabupaten Katingan
memiliki luas 17.800 km persegi dan terdiri dari 13 kecamatan.
Salah satu kecamatan yang menjadi bagian dari Kabupaten Katingan
adalah Kecamatan Tewang Sangalang Garing. Kecamatan ini adalah
kecamatan dengan luas wilayah terkecil yaitu 568 km persegi, atau
hanya 3,19% dari luas keseluruhan. Kecamatan Tewang Sangalang

16 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Garing berada di 32 DPL, terdiri dari 9 desa, 1 kelurahan, 21 RW, dan
62 RT 8. Di sanalah lokasi desa tempat kami tinggal dan menghabiskan
sebagian besar waktu penelitian.

2.3. Danum Simak Harum: Sebuah Desa di Tepi


Sungai Katingan
Lokasi penelitian berada di Kecamatan Tewang Sangalang
Garing, tepatnya berada di sebuah desa yang namanya di samarkan
menjadi Desa Danum Simak Harum (yang artinya ‘air rempah wangi’)
demi kerahasiaan para informan penelitian ini. Desa Danum Simak
Harum berjarak 10 km dari ibukota kecamatan dengan lama waktu
tempuh sekitar 20 menit perjalanan. Jalan utama yang bisa ditempuh
menuju ke desa adalah jalan beraspal yang relatif baik walaupun
ditemukan beberapa lubang yang mengganggu perjalanan di
beberapa titik. Jalan yang menghubungkan Desa Danum Simak Harum
dengan desa lainnya yang bertetangga. Desa Danum Simak Harum
diapit dua desa lain yang terletak di Kecamatan Tewang Sangalang
Garing yaitu di sebelah utara, selatan, dan barat, sedangkan di
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas9.
Jumlah penduduk Desa Danum Simak Harum sebanyak 1683
jiwa, yang terdiri dari 502 kepala keluarga, 851 laki-laki, dan 832
perempuan. Dari jumlah keseluruhan tersebut, diperoleh data warga
dengan kelompok usia 0-15 tahun sebanyak 507 jiwa, kelompok usia
16-55 tahun sebanyak 987 jiwa, dan usia atas 55 tahun sebanyak
188 jiwa. Mayoritas penduduk Desa Danum Simak Harum adalah
Suku Dayak Ngaju Katingan yang berbahasa Katingan dan mayoritas
memeluk Agama Kaharingan10. Jumlah pemeluk Agama Kaharingan
sebanyak 829 jiwa, yang dianut oleh mayoritas masyarakat Desa


8
Katingan Dalam Angka 2015

9
RPJMDes Danum Simak Harum Tahun 2015
10
Agama Kaharingan telah terintegrasi dengan Agama Hindu, dan pada akhirnya
agama yang dianggap sebagai agama asli Suku Dayak ini secara resmi disebut
sebagai Hindu Kaharingan. Pemaparan lebih lanjut akan ditulis pada bab
selanjutnya.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 17
Danum Simak Harum. Agama-agama lain yang dianut masyarakat
adalah Kristen Protestan (625 jiwa), Islam (203 jiwa), dan Kristen
Katholik (26 jiwa)11.

(a)

(b)

RPJMDes Danum Simak Harum Tahun 2015


11

18 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
(c)
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Gambar 2.1. Beberapa upacara keagamaan Kaharingan, yang merupakan
kepercayaan asli suku Dayak Katingan: napesan (a), basarah (b),
dan tiwah (c).

Desa Danum Simak Harum adalah desa yang unik dengan


bentuk memanjang. Perkampungan penduduk sebagian besar ter­
kumpul di daerah yang dialiri oleh Sungai Katingan. Rumah penduduk
pada awalnya dibangun persis di tepi sungai dengan bagian belakang
rumah berada dekat di bibir sungai. Hal itu dilakukan karena
masyarakat memiliki ketergantungan yang besar pada sungai yang
diibaratkan menjadi urat nadi Suku Dayak yang tinggal di Pulau
Kalimantan.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 19
(a)

(b)

(c)
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Gambar 2.2. Contoh bangunan rumah penduduk (a), jamban terapung dan
kelotok yang biasa ditambatkan di tepi sungai di belakang rumah (b), serta
bangunan kantor desa dan Posyandu.

20 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Sungai menyediakan segala kebaikan air yang dipergunakan
untuk makan, minum, dan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder
seperti MCK. Sungai memberikan makanan kepada manusia dengan
melimpahnya berbagai jenis ikan air tawar yang dapat dikonsumsi
atau pun dijual. Sungai juga menghubungkan satu daerah dengan
daerah lainnya dengan moda transportasi air seperti kelotok. Lebih
dari itu, sungai terkait erat dengan budaya masyarakat yang tinggal
di sekitar DAS-nya. Itulah mengapa hampir di seluruh Kalimantan,
setiap DAS memiliki ciri khas yang berbeda, baik dari bahasa atau pun
budayanya.
Suku Dayak percaya jika air sungai mengandung manfaat untuk
kesehatan tubuh. Manfaat itu salah satunya dipercaya didapatkan
dari akar pohon yang menjalar sampai ke dasar sungai. Akar pohon
itu juga mempengaruhi warna air sungai menjadi kuning kehitaman,
dan itu dipercaya sebagai akibat dari akar yang mengeluarkan
manfaat tertentu yang mirip dengan obat yang memiliki khasiat
untuk pengobatan. Maka dari itu dahulu Suku Dayak merasa yakin
untuk meminum air sungai tanpa dimasak terlebih dahulu. Pada
masa kini bisa dikatakan sulit untuk menemukan sungai yang masih
terjaga kebersihannya, pencemaran sungai oleh merkuri karena
penambangan emas liar menjadi salah satu penyebabnya. Salah
satu akibatnya adalah hampir tidak ada lagi masyarakat yang minum
air sungai tanpa dimasak terlebih dahulu, termasuk di Desa Danum
Simak Harum. Selain itu penyuluhan kesehatan serta tersedianya air
kemasan isi ulang, juga dianggap berperan penting pada menurunnya
kebiasaan masyarakat untuk meminum air sungai tanpa dimasak
terlebih dahulu.
Desa Danum Simak Harum dialiri oleh Sungai Katingan yang
alirannya selalu deras di musim hujan dan terkadang surut di
musim kemarau. Diperkirakan dalamnya dasar sungai Katingan yang
melewati Desa Danum Simak Harum sekitar 7 meter. Sungai ini tidak
lagi dimanfaatkan warga untuk sumber air minum, namun masih
dimanfaatkan untuk aktivitas MCK dan transportasi. Sungai Katingan

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 21
juga menjadi salah satu sumber mata pencaharian warga melalui hasil
sumber daya alam yang dihasilkannya, yaitu ikan dan udang air tawar.
Selain dijual, ikan dan udang hasil tangkapan juga dikonsumsi untuk
lauk pauk sehari-hari.
Masyarakat Desa Danum Simak Harum sebagian besar ber­
matapencaharian sebagai petani ladang dan kebun. Tanaman yang
mereka budidayakan adalah kelapa sawit, karet, padi, pisang, dan
rotan. Aktivitas berladang biasanya dilakukan oleh keluarga inti dan
terkadang dibantu oleh keluarga luas. Jarang ditemui masyarakat yang
membayar tenaga buruh lepas untuk mengerjakan ladang mereka,
alasan yang utama adalah untuk menghemat biaya.
Sawit, karet, dan rotan akan dipanen ketika waktunya tiba. Hasil
panen biasanya akan dijual kepada tengkulak. Sedangkan hasil panen
pisang lebih banyak dijadikan makanan babi peliharaan, atau dijual
ke Kota Palangka Raya untuk dijadikan makanan orangutan di taman
konservasi. Harga komoditas sawit, karet, dan rotan sering tidak
menentu dan ini mengundang keluhan petani yang bergantung secara
ekonomi pada ladang dan kebunnya. Sering kali petani merugi karena
harga jual yang turun membuat mereka tidak mendapatkan laba.
Pengeluaran mereka untuk perawatan, tenaga, serta pupuk, tidak
sepadan dengan hasil panen mereka yang dihargai dengan rendah.
Tidak semua hasil ladang dan kebun mereka jual. Padi yang
mereka panen dari ladang sebagian besar disimpan untuk persediaan
mereka sendiri, setelah sebelumnya dibagi untuk sanak famili dekat
mereka. Hanya sebagian kecil masyarakat yang menjual padinya, itu
pun dengan pertimbangan matang bahwa padi yang mereka panen
berlebih hasilnya, dan anak cucu mereka telah mendapatkan jatah
padi dalam jumlah tertentu.
Masyarakat hanya menanam padi sebanyak satu kali setahun
dan dipanen satu tahun sekali juga. Hal tersebut bukan karena
masyarakat tidak ingin lebih produktif dalam bercocok tanam padi,
tetapi ada rentang waktu di mana pada saat mereka tidak mengurus
padi, mereka menggunakan waktu tersebut untuk hal lain. Misalnya

22 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
saja membantu panen ladang milik kerabat, atau berkonsentrasi pada
acara adat yang biasanya terjadi pada bulan tertentu paska panen.
Selain disimpan untuk dikonsumsi sehari-hari, ada sebagian
kecil masyarakat yang memanfaatkan beras yang mereka panen untuk
membuat baram. Sebagian besar masyarakat yang lain lebih memilih
membeli beras di warung karena mereka percaya baram yang baik
adalah baram yang dibuat dengan beras yang sudah lama dipanen.
Baram yang mereka buat sebagian besar akan dijual, disimpan
untuk suatu acara adat, acara ritual agama Kaharingan atau untuk
konsumsi pribadi. Baram amat mudah dijumpai karena hampir semua
masyarakat memiliki kecakapan untuk membuat baram. Sebagian
besar pembuat baram menggantungkan perputaran ekonomi keluarga
mereka dari hasil menjual baram. Tidak ada data pasti berapa jumlah
pembuat baram yang ada di Desa Danum Simak Harum karena di
dalam RPJMDes pun data tersebut tidak tersedia. Padahal baram
menjadi salah satu penggerak ekonomi yang memiliki peran yang
besar.
Selain pembuat baram, ada sebagian kecil masyarakat yang
memiliki usaha budidaya sarang burung walet. Sarang burung walet
dibangun di area yang dianggap strategis dengan bangunan tinggi
yang biasanya dibangun secara permanen atau semi permanen.
Bangunannya bisa terletak sangat dekat dengan rumah, atau ada
juga yang berjarak relatif jauh. Tidak jarang sarang dibangun dengan
menggunakan beton atau kayu ulin (kayu besi) untuk menjamin
ketahanan dan kekuatan sarang, dan itu membutuhkan biaya yang
tinggi. Di setiap sarang dipasang pengeras suara yang digunakan
untuk menarik perhatian burung walet liar agar mau masuk dan
bersarang. Pengeras suara tersebut mengeluarkan suara burung walet
yang hampir sama dengan suara burung walet yang asli. Sumber
suara berasal dari CD yang diputar selama 24 jam sehari. Sarang
walet adalah usaha yang membutuhkan modal besar sampai ratusan
juta rupiah. Modal yang besar tersebut dianggap setimpal dengan
hasil usaha yang memiliki prospek cerah. Karena usaha ini tergolong

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 23
prestisius, tidak jarang pelaku usahanya dianggap sebagai bagian dari
masyarakat golongan elit di desa.
Berikut adalah data mengenai mata pencaharian masyarakat
Desa Danum Simak Harum yang diambil dari data RPJMDes Tahun
2015.

Tabel 2.1. Jumlah penduduk Desa Danum Simak Harum berdasarkan mata
pencahariannya.

No Mata Pencaharian Jumlah


1. Usaha Jasa Angkutan 1

2. Pedagang 23

3. Usaha Penggilingan Padi 5

4. Tukang Kayu 6

5. Tukang Batu 3

6. Petani Rotan 150

7. Petani Pisang 50

8. Kebun semangka 5

9. Kebun buah Naga 1

10. Ternak Sapi 15

11. Meubilier 1

12. Tukang Bangunan 15

13. PNS 34

14. Pensiunan 9

15. Perangkat Desa 5

16. BPD 7

17. Ketua RT 6

18. Ketua RW 3

24 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
19. Mantir adat 3

20. Petugas Perpus 1

21. TNI/Polri -

22. Pengusaha Walet 15

23. Bengkel 3

24. Pengumpul Sawit 1

25. Pengumpul Pisang 3

26. Pandai Besi 3

Sumber: RPJM Desa Danum Simak Harum

Desa Danum Simak Harum terbagi menjadi 2 Rukun Warga dan


6 Rukun Tetangga. Tetapi secara umum pembagian desa yang lebih
lazim adalah hulu dan hilir. Pembagian itu sebenarnya merujuk pada
DAS (Daerah Aliran Sungai) Katingan. Jika dirunut berdasarkan letak
geografis, arti sempitnya adalah tempat yang berada di hulu sungai
lazim disebut sebagai hulu, dan tempat yang berada di hilir sungai
lazim disebut sebagai hilir. Penyebutan itu tampak pada saat orang
menyebutkan arah atau menunjukkan alamat rumah. Jika seseorang
menjelaskan bahwa rumah si A berjarak lima rumah sebelah hilir dari
rumahnya, maka tidak perlu lagi mencari tahu di mana arah mata
angin, tetapi cukup tahu saja di mana letak hulu dan di mana hilir
sungai. Secara geografis, sebutan hulu dan hilir hanyalah penanda
arah. Tetapi secara sosio-kultural, sebutan hulu dan hilir mengacu
pada perbedaan yang lebih kompleks yang terkait dengan sejarah
munculnya Desa Danum Simak Harum.
Berdasarkan cerita dari Tambi (nenek) Mahtari yaitu salah satu
tokoh sekaligus tetua Kaharingan, Desa Danum Simak Harum pada
awalnya terbagi menjadi 3 wilayah, yaitu; Banut Lunuk yang berada
di bagian hilir sungai (sekarang adalah RT 01 dan RT 02), Tewang
Batusut (sekarang adalah RT 03 dan RT 04) yang berada di bagian

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 25
tengah, dan Rewa Babalang (sekarang adalah RT 05 dan RT 06) yang
berada di bagian hulu sungai. Ketiga wilayah tersebut belum bersatu
membentuk Desa Danum Simak Harum seperti pada masa kini. Antara
hulu dan hilir masih terpisah oleh sungai karena pada masa itu belum
terbangun jalan yang bisa dilalui oleh pejalan kaki dengan mudah.
Untuk menuju ke satu tempat ke tempat yang lainnya masyarakat
harus menggunakan kelotok atau perahu kecil. Akibat dari adanya
batas wilayah itu, antara hulu dan hilir mengalami perkembangan
yang berbeda.
Hilir berada di wilayah yang berbatasan langsung dengan
desa lain dan terhubung dengan jalan darat. Hal ini memudahkan
masyarakat yang tinggal di hilir untuk melakukan mobilitas keluar
desa, yang imbasnya adalah pada akses yang lebih mudah kepada
beberapa hal penting, misalnya akses kepada pendidikan dan kese­
hatan. Kontak intensif yang terjalin dengan orang luar desa dan
perkawinan campur yang banyak terjadi, membuat hilir dianggap
lebih dinamis jika dilihat dari kehidupan sosial dan mata pencaharian.
Kontak dengan orang luar juga berpengaruh besar pada kepercayaan
yang mereka anut, dan sebagian besar masyarakat hilir ternyata
penganut Kristen Protestan yang dikenal taat beribadah. Banyak
masyarakat yang pada mulanya masih menganut Kaharingan
kemudian berpindah keyakinan menjadi Kristen Protestan setelah
menikah dengan orang luar desa, atau setelah menempuh pendidikan
di luar wilayah desa atau kecamatan. Namun tetap saja, perpindahan
keyakinan tidak menghapuskan identitas Dayak yang ada pada diri
mereka.
Penduduk yang tinggal di Hilir walaupun didominasi pemeluk
Kristen, ada juga pemeluk Kaharingan . Dua pemeluk agama yang
berbeda ini hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama
lain. Bahkan di dalam satu keluarga inti bisa terdiri dari penganut
agama yang berbeda, yaitu Kristen dan Kaharingan, dan itu ternyata
dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Seorang informan bernama
Pak Tanjung (65 tahun), berkata:

26 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
“Dulu di sini semua (beragama) Kaharingan, karena agama
asal nenek moyang memang itu. Banyak (orang yang)
masuk Kristen ya baru baru in saja lah, banyak yang kawin
sama orang luar kan”.

Pak Tanjung adalah pemeluk Kaharingan dan sampai sekarang


dia bersama sang istri masih bertahan dengan keyakinannya, walau­
pun anak beserta menantu yang tinggal bersama dirinya telah
memeluk agama Kristen, dan salah satu cucunya memeluk Islam.
Pernyataan Pak Tanjung yang berbunyi ‘baru baru ini sajalah’ seolah
mengisyaratkan jika peristiwa itu ‘tidak lama berselang’, namun
Pak Tanjung tidak mampu mengingat sejak tahun berapa peristiwa
tersebut terjadi.
Sama halnya dengan Pak Tanjung, beberapa informan yang
bercerita kepada kami tentang sejarah desa pun mengalami hal
serupa. Mereka tidak mampu memperkirakan kapan peristiwa itu
terjadi. Tambi Mahtari dan seorang tokoh masyarakat KD (30 tahun),
yang mengetahui tentang seluk beluk Desa Danum Simak Harum
namun tidak mampu bercerita kapan peristiwa itu terjadi. Jadi,
untuk mencari penghubung waktu peristiwa masa lalu dan masa
kini, mereka memakai kata ‘dulu’ dan ‘sekarang’. Misalnya saja ketika
Pak Tanjung dan Tambi Mahtari kami minta untuk menceritakan apa
perbedaan yang paling mencolok pada desa antara masa lalu dan
masa kini, mereka berdua secara tidak langsung sepakat jika Desa
Danum Simak Harum pada masa lalu amatlah ‘sunyi’ dan pada masa
kini ‘sudah ramai’. Pak Tanjung adalah warga desa yang tinggal di hilir,
sedangkan Tambi Mahtari adalah warga desa yang tinggal di hulu.
Perbedaan mencolok antara hulu dan hilir diperkirakan
mulai membaik pada sekitar empat dekade yang lalu. Pembukaan
jalan penghubung antara kedua tempat dengan membelah hutan
membawa dampak yang baik pada mobilitas masyarakat. Mereka
tidak lagi sepenuhnya bergantung kepada moda transportasi sungai
untuk mengakses desa atau daerah lain, karena jalan darat sudah
tersedia. Dampak lain yang juga penting adalah meningkatnya peran

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 27
serta masyarakat dalam sektor pendidikan, karena dengan dibangun­
nya jalan maka akses pada sekolah akan lebih mudah.
Selain pembangunan jalan, ketersediaan sarana listrik untuk
masyarakat juga berpengaruh besar terhadap mobilitas serta aktifitas
masyarakat. Dari informasi yang didapat dari Pak BK (50 tahun), listrik
diperkirakan masuk ke desa sekitar tahun 1994. Tadinya masyarakat
hanya mengandalkan listrik pribadi yang bersumber pada mesin
genset dan bahan bakar bensin. Masuknya listrik bukan hanya
membantu masyarakat memenuhi kebutuhan penerangan, tetapi
juga memberikan masyarakat hak lebih untuk menikmati hiburan.
Dengan adanya listrik, akses terhadap pemenuhan kebutuhan
sekunder seperti hiburan memang lebih terbuka. Masuknya listrik
diikuti oleh berkembangnya hobi menikmati sajian musik yang
diputar melalui tape radio. Bukan berarti ketika listrik belum masuk,
hobi mendengarkan musik tidak didapati, hanya saja tidak semasif
ketika listrik belum ada di desa. Tape radio memang tidak dimiliki
oleh semua orang, tetapi masyarakat yang memiliki tape radio bisa
memutar musiknya sekeras mungkin dan mempersilahkan orang lain
untuk bergabung menikmati musik. Musik yang paling mereka sukai
adalah musik dangdut.
Keberadaan listrik juga berpengaruh terhadap menurunnya
popularitas musik tradisional karungut. Biasanya karungut selalu
dinyanyikan di setiap acara formal dan informal masyarakat, termasuk
pada acara pesta masyarakat. Namun dengan masuknya listrik dan
semakin populernya dangdut, musik tradisional karungut kehilangan
popularitas di tanahnya sendiri. Dangdut lebih sering diputar di
kala waktu senggang, santai, di mana orang dapat berkumpul serta
bercengkerama satu sama lain. Alunan musik dangdut mampu
membius dan mengundang orang untuk berkumpul, bernyanyi,
dan bergoyang karena syair dan iramanya begitu mudah untuk
dinikmati. Syair musik dangdut adalah syair yang merakyat dan apa
adanya. Syairnya bisa berisi tentang manisnya percintaan, pahitnya
perpisahan, kecutnya pengkhianatan, atau yang paling menarik

28 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
adalah kisah tentang seseorang yang ditinggalkan kekasih karena
mabuk-mabukan. Ketika orang-orang yang tertarik dengan suara
alunan musik dangdut mulai berdatangan, mereka akan hanyut dalam
alunan musik. Mereka tidak hanya mengobrol, tetapi juga berjoget
dan minum baram. Ya, baram.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 29
BAB 3
BARAM: DULU DAN KINI

3.1. Baram dalam Kisah Hulu dan Hilir


Sunyi. Itulah kesan ketika berada di wilayah hilir Desa Danum
Simak Harum. Rumah-rumah penduduk dibangun dengan jarak
yang tidak terlalu dekat satu sama lain. Terkadang bisa ditemukan
beberapa rumah yang bergerombol di pinggir sungai namun setelah
itu ada jarak berupa lahan kosong atau pepohonan. Seorang informan
bernama Ibu U (42 tahun) berkata, “Di hilir sunyi karena orangnya
sedikit aja, kalau di hulu banyak orang makanya selalu ramai”.
Peneliti sering mendapati rumah-rumah di hilir dalam keadaan
kosong dan tidak ada orang berlalu-lalang ketika siang atau sore hari.
Ternyata beberapa dari mereka sibuk bekerja. Ketika hari terang,
laki-laki dan perempuan pergi ke kebun dengan membawa parang,
mandau, serta rambat12 kosong di punggung mereka. Mereka
mengen­darai sepeda motor atau berjalan kaki. Mereka mencari buah
pisang, batang pisang, batang talas, daun talas, dan buah talas untuk
dijadikan makanan babi. Bahan makanan babi itu dipotong-potong
menjadi ukuran yang kecil, lalu dimasak di atas bara api dengan
ditambahkan campuran bahan makanan lain seperti nasi sisa. Babi
adalah hewan yang sangat penting bagi Suku Dayak karena berbagai
ritual adat, ritual agama, atau pesta syukuran menggunakan babi

Anyaman yang berbentuk seperti keranjang berbentuk oval memanjang yang


12

biasa digendong di bagian punggung. Biasanya terbuat dari rotan atau bambu.
Anyaman ini memiliki ukuran yang bervariasi dan biasa dipakai untuk dijadikan
sebagai wadah alat-alat pertanian dan hasil panen dll.

31
sebagai hewan kurban, dan sebagai hewan yang disajikan untuk
dimakan secara komunal oleh keluarga beserta tamu.
Selain kegiatan mencari makanan babi, masyarakat juga pergi
ke ladang atau kebun untuk mencabut rumput di kebun sawit, atau
mengusir babi hutan dan burung pipit di ladang padi. Tengah hari
atau sore hari mereka pulang ke rumah dan rambat sudah berisi
bahan untuk membuat makanan babi dan beberapa ikat sayur untuk
pelengkap makan hari itu. Ketika hari mulai gelap, jalanan di depan
tempat tinggal di Pustu amat sangat sunyi. Pukul 19.00 WIB dampai
dengan 20.00 WIB masih ada segelintir orang yang melewati jalan
raya dan memacu sepeda motornya dengan cepat. Setelah pukul
20.00 WIB ke atas, jalanan kembali sunyi. Jalanan desa gelap gulita
karena tidak ada penerangan sama sekali, dan sebagian besar rumah
pun mematikan lampu teras jika sudah bersiap untuk tidur. Suasana
desa menjadi agak menyeramkan. Orang lebih memilih untuk tinggal
di rumah, beristirahat, menonton sinetron remaja di televisi, atau
berkumpul bersama teman-teman sambil mengobrol, dan terkadang
sembari minum baram.
Acara berkumpul sembari minum baram tidak setiap hari
terlihat. Ada kalanya acara tersebut adalah acara kumpul informal
yang tidak direncanakan sebelumnya. Baram dibeli secara pupu atau
patungan di antara mereka yang sedang berkumpul. Acara seperti
itu bisa dilakukan siang, sore, atau malam hari oleh beberapa orang.
Acara minum yang pernah peneliti lihat paling banyak melibatkan
tujuh orang yang sedang mengobrol, lalu menjadi acara minum
baram sembari bermusik dangdut dengan memainkan keyboard.
Beberapa kali peneliti terlibat dalam acara minum baram tersebut,
dengan orang yang hampir selalu sama. Mereka adalah Mamah Yana
(53 tahun), Papah Yana (52 tahun), Mamah Desi (37 tahun), dan Om
Iman (38 tahun). Terkadang ada orang lain juga yang turut serta, dan
yang paling menarik perhatian adalah ketika salah satu anak Mamah
Desi, yaitu remaja perempuan bernama Ana (14 tahun) yang ternyata
sudah terbiasa minum baram.

32 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Frekuensi keterlibatan peneliti dalam acara minum baram
bersama orang-orang tersebut tanpa disadari ternyata menjadi
semakin sering. Kami menyebut mereka ‘geng mabuk’ karena
kebersamaan mereka sangat solid ketika mabuk. Alasan yang lain
adalah karena peneliti tidak menemukan geng serupa di sekitar
tempat tinggal kami di Pustu, atau bahkan di hilir. Geng itu pernah
beberapa kali berseloroh jika mereka adalah ‘pentolan di RT 03’
atau ‘raja baram RT 03’. Julukan itu berlebihan pada mulanya, tetapi
ternyata tidak. Di hulu, nama mereka sudah termasyur dengan julukan
serupa.
Sebagai peneliti muda yang tidak paham dan tidak berpeng­
alaman minum alkohol ternyata lambat laun dianggap telah masuk ke
dalam kelompok itu. Akibatnya, peneliti sering mendapat pandangan
tidak suka, pandangan menyelidik, dan pandangan menghakimi dari
warga sekitar yang sering melihat kami bersama geng pemabuk itu.
Salah satu warga yang merupakan seorang aktivis Gereja bahkan
memperingatkan di depan umum tentang bahaya mabuk dan alkohol
karena malam sebelumnya dia melihat peneliti bersama geng
tersebut.
Sekitar 6 km dari Pustu13 tempat tinggal peneliti, terdapat bagian
paling hulu di Desa Danum Simak Harum. Secara geografis batas
paling ujung ditandai dengan berakhirnya pemukiman masyarakat
yang berada di hulu sungai yaitu di RT 06. Secara geografis pula, awal
mula hulu dimulai dari RT 05. Pembagian secara geografis tersebut
ternyata tidak sepaham dengan batas imajiner hulu dan hilir yang
sifatnya lebih kepada batas sosio-kultural, bukan lagi batas geografis.
Batas geografis hanya memisahkan wilayah fisik, namun batas sosio-
kultural berpengaruh besar pada corak budaya serta prinsip yang
dianut. Dahulu14 masyarakat yang tinggal di hulu tidak memiliki

13
Pustu menjadi acuan jarak karena letaknya yang strategis berada di tengah desa
dan termasuk dalam wilayah RT 3.
14
Sekali lagi, kata ‘dahulu’ adalah rujukan waktu untuk menceritakan kejadian
yang telah lama berselang. Sumber dari cerita ini yaitu tambiMahadir dan Pak
KD pun tidak mampu memastikan kapan peristiwa tersebut terjadi. Namun jika

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 33
kemudahan akses seperti yang berada di hilir. Masyarakat hulu lebih
terisolir daripada hilir karena belum terbangun jalan darat yang
menghubungkan keduanya. Wilayah hulu memiliki kesulitan untuk
mengakses daerah luar desa, sehingga kontak yang terjadi dengan
masyarakat luar lebih sedikit jika dibandingkan dengan masyarakat
hilir. Akibatnya masyarakat hulu lebih kesulitan untuk mengakses
fasilitas pendidikan serta kesehatan, dan mereka masih banyak yang
mempertahankan Agama Kaharingan sebagai agama yang dianut. Di
sini lah salah satu pembeda yang paling mencolok antara hulu dan
hilir, yaitu tentang agama mayoritas yang dianut.
Mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat di Desa Danum
Simak Harum adalah Kaharingan, dan sebagian besar penganutnya
tinggal di wilayah hulu. Wilayah hulu ditinggali oleh masyarakat yang
sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani ladang dan kebun
dengan luas lahan yang bervariasi. Walaupun ada sebagian kecil yang
berdagang, namun ternyata mereka juga memiliki ladang atau kebun
yang ditanami berbagai rupa tanaman jangka pendek atau jangka
panjang. Sama seperi di hilir, kesibukan di pagi sampai matahari
terbenam pun hampir sama. Orang-orang sibuk pada pagi hari untuk
bersiap ke kebun atau ke ladang, mencari ikan, berjualan, bersekolah,
atau membuka warungnya.
Hiruk pikuk pagi hari di hulu terasa lebih riuh jika dibandingkan
dengan hiruk pikuk pagi hari di hilir. Mungkinkah karena jumlah warga
di hulu lebih banyak jika dibandingkan dengan di hilir? Ya, tetapi itu
adalah salah satu faktor pendukung saja. Meskipun tidak ada data
sekunder di desa yang menunjukkan jumlah warga di hulu dan hilir,
namun hulu memang memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak.
Itu disepakati oleh ketua RT 06 yang wilayahnya berada di paling hulu
desa, “Iya di hulu ini memang ramai karena warganya lebih banyak
daripada di hilir”.

dikonfirmasi kepada beberapa narasumber lain yang merupakan warga yang lahir
dan besar di Desa Danum Simak Harum, peristiwa tersebut sudah terjadi paling
tidak 40 tahun yang lalu.

34 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Di wilayah hulu, akan mudah ditemui beberapa orang ber­
kumpul di halaman rumah tetangga atau berbincang di bawah pohon
yang rindang sembari mengunyah sirih pinang. Sebagian besar dari
mereka adalah perempuan dewasa. Tidak jarang mereka berbincang
sembari menggendong anak batita mereka, sembari mengawasi
anak balita mereka yang bermain di tengah jalan, atau hanya sekedar
menghindari panas terik matahari di rumah mereka yang beratap
seng. Sekilas, kebiasaan berkumpul dan mengobrol di wilayah hulu
tidak jauh berbeda dengan wilayah hilir, walaupun intensitasnya
memang masih lebih banyak terjadi di hulu. Sebagian besar dari
mereka masih memiliki hubungan kekerabatan, dan masih mampu
menjelaskan garis leluhur mereka. Warga yang tinggal di hulu juga
banyak yang berfamili dengan warga yang tinggal di hilir, dan mereka
saling berkunjung
Setiap hari kamis pukul 15.00 WIB, penganut Kaharingan yang
tinggal di hulu akan berbondong-bondong datang ke hilir untuk
melakukan ibadah Basarah, yaitu ritual sembahyang untuk umat
Kaharingan. Tempat persembahyangan mereka disebut dengan Balai
Basarah yang terletak dekat sekali dengan tempat tinggal kami di
Pustu. Sama halnya dengan masyarakat hilir yang didominasi warga
pemeluk Kristiani yang rajin beribadah, di hulu pun warga pemeluk
Kaharingan adalah sosok yang religius. Bukan hanya ibadah setiap
hari kamis, mereka juga melakukan Basarah keluarga yang dilakukan
secara bergiliran di rumah Jemaah. Hal ini pun sama dengan umat
Kristiani yang juga rajin melakukan ibadah keluarga.
peneliti pernah mengikuti Basarah keluarga di salah satu rumah
warga pemeluk Kaharingan, dan itu adalah pengalaman pertama
melihat baram disuguhkan sebagai salah satu syarat berjalannya
ritual keagamaan. Tuan rumah yang mengapresiasi kedatangan tamu
membagi baram yang dia tuang sendiri di gelas untuk minum.
Di kesempatan sebelumnya, ketika peneliti berada di hulu dan
datang di suatu ritual adat kematian umat Kaharingan yang bernama
Napesan, melihat warga yang datang untuk menghibur tuan rumah

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 35
yang berduka sedang duduk bergerombol sembari meminum baram.
Jumlah mereka mungkin lebih dari 100 orang.
Peneliti memperhatikan teko alumunium berukuran besar yang
mampu menampung sekitar lima liter baram diedarkan di kelompok
perempuan. Di kelompok laki-laki yang tidak jauh dari kelompok
perempuan duduk, beredar satu teko plastik yang kira-kira mampu
menampung tiga liter baram. Dua kelompok tersebut memutar musik
dangdut berbahasa Dayak dengan keras, sambil meminum baram
secara bergantian dari gelas yang sama. Mereka bercerita dengan
suara keras, tertawa lepas seolah-olah tidak sedang berduka, dan
terkadang saling melontarkan candaan dengan nada cabul.
Peneliti hanya meminum sedikit baram yang disodorkan oleh
tuan rumah, dan melihat beberapa orang menatap dengan pandangan
kaget seolah berkata; “Oh ternyata dua orang asing dari kota itu
ternyata bersedia minum apa yang aku minum!”. Kemunculan peneliti
di hulu dan minum baram bersama kelompok masyarakat bukan hanya
pada ritual napesan tersebut. Pada acara pesta syukuran bayar hajat
di hulu, di mana baram dan musik dangdut menjadi bintang utama
masyarakat hulu. Ada lebih dari 200 orang yang hadir dari dalam desa
dan luar desa, dan mungkin lebih dari 200 liter baram yang beredar.
Baram dibeli oleh tuan rumah, dari hasil pupu (patungan), dan hasil
sumbangan dari tamu yang datang dari luar desa. Berbaur dengan
masyarakat peneliti turut mengobrol, membantu menyiapkan sesaji,
menari, menyanyi, dan minum sedikit baram dari gelas yang sama
dengan mereka. Pada peristiwa itulah dirasakan jika jarak budaya
antara kami sebagai peneliti dan mereka perlahan menyempit, dan
perlahan namun pasti mereka mulai membuka diri.
Baru pertama kali merasakan hingar bingarnya pesta peneliti
semakin terkejut ketika orang mulai berubah karena alkohol mulai
menguasai mereka. Laki-laki dan perempuan, baik yang telah lanjut
usia maupun yang muda, menari dan bernyanyi dengan liar. Ada
beberapa orang yang berubah menjadi agresif dan berkata dengan
nada tinggi ketika mabuk, padahal sebelumnya dia adalah sosok

36 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
pendiam yang hanya berbicara ketika ada orang lain yang bertanya.
Ada beberapa perempuan yang tumbang dan terkapar di pantai
karena sudah terlampau mabuk. Ada juga yang menari dan sembari
minum baram sembari mengajak anak beserta cucu mereka yang
masih balita.
Seorang tambi bahkan menyodorkan gelas berisi baram kepada
cucunya yang berusia 4 tahun di depan kami. Dengan cepat sang cucu
membuka mulutnya, menenggak isinya, dan berkata “Aahh enak
kak, rasanya seperti Frenta15”. Lalu di tengah pesta tersebut seorang
perempuan yang sedang mabuk berbisik dengan bangganya, “Ramai
kan? Beginilah kalau orang hulu bikin pesta, ramai, banyak yang
datang. Ndak sama dengan di hilir kan?”. Ya, apa yang perempuan itu
katakan sama dengan apa yang kami pikirkan. Semua orang di tempat
itu tampak sangat berbahagia, dan hal itu membuat kami teringat
ucapan salah seorang kenalan yang berkata “baram itu bisa bikin
bahagia, lupa semua masalah kita”.
Esok hari ketika sudah kembali ke hilir, berita peneliti yang
datang ke acara pesta bayar hajat di hulu, lalu berjoget dan minum
baram ternyata telah tersebar luas. Geng minum hilir mengapresiasi
apa yang peneliti lakukan karena mereka pun datang pada pesta itu.
Menurut mereka, kami telah berhasil diterima oleh warga. Namun
ada respon menarik yang didapatkan dari luar geng pemabuk itu,
dan itu berasal dari beberapa aktivis Gereja yang kami kenal. Mereka
memperingatkan peneliti untuk hati-hati pada akibat buruk alkohol,
pada gelas yang dipakai secara bergantian, dan pada saat yang sama
juga berkomentar “Itulah kalau orang hulu, begitu. Mereka suka pesta
dan mabuk. Kalau di hilir kan ndak seperti itu”.
Hulu dan hilir hanyalah sekelumit latar belakang cerita tentang
baram. Tetapi pernahkan terpikir bagaimana baram bisa begitu
populer di Katingan, dan pada skala yang lebih luas, di Kalimantan
Tengah? Bagaimana ia bisa diciptakan? Untuk tujuan apa? Siapa yang

Nama minuman pasaran bersoda rasa buah dengan pemanis buatan yang dijual
15

Rp. 500,-/bungkus

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 37
pertama kali membuatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu hanya
sebagian kecil dari sekian banyak hal yang ingin diketahui jawabannya.
Jawaban-jawaban yang paling sering terdengar adalah; konon ada
campur tangan Tuhan di balik penciptaannya, konon ada juga campur
tangan penjajah dalam penyebarannya, dan konon baram berasal dari
suatu negeri nun jauh di sana yaitu Cina. Lalu dari ketiga versi terebut,
cerita mana yang benar?
Terlepas dari mana versi cerita yang paling benar, peneliti yakin
jika penciptaan baram pasti terkait dengan suatu buah pikir yang
luar biasa di masa lalu, dan pada tulisan ini ingin mengemukakan
ketiga versi cerita tersebut. Penutur cerita dari masing-masing versi
memiliki latar belakang usia dan pendidikan yang berbeda. Sebelum
menelusuri ketiga versi cerita itu, perlu kiranya untuk menelusuri
sejarah tentang minuman beralkohol selain baram. Perlu diingat,
baram bukanlah satu-satunya minuman beralkohol yang dikenal. Di
bagian lain di Indonesia dan bahkan di dunia, minuman beralkohol
sudah dikenal akrab dengan manusia.

3.2. Sejarah Minuman Beralkohol di Dunia


Gately (2009) memaparkan bahwa pembuatan minuman ber­
alkohol diperkirakan pertama kali muncul pada 8000 SM. Diperkirakan
saat itu manusia telah menetap dan hidup dalam perkampungan
yang mengenal pola bercocok tanam. Kemungkinan hasil bumi yang
mereka tanam dipergunakan untuk membuat minuman beralkohol.
Hal itu terlihat dari analisis kimiawi pada sisa residu yang ditemukan
pada tembikar yang ditemukan di pemakaman di Jiahu, di Cina bagian
utara pada 7000-6600 SM. Tembikar tersebut adalah tembikar tertua
yang pernah ditemukan, bentuknya berupa bejana yang terbuat
dari tanah liat. Bejana itu digunakan untuk menyimpan minuman
fermentasi yang terbuat dari beras, madu, anggur, dan buah-buahan
yang tumbuh liar. Alkohol yang disebut dengan ji ῡ dalam bahasa
setempat dianggap sebagai makanan spiritual daripada makanan fisik.

