Referat Epistaksis
Referat Epistaksis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
67%. Jadi, sejauh ini masalah sebab dan akibat antara epistaksis dan hipertensi
merupakan subyek kontroversi lama (Sarhan dan Algamal, 2015).
A. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu apakah ada hubungan antara epistaksis
dan hipertensi?
B. Tujuan
Tujuan makalah untuk mengetahui hubungan antara epistaksis dan hipertensi secara
tepat
C. Manfaat
1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang hubungan epistaksis dan hipertensi
2. Meningkatkan kesadaran penderita epistaksis
3. Dapat dijadikan landasan pemikiran untuk penelitian tentang hubungan epistaksis dan
hipertensi.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epistaksis
1. Definisi
Istilah ‘epistaksis’ adalah bahasa latin yang berasal dari bahasa Yunani,
epistazen (epi-diatas, stazein-menetes) (Sarhan dan Algamal, 2015). Epistaksis adalah
keluarnya darah dari hidung yang merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain,
penyebabnya bisa lokal maupun sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan
bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal
dari bagian depan atau bagian belakang hidung (Mangunkusumo, 2007).
2. Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit untuk ditentukan karena sebagian besar diselesaikan
dengan pengobatan mandiri dan tidak dilaporkan. Namun, bila beberapa sumber
ulasan yang pernah disinggung, kejadian seumur hidup dari epistaksis pada populasi
umum adalah sekitar 60%, dengan kurang dari 10% mencari perhatian medis.
Distribusi usia bimodal, dengan puncak pada anak-anak (2-10 tahun) dan
orang yang lebih tua (50-80 tahun). Epistaksis tidak biasa terjadi pada bayi karena
tidak adanya koagulopati atau hidung patologi (misalnya atresia koana, neoplasma).
Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) dari pada
perempiuan (42%). (Nguyen, 2015).
3. Etiologi
3
mengidentifikasi serangkaian faktor risiko epistaksis. Kemungkinan epistaksis
ditemukan meningkat pada pasien dengan rhinitis alergi, sinusitis kronis, hipertensi,
hematologi keganasan, koagulopati, atau, seperti yang disebutkan, turun-temurun
hemorrhagic telangiectasia. Para peneliti juga menemukan peningkatan mimisan
berkaitan dengan usia yang lebih tua dan cuaca dingin (Nguyen, 2015).
Trauma
Cuaca kering
Obat-obatan
4
dinding lateral, hal ini dapat menyebabkan epistaksis ringan. Obat-obatan seperti obat
anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) yang juga sering terlibat.
Kelainan septum
Peradangan
Tumor
Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi sebagai epistaksis. Pasien yang
terkena mungkin juga hadir dengan tanda-tanda dan gejala sumbatan hidung dan
rhinosinusitis, sering unilateral.
5
Diskrasia darah
6
Kelainan pembuluh darah lainnya yang mempengaruhi untuk epistaksis
termasuk neoplasma vaskular, aneurisma, dan endometriosis.
Migrain
Hipertensi
Sebuah studi oleh Sarhan dan Algamal, yang termasuk 40 pasien dengan
epistaksis dan 40 kontrol, melaporkan bahwa jumlah serangan epistaksis lebih tinggi
pada pasien dengan riwayat hipertensi, tetapi para peneliti tidak dapat menentukan
apakah link yang pasti ada di antara mimisan dan tekanan darah tinggi. Mereka
menemukan, bagaimanapun, bahwa kontrol epistaksis lebih sulit pada pasien
hipertensi; pasien yang sistolik tekanan darah lebih tinggi pada presentasi cenderung
perlu manajemen dengan kemasan, perangkat balon, atau kauterisasi.
7
Batuk berlebihan menyebabkan hipertensi vena hidung dapat diamati di
pertusis atau fibrosis kistik.
Penyebab idiopatik
4. Klasifikasi
Epistaksis anterior
Epistaksis posterior
8
5. Patofisiologi
Lebih dari 90% dari perdarahan terjadi anterior dan muncul dari daerah kecil,
di mana bentuk-bentuk pleksus kiesselbach pada septum. Plexus kiesselbach adalah
tempat pembuluh darah dari kedua arteri karotis interna (anterior dan posterior
ethmoid arteri) dan arteri karotis eksterna (sphenopalatina dan cabang arteri
maksilaris internal) konvergen. Perdarahan anterior juga dapat berasal dari konka
inferior.
Perdarahan posterior biasanya lebih banyak, dan sering berasal dari arteri
(misalnya, dari cabang arteri sphenopalatina di rongga hidung posterior atau
nasofaring). Sebuah studi menyebutkan bahwa perdarahan posterior mempunyai
risiko yang lebih besar pada saluran nafas, aspirasi darah, dan masalah yang lainnya
yaitu kesulitan mengendalikan sumber perdarahan (Nguyen, 2015).
