Anda di halaman 1dari 41

KONSEP PENATALAKSANAAN

TERAPI MODALITAS

DISUSUN OLEH : KELAS 3.1


OLEH:

NI LOMANG DIANA PRATIWI (P07120016003)


NI MADE RAHAYU DIAH DEVITA S. (P07120016004)
ISTRI AGUNG DIAH UTAMI PINATIH (P07120016031)
KADEK SANISTYA ASTUTI (P07120016032)
LUH ADE REGINA AMANDASARI (P07120016033)
NI PUTU PRASTIWI FATMASARI (P07120016035)
NI KADEK AYU PUTRI UTAMI (P07120016036)
NI MADE WINDA NURSANTI (P07120016037)
A.A. ISTRI CAHYADININGRUM (P07120016039)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLTEKKES DENPASAR
TAHUN AKADEMIK
2018/2019
KONSEP PENATALAKSANAAN TERAPI MODALITAS

A. Pengertian Terapi Modalitas


Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk
memperbaiki dan mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan
dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan
klien dapat terus bekerja dan tetap berhubungan dengan keluarga, teman,
dan system pendukung yang ada ketika menjalani terapi (Nasir dan
Muhits, 2011).
Terapi modalitas adalah terapi yang utama dalam keperawatan
jiwa. Terapi ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dan
perilaku yang mal adaptif menjadi perilaku adaptif (Kusumawati dan
Hartono, 2010).
Terapi modalitas adalah suatu kegiatan dalam memberikan
asuhan keperawatan baik di institusi pelayanan maupun di masyarakat,
yang bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan berdampak terapeutik
(Dalami, 2010)
Terapi modalitas bertujuan agar pola perilaku atau kepribadian
seperti ketrampilan koping, gaya komunikasi dan tingkat harga diri
secara bertahap dapat berkembang. Mengingat bahwa klien dengan
gangguan jiwa membutuhkan pengawasan yang ketat dan lingkungan
suportif yang aman. Beberapa terapi keperawatan didasarkan ilmu dan
seni keperawatan jiwa. Terapi keperawatan jiwa adalah alternatif terapi
yang dapat diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa.

B. Peran Perawat dalam Terapi Modalitas


Secara umum peran perawat jiwa dalam pelaksanaan terapi
modalitas bertindak sebagai leader, fasilitator, evaluator, dan motivator
(Nasir dan Muhits, 2011). Tindakan tersebut meliputi:
1. Mendidik dan mengorientasi kembali seluruh anggota keluarga
misalnya perawat menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa
visi seluruh keluarga, kesamaan harapan apa yang dimiliki semua
anggota keluarga.
2. Memberikan dukungan kepada klien serta system yang mendukung
klien untuk mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat
meyakinkan bahwa keluarga klien mampu memecahkan masalah
yang dihadapi anggota keluarganya.
3. Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan.
Perawat menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerja
sama dengan keluarga dan siapa yang bisa diajak konsultasi.
4. Member pelayanan prevensi primer, sekunder, dan tersier melalui
penyuluhan, perawatan di rumah, pendidikan dan sebagainya. Bila
ada anggota keluarga yang kurang memahami perilaku sehat
didiskusikan atau bila ada keluarga yang membutuhkan perawatan.

C. Jenis-Jenis Terapi Modalitas


1. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah
emosional seorang pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih
dalam hubungan profesional secara sukarela. Dengan maksud
hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala
yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu, dan
mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif. (Direja,
2011).
2. Psikoanalisis Psikoterapi
Menurut Direja (2011) terapi ini dikembangkan oleh Sigmud
Freud, seorang dokter yang mengembangkan “talking care”. Tetapi
ini didasarkan pada keyakinan bahwa seorang terapis dapat
menciptakan kondisi yang memungkinkan klien menceritakan
tentang masalah pribadinya. Perubahan prilaku dapat terjadi jika
klien dapat menemukan kejadian-kejadian yang disimpan dalam
bawah sadarnya.
Tujuan terapi Psikoanalisis, adalah sebagi berikut:
a. Menurunkan rasa takut klien.
b. Mengembangkan proses pikir yang luhur.
c. Membantu klien menghadapi realitas.
d. Menurunkan kecemasan.
e. Memperbaiki komunikasi interpersonal.
Implementasi psikoanalisis adalah sebagi berikut:
a. Melibatkan dua orang, interaksi yang terbentuk bersifat
rahasia dan klien mendiskusikan aspek kehidupannya yang
paling pribadi bukan mendiskusikan hubungannya dengan
orang lain.
b. Klien menceritakan pikiran, perasaan, pengalaman, dan
persepsinya. Terapis mendengar, mendorong dan klarifikasi.
c. Interaksi berlangsung lama, klien menemukan hal baru
tentang diri dan melakukan pendekatan pada dunia, berusaha
untuk memadukan dengan pemahaman baru.
d. Hubungan antara terapis dan klien adalah hubungan berseri
yang terencana untuk mengubah perilaku klien.
3. Psikoterapi Individu
Psikoterapi Individu merupakan bentuk terapi yang
menekankan pada perubahan individu dengan cara mengkaji
perasaan, sikap, cara berpikir, dan perilakunya. Hal ini bertujuan
agar klien mampu memahami diri dan perilaku dirinya sendiri,
membuat perubahan personal, atau berusaha lepas dari rasa sakit
hati dan ketidakbahagiaan. (Videbeck Sheila L, 2008 dalam Nasir
dan Muhits, 2011).
Aspek yang terpenting dari psikoterapi individu adalah
menjadi individu mampu menilai dirinya sendiri tanpa merusak
suasana psikologisnya, melepaskan pikiran yang membebanni, serta
memahami pikiran dan perilaku salahnya.
Kunci terapi individu adalah bagaimana klien dapat
mengungkapkan perasaannya, dapat mengungkapkan perilaku yang
diperankan dan menilainya sesuai dengan kondisi realitas. Esensi
dari psikoterapi individu mencangkup seluruh aspek kehidupan
yang menjadi beban psikisnya.
Hubungan antara klien dan terapis yang harmonis merupakan
kunci keberhasilan dalam psikoterapi individu sehingga
membutuhkan keterampilan terapis yang handal dan memuaskan
klien. Klien yang memukul orang dan memecahkan kaca jendela
karena keinginannya tidak dituruti merupakan bentuk pelampiasan
kekecewaan karena keinginannya tidak dituruti. (Direja, 2011).