38 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Masih menurut Gately, bukti yang merujuk pada alkohol sebagai
makanan spriritual dan terkait dengan kegiatan religius tampak pada
digunakannya alkohol pada ritual keagamaan, sesaji untuk leluhur
serta para dewa, untuk berbagai perayaan, pesta perjamuan, dan
kematian. Temuan selanjutnya bergeser ke Transcaucasia (Georgia
pada masa kini) pada 6000 SM, yaitu berupa tembikar yang bergambar
manusia yang sedang melakukan selebrasi dengan mengangkat kedua
tangannya. Dimungkinkan tembikar itu digunakan sebagai wadah
wine yang terbuat dari buah anggur yang telah dibudidayakan.
Bukti kuat manusia telah melakukan budidaya tubuh-tumbuhan
untuk memproduksi minuman beralkohol ditemukan di suatu tempat
yang dijuluki fertile crescent (bulan sabit yang subur), yaitu daerah
yang berbentuk bengkok di antara Mediterania dan Teluk Persia.
Ditemukan adanya residu di dalam sebuah guci di perkampungan
neolitik, di suatu daerah yang bernama Firuz Tepe (Iran) pada masa
5400-5000 SM. Pada masa itu pembuatan wine adalah tekonologi
terbaik yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Tujuan pembuatan
wine saat itu adalah untuk mensiasati banyaknya buah anggur yang
mudah busuk. Sedangkan pembuatan bir baru dimulai pada 3100-
2900 SM dengan ditemukannya residu yang berasal dari barley
bercampur alkohol pada tembikar yang ditemukan di Godin Tepe, di
Pegunungan Zagros, Iran (Gately, 2009).
Dasgupta (2011) menuliskan temuan minuman beralkohol di
peradaban lembas Indus di India kuno yang disebut dengan Sura.
Minuman tersebut adalah minuman favorit Dewa Indra, sang raja
para dewa. Sura tertulis dalam manuskrip Ayurveda kuno yang
diperkirakan berusia 3000-2000 SM. Dalam manuskrip kuno itu
tertulis jika alkohol bisa berfungsi sebagai obat jika dikonsumsi secara
semestinya, dan sebaliknya akanmenjadi racun jika dikonsumsi secara
berlebihan. Bukti arkeologis adanya minuman beralkohol berjenis bir
juga ditemukan di Babylonia (2700 SM), dan di Yunani kuno (1700
SM). Pada masa lalu, Oshiris yang dijuluki sebagai Wine God pada
peradaban Mesir kuno disembah dan dipuja oleh pemujanya dengan

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 39
cara menyajikan wine pada ritual penyembahannya. Wine ini memiliki
nilai sakral karena dianggap sebagai media komunikasi antara umat
dengan Dewa yang disembah.
Selain wine, bir juga memiliki nilai sakral karena disajikan untuk
persembahan pada para dewa. Kedua minuman beralkohol tersebut
juga dinikmati sebagai minuman pada acara non-ritual, misalnya pada
saat pesta. Namun begitu, wine dan bir adalah dua jenis minuman
yang berbeda. Wine dibuat dengan anggur dengan cara penyulingan,
sedangkan bir adalah fermentasi gandum yang tidak disuling. Wine
diminum oleh kalangan bangsawan, sedangkan bir diminum oleh
rakyat jelata. Jelas terlihat di sini, minuman beralkohol pun memiliki
hierarki. Wine dan bir juga dipercaya memiliki efek kuratif atau
pengobatan karena dipercaya ada nutrisi-nutrisi baik yang terkandung
di dalamnya, walaupun sayangnya tidak dijelaskan secara rinci apa saja
sakit atau penyakit yang mampu diobati oleh kedua jenis minuman
itu. Selain untuk tujuan ritual, pengobatan, dan penambahan nutrisi,
wine atau bir juga dikonsumsi untuk tujuan kesenangan atau pleasure
(Dasgupta, 2011).
Sementara itu di Babylonia, bir adalah minuman utama
yang dikonsumsi selain anggur. Sekitar 2700 SM – 1750 SM orang
di Babylonia menggunakan bir dan wine secara bersamaan untuk
dipersem­bahkan kepada para dewa. Wine dalam kultur Yunani kuno
juga dianggap sebagai minuman laki-laki pejuang dan pemberani. Di
Yunani kuno, wine adalah minuman beralkohol yang paling populer
pada sekitar 2000 SM. Sama halnya dengan Babylonia, di Yunani
wine juga digunakan untuk ritual keagamaan, dan juga digunakan
untuk tujuan kesenangan, pengobatan, dan pergaulan. Wine pada
masa Yunani kuno digambarkan ada dimana-mana, dan siapa sangka
ternyata itu terkait erat dengan konsep democratia atau people
power di Athena yang dipicu oleh tuntutan masyarakat agar bisa
mengakses alkohol secara adil. Pada masa itu, alkohol hanya bisa
diakses oleh golongan tertentu saja, terutama golongan yang bekerja

40 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
di pemerintahan. Posisi wine sangat penting karena dianggap memiliki
banyak manfaat (Gately, 2009).
Hipokrates (370 SM), yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran
Barat melakukan pengobatan terhadap penyakit yang berhasil di­
identifikasinya dengan menggunakan wine. Namun Hipokrates juga
mengingatkan konsumsi wine yang berlebih dapat menimbulkan
masalah pada otak, dan jika sudah terjadi demikian maka konsumsi
wine harus dihentikan. Bukan hanya memunculkan masalah pada otak,
Yunani kuno juga memberikan bukti adanya kematian yang disebabkan
oleh konsumsi wine yang berlebihan dengan ditemukannya sebuah
kuburan dengan nisan yang bertuliskan keterangan siapa yang dikubur
dan penyebab kematiannya. Plato pernah melarang anak di bawah
usia 18 tahun untuk meminum wine. Larangan tersebut termaktub
dalam Laws. Alasan pelarangan didasari pendapat jika tubuh anak-
anak tidak siap untuk menerima wine dan pada akhirnya wine hanya
akan mengganggu kesehatan. Plato mengubah pendapatnya tersebut
dalam Republic, yang secara garis besar mengatakan jika para pemuda
harus belajar minum wine pada usia sedini mungkin karena Plato
menganggap wine telah menjadi bagian budaya mereka. Untuk itu hal
yang terbaik yang harus dilakukan adalah belajar minum sedari dini
agar pengalaman bertambah, sehingga para pemuda dapat mengerti
efek yang ditimbulkan dan dapat dapat mengatur diri mereka sendiri.
Lebih lanjut, Herodotus memaparkan fungsi lain alkohol yang dekat
dengan fungsi politis, dia menyebutnya sebagai ‘decision making tool’.
Herodotus mengatakan banyak elit politik pada masa itu memutuskan
suatu kebijakan dalam keadaan di bawah pengaruh alkohol (Gately,
2009).
Semua pemaparan di atas menunjukkan bahwa manusia telah
mengenal alkohol sejak peradaban kuno masih berjaya. Bukti-bukti
arkeologis yang ditemukan di berbagai peradaban memperkuat
pernyataan tersebut. Sebenarnya seberapa tua usia alkohol? Dasgupta
(2011) membantu menjelaskan melalui sebuah hipotesa yang disebut
dengan ‘Drunken Monkey Hypothesis ’ yang dikenalkan pertama

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 41
kali oleh Profesor Robert Dudleg dari The University Of California,
Barkeley. Inti dari hipotesa itu adalah tentang ketertarikan manusia
pada alkohol dimungkinkan merupakan faktor genetik. Primata pada
masa sekitar 40 juta tahun yang lalu ternyata memiliki ketergantungan
pada buah-buahan sebagai sumber makanan. Tempat tinggal para
primata di hutan tropis, ditengarai sebagai munculnya evolusi per­
tama manusia. Buah-buahan yang dikonsumsi primate tersebut
ternyata mengandung ragi alami yang dapat menghasilkan ethanol
ketika buah telah masak. Primata itu mampu mencium adanya alkohol
dan ragi dari buah yang telah masak karena penciuman mereka
terhadap alkohol lebih sensitif jika dibandingkan dengan hewan lain.
Hipotesa ini diperkuat dengan temuan berupa fosil gigi primata (pada
teori ini, primata merujuk pada hewan seperti simpanse, gorilla, dan
orangutan). Fosil itu menunjukkan pada masa 45 juta sampai dengan
35 juta tahun yang lalu buah-buahan adalah komponen utama pada
makanan leluhur manusia.
Dasgupta (2011) menambahkan, meskipun evolusi manusia
terus berlanjut dan makanan utama berupa buah-buahan telah
banyak digantikan oleh akar-akaran, umbi-umbian, dan daging,
namun ada kemungkinan cita rasa alkohol yang melekat pada
leluhur manusia ini masih terus muncul. Ragi alami yang terdapat
pada buah-buahan akan terfermentasi bersama gula dan oksigen
sehingga muncul alkohol. Kadar alkohol yang ditemukan pada buah
akar berbeda tingkatnya, dan ternyata itu berhubungan dengan
tingkat kematangan buah tersebut. Misalnya, buah kelapa yang belum
masak mengandung 0% alkohol, buah kelapa yang sudah masak
mengandung 0,6% alkohol, dan ternyata kelapa yang sudah terlampau
masak dan jatuh ke tanah memiliki kadar alkohol tertinggi yaitu 4 %
alkohol. Menariknya, monyet lebih memilih buah kelapa yang sudah
masak, yaitu dengan kandungan alkohol maksimal kira-kira 1%, dan
menghindari buah kelapa yang terlampau masak dengan kandungan
alkohol sekitar 4% serta kandungan gula yang lebih rendah.

42 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Dasgupta menunjukkan dua hal yang patut dicermati. Pertama,
alkohol ternyata telah lama dikonsumsi bersama dengan makanan.
Kedua, leluhur manusia ternyata mengkonsumsi alkohol pada
jumlah yang terbatas. Ternyata konsumsi alkohol yang terbatas pada
manusia tidak berubah hingga 10.000 tahun yang lalu, bahkan ketika
manusia akhirnya mengenal pola bercocok tanam dan menghasilkan
bahan-bahan mentah seperti barley dan malt yang digunakan untuk
membuat fermentasi minuman beralkohol. Fermentasi minuman
pada masa itu hanya menghasilkan sekitar 10-15% alkohol karena
ragi akan mati pada tingkat itu. Bir dan wine pada masa kuno hanya
mengandung sekitar 5% alkohol. Hal itu jauh berbeda ketika manusia
mulai mengenal metode penyulingan (distilasi) yang ditemukan
di sekitar Asia Tengah pada sekitar abad ke-7. Pada masa itu kadar
alkohol mulai bertambah dan manusia mulai terpengaruh oleh efek
buruk dari alkohol.
Pemaparan Dasgupta dapat menjelaskan secara garis besar
tentang hubungan leluhur manusia dengan alkohol yang ternyata
terjadi secara alamiah, dan yang terpenting adalah gambaran
tentang evolusi ilmu pengetahuan terkait dengan fermentasi dan
distilasi alkohol. Jadi sudah jelas jika alkohol bukanlah barang baru
dan usia alkohol ternyata sama tuanya dengan usia leluhur manusia.
Fermentasi dan distilasi adalah klasifikasi dari metode pembuatan
minuman beralkohol. Masing-masing metode memiliki cara yang
berbeda pada proses pembuatannya.
Dasgupta (2011: 16) membagi minuman beralkohol dalam tiga
jenis minuman, yaitu bir, wine, dan spirits. Bir dan wine menggunakan
ragi yang difermentasikan bersama dengan gula dan bahan lainnya
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Sedangkan spirits adalah
minuman beralkohol yang melalui dua proses sekaligus, yaitu
fermentasi dan distilasi atau penyulingan. Karena itulah spirits adalah
minuman dengan kadar alkohol tertinggi dan kerap disebut juga
dengan hard liquors.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 43
Jika leluhur manusia sudah sangat lama mengenal alkohol,
pertanyaan yang muncul selanjutya adalah mengapa mereka
membutuhkan alkohol? Belum ditemukan jawaban pasti mengenai
hal ini, namun Gately (2009) memberikan petunjuk yang setidaknya
bisa menjelaskan salah satu alasan penting di balik kebutuhan
manusia pada alkohol. Manusia yang hidup di masa sekitar 160.000
tahun yang lalu meninggalkan jejak peradaban berupa tulang, gigi,
sisa-sisa peralatan batu, terdapat bukti pemakaian api, dan adanya
kepercayaan tentang akhirat (afterlife) yang tampak dari cara mereka
melakukan pemakaman sebaik mungkin. Jejak-jejak ini belum bisa
mengkaitkan apa peran alkohol dalam hidup mereka. Sekitar 2500 SM
di Uruk yaitu kota utama yang menjadi bagian Sumeria, ditemukan
bukti adanya pembuatan bir atau kash dengan tipe yang berbeda.
Ada delapan corak bir yang terbuat dari barley, delapan corak bir
dari gandum, dan tiga corak bir yang terbuat dari beberapa jenis biji
padi. Para pembuat bir ditunjuk oleh Dewi Ninkasi dan mereka diberi
kepercayaan dalam pembuatan bir baik produksi maupun distribusi.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Gately, dalam budaya
Sumeria, alkohol diasosiasikan sebagai minuman untuk acara resmi,
suatu upacara, dan terkait dengan pangkat atau jabatan. Di suatu
tempat bernama Ur, yang berdekatan dengan Uruk, Ratu Puabi
yang juga merupakan pendeta wanita dari Dewa Bulan bernama
Nana dikubur bersama dengan peralatan peribadatan, peralatan
minum, dan delapan puluh jasad pelayan yang akan melayani
dirinya di akhirat. Semua data tersebut menunjukkan bahwa Bangsa
Sumeria hidup dengan alkohol yang berlimpah, ada aturan untuk
mengaksesnya, minuman itu adalah favorit kaum elit, dan sekaligus
minuman yang dipersembahkan untuk para dewa.
Masih menurut Gately (2009), Suku Maya juga membuat
minuman memabukkan hasil fermentasi jagung. Suku Maya menam­
pilkan alkohol sebagai minuman yang penting untuk kepentingan
upacara sama halnya dengan alkohol untuk kepentingan bersenang-
senang. Dalam konteks upacara atau ritual keagamaan, Suku Maya

44 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
memakai alkohol sebagai media komunikasi mereka dengan arwah
para leluhur. Hal yang sama juga ditemukan di India, Afrika kuno dan
semua tempat di seluruh dunia yang telah mengenal pemukiman
perdesaan atau perkotaan pada sekitar 1000 SM.
Senada dengan Dasgupta (2011), Gately (2009) juga menying­
gung tentang efek positif dan negatif dari alkohol yang disebutnya
dengan alkohol biphasic. Pada dosis kecil, alkohol yang dikonsumsi
manusia dapat menimbulkan perasaan gembira (euphoria), tetapi
sebaliknya jika dikonsumsi pada dosis besar dapat memperlambat
aktivitas otak, merusak fungsi motorik, dan mengganggu kemampuan
berbicara. Evolusi paralel minuman beralkohol pada berbagai budaya
yang berbeda ternyata menunjukkan beberapa persamaan ciri yaitu;
alkohol sebagai makanan, alkohol sebagai sesuatu yang memabukkan,
alkohol sebagai obat, dan alkohol sebagai simbol status.
Dasgupta (2011) dan Gately (2009) memberikan banyak infor­
masi berharga tentang alkohol di beberapa peradaban kuno dan era
yang lebih muda misal pada era Yahudi, Kristen, serta Islam. Namun
baik Dasgupta dan Gately sangat sedikit menyinggung tentang data
dan sejarah alkohol di Asia. Gately hanya memberikan gambaran Sake
di Jepang yang diminum bukan hanya untuk kesenangan tetapi juga
untuk tujuan ritual dan persembahan. Dasgupta hanya menyinggung
tentang minuman beralkohol Sura yang merupakan favorit Dewa
Indra. Dari mana datangnya minuman beralkohol di Asia dan kapan
datangnya tidak dibahas sama sekali. Bisa jadi hal itu dikarenakan
sedikitnya data yang ada. Padahal sejarah tentang alkohol di Asia akan
sangat membantu kami untuk mencari benang merah tentang sejarah
minuman beralkohol yang ada di Indonesia.

3.3. Sejarah Minuman Beralkohol di Indonesia


Sejarah tentang minuman beralkohol di Indonesia masih sulit
untuk ditelusuri, belum ada literatur yang menulis secara jelas tentang
asal usul minuman beralkohol di nusantara. Tuak pernah disebut
pada Kakawin Negarakertagama yang ditulis pada tahun 1365, yaitu

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 45
pada masa Kerajaan Majapahit masih berjaya (1293-1500)16. Tuak
disebut pada Pupuh ke-90 Kakawin Negarakertagama17. Pupuh ke– 90
bercerita tentang acara pesta di mana ada acara makan besar, minum
minuman beralkohol, dan para biduan yang bernyanyi. Berikut isi
Pupuh ke– 90 yang dimulai dari pasal 1 sampai dengan pasal 5;
1. Dihidangkan santapan untuk orang banyak. Makanan serba
banyak serba sedap. Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak.
Berderap cepat datang menurut acara
2. Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing, hanya dihidangkan
kepada para penggemar. Karena asalnya dari berbagai desa
mereka diberi kegemaran, biar puas
3. Mengalir berbagai minuman keras segar: tuak nyiur, tal, arak
kilang, tuak rumbya. Itulah hidangan minuman utama. Wadah­
nya emas berbentuk aneka ragam
4. Porong dan guci berdiri terpencar-pencar. Berisi minuman keras
dari aneka bahan. Beredar putar seperti air mengalir. Yang
gemar, minum sampai muntah serta mabuk
5. Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji-pujian Sri
Baginda. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu
waktu, berhenti gelak gurau
Di dalam pupuh 90 tertulis sebuah dokumentasi tentang suatu
pesta di mana minuman beralkohol serta nyanyi-nyanyian menjadi
hiburan yang amat disenangi oleh kalangan bangsawan Majapahit.
Pada pasal ke tiga, kalimat ‘yang gemar minum sampai muntah serta

16
Majapahit adalah salah satu kerajaan terbesar di masa lalu selain Kerajaan
Sriwijaya. Kebesaran dua kerajaan itu sering digunakan untuk menggambarkan
betapa jayanya Indonesia di masa lalu. Majapahit sendiri adalah kerajaan
Hindu-Budha yang pernah mengalami puncak kejayaan ketika berada di bawah
kepemimpinan Hayam Wuruk dan Maha Patih Gadjah Mada pada tahun 1350-
1389 M.
17
Terjemahan lengkap naskah manuskrip Negarakertagama atau Pujasastra
Negarakertagama dapat diakses di https://historynote.wordpress.
com/2011/04/28/negarakertagama/. Manuskrip itu sendiri terdiri dari 98 pupuh
dan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dimulai dari pupuh 1-49, bagian
kedua dimulai dari pupuh 50-98. Judul asli manuskrip ini adalah Desawarnana
yang artinya adalah sejarah desa-desa. Naskah ini selesai ditulis oleh Mpu
Prapanca pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September-Oktober 1365 M).

46 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
mabuk’ menjadi gambaran betapa banyaknya minuman yang tersedia
pada pesta itu, terlebih ketika ada penegasan pada pasal ke empat
dengan bunyi kalimat ‘beredar putar seperti air mengalir’, seolah-olah
minuman tersebut sangat banyak dan tidak kunjung habis. Petunjuk
yang lain yang juga terdapat pada pasal ke empat adalah dipakainya
wadah berupa porong dan guci untuk menyimpan minuman itu.
Tidak ada informasi tentang bahan pembuat minuman yang
secara rinci pada pasal ke tiga disebut dengan tuak nyiur, tal, arak
kilang, dan tuak rumbya. Namun pada pasal ke empat sempat
disinggung jika bahan-bahan pembuatnya beraneka ragam. Dapat
dilihat juga posisi prestisius minuman beralkohol di kalangan Kerajaan
Majapahit, hal itu terlihat pada penggalan kalimat pada pasal ke tiga
yang berbunyi ‘Itulah hidangan minuman utama. Wadahnya emas
berbentuk aneka ragam’.
Kerajaan Majapahit memiliki daerah kekuasaan yang luas. Pada
manuskrip Negarakertagama, Mpu Prapanca menuliskan daerah
kekuasaan Majapahit, dan pada pupuh ke-13 tersebutlah wilayah yang
bernama Katingan. Berikut isi pupuh ke 13:
1. Terperinci pulau Negara bawahan, paling dulu M’layu, Jambi,
Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut daerah
Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane.
2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga
Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk.
Negara-negara di Pulau Tanjunnegara; Kapuas-Katingan, Sampit,
Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawa ikut tersebut.

Pada era keemasan Kerajaan Majapahit, muncul persoalan


yang dianggap merongrong tatanan moral kerajaan, yaitu masifnya
praktik perjudian, pelacuran, mabuk-mabukan, dan lain-lain. Pada
saat yang sama perkembangan kerajaan yang bernafaskan Islam mulai
pesat. Kerajaan Majapahit mengijinkan rakyatnya memeluk Agama
Islam setelah Prabu Brawijaya mempersunting permaisuri Champa
yang seorang Muslim. Permaisuri memiliki seorang keponakan yang

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 47
bernama Raden Rahmat (diperkirakan hidup dari tahun 1401-1481 M)
yang datang menyusulnya ke Majapahit. Raden Rahmat menetap di
Majapahit dan tidak pulang ke Champa karena pada saat itu Champa
takluk atas serangan negara lain. Singkat cerita, Raden Rahmat atau
Sunan Ampel menjadi pendakwah Islam dan merasa prihatin dengan
keadaan masyarakat Majapahit yang dianggapnya telah mengalami
kerusakan akhlak. Untuk itu dia mengajarkan molimo18, atau Moh
(tidak mau) limo (lima), yang terdiri dari:
1. Moh Mabok : tidak mau minum minuman yang memabukkan
(beralkohol)
2. Moh Main : tidak mau main judi
3. Moh Madon : tidak mau berbuat zina
4. Moh Madat : tidak mau memakai candu (konteks masa kini bisa
disebut narkoba)
5. Moh Maling : tidak mau mencuri, merampok

Selain pada manuskrip Negarakertagama, dokumentasi terkait


minuman beralkohol tidak lagi ditemukan. Demikian juga dengan
riwayat yang berisi tentang penolakan pada eksistensi minuman
beralkohol, misalnya pada Molimo ajaran Sunan Ampel. Majapahit
bukanlah satu-satunya kerajaan yang besar di nusantara. Sebelum
Majapahit lahir, ada kerajaan lain yang terlebih dahulu berkembang
dan melakukan hubungan dengan bangsa lain. Bisa jadi, minuman
beralkohol sudah ada sebelum Majapahit mendokumentasikannya
dalam manuskrip Negarakertagama.
Ada kemungkinan minuman beralkohol tersebut adalah peng­
aruh dari bangsa lain yang dibawa masuk ketika terjadi hubungan
dagang. Kerajaan Salakanagara (130 –362) yang diperkirakan

Molimo atau Moh limosesungguhnya adalah ajaran Tantrik yang dikenal dengan
18

Panchamakarayang mentabukan lima elemen. Kelima tabu tersebut juga terdiri


dari lima M, yaitu; Madya(minuman keras), Mᾶ sa (Daging), Matsya (ikan),
Mudrᾶ (padi-padian yang dipanggang), dan Maithuna (hubungan seksual).
Kelima tabu tersebut masih dipertentangkan oleh beberapa golongan Hindu
karena mereka memiliki interpretasi yang berbeda.

48 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
merupakan kerajaan tertua di nusantara, didirikan oleh pendatang
dari Pallawa, Bharata (India). Kerajaan Kutai (abad ke-4) yang
terletak di Kalimantan Timur adalah kerajaan bercorak Hindu dengan
bahasa Sansekerta, maka sudah pasti kerajaan ini terpengaruh
dan berhubungan dengan India, demikian juga degan Kerajaan
Tarumanagara (358 – 669) yang berdiri di tanah Sunda19.
Jejak minuman beralkohol kembali tampak pada masa Hindia
Belanda. Pada sekitar abad ke-17, Hindia Belanda sudah mampu
memproduksi minuman beralkohol dengan nama dagang Batavia
Arack Van Oosten. Minuman itu terbuat dari fermentasi beras
merah dan tetes tebu. Arak tersebut sangat terpengaruh oleh warga
Tionghoa yang banyak mengembangkan budidaya tebu dan padi. Dari
hasil budidaya dua tumbuhan itu dibuatlah arak yang merupakan
hasil fermentasi beras, tebu, dan nira. Etnis Tionghoa di Batavia telah
mengembangkan penyulingan arak sejak awal abad ke-17. Industri itu
menjadi industri utama di Batavia dan akhirnya terkenal di seluruh
Asia bahkan Eropa. Swedia adalah negara Eropa yang paling menyukai
arak itu. Perjalanan arak Batavia menuju Swedia dimulai ketika Kapal
Gotheborg singgah di Batavia pada tahun 1743, dan membawa
banyak perbekalan yang diambil dari Batavia, termasuk arak. Batavia
Arack Van Oosten sendiri sangat populer pada abad ke-17 sampai
dengan abad ke-19. Kapten James Cook sangat menyukai arak itu
dan menganggap arak adalah kunci ketahanan tubuh anak buahnya.
Marco Polo pun terpesona pada arak itu ketika datang ke Batavia,
lalu dia membawa arak dan beberapa batang tebu untuk dibawa
berlayar. Ketika sampai di Kepulauan Karibia, Marco Polo menanam
tebu tersebut dan ternyata bisa tumbuh dengan subur. Dari hasil tebu
itulah masyarakat Eropa di Karibia akhirnya mengenal distilasi dan
terciptalah rum20.
Jejak berikutnya yaitu berupa litografi karya Auguste Van Pers
yang menggambarkan aktivitas pedagang tuak keliling dan seorang

http://wikipedia.com
19

Metro.news.viva.co.id>news>read>
20

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 49
prajurit pribumi. Litografi tersebut dibuat tahun 185421. Pada tahun
1929 Belanda mendirikan pabrik bir yang berlokasi di Surabaya yang
bernama N.V.Nederlandsch-Indische Bierbrouwerijen atau dikenal juga
dengan Java Brewery atau Java Bier. Didirikannya pabrik itu adalah
untuk memenuhi kebutuhan orang Belanda pada bir yang selama
ini harus diimpor dari luar negeri melalui jalur laut. Perjalanan laut
yang sangat lama membuat mereka memutuskan untuk membangun
pabrik dan membuat bir sendiri. Pada tahun 1937, Java Brewery
melakukan renovasi pabrik dan berganti nama menjadi Heineken’s
Nederlands-Indische Bierbrouwerij Maatscappij. Sejak saat itu impor
bir dihentikan. Produk bir inilah yang menjadi cikal bakal adanya label
bir yang lain di Indonesia bahkan setelah era proklamasi22.
Sejarah minuman beralkohol memang tampak seperti puzzle
yang bagian-bagiannya masih tercerai berai. Walaupun pada beberapa
sejarah minuman beralkohol yang telah dipaparkan tadi lebih banyak
berlatar belakang Pulau Jawa, pada kenyataannya Nusantara adalah
surganya minuman beralkohol tradisional. Di bagian paling timur
Indonesia, yaitu Papua, ada minuman beralkohol tradisional yang
dikenal dengan sebutan saguer dan moke. Bergeser sedikit dari
Papua, ada sopi yang dapat dijumpai di Maluku dan NTT. Selain
dikenal dengan sebutan sopi, minuman yang hampir sama di NTT juga
disebuat tuak dan peneraci yang disingkat peci. Di wilayah Sulawesi
Utara dikenal dengan sebutan Cap Tikus. Di Pulau Kalimantan dikenal
dengan sebutan baram, boram, tuak, dan arak. Di Bali disebut tuak,
arak, wine, dan brem Bali. Pulau Jawa mengenal lapen (terutama
di DIY), arak, dan ciu (terutama di daerah yang termasuk wilayah
Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah).
Bahan dasar pembuat minuman beralkohol tersebut bervariasi
di setiap daerah. Di daerah seperti Papua, Maluku, NTT, dan Sulawesi,
bahan utama minuman beralkohol tradisional biasanya adalah air
sadapan pohon kelapa atau nira yang difermentasi, lalu disuling

https://id.m.wikipedia.org>wiki>Tuak
21

www.beercoasters.it
22

50 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
dengan dilakukan proses pemanasan terlebih dahulu. Di Pulau Jawa,
bahan baku pembuatan lebih variatif dan bukan hanya dari sadapan
kelapa atau nira saja. Tetapi juga beras ketan dan ketela pohon yang
difermentasi. Pulau Bali mungkin yang paling inovatif dibandingkan
dengan daerah lain yang telah tersebut sebelumnya. Di Bali, bahan
baku minuman beralkohol tradisional bukan hanya berasal dari
fermentasi beras, sadapan nira atau kelapa saja, tetapi juga berasal
dari berbagai macam buah-buahan.
Kecuali di Bali, minuman beralkohol di beberapa daerah yang
masih dibuat secara tradisional masih dianggap ilegal oleh pe­me­
rintah. Minuman tersebut sering dianggap sebagai pemicu krimi­
nalitas, peredarannya yang tidak terkontrol karena statusnya yang
masih ilegal juga menjadi alasan kuat aparat untuk merepresi para
pembuat minuman keras tradisional tersebut. Tidak jarang razia dan
penggerebekan dilakukan dengan dalih untuk mengamankan generasi
muda dari ancaman minuman beralkohol yang dianggap dapat
merusak moral anak bangsa.
Namun di sisi lain, minuman beralkohol modern yang dikemas
secara apik dan menarik tidak mendapat perlakuan yang sama. Jika
alasannya karena minuman beralkohol tersebut telah memiliki izin
dari BPOM, memiliki kandungan alkohol yang terstandar, dibuat
dengan cara yang sesuai dengan prosedur kesehatan serta higienitas
tinggi dll, lalu mengapa minuman beralkohol tradisional tidak
didukung untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan minuman
beralkohol modern?
Di Indonesia, budaya minum minuman beralkohol tradisional
bukan hanya melulu tentang perayaan, pesta pora, atau senang-
senang belaka. Lebih dari itu, dalam beberapa budaya, minuman
beralkohol tradisional adalah bagian dari ritual mereka dalam men­
dekatkan diri kepada sesuatu hal yang transendental, seperti Tuhan
atau leluhur. Selain itu, minuman tersebut diyakini sebagai suatu
perekat kekerabatan di antara etnis mereka sendiri, atau dengan
etnis yang lain. Pada Suku Flores, Sabu, Timor, dan Sumba di NTT,

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 51
minuman yang disebut dengan tuak, sopi23, dan peneraci menjadi
bagian dari berbagai ritual adat mereka. Pun dengan Suku Bali, Suku
Toraja di Sulawesi Selatan, Suku Tanimbar di Maluku, dan Suku Dayak
di Kalimantan. Tuak, arak, brem, sopi, saguer, atau apapun nama yang
serupa hampir dipastikan ada pada saat ritual adat berlangsung.
Dalam payung ekonomi, minuman tradisional yang tersebut
di atas adalah sumber mata pencaharian masyarakat yang patut
diperhitungkan. Tidak sedikit rumahtangga yang bergantung secara
ekonomi kepada minuman ilegal itu. Pada persoalan ini, minuman
beralkohol tradisional berada pada ranah profan. Dalam payung
budaya, minuman beralkohol tradisional masuk dalam ranah sakral,
yang tidak hanya dimaksudkan untuk menghormati leluhur atau
Tuhan, tetapi juga berimplikasi pada kebutuhan untuk membangun
relasi sosial dan integrasi komunitas.
Pada kasus tertentu di wilayah Timor, Nusa Tenggara Timur
misalnya, minuman beralkohol tradisional bahkan bisa digunakan
sebagai simbol perdamaian atau resolusi konflik jika ada satu suku/
komunitas berkonflik dengan suku/komunitas lain. Sudah jelas, dalam
budaya Indonesia, minuman beralkohol tradisional memiliki fungsi
serta makna yang kompleks. Pun dengan sejarah atau asal muasalnya
yang masih samar untuk dilihat, termasuk dengan sejarah baram di
Katingan.

3.4. Sejarah Minuman Beralkohol di Kabupaten


Katingan
Ada wangi yang mulai akrab di indra penciuman ketika kami
tinggal di Desa Danum Simak Harum. Wangi itu adalah wangi
beraroma manis yang khas dengan aroma tajam yang menusuk
hidung. Wangi itu seperti wangi tapai, atau orang Jawa sering
menyebutnya tape. Wangi seperti tapai, adalah wangi yang kemudian
kami kenali sebagai wangi baram. Baram adalah minuman beralkohol

Berdasarkan informasi yang pernah peneliti dapatkan ketika melakukan riset di


23

Maluku, sopi berasal dari Bahasa Belanda zoopjeyang berarti alkohol cair.

52 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
tradisional khas Dayak. Nama baram konon sudah lama dikenal
walaupun tidak ada yang tahu pasti asal usul baram dan apa arti dari
kata baram tersebut. Baram sangat populer di Kalimantan Tengah,
terutama di Kabupaten Katingan.
Kepopuleran baram dapat dilihat dari banyaknya masyarakat
yang mengenal baram, tidak peduli latar belakang dan status
sosialnya. Baram bisa diminum oleh berbagai kalangan dengan
berbagai alasan, misalnya karena rasanya yang manis, harganya
yang lebih murah jika dibandingkan dengan minuman beralkohol
lain, lebih cepat membuat mabuk, dan alasan yang unik yaitu untuk
melestarikan budaya Suku Dayak. Tetapi bagaimana sesungguhnya
sejarah baram?
Arti kata baram tidak kami ketahui sampai sekarang. Beberapa
informan yang kami ketahui tidak mampu menjelaskan secara
harafiah apa arti dari kata baram, dan berasal dari bahasa manakah
kata itu. Seorang pembuat baram bernama Mamah Yana berkata
“baram ya baram, ndak ada artinya”. Hal ini sangat menarik karena
untuk wilayah Kalimantan Tengah terutama di DAS Katingan dan DAS
Kahayan, pemakaian kata ‘baram’ hanya merujuk kepada minuman
beralkohol tradisional yang difermentasikan dari bahan utama beras
atau beras ketan. Di wilayah Kalimantan Barat, minuman serupa
memiliki sebutan lain yaitu tuak dan arak. Sedangkan di wilayah DAS
Katingan, arak adalah sebutan untuk hasil penyulingan/distilasi dari
baram yang gagal atau terasa asam.
Bagi yang bukan Suku Dayak, istilah baram terdengar pertama
kali langsung mengingatkan kepada ‘brem’, yaitu sejenis makanan
padat yang terbuat dari sari pati beras. Ada jenis brem yang bertekstur
padat, berwarna kuning, dan berbentuk persegi empat memanjang
berasal dari Madiun, Jawa Timur. Ada juga brem yang berwarna
putih dan berbentuk bulat berasal dari Wonogiri, Jateng. Ada versi
cair brem yang sering disebut dengan brem Bali karena memang

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 53
berasal dari Pulau Bali24. Brem yang disebut terakhir ini termasuk
dalam minuman beralkohol tradisional dengan kadar alkohol yang
tinggi. Lalu apa hubungan baram dengan ketiga jenis brem tadi? Tidak
diketahui apakah keduanya memiliki keterkaitan, namun yang pasti
keduanya sama-sama mengandung alkohol, dan terbuat dari sari
pati beras25. Asal-usul kata baram masih belum terpecahkan dan kami
tidak ingin berspekulasi lebih jauh dengan minimnya data yang kami
peroleh.
Walaupun banyak ditemukan minuman tradisional yang mirip
dengan baram, sebagian besar masyarakat yang ditemui merasa
yakin jika baram adalah minuman khas Suku Dayak dan merupakan
bagian dari budaya mereka. Sama halnya dengan asal usul kata
baram, sejarah tentang baram pun masih mengundang tanda tanya.
Setidaknya ada tiga versi sejarah baram yang kami dapatkan selama
berada di lokasi penelitian. Ketiga versi sejarah tersebut dikemukakan
oleh tiga kalangan yang berbeda. Versi pertama muncul dari masya­
rakat yang berpendapat jika baram adalah peninggalan Belanda pada
masa kolonialisme. Papa Yana, MamahYana, KD, serta Pak Tanjung
sepakat jika baram dahulu dikenalkan kepada orang Dayak oleh
kolonialis Belanda pada era penjajahan.
Tujuan utama Belanda mengenalkan baram adalah untuk
membuat orang Dayak tercerai berai dan mudah diadu-domba
oleh Belanda. Baram sengaja diberikan sampai masyarakat mabuk,
sehingga mudah dipengaruhi, dan dikendalikan. Dalam keadaan
mabuk itu lah, masyarakat justru saling memerangi dan terpecah
belah. Papa Yana ingat ketika dirinya masih duduk di bangku Sekolah
Rakyat (SR) sekitar 40 tahun yang lalu, ada sebuah buku sejarah yang
menceritakan tentang upaya Belanda mengadu-domba Orang Dayak

24
Menurut http://kbbi.web.id/brem, brem adalah makanan berupa lempengan
keras berasa manis keasaman yang dibuat dari sari tapai ketan, warnanya putih
kecoklatan.
25
Brem terbuat dari sari pati beras ketan, sedangkan baram bisa terbuat dari beras
biasa dan juga beras ketan. Kadar alkohol brem yang tertinggi didapati pada
brem Bali, kadarnya bisa di atas 40% karena telah mengalami distilasi.

54 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
dengan cara memberikan baram secara terus menerus. Orang Dayak
yang terlanjur terlena dengan baram tidak menyadari niat busuk
Belanda dan terus mengkonsumsi baram hingga kini. Papa Yana
berkata “Ya beginilah orang Dayak. Tapi jangan takut, meskipun kami
minum, kami tidak ganggu orang”.
Versi kedua adalah versi yang tidak dapat diperdebatkan lagi,
karena baram diyakini sebagai ciptaan Ranying Hatalla Langit, yaitu
Tuhan para pemeluk Kaharingan. Pernyataan tersebut berdasarkan
pada eksistensi baram di hampir setiap ritual adat dan ritual Agama
Kaharingan, serta tersebutnya beras sebagai bahan makanan yang
memiliki nilai spiritual tinggi dalam Panaturan, yaitu kitab suci Agama
Kaharingan. Bahasa yang digunakan dalam kitab itu adalah bahasa
Sangiang26, yaitu bahasa ritual Dayak kuno yang hanya dikuasai oleh
golongan pisur atau basir saja27. Dalam Kitab Suci Panaturan tertulis
“Guci Lalang Tambangap Langit yang di dalamnya telah berisi Behas
Nyangen Tingang”. Behas atau beras berkali-kali disebut di dalam
kitab itu. Walaupun tidak ada satu pun kata ‘baram’ yang disebut
dalam Kitab Panaturan, mereka yakin jika Behas Nyangen Tingang
adalah representasi dari beras yang digunakan untuk membuat
baram. Behas berarti beras, sedangkan Nyangen Tingang belum
diketahui maknanya sampai sekarang.
Sudut pandang ketiga di balik penciptaan baram tidak terkait
dengan sejarah kolonialisme dan doktrin kitab suci, tetapi sudut
pandang ini mengandalkan aspek ethno-history dan arkeologi. Diyakini
ada pengaruh kuat dari budaya lain yang masuk ke Kalimantan Tengah
sejak berabad yang lalu. Masuknya budaya Hindu, Budha, Islam,
dan Kristen ditengarai berperan besar pada budaya Suku Dayak di
Kalimantan Tengah. Hal ini didasari oleh data sejarah dan temuan
arkeologis yang pernah ditemukan di beberapa lokasi di Kalimantan

26
Sangiangsecara harafiah berarti roh leluhur. Dalam ritual Suku Dayak Ngaju, roh-
roh leluhur (Sangiang) dapat dipanggil pada suatu upacara.
27
Pisur atau basir adalah pendeta adat agama Kaharingan.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 55
Tengah. Temuan bersejarah itu dimuseumkan di Museum Balanga di
Kota Palangkaraya.
Peneliti pernah datang berkunjung dan berusaha mencari
tahu adanya temuan-temuan yang dapat mengarah pada sejarah
baram. Sebelum mencari semua petunjuk yang spesifik, peneliti
merasa sangat terbantu dengan informasi yang ditampilkan di setiap
koleksi museum. Terutama tentang budaya lain yang berpengaruh
pada budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Berikut ini adalah
semua informasi yang didapatkan dari museum tersebut. Informasi
yang ditampilkan yang dianggap relevan dengan sejarah baram di
Kalimantan Tengah.
Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah ternyata dipengaruhi
oleh budaya pendatang, dan yang paling besar pengaruhnya adalah
dari Hindu dan Budha. Pengaruh Hindu berupa benda berbahan
kuningan atau logam yang masuk dari Pulau Jawa. Pengaruh dari
agama Budha yaitu benda berbahan keramik dan guci yang berasal
dari berbagai dinasti di Cina, yaitu Dinasti Tang (618-906), Dinasti
Lima (907-960), Dinasti Sung Utara (960-1126), Dinasti Sung Selatan
(1127-1279), Dinasti Yuan (1279-1368), Dinasti Ming (1368-1644),
dan Dinasti Qing (1644-1911). Selain dari Cina, ditemukan juga guci
dari Vietnam yang berasal dari abad 16, dari Myanmar yang berasal
dari abad 16, dan dari Singkawang (Kalimantan Barat) yang berasal
dari abad 18. Guci-guci tersebut dibawa oleh pendagang Cina dan
Melayu28.
Guci yang disimpan di Museum Balanga memiliki ciri yang
beragam mulai dari warna, ukuran, dan bentuk ornamennya. Yang
menarik perhatian kami yaitu adanya ornamen naga di badan guci.
Guci dengan ciri tersebut mengingatkan kami pada suatu tempat nun
jauh dari Nusantara, yaitu negeri Tiongkok. Guci dengan ciri ornamen
naga mirip dengan guci yang pernah kami lihat di Desa Danum
Simak Harum, walaupun peneliti tidak bisa memastikan apakah

Informasi berharga ini kami dapatkan di Museum Balanga dari catatan yang
28

tertulis di beberapa barang yang dipamerkan.

56 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
usia serta asal guci tersebut sama atau tidak. Simbol atau ornamen
naga bukanlah suatu kebetulan. Peneliti yakin jika simbol naga serta
interaksi antara Suku Dayak dan Bangsa Tiongkok saling terkait.
Menurut Usop (1996), hubungan dagang Borneo dengan
bangsa Cina meningkat setelah 500 M. Siyok dan Etika (2014) juga
menuliskan jika ada seorang pasukan Mongol bernama Kwe Sin Po
menikahi seorang gadis yang berasal dari Lewu Tumbang Pajangei.
Pernikahan ini menurunkan putra bernama Tambun dan Bungai yang
merupakan pahlawan Dayak Ngaju. Tambun dalam bahasa Dayak
Ngaju berarti naga, dan tentu saja ini sangat dekat dengan terminologi
Liong yang juga berarti naga.
Guci memiliki nama lain yaitu balanga atau tajau. Benda ini
memiliki tempat istimewa dalam kehidupan Suku Dayak. Balanga
digunakan dalam upacara atau ritual Suku Dayak dari kelahiran
sampai dengan kematian, dan kepemilikan balanga juga mampu
meningkatkan status sosial seseorang. Mereka juga yakin balanga
memiliki roh atau penunggu, dan jika balanga pecah maka harus
dibuat ritual agar roh di dalam balanga tidak marah. Di bagian telinga
balanga juga kerap dipasang sesaji untuk menghormati roh yang ada
di dalam balanga (Riwut, 2003).
Menurut keyakinan Kaharingan, balanga dibuat langsung oleh
Ranying Hatalla Langit dibantu oleh Lalang Rangkang Haramaung
Ampit Putung Jambangan Nyahu yang diturunkan ke bumi. Sebelum
balanga diturunkan ke bumi, manusia sudah terlebih dahulu
diturunkan. Balanga itu kemudian diterima oleh Ratu Campa dan
disimpan di dalam sebuah gua yang besar. Hal itu dilakukan ketika
ada halilintar sehingga gua itu dijaga dengan ketat. Ratu Campa lalu
menikahi Putir Unak Manjang dan dikarunia putera bernama Raden
Tunjung. Ratu Campa lalu kembali ke langit dan dia memberitahukan
perihal benda berharga yang dia simpan kepada anaknya. Tetapi sang
anak tidak peduli. Pada saat itu halilintar menggelegar dan balanga
tercerai berai. Sebagian tenggelam di laut, sebagian menjelma
menjadi kijang. Gong berubah menjadi kura-kura dan senjata berubah

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 57
menjadi ular. Singkat cerita barang-barang itu, termasuk guci, ditiru
bangsa Cina dan dibawa ke negerinya (Riwut, 2003).
Di luar kepercayaan Kaharingan tentang asal muasal guci,
sesungguhnya peneliti ingin mencari benang merah antara keda­
tangan Bangsa Tiongkok serta pengaruh budaya mereka terhadap
Budaya Suku Dayak, terutama terkait dengan baram. Hubungan
dagang antara Borneo dan Tiongkok sudah terjalin sangat lama.
Pedagang Tiongkok dimungkinkan membawa guci berisi minuman
yang mengandung alkohol, dan ternyata guci beserta isinya berhasil
memikat hati Suku Dayak. Guci kemudian dianggap sebagai barang
istimewa dan memiliki nilai prestisius karena bisa mendongkrak status
sosial seseorang dan digunakan dalam peristiwa adat. Sedangkan
isi dari guci yaitu minuman beralkohol juga disukai oleh mereka.
Suku Dayak kemungkinan besar mempelajari pembuatan baram dari
para pedagang Tiongkok tersebut, dan sekaligus tertular kebiasaan
untuk menyimpannya di dalam guci. Lambat laun pembuatan arak
dimodifikasi oleh Suku Dayak dengan memanfaatkan bahan alam yang
tersedia dan muncullah baram.
Tidak bisa dipungkiri jika kesamaan bahan baku berupa beras
ketan (dan kini dimodifikasi menjadi beras biasa), merupakan
pengaruh kuat dari budaya lain. Arak Tiongkok memakai bahan
baku beras untuk pembuatannya, pun dengan Sake Jepang. Namun
dalam hal ini yang sangat mungkin berperan besar adalah pengaruh
dari Tiongkok, karena berdasarkan fakta sejarah, bangsa Tiongkok
sudah berdiaspora ke seluruh penjuru dunia dan sudah berinteraksi
dengan Borneo pada abad ke-5, dan itu jauh sebelum Jepang masuk.
Kesamaan ornamen naga pada guci dan nilai dari sosok naga yang
juga sama-sama dikultuskan di dua budaya ini kami kira juga bukan
merupakan suatu kebetulan. Ada hubungan yang intens dan harmonis
di masa lalu yang memunculkan akulturasi antara budaya Tiongkok
dan budaya Suku Dayak.
Satu hal yang menarik, saat ini baram sebagai minuman
tradisional Suku Dayak mulai bersaing dengan minuman pendatang

58 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
atau minuman impor yang lebih modern. Minuman yang dianggap
berasal dari luar budaya mereka tersebut kerap disebut sebagai
‘minuman laut’, dan mulai menggantikan baram pada acara-acara
adat atau pesta. Bir sebagai salah satu contoh minuman laut adalah
representasidari minuman modern yang diproses dan dikemas
secara apik dan penuh ketelitian. Kadar alkoholnya sudah tertera dan
dipastikan validitasnya. Tercantum juga komposisi bahan pembuatnya
dan juga peringatan yang berisi himbauan agar ibu hamil dan anak
di bawah usia 18 tahun dilarang untuk mengkonsumsi. Bir juga
mendapat pengakuan sebagai minuman legal karena terdaftar di
BPOM, serta bea dan cukai, sehingga peredarannya tidak dilarang
oleh aparat. Bir adalah contoh minuman modern yang tidak dimusuhi
aparat dan tentu saja negara, karena memiliki kontribusi pada pen­
dapatan negara secara signifikan.
Hal ini tentunya berbeda dengan baram. Sebagai ‘minuman
kampung’ yang tidak terdaftar izinnya, baram seringkali meresahkan
aparat karena tidak dapat dipantau peredarannya. Selain itu, jumlah
kadar alkohol yang tidak jelas juga dianggap sebagai suatu hal yang
berbahaya. Padahal, peredaran baram, terutama di Kecamatan
Tewang Sangalang Garing, masih cukup luas karena tingginya per­
mintaan pasar.
Permintaan yang tinggi tersebut bukan hanya terkait dengan
kecintaan masyarakat pada baram sebagai minuman tradisional
atau sebagai syarat berjalannya ritual adat dan agama, tetapi juga
didorong oleh alasan pragmatis, yaitu: harga minuman laut yang
tidak terjangkau. Harga per liter baram hanya 20 ribu rupiah, se­
dangkan harga per botol bir dengan volume 600 ml berkisar 40 ribu
sampai dengan 60 ribu rupiah. Ada alasan lain yang juga menjadi
pertimbangan, yaitu karena baram lebih cepat membuat mabuk jika
dibandingkan dengan bir.
Dalam suatu pesta yang dihadiri oleh banyak orang di Desa
Danum Simak Harum, baram akan lebih mudah ditemui sebagai
minuman pelengkap hura-hura yang memicu terjadinya kemabukan

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 59
massal para undangan pesta. Pertimbangan utama dipilihnya baram
sebagai sajian oleh tuan rumah tentu karena harganya yang lebih
terjangkau. Perlu diketahui, dalam beberapa pesta yang pernah kami
hadiri di desa, tuan rumah harus menyiapkan paling tidak 50 liter
sampai dengan 100 liter baram untuk para tamu. Jika dikalkulasikan,
biaya yang dikeluarkan untuk membeli baram berkisar 1 juta rupiah
sampai dengan 2 juta rupiah. Itu belum termasuk baram yang dibeli
oleh kerabat atau undangan yang hadir sebagai bentuk sumbangan,
dan perlu diketahui, pesta bisa berlangsung berhari-hari dengan
limpahan baram yang berasal dari berbagai sumber. Banyaknya
liter baram yang harus disiapkan membuat tuan rumah pesta harus
berhitung secara cermat. Membeli 100 liter baram tentu akan jauh
lebih murah jika dibandingkan dengan membeli 100 liter bir.
Bir jarang ditemui di acara pesta, namun tidak berarti bir
tidak ada sama sekali. Bir kerap muncul di acara pesta pernikahan,
namun bukan sebagai sajian tuan rumah tetapi bir banyak dijual oleh
penjual dadakan di lapak darurat yang sederhana. Bir botol dan bir
kaleng ditata berjejer dengan makanan dan minuman ringan. Barang
dagangan tersebut dijual ketika tuan rumah menyelenggarakan
hiburan musik dangdut untuk tamu undangan dan masyarakat lain.
Ketika musik sudah dimainkan dan penikmat musik berdatangan,
biasanya di saat itu juga penjual bir laris manis menjual dagangan.
Pembelinya tidak terbatas pada laki-laki atau perempuan
dewasa, tidak jarang anak-anak di bawah umur pun membeli bir ber­
sama kelompok bermainnya. Karena legal, bir terkesan lebih bebas
untuk dijual dan penjualnya pun tidak dihantui sanksi hukum oleh
aparat. Sebaliknya, baram dengan status ilegalnya memiliki cara
tersendiri untuk dipasarkan. Di pesta yang sama akan kesulitan untuk
mencari penjual baram menjajakan dagangannya di lapak darurat.
Orang yang butuh baram, sudah tahu bagaimana cara mencari
minuman itu, yaitu dengan mendatangi langsung pembuatnya di
rumah dan langsung bertransaksi di tempat itu juga.