6. Penegakan diagnosis
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab
perdarahan. Keadaan umum, tensi, pernafasan dan nadi perlu diperiksa. Alat-alat yang
diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat
penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu
pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis (Mangunkusumo dan Wardani,
2007).
a. Anamnesis
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang
cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut (Adams dkk, 1997):
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
9
3. Apakah darah terutama mengalir kedalam tenggorokan (posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
8. Diabetes mellitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan, misal: aspirin, fenilbutazon (butazolidin)
10
Bila tempat perdarahan dikenali, ia harus didokumentasi dalam rekam medis
dengan gambaran sederhana. Bila mungkin, kemudian dokter seharusnya mencoba
mengendalikan perdarahan dengan tindakan lokal: yaitu kauterisasi atau penempatan
senyawa hemostatik atau tampon hidung anterior.
Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis.
Tes diagnostic seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat
perdarahan dan apakah pasien anemia. Jika kemungkinan adanya koagulopati
sistemik, maka harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah. Jika pemeriksaan ini
abnormal, maka harus dilakukan konsultasi yang tepat. Terakhir jika masa terlihat
pada pemeriksaan, maka harus dilakukan politomografi dan atau CT-scan untuk
menggambarkan luas lesi ini.
7. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, mencari
sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab untuk
mencegah berulangny perdarahan.
Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya
dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah,
perlu dibersihkan atau dihisap (Mangunkusumo dan Wardani, 2007).
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC,
yakni :
-A (airway) : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk
menunduk
-B (breathing) : pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan
darah yang mengalir ke belakang tenggorokan
-C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh,
pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat
gangguan sirkulasi.
Menghentikan Perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon
lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti
dengan sendirinya.
11
Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya dengan
menjepit bagian itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan sebuah
cawan untuk menampung tetesan darah dari hidungnya. Pasien dilarang menelan
karena dapat menggeser bekuan darah yang terbentuk. Menelan dapat dicegah dengan
menempatkan sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan (metode Trotter).
Jika seorang pasien datang dengan epistaksis maka pasien harus diperiksa
dalam keadaan duduk, sedangkan jika terlalu lemah dapat dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggungnya kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap dan untuk
membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan ke dalam
rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu
tindakan selanjutnya . Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini
dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau di
bagian posterior.
Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak
berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba
dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit dan seringkali
berhasil.
Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi
kokain biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang
bekuan darah dapat di aspirasi. Bila sumbernya terlihat tempat asal perdarahan
dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan Asam Trikolasetat 10%
atau dapat juga dengan elektrokauter. Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum
diusahakan agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun
menggunakan zat kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah yang dicakup
kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya, maka dengan rusaknya silia dan pembentukan
epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai jaringan pengganti mukosa saluran nafas
normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus. Dengan
melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang sebelumnya
mengalami kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien kemudian akan
mengorek hidungnya dengan megelupaskan krusta, mencederai lapisan permukaan dan
12
menyebabkan perdarahan baru. Menentukan lokasi perdarahan mungkin semakin sulit
pada pasien dengan deviasi septum yang nyata dan perforasi septum.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau
salap antibiotika. Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steriil bervaselin,
berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas hingga
keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna
agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon
dicabut.5 suatu tampon hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung.
13
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon
posterior yang disebut tampon bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana (nares
posterior). Tampon Bellocq terbuat dari kassa pada berbentuk bulat atau kubus dengan
ukuran 3x2x2 cm. Pada tampon ini terdapat 3 utas benang , yaitu 2 utas pada satu sisi
dan seutas benang pada sisi yang lain.
Pendarahan jenis apapun yang gagal dihentikan meski penanganannya sudah
ditingkatkan maka memerlukan tindakan pembedahan. Pembedahan memerlukan
anastesi umum meskipun pada pasien usia lanjut. Tindakan bedah ini dapat dibagi
menjadi pemanasan, pembedahan septum dan ligasi arteri.
Teknik pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq dimasukkan kateter karet melalui nares
anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung
kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon
Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui
hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong
tampon ini kearah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan
pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan
didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak.
Benang yang terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq,
diletakkan pada pipi pasien.Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi
mukosa. Selama pemasangan itu pasien akan terganggu kenyamananya dan perlu diberi
sedative dan analgetika.
Sebagai pengganti tampon bellocq, dapat digunakan kateter folley dengan balon.
Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus
untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik.
Pada epistaksis yang berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Ligasi arteri
etmoid anterior dan posterior dapat dilakukan dengan membuat sayatan didekat kantus
medius dan kemudian mencari kedua pembuluh darah tersebut didinding medial orbita.
Ligasi arteri maksila interna yang tetap difossa pterigomaksila dapat dilakukan melalui
operasi Caldwell-Luc dan kemudian mengangkat dinding posterior sinus maksila.
14
Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga
dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi arteri sfenopalatina dengan panduan
endoskop.
Perhatian:
1. Perlu perlindungan antibiotik selama terpasang tampon baik tampon anterior maupun
posterior.
2. Pada kasus yang kritis tampon dapat terpasang selama 8 hari, namun hal ini amat
sangat berbahaya karena dapat terjadi septikemi, perlu pengawasan yang ketat.
3. Pada pemasangan tampon seringkali menyebabkan gangguan fungsi tuba Eustachii,
OME dapat terjadi. Periksa membrana timpani.
15
Gambar . Pembuluh darah di daerah septum nasi.
16
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina,
palatina mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri
fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area.
Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media
terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina,
nasalis posterior dan faringeal asendens.
Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis
anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi
dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior
dan epistaksis posterior adalah ostium sinus maksilaris.
(Budiman dan Hafiz, 2012)
C. HIPERTENSI
Dalam rekomendasi penatalaksanaan hipertensi yang dikeluarkan oleh the 7th of
Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC-7) 2003, World Health Organization/ International Society of
Hypertension (WHO-ISH) 1999 dinyatakan bahwa definisi hipertensi sama untuk semua
golongan umur di atas 18 tahun. Pengobatan juga bukan berdasarkan penggolongan
umur, melainkan berdasarkan tingkat tekanan darah dan adanya risiko kardiovaskuler
pada pasien.
Berikut klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC-7:8
o Normal : Sistolik <120 mmHg, Diastolik dan <80 mmHg.
o Prehipertensi : Sistolik 120-139 mmHg, Diastolik atau 80-90 mmHg.
o Hipertensi stadium 1 : Sistolik 140-159 mmHg, Diastolik atau 90-99 mmHg.
o Hipertensi stadium 2 : Sistolik ≥ 160 mmHg, Diastolik atau ≥ 100 mmHg.
o Isolated Systolic Hypertension : Sistolik ≥ 140 mmHg, Diastolik dan < 90 mmHg.
Penatalaksanaan Hipertensi
Berdasarkan pedoman dari European Society of Hypertension (ESH) & European
Society of Cardiology (ESC)-2003 membagi hipertensi dalam 3 tingkatan sedangkan
JNC-7 membagi dalam 2 stadium. Menurut ESH & ESC-2003 dan JNC-7 pengobatan
farmakologik dimulai pada hipertensi tingkat 1 atau TD 140-159/90-99 mmHg,
sedangkan menurut British Society of Hypertension (BSH-IV 2004) memulai pada
tekanan darah ≥ 160/100 mmHg. Pengobatan farmakologik dapat diberikan pada tekanan
darah 140-159/90-99 mmHg bila terdapat kerusakan organ target, penyakit
17
kardiovaskuler, diabetes melitus, atau risiko kardiovaskuler dalam 10 tahun mencapai
≥20%.8
Menurut JNC-7 diuretik tiazid (DT) merupakan pilihan awal pengobatan
hipertensi stadium 1 tanpa indikasi memaksa (compelling indications). Penggunaan obat
antihipertensi golongan angiotensin converting enzyme inhibor inhibitors (ACE-i),
angiotensin receptor II blockers (ARB), beta blokers (BB), atau calcium channel blocker
(CCB) dapat dipertimbangkan sebagai obat tunggal atau kombinasi. Hipertensi stadium 2
membutuhkan kombinasi DT dengan obat antihipertensi yang lain.
Gagal jantung, pasca infark miokard, risiko tinggi penyakit jantung koroner,
diabetes melitus, penyakit ginjal kronik, dan kemungkinan stroke berulang merupakan
indikasi untuk memilih obat antihipertensi tertentu.
18
Gambar. Penatalaksanaan pasien hipertensi setelah pemberian obat antihipertensi.
19
tonus dapat berubah melalui proses akut dan pembuluh darah dapat merubah strukturnya
melalui proses kronik sebagai respon terhadap kondisi tertentu.