4. Terapi Modifikasi Perilaku
Menurut Direja (2011) Terapi perilaku didasarkan pada
keyakinan bahwa perilaku dipelajari, dengan demikian perilaku
yang tidak diinginkan atau maladaptive dapat diubah menjadi
perilaku yang diinginkan atau adaptif. Proses mengubah perilaku
terapi ini adalah dengan menggunakan teknik yang disebut
conditioning yaitu suatu proses dimana klien belajar mengubah
perilaku. Cara melakukan conditioning adalah sebagai berikut:
a. Reciprocal inhibition
Cara mengurangi ansietas yang dirasakan dengan
mengendalikan situasi yang dapat meredakan ansietas yang
dirasakan.
b. Positive conditioning
Dengan memberikan hadiah (reward) pada setiap perilaku
yang diinginkan dan tidak memberikan reward atau
menghukum pada perilaku yang tidak diinginkan.
c. Eksperimental extinction
Yaitu upaya menurunkan suatu perilaku dengan cara tidak
memberikan reward berulang-ulang.
Penerapan teori perilaku ini adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan terapis kepada klien bersifat objektif, tidak
menghakimi.
b. Klien diyakinkan bahwa reaksi meyakinkan akan pulih.
c. Informasi yang tidak akurat dikoreksi segera.
d. Klien yang dikuatkan untuk dapat mengendalikan
perilakunya.
Kriteria evaluasi:
a. Menurunkan perilaku maladaptif.
b. Meningkatnya produktifitas kerja.
c. Membaiknya hubungan interpersonal.
d. Meningkatnya kemampuan penyelesaian masalah yang
disebabkan stressor lingkungan dan situasi.
5. Terapi Okupasi
a. Pengertian
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan
partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang
telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada pengenalan
kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan
peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar
mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Direja,
2011).
b. Tujuan Terapi Okupasi :
1) Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental
a) Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat
mengembangkan kemampuannya untuk dapat
berhubungan dengan orang lain dan masyarakat
sekitarnnya.
b) Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
c) Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan
kondisinya.
d) Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan
diagnosa dan terapi.
2) Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik,
meningkatkan gerak, sendi, otot, dan koordinasi gerakan.
3) Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAB, BAK,
dan sebagainya.
4) Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin
dirumah.
5) Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan
meningkatkan kemampuan yang dimiliki.
6) Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien
untuk mengetahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan,
kemampuan untuk bersosialisasi, bakat, minat, dan
potensinya.
7) Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah
klien kembali dilingkungan masyarakat
(Nasir dan Muhith, 2011).
c. Peranan Aktivitas Dalan Terapi
Menurut Nasir dan Muhith, (2011) Aktivitas dipercayai
sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui aktivitas
manusia dihubungkan dengan lingkungan, kemudian
mempelajarinya, mencoba keterampilan atau pengetahuan,
mengekspresikan perasaan, memenuhi kebutuhan fisik maupun
emosional, mengembangkan kemampuan, dan sebagai alat
untuk mencapai tujuan hidup. Potensi tersebutlah yang
digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan terapi okupasi, baik
bagi penderita fisik maupun mental. Adapun hal-hal yang
memengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai
berikut:
1) Jenis-jenis aktivitas
a) Latihan gerak badan
b) Olah raga
c) Permainan
d) Kerajinan tangan
e) Kesehatan, kebersihan, dan kerapian pribadi
f) Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari)
g) Praktik pre-vokasional
h) Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain)
i) Rekreasi
j) Diskusi dengan topik tertentu
(Nasir dan Muhith, 2011).
2) Karakteristik aktivitas
Aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai suatu media
untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber
kepuasan emosional maupun fisik. Aktivitas yang digunakan
dalam terapi okupasi harus mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
a) Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan
terapi yang jelas.
b) Mempunyai arti tertentu bagi pasien dan dikenal atau
berhubungan dengan pasien.
c) Pasien harus mengerti tujuan kegiatan tersebut.
d) Harus dapat melibatkan pasien secara aktif.
e) Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau
kondisi pasien, dapat meningkatkan atau setidak-
tidaknya memelihara kondisinya.
f) Harus dapat memberi dorongan agar pasien mau
berlatih lebih giat.
g) Harus sesuai dengan minat pasien.
h) Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan
atau penyesuaian dengan kemampuan pasien.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih aktivitas
yaitu:
a) Bahan yang digunakan harus mudah dikontrol.
b) Apakah aktivitas rumit atau tidak.
c) Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan.
d) Bagaimana cara pemberian intruksi
e) Bagaimana kira-kira hasilnya.
f) Apakah perlu pasien membuat keputusan.
g) Apakah perlu konsentrasi.
h) Apakah interaksi menguntungkan
i) Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi.
j) Berapa lama dapat diselesaikan.
k) Apakah dapat dimodifikasi sehingga dapat disesuai
dengan kemampuan pasien dan keterampilan pasien
(Nasir dan Muhith, 2011).
3) Analisis aktivitas
Untuk dapat mengenal karakteristik maupun potensi, maka
aktivitas tersebut harus dianalisis terlebih dahulu. Hal-hal
yang perlu dianalisis adalah sebagai berikut:
a) Jenis aktivitas
b) Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai
dengan tujuan terapi)
c) Bahan yang digunakan:
(1) Khusus atau tidak
(2) Karakteristik bahan:
(a) Mudah ditekuk atau tidak
(b) Terkontrol atau tidak
(c) Menimbulkan kekotoran atau tidak
(d) Licin atau tidak
(3) Rangsangan yang dapat ditimbulkan:
(a) Taktil
(b) Pendengaran
(c) Pembauan
(d) Penglihatan
(e) Pengrabaan
(f) Gerakan sendi
(4) Warna
(5) Macam-macamnya dan namanya
(6) Banyaknya
d) Bagian-bagian aktivitas
(1) Banyaknya bagian
(2) Rumit atau sederhana
(3) Apakah membutuhkan pengulangan
(4) Apakah membutuhkan perhitungan matematika
e) Persiapan pelaksanaan:
(1) Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu
(2) Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan
(3) Apakah bahan tersedia atau harus dicari dulu
(4) Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur
f) Pelaksanaan, apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu
adanya:
(1) Konsentrasi
(2) Ketangkasan
(3) Rasa sosial antara pasien
(4) Kemampuan mengatasi masalah
(5) Kemampuan bekerja sendiri
(6) Toleransi terhadap frustasi
(7) Kemampuan mengikuti instruksi
(8) Kemampuan membuat kebutuhan
g) Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya
interaksi diantara mereka.
h) Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi,
ketangkasan, inisiatif, penilaian, ingatan, komprehensi,
dan lain-lain.
i) Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi,
kreativitas, pelampiasan emosi, dan lain-lain.
j) Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dalam
hal ini harus bertindak hati-hati karena dapat berbahaya
bagi pasien maupun sekelilingnya (misalnya: untuk
pasien dengan paranoid sangat riskan memberikan benda
tajam).
k) Hal yang penting lainnya adalah apakah disukai oleh
pasien.