60 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Gambar 3.1. Di Desa Danum Simak Harum, baram tak hanya dinikmati oleh
para lelaki, namun juga oleh perempuan.

Pembuat baram bukan hanya berperan sebagai produsen,


tetapi juga sebagai penjual tanpa perantara. Artinya tidak diperlukan
distributor baram dalam proses pemasarannya. Bagaimana bisa? Hal
itu disebabkan oleh dua faktor yang sebenarnya sudah disinggung
di atas. Faktor pertama, permintaan pasar baram tinggi. Hal itu
memungkinkan orang yang membutuhkan baram bahkan mencari
sampai ke pelosok desa tetangga. Bagaimana kita tahu di mana
rumah penjual baram di sebuah desa yang kita tidak mengenal
siapapun? Bertanyalah. Di desa yang kami tinggali, aktivitas membuat
baram sudah sangat jamak. Proses pencarian bahan sampai dengan
proses akhir pembuatan biasanya diketahui oleh masyarakat sekitar.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 61
Masyarakat secara tidak langsung mengetahui, rumah siapa yang
baru saja menumbuk beras untuk dijadikan baram. Informasi tersebut
sangat cukup untuk dijadikan pemasaran secara cuma-cuma.
Faktor kedua, masyarakat paham akan resiko hukum yang
akan diperoleh jika mereka secara terbuka menjual baram di suatu
pusat keramaian. Ada sebagian kecil yang merasa jika berhadapan
dengan aparat bukan masalah. Tetapi sebagian besar masyarakat
enggan berurusan dengannya karena tidak ingin mendapat ancaman
kurungan atau ancaman denda. Tidak sedikit juga yang merasa yakin
jika pada akhirnya nanti, berhadapan dengan aparat hanya akan
berujung pada masalah transaksional belaka. Hal itu seperti yang
diceritakan oleh Tambi Imo (65 tahun).
“Tambi itu takut. Dulu pernah ada orang yang dicari sama
polisi karena jual baram. Dia ditangkapnya itu. Dia disuruh
bayar denda juga. Makanya waktu tambi dengar ada suara
orang teriak ‘Polisi! Polisi!’ ini tambi takut”.

Represi aparat memang menjadi momok yang menakutkan


jika mendengar cerita dari beberapa orang termasuk Tambi Imo.
Tetapi pada kenyataannya, peneliti jarang sekali menangkap ekspresi
ketakutan ketika melihat masyarakat hanyut dalam pesta atau acara
yang terdapat baram di dalamnya. Pada pesta terakhir yang diikuti,
yaitu semalam sebelum peneliti meninggalkan desa, puluhan orang
berkumpul untuk makan bersama, minum baram bersama, dengan
disertai musik dangdut yang bersumber dari keyboard. Orang-orang
bernyanyi dan menari dalam keadaan mabuk. Mereka di bawah
pengaruh alkohol, dan mereka mulai menangis dan tertawa di saat
yang bersamaan.
Pemandangan itu sudah menjadi hal yang biasa , namun ada
satu hal menarik saat itu kami mendengar. Kepala desa maju ke depan
dan berbicara dengan memakai pengeras suara. Dia mengingatkan
jika pesta yang diadakan malam itu tidak diselenggarakan dengan
prosedur yang tepat, yaitu belum melaporkan kegiatan yang me­
libatkan keramaian kepada pihak kepolisian. Karena itulah kepala

62 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
desa mengingatkan kepada semua yang ada di dalam pesta untuk
tidak melakukan tindakan yang memicu kerusuhan, walaupun hampir
semuanya dalam kondisi mabuk. Jika sampai kerusuhan terjadi, maka
penyelenggara pesta akan dimintai pertanggungjawaban dan sanksi
akan lebih berat karena hampir semua orang dalam kondisi mabuk.
Baram dan juga minuman beralkohol yang lain sering menjadi
kambing hitam atas peristiwa kerusuhan atau kriminal yang terendus
oleh aparat. Misalnya saja kasus perkelahian dan pelecehan seksual
yang belakangan ini marak disorot media pun tidak lepas dari cerita
pelaku yang terlacak memiliki riwayat sebagai peminum alkohol,
atau setidaknya sedang dalam keadaan mabuk ketika kriminalitas
itu dilakukan. Benarkah minuman beralkohol bisa sedigdaya itu
menggiring manusia pada tindakan kriminal?

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 63
BAB 4
MERACIK BARAM

4.1. Tuak dengan Cita Rasa Rempah


Baram,yang di beberapa kafe di ibukota provinsi sering disebut
sebagai tuak (wine) tradisional khas Kalimantan Tengah, dibuat
melalui proses fermentasi air gula dengan ragi yang dibuat dari
beras dan campuran berbagai jenis rempah. Setiap pembuat baram
memiliki komposisi bahan-bahan dasar yang berbeda, namun secara
garis besar, tahapan-tahapan yang dilalui tetaplah sama.
Pembuatan baram dimulai dengan proses persiapan ragi untuk
fermentasi. Seorang pembuat baram yang produknya cukup laris
di Desa Danum Simak Harum untuk membuat ragi menggunakan
komposisi bahan-bahan berikut
• Beras putih atau beras ketan 9 kg
• Lengkuas ± 3 ons
• Kayu manis bubuk 1 ons
• Kunyit ± 2 ruas jari
• Daun kayu manis besar 20 lembar
• Batang kayu manis ± 2 ons
• Daun cengkeh ± 1 ons
• Cabai 3 buah
• Tembakau 1 jumput
• Gula 1 gelas kecil (200 cc)

65
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Gambar 4.1. Segelas baram dan bahan-bahan dasar ragi.

Selain beras, sesungguhnya jumlah dan takaran masing-masing


bahan tidak ada yang baku dan hanya berdasarkan kira-kira. Menurut
sang pembuat, bahan-bahan di atas cukup untuk membuat 150
keping ragi, yang nantinya dapat digunakan untuk fermentasi seratus
liter baram. Rempah-rempah yang digunakan untuk membuat ragi
biasa disebut dengan ‘bumbu’ oleh para pembuat. Bumbu-bumbu
yang dipakai oleh pembuat amat variatif dan tergantung kepada
selera masing-masing pembuat. Misalnya saja Tambi Imodi hulu
menambahkan merica pada campuran bumbu yang dia buat, dan
semua bumbu (kecuali merica) melalui proses pengeringan terlebih
dahulu.
Proses pembuatan ragi dimulai dengan merendam beras selama
4 jam di dalam air, dan daun kayu manis besar dijemur hingga kering.
Beberapa pembuat baram juga memarut lengkuas hingga halus dan
menjemurnya selama beberapa hari hingga kering. Setelah semua
persiapan selesai, bahan-bahan di atas kemudian dicampur dan
ditumbuk menggunakan halu dan lisung hingga halus. Sejenis ayakan

66 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
dari bambu digunakan untuk memisahkan hasil tumbukan yang sudah
halus dengan yang masih kasar. Bubuk yang masih kasar kemudian
ditumbuk kembali hingga halus dan bisa lolos dari ayakan. Bubuk
ragi yang sudah jadi selanjutnya dicampur dengan sedikit air sampai
diperoleh konsistensi seperti tanah liat. Adonan tersebut lantas
diuleni, dan dibentuk bundar pipih seperti gong berdiameter 8-10 cm,
sebelum akhirnya ditaburi bubuk tumbukan indang rahi (ragi biang)
dan proses penjamuran ragi dimulai.
Pada tahap penjamuran, ragi yang sudah dilumuri oleh indang
rahi (ragi biang) dan didiamkan di dalam ruangan hingga jamur mulai
tampak, atau dikenal masyarakat setempat dengan istilah berbunga.
Kemudian, setelah tahap penjamuran selesai, ragi dijemur di halaman
rumah atau di atas atap selama beberapa hari hingga kering sebelum
akhirnya digunakan untuk proses fermentasi. Keseluruhan proses
penjamuran dan pengeringan tersebut bisa memakan waktu 10-15
hari dan dilakukan dalam kondisi terbuka.
Pekerjaan membuat ragi selalu dikerjakan oleh lebih dari satu
orang. Untuk tujuan komersil (baram dibuat untuk dijual), pem­
buat baram akan mengupah orang lain untuk membantu proses
pembuatan. Untuk tujuan non-komersil (misalnya, pesta, ritual agama
Kaharingan, dan acara adat lainnya), proses pembuatan tersebut biasa
dilakukan secara handep (gotong royong) dengan melibatkan keluarga
inti, keluarga besar, kerabat, atau tetangga.
Setelah ragi siap, proses fermentasi dapat dimulai. Bahan utama
larutan yang akan difermentasi adalah gula pasir dan air. Untuk setiap
sepuluh liter air, diperlukan 1 kg gula pasir. Gula pasir dituangkan
pelan-pelan ke dalam air yang sudah disiapkan di baskom besar, lalu
diaduk hingga rata. Adapun air yang digunakan biasanya adalah air
hujan dan tidak dimasak terlebih dahulu.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 67
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Gambar 4.2. Proses pembuatan ragi baram secara gotong-royong.

Larutan gula pasir kemudian dimasukkan ke dalam ember


besar berukuran 70 liter yang sudah diisi ragi. Untuk setiap sepuluh
liter air, diperlukan 15 keping ragi. Sebelum ember ditutup dan
fermentasi dimulai, beberapa keping ragi dibakar hingga hangus
lalu dengan cepat diceburkan ke dalam ember yang sudah berisi
air gula dan ragi. Ketika ragi yang dibakar bertemu dengan air dan
mengeluarkan asap yang mengepul, dengan segera ember ditutup
dengan selembar plastik bening, kain, dan tutup ember. Di atas tutup
tersebut diletakkan beberapa benda seperti capit, arang, kunyit,
sirih, pinang, sebagai syarat adat. Benda-benda tersebut diyakini
mampu menjauhkan baram dari mahkluk halus yang bersifat jahat.
Perlu diketahui bahwa masyarakat percaya bahwa mahkluk halus pun
memiliki ketertarikan yang besar terhadap baram. Ketika baram sudah
tercium baunya, mahkluk halus bisa saja mendekat dan berusaha
‘mencicipi’ baram tersebut. Jika sudah terjadi demikian, baram

68 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
bisa terancam rusak. Ember yang sudah berisi baram itu akan terus
dibiarkan tertutup sampai proses fermentasi yang berlangsung 10-15
hari selesai.
Tidak ada hari atau waktu tertentu yang dipercaya sebagai hari
baik membuat baram. Baram bisa diproduksi kapan saja, asalkan tidak
melanggar pantangannya. Misalnya, agar baram yang nanti diproduksi
tidak menjadi sumber keributan, perkelahian, atau kesedihan, tidak
boleh ada anak menangis di dekat orang yang sedang membuat ragi,
dan ragi tidak dibuat oleh orang yang habis mabuk atau berkelahi.
Agar baram yang dibuat tidak masam, ragi tidak dibuat oleh sese­
orang yang habis makan atau membawa makanan masam, dan di
dekat ember fermentasi baram tidak boleh diletakkan makanan yang
bersifat masam.
Peneliti pernah melihat secara langsung betapa paniknya
pembuat baram yang mendapati ada orang lain yang berkelahi dan
menangis ketika baram sedang dibuat. Hal itu terjadi sebanyak dua
kali dan terjadi pada pembuat baram yang sama, yaitu Mamah Yana.
Pengalaman pertama terjadi ketika Mamah Yana sedang menumbuk
beras dan dibantu oleh Om Iman dan seorang tetangga yang bernama
Mamah Eka, serta anaknya yang berusia 8 tahun. Penumbukan
dimulai pada pukul 07.30 WIB dan pada saat itu hanya ada peneliti
yang melihat prosesnya. Ketika hari semakin siang tiba-tiba beberapa
orang datang untuk ikut melihat proses penumbukan sembari
mengobrol. Seorang perempuan yang turut mengobrol ternyata
membawa serta anak laki-lakinya yang masih balita. Anak tersebut
menarik perhatian anak Mamah Eka yang tampaknya mengalami
gangguan perkembangan. Mereka berdua bermain bersama di sekitar
tempat penumbukan beras namun pada akhirnya terjadi perkelahian,
dan salah satu dari mereka menangis. Sontak semua orang yang
berada di tempat itu berteriak dengan panik dan sempat saling
memandang. Mamah Yana sendiri tetap berusaha tenang dan sempat
berujar “Ya mudah-mudahan ndak masam nanti jadinya”.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 69
Pengalaman kedua juga terjadi pada saat proses pembuatan
baram, tepatnya pada saat sedang menguleni adonan ragi di rumah
Mamah Yana. Salah satu tetangga yang turut membantu menguleni
adonan membawa seorang anak balita perempuan. Anak tersebut
tiba-tiba menangis karena merasa ketakutan ketika melihat suami
Mamah Yana masuk ke dalam rumah. Tangisnya yang tiba-tiba
pecah membuat panik Mamah Desi yang pada saat itu sedang
membantu Mamah Yana. Mamah Desi meminta kepada Ibu si anak
untuk membawanya keluar dari rumah sampai tangis anak itu reda.
Pada kenyataannya si anak tidak kunjung berhenti menangis sampai
Mamah Desi berkata “Kalau ndak berhenti menangis juga pulang saja,
nanti masam baram kita ini”.
Lalu benarkah baram yang dibuat pada saat kedua peristiwa di
atas terjadi benar-benar masam? Peneliti tidak bisa merasakan baram
yang dibuat pada saat peristiwa yang ke dua terjadi karena kami
sudah tidak berada di lokasi penelitian. Tetapi kami sempat merasakan
baram yang dibuat pada saat peristiwa pertama, dan entah apakah ini
suatu kebetulan atau kemujuran bagi mereka ternyata baram tersebut
tidak masam sama sekali. Menilik lebih dalam pada konsep tabu yang
ditetapkan pada pembuatan baram, terutama yang berkaitan pada
larangan untuk terlibat konflik dengan siapapun pada saat proses
pembuatan baram, sesungguhnya tanpa disadari kita sedang disuguhi
kearifan orang Dayak dalam menjaga harmoni dengan lingkungannya.
Terlepas dari unsur magis yang diyakini, melihat bagaimana
masyarakat begitu patuh untuk tidak melanggar tabu adalah hal
potensial yang patut dipelajari. Mereka percaya sesuatu yang dimulai
dengan hal yang tidak baik dapat mengakibatkan akhir yang tidak
baik juga. Filosofi yang baik tersebut bisa juga menjadi bumerang jika
pada suatu waktu mereka dihadapkan pada terjadinya chaos karena
konsumsi baram yang berlebihan, misalnya terjadinya perkelahian
yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya terpengaruh alkohol
dalam jumlah yang berlebihan. Bisa saja yang terjadi adalah refleksi
pada sisi teknis atau proses pembuatan baram tersebut, apakah

70 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
ada tabu yang dilanggar atau tidak, dan bukan pada refleksi yang
mengarah pada kuantitas serta kualitas baram yang diminum.

4.2. Para Pembuat Baram: Antara Mata Pencaharian,


Adat, dan Agama
Berbicara tentang pembuat baram di Desa Danum Simak
Harum sebenarnya tidak hanya berbicara tentang baram yang dibuat
untuk tujuan komersil. Meskipun terlihat sama secara fisik namun
pembuat baram memiliki prinsip dan tujuan yang berbeda ketika
mereka membuat baram. Peneliti mengamati dua orang pembuat
baram dengan latar belakang yang berbeda. Pembuat baram yang
pertama adalah Mamah Yana. Dia dan suaminya adalah penganut
Kristiani yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Sekitar tahun
2011 pasangan suami istri ini memutuskan untuk membuat baram
dan menjadikannya sebagai mata pencaharian utama. Sebelum
memutuskan menjual baram, suami Mamah Yana berprofesi sebagai
tenaga lepas di proyek pengeboran sumur minyak di beberapa tempat
di Kalimantan Tengah. Pekerjaan tersebut dianggap tidak memberikan
hasil yang sepadan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, dan
akhirnya dengan modal sebesar 3 juta rupiah mereka memulai usaha
tersebut.
Hal ini membuat peneliti terusik untuk bertanya, “Kenapa
memilih jual baram?”, saat itu suami Mamah Yana menjawab “Ya
baram itu kan banyak yang cari, gampang balik modalnya, kalau
kerja yang lain.. aduhh.. susah itu”. Mamah Yana dan suaminya
tidak memiliki kesulitan sama sekali untuk memulai membuat
baram. Mereka sudah paham betul apa saja bumbu serta alat yang
dibutuhkan, dan bagaimana cara membuatnya karena sedari kecil
mereka sudah terbiasa melihat tambi, bue, dan orangtua mereka
membuat baram. Mereka sangat berbangga hati dengan baram yang
mereka buat karena tidak sekalipun mengalami kegagalan atau terasa
masam. Mamah Yana berkata, “Ya ndak pernah masam dari dulu.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 71
Enak terus rasanya buatanku. Banyak yang suka juga. Ndak ku tahu
kenapa. Tapi bahan-bahan sama aja.”
Baram buatan Mamah Yana adalah salah satu baram yang
paling nikmat menurut warga desa. Rasa baram yang dibuat Mamah
Yana memang terasa unggul jika dibandingkan dengan baram yang
lain karena selalu konsisten antara manis, pahit, dan kerasnya. Telah
disebutkan pada bab sebelumnya bahwa Mamah Yana adalah salah
satu peminum perempuan tersohor di Desa Danum Simak Harum.
Dia dianggap sebagai peminum yang tahan banting karena memiliki
ketahanan yang kuat terhadap alkohol. Dia juga anggota dari geng
mabuk, yaitu geng dari hilir yang pernah disinggung pada bab
sebelumnya.
Geng yang terdiri dari Mamah Yana, suaminya, Mamah Maeli,
serta Om Iman ini tidak hanya kompak ketika minum baram bersama.
Pada saat Mamah Yana menumbuk beras untuk dibuat ragi, Mamah
Desi dan Om Iman hampir selalu menjadi tenaga upah yang dilibatkan.
Bayaran mereka sebesar 20 ribu per 3 kg beras yang ditumbuk.
Mereka tidak hanya menumbuk, tetapi juga turut memproses beras
tersebut sampai berubah menjadi ragi yang siap dijemur. Tidak hanya
itu, ketika akhirnya ragi tersebut dimasak di dalam ember, Mamah
Desi dan Om Iman juga turut membantu mengingat sudah berapa
lama baram itu dimasak. Hal itu dikarenakan Mamah Yana dan
suaminya tidak hanya membuat satu ember besar baram saja. Untuk
memenuhi kebutuhan pasar, Mamah Yana membuat baram dalam
dua ember besar.
Setiap ember memiliki tanggal pembuatan yang berbeda
agar dihasilkan baram dengan masa panen yang berbeda juga.
Maka dari itu Mamah Yana selalu membuat ragi secara kontinyu
sebagai persediaan pada saat membuat baram dan kedua ember
besarnya bisa terisi baram semua. Ketika ada baram yang sudah
siap dipanen, misalnya baram yang sudah dimasak selama 10 hari,
maka Mamah Yana akan menguji rasa dari baram tersebut. Dia dan
suaminya tidak akan menguji rasanya berdua saja, tetapi ada juga

72 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Om Iman dan Mamah Desi. Kami pernah melihat ketika Mamah Yana
sedang menguji rasa baram yang telah dimasak selama 11 hari. Dia
mempersilahkan kami beserta Om Iman dan Mamah Desi untuk
mencicipi. Seperti yang sudah diduga, peneliti tidak merasakan
perbedaan apapun.
Rasa baram Mamah Yana tetaplah sama, yaitu enak dan
memiliki rasa manis yang pas. Tetapi bagi Mamah Desi baram itu
dianggap terlalu banyak mengandung daun kayu manis kecil. Mamah
Desi mempersilahkan kembali mengecap rasanya serta menghirup
aromanya secara perlahan. Tetapi tetap saja peneliti tidak mampu
merasakan perbedaannya. Jadi dapat dilihat bahwasanya di balik
baram yang nikmat terdapat berbagai tangan dengan keahliannya
masing-masing. Pembagian kerja antara Mamah Yana dan suaminya
juga menarik karena suami Mamah Yana tidak pernah terlibat dalam
proses penumbukan beras atau pada saat proses menguleni adonan
ragi. Dia hanya akan turun tangan pada saat proses pencampuran
gula, air, dan ragi pada saat proses pembuatan tahap akhir.
Ragi baram yang dimasak menjadi baram tidak hanya dapat
dipanen sekali saja. Secara teknis ragi baram dapat diproses menjadi
baram setelah digunakan maksimal sebanyak tiga kali pemakaian atau
selama bentuk fisik ragi masih baik dan tidak pecah. Misalnya saja
Mamah Yana menggunakan 10 kg ragi untuk dijadikan baram. Pada
pembuatan pertama, ragi yang telah dicampur air serta gula dapat
disimpan dalam kurun waktu tertentu, misalnya selama 15 hari.
Setelah itu ragi sudah terfermentasi dan berubah menjadi baram yang
siap dijual atau dipanen. Air dari rendaman ragi tersebut diambil dan
disaring lalu dimasukkan ke dalam wadah. Ragi yang masih tertinggal
di dalam ember masih dapat digunakan untuk membuat baram
dengan cara yang sama, yakni menambahkan air dan gula.
Proses membuat ulang baram dengan menambahkan air dan
gula pada ragi yang pernah digunakan disebut dengan anding atau
menganding. Untuk menghasilkan baram yang berkualitas baik maka
jumlah maksimal menganding adalah tiga kali. Jika dilakukan lebih

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 73
dari itu baram akan terasa tidak enak atau masam. Selain itu ragi
yang telah rusak atau pecah juga pantang untuk di-anding lagi karena
juga dapat memperburuk kualitas baram. Perbedaan antara anding
pertama dan seterusnya hanya terletak pada waktu perendaman
atau pemasakan yang lebih singkat dari proses sebelumnya. Hal itu
dikarenakan ragi pada anding ke dua atau ke tiga telah mengalami
proses fermentasi yang sempurna sehingga waktu yang dibutuhkan
untuk anding berikutnya lebih sedikit. Misalnya anding pertama
adalah ragi yang direndam selama 15 hari, maka anding yang ke dua
bisa dipanen dalam waktu 10 hari, dan anding ke tiga bisa dipanen
dalam waktu lima hari saja.
Karena antara anding pertama sampai dengan anding ke
tiga masa panennya terbilang relatif lama, maka Mamah Yana
tidak hanya membuat baram di dalam satu ember saja. Dia dan
suaminya membuat baram di dalam dua buah ember dengan waktu
awal pembuatan yang berbeda. Dengan cara itu panen baram bisa
lebih diatur dengan jangka waktu yang tidak terlalu lama dengan
frekuensi yang lebih sering. Hal itu berimplikasi secara langsung pada
pendapatan dan perputaran modal yang digunakan untuk pembelian
bahan baku baram. Pengeluaran atau modal terbesar adalah pada
saat membeli bahan baku utama berupa beras, gula, sedangkan
sebagian kecil bumbu seperti kayu manis (bumbu yang lain biasanya
ditanam sendiri di kebun atau halaman rumah) untuk membuat ragi.
Pembelian tersebut bisa dikatakan sebagai modal untuk pembuatan
anding pertama saja karena dibutuhkan bahan baku beras untuk
membuat ragi. Sedangkan pada anding berikutnya hanya perlu
mengeluarkan modal untuk belanja gula.
Bisa dikatakan pada anding pertama Mamah Yana tidak akan
mendapatkan laba karena hasil penjualan dari anding pertama
digunakan untuk mengembalikan modal belanja bahan baku. Pada
anding ke dua dan ke tiga itulah Mamah Yana dan kebanyakan penjual
baram yang lain memperoleh laba. Kalkulasi laba tersebut berasal dari
hasil penjualan pada anding ke dua dan ke tiga dikurangi pengeluaran

74 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
untuk membeli gula. Dari hasil penjualan baram tersebut Mamah
Yana dan suaminya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Tetapi ada kalanya mereka berdua tidak memiliki cukup uang untuk
sekedar membeli sayur untuk makan. Jika sudah seperti itu, biasanya
Mamah Desi atau Om Iman yang akan membantu meringankan
beban dengan memberi sepotong ikan atau seikat sayur. Demikian
juga sebaliknya, terkadang kami juga melihat Mamah Yana membagi
bahan makanannya kepada Mamah Desi atau Om Iman.
Baram adalah mata pencaharian utama Mamah Yana dan
suaminya, sedangkan berladang padi dianggap sebagai pekerjaan
sampingan yang dilakukan ketika sedang tidak membuat baram. Hasil
padi yang mereka panen tidak akan dijual karena digunakan sebagai
sumber makanan utama mereka sehari-hari. Praktis satu-satunya
sumber pemasukan keuangan hanya dari baram. Mamah Yana dan
suaminya berkata jika selama ini tidak memiliki kendala yang berarti
mana kala memasarkan baram buatan mereka. Tidak perlu strategi
pemasaran khusus atau iklan, dan tidak perlu memikirkan pesaing
lain yang jumlahnya bisa jadi banyak sekali hanya untuk memasarkan
baram. Suami istri tersebut dengan kompak berkata “Mereka
(pembeli) yang datang sendiri kesini (ke rumah) cari baram”.
Pembeli baram buatan Mamah Yana memiliki latar belakang
yang bervariasi. Beberapa di antaranya adalah tetangga dekat dengan
berbagai tingkatan umur, dari pelanggan yang tergolong berusia
dewasa sampai dengan pelanggan yang masih di bawah umur. Mamah
Yana dan suaminya memang tidak memilih kepada siapa saja mereka
bisa menjual baramnya. Mereka adalah pelaku bisnis dan memang
menggantungkan hidupnya dari baram. Membatasi pelanggan sama
halnya dengam membatasi jumlah pendapatan mereka. Mamah Yana
adalah representasi dari penjual baram untuk tujuan komersil.
Jika ada pembuat baram komersil, adakah pembuat baram
untuk tujuan non-komersil? Ya, ada. Di Desa Danum Simak Harum
baram non-komersil dibuat untuk tujuan yang sifatnya religius, yaitu
untuk syarat ritual adat atau agama Kaharingan. Baram untuk tujuan

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 75
tersebut sebenarnya juga bisa dibeli kepada para penjual baram
komersil, namun ada juga yang memilih untuk membuatnya sendiri.
Adalah Tambi Mahtari, seorang pisur perempuan dan sudah lanjut
usia yang lebih sering membuat sendiri baram untuk keperluan
ritualnya. Dia adalah penganut Kaharingan yang taat dan masih
sering memimpin ritual adat atau ritual agama di Desa Danum Simak
Harum. Usianya yang sudah lanjut tidak menghalangi dirinya untuk
masih melayani umat Kaharingan yang membutuhkan jasanya, tetapi
dengan jujur dia berkata jika aktivitasnya tidak sepadat seperti ketika
dia masih muda dulu.
Tambi biasanya menyiapkan sendiri sebagian besar perleng­
kapan ritual yang dipimpinnya, termasuk juga beberapa sesaji yang
diperlukan misalnya baram. Ada kalanya baram disiapkan oleh
si penyelenggara ritual, tetapi jika tambi sedang memiliki energi
berlebih, dia akan membuatnya sendiri dengan dibantu oleh anak,
kerabat, dan tetangga dekat. Kami sungguh beruntung karena pernah
melihat secara langsung proses pembuatan baram yang dibuat oleh
tambi di rumahnya. Saat itu bukan hanya tambi yang turun tangan
menyiapkan segala peralatan dan bahan baku karena beberapa
anak kandung tambi, cucu, kerabat, serta tetangga dekat pun turut
membantu.
Baram yang dibuat tambi pada saat itu berbahan baku 9 kg
beras dan baram tersebut dikerjakan oleh 20 orang perempuan.
Mereka berbagi tugas tanpa harus diarahkan oleh tambi. Semua orang
tampak sudah tahu apa yang mereka bisa kerjakan untuk membantu.
Beberapa orang membawa lisung dan halu dari rumah mereka, dan
beberapa lain membawa anyaman bambu yang digunakan untuk
mengayak butiran beras yang sudah tertumbuk. Suara halu dan lisung
yang bergantian ditumbuk menimbulkan suara khas yang indah, pun
dengan pemandangan handep atau gotong-royong yang kami lihat
waktu itu. Semua orang tampak sibuk dan rela memberikan waktu
serta tenaga hanya untuk membuat baram. Kami sempat melihat
Tambi Mahtari tiba-tiba merapalkan doa di halaman rumah dan

76 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
menabur beras (tawur behas) ke arah atas serta ke segala penjuru
mata angin. Ternyata pada saat itu tambi sedang berdoa kepada
Ranying Hatalla Langit dan memohon agar baram yang dibuatnya
tidak diganggu oleh segala mahkluk halus yang bersifat jahat. Baram
bisa gagal dibuat jika ada gangguan dari mahkluk halus yang bersifat
jahat. Ritual seperti itu tidak pernah kami lihat ketika melihat
pembuatan baram komersil di beberapa tempat.
Handep atau gotong royong yang terjadi tidak melalui un­
dangan atau pemberitahuan terlebih dahulu. Hal itu terjadi secara
alamiah karena mereka tinggal di desa kecil yang masih memegang
tinggi adat dan nilai kekerabatan. Menurut tambi hal itu tidak hanya
berlaku untuk handep pembuatan baram, tetapi juga untuk handep
yang lainnya. Lalu kami bertanya apakah orang yang membantu akan
diberi upah atau imbalan nantinya? Melalui penerjemahnya tambi
menjawab “Ndak, ini kan gotong-royong. Kalau baram yang dijual iya
lah (memberi upah)”.
Meski tidak memberi upah biasanya tambi akan menyajikan
makanan atau minuman sesuai dengan kemampuannya. Pada saat
itu yang tambi sajikan adalah kopi, teh panas, dan seperangkat
sirih pinang. Kami pun turut menikmati sajian tersebut sembari
bercengkerama dengan semua orang. Biasanya minuman disajikan
setelah proses penumbukan baram telah selesai. Setelah itu semua
orang masuk ke bagian dalam rumah dan mengambil posisi masing-
masing untuk membuat adonan ragi hingga membentuknya menjadi
ragi berbentuk gong yang indah.
Pada saat menguleni ragi tersebut peneliti berkesempatan
untuk mengajak tambi mengobrol dengan diterjemahkan oleh salah
satu putrinya. Maklum saja, Tambi Mahtari tidak bisa berbahasa
Indonesia sama sekali. Berapa banyak baram yang biasanya
dibutuhkan dalam satu kali ritual dan digunakan untuk apa saja
baram tersebut? Baram yang dijadikan sesaji dalam suatu ritual adat
atau agama sebenarnya adalah persembahan untuk leluhur, dan
pada ritual basangiang baram dipercaya mampu membantu para

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 77
sangiang untuk turun dari langit. Sangiang adalah sebutan untuk para
pembantu Ranying Hatalla Langit. Baram yang dikonsumsi oleh pisur
yang sedang memimpin ritual basangiang sesungguhnya diminum
juga oleh roh sangiang yang masuk ke dalam tubuh pisur. Jadi bisa
dikatakan bahwa pisur yang sedang memimpin ritual basangiang
adalah pisur yang sedang trance atau kerasukan.
Baram yang digunakan untuk inti dari ritual sebenarnya ter­
gantung dari berapa lama ritual tersebut dilaksanakan. Jika tujuan
ritual belum tercapai dan sangiang belum memberi petunjuk yang
sesuai dengan harapan, maka pisur dipastikan akan meminum
baram lebih banyak seiring durasi ritual yang juga semakin panjang.
Itu berarti jumlah baram yang dibutuhkan pun juga lebih banyak.
Karena hal itu juga Tambi Mahtari yang sudah berusia lanjut terpaksa
masih mengkonsumsi baram. Perannya sebagai pisur yang harus
konsisten menjalankan ritual sesuai dengan tata cara yang ia yakini
membuatnya tetap meminum baram. Di satu sisi tambi sudah merasa
tubuhnya sudah tidak sekuat dulu lagi ketika tersentuh baram, karena
kini tambi sudah merasakan sakit di bagian dada. Namun apa daya,
tradisi dan ketetapan adat serta agama harus dia jalankan dengan
baik apapun resikonya.
Walaupun ritual bisa saja menghabiskan banyak baram, namun
baram yang tambi buat secara kuantitas amatlah banyak dan bisa
digunakan untuk beberapa kali ritual. Tambi sendiri mengakui jika
sekarang ini pamornya telah turun sehingga pekerjaan sebagai pisur
bisa dikatakan sudah sangat jarang ia lakukan, sehingga satu kali
ritual yang dia lakukan tidak akan bisa menghabiskan semua baram
yang telah dibuatnya. Sejak dari dulu tambi selalu memiliki kelebihan
baram yang disisakan untuk keperluan ritual. Baram tersebut
dikonsumsi oleh keluarga atau kerabatnya, sedangkan dia sendiri
berusaha membatasi diri untuk tidak minum baram di luar tugasnya
sebagai pisur. Terkadang ada orang lain yang datang ke rumahnya
untuk membeli baram buatannya meskipun tambi sendiri bukanlah
penjual baram.

78 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Biasanya orang yang ingin membeli baram adalah orang yang
berasal dari desa lain yang sedang membutuhkan minuman tersebut
untuk suatu acara. Walaupun terkadang tambi masih memiliki
baram dalam jumlah banyak dia tetap tidak bersedia menjual baram
buatannya dengan alasan dia bukanlah penjual baram. Tambi me­
negaskan jika dia hanya membuat baram untuk tujuan ritual dan
konsumsi pribadi saja. Jika ternyata orang yang datang mencari
baram padanya sangat membutuhkan baram maka tambi hanya akan
memin­jamkan baram itu, dan meminta agar suatu saat orang itu akan
mengembalikan pinjamannya dalam bentuk baram juga. Tambi juga
berprinsip tidak akan memberikan baram miliknya pada anak-anak
yang masih duduk di bangku sekolah. Lewat penerjemahnya tambi
berkata “Anak sekolah ndak boleh minum baram”.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 79
BAB 5
SEJUTA CERITA DALAM SEGELAS BARAM

5.1. Mihup Baram, Musik Dangdut, dan Tawa


“Kumanayokuman” ajakan makan itu mulai akrab di telinga
kami. Kuman adalah bahasa Katingan yang berarti makan. Biasanya
setiap kali ada kegiatan menumbuk beras untuk dijadikan indang rahi
(ragi biang) pembuat baram, tuan rumah akan menyajikan makanan
dan minuman sesuai dengan kemampuan mereka. Ada kalanya
yang tersaji adalah teh atau kopi panas dan manis. Ada kalanya juga
ada nasi, lauk, sayur, dan kalau beruntung ada baram. “Bagaimana
rasanya?” Pertanyaan itu selalu muncul setiap kali mencicipi baram di
depan orang lain. Sebagai orang yang awam membedakan rasa baram
yang enak dan tidak enak selalu mencoba menjawabnya dengan
jawaban yang netral, biasanya kami menjawab “manis dan hangat”.
Rasa baram yang pertama kali dapat dikecap indera perasa kami
memang manis, selanjutnya ada selingan rasa pahit, lalu rasa kuat
alkohol yang serta merta menghangatkan lidah, tenggorokan, bahkan
sampai ke perut. Rasa hangat itu bertahan selama beberapa menit
di bagian tubuh yang dilewati baram. Sensasi itu dirasakan untuk
sekali atau dua kali tegukan baram. Ketika suatu kali menegak sampai
dengan setengah gelas berukuran sedang (sekitar 75 ml), sensasi
yang dirasakan bukan lagi rasa hangat tetapi mulai berubah menjadi
sensasi rasa yang sedikit panas di tubuh.
Secara pasti tidak tahu berapa kadar alkohol dari semua
baram yang pernah kami coba, dan tidak ada satu pun orang yang
tahu termasuk juga para pembuatnya. Hanya saja, ada beberapa

81
perbedaan rasa baram yang dapat dijadikan ukuran untuk melihat
mana baram yang kadar alkoholnya lebih tinggi daripada baram yang
lain. Pertama, dapat dilihat dari rasa baramnya. Baram yang semakin
terasa pahit, adalah baram yang kadar alkoholnya lebih tinggi karena
biasanya telah semakin lama disimpan atau difermentasikan oleh
pembuatnya. Kedua, baram akan terasa semakin kuat aroma ‘tapai’-
nya.
Baram memiliki aroma fermentasi seperti air tapai yang ber­
bahan dasar beras ketan, dan aroma ini biasanya akan semakin kuat
ketika kadar alkoholnya semakin tinggi. Beberapa orang yang kami
temui setuju jika rasa baram yang semakin pahit adalah baram yang
kadar alkoholnya semakin tinggi, mereka berkata “itu cepat bikin
mabuk”. Untuk baram dengan rasa pahit lebih banyak disukai oleh
kaum laki-laki. Sebaliknya baram yang terasa manis lebih banyak
disukai oleh kaum perempuan karena rasanya lebih nikmat. Sayangnya
baram dengan rasa manis dianggap dapat menimbulkan sakit kepala.
Baram sebagai minuman tradisional memiliki tempat dalam
berbagai peristiwa kehidupan masyarakat Katingan. Sebagian dari
peristiwa tersebut terkait dengan keyakinan Kaharingan, di mana
baram dianggap memiliki fungsi yang sakral. Baram, misalnya, digu­
nakan dalam ritual keagamaan atau sebagai sesajen yang diletakkan
di patahu (bangunan rumah-rumahan kecil yang diyakini sebagai
tempat bersemayam dewa-dewa pelindung kampung atau rumah)
atau pambak (makam).
Selain dalam konteks sakral, baram juga dikonsumsi dalam
berbagai kesempatan lain yang tidak berhubungan dengan kegiatan
keagamaan, misalnya acara adat, pesta, maupun acara kumpul
kerabat dan tetangga yang sifatnya kasual dan tidak direncanakan
Perlu juga dicatat bahwa penggunaan baram dalam konteks profan
ini lebih sering dijumpai di tengah masyarakat Desa Danum Simak
Harum, ketimbang konsumsi baram dalam konteks sakral.
.Dalam konteks profan, baram dikonsumsi untuk kesenangan
atau perayaan. Hal itu terkait dengan rasanya yang enak dan efeknya

82 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
yang membuat seseorang merasa lebih rileks serta percaya diri,
sehingga percakapan dapat mengalir lancar, seperti diutarakan oleh
Kepala Desa Danum Simak Harum di bawah ini.
“Kalau minum baram istilahnya... jadi bisa keluar itu...
kadang pendiam itu... pembicaraan itu bisa lancar. Men­
cairkan suasana, seperti itu... Kalau positifnya kan bisa kita
kumpul sama keluarga, jadi agak rileks lah, gak bisa ada
yang ditutup-tutupi lah... pendapat yang keluar itu bisa
enak begitu lah.”