Remodelling vaskuler adalah suatu proses adaptif sebagai respon terhadap
perubahan kronik pada kondisi hemodinamik atau faktor hormonal. Substansi vasoaktif
dapat meregulasi homeostasis vaskuler melalui efek jangka pendek pada tonus vaskuler
dan efek jangka panjang pada struktur vaskuler. Ketidakseimbangan kedua hal inilah yang
menimbulkan vasokonstriksi dan hipertrofi vaskuler sehingga timbul hipertensi.
Perubahan dalam migrasi sel dan proliferasi, perubahan matriks adalah kunci
terjadinya remodelling vaskuler. Pada hipertensi, perubahan struktur pembuluh darah
adalah yang mungkin bertanggung jawab atas peningkatan tekanan dan aliran darah,
ketidakseimbangan substansi vasoaktif dan disfungsi endotel.
Pada tahap awal hipertensi primer curah jantung meningkat dan tekanan perifer
normal, hal ini disebabkan oleh peningkatan aktifitas saraf simpatik. Tahap selanjutnya
curah jantung dan tekanan perifer meningkat karena efek antiregulasi (mekanisme tubuh
untuk mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal).
Pada hipertensi terjadi perubahan struktur pembuluh darah, sebagai tanggapan
terhadap peningkatan tekanan arterial. Dengan perubahan struktur pembuluh darah
demikian maka perbandingan lebar lumen meningkat baik karena peningkatan massa otot
atau karena pengaturan unsur-unsur seluler dan bukan seluler. Kerusakan vaskuler akibat
hipertensi terlihat pada seluruh pembuluh darah perifer.
Contoh-contoh klinis bentuk remodelling vaskuler meliputi:
1) Pelebaran pembuluh darah yang berkaitan dengan kecepatan aliran darah yang
tinggi. Dapat terbentuk fistula arteriovena.
2) Hilangnya sel atau proteolisis matriks pembuluh darah akibat pembentukan
aneurisma.
3) Pengurangan massa dan ukuran pembuluh darah terjadi karena pengurangan aliran
darah jangka panjang.
4) Mikrosirkulasi yang jarang atau hilangnya area kapiler yang menyebabkan
meningkatnya kejadian hipertensi dan iskemia jaringan.
5) Arsitektur dinding pembuluh darah juga berubah yang meliputi trombosis, migrasi
dan proliferasi sel - sel vaskuler, produksi matriks dan infiltrasi sel - sel inflamasi.
20
E. Hubungan Epistaksis dengan Hipertensi
Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis
dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi (Herkner dkk, 2000).
1. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang
kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah
yang abnormal.
2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang
pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu bagian
pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior.
21
pasien hipertensi dengan gejala epistaksis, tapi tidak ada gejala perdarahan retina dan
eksudat pada kelompok yang diperiksa. Perdarahan di retina berhubungan dengan
penyebab sistemik seperti diabetes melitus, atau penyebab lokal seperti tekanan
intraokuler yang rendah.
Herkner mendapatkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat darurat
dengan epistaksis, mempunyai tekanan darah sistolik 161 (157-165) mmHg dan
tekanan darah diastolik 84 (82-86) mmHg serta pada hipertensi stadium 3 (≥180/≥110
mmHg).
Padgham melaporkan pada hipertensi ringan dan sedang, terbukti mempunyai
hubungan dengan kejadian epistaksis di meatus medius, tapi tidak di bagian hidung
yang lain. Tidak terbukti ada hubungan kejadian epistaksis dengan konsumsi aspirin,
obat antiinflamasi non steroid, tingkat keparahan dan bagian hidung yang mengalami
perdarahan.
Knopfholz dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan beratnya
epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat kerusakan yang berat
pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous
di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko
terjadinya epistaksis.
Epistaksis bukanlah termasuk gejala kasus hipertensi emergensi. Kesimpulan
ini didapatkan oleh Lima Jr dkk dalam penelitian tentang hubungan epistaksis dengan
kasus hipertensi emergensi.
Fakta baru yang ditemukan oleh Herkner dkk (2002) bahwa angka kejadian
epistaksis pasca operasi mengalami peningkatan pada pasien dengan riwayat
hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan dengan beratnya derajat hipertensi.
Pembahasan pada tekanan darah dan epistaksis akan terus berlanjut. Namun,
telinga, hidung, dan ahli bedah tenggorokan melihat bahwa tugas utama dalam
menangani epistaksis adalah untuk membedakan antara perdarahan anterior dan
posterior (Temmel, 2001).
22
Dari Shaheen, melakukan penelitian terhadap arteri ukuran sedang dan kecil
pada pasien usia pertengahan dan tua, ia mendapatkan telah terjadi perubahan lapisan
otot pada tunika media menjadi lapisan kolagen. Perubahan bervariasi mulai hanya
berupa intertitial fibrosis sampai pergantian yang komplit lapisan otot dengan jaringan
kolagen.