(Nasir dan Muhith, 2011).
d. Indikasi Terapi Okupasi
1) Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya
karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam
pengintegrasiaan perkembangan psikososialnya.
2) Klien dengan kelainan tingkah laku disertai dengan kesulitan
berkomunikasi.
3) Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan sehingga
reaksi terhadap rangsangan tidak wajar
4) Klien yang mengalami kemunduran
5) Klien dengan cacat tubuh disertai dengan gangguan
kepribadian
6) Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui
aktivitas
7) Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung
daripada membayangkan
(Direja, 2011)
e. Proses Terapi Okupasi
Menurut Direja (2011) proses terapi okupasi adalah:
1) Pengumpulan data
Meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis,
perilaku dan kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih,
putus asa, marah.
2) Analisa data dan identifikasi masalah
Dar data yang telah dikaji ditegakkan diagnosa sementara
tentang masalah klien maupun keluarga.
3) Penentuan tujuan dan sasaran
Dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat sasaran dan
tujuan yang ingin dicapai.
4) Penentuan aktifitas
Jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan
tujuan terapi
5) Evaluasi
Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggung jawab,
kerjasama, emosi dan tingkah laku selama aktivitas
berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan kembali
kegiatan yang sesuai dan akan dilakukan. Evaluasi dilakukan
secara periodik, misalnya: satu minggu sekali setiap selesai
melaksanakan kegiatan. Hal-hal yang perlu dievaluasi antara
lain:
a) Kemampuan membuat keputusan
b) Tingkah laku selama bekerja
c) Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia
dan mempunyai kebutuhan sendiri.
d) Kerjasama
e) Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan
lain-lain)
f) Inisiatif dan tanggung jawab
g) Kemampuan untuk mengajak atau diajak berunding.
h) Menyatakan perasaan tanpa agresi
i) Kompetisi tanpa permusuhan
j) Menerima kritik dari atasan atau teman sekerja
k) Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah
bertanggung jawab atas pendapatnya tersebut
l) Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya
m) Wajar dalam penampilan
n) Orientasi tempat, waktu, situasi, dan orang lain
o) Kemapuan menerima instruksi dan mengingatnya
p) Kemampuan bekerja tanpa terus menerus diawasi
q) Keterampilan bekerja
r) Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan
s) Toleransi terhadap frustasi
t) Lambat atau cepat
f. Pelaksanaan terapi okupasi
Menurut (Direja, 2011) terapi okupasi dapat dilakukan
secra individu maupun kelompok tergantung dari kondisi klien
dan tujuan terapi.
1) Metode
a) Individual
Dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum
mampu berinteraksi dengan kelompok dan klien yang
sedang menjalani persiapan aktivitas.
b) Kelompok
Klien dengan masalah sama, klien yang lama, dan yang
memiliki tujuan kegiatan yang sama.
2) Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode
individual maupun kelompok dengan frekuensi kegiatan per
sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan dibagi
menjadi 2 bagian (pertama: ½ sampai 1 jam, kedua: 1
sampai 2 jam).
6. Terapi lingkungan
a. Pendahuluan
Perawatan klien di Rumah Sakit pada rentang waktu yang
lama mengakibatkan klien mengalami penurunan kemampuan
berfikir dan bertindak secara mandiri dan kehilangan hubungan
dengan dunia luar. Oleh karena itu diperlukan pengembangan
layanan keperawatan psikiatrik salah satunya dengan penerapan
terapi lingkungan di Rumah Sakit.
Terapi lingkungan “Millieu Terapi” adalah suatu manipulasi
ilmiah yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan pada
perilaku pasien dan untuk mengembangkan keterampilan
emosional dan sosial (Stuart and Sundeen, 2007). Sedangkan
menurut Suliswati (2005) terapi lingkungan merupakan keadaan
lingkungan yang ditata untuk menunjang proses terapi, baik
fisik, mental, maupun sosial agar dapat membantu penyembuhan
dan pemulihan klien.
b. Tujuan terapi lingkungan
Terapi lingkungan merupakan salah satu bentuk terapi klien
gangguan jiwa yang dapat membantu efektifitas pemberian
asuhan keperawatan jiwa. Schultz and Videbeck (2009)
menyebutkan bahwa pemindahan klien dan lingkungan yang
terapeutik akan memberikan kesempatan untuk istirahat dan
memulihkan diri, memberikan waktu untuk berfokus pada
pengembangan dalam hal kekuatan dan kesempatan belajar, agar
klien mampu mengidentifikasi alternative dan solusi masalah.
Menurut Abroms cit Stuart and Sundeen (2007) menyebutkan
dua tujuan yaitu :
1) Membatasi gangguan dan perilaku maladaptif
2) Mengajarkan keterampilan psikososial
Untuk melakukan pembatasan terhadap perilaku
maladaptive, perlu ditekankan penggunaan terapi lingkungan
dengan mengembangkan 4 keterampilan psikososial. Empat
keterampilan tersebut yaitu :
a) Orientation
Pencapaian orientasi dan kesadaran terhadap realita yang
lebih baik. Orientasi tersebut berhubungan dengan
pemahaman klien terhadap orang, waktu, tempat, dan
situasi. Sedangkan kesadaran terhadap realita dapat
dikuatkan melalui interaksi dan hubungan dengan orang
lain.
b) Assertation
Kemampuan mengekspresikan perasaan dengan tepat.
Klien perlu dianjurkan mengekspresikan diri secara
efektif dengan tingkah laku yang dapat diterima
masyarakat.
c) Accupation
Kemampuan klien untuk dapat memupuk percaya diri
dan berprestasi melalui keterampilan. Hal ini dapat
dilakukan dengan memberikan aktivitas dalam bentuk
yang positif dan disukai klien, misalnya melukis, bermain
music, merangkai bunga, dsb.
d) Recreation
Kemampuan menggunakan dan membuat aktivitas yang
menyenangkan, contoh menebak kata, senam dan jalan-
jalan.
c. Karakteristik umum dari terapi lingkungan
Beberapa karakterisktik dari terapi lingkungan sebagai
berikut :
1) Setiap interaksi merupakan suatu kesempatan untuk
intervensi terapeutik
2) Klien memikul tanggung jawab terhadap tingkah laku
mereka sendiri.
3) Pemecahan masalah dicapai dengan diskusi, negosisasi dan
consensus daripada hanya dengan menggunakan beberapa
gambaran dari para ahli.