Percakapan di antara orang-orang yang sedang minum baram,


sekalipun sehari-harinya cenderung pendiam dan tertutup, akan te­
rasa hidup, penuh keceriaan, dan kehangatan. Tak peduli apapun
agama, pekerjaan, dan latar belakang sosialnya, semua bisa turut
bergembira ketika baram sudah bekerja.
Senada dengan pendapat Kepala Desa yang menyebut baram
sebagai salah satu cara mudah memperoleh rasa bahagia. Salah satu
informan kami bernama WS berkata, orang Dayak tidak takut jatuh
miskin. Itulah mengapa ketika mereka mendapatkan uang hasil nyedot
emas atau pekerjaan lain, mereka tak ragu-ragu menghabiskannya
untuk baram atau kesenangan lain. Orang Dayak memiliki sistem
kekerabatan yang erat, dan ketika seseorang mengalami kesulitan,
saudara-saudaranya tidak mungkin membiarkannya kelaparan. Selain
itu, menurut WS, orang Dayak tidak khawatir akan esok hari, karena
mereka yakin, bumi yang mereka pijak adalah bumi yang kaya, di
mana emas masih ada di dalam tanah untuk dicari hari esok.
Seorang ibu di Desa Danum Simak Harum juga sempat berkata,
bahwa hidup adalah untuk dinikmati. Itulah mengapa mereka tidak
enggan mengeluarkan uang untuk minuman atau pesta, selama itu
mendatangkan rasa sukacita.
Dalam acara adat dan pesta, contohnya pernikahan, tuan
rumah biasanya telah menyediakan baram untuk tamu-tamunya
dalam jumlah tertentu. Namun, ada pula baram yang dibawa oleh
para tamu undangan sebagai hadiah, atau yang dibeli secara kolektif

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 83
(pupuan) oleh para hadirin. Adapun dalam acara kumpul-kumpul yang
sifatnya kasual dan tidak direncanakan, baram biasa dibeli secara
pupu oleh orang-orang yang hadir dan ingin ikut minum. Baram
biasanya disimpan dan dibawa dalam jerigen plastik seperti wadah
minyak goreng, kemudian dipindahkan ke teko aluminium atau plastik
untuk dinikmati bersama. Dalam kebanyakan acara minum (mihup/
mangihup) baram, orang-orang akan duduk di lantai membentuk
lingkaran, kemudian satu di antara mereka akan memegang satu gelas
kaca bening beserta teko berisi baram untuk disajikan kepada rekan-
rekan yang lain. Hampir di setiap kesempatan, orang-orang minum
hanya menggunakan satu gelas saja, yang digunakan bersama secara
bergiliran.
Ceker, sebutan yang biasa diberikan kepada penuang baram,
harus memulai sesi mihup dengan menuangkan baram ke gelas untuk
dirinya sendiri. Ia lantas mengangkat gelas berisi baram tersebut,
sambil berkata, “Mula!” disaksikan oleh semua yang ikut minum.
Tujuannya adalah untuk memperlihatkan berapa banyak takaran
yang ia tuang, sambil mengajak orang lain ikut minum bersamanya.
Banyaknya takaran sering dihitung atau diungkapkan dengan satuan
jari, yang mengacu pada tinggi baram yang terlihat setelah dituang
ke gelas kaca bening ketika diukur dengan jari orang dewasa yang
diposisikan horizontal. Biasanya takaran mula adalah setinggi dua
hingga tiga jari, atau sekitar 30-50 ml jika menggunakan gelas yang
kapasitasnya 150 ml.

84 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Gambar 5.1. Seorang ceker di pesta pernikahan menuangkan baram untuk
para tamu yang hadir.

Setelah ceker menghabiskan baram yang ada di gelasnya, ia


lantas menuangkan baram dengan takaran yang sama ke gelas yang
telah ia gunakan tersebut untuk diberikan kepada orang lain yang
duduk di sebelahnya. Setelah ceker selesai menuangkan baram untuk
semua orang yang ikut minum, ia akan kembali menuang baram untuk
dirinya, menandai putaran baru dalam kegiatan minum bergiliran
tersebut. Apabila di tengah sesi mihup ada orang baru yang datang
dan bergabung untuk minum, maka ia harus mengejar ketinggalannya
dari rekan-rekan yang lain dengan minum lebih banyak baram,
misalnya dua atau tiga gelas sekaligus.
Mihup baram tentunya terasa kurang lengkap tanpa obrolan
yang seru, sirih pinang, dan bilamana memungkinkan, alunan musik
dangdut atau houseremix lagu-lagu berbahasa Dayak. Sudah menjadi
hal yang lazim di Desa Danum Simak Harum, acara-acara adat dan
pesta dimeriahkan dengan adanya biduan dangdut yang diiringi

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 85
oleh seorang pemain keyboard, lengkap dengan sound system dan
pembangkit listriknya.

Sumber: Dokumentasi peneliti.


Gambar 5.2. Baram dan musik dangdut selalu membawa keceriaan di tengah
kebersamaan masyarakat desa.

Acara dangdutan, yang merupakan salah satu hiburan utama


bagi masyarakat, bisa berlangsung dua hingga tiga hari jika animo
masyarakat cukup baik. Acara biasa dimulai malam hari hingga
dini hari, lalu dilanjutkan esok paginya. Orang-orang akan datang
ber­bondong-bondong ke lokasi acara dari seluruh penjuru desa,
meskipun hanya untuk melihat dan duduk di pinggir jalan. Siapapun
yang ingin bernyanyi, dipersilakan. Tak jarang, penonton pun memberi
saweran. Seorang ceker akan hadir di tengah-tengah kerumuman yang
sedang berjoget untuk menuangkan baram bagi mereka. Meskipun
tidak duduk membentuk lingkaran, ceker memastikan bahwa semua
orang yang ingin minum mendapatkan baram dan ikut bersenang-
senang.
Di luar konteks pesta, baram juga dinikmati oleh sebagian
orang ketika mereka menghabiskan waktu senggang, dan tidak
direncanakan sebelumnya. Menurut beberapa informan di desa yang

86 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
berasal dari luar Kabupaten Katingan, hal ini terutama sering dijumpai
di Kabupaten Katingan. Adapun di kabupaten-kabupaten lain, baram
yang dikenal dengan istilah tuak hanya dikonsumsi dalam jumlah
terbatas untuk ritual keagamaan atau acara adat.
Di Desa Danum Simak Harum sendiri, mihup baram di waktu
senggang cukup sering dijumpai, terutama di daerah hulu dan tengah
desa. Berawal dari beberapa orang tetangga atau kerabat yang
berbincang bersama, suasana yang akrab lantas berkembang dengan
adanya musik dangdut dari telepon genggam atau pemutar musik
serta satu atau dua liter baram. Perbincangan yang semakin hangat
kemudian berubah jenaka seiring beberapa orang mulai mabuk. Saling
tunjuk wajah satu sama lain yang mulai memerah, atau aksi jenaka
beberapa orang yang mulai berjoget atau melawak, melahirkan gelak
tawa di antara semua yang hadir.
Keesokan harinya, pengalaman mabuk tersebut akan menjadi
cerita menarik. Beberapa orang bercerita dengan bangga mengenai
berapa banyak baram yang mampu ia habiskan, dan bagaimana
rekannya menyerah lalu terkapar sedangkan ia masih kuat. Beberapa
orang lain bercerita mengenai kisah-kisah lucu yang terjadi ketika
orang-orang mulai mabuk.
Kadang, kerabat dari desa lain yang sedang berkunjung ikut
pula dalam acara mihup baram di desa, dan disuguhi baram terus-
menerus hingga mabuk berat. Karena kisahnya lantas menyebar dan
ia merasa kalah serta dipermalukan, kali berikutnya, ketika orang
yang mengajaknya minum datang ke desanya, maka ia akan gantian
menyuguhi baram hingga orang tersebut mabuk berat, sebagai wujud
balas dendam.
Meskipun hal tersebut tampaknya sering dilakukan hanya
sebagai lelucon, namun perilaku minum baram hingga mabuk berat
tersebut tetap memiliki potensi dampak negatif yang besar bagi
kesehatan individu. Ada pula beberapa orang yang akhirnya jadi malas
berkunjung ke desa tetangga sendirian karena sudah tahu ia pasti
akan diajak minum hingga mabuk.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 87
Menolak tawaran minum baram bukanlah perkara mudah
bagi sebagian orang, terutama mereka yang sudah pernah ikut
minum sebelumnya. Bahkan, pada suatu kesempatan, peneliti per­
nah dihadang oleh sekelompok ibu-ibu yang sedang minum dan
berpesta ketika bersepeda melintasi jalan di depan rumah mereka.
Meskipun sudah menolak secara halus dengan alasan sakit maag dan
menyentuh gelas baram yang disuguhkan sebagai tanda menghargai
tuan rumah (dikenal dengan istilah puse-puse), tetap saja ibu-ibu
tersebut menyuruh kami minum dan tidak membiarkan kami lewat
sebelum satu gelas baram kami habiskan.
Memang, dalam budaya masyarakat setempat, menolak
makanan yang ditawarkan atau diberikan orang lain secara tulus
buka­lah hal yang baik. Hal tersebut dapat mendatangkan pahuni
(malapetaka), seperti misalnya kecelakaan di jalan atau tertimpa
kemalangan lain. Namun sesungguhnya, pahuni dapat dicegah
dengan puse-puse, yaitu dengan menyentuh wadah tempat makanan
disajikan lalu menyentuh telinga sendiri. Hanya pada kasus tertentu
saja, misalnya ketika tuan rumah bersikeras seperti pengalaman di
atas, pemberian tuan rumah tidak dapat ditolak.
Cara lain yang juga efektif untuk menolak baram menurut
beberapa orang adalah dengan mengatakan bahwa kita baru saja
minum obat dokter, sehingga tidak diperkenankan minum alkohol.
Atau, jika sedang berada di antara sekelompok orang yang sedang
minum, segera mohon pamit dan tinggalkan kerumunan tersebut.
Berdasarkan pengamatan, orang-orang yang usianya sudah tua,
orang-orang yang mengalami sakit kronis, serta orang-orang yang
lebih disegani karena posisi dan latar belakangnya akan lebih mudah
menolak tawaran untuk minum baram.

5.2. Minuman Para Roh


Peneliti sering bersepeda untuk melihat situasi desa serta
menyapa orang-orang yang di jumpai. Apa yang melekat erat dalam
benak ketika menyusuri Desa Danum Simak Harum adalah derasnya

88 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Sungai Katingan, keramahan masyarakat, dan indahnya patahu yang
banyak terlihat di depan rumah masyarakat. Patahu adalah sebuah
pondok kecil atau rumah panggung kecil yang menurut kepercayaan
dihuni oleh para leluhur (semacam dewa dewi) penjaga. Patahu bisa
dibangun di depan rumah, atau bisa dibangun di suatu tempat di
tengah kampung. Patahu yang dibangun di tengah kampung disebut
dengan patahumahagalewu (penjaga kampung).
Patahu kampung digunakan untuk ritual-ritual umat
Kaharingan, misalnya dalam ritual membayar hajat, atau ritual doa
me­­mo­hon agar permintaan mereka dikabulkan oleh Ranying Hatala.
Di sekitar patahumahagalewu Desa Danum Simak Harum terdapat
pemandangan yang tidak biasa, yaitu adanya beberapa patung kayu
berukuran kecil yang ditanam di tanah, dan beberapa buah batu.
Patung-patung kecil tersebut tampaknya terbuat dari kayu ulin karena
konon sudah berusia tua. Patung itu disebut dengan patungulpatahu
dan tampak terdapat ukiran di bagian kepala serta wajah patung.
Sekilas patung mirip dengan manusia dan berdasar informasi dari
seorang pisur yang tidak diketahui namanya ,semua patung memiliki
nama serta tugas masing-masing, dan dibedakan menjadi patung laki-
laki serta patung perempuan.
Di bagian depan dan di samping patahu tumbuh subur pohon
sawang. Peneliti sering melihat pohon sawang di Jawa, dan di Jawa
daun pohon sawang biasa digunakan untuk menghias keranda
jenazah orang yang telah meninggal dunia. Dalam kepercayaan umat
Kaharingan, pohon sawang adalah pohon keramat yang memiliki
daya magis. Pohon ini bisa menjadi pelindung dan penjaga dari
marabahaya. Karena sebab itulah pohon sawang selalu dapat ditemui
bukan hanya di sekitar patahu, tetapi juga hampir di semua halaman
rumah orang Dayak baik yang masih memeluk Kaharingan atau sudah
berpindah keyakinan ke agama lain.
Di Desa Danum Simak Harum baram mudah sekali dijumpai
di rumah pembuatnya dan terkadang kita bisa melihat baram yang
dijadikan sesaji di dalam sebuah patahu di depan rumah warga atau

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 89
patahu kampung. Di dalam patahu terdapat berbagai macam sesaji.
Ada berbagai rupa makanan yang disajikan beralaskan piring kaca,
ada juga beberapa jenis minuman seperti kopi, air putih, dan baram
yang disajikan di dalam gelas.
Baram memiliki posisi yang istimewa dalam agama Kaharingan.
Baram hampir selalu ada sebagai syarat berjalannya ritual. Selain
itu, baram adalah ethnic boundary, yaitu pengikat yang memiiki
daya rekat luar biasa, ia mampu mempererat hubungan kekerabatan
serta komunitas, bahkan dengan cara tertentu ia juga bisa menjadi
bagian dari resolusi konflik. Itulah mengapa ketika bicara tentang
baram kita tidak melulu bicara tentang minuman beralkohol dan
kemabukan yang ditimbulkannya, tetapi kita juga bicara tentang
baram sebagai social drinking, di mana individu memiliki motif sosial
tertentu saat meneguk baram. Layaknya sebuah keseimbangan
alam, sisi baik baram juga tidak mungkin menjadi satu-satunya yang
menarik perhatian, karena tidak bisa dipungkiri sisi buruknya pun
banyak ditemukan. Hal itu seperti dua sisi mata uang, seperti sebuah
paradoks, antara yang sakral dan yang profan.
Pemakaian baram pada berbagai ritual adat Dayak dan agama
Kaharingan telah lama dilakukan. Tidak ada yang tahu pasti sudah
berapa lama, namun orang Dayak sendiri yakin sejak orang Dayak
tercipta di muka bumi maka pada saat itu juga baram digunakan. Hal
ini seperti yang dikatakan Mamah Imo.
“Kalau Mamah sih nggak tahu ini dari sejak kapan baram
dipakai buat ritual. Tapi kalau Mamah dengar katanya
nenek moyang kami ini sudah pakai baram dari dulu. Ya
sejak ada nenek moyang itu lah baram ini ada. Ya Mamah
nggak tahu itu benar apa nggak, tapi kalau kata nenek
moyang ya begitu”

Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan tersebut, menelisik


apa saja fungsi serta peran baram di ritual yang pernah diikuti di desa
amatlah menarik. Ritual yang pertama kali dilihat adalah ritual yang
terkait dengan upacara penguburan orang Dayak Ngaju Katingan

90 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
yang memeluk agama Kaharingan. Ritual penguburan adalah bentuk
penghormatan kepada orang yang sudah meninggal, dan bagi umat
Kaharingan hal itu juga berarti memuliakan orangtua serta leluhur
mereka. Manifestasi penghormatan itu terwujud dalam ritual Tiwah
dan Napesan.
Peneliti merasa beruntung untuk melihat kedua ritual yang
saling terkait tersebut walaupun tidak secara lengkap. Tujuan utama
peneliti adalah mencari tahu tentang peran baram di dalam kedua
ritual yang kami lihat. Secara garis besar napesan adalah upacara
tiwah yang dilakukan secara langsung. Orang yang sudah meninggal
dunia langsung ditiwahkan dan dimasukkan ke dalam sandung, yaitu
tempat berbentuk kotak yang digunakan untuk menyimpan tulang
belulang orang yang sudah meninggal.
Biasanya orang yang melakukan tiwah napesan adalah orang
yang sudah siap secara finansial karena upacara ini memang meng­
habiskan biaya yang relatif besar, terutama untuk keperluan mem­
persiapkan hewan kurban seperti babi. Tetapi pelaksanaan tiwah
napesan ini sesungguhnya juga untuk menyiasati pengeluaran yang
justru jauh lebih besar jika melaksanakan tiwah yang biasa (tiwah
besar). Sedangkan arti dari tiwah itu sendiriyaitu ritual kematian
tingkat akhir bagi Suku Dayak Ngaju. Ritual tiwah bertujuan untuk
menghantarkan roh orang yang sudah meninggal ke alam baka atau
lewu tatau, dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad
berupa tulang belulang ke dalam sandung.
Peneliti pernah menyaksikan sebagian kecil dari proses napesan
yang terjadi di Desa Danum Simak Harum. Saat itu dilihat hanya
melihat proses di penghujung upara napesan dimana ada seorang
pisur sedang memimpin ritual di dalam rumah keluarga yang sedang
berduka. Pertama kali datang, peneliti disambut oleh seorang
perempuan yang memberikan sebuah gelas berisi baram yang tidak
penuh dan harus meminumnya. Gelas itu adalah gelas yang sama
yang digunakan oleh puluhan orang yang sedang duduk di beranda
rumah yang terbuat dari kayu. Mereka sedang berbincang sembari

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 91
minum baram. Sebagian besar dari mereka sudah mabuk dan
berbicara di luar kontrol. Ternyata sebagian besar dari mereka semua
sudah berada di tempat itu dan terjaga sejak malam sebelumnya.
Ketika masuk ke dalam rumah, ada seorang pisur yang sedang berdoa
dengan disaksikan oleh semua keluarga yang duduk di lantai kayu.
Ada suara gong yang dibunyikan dengan nada monoton nan mistis.
Di bagian tengah tersaji perapen (perapian) yang menyala, berupa-
rupa sesaji yang terdiri dari kepala babi, potongan daging babi, ayam
yang telah dimasak, berupa-rupa olahan beras seperti lemang, beras,
baram dan lain sebagainya.
Selain napesan, Peneliti juga berkesempatan menyaksikan
upacara tiwah yang dilakukan secara massal di Desa Tumbang
Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei pada tangal 1 sampai dengan
3 Juni 2016. Buku ini tidak akan membahas upacara ini secara
keseluruhan karena pada dasarnya peneliti hanya ingin mengobservasi
fungsi dan peran baram (atau minuman beralkohol lain) yang ada
di upacara tiwah tersebut. Perlu diketahui upacara tiwah yang
dilaksanakan menggunakan adat DAS Kahayan yang secara teknis
berbeda dengan DAS Katingan. Perbedaan yang paling mencolok pada
kultur DAS Kahayan adalah ritual dipimpin oleh Balian, sedangkan
dalam kultur DAS Katingan pemimpin ritual adalah Pisur.
Hewan kurban yang digunakan untuk tiwah massal yang kami
saksikan berupa puluhan sapi, kerbau, dan babi. Tiwah ini juga disertai
dengan pendirian sapundu, sandung, dan persiapan lainnya. Tiwah
ini menghabiskan biaya yang besar maka dari itu harus dipersiapkan
secara matang. Namun beruntungnya biaya tiwah massal disokong
oleh pemerintah yang juga memiliki misi menjadikan event tiwah
massal sebagai daya tarik wisata budaya Kabupaten Katingan. Pada
dasarnya semakin banyak individu yang akan ditiwah, maka makin
besar juga biaya yang dikeluarkan.
Biasanya persiapan untuk tiwah sangat lama, bisa sampai
berbulan-bulan dengan tahapan-tahapan yang panjang. Secara garis
besar tahapan-tahapan tersebut dimulai dengan menggali kubur yang

92 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
akan ditiwah, memanggil arwah yang akan di-tiwah, manambang
laluhan atau menyambut orang dari kampung lain yang mengantar
sumbangan, dan manganjan atau menari mengelilingi sapundu
(patung kayu yang terbuat dari kayu, dahulu yang dipakai adalah
kayu ulin yang dibuat semirip mungkin dengan manusia yang telah
meninggal). Hari selanjutnya, dilakukan pengikatan sapi atau kerbau
di sapundu, melakukan pemotongan hewan kurban dan manganjan,
dan membuka baram pali.
Tiwah diakhiri dengan memasukan tulang ke dalam sandung
dan hal itu menunjukkan upacara tiwah telah selesai dan arwah telah
sampai ke lewu tatau. Dalam upacara tiwah massal yang disaksikan,
baram tidak didapatkan dalam kuantitas yang besar. Sebagian besar
baram yang dilihat adalah bagian dari laluhan pemberian desa lain,
yang justru menarik baram dihabiskan oleh pengirim laluhan tersebut.
Minuman beralkohol lain yang dijumpai adalah bir, dan minuman ini
lah yang paling banyak dijumpai untuk menjamu tamu tiwah.
Tidak ada banyak baram yang terlihat, dan itu jelas di luar
ekspektasi awal sebelum datang. Bir menjadi minuman yang jamak
ditemukan pada saat itu, terutama di lingkungan internal tuan rumah
tiwah massal tersebut. Hal itu ternyata bukanlah suatu kebetulan
karena ada beberapa larangan yang ditetapkan oleh pihak terkait
untuk menjaga kelancaran acara tiwah. Larangan tersebut disebut
dengan pali. Salah satu larangan yang tercantum dalam daftar pali
adalah larangan peredaran minuman keras termasuk baram di area
tiwah. Praktis baram yang ditemukan di upacara tiwah selain pada
saat laluhan hanyalah baram pali yang tidak sempat peneliti lihat.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 93
Sumber: Dokumentasi peneliti.
Gambar 5.3. Baram dalam acara laluhan yang merupakan bagian dari
rangkaian upacara tiwah, diminum dari tanduk kerbau.

Istilah baram pali sudah pernah kami dengar selama di Desa


Danum Simak Harum. Baram ini secara fisik adalah baram biasa yang
sama seperti baram yang dikonsumsi sehari-hari untuk acara minum
kasual atau pun ritual adat dan agama. Yang membuat berbeda
adalah nilai dari baram tersebut, serta kapan baram tersebut bisa
diminum dan untuk tujuan apa. Baram pali adalah baram yang
bersifat sakral yang digunakan sebagai persembahan untuk leluhur
saat ritual dilaksanakan. Baram pali itu disimpan di suatu wadah
tertentu, misalnya di dalam sebuah balanga atau guci sampai ritual
selesai dilakukan. Jika semua ritual telah selesai dilakukan, baram
pali bisa dibuka untuk diminum bersama-sama (luput pali). Baram
pali ini dibuat dengan kuantitas yang terbatas dan memang hanya
diperuntukkan bagi persembahan pada saat ritual saja.
Dahulu baram pali ini lah yang kerap dijumpai dan ditunggu
setelah ritual selesai. Kuantitasnya yang sedikit hanya memungkinkan
dikonsumsi secara terbatas oleh sedikit orang juga, dan itu lah

94 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
mengapa dahulu tidak ada baram yang dikonsumsi secara masif
dengan kuantitas yang banyak. Hal itu berimplikasi pada sedikit
saja orang yang mabuk pada saat terjadi ritual agama atau adat.
Kondisi itu berbeda dengan masa kini, di mana mudah sekali untuk
menemukan baram yang dikonsumsi secara masif oleh masyarakat
karena peredarannya yang sulit dikendalikan. Baram pali adalah
representasi dari nilai transendental baram yang sesungguhnya, dan
contoh yang baik untuk menggambarkan bagaimana seharusnya
seorang individu mengkonsumsi baram dengan memperhatikan nilai-
nilai yang diwariskan oleh leluhur.

Sumber: Dokumentasi peneliti.


Gambar 5.4. Baram pali disimpan dalam guci dan tidak boleh dibuka hingga
upacara adat selesai.

Kembali berbicara tentang ritual yang pernah dilihat atau ikuti


di Desa Danum Simak Harum. Selain napesan dan tiwah, peneliti
juga pernah melihat ritual bayar hajat yang diadakan di hulu. Bayar
hajat adalah ritual lanjutan dari bahajat yang dilakukan oleh umat
Kaharingan. Bahajat sendiri adalah ritual doa yang dihaturkan kepada
Ranying Hatalla Langit untuk memohon sesuatu, misalnya memohon
keselamatan atau kesembuhan di kala sakit, memohon kesuksesan
kala di perantauan, memohon kenaikan pangkat dan lain-lain. Ritual

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 95
doa ini dilakukan di patahu dengan menyertakan berbagai sesaji yang
diperlukan, dan salah satu sesajinya adalah baram.
Permohonan doa dilakukan secara sungguh-sungguh dan
mereka berjanji untuk memberikan sesuatu sebagai ungkapan terima
kasih kepada Ranying hatalla jika doa mereka dikabulkan. Misalnya
seorang Ibu memohon kesembuhan atas penyakit menahun yang
diderita anaknya kepada Ranying hatalla melalui ritual bahajat.
Sang Ibu berjanji jika suatu saat anaknya sembuh, maka dia akan
mengadakan ritual bayar hajat dengan menyembelih seekor babi
besar sesuai dengan janji yang pernah diucapkannya. Jika janji ini
tidak dibayar, maka suatu saat sakit dari anak tersebut bisa kembali
datang, atau kemalangan akan menimpa si anak.
Ritual bayar hajat yang kami ikuti ternyata juga sebagai per­
wujudan terima kasih kepada Ranying hatalla karena ada salah satu
anggota keluarga penyelenggara ritual yang telah diangkat sakitnya.
Sesuai dengan janji yang pernah terucapkan, kala itu mereka mengur­
bankan seekor babi sebagai persembahan kepada Ranying hatalla.
Ritual bayar hajat intinya adalah ucapan syukur kepada Tuhan dan
membayar janji yang telah diucapkan. Konsep ritual bayar hajat ini
amat mirip dengan konsep bayar nazar pada agama Islam yang intinya
juga membayar janji kepada Tuhan.
Ritual bayar hajat dipimpin oleh pisur. Ritual ini bukan hanya
melibatkan keluarga inti penyelenggara ritual, tetapi juga keluarga
luas dan relasi. Tidak heran ritual ini juga menjadi ajang temu keluarga
dan begitu ramai oleh tamu undangan serta pengunjung. Saling
menyumbang juga terjadi di sini. Keluarga, kerabat, atau tetangga
yang datang biasanya memberikan sumbangan bahan makanan,
minuman, dan juga sumbangan tenaga. Sumbangan yang terakhir ini
terwujud dalam bentuk handep atau gotong-royong yang kompak.
Tanpa adanya koordinasi formal dan permintaan secara pribadi,
tetangga atau kerabat baik laki-laki maupun perempuan datang
untuk membantu persiapan ritual. Dimulai dari menari kayu bakar,
memasak, menyiapkan sesaji, sampai dengan bersih-bersih setelah

96 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
ritual selesai. Bukan hanya tetangga dan kerabat dari dalam desa
yang datang, tetangga serta kerabat dari luar desa pun datang dengan
membawa sumbangan. Kami melihat beberapa orang dari desa lain
membawa sekarung beras dan satu jerigen baram buatan mereka
sendiri.
Selain menyumbang bahan makanan tersebut, mereka juga
bergabung untuk membantu persiapan ritual dan mengerjakan
apapun yang bisa mereka kerjakan. Di bagian dapur kami melihat
beberapa tungku yang digunakan untuk memasak air, nasi, ketupat,
sayur, dan daging. Tungku berukuran besar dengan alat masak yang
juga besar dan berat diambil alih oleh para laki-laki. Tenaga mereka
yang dianggap lebih kuat dirasa tepat untuk melakukan pekerjaan
berat itu.
Kaum perempuan lebih banyak mengambil alih pekerjaan
yang lebih ringan seperti mengupas serta membersihkan sayur, me­
nyiapkan bumbu, membersihkan piring serta gelas, membakar
lemang, membuat ketupat, dan membuat kue. Di bagian depan
rumah yang biasanya digunakan untuk lokasi ritual, ada dua orang
pisur dan beberapa orang laki-laki yang menyiapkan perlengkapan
ritual dan sesaji. Selain mempersiapkan sesaji, makanan serta
minuman, ada sebagian kecil orang yang khusus memberi perhatian
kepada persiapan yang lain seperti mengatur kursi di depan rumah,
berlatih musik dengan gong, dan mempersiapkan acara hiburan untuk
para tamu.
Menurut pisur muda bernama Rafi (25 tahun) yang pernah kami
temui, sesaji bahajat dan bayar hajat tidaklah jauh berbeda. Dalam
ritualbahajat, sesaji dan kelengkapan yang diperlukan secara garis
besar adalah telur ayam kampung, ketupat, sirih, pinang, behas tawur
(beras kuning yang terdiri dari beras, kunyit, dan minyak kelapa),
baram, perapen (perapian), garu (dupa), dan sesaji lainnya. Pada
ritual bayar hajat, sesaji ditambahkan dengan lemang dan hewan
kurban sesuai dengan kemampuan. Keberadaan baram pada kedua
ritual tersebut menurut Rafi adalah pilihan, artinya itu bukanlah hal

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 97
yang diwajibkan. Demikian pula ritual Kaharingan yang lain, baram
adalah opsional. Baginya ada atau tidaknya baram pada satu ritual
bukanlah masalah dan ritual masih bisa dijalankan. Pernyataan ini
adalah pernyataan yang kontroversial, dan di luar cerita yang biasa
didengar selama ini terkait dengan baram, ritual, dan Kaharingan. Bagi
kami, hal ini adalah wawasan yang baru. Namun bagi sebagian besar
umat Kaharingan, pernyataan Rafi bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh agama, leluhur, dan Panaturan.

Perbedaan kepercayaan dan simpang siur informasi mengenai


baram dan Kaharingan
Dari sudut pandang religi, baram secara mutlak muncul atas
kuasa dari Ranying hatalla dan itu diyakini oleh sebagian besar
pemeluk Kaharingan. Yang menarik adalah munculnya interpretasi
yang berbeda dari isi Panaturan itu sendiri, yaitu tentang wajib atau
tidaknya baram di dalam ritual adat dan ritual agama Kaharingan. Ada
dua sudut pandang yang tampak dan masing-masing sudut pandang
memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan pendapatnya. Yang
pertama adalah sudut pandang yang meyakini bahwa baram harus
ada dalam setiap ritual adat dan agama Kaharingan, dan tidak bisa
tergantikan oleh minuman lain bahkan yang serupa sekali pun (misal
bir atau anggur dalam kemasan).
Adalah Mamah Yani (45 tahun), Tambi Mahtari (75 tahun),
dan Bue Imo (70 tahun) yang sangat yakin jika baram adalah bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari ritual adat Suku Dayak dan ritual
agama Kaharingan. Mereka paham jika baram tidak disebutkan di
dalam Panaturan, tetapi bahan baku baram yaitu beras sangat sering
disebut. Beras memang unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam
ritual Kaharingan dan tidak terhitung berapa kali beras disebutkan
dalam kitab Panaturan. Beras yang merupakan olahan dari padi
adalah hasil bumi yang memiliki nilai spiritual yang tinggi.
Beras tidak hanya dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan fisik
manusia pada makanan. Lebih jauh lagi, beras adalah penghubung

98 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
antara yang sakral dengan yang profan, antara manusia dengan Tuhan
(Ranying hatalla). Riwut (2003) mengatakan jika beras biasanya
ditaburkan ke udara atau ke atas kepala manusia. Tujuannya adalah
untuk memanggil Putir Selong Tamanang dan Raja Anking Langit sang
pembantu Ranying hatalla. Mereka berdua adalah penguasa padi dan
beras yang bersemayam di dekat Ranying hatalla.
Tingginya nilai spiritual beras membuat Mamah Yani, Tambi
Mahtari, dan Bue Imo yakin jika beras memiliki nilai yang sakral
bukan hanya ketika materi ini berbentuk beras utuh, namun juga
ketika diolah menjadi bentuk lain seperti ketupat, lemang, atau
baram. Makanan berbahan dasar beras itu tidak pernah hilang dari
sesaji yang disiapkan dalam ritual adat dan ritual agama Kaharingan.
Mamah Yani berujar jika beras yang disebut dalam Panaturan
tersebut tidak lain adalah metafora dari baram. Maka dari itu baram
tidak bisa tergantikan oleh apapun dalam ritual adat atau agama yang
dilakukan. Kehadirannya bersifat wajib, dan ia adalah representasi
dari zat transendental. Bagi Mamah Yani, baram tidak dapat diganggu
gugat. Jangankan ditiadakan dalam ritual, melarang peredarannya
adalah suatu tindakan yang salah.
“Pokoknya Mamah sebagai orang Kaharingan sangat tidak
setuju kalau baram ini sampai dilarang. Ini adalah budaya
kami sebagai orang Dayak, sebagai orang Kaharingan.
Setiap ada ritual pasti ada baram. Memang kami akui kami
sering mabuk karena baram, tapi kami kan tidak ganggu
orang”.

Sudut pandang kedua meyakini jika baram tidak harus selalu


ada di dalam ritual adat dan agama Kaharingan. Artinya baram
bukanlah syarat wajib untuk memulai suatu ritual. Ada atau tidaknya
baram tidak berpengaruh kepada keberlangsungan ritual. Baram bisa
digantikan oleh minuman lain sesuai dengan ketersediaan. Pandangan
itu diutarakan oleh Rafi yang sempat mengenyam pendidikan di
sebuah perguruan tinggi swasta di Palangkaraya. Dia berkata:

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 99
“Sebenarnya itu (baram) bukan wajib. Itu dulu kan
maksudnya kita ini kan minum baram untuk menghormati
leluhur. Nah rasanya kan ndak enak kalau leluhur cuma
lihat saja kita minum, jadi ibaratnya ya kita kasih leluhur
itu dengan cara menyediakan baram pas saat ritual”

Rafi memiliki sudut pandang di luar pakem yang diyakini


kebanyakan penganut Kaharingan. Dia dengan tegas mengatakan
baram bukanlah syarat wajib. Sudut pandang ini dianggap tidak lazim
bagi Mamah Yani, Tambi Mahtari, dan Bue Imo yang termasuk dalam
generasi yang lebih tua daripada Rafi. Bahkan dia juga membuka
pikirannya dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan,
misal­nya tentang adanya kemungkinan bahwa baram merupakan
pengaruh bangsa lain yang menjalin hubungan dengan Suku Dayak
sejak lama. Terlepas dari dua pandangan yang saling berseberangan
tersebut, kami tidak akan mencari pendapat manakah yang paling
tepat. Keduanya memiliki keyakinan yang dipegang erat dan dianggap
sebagai suatu kebenaran.

5.3. Baram di Tengah Kaum Muda


Berbagai studi di negara maju telah menunjukkan bahwa
konsumsi alkohol yang dimulai di usia kurang dari empatbelas
tahun berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya adiksi dan
penyalahgunaan alkohol ketika dewasa, kecelakaan lalu lintas terkait
alkohol, serta cedera lainnya. Temuan tersebut berhubungan dengan
kecenderungan anak-anak dan remaja untuk minum alkohol dalam
jumlah banyak (binge drinking) dan terlibat dalam perilaku berbahaya,
seperti berkendara saat mabuk, bunuh diri, penggunaan narkotika
dan obat-obat terlarang, serta kekerasan seksual. Selain itu, penelitian
juga memperlihatkan bahwa paparan alkohol di masa kanak-kanak
dan remaja berkaitan dengan abnormalitas struktur serta fungsi
otak yang sedang berkembang, yang berhubungan dengan buruknya
kemampuan belajar, berpikir kritis, memori, pertimbangan rasional
serta perilaku sosial (Dasgupta, 2011). Karena itulah, konsumsi baram

100 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
di kalangan anak-anak dan remaja merupakan masalah kesehatan
yang perlu mendapat perhatian khusus.
Di Desa Danum Simak Harum, kebanyakan orang tua setuju
bahwa minuman beralkohol tidak seharusnya dikonsumsi oleh anak-
anak dan remaja. Akan tetapi, setiap orang tua memiliki pandangan
yang berbeda mengenai batas usia larangan minum tersebut.
Sebagian orang tua menggunakan usia lulus SMP sebagai patokannya,
sebagian lain usia lulus SMA. Ada yang menganggap bahwa alkohol
boleh dikonsumsi remaja asalkan sudah bisa bekerja dan mencari
uang sendiri. Ada pula yang di depan mata kami mengizinkan anaknya
yang masih TK mencicipi baram.
Kendati demikian, kebanyakan orang tua setuju bahwa
konsumsi baram oleh remaja usia SMP dan anak usia SD merupakan
hal yang kurang baik, sehingga di kelompok usia tersebut, baram
biasanya dikonsumsi dengan diam-diam tanpa sepengetahuan orang
tua. Bahkan di acara adat maupun pesta- di mana orang tua minum
baram sampai mabuk, anak-anak yang hadir bersama orang tuanya
pun biasanya tidak ikut minum. Wawancara kami dengan beberapa
guru dan orang tua mendukung hasil pengamatan kami tersebut.
Berikut adalah kutipan dari wawancara kami dengan seorang guru
SMP dan seorang guru SD.
Peneliti : “Misalnya lagi ada acara, apakah untuk
anak diberikan (baram) juga?”
Pak Daniel : “Nggak… Kalau orang tua minum tu gak
mau mereka… sembunyi-sembunyi…
misalnya di sini ada tenda orang pesta
tuh, di sana mereka minum… nanti kalau
sudah mabuk baru mereka ke sini…
hahaha”
Istri Pak Daniel : “Baru keluar dari sarangnya… gitu
caranya…”
Peneliti : “Kenapa sembunyi sembunyi?”
Pak Daniel : “Hahaha ya takut dimarahin nanti kan…”

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 101
Meskipun baram dianggap para orang tua kurang baik untuk
dikonsumsi oleh anak-anak dan remaja, kenyataannya sebagian
besar informan remaja yang kerap kali minum baram mengaku sudah
mengenal baram sejak mereka masih SD. Awalnya, peneliti menduga
perbedaan antara pandangan orang tua terhadap baram dan perilaku
remaja ini terjadi karena perubahan zaman dan modernisasi yang
telah mengubah nilai atau kebiasaan masyarakat setempat, sehingga
usia remaja mulai minum baram kini semakin muda. Namun pada
kenyataannya, setelah melakukan penelusuran lebih lanjut, informan-
informan lain yang usianya lebih tua, misalnya beberapa kakek dan
nenek yang kami wawancarai, banyak yang sudah mengenal baram
sejak mereka duduk di bangku Sekolah Rakyat (setara SD di masa
kini). Jadi, perbedaan yang muncul di atas mungkin terjadi semata
karena meningkatnya pengetahuan orang tua di masa kini terhadap
potensi dampak negatif dari minuman beralkohol, serta kekhawatiran
mengenai perilaku remaja lain yang dapat muncul bersama dengan
kebiasaan minum baram, misalnya merokok atau konsumsi obat
terlarang.

***

Informasi mengenai kebiasaan minum di kalangan anak-


anak dan remaja di Desa Danum Simak Harum kami dapatkan dari
beberapa orang informan remaja yang kami ketahui pernah minum
baram. Semuanya berusia antara duabelas hingga tujuhbelas tahun,
dan hanya ada satu orang perempuan di antaranya. Memang
kebanyakan remaja yang minum baram di Desa Danum Simak Harum
adalah remaja laki-laki. Beberapa remaja perempuan di daerah hulu,
yang dikenal sebagai anak-anak nakal oleh teman-teman mereka
di sekolah, kabarnya juga ikut minum, namun kami tidak memiliki
kesempatan untuk masuk langsung ke dalam kelompok sebaya
mereka.

102 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Latar belakang ekonomi keluarga dan kepercayaan remaja yang
menjadi informan bermacam-macam. Ada yang berasal dari keluarga
yang mapan dan aktif terlibat dalam kegiatan keagamaan, ada pula
yang berasal dari keluarga yang lebih sederhana dan tidak memiliki
afiliasi terhadap institusi keagamaan tertentu di kampung. Salah satu
hal yang mengikat para informan remaja tersebut, khususnya yang
laki-laki, adalah ketertarikan dan kegiatan waktu luang yang sama,
yaitu bermain voli. Selain itu, lokasi tempat tinggal mereka juga tidak
terlalu jauh satu sama lain. Karena itulah, mereka sering terlibat pada
satu kelompok sebaya (peer group) yang sama dan sering berinteraksi
satu dengan yang lain.
Perlu diperhatikan bahwa kelompok remaja yang diwawancara
hampir seluruhnya tinggal di bagian tengah desa, sehingga informasi
yang didapatkan mungkin tidak sepenuhnya menggambarkan
perilaku dan kebiasaan minum remaja di hulu ataupun di hilir desa.
Secara umum, dari keterangan yang disampaikan para informan,
tampaknya memang tidak ada perbedaan yang berarti misalnya
dalam cara mendapatkan baram, tempat minum, cara minum, dan
lain-lain. Namun sebagaimana yang sering dikatakan oleh beberapa
informan dewasa mengenai perbedaan intensitas dan kebiasaan
minum antara penduduk di hulu dan hilir, tidak mustahil pula terdapat
perbedaan perilaku minum di kalangan remaja hulu dan hilir. Salah
satu contohnya, berdasarkan keterangan seorang guru SMP, remaja
dari hulu lebih berani membawa baram ke sekolah. Daerah hulu juga
disebut oleh seorang siswi SMP yang bukan peminum sebagai tempat
tinggal anak-anak nakal di sekolah.
Berbicara soal kebiasaan minum, anak-anak dan remaja Danum
Simak Harum memiliki tempat-tempat rahasia yang biasa mereka
kunjungi untuk berkumpul dan minum baram. Di sana pula mereka
biasa duduk-duduk, berbincang, menghabiskan waktu bersama,
dan sesekali merokok. Seorang informan remaja menyebut tempat
tersebut dengan istilah basecamp.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 103
Basecamp tidak selalu merupakan tempat yang tertutup dan
jauh dari pusat keramaian, namun yang pasti tempat tersebut harus
bisa menjadi tempat para remaja melakukan aktivitas tanpa diketahui
orang banyak. Salah satu basecamp yang disebutkan informan
tersebut bahkan terletak di dalam lingkungan sekolah. Tidak adanya
penerangan di lokasi tersebut saat malam hari memberi para remaja
keleluasaan untuk minum baram tanpa diketahui orang meskipun
lokasinya cukup terbuka.
Adapun baram yang diminum oleh para remaja bisa didapatkan
dengan berbagai cara. Hampir selalu, baram yang mereka konsumsi
didapatkan dengan cara membelinya langsung dari pembuat baram.
Mereka mengumpulkan uang bersama (dalam bahasa setempat biasa
disebut pupu atau pupu-an), kemudian salah seorang akan ditugaskan
untuk membeli baram tersebut. Para remaja yang gemar minum
baram di Desa Danum Simak Harum sudah hapal siapa saja pembuat
baram yang selalu bersedia menjual baramnya kepada mereka, baik
dengan alasan bahwa baram tersebut dibeli untuk orang tua atau
tetangga si anak, untuk si anak sendiri, atau bahkan tanpa bertanya
untuk siapa baram tersebut. Menurut seorang informan remaja usia
SMP yang sudah sering membeli baram, jika remaja yang hendak
membeli baram pernah datang kepada sang penjual untuk membeli
baram sebelumnya, sang penjual tidak akan bertanya lagi untuk siapa
baram yang akan dibelinya. Karena itulah, ia sering diminta teman-
temannya membelikan baram, untuk menghindari kemungkinan
teman-teman yang lain ditanya-tanyai. Sebagai imbalan, ia boleh ikut
minum dengan yang lain tanpa perlu ikut pupu.
Cara lain untuk mendapatkan baram misalnya dengan mengam­
bilnya dari pesta. Seorang informan berusia empatbelas tahun
mengatakan bahwa tidak ada orang dewasa yang melarangnya
mengambil baram yang dihidangkan di pesta atau acara adat, namun
ia tidak pernah ikut duduk dan minum bersama mereka karena
merasa malu. Baram yang diambilnya biasa dibawa ke basecamp atau

104 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
tempat lain, di mana para remaja bisa ngobrol dan minum dengan
lebih leluasa.
Kemudian, salah seorang informan yang lain, yang masih duduk
di bangku SMP, menceritakan contoh bagaimana cara mendapatkan
baram dengan mencuri. Pelakunya tak lain adalah teman sebayanya
di sekolah yang memiliki orang tua pembuat baram. Tanpa se­
pengetahuan sang orang tua, anak tersebut mengambil sedikit baram
di rumahnya untuk dijual seharga Rp 5.000,00 per liter kepada teman-
temannya, yaitu seperempat dari harga pasaran. Agar tak ketahuan,
anak tersebut lalu mengganti baram yang ia curi dengan air sesuai
jumlah yang diambil lalu dicampurkan ke ember besar tempat baram
disimpan.
Terakhir, baram juga bisa didapatkan dari orang dewasa yang
mengajak para remaja minum. Berdasarkan penuturan seorang
informan laki-laki berusia empatbelas tahun, seorang pemuda berusia
tiga puluhan pernah mentraktir dirinya dan teman-temannya minum
bersama. Sang pemuda memang dekat dengan para remaja dan
sesekali terlihat bepergian bersama para remaja laki-laki. Kemudian,
ada pula seorang remaja perempuan yang pernah kami lihat minum
baram bersama orang tua dan tetangganya, namun setelah merasa
pusing, ia diminta oleh orang tuanya berhenti dan diantar pulang
untuk beristirahat. Meskipun tidak banyak kasus di mana orang
dewasa mengajak para remaja minum bersama, dan keberadaan
orang dewasa sebagai pengawas justru mungkin dapat melindungi
anak-anak dan remaja dari perilaku negatif lain saat minum, namun
contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa orang dewasa pun dapat
menjadi jalan masuk bagi anak-anak dan remaja untuk memperoleh
baram.
Dari berbagai keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa mendapatkan baram bukanlah hal yang sulit bagi anak-
anak dan remaja di Desa Danum Simak Harum. Selain karena sikap
beberapa orang tua yang terkesan tidak peduli—baik itu karena
kurangnya kesadaran mengenai potensi dampak negatif alkohol bagi

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 105
anak dan remaja atau karena putus asa—para remaja pun memiliki
berbagai cara untuk mendapatkan baram dari berbagai sumber.
Selanjutnya, mengenai kebiasaan minum baram di kalangan
anak dan remaja di Desa Danum Simak Harum, dengan periode
penelitian yang sangat singkat, peneliti belum berhasil melakukan
pendekatan kepada informan yang potensial untuk dapat mengamati
secara langsung kebiasaan mereka ketika minum. Namun dari hasil
wawancara dengan beberapa informan remaja, dapat terangkum
beberapa informasi yang menggambarkan kebiasaan minum tersebut.
Secara garis besar, kebiasaan minum pada anak dan remaja
tidak jauh berbeda dari orang dewasa, memperlihatkan pengaruh
budaya masyarakat yang lebih luas terhadap perilaku para remaja.
Meskipun frekuensi minum mereka tidak sekerap orang dewasa dan
volume baram yang diminum juga relatif lebih sedikit, cara mereka
minum bisa dibilang sama saja dengan orang yang usianya lebih tua.
Baram tidak diminum seorang diri, melainkan dinikmati bersama
secara bergiliran.
Baram yang dibeli dari pembuatnya biasa dikemas dalam
kantong plastik berukuran satu liter. Ketika hendak diminum, kantong
plastik tersebut akan dilubangi agar baram dapat dituang ke gelas dan
diminum. Seseorang di antara para remaja yang ikut minum dapat
ditunjuk sebagai ceker atau tukang takar untuk menuangkan baram
ke gelas dan memastikan bahwa semua orang minum dengan jumlah
yang sama sesuai takaran pertama (disebut mula) yang diminum oleh
ceker. Seperti yang dilakukan orang dewasa, gelas yang digunakan
hanya satu dan dipakai bergiliran, untuk alasan kepraktisan serta
untuk memudahkan ceker mengukur volume yang disajikan. Dengan
demikian, sesi minum ini bisa menjadi semacam permainan untuk
melihat siapakah yang dapat bertahan tidak mabuk hingga akhir,
sambil menertawakan tingkah laku masing-masing orang ketika mulai
mabuk.
Berdasarkan keterangan seorang informan remaja usia SMP,
untuk satu sesi minum yang diikuti lima orang, para remaja umumnya

106 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
menyiapkan dua liter baram (setara dengan Rp 8.000,- per orang)
untuk mendapatkan efek mabuk. Dengan kata lain, jika minuman
tersebut dibagi rata, efek mabuk bisa didapatkan setelah seorang
remaja meminum 400 ml baram. Namun demikian, jumlah baram
yang dibutuhkan untuk mendapatkan efek mabuk sesungguhnya
juga bergantung pada faktor-faktor biologis tiap individu serta
kadar alkohol baram yang diminum. Informan remaja lain, misalnya,
menyebutkan bahwa dirinya perlu 3-4 gelas atau sekitar 450-600 ml
baram untuk mendapatkan efek mabuk.
Mengenai frekuensi, tidak ada informan remaja yang dapat
menjawab secara pasti seberapa sering mereka minum. Seorang
informan yang kami wawancara mengira-ngira ada selang waktu
sekitar dua minggu antara kali terakhir ia minum ke kali sebelumnya,
namun karena minum baram tidak dilakukan secara rutin, ia tidak
dapat menentukan frekuensi yang akurat. Berdasarkan pengamatan
kami, kekerapan minum dipengaruhi oleh ada tidaknya momen di
mana para remaja berkumpul bersama, seperti pesta atau acara adat,
serta ketersediaan uang untuk mendapatkan baram. Ketika di masa
libur sekolah beberapa anak dan remaja kembali pulang bekerja dari
perkebunan membawa upah, mereka berkumpul dengan teman-
temannya untuk minum bersama.