Angka kejadian epistaksis tertinggi terjadi pada tekanan darah diastolik 100
mmHg yaitu 10 orang dari 72 orang pasien (13,9%). Sedangkan Herkner dkk,
mendapatkan ada 33 pasien dari 213 kunjungan ke unit gawat darurat yang
mengalami epistaksis disertai dengan peningkatan tekanan darahnya.
Massick, membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan yang jelas antara
epistaksis dengan hipertensi (unproven relationship).
Menurut Massick, penatalaksanaan epistaksis dengan hipertensi secara umum
sama dengan kasus epistaksis lainnya. Penilaian pertama yang harus dilakukan adalah
menilai stabilitas hemodinamik pasien. Kehilangan darah yang banyak serta
diperhatikan tanda-tanda terjadinya syok hipovelemik.
Salah satu manifestasi klinis yang tersering adalah epistaksis yang berulang
hingga memerlukan transfusi darah. Bila perlu dengan pemasangan suatu tampon
hidung anterior atau posterior dan transfusi plasma kriopresipitat, faktor VIII atau
faktor pembekuan lain.
Menurut Schwartzbauer dkk (2003), ligasi terhadap arteri sfenopalatina dan
nasalis posterior dengan menggunakan metode endoskopi berhasil menghentikan
epistaksis yang berulang.
Herkner dkk mengatakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam penanganan
epistaksis dengan hipertensi ini adalah penanganan lanjutan untuk hipertensinya
setelah mereka mendapatkan pengobatan di unit gawat darurat. Herkner mendapatkan
lebih sepertiga pasien epistaksis dengan hipertensi yang berobat di unit gawat darurat
tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat untuk hipertensinya selama di rumah.
Dikutip dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Secchi (2009), epistaksis
dengan hipertensi ditemukan pada 22 kasus (36%) dari total kasus epistaksis.
Penelitian lain mendapatkan prevalensi 24-64%. Dari 22 kasus ini penanganan yang
diberikan berupa pemasangan tampon anteroposterior dan kontrol tekanan darah
sebanyak 18 kasus. Sedangkan 4 kasus lagi dilakukan ligasi arteri sfenoid.
23
BAB III
KESIMPULAN
1. Prinsip penatalaksanaan epistaksis dengan hipertensi secara umum sama dengan kasus
epistaksis lainnya.
2. Penanganan epistaksis dimulai dengan melakukan anamnesis yang ringkas dan tepat, serta
pemeriksaan fisik, bersamaan dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis.
3. Hubungan hipertensi dengan terjadinya epistaksis masih belum jelas. Perubahan endotel
pembuluh darah arteri pada kasus hipertensi menjadi dasar adanya hubungan antara
epistaksis dengan hipertensi.
4. Terdapat bukti sementara bahwa ada hubungan antara hipertrofi ventrikel kiri dan
epistaksis dengan hipertensi yang berlangsung lama.
24
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G.L., Boies, L.R., Higler, P.A. 1997. Epistaksis. Boies: Buku Ajar Penyakit THT
(Boies fundamentals of otolaryngology). Edisi ke- 6. Jakarta: EGC, hal; 224-239.
Budiman, B.J., Hafiz, A. 2012. Epistaksis dan Hipertensi: Adakah hubungannya. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2012;1(2).
Knopfholz, J., Lima, J.E., Neto, D.P., Faria, N.J.R. 2009. Association between Epistaxis and
Hypertension: A one year Follow-up After an Index Episode of Nasal Bleeding in
Hypertension Patiens. International Journal of Cardiology; 134: 107-9.
Limen, M.P., Palandeng, O., Tumbel, R. 2013. Epistaksis di poliklinik THT-KL Blu RSUP
Prof. DR. R.D. Kandou mando periode januari 2010-desember 2012. Jurnal e-
Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm 478-483.
Mangunkusumo, E., Wardani, R.S. 2007. Perdarahan hidung dan gangguan penghidung.
Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D (editors). Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Jakarta:
Balai Penerbit FK-UI.
Sarhan, N.A., Algamal, A.M. 2015. Relationship between epistaxis anda hypertension: A
cause and effect or coincidence. J Saudi Heart Assoc. 2015;27-84.
Temmel, A.F.P. 2001. Debate about blood pressure and epistaxis will continue. Department
of otorhinolaryngology, University of Vienna, Austria. BMJ: 12;322(7295):1181.
Varshney, S., Saxena, R.K. 2005. Epistaxis: a retrospective clinical study. Indian Journal
Otolaryngol Head Neck Surg. 2005; 57(2): 125-129.
25