4) Komunikasi terbuka dan langsung antar staf dank lien.
5) Klien didukung untuk berpartisipasi aktif dalam penanganan
mereka sendiri dan dalam membuat keputusan di unit tempat
mereka dirawat.
6) Unit tetap sering melakukan komunikasi dan kontak dengan
komunitas, keluarga serta jaringan sosial.
Dalam upaya menciptakan lingkungan yang terapeutik ada
lima aspek yang perlu diperhatikan yaitu :
1) Aspek fisik
Menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman.
Gedung permanen, mudah dijangkau, lengkap dengan kamar
tidur, ruang tamu, ruang makan, kamar mandi dan WC.
Misalnya: ruang perawatan anak di desain dengan gambar-
gambar kartun atau idola anak-anak yang berbeda dengan
ruang dewasa.
2) Aspek intelektual
Tingkat intelektual klien dapat ditentukan melalui kejelasan
stimulus dari lingkungan dan sikap perawat. Misalnya
lingkungan dengan warna biru dan hijau memberikan
stimulus ketenangan dan keteduhan. Perawat harus
memberikan stimulus eksternal yang positif sehingga
kesadaran diri klien menjadi luas dan klien dapat menerima
kondisinya.
3) Aspek sosial
Dalam aspek ini perawat mengembangkan pola interaksi
yang positif, hubungan psikososial yang menyenangkan dan
menguatkan ego klien. Oleh karena itu perawat perlu
penggunaan teknik komunikasi yang tepat sehingga perawat
dapat menciptakan aspek ini.
4) Aspek emosional
Perawat harus menciptakan iklim emosional yang positif
dengan menunjukkan sikap yang tulus, jujur atau dapat
dipercaya, bersikap spontan dalam memenuhi kebutuhan
klien, empati, peka terhadap perasaan dan kebutuhan klien.
5) Aspek spiritual
Aspek ini ditunjukkan untuk memaksimalkan manfaat dari
pengalaman, pengobatan dan perasaan damai bagi klien.
Sehingga perlu disediakan sarana ibadah seperti kitab suci
dan ahli agama.
d. Peran perawat dalam terapi
Perawat dalam memenuhi kebutuhan klien berdasarkan pada
identitas masalah baik kebutuhan fisik dan emosional. Perawat
yang berperan sebagai mothering care tidak hanya memenuhi
kebutuhan klien tetapi juga memfasilitasi klien agar
mengembangkan kemampuan baru untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.
Dengan demikian klien dapat memahami dan menerima
situasi yang sedang dialaminya dan termotivasi untuk mengubah
perilaku destruktif menjadi konstruktif.
e. Prinsip terapi lingkungan:
Adapun perinsip terapiu lingkungan menurut Dalami, (2010)
yaitu:
1) Perilaku merupakan respon terhadap lingkungan. Respon
klien diperoleh dengan memberikan stimulasi yang berfariasi
tanpa mengurangi stimulus dari lingkungan.
2) Reinforcement (+) mempengarughi prilaku. Klien dimotifasi
untuk menggunakan respon adaptif berdasarkan
reinforcement yang diterima oleh perawat. Metode
reinforcement: penghargaan.
3) Manusia mempunyai kebutuhan untuk kontak sosial yang
dicapai melalui interaksi kelompok. Klien dapat
mengemukakan pendapat dan mengekspresikan perasaan.
4) Setiap individu mempunyai kemampuan untuk mengelola
dengan dukungan yang adekuat klien mempunyai potensi
yang digunakan sebagai alat untuk terapi terhadap dirinya.
5) Sakit dan terapi merupakan dua keuntungan untuk belajar
tentang diri, orang lain dan bagaimana hubungan dengan
orang lain.
6) Tehnik untuk menciptakan lingkungan terapeutik:
Dikutip dari Dalami (2010) tehnik untuk menciptakan lingkungan
yang terapeutik ialah dengan:
1) Komponen fisik
a) Gedung dengan perlengkapan ruang makan, ruang tamu,
kamar mandi yang ditata dengan mempertimbangkan
privacy klien.
b) Penempatan kalender, jam dinding yang harus setiap saat
dapat dilihat klien.
2) Komponen intelektual
Stimulasi sensori dari lingkungan dan sikap perawat dengan
memberi sapaan, senyuman, sentuhan secara periodik dapat
mengembalikan orientasi klien terhadap realitas.
3) Komponen sosial
Ditunjukkan untuk meningkatkan interaksi, komunikasi dan
keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Komunikasi
penting. Perawat dapat membimbing dan mengarahkan klien
dalam interaksi sosial.
4) Komponen spiritual
Ditujukan untuk memaksimalakan arti pengalaman.
Mengembangkan rasa damai, meningkatkan hubungan
dengan manusia dan alam kebebasan secara kreatifitas dalam
berekspresi. Perawat memberi dorongan pada aktifitas yang
diinginkan oleh klien. Pendekatan terapeutik yang melihat
masalah individu dalam konteks lingkungan khususnya
keluarga dan menitik beratkan pada proses interpersonal.
7. Terapi somatic
Terapi somatic adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
tujuan mengubah perilaku maladaptive menjadi perilaku yang
adaptif dengan melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik.
Terapi somatic telah banyak dilakukan pada klien dengan gangguan
jiwa.
a. Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat
mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien. Alat
tersebut meliputi penggunaan manset untuk pergelangan tangan
atau kaki dan kain pengikat. Restrain harus dilakukan pada
kondisi khusus, hal ini merupakan intervensi yang terakhir jika
perilaku klien sudah tidak dapat diatasi atau dikontrol dengan
strategi perilaku maupun modifiskasi lingkungan. Indikasi
restrain yaitu:
1) Perilaku kekerasan yang membahayakan diri sendiri dan
lingkungannya.
2) Perilaku agitasi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.
3) Klien yang mengalami gangguan kesadaran.
4) Klien yang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan rasa
aman dan pengendalian diri.
5) Ancaman terhadap integritas tubuh berhubungan dengan
penolakan klien untuk istirahat, makan dan minum.
Prinsip dari tindakan restrain ini adalah melindungi klien dari
cedera fisik dan memberikan lingkungan yang nyaman. Restrain
dapat menyebabkan klien merasa tidak dihargai hak asasinya
sebagai manusia, untuk mencegah perasaan tersebut perawat
harus mengidentifikasi faktor pencetus pakah sesuai dengan
indikasi terapi, dan terapi ini hanya untuk intervensi yang paling
akhir apabila intervensi yang lain gagal mengatasi perilaku
agitasi klien.
b. Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam
ruangan khusus. Klien tidak dapat meninggalkan ruangan
tersebut secara bebas. Bentuk seklusi berupa pengurungan
diruangan tidak terkunci sampai pengurungan dalam ruangan
terkunci dengan kasur tanpa seprei, tergnatung dari tingkat
kegawatan klien.