***

Dampak jangka pendek konsumsi baram di kalangan remaja


yang berhasil kami identifikasi misalnya perkelahian dan cedera akibat
mabuk. Di bagian lain dari buku ini, telah ditulis mengenai seorang
informan remaja yang jatuh ke parit ketika mengendarai motor selagi
mabuk di malam hari, meskipun tidak ada cedera serius yang dialami.
Remaja yang sama juga pernah hampir terlibat dalam perkelahian
karena ketidakmampuan mengendalikan emosi saat mabuk. Menurut­
nya, minum baram membuatnya berani melawan siapa saja tanpa
mempertimbangkan kekuatan lawan maupun diri sendiri. Jika bukan

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 107
karena dilerai oleh teman-temannya, saat itu mungkin telah terjadi
adu fisik dan cedera di antara kedua pihak. Potensi cedera saat mabuk
juga dialami oleh seorang siswa kelas 6 SD yang minum baram terlalu
banyak hingga berhalusinasi dan hampir lompat ke sungai. Sang anak
yang berhasil dicegah oleh beberapa orang keluarga dan tetangganya
kemudian meracau ingin menjadi buaya dan minta darah, berusaha
menggigit seorang tetangganya. Ironisnya, kisah-kisah di atas
tersebut lebih sering dianggap sebagai sesuatu yang lucu, yang ketika
diceritakan pasti diikuti dengan gelak tawa atau rasa geli menahan
senyum.
Memang, dari hasil pengamatan dan wawancara dengan
ber­bagai pihak, belum ada informasi mengenai konsumsi baram
di kalangan anak dan remaja Danum Simak Harum yang sampai
menyebabkan cedera serius, kekerasan seksual, maupun kematian.
Keresahan masyarakat tampaknya lebih disebabkan oleh adanya
kecenderungan anak dan remaja yang mengkonsumsi baram untuk
terlibat pada perilaku lain yang dianggap negatif, seperti merokok,
bolos sekolah, dan mencuri. Selain itu, di desa tetangga, beberapa
anak dan remaja yang mengkonsumsi baram juga ada yang terlibat
dalam penyalahgunaan obat-obatan.
Menurut informasi dari beberapa informan, seorang siswa
SD Pendahara pernah ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri
sehingga harus dilarikan ke rumah sakit setelah minum alkohol dan
obat-obatan dengan dosis yang berlebihan. Tidak ada keterangan pasti
mengenai jenis minuman dan obat-obatan yang dikonsumsi siswa
tersebut, namun berdasarkan keterangan dari beberapa informan,
minuman alkohol yang diminum adalah campuran baram dengan
minuman alkohol lain. Adapun obat-obatan yang disalahgunakan
diduga adalah Zenith atau Komix, yang sudah sering disalahgunakan
oleh anak dan remaja di Kecamatan Tewang Sangalang Garing. Zenith
biasa dikonsumsi sebanyak sepuluh butir bersama dengan sejenis
minuman penambah stamina, sedangkan Komix dikonsumsi satu boks
berdua dengan minuman bersoda. Obat-obatan tersebut, menurut

108 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
informan bisa diperoleh salah satunya dari seorang bandar yang
dibantu oleh beberapa siswa SMP dalam memasarkan produknya
kepada para remaja.
Kesimpulannya, baram, sebagaimana minuman beralkohol
lainnya, memiliki potensi dampak negatif terhadap kesehatan anak
dan remaja, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun demikian, hubungan kausalitas seringkali sulit ditegakkan,
karena munculnya dampak negatif tersebut, terutama dampak
jangka panjang, juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan tidak
muncul seketika. Misalnya, pengaruh baram terhadap fungsi otak
yang mempengaruhi kemampuan belajar atau berpikir. Selain itu,
dampak negatif jangka pendek yang dialami anak dan remaja di lokasi
penelitian belum ada yang tergolong amat serius, seperti misalnya
cedera, perkelahian, serta keterlibatan dalam perilaku negatif lain
(merokok, mencuri, bolos, dan sebagainya). Akibatnya, masyarakat
belum menganggap konsumsi baram pada anak dan remaja sebagai
suatu masalah serius yang harus segera diatasi.

Mengapa mereka minum?


Selama meneliti perilaku konsumsi baram di kalangan anak dan
remaja, peneliti berkenalan dengan beberapa anak dan remaja di Desa
Danum Simak Harum yang cukup sering minum tanpa sepengetahuan
orang tua. Mereka memberi banyak informasi mengenai baram,
dan dapat menjelaskan berbagai dampak negatif yang dialami para
peminum. Akan tetapi, pengetahuan tersebut tidak lantas membuat
mereka menjauh dari baram. Bahkan, beberapa di antara mereka
makin meningkat konsumsinya dari waktu ke waktu. Karena itulah,
peneliti mencoba menggali lebih lanjut alasan yang mendasari pilihan
sekelompok anak dan remaja untuk minum baram, serta adakah
faktor budaya yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut.
Yudi, seorang remaja laki-laki berusia empat belas tahun yang
sudah pernah beberapa kali mabuk akibat minum baram, adalah
salah satu informan kami. Darinya, peneliti memahami bahwa

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 109
pengetahuan yang cukup mengenai baram dan dampak negatifnya
tidak lantas menjauhkan remaja dari keinginan untuk minum. Pernah
ditanyakan kepada Yudi dan beberapa orang teman remajanya
di suatu kesempatan mengenai efek baram terhadap orang yang
meminumnya. Baik Yudi maupun teman-teman lain yang tidak minum
bisa menyebutkan berbagai efek buruk dari minum baram meskipun
hanya dampak jangka pendeknya. Menurut Yudi dan kawan-kawan,
minum baram dan alkohol dalam jumlah banyak dapat membuat
orang mabuk, yang ditandai dengan mata merah, mulut bau alkohol,
jalan tidak seimbang, atau jika jumlahnya terlalu banyak, mata orang
yang minum bisa sampai mendelik ke belakang.
Mabuk karena minum juga mereka ketahui dapat menyebabkan
kecelakaan saat mengendarai motor, atau membuat seseorang
terlibat perkelahian. Mengenai kedua dampak terakhir, Yudi
sendiri pernah mengalaminya. Ia pernah jatuh dari motor dan
hampir berkelahi dengan orang karena kehilangan kendali, namun
pengalaman-pengalaman tersebut tidak lantas membuat Yudi
berhenti. Malahan, selain mencicipi baram, ia dan teman-temannya
juga mencoba beberapa minuman keras lain seperti bir dan arak,
serta ikut merokok.
Tak hanya memiliki pengetahuan mengenai dampak negatif
baram, para remaja juga memiliki sikap yang positif mengenai
konsumsi alkohol oleh anak di bawah umur, serta sesuai dengan apa
yang dipegang oleh masyarakat desa secara umum. Yudi dan hampir
semua temannya sepakat bahwa seseorang baru boleh minum baram
setelah usia tujuhbelas tahun atau setelah lulus SMA. Hanya satu
orang di antara mereka yang menjawab bahwa tolok ukur seseorang
boleh minum adalah ketika ia sudah bisa mencari uang sendiri meski
belum lulus SMA. Namun kenyataannya, Yudi sudah mulai minum
baram bahkan sebelum usianya menginjak tigabelas tahun. Padahal,
di usia tersebut, ia mengaku sudah mengetahui berbagai potensi
dampak negatif baram dari orang-orang di sekitarnya.

110 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Berangkat dari kesenjangan antara pengetahuan, sikap, dan
perilaku tersebut, peneliti kemudian berusaha memetakan apa
sesungguhnya yang menyebabkan sekelompok anak dan remaja
di Desa Danum Simak Harum mengkonsumsi baram. Jawaban Yudi
sebenarnya cukup sederhana. Ketika ditanyakan mengapa ia minum
baram meskipun sadar belum cukup umur, Yudi pun menjawab,
“Karena penasaran.” Rasa penasaran Yudi muncul dari seringnya
ia melihat orang dewasa minum sejak ia kecil. Dahulu, di depan
rumahnya, sering ada kumpul-kumpul orang dewasa yang berdendang
diiringi musik dangdut sambil menikmati baram. Ketika ia masih kecil
dulu, Yudi memang tidak ikut mencoba, namun ia mengingat apa yang
dilihatnya itu. Lalu mengenai alasan yang membuatnya minum baram
lagi dan lagi, Yudi mengatakan ada sensasi menyenangkan yang ia
rasakan ketika minum baram dan mulai mabuk.
Peneliti : “Kamu kan sudah beberapa kali, kenapa masih
mau minum?”
Yudi : “Kenapa ya...?”
Billy : “Dah capek Mamah papanya urus dia”
Peneliti : “Memang apa sih yang dirasa kalau minum
itu?”
Yudi : “Kalau (kata) orang tuh, enak aja rasanya...”
Peneliti : “Yang kamu cari apanya? Manisnya, hangatnya,
atau apa?
Yudi : “Mau mabuk gitu tuh...”

Meskipun Yudi memberikan jawaban yang cukup jelas dan


sederhana, hasil pengamatan dan percakapan lebih lanjut antara
penelitidan beberapa informan remaja lain menunjukkan bahwa
masalah konsumsi alkohol di kalangan anak dan remaja tidaklah
sesederhana ‘saya penasaran, maka saya minum’ atau ‘mabuk mem­
buat saya enak, maka saya minum’. Kenyataannya, meskipun banyak
anak dan remaja penasaran tentang baram, hanya sebagian dari
mereka yang akhirnya mencoba, dan dari sekian yang mencoba,
hanya sebagian yang terus meminumnya lagi dan lagi.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 111
Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya interaksi
berbagai faktor yang kompleks di balik keputusan remaja untuk
minum atau tidak minum baram. Sebuah studi meta-analisis
oleh Hoeve M et al. (Hoeve, 2009) yang mengkaji 161 penelitian,
menemukan bahwa berbagai dimensi pola asuh (misalnya kasih
sayang, dukungan, pengawasan, hukuman fisik, penegakkan disiplin,
dan lain-lain) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kenakalan
remaja, meskipun hanya dapat menjelaskan tak lebih dari sepertiga
perilaku kenakalan di masa remaja.
Kemudian, Kuntsche et al. (Kuntsche, 2006), dalam kajiannya
terhadap 82 penelitian, menemukan pengaruh faktor-faktor kepri­
badian terhadap motif minum alkohol di kalangan remaja. Kuntsche
et al. meyakini bahwa setiap remaja memiliki alasan yang berbeda
untuk mengkonsumsi alkohol. Motif enhancement (mengkonsumsi
alkohol untuk merasa enak, untuk mabuk, atau karena suka) ber­
hubungan dengan kepribadian yang ekstrovert dan mencari perhatian,
sedangkan motif coping (minum untuk mengurangi stres, mengatasi
perasaan tidak menyenangkan, dan menghindari penolakan) ber­
hubungan dengan kecemasan dan neurotisisme.
Keterlibatan faktor-faktor lain dalam perilaku konsumsi alkohol
di kalangan remaja juga dipelajari oleh Hawkins et al. (Hawkins,
1992), yang meliputi: (1) hukum dan norma, (2) ketersediaan,
(3) tingkat ekonomi, (4) lingkungan tempat tinggal, (5) faktor-
faktor fisiologis, (6) sikap dan perilaku keluarga terhadap alkohol,
(7) pola asuh dalam keluarga, (8) konflik keluarga, (9) rendahnya
ikatan terhadap keluarga, (10) masalah perilaku di masa kecil, (11)
kegagalan akademis, (12) rendahnya komitmen terhadap sekolah, (13)
penolakan sebaya di usia sekolah dasar, (14) hubungan dengan sebaya
yang juga mengkonsumsi, (15) pengasingan dan pemberontakan, (16)
sikap yang mendukung perilaku, dan (17) usia dini ketika pertama
mengkonsumsi.
Terakhir, terdapat pula sebuah teori yang disebut teori identitas-
budaya (culture-identity theory) dari Anderson (Anderson, 1998),

112 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
yang memandang penyalahgunaan alkohol oleh remaja sebagai hasil
dari proses perubahan identitas yang dipengaruhi faktor-faktor di
tingkat mikro (marginalisasi personal, ketidaknyamanan identitas
ego, dan kehilangan kendali dalam mendefinisikan identitas), meso
(marginalisasi sosial dan identifikasi kelompok subkultur penyalahguna
alkohol dan obat-obatan), dan makro (kesempatan ekonomi, kesem­
patan pendidikan, dan budaya populer). Menurut teori tersebut, pada
mulanya, remaja yang terlibat dalam penyalahgunaan alkohol maupun
obat terlarang pernah mengalami kejadian-kejadian yang memberi
mereka status yang kurang baik menurut masyarakat dan membuat
mereka terpinggirkan. Kondisi tersebut seringkali diperburuk oleh
keterbatasan sosioekonomi lainnya (misalnya kemis­kinan) yang makin
menjauhkan atau mengasingkan mereka dari kelompok masyarakat di
arus utama. Hal ini menyebabkan suatu ketidaknyamanan mengenai
identitas diri pada remaja, yang berujung pada ketidakmampuan
untuk membangun definisi mengenai diri yang sesuai dengan harapan
masyarakat. Akhirnya, ia masuk ke dalam kelompok sosial alternatif,
yaitu kelompok subkultur penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan,
di mana mereka berusaha mengatasi masalah identitas atau jatidiri
mereka.
Waktu penelitian yang singkat tidak mengizinkan kami
menyelami lebih dalam kehidupan para remaja untuk menguji teori
dan studi manakah yang paling sesuai untuk konteks Desa Danum
Simak Harum. Mungkin saja, karena keterbatasan masing-masing
teori, tidak ada satupun yang cukup baik untuk menjelaskan seluruh
fenomena yang ada, apalagi jika mengingat bahwa penelitian dan
teori tersebut lahir dari konteks budaya dan masyarakat yang berbeda.
Namun demikian, pengamatan dan wawancara yang dilakukan telah
menunjukkan beberapa temuan yang dapat dijelaskan oleh studi dan
teori di atas.
Salah satunya adalah pernyataan yang diungkapkan oleh
seorang informan remaja yang sudah hampir lulus dari bangku SMA.
Menurutnya, perilaku minum baram di kalangan remaja “ada faktor

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 113
keren, ada faktor kecanduannya juga.” Dengan kata lain, selain sifat
intrinsik dari alkohol sebagai zat adiktif, perilaku minum alkohol di
kalangan remaja juga dipengaruhi kebutuhan psikologis individu
dalam masa pembentukan identitas egonya. Seperti telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya, kebiasaan minum baram di Desa Danum
Simak Harum dilakukan secara bergiliran, di mana satu persatu orang
kemudian mulai mabuk, menunjukkan tingkah lucu, dan menyisakan
satu orang yang paling kuat bertahan. Bertahan hingga akhir dapat
memberikan kebanggaan tersendiri, selain rasa ‘keren’ ketika
melakukan apa yang juga dilakukan oleh orang dewasa. Jika dilihat
dari perspektif Kuntsche, maka motif tersebut bisa dianggap sebagai
motif enhancement, sedangkan dari teori identitas-budaya, hal
tersebut mungkin adalah suatu usaha pencarian identitas di kelompok
subkultur peminum baram.
Kemudian, dari hasil pengamatan kami, banyak remaja yang
minum baram berasal dari latar belakang keluarga ekonomi lemah
atau kurang berhasil dalam bidang akademis, sehingga muncul
pandangan yang negatif mengenai diri sendiri. Hal tersebut terlihat
ketika beberapa dari mereka menyebut diri mereka kurang pandai,
atau menarik diri ketika ditanya mengenai penyebab mereka tidak
naik kelas. Beberapa dari mereka kemudian sering bolos atau bahkan
berhenti sekolah, lalu cenderung menghabiskan waktu dengan
sesama teman yang mengalami persoalan serupa. Fenomena tersebut
tampaknya sesuai dengan teori identitas-budaya, yang menyatakan
bahwa keterbatasan ekonomi dan akademis dapat menyebabkan
terjadinya marginalisasi personal maupun sosial, yang berujung pada
pencarian kelompok sosial alternatif. Hasil pengamatan tersebut juga
sesuai dengan studi yang dilakukan Hawkins et al., di mana kurangnya
komitmen terhadap sekolah, kegagalan akademis, serta pergaulan
sebaya dengan remaja pengkonsumsi alkohol menjadi faktor risiko
konsumsi alkohol di kalangan remaja.
Secara khusus, peneliti juga ingin menyoroti faktor pola asuh
dan konflik keluarga yang telah dipaparkan dalam studi Hawkins et

114 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
al., dan menjadi fokus pada studi Hoeve et al. sebagai faktor risiko
yang memiliki korelasi signifikan terhadap kenakalan remaja. Kisah
dari beberapa informan remaja kembali memberikan gambaran
mengenai pola asuh yang dialami para anak dan remaja yang kerap
minum baram.
Yudi adalah salah satu dari informan terebut. Menurut
penuturan Yudi, perilaku minumnya yang seringkali berujung pada
kondisi mabuk membuatnya beberapa kali ketahuan oleh orang
tuanya. Namun demikian, kedua orang tuanya tidak pernah bertanya
mengapa Yudi minum alkohol. Yang mereka lakukan hanyalah
memarahi dan melarang Yudi minum lagi. Hingga saat dilakukan
wawancara Yudi belum juga menjadi jera.
Selain Yudi, ada Afi. Afi berusia empatbelas, namun masih
duduk di bangku SD karena pernah tidak naik kelas. Badannya kecil,
kurus kering dan pucat. Afi sering sakit, namun hal tersebut tidak
menghentikannya minum baram. Dari cerita kakak Afi yang lebih tua,
kami kemudian mengetahui lebih banyak mengenai masa lalu Afi juga
Doni, yang kini berusia enambelas tahun.
Afi lahir sebagai anak kedelapan dari sembilan bersaudara.
Saat ini, ia tinggal bersama dua orang kakaknya, satu keponakan
yang masih balita, ibu, dan neneknya. Dua di antara tujuh kakaknya
kini sudah meninggal dunia, tiga sudah menikah dan tidak lagi
tinggal bersama mereka, sedangkan adiknya diserahkan kepada
orang lain untuk dirawat, sehingga Afi menjadi anak termuda dalam
keluarganya. Ketika Afi berusia dua tahun, ayahnya meninggal bunuh
diri. Ketika peristiwa itu terjadi, ayah Afi yang adalah sering minum
baram sedang mabuk berat. Ia pulang dalam keadaan marah, seperti
yang biasa iya lakukan, lalu berusaha melukai istri serta anak-anaknya
dengan senjata tajam. Karena ketakutan, ibu Afi dan kakak-kakanya
kemudian membawa Afi yang masih kecil kabur ke rumah tetangga.
Tanpa disangka, ketika seorang tetangga mendatangi rumah Afi,
mereka menemukan sang ayah sudah tewas gantung diri.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 115
Afi kala itu masih sangat kecil, dan mungkin tidak merasakan
secara langsung bagaimana rasanya memiliki ayah seorang pe­
mabuk yang juga sering melakukan kekerasan terhadap istri dan
anaknya. Namun kakak perempuan Afi yang kini sudah menikah
menggambarkan masa itu sebagai masa yang sangat menyengsarakan,
di mana kematian sang ayah akhirnya mengakhiri penderitaan
tersebut, meskipun tak juga lantas membawa kebahagiaan dalam
hatinya. Kehidupan mereka tanpa seorang ayah tetap saja terasa sulit.
Keluarga Afi tidak bisa dikatakan sebagai keluarga yang
berkecukupan. Rumah mereka sangat sederhana, dengan satu kamar
tidur kecil dan satu ruang terbuka untuk dihuni enam orang. Tak
ada perabot kecuali alat-alat memasak, alas tidur, dan meja, apalagi
televisi. Sehari-hari, mereka jarang makan daging. Hanya nasi dan
sayur-sayuran, yang meski rasanya nikmat serta mengenyangkan,
tetap tidak memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Mungkin itu sebab­
nya, seluruh anggota keluarga Afi memiliki perawakan pendek, dan
bahkan saat Afi kecil, ia pernah dinyatakan mengalami gizi buruk.
Membesarkan seluruh anaknya seorang diri, ibu Afi bekerja
keras menghidupi keluarganya. Jarang sekali kami melihat ibu Afi ada
di rumah. Ia selalu berada di ladang, atau bekerja di perkebunan milik
orang lain untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Akibatnya, tak
banyak waktu yang bisa ia luangkan bersama anak-anaknya di siang
hari. Untung saja kini kakak perempuan Afi telah kembali tinggal
bersama mereka, setelah sebelumnya sempat bekerja di rumah
seorang kerabat mereka di kota lain demi bisa melanjutkan hidup dan
bersekolah.
Karena tak banyak yang bisa mereka lakukan di rumah, Afi
biasanya pergi bermain dengan teman mereka masing-masing
seusai sekolah hingga matahari terbenam. Tak pernah kami melihat
Afi ataupun teman-temannya belajar atau membaca buku apapun.
Seperti kebanyakan anak yang kami kenal, Afi tampaknya tidak
menganggap prestasi akademis sebagai sesuatu yang perlu dikejar
dengan sungguh-sungguh. Maklum, apa yang dipelajari anak-anak

116 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
dan remaja di sekolah memang tidak kelihatan relevan dengan
pekerjaan dan mata pencaharian sebagian besar masyarakat desa,
misalnya sebagai petani atau penambang liar. Sekolah baru berguna
jika sebuah keluarga memiliki cukup uang untuk menyekolahkan
anak ke pendidikan yang lebih tinggi. Dengan begitu, sang anak dapat
menyelesaikan kuliah dan bekerja sebagai pegawai di tempat yang
kondisi ekonominya lebih baik. Akan tetapi, kesempatan seperti itu
tidak dimiliki semua anak, sehingga motivasi belajar mereka pun
rendah.
Untuk menghabiskan waktunya, Afi sering bermain sepeda dan
menonton remaja yang lebih besar bermain bola voli. Di sanalah, Afi
mengenal kelompok sebaya yang biasa minum baram. Suatu ketika,
ketika ada pesta pernikahan yang diadakan salah satu saudara Afi, Afi
dan kawan-kawannya minum baram seperti biasa. Akan tetapi, malam
itu, Afi minum terlalu banyak. Menurut beberapa informan remaja,
matanya sampai membalik ke belakang. Sempat juga ia sampai
meracau di depan orang tuanya, meminta darah dan ingin lompat ke
sungai. Seorang tetangga yang hendak membantu bahkan digigitnya.
Untungnya, Afi dapat ditenangkan dan dibawa pulang.
Banyak tetangga dan remaja yang mengenal Afi merasa prihatin
terhadap kondisinya. Beberapa orang berpendapat, Afi seperti sudah
tidak bisa lagi diatur oleh orang tua. Dan bukan hanya Afi, Doni
kakaknya pun demikian. Mereka sudah sering dimarahi oleh ibunya,
tetapi tidak jera, bahkan melawan. Doni bahkan berani memaki
ibunya dengan kata-kata yang kasar. Hal tersebut membuat kakak
dan ibu Afi frustrasi. Mereka bingung bagaimana harus mendidik Afi
dan Doni. Hingga pernah karena begitu emosi, ibu Afi memukul Doni
hingga terbentur ke dinding.
Kisah lebih dalam mengenai Afi, serta pandangan pribadinya
terhadap keluarga dan kehidupannya tak berhasil didapatkan karena
di tengah periode penelitian, Afi bersama ibunya dan Doni pergi
keluar desa selama beberapa waktu untuk bekerja di perkebunan
orang lain. Kali berikutnya peneliti melihat Afi ketika ada pesta

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 117
pernikahan digelar di desa, beberapa hari menjelang penelitian
kami usai. Afi yang pulang dengan hasil kerjanya membelikan
keponakannya satu setel baju baru dan jaket untuk dirinya sendiri.
Sebagian sisa uangnya ia pakai untuk minum baram bersama teman-
temannya. Padahal, kala itu, Afi sedang demam karena sakit. Kami
yang bertemu Afi seusai minum merasa sangat khawatir. Matanya
merah, mulutnya bau alkohol, dan terlihat sedikit mengantuk. Kami
memintanya pulang dan berisitirahat, namun Afi menolak. Kakaknya,
Doni, yang ikut minum bersama Afi pun tidak menyuruhnya pulang.
Afi hanya duduk di sebuah warung bersama teman-temannya yang
lain, menyaksikan keramaian pesta dan orang-orang yang berjoget
diiringi alunan musik. Untung saja, tak lama kemudian ibunya datang
menjemput Afi pulang.
Apa yang dilakukan oleh ibu Afi tersebut membuat kami lega.
Nyatanya, tidak semua orang tua di Desa Danum Simak Harum
dapat memberikan perhatian sebesar itu kepada anaknya. Seorang
remaja lain bernama Kevin, yang usianya sepantar dengan Afi,
mengaku jarang dicari orang tuanya meskipun sering pergi di malam
hari. Pernah sekali kami berkunjung ke rumahnya, ibunya tidak
tahu di mana anaknya berada karena tidak pulang sejak kemarin.
Padahal, Kevin sudah dikenal oleh tetangga-tetangganya di kampung
sebagai peminum. Ia juga merokok, dan beberapa orang pernah
memperingatkan peneliti karena Kevin pernah ketahuan mencuri
bersama teman-temannya.
Hal-hal yang dilihat dan didengar dari berbagai informan, dan
telah dituliskan di atas, memberikan sedikit gambaran mengenai pola
asuh dalam keluarga para remaja yang mengkonsumsi baram. Namun,
pada akhirnya, pola asuh yang diberikan orang tua kepada anaknya
juga merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor. Kekurangan-
kekurangan yang ada tak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai
kesalahan orang tua.
Penggunaan hukuman, kata-kata kasar ataupun kekerasan
fisik dalam mendidik anak, yang diklasifikasikan Hoeve et al. sebagai

118 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
kontrol otoritarian, seringkali muncul dari rasa frustrasi orang dalam
mendidik anak. Sayangnya, banyak orang tua tidak memahami bahwa
pola asuh semacam itu justru secara signifikan berhubungan dengan
peningkatan risiko kenakalan remaja.
Adapun penelantaran serta kurangnya pengawasan, yang
merupakan dua dari beberapa aspek pola asuh yang paling besar
kaitannya dengan perilaku kenakalan remaja, seringkali terjadi karena
kesulitan ekonomi atau kondisi keluarga. Ibu Kevin, misalnya, harus
mengurus dua adik Kevin seorang diri, yang terkecil di antaranya
masih berusia dua tahun. Rumah mereka yang terletak agak jauh dari
rumah penduduk yang lain membuat ibu Kevin tidak selalu dapat
mengawasi anaknya. Apalagi, ia tidak memiliki kendaraan untuk
bepergian terutama di malam hari. Ayah Kevin serta kakak tertuanya
bekerja di desa lain, dan selama berada di desa, peneliti tak pernah
melihat mereka pulang. Seorang tetangga mengatakan, sempat terjadi
perselisihan di antara kedua orang tua Kevin yang membuat sang ayah
sempat mencoba bunuh diri sebelum akhirnya memutuskan tinggal di
tempat lain.
Sebagai orang tua kedua, peran guru-guru di sekolah pun tidak
dapat diandalkan untuk memberikan pengawasan dan bimbingan
yang diharapkan kepada para remaja. Kevin saat ini seharusnya duduk
di kelas 2 SMP, namun ia sudah tidak lagi bersekolah. Sebenarnya,
Kevin masih ingin bersekolah, namun ia merasa tidak nyaman.
Menurut penuturan Kevin, seorang guru yang dahulu pernah
bertengkar dengan kakak Kevin bertahun-tahun yang lalu kerap
mengungkit kejadian tersebut dan menyinggung perasaan Kevin.
Akhirnya, Kevin sering bolos mata pelajaran guru tersebut dan ibunya
memutuskan untuk memberhentikannya dari sekolah.
Belajar dari kisah para remaja di atas, kita dapat memahami
bahwa kehidupan anak-anak dan remaja yang terlibat dalam konsumsi
baram sebagai minuman beralkohol, adalah suatu hal yang kompleks.
Mencari alasan di balik perilaku mereka bukanlah perkara mudah.
Motivasi setiap anak dan remaja bisa berbeda. Sebagian minum

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 119
hanya karena suka, sebagian mungkin terjerat adiksi, dan sebagian
lain minum sebagai jalan pencarian identitas. Namun yang jelas,
perilaku minum di kalangan anak dan remaja tidak disebabkan oleh
satu kausa tunggal. Ada faktor pola asuh, hubungan dalam keluarga,
ekonomi, ketersediaan alkohol di lingkungan masyarakat, pendidikan,
pergaulan sebaya, norma di masyarakat, dan lain sebagainya. Selama
masyarakat belum sungguh-sungguh menyadari potensi dampak
alkohol terhadap generasi penerus mereka, dan bersama-sama
mengendalikan berbagai faktor risiko yang telah dijelaskan di atas,
anak-anak dan remaja tidak akan lepas dari bahayanya.

5.4. Madu atau Racun?


Pembuatan Baram dari Sudut Pandang Kesehatan
Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat baram me­
rupakan bahan-bahan alami yang sebagian besar tergolong ke dalam
tanaman herbal yang memiliki khasiat bagi kesehatan. Namun
demikian, dalam proses pembuatan baram, terdapat lebih dari
empat jenis tanaman herbal yang dicampur menjadi satu, direndam
dan didiamkan selama berhari-hari, sehingga mungkin saja terjadi
interaksi bahan aktif yang tidak diharapkan. Hal tersebut, tentu saja,
memerlukan penelitian lebih lanjut karena berada dalam lingkup
tulisan ini.
Tak hanya kemungkinan interaksi bahan aktif berbagai tanaman
herbal, baram juga memiliki potensi dampak negatif karena proses
pembuatannya yang tidak steril dan higienis. Hampir semua bahan
yang digunakan dalam proses pembuatan baram tidak dimasak
ataupun dicuci terlebih dahulu. Alat-alat yang dipakai baik dalam
proses pembuatan maupun penyimpanan pun tidak melalui proses
sterilisasi, misalnya halu, lisung, maupun ember untuk fermentasi.
Demikian pula proses penjemuran ragi yang dilakukan di ruang
terbuka, seperti halaman rumah, dapat menjadi jalan masuk bagi
berbagai agen kontaminan yang tidak diharapkan. Meskipun beberapa
penelitian telah menunjukkan potensi efek antimikroba dari alkohol

120 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
pada minuman sejenis tuak (wine), dan secara tradisional beberapa
jenis minuman alkohol pun digunakan sebagai bahan antiseptik,
belum dapat dipastikan bahwa alkohol yang terkandung pada baram
cukup efektif untuk membunuh berbagai mikroba yang muncul
selama proses pembuatannya. Hal tersebut adalah karena penelitian-
penelitian terbaru mengindikasikan bahwa efek antimikrobial maupun
antiseptik dari minuman alkohol sangat tergantung pada konsentrasi,
jenis alkohol, keasaman, dan juga jenis mikroba yang menjadi target.
Kemudian, potensi dampak negatif bagi kesehatan juga dapat
muncul dari proses pembuatan baram terkait kadar alkohol yang tidak
bisa distandarisasi, padahal jumlah alkohol yang dikonsumsi seseorang
menentukan dampaknya terhadap kesehatan individu yang terkait.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi
alkohol dalam jumlah kecil dengan risiko penyakit jantung iskemik,
stroke, dan diabetes melitus yang lebih rendah, sedangkan konsumsi
alkohol dalam jumlah yang berlebihan menghilangkan kemungkinan
efek positif tersebut dan telah terbukti berkaitan dengan peningkatan
risiko berbagai penyakit misalnya kanker, gangguan mental, sirosis
hati, pankreatitis, hipertensi, stroke, dan sebagainya (WHO, 2014).
Sebuah studi yang mempelajari hubungan antara konsumsi alkohol
dan mortalitas juga menunjukkan hubungan yang serupa, di mana
angka mortalitas mencapai titik terendah (penurunan sebesar 18%)
pada jumlah asupan etanol sebesar 5-10 g/hari. Peningkatan risiko
kematian mulai terjadi setelah dosis alkohol melewati 26 g/hari pada
wanita dan 40 g/hari pada pria.
Itulah sebabnya, di beberapa negara di mana konsumsi alkohol
masih diperbolehkan, ditetapkan suatu standar satuan porsi minuman
beralkohol (one drink) dan jumlah asupan alkohol maksimal yang
dianggap tidak berbahaya, seperti ditampilkan pada tabel di bawah
ini. Standar tersebut kemudian dapat dimanfaatkan oleh pramusaji
untuk menentukan banyaknya minuman jenis tertentu yang boleh
disajikan agar jumlahnya tidak melebihi batas aman, atau digunakan
dalam pembuatan kebijakan dan penegakan hukum.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 121
Tabel 7.1. Panduan minum dalam jumlah cukup (drinking in moderation) di
berbagai negara.
Jumlah
Negara alkohol Laki-laki Perempuan
(one drink)
Amerika Serikat 14 g Hingga 28 g/hari (2 Hingga 14 g/hari (1
drinks) drink)
Kanada 13,5 g Hingga 94,5 g/ Hingga 94,5 g/
minggu (7 drinks/ minggu (7 drinks/
minggu) minggu)
Australia 10 g Hingga 40 g/hari Hingga 40 g/hari
2 hari/minggu tanpa 2 hari/minggu tanpa
minum minum
Inggris 8g 8-16 g/hari (hingga 2 8-16 g/hari (hingga 2
drinks) drinks)
Perancis 12 g 60 g/hari (hingga 5 36 g/hari (hingga 3
drinks) drinks)
Jepang 19,8 g Maksimum 2 drinks Maksimum 2 drinks
sake/hari (39,6 g sake/hari (39,6 g
alkohol/hari) alkohol/hari)
Sumber: The Science of Drinking, Sagupta A.

Akan tetapi, menghitung asupan alkohol setiap kali mihup


baram (minum baram) bukanlah bagian dari budaya masyarakat di
Danum Simak Harum. Sesungguhnya, hal tersebut tidak dimungkinkan
karena tidak ada satupun pembuat baram di sana yang tahu berapa
kandungan alkohol di dalam baram buatannya. Demikian pula dengan
orang yang mengonsumsinya. Mereka hanya dapat mengira-ngira
kadar alkohol sebuah produk baram dari bau alkohol yang tercium
dan sensasi panas yang dirasakan ketika meminumnya.
Proses pembuatan baram yang dilakukan di rumah dan tidak
terstandar tampaknya merupakan penyebab masalah yang utama.
Meskipun perbandingan gula dan air yang akan difermentasi selalu
ditakar dengan tepat sesuai resep masing-masing pembuat, jumlah
ragi yang dimasukkan ke dalam wadah fermentasi biasanya tidak
menggunakan ukuran berat yang tetap. Hanya satu dari empat

122 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
pembuat baram yang kami amati yang menimbang ragi sebelum
proses fermentasi, sedangkan sisanya menghitung ragi dengan satuan
butir. Padahal, ukuran tiap butir ragi yang dibuat tidak selalu sama.
Selain itu, pembuat baram juga tidak dapat memastikan jenis dan
banyaknya jamur yang ada di tiap butir ragi.
Dari pengamatan kami, para pembuat baram menggunakan
tanaman herbal yang jumlahnya tidak pernah dihitung secara akurat.
Komposisi masing-masing bahan pun ditentukan berdasarkan kira-
kira atau secukupnya saja. Memang, setiap pembuat baram memiliki
prinsip-prinsip dasar tertentu yang dipahami dan diyakininya, seperti
misalnya, ‘Terlalu banyak daun kayu manis besar akan membuat
baram terasa pahit,’ atau ‘Tembakau ditambahkan ke dalam tum­
bukan ragi agar baram tidak masam.’ Namun pada praktiknya, seperti
seorang ibu rumahtangga yang tengah membuat masakan yang telah
biasa dibuatnya, bahan-bahan tersebut dimasukkan tanpa ditimbang.
Hal tersebut tentu saja menyulitkan proses kendali mutu.
Kemudian, faktor-faktor fisik (misalnya suhu dan kelembapan
udara yang berubah-ubah sesuai kondisi cuaca) juga dapat mem­
pengaruhi proses pembuatan ragi sehingga kualitas ragi dapat
bervariasi pada setiap kali pembuatan baram.
Selain komposisi bahan dan proses pembuatan ragi yang tidak
terstandar, lamanya tahap fermentasi serta penyimpanan baram
sebelum dikonsumsi juga bervariasi dan dapat mempengaruhi kadar
alkohol. Semakin panjang durasi fermentasi, rasa manis pada baram
akan semakin berkurang dan kadar alkohol akan semakin tinggi.
Demikian pula dengan baram yang sudah lama disimpan. Seperti
wine yang ditemukan di berbagai tempat lain di dunia, rasanya akan
menjadi lebih pahit dan kandungan alkoholnya semakin besar seiring
berjalannya waktu karena proses fermentasi mengubah gula menjadi
alkohol (lihat gambar berikut).

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 123
Sumber: The Science of Drinking, Sagupta A.
Gambar 5.5. Proses fermentasi glukosa menjadi alkohol.

Sebuah sampel baram yang berhasil dibawa dari Desa Danum


Simak Harum telah diujikan di Laboratorium Kesehatan Daerah
Provinsi DKI Jakarta. Sampel tersebut merupakan hasil fermentasi
keempat dari satu bahan ragi yang sama, yang dikeluarkan dari
embernya di hari kesebelas. Namun sayangnya, pemeriksaan baru
dapat dilakukan enambelas hari kemudian setelah mengalami
perjalanan darat maupun udara yang cukup jauh, dan sampel baram
sudah berubah secara fisik. Baram tidak lagi terlihat kuning pucat
keruh seperti sari jeruk nipis, melainkan berubah jingga bening
seperti teh yang encer, dan bau serta rasa alkoholnya sudah menjadi
sangat kuat. Baram tersebut tidak berani lagi dikonsumsi, karena
menyebabkan sensasi panas di mulut yang rasanya sangat mirip

124 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
dengan obat kumur. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
kandungan etanol sebesar 15,58%.
Menurut literatur, sebenarnya kadar alkohol dalam wine tidak
dapat melewati 15%, karena spesies ragi penghasil wine hanya dapat
mentolerir kadar alkohol maksimal sebesar 12-15% di lingkungannya
dan akan mati pada kondisi yang lebih ekstrem sehingga proses
fermentasi akan berhenti. Pengujian kadar alkohol pada baram
lanjutan untuk mengamati peningkatan kadar alkohol dari waktu ke
waktu tidak dilakukan dalam penelitian kami, namun dari hasil yang
kami dapatkan, kami menduga bahwa kadar alkohol pada baram
yang dikonsumsi masyarakat Desa Danum Simak Harum tidak lebih
dari 15%. Dengan demikian, jika benar bahwa produk-produk baram
yang dihasilkan memiliki kadar alkohol antara 7-14%, maka batas
konsumsi aman dalam sehari berdasarkan standar Amerika Serikat
bagi seorang laki-laki adalah sebesar 296 ml (two drinks), sedangkan
bagi perempuan 148 ml (one drink).
Babusau dan Berbagai Dampak Baram Lainnya
Penelitian menunjukkan bahwa dalam jumlah sedikit, alkohol
dapat memberikan efek positif bagi individu, misalnya mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus (WHO; 2014,
Dasgupta; 2011, Rehm; 2010). Kendati demikian, secara global,
potensi dampak positif alkohol ternyata tidak dapat mengimbangi
berbagai kerugian yang terjadi akibat penyalahgunaannya. Menurut
World Health Organization (WHO, 2014), konsumsi alkohol
berhubungan dengan lebih dari 200 jenis penyakit, terutama adiksi,
sirosis hati, dan cedera. Alkohol bertanggung jawab terhadap 3,3 juta
kematian yang terjadi di seluruh dunia pada tahun 2012, dan berbagai
dampak terkait konsumsinya menyumbang 5,1% dari total global
burden of disease and injury. Selain itu, alkohol yang dulu lebih sering
dianggap sebagai penyebab penyakit tidak menular kini telah terbukti
dapat meningkatkan pula risiko penyakit menular seperti tuberkulosis
dan HIV/AIDS (Rechm, 2009; Rechm, 2010).