Indikasi seklusi yaitu klien dengan perilaku kekerasan yang
mebahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Kontraindikasi dari terapi ini adalah:
1) Risiko bunuh diri.
2) Klien dengan gangguan sosial
3) Kebutuhan untuk observasi masalah medis.
4) Hukuman
c. Fototerapi
Fototerapi atau sinar adalah terapi somatic pilihan. Terapi ini
diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang (5-20 kali
lebih terang dari sinar ruangan). Klien disuruh duduk dengan
mata terbuka 1,5 meter, didepan klien diletakkan lampu
flouresen spectrum luang setinggi mata. Waktu dan dosis terapi
ini bervariasi pada tiap individu. Beberapa klien berespons jika
terapi diberikan pagi hari, sementara klien lain lebih bereaksi
kalau dilakukan terapi pada waktu sore hari. Semakin sinar
terang, semakin efektif terapi per unit waktu.
Efek samping yang terjadi setelah dilakukan terapi dapat
berupa nyeri kepala, insomnia, kelelahan, mual, mata kering,
keluar sekresi dari hidung atau sinus dan rasa lelah pada mata.
d. ECT (Electto Convulsif Therapy)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan
aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik
maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang
ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang
grandmall.
Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada
psikosa manik depresi, klien schizofrenia stupor katatonik dan
gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif dari antidepresan
untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid,
dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-
300 mg/hari selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan
perlu dipertimbangkan tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar
manik) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika litium karbonat
tidak berhasil.
a. Peran perawat
Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus
mempersiapkan alat dan mengantisipasi kecemasan klien
dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan.
b. Persiapan Alat
Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan
ECT, adalah sebagai berikut:
1) Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
2) Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain
3) Kain kasa
4) Cairan Nacl secukupnya
5) Spuit disposibel
6) Obat SA injeksi 1 ampul
7) Tensimeter
8) Stetoskop
9) Slim suiger
10) Set konvulsator
c. Persiapan klien
1) Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu
prosedur tindakan yang akan dilakukan.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk
mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan
kontraindikasi ECT
3) Siapkan surat persetujuan
4) Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT
5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit
rambut yang mungkin dipakai klien
6) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan
defekasi
7) Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM
1-2 jam sebelum ECT
8) Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik,
sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan harus dihentikan
sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa
hari sebelumnya karena berisiko organik.
9) Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg
setengah jam sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini
mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi
gastrointestinal.
d. Pelaksanaan.
1) Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat
dengan permukaan rata dan cukup keras. Posisikan
hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian
dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut,
kecuali bagian kepala.
2) Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik
barbiturat ini dipakai untuk menghasilkan koma ringan.
3) Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80
mg IV) untuk menghindari kemungkinan kejang umum.
4) Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan
alkohol untuk tempat elektrode menempel.
5) Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi
dengan kasa yang dibasahi caira Nacl.
6) Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang
spatel/karet yang dibungkus kain dimasukkan dan klien
diminta menggigit
7) Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka
lebar saat kejang dengan dilapisi kain
8) Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama
kejang dengan mengikuti gerak kejang
9) Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia
tekan tombol sampai timer berhenti dan dilepas
10) Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan
mengikuti gerakan kejang (menahan tidak boleh dengan
kuat).
11) Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan
rangsangan menekan diafragma
12) Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger
13) Kepala dimiringkan
14) Observasi sampai klien sadar
15) Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan
keperawatan
e. Setelah ECT
1) Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien
stabil
2) Jaga keamanan
Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai
kebutuhan, biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.
8. Terapi Aktivitas Kelompok
a. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok
Secara alamiah individu selalu berada dalam kelompok
sebagai contoh individu berada dalam satu keluarga. Dengan
demikian pada dasarnya individu memerlukan hubungan timbal
balik, hal ini bisa melalui kelompok (Direja, 2011).
Menurut Yusuf A, dkk (2015) kelompok adalah kumpulan
individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain, saling
bergantungan, serta mempunyai norma yang sama. Penggunaan
kelompok dalam praktik keperawatan jiwa memberikan dampak
positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi serta
pemulihan kesehatan jiwa. Selain itu, dinamika kelompok tersebut
membantu pasien meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi
perilaku maladaptif.
Secara umum fungsi kelompok adalah sebagai berikut:
1) Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman.
2) Berupaya memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota
lain.
3) Merupakan proses menerima umpan balik.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang
bertujuan mengubah perilaku pasien dengan memanfaatkan
dinamika kelompok. Cara ini cukup efektif karena di dalam
kelompok akan terjadi interaksi satu dengan yang lain, saling
memengaruhi, saling bergantung, dan terjalin satu persetujuan norma
yang diakui bersama, sehingga terbentuk suatu sistem sosial yang
khas yang di dalamnya terdapat interaksi, interelasi, dan
interdependensi.
Menurut Febri (2017) terapi aktivitas kelompok adalah terapi
yang diupayakan oleh perawat kepada sekelompok pasien yang
mempunyai masalah gangguan keperawatan yang sama. Dilakukan
oleh kelompok pasien dengan cara bermusyawarah antara pasien
dimana dalam musyawarah tersebut dipimpin oleh ahli terapis.
Usaha dalam mengupayakan seorang psikoterapis kepada sejumlah
pasien untuk meningkatkan dan memperbaiki hubungan
interpersonal dalam waktu bersamaan.
b. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Purwaningsih dan Karlina (2010) terapi aktivitas
kelompok mempunyai manfaat terapeutik sebagai berikut:
1) Umum
a) Meningkatkan kemampuan uji realistis (reality testing)
melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang
lain.
b) Melakukan sosialisasi.
c) Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif
dan afektif.
2) Khusus
a) Meningkatkan identitas diri
b) Menyalurkan emosi secara konstruktif
c) Meningkatkan ketrampilan hubungan interpersonal atau
sosial
3) Rehabilitasi
a) Meningkatkan ketrampilan ekspresi diri
b) Meningkatkan ketrampilan social
c) Meningkatkan kemampuan empati
d) Meningkatkan kemampuan/pengetahuan pemecahan masalah
c. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) adapun tujuan dari terapi
aktivitas kelompok, yaitu:
1) Terapeutik
Meningkatkan kemampuan pasien, memfasilitasi proses
interaksi, membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi
kognitif dan afektif, serta mempelajari cara baru dalam
mengatasi masalah dan melakukan sosialisasi.
2) Rehabilitatif
Meningkatkan kemampuan mengekspresikan diri,
kemampuan berempati, meningkatkan kemampuan sosial, serta
tanggung jawabnya dalam hubungan interpersonal.
Sedangkan menurut Purwaningsih dan Karlina (2010)
adapun tujuan dari terapi aktivitas kelompok, yaitu:
1) Mengembangkan stimulasi kognitif
Tipe : Biblioterapy
Aktivitas : Menggunakan artikel, sajak, puisi, buku, surat kabar
untuk merangsang dan mengembangkan hubungan dengan orang
lain.
2) Mengembangkan stimulasi sensoris
Tipe : Musik, seni, menari
Aktivitas : Menyediakan kegiatan, mengekspresikan perasaan.
Tipe : Relaksasi
Aktivitas : belajar teknik relaksasi dengan cara nafas dalam,
relaksasi otot, dan imajinasi.
3) Mengembangkan orientasi realitas
Tipe : Kelompok orientasi realitas, kelompok validasi
Aktivitas : Fokus pada orientasi waktu, tempat dan orang benar,
salah bantu memenuhi kebutuhan.
4) Mengembangkan sosialisasi
Tipe : Kelompok remotivasi
Aktivitas : Mengorientasikan klien yang menarik diri,regresi.
Tipe : Kelompok mengingatkan
Aktivitas : Fokus pada mengingatkan untuk menetapkan arti
positif.
d. Kerangka Teoritis Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) ada beberapa model kerangka
teoritis terapi aktivitas kelompok, yaitu:
1) Model fokal konflik
Dikutip dari Whiteaker dan Liebermen's, terapi kelompok
berfokus pada kelompok daripada individu. Prinsipnya adalah
terapi kelompok dikembangkan berdasarkan konflik yang tidak
disadari.
Menurut model ini pimpinan kelompok (Leader) harus
memfasilitasi dan memberikan kesempatan kepada anggota
untuk mengekspresikan perasaan dan mendiskusikan perasaan
dan mendiskusikannya untuk penyelesaian masalah. Contohnya,
adanya perbedaan pendapat antaranggota, cara masalah
(perbedaan) ditanggapi anggota, dan pemimpin mengarahkan
alternatif penyelesaian masalah.
2) Model Komunikasi
Model komunikasi menggunakan prinsip-prinsip teori
komunikasi dan komunikasi terapeutik. Diasumsikan bahwa
disfungsi atau komunikasi tak efektif dalam kelompok akan
menyebabkan ketidakpuasan anggota kelompok, umpan balik
tidak sekuat dari kohesi atau keterpaduan kelompok menurun.
Dengan menggunakan model ini leader memfasilitasi
komunikasi efektif, masalah individu atau kelompok dapat
diidentifikasi dan diselesaikan.
Leader mengajarkan pada kelompok bahwa:
a) Perlu berkomunikasi
b) Anggota harus bertanggung jawab pada semua level,
misalnya komunikasi verbal, nonverbal, terbuka dan tertutup.
c) Pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain.
d) Anggota dapat menggunakan teori komunikasi dalam
membantu satu dan yang lain untuk melakukan komunikasi
efektif.
3) Model Interpersonal
Dikutip dari Sullivan, dikatakan bahwa tingkah laku
(pikiran, perasaan, tindakan) digambarkan melalui hubungan
interpersonal.
Contoh: Interaksi dalam kelompok dipandang sebagai proses
sebab akibat dari tingkah laku anggota lain.
Pada teori ini terapis bekerja dengan individu dan
kelompok. Melalui ini kesalahan persepsi dapat dikoreksi dan
peeilaku sosial yang efektif dipelajari. Perasaan cemas dan
kesepian merupakan sasaran untuk mengidentifikasi dan
merubah tingkah laku/perilaku.
Contoh: Tujuan salah satu aktivitas kelompok untuk
meningkatkan hubungan interpersonal. Pada saat konflik
interpersonal muncul, leader menggunakan situasi tersebut untuk
mendorong anggota untuk mendiskusikan perasaan mereka dan
mempelajari konflik apa yang membuat anggota merasa cemas
dan menentukkan perilaku apa yang digunakan untuk
menghindari atau menurunkan cemas pada saat terjadi konflik.
4) Model Psikodrama
Model ini memotivasi anggota kelompok untuk berakting
sesuai dengan peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang
pernah lalu.Anggota memainkan peran sesuai dengan yang
pernah dialami. Contoh, pasien memerankan ayahnya yang
dominan atau keras.
Psikodrama ini dilakukan secara spontan dan memberi
kesempatan pada anggota untuk berakting di luar situasi spesifik
yang pernah terjadi.
e. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) terapi aktivitas kelompok
dapat dibagi menjadi:
1) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori
Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada
sensori pasien. Kemudian diobservasi reaksi sensori pasien
berupa ekspresi emosi/perasaan melalui gerakan tubuh, ekspresi
muka, dan ucapan. Aktivitas tersebut berupa:
a) TAK stimulasi sensori suara, misalnya mendengar musik,
b) TAK stimulasi sensori menggambar,
c) TAK stimulasi sensori menonton TV/video.
Tujuan:
a) Meningkatkan kemampuan sensori
b) Meningkatkan upaya memusatkan perhatian
c) Meningkatkan kesegaran jasmani
d) Mengekspresikan perasaan
2) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Orientasi Realitas
Pasien diorientasikan pada kenyataan yang ada di sekitar
pasien yaitu diri sendiri, orang lain yang ada di sekeliling pasien
atau orang yang dekat dengan pasien, serta lingkungan yang
pernah mempunyai hubungan dengan pasien pada saat ini dan
masa yang lalu. Aktivitasnya adalah sebagai berikut.
a) Sesi I : pengenalan orang
b) Sesi II : pengenalan tempat
c) Sesi III : pengenalan waktu
Tujuan:
a) Penderita mampu mengidentifikasi stimulus internal
(fikiran, perasaan, sensasi somatik) dan stimulus eksternal
(iklim, bunyi, situasi alam sekitar)
b) Penderita dapat membedakan antara lamunan dan
kenyataan
c) Pembicaraan penderita sesuai realita
d) Penderita mampu mengenali diri sendiri
e) Penderita mampu mengenal orang lain, waktu dan tempat
Karakteristik:
a) Penderita dengan gangguan orientasi realita (GOR);
(halusinasi, ilusi, waham, dan depresonalisasi) yang sudah
dapat berinteraksi dengan orang lain
b) Penderita dengan GOR terhadap orang, waktu dan tempat
yang sudah dapat berinteraksi dengan orang lain
c) Penderita kooperatif
d) Dapat berkomunikasi verbal dengan baik
e) Kondisi fisik dalam keadaan sehat
3) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi
Pasien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan
individu yang ada di sekitar pasien. Sosialisasi dapat pula
dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan
massa. Aktivitas yang diberikan antara lain sebagai berikut.
a) Sesi I : menyebutkan jati diri.
f) Sesi II : mengenali jati diri anggota kelompok.
g) Sesi III : bercakap-cakap dengan anggota kelompok.
h) Sesi IV : menyampaikan dan membicarakan topik
percakapan.
i) Sesi V : menyampaikan dan membicarakan masalah
pribadi dengan orang lain.
j) Sesi VI : bekerja sama dalam permainan sosialisasi
kelompok.
k) Sesi VII : menyampaikan pendapat tentang manfaat
kegiatan TAK sosialisasi yang telah dilakukan.