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 125
Ketika ditanya mengenai dampak yang mungkin muncul dari
perilaku minum baram, hampir semua masyarakat Desa Danum
Simak Harum yang diajak berbincang menjawab “mabuk”, yang
dalam bahasa Dayak Katingan dikenal juga dengan istilah busau
atau babusau. Namun apakah benar bahwa baram hanya sekedar
membuat peminumnya mabuk? Tidak adakah dampak lain yang
muncul dalam jangka panjang?
Baram sebagai minuman beralkohol dengan kandungan etanol
tentunya juga memiliki potensi dampak negatif bagi kesehatan seperti
minuman alkohol yang lain. Berbagai dampak tersebut dapat muncul
segera, maupun dalam jangka waktu yang sangat panjang, hingga
puluhan tahun. Selain itu, dampak negatif yang muncul dipengaruhi
oleh volume yang dikonsumsi, pola minum, dan pada kasus-kasus
tertentu, kualitas dari alkohol yang diminum.
Dalam penelitian di Desa Danum Simak Harum, peneliti ber­
usaha mencari dan mengamati berbagai dampak negatif baram
terhadap kesehatan. Akan tetapi, hal tersebut tidaklah mudah karena
beberapa alasan. Pertama, tidak semua dampak kesehatan terkait
baram terdeteksi dan terekam dengan baik. Cedera akibat kecelakaan
saat mabuk, misalnya, tidak selalu dilaporkan ke polisi atau Puskesmas
jika dianggap tidak serius dan belum sampai memerlukan perawatan
medis, sehingga tidak muncul di dalam catatan kasus. Kedua, kondisi-
kondisi medis yang timbul akibat konsumsi alkohol seringkali bersifat
multifaktorial sehingga hubungan kausalitas antara keduanya sulit
ditegakkan. Salah satu contohnya adalah dampak minum baram
terhadap kemampuan belajar dan capaian akademis di sekolah.
Sesuai dengan temuan dari berbagai penelitian, hasil pengamatan
memperlihatkan bahwa prestasi informan-informan remaja yang
masih aktif minum baram tidak ada yang menonjol dan cenderung
buruk. Meskipun demikian, peneliti tidak dapat menyimpulkan bahwa
luaran akademik yang buruk tersebut diakibatkan oleh konsumsi
baram karena dapat juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain
(misalnya pola asuh, masalah interpersonal dengan tenaga pengajar,

126 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
kondisi ekonomi, dan sebagainya). Luaran akademik yang buruk juga
dialami oleh banyak remaja lain yang tidak mengkonsumsi baram.
Ketiga, selain membutuhkan waktu lama sebelum gejala muncul,
kondisi medis akibat baram juga tidak selalu terjadi pada setiap
individu. Kondisi-kondisi yang jarang muncul tentunya sulit ditemukan
pada populasi yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Selain itu, pola
konsumsi alkohol setiap individu dapat bervariasi, demikian pula
metabolisme mereka, sehingga pengaruh alkohol terhadap kesehatan
masing-masing individu bisa sangat berbeda.
Karena keterbatasan-keterbatasan tersebut, dalam tulisan ini,
peneliti tidak akan menarik kesimpulan apapun mengenai hubungan
kausalitas antara baram dan berbagai penyakit atau kondisi medis
lainnya. Buku ini akan lebih banyak memaparkan contoh-contoh kasus
yang ditemukan di tengah masyarakat Desa Danum Simak Harum,
yang berdasarkan literatur, merupakan dampak negatif yang bisa
muncul akibat konsumsi alkohol.
Kecelakaan dan Cedera
Kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat berkendara saat mabuk
merupakan salah satu masalah utama terkait konsumsi minuman
keras. Berdasarkan WHO Global Status Report on Alcohol tahun
2014, sebanyak 15% dari seluruh kematian di dunia akibat kecelakaan
lalu lintas disebabkan oleh alkohol (WHO, 2014).Sementara itu, di
Indonesia, alkohol menyumbang 3,6% kematian terkait kecelakaan
lalu lintas pada laki-laki dan 0,2% pada perempuan.
Sayangnya, tidak ada data lebih lanjut mengenai angka ke­
matian ataupun kesakitan terkait kecelakaan lalu lintas akibat mabuk
saat berkendara di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten.
Puskesmas Kecamatan Tewang Sangalang Garing memang mencatat
75 kasus kecelakaan lalu lintas yang ditangani dari April hingga
November 2015, namun data tersebut tidak disertai dengan informasi
mengenai riwayat mabuk sebelum berkendara.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 127
Selain itu, dari pengamatan dan wawancara dengan beberapa
informan, terdapat pula kemungkinan bahwa banyak kasus kecelakaan
akibat berkendara saat mabuk tidak pernah diketahui atau dilaporkan
kepada pihak berwenang karena hanya menyebabkan cedera ringan
dan tidak menimbulkan korban. Salah satunya adalah yang terjadi
pada Papa Yana ketika penelitian memasuki bulan kedua.
Malam itu, sekitar pukul delapan, Papa Yana yang berusia
sekitar limapuluh tahun datang ke Pustu dengan mengendarai motor.
Kami tidak biasa mendapat tamu di malam selarut itu, namun karena
khawatir ada hal yang penting, mempersilakan Papa Yana masuk dan
duduk. Papa Yana kemudian bercerita mengenai kerabatnya yang
ingin bertemu peneliti untuk berkonsultasi masalah kesehatan. Tentu
saja tidak keberatan, namun peneliti merasa ada sedikit kejanggalan,
mengapa Papa Yana sampai perlu menyampaikan hal tersebut di
malam hari padahal tidak ada kondisi yang darurat? Apalagi selama
pembicaraan berlangsung, informasi tersebut kerap diulang beberapa
kali.
Setelah berbincang lebih lanjut dengan Papa Yana, disimpulkan
bahwa Papa Yana sedang mabuk. Ada luka-luka serta bekas pasir
dan tanah di lengan dan kakinya. Mulutnya pun bau alkohol.
Kami kemudian mengambil kasa dan larutan antiseptik untuk
membersihkan luka-luka di lengan, lutut, dan kaki Papa Yana, sambil
memeriksa apakah ada luka lain yang tidak terlihat. Papa Yana awalnya
sungkan untuk menerima pertolongan ini. Ia bahkan meminta maaf
karena merepotkan dan mengganggu istirahat di malam hari, namun
peneliti bersikeras dan Papa Yana sangat berterima kasih.
Benar saja, berdasarkan penuturan Papa Yana, saat itu ia baru
saja pulang dari acara kumpul-kumpul bersama kerabatnya, di mana
ia ikut minum baram hingga merasa agak mabuk. Ia merasa harus
pulang untuk beristirahat, namun ketika mengendarai motor, ia
kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke jalanan berpasir dalam
perjalanan pulang. Untung saja luka yang dialami Papa Yana hanya
berupa lecet-lecet di kulit yang tidak memerlukan perawatan serius.

128 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Memang bukan hanya kali itu saja Papa Yana berkendara saat
ia sedang mabuk. Pada kesempatan yang lain, tetangga yang tinggal
di sekitar Papa Yana pernah melihatnya menabrak pagar balai
Kaharingan ketika hendak pulang ke rumah. Papa Yana pun bukan
satu-satunya orang di desa yang pernah mengalami kecelakaan karena
mabuk saat berkendara. Dari berbagai informan, ada pula kisah-kisah
lain, misalnya dari seorang remaja putra berusia empatbelas tahun
yang kehilangan kesadaran setelah berkendara saat mabuk baram dan
terbangun di dalam parit.
Peneliti : “Bagaimana sih cara membedakan orang
yang mabuk?”
Remaja A : “Kalau bawa motor suka ngebut-ngebut.”
Remaja B : “Orang mabuk tuh sering kalau bawa motor
tuh sering masuk parit.”
Remaja lain : [tertawa]
Peneliti : “Ada ya?”
Remaja A : “Sering kalau di kampung!”
Remaja B : “Kalau gak jatuh, masuk ke parit...”
Peneliti : “Banyak tabrakan di sini?”
Remaja B : “Nggak yang tabrakan, tapi jatuh...”
Peneliti : “Ooo mabuk ya?
Remaja C : [tertawa]
Peneliti : “Apa? (Kamu) pernah (mengalaminya)
juga?”
Remaja lain : [tertawa kecil]
Peneliti : “Mabuk?”
Remaja C : [mengangguk]
Peneliti : “Tapi waktu itu sadar gak naik motor?”
Remaja C : “Sadar tapi gak tahu, langsung di parit gitu
ja...”
Remaja lain : “Hahahahaha!” [semua tertawa lepas]

Seperti tergambar dari percakapan di atas, kisah-kisah yang


kami dengar mengenai orang-orang yang berkendara saat mabuk
baram seringkali diceritakan sebagai sebuah lelucon yang disambut

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 129
gelak tawa, mencerminkan sikap masyarakat yang memandang
peristiwa-peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang lucu dan ringan,
bukan sebagai suatu perilaku berbahaya yang membutuhkan
perhatian khusus.
Memang benar, selama kami tinggal di Desa Danum Simak
Harum dan setelah berbincang dengan banyak orang, kami belum
pernah mendengar kasus kecelakaan akibat baram yang sampai
memakan korban jiwa atau merugikan pihak lain yang tidak sedang
mabuk. Hal itu mungkin disebabkan oleh kondisi lalu lintas di Desa
Danum Simak Harum yang sangat sepi dan lengang, terutama di
malam hari ketika orang-orang yang mabuk hendak kembali ke
rumahnya. Kondisi jalan pun belum sempurna sehingga sebagian
besar pengendara sepeda motor hanya bisa memacu kendaraannya
dengan kecepatan rendah, dan kecelakaan berat dapat terhindarkan.
Namun demikian, berkendara saat mabuk tetap merupakan sebuah
perilaku berisiko yang harus menjadi perhatian semua pihak di Desa
Danum Simak Harum, terutama karena kepemilikan kendaraan
bermotor terus bertambah dari waktu ke waktu, kebiasaan masya­
rakat berkendara tanpa mengenakan helm, serta jalan desa yang
akan segera diaspal sehingga risiko cedera yang lebih serius akan
meningkat.
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin
Penelitian telah menunjukkan bahwa konsumsi alkohol di masa
kehamilan dapat mengganggu perkembangan janin dan merupakan
penyebab utama berbagai kecacatan serta gangguan saraf dan
perkembangan yang dapat dicegah. American Academy of Pediatrics
menyebutkan, hingga saat ini tidak ada penelitian yang dapat
memperlihatkan jumlah, frekuensi, jenis, maupun periode konsumsi
alkohol yang aman selama kehamilan. Karena itu, berbagai konsensus
di dunia telah melarang sama sekali konsumsi alkohol oleh ibu hamil.
Dalam bentuk yang paling berat, konsumsi alkohol di masa
kehamilan dapat menyebabkan kelainan perkembangan janin yang
dikenal dengan istilah fetal alcohol syndrome (FAS). FAS didiagnosis

130 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
berdasarkan adanya serangkaian tanda dan gejala klinis, yang
meliputi: berat lahir rendah, gangguan makan dan tidur pada bayi,
gangguan pendengaran dan penglihatan, gangguan kognitif, gangguan
perilaku, bentuk wajah yang khas (filtrum tidak tegas, bibir bagian
atas tipis, fisura palpebra sempit, hipoplasia wajah, mikroftalmia, dan
lain-lain). Beberapa kelainan kongenital lain, seperti bibir sumbing,
kelainan jantung, dan kelainan ginjal, juga dapat ditemukan.
Tak hanya FAS, bukti-bukti ilmiah terbaru juga menemukan
berbagai kelainan perkembangan janin yang berbeda-beda derajat
keparahannya akibat paparan alkohol antenatal (prenatal alcohol
exposure, atau biasa disingkat PAE). Istilah fetal alcohol spectrum
disorder (FASD) kini digunakan untuk “berbagai efek yang dapat
muncul pada individu yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi alkohol
selama hamil”. Istilah tersebut tidak digunakan untuk diagnosis,
namun dipakai untuk mengklasifikasikan berbagai kelainan yang
meliputi disabilitas fisik, mental, perilaku, maupun kognitif dengan
kemungkinan implikasi seumur hidup.
Berdasarkan wawancara kami dengan sekelompok ibu di Desa
Danum Simak Harum, dewasa ini, masyarakat telah mulai memahami
bahwa minum baram di saat hamil bukanlah hal yang baik. Walaupun
tidak termasuk ke dalam daftar pantangan (yang dilarang oleh leluhur
untuk dikonsumsi saat hamil maupun menyusui) makanan dan
minuman, informan-informan yang kami wawancarai dapat mengerti
dengan nalar mereka bahwa baram yang dapat memabukkan tersebut
dapat juga menyebabkan efek buruk terhadap janin yang ada dalam
kandungan, seperti yang terekam dalam percakapan berikut.
Peneliti : “Tapi tadi kakak bilang kan ‘seharusnya’ gak
boleh..seharusnya itu maksudnya kata siapa?”
Ibu A : “Memang kalau kita kan secara logika, secara
kesehatan, gak diperbolehkan... tapi gak apa
apa... kalau kita mau minum ya minum aja...”
Peneliti : “Kalau yang bilang gak boleh itu kenapa kak?
Bisa bikin apa?”

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 131
Ibu B : “Takutnya kan anaknya nanti kurang daya
pikir... kita kan secara logika mikir anak
kita harus sehat, kuat... kalau kita minum
minuman keras takut anaknya cacat, kita yang
rugi”
Peneliti : “Tapi itu dari orang tua ada nyebut kayak gitu
juga? Tradisi begitu?”
Ibu A : “Bukan pemantang itu... tapi secara logika kita
mikir...”
Ibu B : “Iya baram itu kan bukan pemantang...
tapi secara kesehatan, secara pengalaman
sekarang kita udah ngerti...”
Peneliti : “Kalau orang dulu gimana?”
Ibu A : “Gak ada orang larang kalau dulu...”

Kendati demikian, beberapa ibu masih juga minum baram


semasa kehamilan mereka. Alasan yang biasa dikemukakan adalah
alasan ngidam, yaitu keinginan yang amat kuat untuk mengkonsumsi
atau mendapatkan sesuatu ketika hamil. Di Desa Danum Simak
Harum, sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa sedapat mungkin,
keinginan ibu yang sedang ngidam harus dituruti. Jika tidak, ibu yang
hamil tidak akan merasa tenang karena keinginan tersebut akan terus
terbayang, bahkan sampai tidak bisa tidur. Seorang informan, yaitu
Ibu B, merasakan keinginan minum baram yang sangat kuat ketika
usia kehamilannya sekitar empat hingga lima bulan. Kala itu, setiap
ada pesta di desa, ia akan datang meski tidak diundang, hanya untuk
mencicipi baram. Menurut pengakuannya, ia minum hanya sesekali
saja dan jumlahnya pun sedikit, kira-kira hanya satu hingga dua
jari. Satu hingga dua jari yang dimaksud di sini adalah tinggi baram
setelah dituang ke gelas (biasanya gelas kaca berukuran 150 ml), dan
merupakan satuan ukuran yang sering dipakai oleh masyarakat untuk
menjelaskan banyaknya baram yang mereka minum.
Setelah minum, informan merasa sakit kepala dan perut, namun
hal tersebut tidak dianggap suatu hal yang perlu dikhawatirkan.

132 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Yang penting adalah rasa penasarannya untuk minum baram telah
terpuaskan. Adapun terhadap bayi yang dilahirkan, informan
menyang­kal adanya kelainan akibat baram yang dikonsumsinya
tersebut. Informan mengaku, anaknya lahir dengan berat lahir yang
cukup besar, yaitu 4100 gram, dan menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangan yang baik hingga kini usianya hampir tujuh tahun.
Sang anak juga menunjukkan performa yang baik di taman kanak-
kanak, dan telah lulus dengan mendapat peringkat pertama.
Pengalaman lain juga diungkapkan oleh seorang informan
yang lahir dari ibu yang suka minum baram ketika hamil dahulu.
Sang informan yang kini telah memiliki anak menuturkan, ibunya
minum baram hampir tiap hari selama hamil dirinya, dan hal tersebut
dibiarkan oleh neneknya karena alasan ‘pembawaan anak’. Memang
informasi yang lebih rinci, misalnya di trimester berapa kebiasaan
tersebut dimulai dan berapa pastinya jumlah yang dikonsumsi, sulit
untuk didapatkan. Kenyataannya, ia tidak mengalami kecacatan atau
merasakan masalah perkembangan apapun.
Pengalaman-pengalaman tersebut, yang tidak sesuai dengan
teori mengenai dampak negatif alkohol terhadap janin, menjelaskan
mengapa keyakinan dan pendapat soal baram yang ada di masyarakat
berbeda-beda. Bahkan, hal tersebut dapat juga menyebabkan
kebingungan dalam diri individu ketika harus menentukan sikap ter­
hadap baram. Dalam petikan percakapan di atas, Ibu A, seorang kader
yang telah mendapat informasi dari bidan mengenai alkohol dan
sering mengikuti berbagai penyuluhan kesehatan, berkata,
“Memang kalau kita kan secara logika, secara kesehatan,
gak diperbolehkan... tapi gak apa apa... kalau kita mau
minum ya minum aja...”

Ada ketimpangan antara pengetahuan medis yang ingin dan


harus ia yakini sebagai kader dengan pengalamannya sehari-hari,
sehingga sikapnya cenderung permisif terhadap baram.
Di samping itu, karena kurangnya pengetahuan masyarakat
dan terbatasnya fasilitas diagnostik, kelainan-kelainan medis yang

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 133
sebenarnya muncul akibat konsumsi baram semasa hamil juga sulit
dideteksi. Sekalipun terdeteksi, kondisi tersebut tak lantas bisa
dibuktikan sebagai akibat dari konsumsi baram, misalnya berat badan
lahir rendah. Contohnya, data menunjukkan selama bulan Mei 2015
terdapat dua (14,3%) persalinan dengan berat lahir rendah (< 2500
gram) dari total 14 persalinan. Sedangkan bulan Desember 2015
ada empat (10,8%) persalinan dengan BBLR dari total 37 persalinan.
Adapun jumlah kelahiran ini dihitung di komunitas bukan hanya
persalinan yang ditolong nakes atau di puskesmas saja. Menurut
Riskesdas 2013 kecenderungan BBLR Nasional 10,2%. Sedangkan
BBLR di Kalimantan Tengah sekitar 14% menjadi provinsi ke lima
di Indonesia dengan BBLR tertinggi. Namun di antara kasus-kasus
tersebut, sulit untuk menentukan manakah yang terjadi akibat baram.
Menariknya, Ibu B, yang dulu juga minum baram saat hamil
namun tidak merasakan dampak apapun terhadap kandungannya,
dengan yakin menjelaskan kelainan yang dialami seorang kawannya,
“[Dia] tuh kan waktu hamil kan sukanya minum kan....
anaknya tuh kan gak ada pertumbuhan... bukannya gak
ada pertumbuhan, tapi lambat pertumbuhannya karena
minuman keras...”

Selain berat badan lahir rendah dan gangguan pertumbuhan,


contoh kelainan lain yang dapat kami identifikasi pada anak-anak
dengan riwayat ibu yang minum baram di masa kehamilan adalah
kejang yang timbul berulang kali sebelum anak berusia lima tahun.
Hal ini terjadi pada ketiga anak dari Mamah Awan, yang sering minum
baram semasa kehamilannya. Pada kehamilan pertama dan kedua,
memang ia minum atas keinginannya sendiri dan hanya sesekali,
sehingga jumlah yang dikonsumsi relatif lebih sedikit dibanding
kehamilan ketiga. Adapun kehamilan ketiganya tidak ia sadari pada
awalnya, sehingga ia minum baram cukup banyak selama trimester
pertama.
Ketiga anak Mamah Awan tidak pernah mendapatkan pe­
nanganan medis selama mengalami kejang. Hal itu karena Mamah

134 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Awan meyakini jika kejang yang dialami bukanlah permasalahan
medis, tetapi karena ada pantangan yang pernah dilanggar Mamah
Awan selama hamil. Anak pertama Mamah Awan berjenis kelamin
laki-laki dan kini berusia 12 tahun. Anak tersebut mengalami kejang
ketika usianya masuk empat bulan. Saat itu anak pertamanya kejang
hebat dengan disertai demam yang tinggi. Bola matanya nyalang
terus menatap ke atas dan mulutnya mengeluarkan busa. Mamah
Awan berkata, “Waktu itu ku lihatnya dia begitu, aku menangis
manggil tetangga. Kebetulan kan bapaknya sedang ndak ada di
rumah”. Mamah Awan kemudian membawa anak pertamanya ke
dukun kampung untuk diberi pengobatan, dan ternyata anak tersebut
terkena nyun bawui atau kejang babi.
Kejang dalam bahasa Katingan disebut dengan nyun, dan nyun
dipercaya bukan penyakit biasa. Nyun dipercaya sebagai penyakit
yang muncul karena adanya tabu yang dilanggar. Menurut dukun
kampung yang mengobati anak pertama Mamah Awan, nyun bawui
yang diderita anaknya muncul karena Mamah Awan melanggar aturan
untuk tidak makan babi selama hamil.
“Iya aku sebenarnya kan ndak boleh makan babi. Itu
nenek moyangku dari dulu udah larang begitu. Kebetulan
suamiku juga meskipun sudah ndak jadi orang Islam lagi
tapi dia tetap ndak makan babi. Sekarang dia kan ikut
Hindu (Kaharingan) kaya aku ini. Nah waktu hamil dulu
aku datang ke pesta. Di situ lah aku makan babi. Padahal
sedikit aja. Tapi mau gimana lah, namanya juga ndak boleh
makan ya begini ini jadinya haha”

Satu pertanyaan yang muncul kemudian adalah; mengapa nyun


bawui justru diderita oleh anak pertama Mamah Awan, sedangkan
yang memakan daging babi adalah Mamah Awan sendiri? Ternyata
bawui atau babi yang dimakan Mamah Awan larut dalam ASI yang
diminum oleh si anak. Nyun bawui yang dialami anak pertama Mamah
Awan beberapa kali kambuh. Setiap kali kambuh, Mamah Awan pasti
membawa anaknya ke dukun kampung untuk disembuhkan. Selain

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 135
pantang makan babi, cara lain untuk menyembuhkannya yaitu dengan
melakukan ritual tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh si dukun.
Nyun bawui ini akhirnya sembuh dengan sendirinya ketika anak
tersebut masuk usia dua tahun
Anak kedua Mamah Awan berjenis kelamin perempuan dan kini
berusia 9 tahun. Sama halnya seperti kakaknya, anak perempuan yang
cantik ini juga pernah mengalami kejang atau nyun ketika berusia dua
bulan. Tetapi bukan nyun bawui melainkan nyun hatu yang berarti
kejang mayat. Hatu dalam bahasa Katingan berarti mayat. Nyun ini
mulai muncul ketika anak kedua Mamah Awan berusia dua bulan. Ciri-
ciri dari nyun ini adalah kejang yang diakhiri dengan tubuh yang sangat
lemas sehingga disamakan dengan orang yang sudah meninggal.
Penyebab nyun hatu belum diketahui sampai sekarang. Pengobatan
untuk nyun hatu terbilang unik karena orang yang terkena nyun jenis
ini harus diobati dengan air bekas mandi mayat, atau benda apapun
yang merupakan benda bekas pakai mayat saat dimandikan, misalnya
sabun mandi.
Nyun yang diderita anak kedua Mamah Awan juga kerap
kambuh. Mamah Awan tidak ingat secara pasti berapa kali nyun hatu
tersebut kambuh. Nyun ini adalah nyun yang paling mengkhawatirkan
bagi Mamah Awan karena pengobatannya yang terbilang sulit dan
langka. Konon nyun jenis ini juga bisa merenggut jiwa jika tidak
ditangani dengan segera. Itu juga yang menjadi salah satu alasan
mengapa nyun ini disebut dengan nyun hatu (kejang mayat). Nyun
yang diderita anak kedua Mamah Awan mulai sembuh ketika usia si
anak sekitar 16 bulan. Sampai saat ini Mamah Awan merasa yakin jika
efek buruk dari nyun hatu masih melekat pada anak keduanya.
“Ini anak ini beda dengan kakaknya na. Dia itu lambat
berpikirnya, lambat mengerti juga. Kalau kita bilang apa,
suruh apa, dia juga lambat tahu. Pelajaran di sekolah juga
begitu. Makanya aku ndak pernah paksa paksa dia apa,
kasihan juga. Soalnya anak itu memang ndak mampu,
kurang bisa berpikir begitu na”

136 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Tampaknya nyun memang tidak bisa jauh dari hidup Mamah
Awan. Anak ketiga Mamah Awan yang kini belum genap berusia
dua tahun pun terkena nyun, lebih tepatnya nyun buhis. Buhis
adalah nama sejenis monyet, jadi arti dari nyun buhis adalah kejang
monyet. Nyun jenis ini meninggalkan bekas warna biru kehitaman
di tubuh setelah kejang berhenti. Warna biru kehitaman tersebut
menyerupai warna bulu buhis. Anak perempuan batita tersebut mulai
terkena nyun ketika usianya enam bulan. Saat itu anak ketiga Mamah
Awan tiba-tiba terdiam, kejang hebat, dengan bola mata yang terus
menghadap ke atas. Selepas itu muncul bekas biru kehitaman di
tubuhnya.
Penyebab pasti nyun buhis juga belum jelas, namun dimung­
kinkan muncul karena dipicu dari kesalahan yang pernah dilakukan
orangtua si anak. Pengobatan untuk nyunbuhis tidak kalah unik
dengan nyun hatu. Sesuai dengan namanya nyun buhis harus
disembuhkan dengan tulang belulang buhis. Tulang itu harus didoakan
terlebih dahulu di atas perapen (perapian) yang menyala. Asap yang
berasal dari perapen itu dikibaskan ke bagian tubuh si anak yang
terkena nyun berulang-ulang.
Lebih lanjut dalam perbincangan kami dengan Ibu A, Ibu B, dan
beberapa ibu lainnya, kami bertanya apakah para ibu yang minum
baram semasa hamil tersebut pernah ditegur atau diperingatkan oleh
rekan-rekannya. Ibu A dan Ibu B pun menjawab seperti berikut.

Peneliti : “Pernah gak sih ada yang saling meng­


ingatkan?”
Ibu B : “Diingatkan... kita mengingatkan... tapi gak
mau dengar... ah masa bodoh... tapi kalau
saya kasih tau sama dia, ini akibatnya ini, diem
aja... gak mau ikutin... biarin... yang penting
kesalahan sendiri [di]tanggung sendiri...”
Ibu A : “Memang Mamahnya gak masalah kan, tapi
anaknya...”

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 137
Peneliti : “Masalahnya dari dulu tradisi dan adat juga
gak memantang sih ya?”
Ibu B : “Iya...”

Pada akhirnya, dari hasil pengamatan dan wawancara,


disimpulkan bahwa perilaku minum baram semasa hamil bukan
sekedar masalah budaya. Budaya masyarakat yang erat dengan baram
memang meningkatkan ketersediaan alkohol di tengah masyarakat.
Tidak adanya pantangan dari nenek moyang juga memberikan
keleluasaan bagi ibu hamil untuk minum baram. Namun demikian,
yang tampaknya lebih memiliki peran besar terhadap sikap dan
perilaku ibu adalah pengetahuan individu serta pengalaman personal.
Tanpa adanya bukti nyata mengenai dampak baram terhadap
pertumbuhan dan perkembangan janin, akan sulit meyakinkan para
ibu untuk menghindari konsumsi baram selama kehamilan.
Penyakit Kronis Terkait Baram
Minum baram atau mihup baram bisa menjadi aktivitas yang
menarik untuk diobservasi. Jika ada lebih dari 1 orang bertemu,
berkumpul, mengobrol, dan berencana meluangkan waktu lebih
banyak untuk bersantai, maka mereka bisa membeli baram atau
mengeluarkan baram yang mereka miliki di rumah. Tidak ada aturan
khusus siapa yang harus membeli atau berapa banyak baram yang
mereka bisa minum. Semua bisa berjalan tanpa rencana. Topik
pembicaraan pun bervariasi dai mulai kisah pengalaman hidup sehari-
hari, isu politik, gosip terhangat yang beredar di desa, atau hanya
sekedar saling mengejek ketika ada rekan minum yang mabuk.
Ketika itu peneliti sedang berada di hilir dan duduk bersama
dengan sekumpulan laki-laki dan perempuan dewasa yang sedang
minum baram tanpa rencana. Topik pembicaraan yang mereka bahas
adalah tentang kerusuhan berdarah yang pernah terjadi di Sampit
pada tahun 2001 lalu. Kayau, mandau, Dayak, Madura, dan kepala
manusia. Cerita itu yang sering kali terdengar.

138 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Saat itu ada sekitar 7 orang yang berkumpul, 4 laki-laki dan 3
orang perempuan. Semua saling mengenal dan tinggal di rumah yang
tidak jauh dari tempat tinggal kami, yaitu di Pustu. Semua berbicara
dengan bahasa Dayak Katingan, bahasa yang tidak kami mengerti
sama sekali. Sesekali mereka akan berbicara memakai bahasa
Indonesia jika akan bertanya atau ikut menimpali pembicaraan,
peneliti harus mencari celah untuk masuk ke dalam pembicaraan
agar tetap terlibat dalam kelompok itu, karena ketika mereka
asyik berbicara dengan bahasa Dayak mereka nyaris tidak pernah
menggunakan bahasa Indonesia. Semua orang minum baram kecuali
satu orang, yaitu Pak Tanjung. Sosok ramah dan selalu tertawa lepas
ini ternyata dia sudah berhenti minum baram sejak 8 tahun yang lalu
karena telah mengalami sirosis hati yang parah. Sedikit saja baram
yang masuk ke tubuhnya, dia akan merasa sakit.
Pak Tanjung mulai minum baram sejak tahun 1972, saat itu
usianya baru menginjak 20 tahun dan baru menikah. Pada masa
sebelum menikah, Pak Tanjung tidak memiliki kebiasaan untuk minum
baram. Menurutnya, pada saat itu kebanyakan orang di hilir baru
minum baram setelah menikah karena dianggap waktu yang tepat,
dan frekuensi minumnya pun tidak sesering pada masa kini. Dahulu,
baram dibuat dengan jumlah yang terbatas dan belum menjadi
home industry seperti pada masa sekarang. Baram dibuat ketika ada
momen khusus dengan jumlah yang terbatas karena wadah untuk
penyimpanan berupa guci pun terbatas baik dari segi kapasitas
maupun jumlahnya. Sebagian besar baram dibuat untuk tujuan
ritual adat dan agama, dan jika keperluan untuk kedua hal tersebut
sudah terpenuhi, maka baram yang masih bersisa baru bisa dinikmati
bersama-sama kerabat.
Menurut cerita Pak Tanjung, dahulu baram sulit untuk dicari
terkecuali jika ada pesta adat atau ritual agama. Pak Tanjung dan yang
lain bisa minum sampai mabuk sambil menari manasai dan diiringi
musik karungut. Laki-laki dan perempuan turut minum baram, tetapi
jumlah perempuan yang minum tidak sebanyak laki-laki. Tidak jarang

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 139
Pak Tanjung harus pulang pagi karena larut dalam pesta dan pada
beberapa jam berikutnya dia harus pergi ke ladang. Pada masa tahun
70-an, orang tidak bisa sewaktu-waktu berkumpul lalu minum baram
seperti pada masa sekarang. Selain karena terbatasnya baram, jarak
antara rumah satu dengan rumah yang lain pun berjauhan. Maka dari
itu, jika Pak Tanjung ingin minum baram bersama teman-teman di
hilir, dia akan mempersiapkan semuanya jauh hari sebelumnya. Ada
satu pernyataan menarik dari Pak Tanjung,
“Kalau dulu anak-anak ndak ada yang minum, ndak boleh
itu sama orangtuanya. Sekarang anak kecil saja minum.
Ndak ada yang larang”.

Kemudian penelitipun menimpali, “Apa sebabnya? Kenapa bisa


begitu Pak?”, dan Pak Tanjung menjawab “Ndak tahu kenapa itu, tapi
mungkin karena sekarang ini banyak yang jual baram hahaha”. Pak
Tanjung tidak mampu mengingat secara pasti sejak tahun berapa
banyak bermunculan penjual baram rumahan di Desa Danum Simak
Harum. Tetapi seingatnya pada medio tahun 90-an penjual baram
sudah bisa dikatakan banyak, “Iya dulu di hilir saja berapa itu. Banyak
haha”. Pak Tanjung tidak tahu apa penyebab masifnya penjual baram
pada era itu, dia hanya bisa berspekulasi “Mungkin karena beli
minuman laut mahal, jadi jual baram aja hahaha”.
Ada pernyataan Pak Tanjung yang menarik ketika menyinggung
tentang adanya pergeseran nilai antara masa lalu dan masa kini,
terutama yang terkait dengan mengapa dahulu anak kecil tidak
diperkenankan minum baram, dan kini lebih bebas untuk minum.
Yang patut digaris bawahi adalah, konsep ‘anak kecil’ yang dipahami
oleh Pak Tanjung dan tentu saja ini terkait erat dengan umur si anak.
Kami pun bertanya kembali “Katanya dulu sewaktu Pak Tanjung masih
muda, anak kecil dilarang minum baram oleh orangtuanya. Nah itu
umur berapa sih Pak?”, Pak Tanjung menjawab “Ya anak kecil itu ya
anak yang masih sekolah lah. Kalau masih sekolah itu masih kecil,
ndak boleh minum baram itu. Kan otaknya nanti bisa rusak hahaha”.
Kami langsung menggarisbawahi konteks umur yang dikaitkan dengan

140 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
dikotomi ‘sekolah’ dan ‘tidak sekolah’. Kemudian timbul pertanyaan
“Kalau ada anak yang hanya lulus SMP, setelah itu dia minum baram
karena dia sudah tidak sekolah, apa itu artinya dia bukan anak kecil
lagi Pak? Sudah boleh minum?”, Pak Tanjung mejawab “Ya ndak boleh
itu, harusnya kalau sudah lulus SMA”. Pak Tanjung pada akhirnya
secara tidak langsung setuju bahwa seusia setara dengan lulus SMA
adalah usia di mana anak-anak diperbolehkan untuk minum baram
atau alkohol.
Banyaknya penjual baram berimplikasi pada semakin mudah­
nya baram diperoleh. Dahulu Pak Tanjung pun dimudahkan untuk
minum baram bersama teman-temannya tanpa harus terikat waktu
dan kesempatan. Acara minum kasual pun sering dia lakukan ber­
sama teman-temannya. Pak Tanjung ingat kalau dia sangat sering
menghabiskan waktu dengan cara minum-minum sampai mabuk
sampai pagi. Dia tidak ingat berapa liter baram yang dia tenggak
bersama teman-temannya dan tidak ingat dibutuhkan berapa banyak
baram untuk membuat dia mabuk. Dia berkata “Kalau sudah minum
itu kita ndak tahu berapa berapanya. Yang penting minum saja, (lalu)
mabuk hahaha”.
Sekitar tahun 2000 ketika musik dangdut dan keyboard
sedang mejadi trend, Pak Tanjung bersama teman-temannya sering
minum bersama sembari bermain musik di teras rumahnya. Tahun
sebelumnya Pak Tanjung hanya memutar lagu melalui tape radio
saja. Acara minum itu lambat laun dilakukan berulang-ulang dengan
frekuensi semakin sering. Teras rumahnya menjadi kiblat orang hilir
untuk menikmati baram sembari menikmati musik.
Tahun 2008 Pak Tanjung mengalami muntah-muntah luar biasa
setelah mabuk baram. Perut serta ulu hatinya terasa sakit luar biasa.
Dia hanya bisa terbaring berhari-hari dan melakukan pengobatan
dengan cara tradisional yaitu dengan memakai obat kampung, atau
obat non-medis yang diramu oleh penyembuh tradisional. Ternyata
pengobatan yang dia lakukan tidak membawa kesembuhan dan
kondisi Pak Tanjung semakin parah. Keluarganya kemudian membawa

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 141
Pak Tanjung berobat ke kota kabupaten dan akhirnya dia diharuskan
untuk menjalani rawat inap di rumah sakit selama beberapa hari.
Pak Tanjung didiagnosa menderita sirosis hati, dan dokter berkata
jika kemungkinan besar penyebab utamanya adalah kebiasaan Pak
Tanjung yang gemar meminum baram dalam jangka waktu lama.
Saat itu semua biaya pengobatan ditanggung oleh pemerintah
karena keluarga Pak Tanjung sempat membuat surat keterangan tidak
mampu (SKTM).
Pak Tanjung diperbolehan pulang setelah dirawat inap selama
sekitar satu minggu. Pak Tanjung belum dinyatakan sembuh oleh
dokter dan dokter memberi peringatan keras agar Pak Tanjung
berhenti total mengkonsumsi alkohol, termasuk baram. Pak Tanjung
mematuhi nasehat dokter dan berusaha keras untuk tidak kembali
menyentuh segala jenis alkohol. Peneliti sempat bertanya apakah
Pak Tanjung merasa berat untuk menjauhi baram, dia menjawab
“Ya berat. Apa lagi kalau datang ke acara adat atau pesta, kan pasti
diajak minum baram. Ya kami puse puse aja hahaha”. Puse puse
adalah sebutan untuk tindakan menyentuh makanan atau minuman
yang dihidangkan oleh orang lain menggunakan ujung jemari tangan.
Tangan yang digunakan biasanya adalah tangan kanan. Selepas ujung
jemari tangan menyentuh makanan, ujung jemari tangan kemudian
diletakkan di bagian belakang telinga lalu digosokkan perlahan
sebanyak sekali atau dua kali di bagian tersebut.
Puse-puse sesungguhnya bertujuan untuk mengapresiasi pem­
berian orang lain yang tidak bisa diterima, diminum, atau dima­
kan. Orang Dayak pantang menolak pemberian orang. Selain untuk
tujuan apresiasi dan sopan santun, puse-puse juga dilakukan untuk
menghindari pahuni yang kurang lebih berarti kualat dalam bahasa
Indonesia. Jika puse-puse tidak dilakukan ketika kita menolak
makanan dan minuman yang ditawarkan atau diberikan orang lain,
kita bisa kualat dan mengalami hal yang buruk. Misalnya saja tertimpa
kesialan atau menderita sakit. Semua orang yang kami temui di desa
sangat mempercayai hal ini, termasuk Pak Tanjung.

142 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Suatu hari kami pernah melihat Pak Tanjung melewati keru­
munan masyarakat yang baru selesai melakukan ritual doa di
depan Patahu Mahagalewu (Patahu kampung) yang terletak di hilir.
Kerumunan tersebut berasal dari hulu. Mereka sedang duduk di atas
tanah yang beralaskan tikar sembari menikmati makan siang bersama
dan mengobrol dengan akrabnya. Di antara sajian makanan dan
minuman terdapat satu jerigen baram yang diminum bersama oleh
mereka. Ada yang minum sedikit dan masih terjaga kesadarannya,
dan ada juga yang sudah mabuk berat.
Mina (Bibi) Cantik adalah salah satu yang mabuk berat.
Bicaranya sudah mulai ngawur dan tawanya pun sudah sangat
keras. Ketika melihat Pak Tanjung lewat di depannya, dia langsung
menarik Pak Tanjung ke kerumunan dan segera menyodorkan gelas
serta jerigen berisi baram ke hadapan Pak Tanjung. Susah payah Pak
Tanjung menolaknya. Pak Tanjung memundurkan badannya, menolak
sambil tertawa, dan melambaikan tangannya berkali-kali sebagai
simbol penolakan itu. tidak menyerah, dia merangkul Pak Tanjung
dan tidak menjauhkan gelas berisi baram yang disodorkannya. Mina
merayu Pak Tanjung untuk minum dengan berbisik langsung di telinga
Pak Tanjung tanpa kenal ampun. Berkali-kali kami mendengar Pak
Tanjung berkata “Puse-puse aja”. Pak Tanjung pun menyentuhkan
ujung jemarinya ke dalam gelas berisi baram, lalu menggosokkannya
sejenak di belakang telinganya. pun akhirnya menyerah.
Perjuangan Pak Tanjung menghindari baram mungkin sama
beratnya dengan perjuangannya untuk menjaga kesehatannya.
Sampai dengan tahun 2016, Pak Tanjung sudah berkali-kali menjalani
rawat inap dan rawat jalan. Terkadang ketika kesehatannya menurun
dan dia tidak ingin dirawat di rumah sakit, dia lebih memilih untuk
memanggil perawat Pustu untuk memberinya cairan infus dan obat.
Kami juga menanyakan apakah Pak Tanjung pernah berpikir untuk
berhenti minum baram sebelum dia mengalami sakit, Pak Tanjung
menjawab “Ndak haha.. Kalau ndak sakit aja kami ndak berhenti
minum”. Perawat yang kerap menangani Pak Tanjung ketika kondisinya

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 143
melemah berkata jika Pak Tanjung adalah termasuk sebagian kecil
orang yang mampu bertahan cukup lama melawan sirosis hati, dan
termasuk sebagian kecil juga orang yang mampu bertahan untuk
tetap konsisten menjauhi alkohol.
Perawat tersebut tahu pasti jika Pak Tanjung mengalami sakit
yang parah akibat konsumsi baram yang berlebih dalam waktu yang
lama. Dia juga bercerita tentang gambaran kondisi kesehatan di Desa
Danum Simak Harum, termasuk banyaknya kasus sirosis hati yang
diderita oleh orang yang memiliki riwayat sebagai peminum alkohol.
Dia berkata; “Banyak yang mati karena sirosis hati di desa ini. Ya
karena dulunya mereka minum-minum terus”. Kemudian peneliti
bertanya “Apa kebanyakan orang akan berhenti minum baram jika
sudah terkena sakit parah?”, dia menjawab “Kebanyakan ya. Jarang
yang berhenti karena kemauan sendiri”. Perawat itu menambahkan
jika sebagian besar orang yang dia kenal akan berhenti minum
karena alasan sakit pada usia yang sudah lanjut, contohnya adalah
Pak Tanjung yang pernah mendapat label sebagai seorang pemabuk.
Namun data tersebut tidak tercantum dalam riwayat kesehatan di
Pustu, karena beberapa alasan.
Alasan pertama, sebagian besar penderita langsung melakukan
pengobatan tradisional dengan memakai obat kampung, yaitu ramuan
tradisional yang berasal dari minyak tumbuh-tumbuhan, kayu-kayuan,
atau dedaunan obat yang diracik oleh penyembuh tradisional. Alasan
kedua, masyarakat memilih cara medis dengan pergi berobat ke
luar desa atau kecamatan. Jarak yang relatif dekat dengan ibukota
kecamatan dan ibukota kabupaten menjadi salah satu alasan
mengapa banyak masyarakat yang lebih memilih untuk langsung pergi
Puskesmas ke rumah sakit untuk berobat. Alasan ketiga adalah alasan
yang menarik karena mereka tidak percaya jika itu adalah sakit non-
medis, tetapi sakit karena pulih29.
Sampai sekarang teras rumah Pak Tanjung masih sering dija­
dikan tempat berkumpul orang-orang hilir yang gemar berkumpul

Pembahasan tentang pulihakan dibahas pada bab berikutnya.