Tujuan umum:
Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar
anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan,
memberi tanggapan terhadap orang lain, mengekpresikan ide
serta menerima stimulus eksternal.
Tujuan khusus:
a) Penderita mampu menyebutkan identitasnya
b) Menyebutkan identitas penderita lain
c) Berespon terhadap penderita lain
d) Mengikuti aturan main
e) Mengemukakan pendapat dan perasaannya
Karakteristik:
a) Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk
mengikuti kegiatan ruangan
b) Penderita sering berada ditempat tidur
c) Penderita menarik diri, kontak sosial kurang
d) Penderita dengan harga diri rendah
e) Penderita gelisah, curiga, takut dan cemas
f) Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab
seperlunya, jawaban sesuai pertanyaan
g) Sudah dapat menerima trust, mau berinteraksi, sehat fisik.
4) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Pasien dilatih untuk mempersepsikan stimulus yang
disediakan atau stimulus yang pernah dialami. Kemampuan
persepsi pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam
proses ini diharapkan respons pasien terhadap berbagai stimulus
dalam kehidupan menjadi adaptif. Aktivitas yang diberikan
antara lain sebagai berikut.
a) Sesi I : menonton TV
b) Sesi II : membaca majalah/koran/artikel
c) Sesi III : gambar
d) Sesi IV :
(1) Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
(2) Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan fisik.
(3) Mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi asertif.
(4) Mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum
obat.
(5) Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.
Tujuan
a) Meningkatkan kemampuan orientasi realita
b) Meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian
c) Meningkatkan kemampuan intelektual
d) Mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain
e) Mengemukakan perasaannya.
Karakteristik
a) Penderita dengan gangguan persepsi yang berhubungan
dengan nilai-nilai
b) Menarik diri dari realitas
c) Inisiasi atau ide-ide negatif
d) Kondisi fisik sehat, dapat berkomunikasi verbal, kooperatif
dan mau mengikuti kegiatan.
5) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Peningkatan Harga Diri
Pasien dilatih untuk mengidentifikasi hal-hal positif pada
diri sehingga mampu menghargai diri sendiri.Kemampuan pasien
dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam proses ini,
pasien diharapkan mampu merumuskan suatu tujuan hidup yang
realistis. Aktivitas yang diberikan adalah sebagai berikut.
a) Sesi I : identifikasi hal positif diri.
e) Sesi II : menghargai hal positif orang lain.
f) Sesi III : menetapkan tujuan hidup yang realistis.
6) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Mengontrol Halusinasi
Pasien dilatih untuk dapat mengenal halusinasi yang
dialaminya dan dilatih cara mengontrol halusinasi. Kemampuan
persepsi pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam
proses ini, respons pasien terhadap berbagai stimulus dalam
kehidupan diharapkan menjadi adaptif. Aktivitas yang diberikan
yaitu sebagai berikut.
a) Sesi I : mengenal halusinasi
g) Sesi II : mengontrol halusinasi dengan menghardik
h) Sesi III : mengontrol halusinasi dengan menyusun
jadwal kegiatan
i) Sesi IV : mengontrol halusinasi dengan minum obat
yang benar
j) Sesi V : mengontrol halusinasi dengan bercakap-
cakap
f. Tahapan-Tahapan dalam Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Menurut Yusuf A, dkk (2015) kelompok mempunyai
kapasitas untuk tumbuh dan berkembang. Pemimpin yang akan
mengembangkan kelompok akan melalui empat fase atau tahap,
yaitu fase prakelompok, fase awal kelompok, fase kerja kelompok,
dan fase terminasi kelompok.
1) Fase Prakelompok
Hal penting yang harus diperhatikan saat mulai membangun
kelompok adalah merumuskan tujuan kelompok.Tercapai atau
tidaknya suatu tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin
kelompok.Pemimpin kelompok harus melakukan persiapan
dengan penyusunan proposal.
2) Fase Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuk kelompok yang
baru dan peran yang baru.Fase ini dibagi menjadi tiga fase lagi,
yaitu fase orientasi, konflik, dan kohesif.
a) Tahap orientasi
Pada tahap ini pimpinan kelompok lebih aktif dalam
memberi pengarahan.
b) Tahap konflik
Peran dependen dan independen terjadi pada tahap ini.
Sebagian pemimpin ingin sebagai pengambil keputusan, serta
ada pula yang hanya mengarahkan dan anggota nantinya
yang akan memutuskan.
c) Tahap kohesif
Setelah melalui tahap konflik, anggota kelompok akan
merasakan ikatan yang kuat satu sama lain. Perasaan positif
akan semakin saling diungkapkan. Anggota merasa bebas
membuka diri tentang informasi dan lebih intim dengan
anggota yang lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan
kemampuan anggota kelompok dalam penyelesaian masalah.
Pada akhirnya, anggota kelompok akan belajar bahwa
perbedaan tidak perlu ditakutkan. Semua persamaan dan
perbedaan tetap dapat mewujudkan tujuan menjadi suatu
realitas.
3) Fase kerja kelompok
Fase ini kelompok sudah menjadi sebuah tim yang stabil dan
realistis. Bekerja keras tetapi tetap menyenangkan dan menjadi
suatu tantangan bagi anggota dan pemimpin kelompok.Tugas
pimpinan kelompok pada fase ini membantu kelompok mencapai
tujuan dan mengurangi dampak dari hal-hal yang dapat
menurunkan produktivitas kelompok.