29

144 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
dan minum baram. Di antara orang-orang itu ada geng minum dari
hilir yaitu Mamah Yana, papa Yana, Mamah Meli, dan Om Iman.
Pak Tanjung masih berperan sebagai tuan rumah, namun dia tidak
minum dan hanya turut menikmati obrolan atau sajian musik jika
ada. Kebiasaan minum Pak Tanjung diteruskan kepada adik dan
cucu Pak Tanjung yang juga berperan sebagai tuan rumah. Adik dan
cucunya memiliki nama besar sebagai peminum handal di hilir bahkan
sampai ke hulu. Mereka kerap datang ke pesta untuk minum baram,
menari, menyanyi, dan memainkan keyboard. Kami bertanya kepada
Pak Tanjung “Pak Tanjung kan sekarang sudah sakit parah gara-gara
dulu sering minum? Apa Pak Tanjung ndak takut nanti mereka juga
sakit seperti Pak Tanjung kalau ndak diingatkan dari sekarang?”, Pak
Tanjung menjawab “Ndak lah, biar aja hahaha. Nanti kalau mereka
sudah sakit kan berhenti sendiri seperti kami hahaha”.
Di bagian hulu, ada Tambi Mahendra (60 tahun) yang kami
kenal pertama kali di suatu acara ritual bayar hajat yang kami hadiri.
Sosoknya yang periang dengan gaya bicara ceplas ceplos namun
cerdas membuat mudah dekat dengannya. Tambi adalah mantan
pemabuk, tetapi menariknya dia masih minum baram untuk tujuan
tertentu sampai terakhir kali kami bertemu. Dia terakhir kali mabuk
berat karena baram sekitar setahun yang lalu ketika datang di suatu
acara pesta di hulu. Saat itu tambi dan teman-temannya sedang
bergotong-royong membantu memasak untuk acara pesta tersebut.
Di tengah-tengah kegiatan memasak itu datanglah baram, dan teman-
teman tambi meminum baram tersebut sembari mengajak serta
untuk minum . Tambi berusaha menolak sembari berkata “Jangan
(minum) nanti kita nggak bisa kerja”. Namun penolakan itu tidak
bisa menjauhkannya dari segelas baram yang dia teguk. Ketika sudah
minum sebanyak empat gelas, Tambi sudah mulai mabuk.
“Satu gelas tuh enak aja rasanya masih bisa kerja. Lagi,
mulai lagi, ya. Sampai empat gelas tidak ingat diri.
Menangis bilang orang. Sampai sore hari baru ingat
rasanya ndak bisa pulang tu. Dibawanya..diantarnya orang

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 145
kesini (ke rumah). Mabuk. Besok seharian nggak makan,
nggak minum, nggak (minum) teh, (minum) kopi nggak
mau, apa lagi (makan) nasi. Nah itu (kenapa) kami nggak
mau terlalu minum (baram)”

Tambi pertama kali meminum baram ketika usianya sekitar 40


tahun. Dia teringat saat itu anak pertamanya sudah duduk di bangku
SD kelas 3. Tidak butuh waktu lama untuk membuat Tambi terbiasa
dengan baram. Tambi menjadi peminum baram yang aktif dan sangat
sering mabuk. Di setiap acara ritual, adat, dan pesta yang dia datangi,
baram tidak pernah lepas dari dirinya. Pun dengan acara minum
kasual yang biasa terjadi secara spontan di sekitar rumahnya di hulu.
Tambi sering pulang ke rumah dalam keadaan mabuk sampai nyaris
tidak sadarkan diri.
Efek terparah yang pernah dia dapat adalah muntah-muntah
dan pusing kepala sampai tidak mampu bangkit dari tempat tidur
beberapa hari lamanya. Bukan hanya itu, Tambi bahkan sampai
harus mendapat infus dan suntikan dari perawat kampung. Tambi
didiagnosa terkena kena maag karena terlalu sering minum baram.
Tambi sendiri tidak tahu berapa banyak baram yang telah dia minum
dalam kurun waktu 20 tahun. Tambi juga tidak tahu harus minum
berapa gelas baram sampai dia merasa mabuk, dia berkata “Ndak ku
tahu berapa, olehnya (karena) gelas diputar dan digilir terus”.
Orang yang sedang minum baram dalam satu kelompok tidak
meminumnya secara serempak dengan gelas yang berbeda, tetapi
mereka minum secara bergiliran dan berasal dari satu gelas yang
sama. Gelas yang digunakan biasanya adalah gelas kaca dengan
ukuran sedang dengan volume kira-kira 150 ml sampai dengan 200 ml.
Gelas itu tetap digunakan meskipun telah berubah warna, kotor, atau
berbau tidak sedap. Jarang sekali ada yang menolak ajakan mabuk-
mabukan meskipun gelasnya dipakai secara bergiliran. Demikian
pula dengan tambi. Kami pernah bertanya mengapa dulu tambi
tidak secara keras menolak ajakan mabuk-mabukan dan ternyata
jawabannya tidak terlalu mengejutkan kami. Bagi Tambi, mabuk

146 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
adalah pengalaman yang menyenangkan. Secara lebih terperinci dia
berkata;
“Ya enak rasanya mabuk hahaha. Kalau baru minum sedikit
nggak bisa berhenti sampai mabuk sekali. Apa lagi kalau
kamu minum di tempat tambi-mu (menyebut nama tambi
yang lain) sana. Pintu ditutup nggak boleh pulang, akhirnya
pulang secara sembunyi-sembunyi ”

Bukan hanya mabuk di acara pesta atau acara adat, Tambi


Mahendra juga sering mabuk-mabukan pada acara minum kasual
bersama teman-temannya. Terkadang baram diperoleh dengan cara
pupu atau patungan, tetapi lebih sering didapat secara gratis dari
teman yang juga pembuat baram. Dalam acara minum kasual pun
tambi kesulitan untuk menolak terlebih ketika teman-temannya terus
mendesak. Tambi mencoba menceritakan kembali ketika seorang
teman berkata dengan nada memaksa kepadanya; “Kan (baramnya)
dibikin orang sini dibeli orang sini, mau apa kamu nggak minum?”,
lalu tambi melanjutkan cerita dengan berkata; “Sampai-sampai ada
yang tidur di dalam kelambu dibilang -ini punya kamu ini giliran-”.
Mendengar itu, pertahanan tambi runtuh dan akhirnya memutuskan
untuk ikut minum, “Ndak enak (hati) rasanya, bangun (dari tempat
tidur), (lalu) minum (baram)”.
“Tambi, apakah waktu tambi masih kecil, orang-orang juga
banyak yang minum baram sampai mabuk berat seperti sekarang?”.
Dia menjawab;
“Nggak ada, pas ada pesta aja. Keyboard nggak ada dulu.
Kalau dulu pakai salon, pakai tip (tape). Kalau jaman
sekarang nggak ada acara, duduk yuk satu liter, satu liter
tambah lagi sampai mabok. Kalau mabok, sakit kepala,
nggak bisa makan, mana bisa kerja. Ndak paham juga
kenapa begitu. Kalau tambi nggak kerja sehari, nggak
makan kita”.

Tambi Mahendra juga menceritakan jika dahulu anak-anak


tidak diperbolehkan minum baram oleh orangtuanya. Sedangkan kini,

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 147
banyak anak di bawah umur yang sudah mengenal baram, bahkan
yang baru duduk di bangku sekolah dasar. Tambi membandingkan
dengan dirinya sendiri yang baru mulai minum baram pada usia 40
tahun, usia yang sudah relatif tua.
“Dulu tambi minum (usia) 40-an tahun, 20 tahunan
(lamanya) tambi minum. Waktu tambi muda nggak ada
orang minum-minum setiap hari. Dulu nggak sebanyak
seperti ini, kebanyakan manusia sudah haha”.

Tambi telah bercerita jika dia sudah menjadi pemabuk selama


20 tahun, dan setahun yang lalu dia sudah merasa di suatu titik jenuh
yang membuatnya memutuskan untuk berhenti menjadi pemabuk.
Mengapa pada akhirnya dia memutuskan untuk berhenti menjadi
pemabuk, dia menjawab:
“Capean (capai) minum tu. Buat penyakit rasanya. Sakit
kepala, ndak doyan makan satu, dua, tiga hari. Tapi kadang-
kadang sehat. Sering merasa sehat. Hari ini sehat biar kita
ikut minum, besok kerja lagi bisa aja, tapi rasa kecapean
hari ini aja”

Berhenti menjadi pemabuk bukan berarti berhenti minum


baram. Ada perbedaan yang tipis antara mabuk baram dan minum
baram, serta antara pemabuk dan peminum baram. Kami berhasil
mengamati hal itu di Desa Danum Simak Harum. Salah satunya
melalui pengalaman Tambi Mahendra yang mengaku sudah berhenti
mabuk, tetapi masih minum baram dan juga minuman lain seperti bir.
“Iya masih anu (minum baram), kapan-kapan aja, ada
waktunya. Tapi sejari dua jari30. Kalau sudah sejari dua jari
pulang ke rumah. Kalau dulu belum bisa pulang rasanya,
kalau belum puas rasanya mabuk. Sampai jalan bisa jatuh,
bisa aja hahaha”

Tambi merasakan tidak ada perubahan berarti pada tubuhnya


setelah tidak mengkonsumsi baram dengan frekuensi serta volume

Cara mengukur volume baram dengan mengukur tinggi permukaan


30

baram di gelas dengan jari orang dewasa pada posisi horizontal.

148 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
yang bisa membuat tambi mabuk berat. Tambi hanya mengeluh sering
sesak nafas, dan menurutnya itu bukan disebabkan oleh seringnya
dia minum baram, tetapi lebih disebabkan oleh usianya yang sudah
lanjut. Selepas memutuskan untuk berhenti mabuk-mabukan se­
tahun yang lalu, tambi kini merasa tenang karena sudah tidak lagi
merasakan penderitaan paska mabuk seperti muntah dan sakit kepala
yang hebat.
Menurutnya mabuk juga mengganggu ritme kerja dan ber­
pengaruh pada pendapatan seseorang, terlebih jika mabuk-mabukan
itu dilakukan selama berhari-hari. Tidak heran tambi menyebut
mabuk-mabukan–terutama mabuk baram- sebagai suatu ‘kebodohan’.
Ungkapan itu adalah refleksi dari dirinya sendiri yang mengalami
kerugian berupa sakit secara fisik dan kehilangan waktu efektif untuk
bekerja.
Walau menyebut mabuk-mabukan sebagai suatu kebodohan,
ternyata tambi menggantungkan pendapatannya dari baram.
Sekitar satu dekade lamanya Tambi menjual baram buatannya
untuk menyambung hidup. Pembelinya berasal dari dalam desa dan
luar desa. Ada yang membeli baram untuk dibawa pulang, dan ada
pula yang membeli baram untuk diminum di rumah tambi sampai
si pembeli tersebut mabuk berat. Baram yang dibuat terakhir kali
terhitung sejak wawancara terakhir kami bersama tambi dibuat
pada sekitar bulan Mei tahun 2016. Baram itu sempat dicicipi secara
tidak sengaja di suatu acara ritual yang diadakan di hulu. Baram yang
dibuat tambi saat itu terasa masam, nyaris seperti perasan air jeruk
nipis. Kami sempat melihat banyak orang mengernyitkan dahi dan
menjulurkan lidah ketika minum baram masam tersebut.
Baram dengan rasa seperti itu adalah baram yang dianggap
gagal dan biasanya mengundang nada sumbang dari peminumnya.
Ternyata baram yang gagal dibuat itu membuat antusiasme tambi
untuk menjual baram turun drastis. Pasalnya dua baram yang dibuat
sebelum baram yang terakhir itu pun terasa asam. Bagi pembuat
baram, rasa asam adalah kegagalan mutlak dan itu berpengaruh

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 149
besar pada reputasinya. Gagal tiga kali berturut-turut membuat tambi
memutuskan beristirahat menjual baram.
Pernah menjadi pemabuk, peminum, dan penjual baram mem­
buat Tambi paham apa saja manfaat yang dia dapatkan dari baram
selama ini.
“Ada dua macam. Satu dapat usaha, satu dapat pergaulan
kita. Sekali-kali bikin kelahi bisa. Ya itu lah intinya mata
pencaharian dan berkawan. Ada orang dari kampung
mana-mana datang minum, datang (ke) kita. Seperti kamu
nih datang nggak kenal, oleh karena kita minum (jadi)
berkawan lagi”

Tambi sesungguhnya sudah mendeskripsikan manfaat baram


dengan cerdas dari sudut pandangnya. Dua hal yang dia paparkan
yaitu; baram sebagai mata pencaharian dan baram sebagai media
bersosialisasi memang benar adanya. Baram memiliki kemampuan
untuk mendekatkan individu satu dengan individu lain yang belum
saling mengenal sekalipun. Baram tidak sedigdaya itu jika minuman
ini tidak dinikmati secara komunal, tidak dinikmati dengan duduk
bersama-sama dengan formasi melingkar atau berhadapan, tidak
dinikmati dengan cara mengobrol, bertukar berita, bertukar gurauan
sembari mengamati satu buah teko yang terus diputar, dan sembari
menunggu satu buah gelas yang isinya diteguk secara bergiliran.
Sulit untuk meneguhkan hati saat diharuskan meminum baram
dari gelas yang sudah dikecap puluhan atau mungkin ratusan mulut
tersebut. Tidak dipungkiri, tidak bisa berpura-pura tidak merasa jijik.
Ada suatu waktu di mana peneliti diberi kehormatan untuk minum
dari gelas yang berbeda, atau diberi kesempatan sebagai orang
pertama yang meminum baram dari gelas yang nantinya akan dipakai
bergiliran.
Tetapi tidak jarang juga kami harus minum dari gelas yang sudah
dipakai banyak orang dengan rupa yang sudah tidak elok lagi. Pernah
satu kali dijumpai serpihan pinang berwarna merah di sisi gelas baram
yang akan minum. Ketika dilihat di sekitarnya, ternyata memang

150 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
banyak dijumpai orang-orang yang sedang asyik mengunyah sirih dan
pinang. Lalu, apakah peneliti menolak gelas berisi baram tersebut dan
meletakkannya begitu saja? Tidak. Terpaksa meminumnya. Dengan
menahan nafas dan mata yang hampir terpejam.
Bagi peneliti, cerita tentang gelas yang digilir oleh banyak
orang lebih tepat disebut sebagai sebuah ujian. Memang tidak ada
yang memaksa dengan keras, atau setidaknya tidak ada yang terang-
terangan melakukannya. Namun peneliti sadar memang sedang diuji.
Terlebih ketika gelas tersebut berkali-kali disodorkan di depan wajah
kami dan si penyodor gelas sekonyong-konyong berkata “Sedikit aja,
sedikit aja!”. Mereka seperti sedang menunggu untuk menilai, apakah
dianggap bisa membaur dan beradaptasi, atau sekedar datang,
berbasa-basi, lalu pergi. Apa yang dirisaukan tentang rupa gelas dan
banyaknya mulut yang sudah mengecap bibir gelas ternyata tidak
dirisaukan oleh mereka. Ada sesuatu yang lebih mereka risaukan,
bahkan mereka takutkan, yaitu pulih.

5.5. Perkelahian, kekerasan, dan tindakan kriminal


Kondisi mabuk akibat konsumsi baram berlebihan berhubungan
dengan berbagai tindak kekerasan. Meskipun selama kami tinggal di
Desa Danum Simak Harum tak ada satupun tindak kekerasan yang
kami saksikan secara langsung, informasi dari berbagai informan telah
memberi kami gambaran mengenai dampak baram terhadap potensi
cedera yang disengaja (intentional injury).
Menurut Kepala Kepolisian Sektor Tewang Sangalang Garing,
terdapat 6 kasus pidana yang diproses di Kepolisian Sektor Tewang
Sangalang Garing sepanjang tahun 2015, dan semuanya berawal
dari konsumsi minuman beralkohol. Tindak pidana tersebut meliputi
pencabulan anak di bawah umur, kekerasan dalam rumahtangga,
kekerasan senjata tajam, pembunuhan. Jenis minuman yang
dikonsumsi tersangka tidak dicatat dalam laporan, namun menurut
penuturan beliau, rata-rata temuan kasus mabuk di tengah
masyarakat berkaitan dengan konsumsi baram.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 151
Keterangan serupa mengenai baram dan kaitannya dengan
kasus kekerasan juga diungkapkan oleh Kepala Desa Danum Simak
Harum. Menurut beliau, mabuk akibat baram sering berujung
pada perkelahian, terutama di masa lampau. Meskipun cedera fisik
yang dialami hanyalah cedera ringan, namun kasus-kasus tersebut
menunjukkan bagaimana baram dapat menurunkan kontrol emosi
seseorang dan mendorong tindakan yang agresif.
“Sering juga terjadi perkelahian... karena saling tidak bisa
mengontrol emosi, ada pemikiran yang keluar itu lah, hal-
hal yang membuat orang lain tersinggung... jadi lupa diri...
Kalau saya nangani kasus-kasus ini, selama ini gak ada yang
berat juga sih, paling ya tamparan... Ada juga sih yang
luka... Masih enak sekarang, kalau dulu itu pemuda yang
dari hilir hulu itu bermusuhan. Gak bisa akur. Kalau ada
pesta di sana, datang pemuda dari sini, bentrok... sekarang
aja lah yang agak aman, gak ada singgung menyinggung...
memang sudah warisan.”

Salah satu hal yang dirasakan cukup efektif dalam mencegah


terjadinya perkelahian maupun kekerasan fisik akibat mabuk adalah
dengan diterapkannya pali, yaitu aturan dan denda adat untuk
perbuatan-perbuatan yang mengganggu ketertiban dan kelancaran
acara adat, misalnya perkelahian, pengrusakan, dan pelecehan
seksual. Satu kali tamparan bisa dikenai denda sebesar satu juta
rupiah, atau bila perbuatan yang merugikan tersebut benar-benar
mengancam keberlangsungan acara, pelakunya dapat diminta meng­
ganti seluruh biaya pesta dan acara adat tersebut.
Di Desa Danum Simak Harum, aturan dan denda adat tidak
tertulis tersebut dibacakan pada acara adat oleh mantir adat setelah
sebelumnya meminta perhatian seluruh hadirin. Sambil membacakan
aturan tersebut, mantir adat memegang sebilah bambu di tangannya
yang sudah diisi beras dan selembar uang limapuluh ribuan yang
digulung. Setelah aturan selesai dibacakan, bambu sepanjang satu
meter tersebut lantas dipukulkan ke ambang pintu hingga pecah dan

152 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
berasnya tersebar ke mana-mana. Ritual tersebut biasa disebut juga
melantup haur, atau memecah bambu.

Sumber: Dokumentasi peneliti.


Gambar 5.6. Pembacaan ancaman denda adat untuk berbagai pali dan
perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban aat berlangsungnya upacara
bayar hajat.

Kendati perkelahian dan kekerasan di ruang publik kini semakin


jarang ditemui karena telah ada cara yang cukup efektif untuk
mencegahnya, kekerasan dalam rumahtangga yang terjadi akibat
mabuk baram masih perlu dipikirkan jalan keluarnya. Dalam berbagai
masyarakat di seluruh dunia, kekerasan dalam rumahtangga seringkali
dianggap sebagai urusan pribadi yang lebih baik tidak diungkapkan,
sehingga banyak kasusnya tidak dilaporkan. Hal tersebut bisa dise­
babkan oleh rasa malu, takut, keengganan membuat masalah menjadi
lebih membesar, toleransi terhadap pelaku, atau anggapan bahwa
kekerasan semacam itu merupakan sesuatu yang lumrah dan harus
diterima dalam hidup berumahtangga, terutama bila tidak sampai
mengancam jiwa (Fugate, 2005).
Seorang informan perempuan remaja bernama Siska (19 tahun)
menuturkan kesedihannya ketika mengingat perilaku ayahnya semasa

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 153
ia kecil yang suka melakukan kekerasan ketika mabuk. “Dulu kalau
mabuk, papa suka pukul-pukul,” ujarnya. Kala itu, sang ibu hanya bisa
menunggu suaminya di rumah hingga larut malam sambil menjaganya
anak-anaknya, namun seiring mereka beranjak dewasa, ibunya mulai
sering ikut mabuk. “Mamah tuh padahal dulu nggak [suka mabuk, tapi
sekarang sering], kayak stres gitu... kayak efek makan hati tu nah...”
Kini, kedua orang tuanya telah menjadi peminum berat, yang sering
lupa waktu dan membuat anaknya merasa sedih.
“Sebenarnya aku gak setuju juga mereka yang minum-
minum kayak gitu, cuman gak bisa kularang. Maksudnya
boleh aja minum, tapi asal jangan minuman itu yang
menguasai kita. [Tapi kenyataannya] Nggak [seperti] itu.
Pulangnya tuh bisa tengah malam. Pokoknya kalau sudah
masuk minuman, kayak gak ingat kehidupan. Pemabuk
orang tua kunih. Serius... orangtua teman-temanku gak
ada yang kayak mereka nih.”

Bahkan, setelah kembali dari lokasi penelitian, peneliti kembali


mendapat kabar dari informan bahwa ayahnya pulang dalam keadaan
mabuk dan terlibat dalam adu mulut dengan sang istri. Ia lantas
memukul istri dan anaknya serta berusaha menghantam istrinya
dengan tongkat besi. Akan tetapi, sama seperti peristiwa yang sudah-
sudah, hal tersebut pun tak pernah dilaporkan kepada pihak berwajib.
Kekerasan dalam rumahtangga tak hanya melulu soal kekerasan
fisik, melainkan dapat juga berupa kekerasan emosional (emotional
abuse) dan penelantaran (neglect). Misalnya, kisah mengenai seorang
anak perempuan berusia dua belas tahun yang menunggu kedua
orang tuanya di rumah tetangga hingga menjelang subuh, karena
mereka pergi minum. Sang anak begitu marah hingga ketika akhirnya
orang tuanya pulang, ia membanting beberapa perabot rumahnya
hingga pecah.
Masih ada beberapa kisah lain tentang kekerasan yang terkait
dengan konsumsi baram yang tidak dapat kami tuliskan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Selain itu, kami yakin masih

154 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
banyak pula kisah-kisah yang menjadi rahasia, yang tersimpan rapi
di balik dinding-dinding rumah masing-masing keluarga dan tidak
muncul ke permukaan. Untuk merekalah, yang menjadi korban
kekerasan akibat penyalahgunaan baram, perlu dicarikan suatu jalan
keluar dari masalah tersebut.

5.6. Baram dan Kepentingan Politik


Pertama kali peneliti berkunjung ke Kabupaten Katingan, sempat
dibuat terkejut dengan adanya pesta kecil sekaligus dangdutan yang
digelar di salah satu kantor dinas kabupaten. Beberapa biduan muda
yang cantik dalam pakaian minim terlihat berjoget bersama para
pegawai. Sementara itu, seorang pegawai perempuan membantu
mengedarkan beberapa botol bir. Tak lama, lantas diketahui bahwa
acara tersebut adalah permintaan dari para pegawai untuk merayakan
pelantikan kepala dinas yang baru.
Pada kesempatan yang lain, peneliti juga bertemu dengan
beberapa pejabat kabupaten dalam suatu acara adat. Bersama
keluarga tuan rumah, mereka berbincang dan bergurau bersama,
sambil membuka beberapa kaleng bir, ditawarkan minum oleh
seorang pejabat tinggi sebelum diajak untuk bergabung dalam
diskusi mereka. Menurut rekan seorang pegawai negeri, dituangkan
minuman oleh beliau adalah suatu kehormatan.
Sebagai bagian dari budaya masyarakat, alkohol ternyata
merupakan salah jembatan yang digunakan para pejabat untuk
membangun hubungan interpersonal. Hal tersebut tentunya sangat
berguna, khususnya dalam ranah politik. Dua contoh di atas mem­
perlihatkan bagaimana minum bersama, meskipun bukan baram,
dapat menjadi cara mempersempit jarak antara atasan dan anak
buah, serta mengambil hati orang. Sebaliknya, menyingkirkan baram
dari tengah masyarakat dapat menempatkan seseorang dalam posisi
yang tidak menyenangkan secara politis.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 155
Dalam suatu wawancara, peneliti pernah bertanya kepada
seorang aparat pemerintahan mengenai kemungkinan membatasi
baram di wilayah kerja beliau. Beliau menjawab, memang ada
keinginan darinya untuk membuat suatu peraturan yang mengatur
denda adat (jipen) untuk konsumsi baram berlebihan, konsumsi
baram hingga mabuk atau menimbulkan kekerasan, serta konsumsi
baram oleh anak di bawah umur. Akan tetapi, hal itu belum
direalisasikan karena ia belum melihat adanya inisiatif dan dorongan
dari masyarakat, agar dirinya tidak dimusuhi oleh masyarakat.
Menurutnya, intervensi untuk membatasi baram sulit diwujudkan
karena sudah merupakan bagian dari adat dan budaya masyarakat.
Bahkan, dari cara penuturan, ekspresi, dan suasana yang saya tangkap,
ada kesan bahwa beliau sesungguhnya hanya sedang memberikan
jawaban ideal bagi para peneliti kesehatan, untuk menunjukkan
bahwa beliau sebagai aparat pemerintah tidak menentang program
pemerintah.
Berdiskusi dengan seorang aparat kepolisian, yang kami pahami
betul bahwa jabatannya bukanlah merupakan jabatan politis yang
dipengaruhi suara (vote) rakyat. Menurut beliau, yang kebetulan
bukan berasal dari suku Dayak, memberantas minuman keras
adalah tugasnya. Namun demikian, ia merasa kesulitan. “Ini (baram)
masih masuk kategori kearifan lokal,” ujar beliau, “Kalau hukum kita
tegakkan, kita dimusuhi. Kalau kita biarkan, juga salah.”
Berdasarkan keterangan seorang warga masyarakat, sang aparat
kepolisian pernah melontarkan wacana untuk menegakkan aturan-
aturan terkait pembatasan minuman keras, namun hal tersebut
mendapat penolakan dari warga. “Ada dua hukum, hukum nasional
dan hukum adat. Kadang, antara hukum nasional dan hukum adat,
masih banyak yang menggunakan hukum adat” begitu ujar sang polisi.
Meskipun jabatannya bukan jabatan politis, namun ia pun terpaksa
berpikir secara politis dan mempertimbangkan respons masyarakat.
“Saya ... memegang fungsi kamtibmas, [namun] kalau itu saya sentuh,

156 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
itu ada dampak sosialnya. Dan risiko polisi, ketika bersentuhan dengan
masyarakat yang kesadaran hukumnya masih rendah, itu berat.”
Akhirnya, beliau berharap, dapat dipikirkan cara-cara lain di luar jalur
hukup dapat ditempuh untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya
alkohol, misalnya pendidikan atau agama.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 157
BAB 6
PULIH

6.1. Pulih, Nyatakah?


Seperti berusaha menangkap angin, itulah yang dirasakan
peneliti ketika ingin melihat seperti apa bentuk pulih. Sering
ditertawakan karena menanyakan pertanyaan tersebut kepada
beberapa orang. Semua orang menjawab tidak tahu. “Percuma. Ndak
mungkin kamu tahu. Aku juga. Aku seumur-umur ndak tahuku pulih
itu bentuknya bagaimana”. Percakapan itu terjadi di sebuah rumah
Tambi Mahtari. Bukan hanya Mina Cantik yang tidak tahu bagaimana
bentuk pulih, ternyata sang tuan rumah pun ternyata demikian.
Tambi Mahtari dikenal sebagai pisur perempuan yang juga
memiliki keahlian menyembuhkan berbagai macam penyakit,
dari yang mudah disembuhkan sampai dengan yang paling sulit
disembuhkan. Menurut tambi, satu-satunya sakit yang paling susah
disembuhkan adalah sakit karena pulih. Bagaimana mungkin pulih
menjadi yang paling sulit disembuhkan jika wajahnya saja tidak
pernah diketahui?
Pulih secara harafiah berarti racun. Ia dipercaya sebagai biang
kerok sakit atau penyakit yang diderita seseorang. Cara kerja pulih
sama seperti racun yang pada umumnya dikenal, yaitu meracuni
melalui makanan atau minuman yang dikonsumsi orang yang
bersangkutan. Menariknya, dari semua informan yang kami ajak
diskusi tidak ada satu pun yang pernah melihat bagaimana bentuk

159
dari racun itu. Ada yang berkata jika kemungkinan bentuknya cair
menyerupai minyak, dan ada juga yang berkata jika bentuknya
menyerupai bubuk. Warnanya? “Entah” kata mereka. Pulih bisa
dibubuhkan dalam makanan dan minuman. Perbedaan mendasar
pulih dengan racun lainnya adalah pada sifatnya yang personalistik
atau berhubungan erat dengan hal gaib. Pulih adalah racun yang
‘dibikin’ orang untuk tujuan tertentu sesuai dengan jenisnya, dan
Tambi Mahendra menyebutnya dengan ‘ramuan orang’. Setidaknya
sampai saat ini peneliti hanya mengetahui dua jenis pulih, yaitu; pulih
dan pulih janji. Untuk mempermudah dalam membedakan di antara
keduanya maka pulih tanpa embel-embel ‘janji’ sebut saja dengan
pulih biasa.
Pulih biasa dibuat oleh si pemilik pulih dengan tujuan untuk
menjaga keberlangsungan pulih itu sendiri. Pulih ternyata diasosia­
sikan dengan mahkluk hidup yang dapat dipelihara dan harus diberi
makan agar terpuaskan kebutuhannya. Jika kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi maka pulih akan marah dan berubah menyerang pemiliknya
sendiri. Agar tidak menjadi bumerang, maka si pemilik harus memberi
makan pulih yaitu dengan cara mencarikannya korban. Pemilihan kata
‘korban’ terdengar mengerikan, tetapi inilah adalah satu-satunya kata
yang dapat mewakili suatu gambaran tentang pencarian target secara
random untuk memberi makan pulih. Ya, korban pulih biasa memang
dicari secara random, artinya siapa saja bisa terkena.
Pulih biasa tidak memiliki target korban yang sudah pasti
atau sudah ditentukan. Si pemilik pulih menaruh racun tersebut di
makanan atau minuman yang akan dikonsumsi orang lain. Jika jumlah
orang yang mengkonsumsi makanan dan minuman itu lebih dari satu
orang, maka pulih itu akan hinggap pada orang yang ‘beruntung’ saja
alias tidak semua orang bisa terkena. Orang yang sedang menikmati
makanan atau minuman itu tidak akan tahu jika ada pulih yang
dibubuhkan pada sajian di hadapan mereka. Hanya tinggal menunggu
waktu saja, orang yang terkena pulih biasa tersebut bisa jatuh sakit
atau meninggal dunia.

160 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Selain pulih biasa, ada pulih janji yaitu pulih yang dibuat
untuk orang tertentu dengan tujuan tertentu. Si pemilik pulih telah
menentukan siapa orang yang akan terkena nantinya. Nama orang
yang menjadi target pulih itu telah disebut dalam mantra atau
doa si pemilik pulih. Menurut Tambi Mahtari, pulih janji biasanya
dilatarbelakangi oleh dendam dan perasaan sakit hati dari si pemilik.
Dendam dan sakit hati itu memotivasi pemilik pulih untuk menyakiti
bahkan membunuh orang lain dengan cara serta waktu yang bisa
ditentukan oleh pemilik pulih. Jika si pemilik menginginkan agar
korban meninggal dengan cara muntah darah dalam jangka waktu 7
hari setelah korban terkena pulih, maka itulah yang akan terjadi. Lalu
bagaimana ciri orang yang terkena pulih? Melalui media apa saja pulih
masuk ke tubuh korbannya? Bagaimana kita tahu mana orang yang
memiliki pulih dan mana yang tidak?
Tambi Mahtari belum pernah melihat pulih seumur hidupnya,
padahal dia adalah seorang ahli spiritual sekaligus penyembuh
tradisional yang dianggap handal. Namun melalui sebuah laku
spiritual yang dilakukan pada saat mengobati orang yang datang
padanya, tambi mampu mengetahui jika ada orang yang terkena
pulih. Melalui ritual basangiang yang dilakukan, tambi memanggil
para sangiang. Tambi berkomunikasi dengan mereka untuk memohon
petunjuk mengenai sakit yang diderita oleh orang yang dia ingin
sembuhkan.
Dengan melalui berbagai tahap dan syarat ritual, tambi
akan mendapat bisikan dari arwah leluhur dan sangiang yang
turun dari langit. Jika ternyata yang diderita oleh orang yang
meminta pertolongan kepada Tambi adalah pulih, maka dia akan
memberitahukan kepada yang bersangkutan. Pengobatan pulih adalah
pengobatan yang paling sulit karena sampai sekarang Tambi Mahtari
belum tahu minyak apa yang bisa digunakan untuk menangkal dan
mengobatinya. Usaha pengobatan tetap diusahakan melalui jalan
ritual basangiang dan menunggu petunjuk dari para sangiang yang
turun ke bumi.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 161
Ciri-ciri utama orang yang terkena pulih, baik pulih biasa
maupun pulih janji yaitu mengalami sesak nafas, sakit di bagian dada,
sakit di bagian ulu hati, dan muntah darah. Ciri lain yang ekstrim dan
jarang ditemui adalah gigi yang rontok atau tanggal secara tiba-tiba.
Bagaimana membedakan sakit karena pulih dengan sakit yang biasa
diderita orang pada umumnya? Tambi Mahtari menjawab bahwa sakit
karena pulih tidak akan sembuh jika diobati secara medis meskipun
pengobatannya dilakukan dalam waktu yang lama. Hanya sedikit
orang yang bisa sembuh dan bertahan hidup jika sudah terkena pulih,
terlebih jika si penderita sudah muntah darah. Tambi Mahtari berkata
jika satu-satunya orang yang memiliki penyembuh atau penawar dari
pulih tersebut adalah si pemilik pulih itu sendiri. Tetapi bagaimana
mungkin meminta penawar kepada orang yang tidak diketahui
identitasnya? Bagi tambi, cara untuk mencari tahu siapa pemilik pulih
adalah dengan melakukan ritual basangiang dan tentu saja tidak
semua orang mampu melakukannya.
Sebagai seorang ahli spiritual, Tambi Mahtari tidak diperkenan­
kan untuk membocorkan informasi yang telah dia dapat dari
leluhur. Terutama informasi tentang siapa pemilik pulih yang
telah mencelakakan orang yang sedang disembuhkannya. Hal itu
dimaksudkan agar tidak ada upaya balas dendam dari si penderita,
dan tentu saja untuk menjaga harmoni dalam hidup. Kenyataan
tersebut tampaknya menutup harapan si penderita untuk mengetahui
siapa yang telah lancang mengganggu hidupnya.
Tambi memberi solusi menarik, dia mempersilahkan orang
yang terkena pulih melakukan introspeksi diri. Introspeksi terutama
tentang kesalahan yang telah diperbuat dalam hidup dan kepada
siapa kesalahan itu dibuat. Selain itu dia menganjurkan agar si korban
mengingat kembali siapa orang yang kemungkinan menyimpan
dendam, siapa yang sekiranya merasa iri atau dengki dengan
pencapaian yang telah didapat, dan siapa yang pernah memberi
makanan atau minuman sesaat sebelum gejala pulih muncul. Hal

162 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
yang terakhir adalah yang terpenting, karena sebagian besar pulih
didapatkan melalui makanan dan minuman.

6.2. Mawas Diri Untuk Menjaga Harmoni


Tambi Mahtari lebih menekankan untuk mewaspadai siapa
yang telah memberi minuman karena untuk konteks Desa Danum
Simak Harum, pulih dipercaya paling banyak diperoleh dari minuman,
terutama baram. Konsumsi baram yang tinggi dan seringnya frekuensi
acara minum baram pada acara formal dan informal menjadi
pendukung kuat. Hal tersebut hampir senada dengan yang pernah
diceritakan oleh Mamah Desi yang tinggal di hilir. Daya jelajah serta
pergaulannya yang luas memungkinkan dia bisa minum baram di
mana saja, kapan saja, bersama dengan banyak orang yang tidak
semua dia kenal.
“Pokoknya kita kalau mau minum kemana aja harus ati-ati
aja. Kita kan ndak tau itu siapa siapa yang minum, siapa
yang kasih kita minum, apa lagi kalau kita mabuk. Ati-ati aja
kalau yang kasih minum itu kita ndak kenal, masukin jari
di gelasnya. Putar-putar sebentar begini (memperagakan
dengan ujung jari), nanti kalau gelasnya pecah berarti itu
ada pulih-nya”

Kewaspadaan Mamah Desi bisa jadi juga diterapkan oleh semua


orang yang memiliki kebiasaan minum yang sama. Peneliti sendiri
sering melihat bagaimana dia minum baram bersama geng mabuknya
di hilir dan bersama dengan banyak orang di hulu. Dia adalah orang
yang memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap alkohol. Dari
pengamatan betapa mudahnya dia pulih dari mabuk yang teramat
berat, dan sesaat kemudian dia bisa menenggak baram lebih banyak
dari sebelumnya.
Walaupun dia menganjurkan agar selalu waspada dengan baram
yang diminum dengan melakukan tindakan preventif memasukkan jari
ke dalam gelas, dia belum pernah melakukannya sama sekali ketika
berada di bawah pengamatan kami. Akhirnya kami tahu jika Mamah

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 163
Desi tidak melakukan itu karena dia percaya tidak ada yang akan
berniat jahat padanya baik di hulu, maupun di hilir.
“Aku ini nggak pernah ku jahat sama orang. Kalau ada
orang ajak minum di hilir ayok aja. Kalau ada yang di hulu
undang ayok aja. Mana-mana aja aku. Kalau ada orang
yang kesusahan bantu juga ku. Jadi makanya kalau kita baik
sama orang, baik juga orang sama kita. Jadi begitu pikirku.
Tapi kalau banyak orang baru, nah kita ati-ati aja itu. Mana
kita tahu mana yang baik, mana yang jahat, mana yang
bawa pulih itu. Apa lagi kalau kita minum di luar kampung,
atau ada orang kampung lain datang minum di kampung
kita. Kayak pesta di hulu itu, ramai itu. Banyak yang datang
dari kampung lain, nggak ku tahu (kenal) semua ku”

Mamah Desi menunjukkan wawasan yang baru, bahwa pulih


bukan hanya berpotensi menimbulkan disharmoni, tetapi ternyata
juga menstimulus orang untuk menjaga harmoni dengan lingkungan
sosialnya, bahkan pada saat bermabuk-mabukan sekalipun. Terlepas
dari kedua hal tersebut, peneliti sempat putus asa untuk mendengar
cerita tentang pulih dari bibir orang yang pernah mengalaminya
secara langsung, sempat berpikir, seharusnya untuk desa sekecil itu
kabar tentang siapa yang sakit karena terkena pulih mudah didengar
bukan? Terkecuali jika ternyata itu dirahasiakan karena alasan
tertentu, misalnya untuk menghindari tindakan fitnah. Juga sempat
ditanyakan hal itu kepada Mina Cantik, dan ternyata dugaan ini benar.
Orang yang merasa dirinya terkena pulih lebih memilih diam untuk
menjaga harmoni dengan lingkungan sosialnya, terlebih lagi tidak
ada bukti sama sekali yang bisa mengarahkan kepada seseorang yang
dituduh memiliki pulih.
Di hulu, Tambi Imo (67 tahun) yang masih bersepupu dengan
Tambi Mahendra, dan bertetangga dengan Tambi Mahtari. Tambi Imo
adalah salah satu kenalan baik kami di hulu yang bermatapencaharian
sebagai petani dan penjual baram. Sosoknya ramah, gemar berbagi
cerita tentang pengalaman hidup dan keluarganya. Dia adalah
pembuat baram yang beberapa waktu belakangan ini sedang

164 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
mencoba untuk berhenti mengurangi minum minuman beralkohol
tersebut. Dia tidak ingat kapan pertama kali dia minum baram, dia
hanya berkata jika hal itu dimulai ketika dia dan suaminya masih
sangat muda dan anak-anak mereka masih kecil.
Tambi Imo dan suaminya adalah peminum berat. Mereka sering
kali pulang dari acara pesta, acara adat, atau acara minum kasual
dalam keadaan mabuk berat. Suami Tambi, yaitu Bue Imo sudah tidak
menjadi peminum aktif sejak tujuh tahun yang lalu dikarenakan sakit
ginjal. Bue sedang berusaha keras untuk benar-benar bisa menjauhi
baram demi kesehatannya. Tambipun sebenarnya memiliki masalah
kesehatan seiring dengan usianya yang semakin lanjut. Dia sering
merasakan sakit di bagian perut dan pinggangnya. Beberapa kali dia
memeriksakan diri di Pustu dan dianjurkan untuk mengurangi minum
baram. Tambi tidak tahu sakit apa gerangan dirinya karena seingatnya
tenaga kesehatan di Pustu tidak memberitahukan nama penyakit yang
dia derita.
Sekarang ini Tambi Imo masih menjadi peminum baram yang
aktif, namun menurutnya frekuensi minumnya sekarang ini jauh lebih
baik jika dibandingkan dengan setahun yang lalu. Dulu tambi bisa
datang kemana pun orang mengundangnya untuk minum baram.
Dia bisa pulang ke rumah larut malam dalam keadaan mabuk berat
dan mengulangi hal yang sama esok harinya. Tidak jarang dia harus
tinggal berhari-hari lamanya di kamar untuk memulihkan diri dari
pengaruh alkohol setelah acara mabuk-mabukan. Pengalaman minum
Tambi selama bertahun-tahun sangat menarik. Dia seperti tidak
kehabisan energi untuk bercerita tentang pengalamannya. Terkadang
dia mengulang cerita tentang pengalaman yang sama berkali-kali dan
tampak tidak sadar jika kami sudah pernah mendengarnya berkali-kali
juga. Ada satu cerita yang pada akhirnya muncul tanpa harus bertanya
terlebih dahulu, yaitu waktu dia terkena pulih.
Sekitar tahun 2013 Tambi Imo pernah memiliki urusan
hutang piutang dengan seseorang yang tinggal di daerah hilir. Tambi
meminjamkan sejumlah uang kepada orang tersebut. Ketika tiba

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 165
masa waktu pembayaran tiba, Tambi datang ke rumah orang itu untuk
menagih uang yang pernah dia pinjamkan. Kebetulan saat itu Tambi
memang sedang membutuhkan uang itu untuk biaya pengobatan
Bue yang sakit ginjalnya sedang kambuh. Di luar dugaan, ternyata
orang yang Tambi tagih belum mampu mengembalikan uang yang dia
pinjam. Untuk mengisi waktu akhirnya si peminjam uang menjamu
Tambi dengan baram buatannya. Mereka berdua minum sampai
Tambi mabuk dan akhirnya berpamitan untuk pulang. Esok harinya
Tambi masih pergi ke ladang seperti biasa, namun ketika malam tiba
Tambi merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya.
“Ini badan tambirasanya ndak enak. Sakitnya di sini
(menunjuk dada) dan di sini (menunjuk ulu hati). Rasanya
juga pusing. Ndak bisa bangunnya tambidari kasur. Itu
bue yang urus tambi dan bantu kerja. Tambi minum obat
kampung tapi ndak sembuh juga. Terus tambi ingat kalau
tambi minum baram. Itu masalahnya. Tambi rasanya..itu
yang bikin tambi sakit. Ada pulih di dalam situ. Mungkin
dia (orang yang memberi pulih) sakit hati waktu tambi
tagih uang itu”

Pengalaman itu adalah pengalaman pertama tambi terkena


pulih. Dia merasa dirinya kecolongan karena tidak berhati-hati dengan
memasukkan ujung jarinya atau memutar-memutar gelas yang
dipakainya ke arah kiri. Dia menganggap dirinya terlampau percaya
kepada orang tersebut karena sebenarnya hubungan mereka baik-
baik saja. Ada satu pertanyaan yang cukup mengusik pada saat tambi
bercerita, dari mana tambi yakin jika dia terkena pulih dan bagaimana
dia yakin jika orang yang berhutang kepadanya adalah pelakunya?
Tambi Imo yakin terkena pulih janji karena gejala sakit yang dia
rasakan muncul setelah dia meminum baram pemberian orang lain
dan dia satu-satunya orang yang dibeli minum. Tambi mengkaitkan
satu kejadian itu dengan kejadian lainnya, dan dia mengambil
kesimpulan tersebut. Tambi juga tidak mencoba menanyakan hal itu

166 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
kepada ahli spiritual yang dianggap paling paham tentang persoalan
pulih, misalnya kepada seorang pisur.
Keingintahuan kami pun bertambah dengan menanyakan
apakah tambi menegur orang yang memberinya pulih jika tambi
memang yakin orang itu lah orangnya? Tambi menjawab “Ndak,
karena tambi ndak ada bukti. Cuma nanti tambi ndak mau minum
kalau dia kasih baram lagi”. Penyembuhan pulih yang dikatakan sangat
sulit oleh Tambi Mahtari ternyata tidak berlaku untuk penyembuhan
pulih Tambi Imo. Obat yang digunakan Tambi Imo hanya obat
kampung yang terbuat dari ramuan tumbuh-tumbuhan. Obat itu
dia dapatkan dari saudara iparnya yang memang memiliki keahlian
meracik obat tradisional Dayak. Sayangnya Tambi Imo tidak tahu apa
saja komposisi tumbuh-tumbuhan yang dijadikan obat penyembuh
pulih tersebut.
Mina Cantik pernah bercerita tentang pulih kepada kami di
tempat dan waktu yang berbeda. Baginya pulih adalah iblis, dan
pemiliknya adalah orang jahat yang tidak punya perasaan. Dia sendiri
belum pernah mengalami sakit yang diakibatkan oleh pulih, tetapi dia
pernah melihat orang yang dikenalnya mengalami itu. Dia berkata;
“Itu orang yang paling jahat itu ya orang yang punya pulih itu.
Buat apa coba dia bikin orang lain kayak gitu? Apa untungnya? Kalau
aku ndak mau ku. Itu dosa. Dosa besar! Dulu waktu masih kecil, aku
akui katanya banyak orang hulu yang punya pulih. Tapi itu dulu, itu
orang tua jaman dulu. Sekarang banyak orang yang punya pulih sudah
mati. Ya masih ada, tapi tinggal sedikit. Paling banyak itu sekarang di
hilir. Makanya saya ndak mau kalau minum di hilir. Kamu juga ati-ati
kalau minum di sana”

6.3. Pulih dan Etiologi Penyakit


Pulih pada dasarnya tidak hanya dapat ditemukan di dalam
baram saja. Benda tidak kasat mata ini bisa ditemukan di dalam
makanan dan minuman lain. Tetapi pada kenyataannya, baram
begitu populer sebagai media strategis penyebaran pulih. Banyaknya

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 167
aktivitas masyarakat yang memakai baram dengan tujuan yang
beragam menjadi alasan yang logis mengapa baram kerap dianggap
sebagai media penyebaran pulih yang efektif.
Secara etiologi, penyakit dapat diklasifikasikan pada dua sistem
medis, yaitu sistem medis personalistik dan sistem medis naturalistik.
Kedua klasifikasi ini memiliki sudut pandang yang berbeda. Sistem
medis personalistik menganggap penyakit (illnes) disebabkan oleh
intervensi dari suatu agen aktif yang bersifat supranatural, misalnya
mahkluk gaib atau dewa. Sedangkan sistem medis naturalistik
menganggap penyakit disebabkan oleh gangguan keseimbangan
yang bersifat alamiah, misalnya panas dingin atau yin dan yang.
Jika keseimbangan tersebut terganggu maka peyakit akan muncul
(Swasono, dkk, 1986).
Penyakit atau sakit karena pulih secara personalistik diya­
kini sebagai akibat dari perbuatan buruk orang lain yang tidak ber­
anggungjawab yang disebarkan salah satunya melalui baram. Pada
sudut pandang ini, titik permasalahan terletak pada individu yang
memasukkan obyek magis bernama pulih ke dalam baram. Individu
itulah biang keroknya. Jalan keluar yang diambil untuk sembuh dari
pulih secara personalistik adalah mencari pengobatan secara magis
dan mencari siapa individu di balik penyebarannya. Pada sudut
pandang ini perilaku minum dan kebiasaan minum dianggap sebagai
pendukung, bukan faktor utama.
Secara naturalistik, menyikapi dan melihat pulih sudah pasti
harus melihat sebab akibat yang terjadi secara alamiah, dan tentu
saja terkait dengan sudut pandang medis. Dalam sudut pandang ini
kita patut melihat penyebab pulih secara lebih menyeluruh dengan
memikirkan berbagai kemungkinan. Salah satunya melalui ciri-ciri
sakit yang diderita dan melalui media yang dicurigai digunakan untuk
penyebaran pulih. Ciri-ciri sakit mungkin saja bersifat sangat subyektif,
namun secara garis besar beberapa informan menyebutkan gejala
yang sama yaitu sakit di bagian ulu hati atau dada. Gejala tersebut
memang tidak mengarah pada suatu penyakit tertentu, tetapi ada

168 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
baiknya kita juga membuka referensi tentang ciri penyakit dengan
gejala yang sama, terutama yang disebabkan atau dipicu oleh alkohol.
Selanjutnya adalah menilik lebih dekat pada media yang
dianggap bisa menyebarkan pulih. Mari kita kesampingkan kandungan
yang terdapat di dalam baram dan mari lebih fokus pada gelas yang
digunakan untuk minum baram. Mengapa gelas? Telah diceritakan
sebelumnya jika sebagian besar peminum baram selalu minum dari
satu gelas yang digunakan secara bergantian. Mereka tidak peduli
siapa yang telah menempelkan bibirnya terlebih dahulu di gelas itu
dan tidak peduli juga apakah orang tersebut sehat secara jasmani
atau tidak. peneliti belum pernah menemui orang yang benar-benar
merasa khawatir jika mereka tertular batuk, flu, atau bahkan TB dari
gelas yang telah digilir puluhan atau bahkan ratusan kali.
Ada potensi penularan penyakit yang tinggi dari kebiasaan
bergantian minum dari gelas yang sama dan sepatutnya itu diwas­
padai karena sebagian besar dari mereka tidak merasa jika itu adalah
masalah. Lalu apa kaitannya dengan pulih? Apakah secara naturalistik
itu ada? Ya, tetapi dengan sudut pandang yang berbeda. Jika pulih
secara personalistik adalah racun yang bersifat magis, maka secara
naturalistik pulih adalah racun yang disebabkan oleh perilaku yang
tidak sesuai dengan standar kesehatan atau medis. Pada konteks ini,
pulih atau racun adalah konotasi negatif dari suatu penyakit.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 169
BAB 7
CATATAN PENELITI

7.1 Kesimpulan
Desa Danum Simak Harum adalah desa yang terletak di Kabu­
paten Katingan Kalimantan Tengah. Mayoritas penduduk Desa Danum
Simak Harum adalah Suku Dayak Ngaju Katingan dan mayoritas
memeluk Agama Kaharingan. Sebagian besar masyarakat desa
bermatapencaharian sebagai petani ladang dan kebun. Tanaman
yang mereka budidayakan adalah kelapa sawit, karet, padi, pisang,
dan rotan. Hasil panen terutama padi di jual dan sebagian disimpan
untuk di konsumsi sendiri untuk sehari-hari. Ada masyarakat yang
memanfaatkan sebagian beras dari padi yang mereka panen untuk
membuat baram. Baram yang mereka buat sebagian besar akan dijual,
disimpan untuk suatu acara adat, acara ritual agama Kaharingan atau
untuk konsumsi pribadi
Baram adalah minuman beralkohol yang dibuat dengan
cara tradisional dengan menggunakan beras sebagai bahan baku
utama, ragi, air, gula, dan rempah-rempah. Semua bahan tersebut
difermentasikan dalam jangka waktu tertentu sampai akhirnya
menjadi baram. Baram adalah minuman tradisional yang memiliki
tempat dalam berbagai peristiwa kehidupan masyarakat Katingan.
Dalam keyakinan Kaharingan di mana baram dianggap me­
miliki fungsi yang sakral. Selain itu Baram juga dikonsumsi dalam
berbagai kesempatan lain yang tidak berhubungan dengan kegiatan

171
keagamaan, misalnya acara adat, pesta, maupun acara kumpul-kumpul
kerabat dan tetangga yang sifatnya kasual dan tidak direncanakan.
Penggunaan baram dalam konteks profan ini lebih sering dijumpai
di tengah masyarakat Desa Danum Simak Harum, daripada konsumsi
baram dalam konteks sakral. Dalam konteks profan, baram dikonsumsi
untuk kesenangan atau perayaan.
Orang Dayak tidak khawatir akan esok hari, karena mereka
yakin, bumi yang mereka pijak adalah bumi yang kaya, hidup adalah
untuk dinikmati mereka tidak enggan mengeluarkan uang untuk
minuman atau pesta, selama itu mendatangkan rasa sukacita. Baram
sebagai salah satu cara mudah memperoleh rasa bahagia tanpa
melihat apapun latar belakang sosialnya.
Baram pali adalah baram yang bersifat sakral untuk ritual. Pada
acara ritual kuantitasnya sedikit hanya memungkinkan dikonsumsi
secara terbatas sehingga dahulu baram dikonsumsi secara terbatas.
Kondisi itu berbeda dengan masa kini, di mana mudah sekali untuk
menemukan baram yang dikonsumsi secara masif oleh masyarakat
karena peredarannya yang sulit dikendalikan. Baram pali adalah
representasi dari nilai transendental baram yang sesungguhnya, dan
contoh yang baik untuk menggambarkan bagaimana seharusnya
seorang individu mengkonsumsi baram dengan memperhatikan nilai-
nilai yang diwariskan oleh leluhur.
Dari sudut pandang religi, baram secara mutlak muncul
atas kuasa dari Ranying hatalla dan itu diyakini oleh sebagian
besar pemeluk Kaharingan. Ada interpretasi yang berbeda dari isi
Panaturan yaitu tentang wajib atau tidaknya baram di dalam ritual
adat dan ritual agama Kaharingan. Yang pertama adalah baram harus
ada dalam setiap ritual adat dan agama Kaharingan, dan tidak bisa
tergantikan oleh minuman lain bahkan yang serupa sekali pun Sudut
pandang kedua baram bukanlah syarat wajib untuk memulai suatu
ritual, karena baram tidak berpengaruh kepada keberlangsungan
ritual. Baram bisa digantikan oleh minuman lain.

172 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Budaya masyarakat setempat, bukanlah hal yang baik menolak
makanan yang ditawarkan atau diberikan orang lain secara tulus
karena tersebut dapat mendatangkan pahuni (malapetaka), Tapi
sebenarnya penolakan secara halus dapat dilakukan denganpuse-
puse, Orang yang usia lanjut, orang yang sakit kronis, serta tokoh
masyarakat atau orang yang disegani karena posisi dan latar
belakangnya lebih mudah menolak tawaran untuk minum baram.
Beberapa persoalan yang ditemukan yang terkait dengan
baram dengan masalah kesehatan, anak, remaja dan ibu hamil;
masalah politik dan masalah standarisasi baram. Baram berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan seperti gangguan hati dan ginjal
yang telah ditemukan diderita masyarakat sebagai efek dari konsumsi
minuman beralkohol dalam jangka waktu yang lama. Minum baram
dalam acara kasual, acara ritual dan agama merupakan bagian dari
budaya. Sehingga bertambahnya penderita penyakit yang sama akan
sangat dimungkinkan.
Perempuan hamil adalah perempuan yang paling rentan
untuk mendapat efek negatif dari alkohol, Tidak semua perempuan
hamil sadar bahwa dirinya dan anak yang dikandungnya tidak boleh
terpapar alkohol Bahkanbeberapa perempuan hamil biasa minum
baram karena mengidam.Konsumsi alkohol di masa kehamilan dapat
mengganggu perkembangan janin dan merupakan penyebab utama
berbagai kecacatan serta gangguan saraf dan perkembangan yang
dapat dicegah. Efek buruk alkohol pada perempuan hamil bukanlah
isapan jempol belaka karena ada satu generasi yang sudah terancam
bahkan sebelum mereka dilahirkan.
Potensi penyakit lain yang sebenarnya merupakan bahaya laten
adalah penyakit yang ditularkan dari perilaku minum komunal yang
menggunakan satu gelas yang sama. Minum dari gelas yang sama
bukan semata-mata disebabkan oleh keterbatasan jumlah gelas,
tetapi secara filosofi hal ini juga melambangkan kebersamaan serta
kekerabatan yang erat dan egaliter. Mereka tidak terlalu hirau akan
bahaya yang bisa diakibatkan dan justru lebih melihat pulih sebagai

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 173
ancaman utama. Padahal secara naturalistik, pulih bisa juga bisa
disebabkan oleh perilaku minum yang beresiko tinggi tersebut. Perlu
diwaspadai terjadi penyakit menular atau tidak menular.
Kebiasaan minum baram di kalangan anak remaja juga meng­
khawatirkan. Anak muda yang seharusnya memiliki masa depan yang
cerah dengan kondisi jasmani yang seharusnya sehat dan bugar. Anak
remaja sering mencampur Baram dengan obat-obatan tertentu yang
dijual bebas di pasaran.
Peredaran baram yang tidak terkontrol serta lemahnya peng­
awasan orangtua dan orang dewasa mempermudah anak-anak dan
remaja mengkonsumsi alkohol. Institusi pendidikan dan para pengajar
bisa dikatakan kecolongan dengan maraknya hal ini, namun perlu
diingat jika persoalan ini bukan melulu tanggungjawab sekolah tetapi
juga keluarga. Untuk itu hubungan orangtua dengan guru haruslah
harmonis dan komunikasi yang terjalin tidak hanya pada konteks nilai
akademik saja.
Di luar lingkungan sekolah, keluarga terutama orangtua adalah
pemberi fondasi nilai terpenting melebihi apapun yang anak-anak
dan remaja dapatkan dari luar. Sayangnya sebagian besar orangtua
memiliki hambatan untuk melakukan pendampingan dan pengawasan
yang semestinya untuk anak-anak mereka. Hambatan terkait dengan
kerasnya hidup untuk mencari nafkah. Hal itu berdampak pada
minimnya waktu untuk berkomunikasi secara berkualitas.
Perilaku minum di kalangan anak dan remaja tidak disebabkan
oleh satu kausa tunggal. Ada faktor pola asuh, hubungan dalam
keluarga, ekonomi, ketersediaan alkohol di lingkungan masyarakat,
pendidikan, pergaulan sebaya, norma di masyarakat, dan lain seba­
gainya. Selama masyarakat belum menyadari potensi dampak alkohol
terhadap generasi penerus dan bersama-sama mengendalikan
berbagai faktor risiko
Salah satu hal yang dirasakan cukup efektif dalam mencegah
terjadinya perkelahian maupun kekerasan fisik akibat mabuk karena
baram adalah dengan diterapkannya jipen yaitu aturan dan denda

174 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
adat untuk perilaku yang mengganggu ketertiban dan kelancaran
acara adat.
Adanya wacana dijadikannya baram sebagai warisan buda­ya
tak benda, pemerintah harus mengambil komitmen untuk menin­
daklanjuti hal tersebut dengan menyusun suatu kebijakan terkait
pembatasan produksi, distribusi, dan konsumsi baram agar pihak yang
rentan terpapar efek negatif baram bisa terlindungi. Hal itu untuk
menghindari euphoria yang berdampak pada meningkatnya produksi
dan konsumsi baram yang tidak terkontrol bila wacana tersebut
terwujud.
Persoalan baram tidak dapat disikapi dengan hanya meman­
dangnya dari sudut pandang yang sempit dan terjebak dalam
dikotomi hitam-putih serta baik-buruk, karena budaya bersifat relatif,
apa yang baik untuk satu budaya tertentu belum tentu baik untuk
budaya lain dan demikian juga sebaliknya (cultural relativism). Baram
adalah bagian dari budaya Dayak dan menjadi materi vital pada
berbagai ritual Kaharingan terlepas dari kontroversi asal muasal serta
penggunaannya pada ranah sakral atau profan.
Baram bagi masyarakat desa Danum Simak Harum adalah se­
bagai media bersosialisasi. Baram memiliki kemampuan untuk men­
dekatkan individu satu dengan individu lain selain berfungsi sakral.

7.2 Apa yang bisa dilakukan


Baram adalah paradoks. Baram sangat kompleks tetapi juga
fleksibel, dia baik tetapi juga buruk, dia bisa menjadi madu dan juga
bisa menjadi racun. Baram yang bersifat sakral untuk ritual, juga
dikonsumsi dalam berbagai kesempatan lain yang sifatnya kasual juga
sebagai media bersosialisasi karena mampu mendekatkan individu
satu dengan individu lain. Untuk itu baram akan selalu menjadi bagian
dalam masyarakat Katingan.
Apa yang bisa dilakukan dengan Baram? Baram dalam konteks
sebagai racun misalnya terkait dengan kebiasaan minum komunal
memakai gelas yang sama, tentunya jika dilihat dari sudut pandang

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 175
kesehatan dapat menimbulkan permasalahan karena dapat menjadi
media penularan pada beberapa penyakit terutama penyakit menular.
Melarang secara total dalam waktu singkat kebiasaan tersebut adalah
hal yang hampir mustahil. Tetapi setidaknya ada sesuatu yang bisa
dilakukan untuk mengurangi dampak negatifnya secara perlahan.
Misalnya dengan mendorong masyarakat untuk terbiasa membawa
gelas sendiri untuk minum, namun satu gelas yang dipakai secara
komunal tetap digunakan. Hanya saja gelas komunal tersebut tidak
diperbolehkan untuk digunakan minum, melainkan hanya untuk
menuangkan baram dari teko atau jerigen sehingga permainan masih
bisa berjalan. Mungkin ini agak merepotkan, tetapi bukankah semua
harus dicoba?
Jalan lain yang mungkin terdengar lebih ‘keras’ adalah menia­
dakan sama sekali gelas komunal tersebut, sehingga orang hanya akan
membawa gelas pribadi yang diberi nama masing-masing. Diharapkan
hal ini bisa dilakukan pada lingkungan formal dan informal. Untuk
memastikan apakah kebiasaan baru ini bisa berjalan baik atau tidak,
maka harus ada tim yang berkomitmen atau kader yang bersedia
menjadi sukarelawan untuk mengawasi dan mengingatkan yang lain
jika ada pelanggaran. Untuk itu, sebaiknya kader atau relawan yang
diberi tugas untuk mengawasi juga berasal dari lingkungan mereka
sendiri.
Kader atau relawan yang sama juga bisa diberdayakan untuk
mengingatkan ibu hamil agar TIDAK mengkonsumsi baram. Ketika
pada suatu acara minum ditemui adanya perempuan yang sedang
hamil.
Di Katingan adalah hal yang biasa bagi orangtua untuk minum
baram di depan anak-anaknya ketika menghadiri pesta, acara adat,
ataupun acara keakraban lain, akibatnya mereka mengalami kesulitan
untuk melarang anak-anaknya minum baram. Untuk itu, orangtua
perlu mendapat pengetahuan mengenai pola asuh yang baik.
Penguatan peran pendidik di sekolah dan penguatan peran orangtua

176 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
di rumah dengan pendampingan dan pengawasan bukan hanya di
lingkungan sekolah tetapi juga di lingkungan keluarga.
Pendidikan adalah salah satu cara yang efektif untuk meng­
urangi risiko anak dan remaja terlibat dalam perilaku konsumsi alkohol
yang berisiko. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa
fungsi pendidikan dan pembimbingan anak kini tidak bisa diserahkan
sepenuhnya kepada guru, bahkan, peran orangtua menjadi yang
paling utama.
Standarisasi alkohol adalah salah satu yang harus disiapkan
jika wacana pelegalan baram dapat terlaksana. Pertama tentu saja
memikirkan membuat baram yang terstandar dari sisi higienitas,
terstandar kadar alkoholnya, dan mekanisme pabrikasinya. Selanjut­
nya, jika semua proses tersebut terlaksana harus dipikirkan juga
mekanisme distribusinya, mekanisme yang bisa ditetapkan agar anak-
anak di bawah umur dan perempuan hamil dibatasi untuk mengakses
baram, dan pihak mana yang bisa mengawasi proses itu. Selain itu
kerja sama lintas sektor juga mutlak dan diperlukan landasan hukum
agar dapat terlaksana.
Perlu dipikirkan kemungkinan adanya mekanisme yang meng­
atur tentang akses baram untuk kebutuhan non-ritual dan baram
untuk kebutuhan ritual adat atau agama Kaharingan. Pendistribusian
yang tidak tepat sasaran dapat menyebabkan berkurangnya geliat
sebagian besar masyarakat pada sektor agraria. Mengingat baram bisa
menjadi bisnis yang sangat potensial jika ternyata berhasil dilegalkan,
dan kami yakin akan muncul pembuat baram baru secara masif.
Pada ranah kultural, ada baiknya memanfaatkan ketentuan
adat berupa denda atau jipen. Kesepakatan denda bisa dilakukan
pada saat terjadi ritual agama atau adat, dan diusahakan agar selalu
disosialisasikan pada ibadah basarah mingguan atau basarah keluarga.
Isi dari kesepakatan salah satunya harus berisi larangan untuk menjual
atau memberi minuman untuk anak di bawah umur (18 tahun ke
bawah), dan larangan ibu hamil untuk mengkonsumsi baram dengan
sengaja. jika dilanggar maka harus ada denda yang diberlakukan.

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 177
Tentu saja hal ini melibatkan pemuka adat, tokoh agama, tokoh
masyarakat, masyarakat, guru, orangtua, dan tenaga kesehatan. Pun
dengan semua rekomendasi yang disebut sebelumnya, semua harus
melibatkan kerja sama lintas sektor. Maka dari itu memperkuat
jaringan, terus berkoordinasi, dan berkomitmen untuk menyamakan
visi dan misi harus segera dimulai.

178 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
INDEKS

A C
alkohol 1, 2, 3, 5, 14, 33, 36, 37, 39, 40, cedera 100, 107, 108, 109, 125, 128,
41, 42, 43, 44, 45, 51, 52, 54, 58, 130, 152
59, 62, 63, 70, 72, 81, 88, 100, Cedera 126, 127
101, 105, 107, 108, 110, 111, 112,
113, 114, 115, 118, 120, 121, 122, D
123, 124, 125, 126, 127, 128, 130, dangdut 28, 32, 36, 60, 62, 85, 86, 87,
131, 133, 138, 141, 142, 144, 156, 111, 141
157, 163, 165, 169, 173, 174, 177, Dayak 3, 4, 5, 9, 10, 11, 12, 14, 17, 19,
181, 184 21, 26, 31, 36, 52, 53, 54, 55, 56,
Alkohol 3, 38, 125, 181 57, 58, 59, 70, 83, 85, 89, 90, 91,
anding 73, 74 98, 99, 100, 126, 139, 143, 156,
167, 171, 172, 175, 181, 182, 183,
B 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190,
baram 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 14, 15, 192
23, 29, 32, 33, 35, 36, 37, 38, 50,
52, 53, 54, 55, 56, 58, 59, 60, 61, H
62, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, hamil 59, 130, 131, 132, 133, 134, 135,
73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 81, 82, 137, 138, 173, 176, 177
83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, Hilir 26, 31, 185
92, 93, 94, 96, 97, 98, 99, 100, hulu 25, 26, 27, 31, 33, 34, 35, 36, 37,
101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 66, 87, 95, 102, 103, 143, 145,
108, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 146, 150, 152, 163, 164, 167
117, 118, 120, 121, 122, 123, 124,
125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, J
132, 133, 134, 137, 138, 139, 140, janin 130, 131, 133, 138, 173
141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, jipen 156, 174, 177
148, 149, 150, 151, 152, 154, 155,
156, 163, 164, 165, 166, 167, 168, K
169, 171, 172, 173, 174, 175, 176,
Kaharingan 3, 4, 5, 12, 13, 14, 17, 19,
177, 181, 183, 184, 185
23, 25, 26, 27, 34, 35, 55, 57, 58,
baram pali 93, 94
67, 75, 82, 89, 90, 91, 95, 98, 99,
Basarah 13, 35, 182, 190
100, 129, 135, 171, 172, 175, 177,
BBLR 134
181, 182, 185, 186, 187, 188, 190,
192

179
karungut 28, 140 R
racun 6, 39, 159, 160, 169, 175, 189
M ragi 14, 15, 42, 43, 65, 66, 67, 68, 69,
mabuk 3, 5, 29, 33, 36, 37, 46, 47, 53, 70, 72, 73, 74, 77, 81, 121, 123,
54, 59, 62, 63, 69, 72, 82, 87, 92, 124, 125, 171, 184, 185
95, 99, 100, 101, 106, 107, 109, ritual 2, 3, 4, 5, 7, 8, 12, 23, 31, 35, 36,
111, 112, 114, 115, 126, 127, 128, 39, 40, 44, 45, 51, 55, 57, 59, 67,
129, 130, 139, 140, 141, 142, 143, 75, 76, 77, 78, 79, 82, 87, 89, 90,
145, 146, 147, 148, 149, 151, 152, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
154, 156, 163, 165, 166, 174, 183, 136, 140, 143, 145, 146, 150, 161,
187 162, 171, 172, 173, 175, 177, 181,
182, 187, 188, 190
N
napesan 19, 36, 91, 92, 95 S
Napesan 35, 91, 187 sirosis hati 121, 125, 139, 142, 144
Nyun 135, 136, 137, 188
T
P Tambi 25, 27, 62, 66, 76, 77, 78, 79, 98,
Panaturan 13, 55, 98, 99, 172, 188 99, 100, 145, 146, 147, 148, 149,
pisur 55, 76, 78, 89, 91, 96, 97, 159, 150, 159, 160, 161, 162, 163, 164,
167, 182, 190 165, 166, 167, 190
Politik 155, 192 tiwah 10, 19, 91, 92, 93, 94, 95, 186,
profan 52, 82, 90, 99, 172, 175 187, 190
pulih 145, 151, 159, 160, 161, 162, 163, tradisional 2, 3, 5, 9, 14, 15, 28, 50, 51,
164, 165, 166, 167, 168, 169, 173, 52, 53, 54, 59, 65, 82, 121, 142,
189 144, 161, 167, 171, 181, 185, 186
pupu 32, 36, 84, 104, 147
puse-puse 88, 143

180 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
GLOSARIUM

A
Alkohol : Secara kimia, alkohol adalah istilah yang
umum untuk senyawa organik apapun yang
memiliki gugus hidroksil (-OH) yang terikat
pada atom karbon, yang ia sendiri terikat
pada atom hidrogen dan/atau atom karbon
lain
Anding : Proses memasukkan larutan air dan gula
pada proses fermentasi baram
Arak : Minuman beralkohol hasil fermentasi dan
penyulingan beras, buah, dan bahan lainnya
B
Bahajat : Ritual Suku Dayak Ngaju yang dilakukan oleh
pemeluk Kaharingan, ritual ini bertujuan
untuk memohon suatu permintaan kepada
Ranying Hatalla Langit dengan mengucap
janji, dan jika permintaan tersebut
dikabulkan maka orang yang bersangkutan
harus membayar janji yang pernah dia
ucapkan. Konsep Bahajat ini hampir sama
dengan mengucap nazar dalam agama
Islam
Balanga : Nama lain guci dalam bahasa Dayak Ngaju
Balian : Tokoh spiritual, pemimpin ritual adat Suku
Dayak Ngaju
Baram : Minuman beralkohol tradisional khas
Kalimantan Tengah yang merupakan hasil
fermentasi beras, gula, dan rempah-
rempah. Minuman ini paling banyak

181
ditemukan di DAS Katingan dan DAS
Kahayan
Baram Pali : Baram yang memiliki nilai sakral yang dapat
ditemukan pada saat ritual tertentu dan
dapat dinikmati pada saat tertentu juga
Basangiang : Ritual memanggil Sangiang yang dilakukan
oleh pemimpin spiritual yang disebut pisur.
Biasanya ritual ini dilakukan untuk tujuan
pengobatan.
Basarah : Ibadah doa yang dilakukan oleh umat
Kaharingan. Ibadah Basarah mingguan
dilakukan setiap hari Kamis di Balai Basarah,
dan ada juga Basarah Keluarga yang
dilakukan pada waktu tertentu, bertempat
di salah satu rumah umat sesuai dengan
kesepakatan bersama
Basir : Tokoh spiritual, pemimpin ritual
Batang Garing Tingang : Secara harafiah berarti Pohon Kehidupan.
Secara kosmologi pohon ini berkaitan
dengan asal-usul Suku Dayak Ngaju
Batavia Arack Van Oosten : Nama merk dagang dari minuman
beralkohol yang terbuat dari fermentasi
serta distilasi beras dan campuran berbagai
bahan yang dibuat sejak masa kolonial
Belanda sekitar abad ke-17
Bayar Hajat : Ritual lanjutan dari ritual Bahajat. Ritual
ini dilakukan untuk membayar janji yang
pernah diucapkan pada Ranying Hatalla
Langit pada saat ritual Bahajat dilakukan
Bawui : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti babi
Behas : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti beras
Bir : Minuman beralkohol dengan kadar 1-6%
yang diproduksi melalui fermentasi bahan

182 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
berpati tanpa melalui penyulingan setelah
fermentasi
Brem : Brem adalah makanan yang berasal dari
sari pati beras ketan yang difermentasikan
dengan warna putih atau kuning kecoklatan
Brem Bali : Minuman beralkohol khas Bali hasil
fermentasi beras ketan
Bue : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti Kakek
Buhis : Nama sejenis monyet
Bungking Sangalang : Lihat Batang Garing Tingang
Busau : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti mabuk

C
Ciu : Minuman beralkohol yang dibuat dari
fermentasi dan distilasi tetes tebu.
Minuman ini lebih banyak ditemukan di
daerah Banyumas dan sekitarnya
Cap Tikus : Nama minuman beralkohol khas Minahasa,
Sulawesi Utara yang dihasilkan dari proses
distilasi nira
Cẻkẻr : Sebutan untuk individu yang bertugas
menuang baram ke gelas

D
Dayak : Nama Suku penghuni asli Pulau Kalimantan
Dayak Ngaju : Salah satu rumpun Suku Dayak terbesar
yang menghuni Kalimantan Tengah
Danum Kalunen : Bahasa Sangiang yang berarti Bumi
DAS : Daerah Aliran Sungai
Drunken Monkey Hypothesis : Suatu teori yang dicetuskan oleh
Profesor Robert Dudleg dari The University
of California. Teori ini secara garis besar
mengemukakan tentang ketertarikan manu­

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 183
sia pada alkohol yang ditengarai adalah
faktor genetik dan diturunkan oleh nenek
moyang manusia yaitu primata.
Distilasi : Proses penyulingan

E
Etanol : Disebut juga etil alkohol, alkohol murni,
alkohol absolut, atau alkohol saja, adalah
sejenis cairan yang mudah menguap, mudah
terbakar, tak berwarna, dan merupakan
alkohol yang paing sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.

G
Garu : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti dupa

H
Halu : Alat penumbuk yang terbuat dari kayu yang
dibentuk memanjang. Kayu yang digunakan
biasanya adalah kayu ulin (kayu besi). Halu
digunakan bersama-sama dengan lisung,
dan biasanya digunakan untuk menumbuk
beras bahan baku ragi baram, atau
menumbuk padi dan kopi
Handep : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti gotong-
royong
Hard Liquors : Secara harafiah berarti minuman keras yang
dibuat dari fermentasi biji-bijian, buah, atau
sayuran yang kemudian dilakukan proses
penyulingan atau distilasi yang memiliki
kadar alkohol di atas 20%

184 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Hilir : Bagian dari sungai yang memiliki topografi
datar sampai dengan landai. Daerah yang
memiliki endapan sendimen
Hulu : Bagian dari sungai yang memiliki topografi
berbentuk bergelombang, bergunung-
gunung dan berbukit, memiliki kerapatan
drainase yang tinggi, sehingga sumber
air dapat masuk ke sungai utama dan
mengalami erosi.

I
Indang Rahi : Biang ragi, yaitu suatu bahan yang terbuat
dari tumbukan beras dan rempah-rempah
yang dibentuk sedemikian rupa hingga
berbentu membulat seperti gong. Ragi ini
digunakan sebagai campuran fermentasi
baram

J
Jipen : Bahasa Dayak Ngaju. Bisa berarti ‘denda
adat’ dan bisa juga berarti ‘budak’.

K
Kaharingan : Agama asli Suku Dayak Ngaju yang sudah
terintegrasi dengan Hindu, sehingga disebut
juga Hindu Kaharingan
Kakawin Negarakertagama : Kitab yang ditulis Mpu Prapanca pada
masa Kerajaan Majapahit
Karungut : Kesenian tradisional masyarakat Dayak dari
Kalimantan Tengah yang berupa sastra lisan
atau bisa juga pantun yang dilagukan
Kayau : Memenggal kepala manusia menggunakan
mandau

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 185
Kelotok : Kapal kayu berukuran kecil memanjang,
biasanya menggunakan mesin ketika
digunakan sebagai moda transportasi di
sungai
Kosmologi : Berhubungan dengan asal mula suatu
subjek
Kuman : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti makan

L
Laluhan : Hantaran pada upacara tiwah
Lapen : Nama minuman beralkohol tradisional khas
Jogjakarta
Lawung : Ikat kepala
Lewu Tatau : Alam akhirat menurut agama Kaharingan
Lisung : Suatu benda yang memiliki cekungan atau
berlubang cukup dalam. Cekungan atau
lubang ini digunakan sebagai wadah bahan-
bahan tertentu yang akan ditumbuk oleh
lisung. Biasanya lisung terbuat dari kayu

M
Maharaja Bunu : Salah satu nenek moyang/leluhur Suku
Dayak Ngaju yang tinggal di langit, dan
merupakan pembantu Ranying Hatalla
Maharaja Sangen : Salah satu nenek moyang/leluhur Suku
Dayak Ngaju yang tinggal di langit, dan
merupakan pembantu Ranying Hatalla
Maharaja Sangiang : Salah satu nenek moyang/leluhur Suku
Dayak Ngaju yang tinggal di langit, dan
merupakan pembantu Ranying Hatalla
Mamah : Panggilan untuk Ibu
Mandau : Senjata tajam tradisional khas Suku Dayak
yang menyerupai parang atau pisau

186 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Manambang Laluhan : Lihat Laluhan
Manganjan : Tarian ritual Suku Dayak di Kalimantan
Tengah. Biasanya dilakukan pada saat ritual
penting seperti tiwah
Menawur Behas : Secara harafiah berarti menabur beras.
Menawur behas dilakukan oleh umat
Kaharingan untuk berkomunikasi dengan
Tuhan, biasanya dilakukan pada saat terjadi
ritual tertentu
Mihup : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti minum
Mina : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti bibi
Minuman Keras Oplosan : Sering disingkat miras oplosan. Istilah ini
merujuk pada minuman beralkohol yang
dicampur dengan bahan kimia berbahaya
yang sebenarnya tidak boleh dikonsumsi
manusia
Minuman Laut : Istilah untuk menyebut minuman beralkohol
modern atau import
Moh Limo : Berasal dari bahasa Jawa, Moh berarti tidak
mau. Limo berarti lima. Lima larangan yang
diajarkan oleh Sunan Ampel yang terdiri
dari Moh Mabok (tidak mabuk), Moh Main
(tidak berjudi), Moh Madon (tidak main
perempuan), Moh Madat (tidak memakai
candu), dan Moh Maling (tidak mencuri)
Moke : Minuman khas dari Flores NTT yang
merupakan hasil penyulingan tanaman
enau atau lontar

N
Napesan : Ritual kematian Suku Dayak Ngaju yang
menganut Kaharingan

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 187
Naturalistik : Suatu sistem medis yang meyakini jika sakit
atau penyakit bisa muncul karena adanya
ketidakseimbangan dalam tubuh
Nyun : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti kejang
Nyun Bawui : Kejang babi. Kejang yang disertai dengan
mulut yang berbusa
Nyun Buhis : Kejang monyet. Kejang yang disertai dengan
munculnya bercak kehitaman di tubuh
Nyun Hatu : Kejang mayat. Kejang yang mirip dengan
orang mati karena setelah kejang tubuh
akan terdiam seperti mayat

P
Pahuni : Semacam kualat
Pali : Larangan
Panaturan : Kitab suci agama Kaharingan
Patahu : Sebuah pondok kecil atau rumah panggung
kecil yang menurut kepercayaan Kaharingan
dihuni oleh para leluhur (semacam dewa
dewi) penjaga. Patahu bisa dibangun di
depan rumah, atau bisa dibangun di suatu
tempat di tengah kampung
Patahu Mahagalewu : Patahu yang dibangun di tengah kampung
sebagai penjaga kampung
Patungul Patahu : Patung kayu yang tertanam di tanah di
sekitar patahu
Peneraci : Minuman beralkohol khas Sumba, NTT yang
dihasilkan dari penyulingan lontar
Perapen : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti perapian
Personalistik : Sistem medis yang meyakini bahwa
penyakit disebabkan oleh intervensi
mahkluk supranatural atau hal gaib
Pisur : Tokoh spiritual, pemimpin ritual Kaharingan

188 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
Primata : Mamalia yang menjadi anggota ordo biologi
Primates. Di dalam ordo ini termasuk lemur,
tarsius, monyet, kera, dan juga manusia
Profan : Tidak suci, tidak kudus, duniawi
Pulih : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti racun.
Secara lebih detail pulih adalah racun
yang dibuat oleh orang lain untuk tujuan
tertentu
Pulih Biasa : Racun yang dibuat tanpa menargetkan
korban
Pulih Janji : Racun yang dibuat dengan target yang
sudah ditentukan
Pupu : Istilah untuk menyebut patungan
Puse-Puse : Suatu perilaku menyentuhkan ujung jemari
di atas makanan atau minuman, kemudian
menggosokkan ujung jemari tersebut di
belakang telinga.Hal ini sudah menjadi
kebiasan Suku Dayak Ngaju Katingan
jika menolak makanan atau minuman
pemberian orang lain

R
Rambat : Keranjang anyaman berbentuk bulat me­
man­jang yang terbuat dari rotan
Ranying Hatalla Langit : Tuhan
RUU LMB : Rancangan Undang-Undang Larangan
Minum­an Beralkohol

S
Saguer : Minuman beralkohol khas Papua yang
dihasilkan dari proses penyulingan nira

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 189
Sake : Minuman beralkohol khas Jepang yang
dihasilkan dari proses fermentasi dan
penyulingan beras
Sakral : Suci, kudus, surgawi
Sandung : Suatu tempat yang terbuat dari kayu,
berbentuk kotak yang digunakan untuk
menyimpan tulang belulang orang yang
sudah meninggal
Sangiang : Roh leluhur Suku Dayak Ngaju yang bisa
dipanggil oleh pisur. Atau bisa juga berarti
bahasa ritual/bahasa Dayak kuno
Sapundu : Tiang kayu yang berukir atau bermotif
manusia yang digunakan untuk mengikat
kerbau yang akan dikorbankan untuk
upacara tiwah
SARA : Suku Agama Ras dan Antar Golongan
Selatup : Ikat kepala
Spirits : Lihat Hard Liquors
Sura : Minuman beralkohol dari masa India kuno
yang merupakan kesukaaan Dewa Indra

T
Tajau : Guci
Talatah Basarah : Kumpulan doa
Tambi : Bahasa Dayak Ngaju yang berarti nenek
Tawar : Petunjuk tata cara meminta pertolongan
kepada Tuhan dengan cara menabur beras
Tiwah : Upacara kematian tingkat akhir penganut
Kaharingan

W
Wine : Minuman beralkohol yang merupakan hasil
fermentasi anggur, beras, atau bahan dan
buah-buahan lainnya

190 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. 2000. ‘Fetal alcohol syndrome and


alcohol-related neurodevelopmental disorders.’ Pediatrics,
vol.106, no.2. pp.358-61
Anderson, TL. 1998. ‘A cultural-identity theory of drug abuse’.
Addiction, vol.1, pp.233-62.
Anshori, Sofyan. 2016. The Fabrication of Local Identity: The Case of
Marginalization of The Indigenous Dayaknese’s Local Beverage
In Central Kalimantan. Proceeding Paper 6th International
Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia
Biro Pusat Statistik. 2015. Katingan dalam Angka.
Dasgupta, Amitara. 2011. The Science of Drinking. How Alcohol Affects
Your Body and Mind. Rowman & Littlefield Publisher, Inc.
Fugate, M, Landis, L, Riordan, K, Naureckas, S, Engel B. 2005.
‘Barriers to domestice violence help seeking: implications for
intrevention’. Violence Against Women,
Gately, Ian. 2008. Drink. A Cultural History of Alcohol. Gotham Books.
Hawkins, JD, Catalano, RF, Miller, JY. 1992. ‘Risk and protective
factors for alcohol and other drug problems for substance abuse
prevention’. Psychological Bulletin, vol. 112, no. 1, pp.64-103.
Hoeve, M, Dubas, JS, Eichelsheim, VI, van der Laan, PH, Smeenk, W,
Gerris JRM. 2009. ‘The relationship between parenting and
delinquency: a meta-analysis’. J Abnorm Child Phsychol, vol. 37,
pp.749-75.
Kementerian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar
Kuntsche, E, Knibbe, R, Gmel, G, Engels, R. 2006. ‘Who drinks and
why? A review of socio-demographic, personality, and contextual

191
issues behind the drinking motives in young people’. Addictive
Behaviors, vol.31, pp. 1844-57.
Mahin, Marko. 2009. Kaharingan; Dinamika Agama Dayak Di
Kalimantan Tengah. Disertasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UI.
Poli, A, et al. 2013.‘Moderate alcohol use and health: a
consensusdocument’.Nutrition, Metabolism & Cardiovascular
Diseases, vol. 23, pp 487-504.
Rechm, J, et al. 2009. ‘The association between alcohol use, alcohol
use disorders and tuberculosis (TB): A systematic review’. BMC
Public Health.
Rechm, J, et al. 2010. ‘the relation between different dimensions
of alcohol consumption and burden of disease: an overview’
Addiction. vol 105. pp 817-834.
Riwut, Tjilik. 1965. Maneser Panatau Tatu Hiang. Disunting oleh Nila
Riwut, 2003. Pusaka Lima. Palangka Raya
RPJMDes Danum Simak Harum. 2015.
Siyok, Damianus dan Tiwi Etika. 2014. Mutiara Memahami Bumi dan
Manusia. Penyunting: Anthony Suryanyahu. PT. Sinar Bagawan
Khatulistiwa Palangka Raya
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta. PT. Tiara
Wacana Yogya
Suryadarma, Priyanti Pakan dan Meutia F. Hatta Swasono. 1986.
Antropologi Kesehatan. Jakarta. UI Press
Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia; Demografi Politik
Pasca Soeharto. Yayasan Obor Indonesia
Usop, KMAM. 1996. Pakat Dayak: Sejarah Integrasi dan Jatidiri
Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah. Yayasan
Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing, Palangka Raya.
Williams, JF, Smith, VC, Committee on Substance Abuse. ‘Fetal alcohol
spectrum disorders’. Pediatrics, vol. 136, no. 5, pp 1396-1406.
World Health Organization. 2014. Global status report on alochol and
health.

192 Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju
WEBSITE
https://id.m.wikipedia.org>wiki>tuak
http://kbbi.web.id/brem
http://m.harianjogja.com
http://tribunnews.com
www.beercoasters.it
www.dpr.go.ide>doksileg>proses2

Baram Antara Madu dan Racun dalam Kehidupan Etnik Dayak Ngaju 193

Anda mungkin juga menyukai