4) Fase terminasi kelompok
Terminasi dapat sementara atau permanen.Terminasi dapat pula
terjadi karena anggota kelompok atau pimpinan keluar dari
kelompok.Pada fase ini dilakukan evaluasi yang difokuskan pada
pencapaian kelompok dan individu.Terminasi yang sukses
ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok dapat
digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari.
g. Terapis Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Direja (2011) terapis adalah orang yang dipercaya
untuk memberikan terapi kepada klien yang mengalami gangguan
jiwa. Adapun terapis antara lain:
1) Perawat
2) Psikiater
3) Psikolog
4) Dokter
5) Fisioterapis
6) Speech terapis
7) Occupation terapis
8) Sosial worker
Adapun persyaratan dan kualifikasi untuk terapi aktivitas
kelompok adalah:
1) Pengetahuan pokok tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku
normal dan patologi dalam budaya setempat.
2) Memiliki konsep teoritis yang padat dan logis, yang cukup sesuai
untuk dipergunakan dalam memahami pikiran-pikiran dan
tingkah laku yang normal maupun patologis.
3) Memiliki teknis yang bersifat terapeutik yang menyatu dengan
konsep-konsep yang dimiliki melalui pengalaman klinis dengan
pasien.
4) Memiliki kecakapan unruk menggunakan dan mengontrol
institusi untuk membaca yang tersirat dan menggunakannya
secara empatis untuk memahami apa yang dimaksuddan
dirasakan pasiendibelakang kata-katanya.
5) Memiliki kesadaran-kesadaran atas harapan-harapan sendiri,
kecemasan dan mekanisme pertahanan yang dimiliki dan
pengaruhnya terhadap teknik terapeutiknya.
6) Harus mampu menerima pasien sebagai manusia utuh dengan
segala kekurangan dan kelebihannya.
h. Program Antisipasi Masalah dalam Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) adapun program antisipasi
masalah dalam terapi aktivitas kelompok:
Masalah yang mungkin timbul dalam TAK antara lain sebagai
berikut.
1) Adanya subkelompok.
2) Keterbukaan yang kurang
3) Resistansi baik individu maupun kelompok.
4) Adanya anggota kelompok yang drop out.
5) Penambahan anggota baru.
Cara mengatasi masalah ini bergantung pada jenis kelompok
terapis, kontrak, dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas
tersebut. Program antisipasi masalah merupakan intervensi
keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang
bersifat gawat darurat dalam terapi yang dapat memengaruhi proses
pelaksanaan TAK. Misalnya, pasien meninggalkan permainan, maka
intervensi yang diberikan panggil nama pasien, serta tanyakan alasan
meninggalkan tempat dan beri penjelasan. Berikut adalah contoh
struktur perencanaan terapi aktivitas kelompok.
i. Peran Perawat dalam Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Direja (2011) peran perawat jiwa profesional dalam
pelaksanaan terapi aktivitas kelompok pada penderita skizofrenia
adalah:
1) Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok,
perawat harus terlebih dahulu membuat proposal. Proposal
tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi
aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi:
deskripsi, karakteristik klien, masalah keperawatan, tujuan dan
landasan teori, persiapan alat, jumlah perawat, waktu
pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas terapis.
2) Tugas sebagai leader dan co-leader
Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola
komunikasi yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota
kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi
motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan
membuat peraturan serta mengarahkandan memimpin jalannya
terapi aktivitas kelompok.
3) Tugas sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan
kelompok sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi
stimulus pada anggota kelompok lain agar dapat mengikuti
jalannya kegiatan.
4) Tugas sebagai observer
Tujuan sebagai observer meliputi: mencatat serta
mengamati respon penderita, mengamati jalannya proses terapi
aktivitas dan menangani peserta/anggota kelompok yang drop
out.
5) Tugas dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam
pelaksanaan terapi
Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan
timbulnya sub kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik
individu atau kelompok dan adanya anggota kelompok yang
drop out.
Cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis
kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari
terapi aktivitas tersebut.
6) Program antisipasi masalah
Merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam
terapi) yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan terapi
aktivitas kelompok.
Peran perawat psikiatri dalam terapi aktivitas kelompok
adalah sebagai leader/ co leader, sebagai observer dan fasilitator
serta mengevaluasi hasil yang dicapai dalam kelompok. Untuk
memperoleh kemampuan sebagai leader.co leader, observer dan
fasilitator dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok, perawat
juga perlu mendapat latihan dan keahlian yang professional.
j. Pengorganisasian Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) pengorganisasian terapi
aktivitas kelompok ialah sebagai berikut:
1) Pemimpin kelompok (leader)
Tugas pemimpin kelompok adalah sebagai berikut.
a) Menyusun rencana aktivitas kelompok (proposal).
b) Mengarahkan kelompok dalam mencapai tujuan.
c) Memfasilitasi setiap anggota untuk mengekspresikan
perasaan, mengajukan pendapat, dan memberikan umpan
balik.
d) Sebagai “role model”.
e) Memotivasi setiap anggota untuk mengemukakan pendapat
dan memberikan umpan balik.
2) Pembantu pemimpin kelompok (co-leader)
Tugasnya adalah membantu pemimpin dalam mengorganisir
anggota kelompok.
3) Fasilitator
Tugasnya adalah sebagai berikut.
a) Membantu pemimpin memfasilitasi anggota untuk berperan
aktif dan memotivasi anggota.
b) Memfokuskan kegiatan.
c) Membantu mengoordinasi anggota kelompok.
4) Observer
Tugas observer antara lain sebagai berikut.
a) Mengobservasi semua respons pasien.
b) Mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan
perilaku pasien.
c) Memberikan umpan balik pada kelompok.
Untuk kelompok yang telah melakukan aktivitas secara
teratur, pasien yang sudah kooperatif dan stabil dapat berperan
sebagai pembantu pimpinan, fasilitator, observer bahkan sebagai
pimpinan.Perawat sebagai terapis perlu mengarahkan.
Jumlah anggota kelompok berkisar antara 7 sampai 10 orang
sedangkan lamanya aktivitas 45 sampai 60 menit. Sebelum memulai
terapi, aktivitas kelompok perlu menyusun proposal sebagai
pedoman pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, Hermawati. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa.


Jakarta: CV. Trans Info Media.
Direja, Ade H.S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Febri, Fitri. 2017. 12 Terapi Aktivitas Kelompok untuk Sosialisasi. Dikutip
dari https://dosenpsikologi.com/terapi-aktivitas-kelompok. Diakses
pada 6 September 2018.
Kusumawati dan Hartono. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Nasir dan Muhits. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa: Pengantar dan
Teori. Jakarta: Salemba Medika.
Purwaningsih dan Karlina. 2010. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Suliswati. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Schultz, J. M and Videbeck, S. D. 2009. Lippincott’s Manual of Psychiatric
Nursing Care Plants. Philadelphia: Lippincott.
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa.
Terjemahan dari Pocket Guide to Psyciatric Nursing, oleh Achir
Yani S. Hamid. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Yusuf, ah. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai