NI MADE RAHAYU DIAH DEVITA S. (P07120016004) ISTRI AGUNG DIAH UTAMI PINATIH (P07120016031) KADEK SANISTYA ASTUTI (P07120016032) LUH ADE REGINA AMANDASARI (P07120016033) NI PUTU PRASTIWI FATMASARI (P07120016035) NI KADEK AYU PUTRI UTAMI (P07120016036) NI MADE WINDA NURSANTI (P07120016037) A.A. ISTRI CAHYADININGRUM (P07120016039)
KEMENTERIAN KESEHATAN RI POLTEKKES DENPASAR TAHUN AKADEMIK 2018/2019 KONSEP PENATALAKSANAAN TERAPI MODALITAS
A. Pengertian Terapi Modalitas
Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap berhubungan dengan keluarga, teman, dan system pendukung yang ada ketika menjalani terapi (Nasir dan Muhits, 2011). Terapi modalitas adalah terapi yang utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dan perilaku yang mal adaptif menjadi perilaku adaptif (Kusumawati dan Hartono, 2010). Terapi modalitas adalah suatu kegiatan dalam memberikan asuhan keperawatan baik di institusi pelayanan maupun di masyarakat, yang bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan berdampak terapeutik (Dalami, 2010) Terapi modalitas bertujuan agar pola perilaku atau kepribadian seperti ketrampilan koping, gaya komunikasi dan tingkat harga diri secara bertahap dapat berkembang. Mengingat bahwa klien dengan gangguan jiwa membutuhkan pengawasan yang ketat dan lingkungan suportif yang aman. Beberapa terapi keperawatan didasarkan ilmu dan seni keperawatan jiwa. Terapi keperawatan jiwa adalah alternatif terapi yang dapat diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa.
B. Peran Perawat dalam Terapi Modalitas
Secara umum peran perawat jiwa dalam pelaksanaan terapi modalitas bertindak sebagai leader, fasilitator, evaluator, dan motivator (Nasir dan Muhits, 2011). Tindakan tersebut meliputi: 1. Mendidik dan mengorientasi kembali seluruh anggota keluarga misalnya perawat menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluarga, kesamaan harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga. 2. Memberikan dukungan kepada klien serta system yang mendukung klien untuk mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat meyakinkan bahwa keluarga klien mampu memecahkan masalah yang dihadapi anggota keluarganya. 3. Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawat menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerja sama dengan keluarga dan siapa yang bisa diajak konsultasi. 4. Member pelayanan prevensi primer, sekunder, dan tersier melalui penyuluhan, perawatan di rumah, pendidikan dan sebagainya. Bila ada anggota keluarga yang kurang memahami perilaku sehat didiskusikan atau bila ada keluarga yang membutuhkan perawatan.
C. Jenis-Jenis Terapi Modalitas
1. Psikoterapi Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan profesional secara sukarela. Dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu, dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif. (Direja, 2011). 2. Psikoanalisis Psikoterapi Menurut Direja (2011) terapi ini dikembangkan oleh Sigmud Freud, seorang dokter yang mengembangkan “talking care”. Tetapi ini didasarkan pada keyakinan bahwa seorang terapis dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan klien menceritakan tentang masalah pribadinya. Perubahan prilaku dapat terjadi jika klien dapat menemukan kejadian-kejadian yang disimpan dalam bawah sadarnya. Tujuan terapi Psikoanalisis, adalah sebagi berikut: a. Menurunkan rasa takut klien. b. Mengembangkan proses pikir yang luhur. c. Membantu klien menghadapi realitas. d. Menurunkan kecemasan. e. Memperbaiki komunikasi interpersonal. Implementasi psikoanalisis adalah sebagi berikut: a. Melibatkan dua orang, interaksi yang terbentuk bersifat rahasia dan klien mendiskusikan aspek kehidupannya yang paling pribadi bukan mendiskusikan hubungannya dengan orang lain. b. Klien menceritakan pikiran, perasaan, pengalaman, dan persepsinya. Terapis mendengar, mendorong dan klarifikasi. c. Interaksi berlangsung lama, klien menemukan hal baru tentang diri dan melakukan pendekatan pada dunia, berusaha untuk memadukan dengan pemahaman baru. d. Hubungan antara terapis dan klien adalah hubungan berseri yang terencana untuk mengubah perilaku klien. 3. Psikoterapi Individu Psikoterapi Individu merupakan bentuk terapi yang menekankan pada perubahan individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara berpikir, dan perilakunya. Hal ini bertujuan agar klien mampu memahami diri dan perilaku dirinya sendiri, membuat perubahan personal, atau berusaha lepas dari rasa sakit hati dan ketidakbahagiaan. (Videbeck Sheila L, 2008 dalam Nasir dan Muhits, 2011). Aspek yang terpenting dari psikoterapi individu adalah menjadi individu mampu menilai dirinya sendiri tanpa merusak suasana psikologisnya, melepaskan pikiran yang membebanni, serta memahami pikiran dan perilaku salahnya. Kunci terapi individu adalah bagaimana klien dapat mengungkapkan perasaannya, dapat mengungkapkan perilaku yang diperankan dan menilainya sesuai dengan kondisi realitas. Esensi dari psikoterapi individu mencangkup seluruh aspek kehidupan yang menjadi beban psikisnya. Hubungan antara klien dan terapis yang harmonis merupakan kunci keberhasilan dalam psikoterapi individu sehingga membutuhkan keterampilan terapis yang handal dan memuaskan klien. Klien yang memukul orang dan memecahkan kaca jendela karena keinginannya tidak dituruti merupakan bentuk pelampiasan kekecewaan karena keinginannya tidak dituruti. (Direja, 2011). 4. Terapi Modifikasi Perilaku Menurut Direja (2011) Terapi perilaku didasarkan pada keyakinan bahwa perilaku dipelajari, dengan demikian perilaku yang tidak diinginkan atau maladaptive dapat diubah menjadi perilaku yang diinginkan atau adaptif. Proses mengubah perilaku terapi ini adalah dengan menggunakan teknik yang disebut conditioning yaitu suatu proses dimana klien belajar mengubah perilaku. Cara melakukan conditioning adalah sebagai berikut: a. Reciprocal inhibition Cara mengurangi ansietas yang dirasakan dengan mengendalikan situasi yang dapat meredakan ansietas yang dirasakan. b. Positive conditioning Dengan memberikan hadiah (reward) pada setiap perilaku yang diinginkan dan tidak memberikan reward atau menghukum pada perilaku yang tidak diinginkan. c. Eksperimental extinction Yaitu upaya menurunkan suatu perilaku dengan cara tidak memberikan reward berulang-ulang. Penerapan teori perilaku ini adalah sebagai berikut: a. Pendekatan terapis kepada klien bersifat objektif, tidak menghakimi. b. Klien diyakinkan bahwa reaksi meyakinkan akan pulih. c. Informasi yang tidak akurat dikoreksi segera. d. Klien yang dikuatkan untuk dapat mengendalikan perilakunya. Kriteria evaluasi: a. Menurunkan perilaku maladaptif. b. Meningkatnya produktifitas kerja. c. Membaiknya hubungan interpersonal. d. Meningkatnya kemampuan penyelesaian masalah yang disebabkan stressor lingkungan dan situasi. 5. Terapi Okupasi a. Pengertian Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Direja, 2011). b. Tujuan Terapi Okupasi : 1) Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental a) Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnnya. b) Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar. c) Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya. d) Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa dan terapi. 2) Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi, otot, dan koordinasi gerakan. 3) Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAB, BAK, dan sebagainya. 4) Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin dirumah. 5) Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki. 6) Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk mengetahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan untuk bersosialisasi, bakat, minat, dan potensinya. 7) Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali dilingkungan masyarakat (Nasir dan Muhith, 2011). c. Peranan Aktivitas Dalan Terapi Menurut Nasir dan Muhith, (2011) Aktivitas dipercayai sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui aktivitas manusia dihubungkan dengan lingkungan, kemudian mempelajarinya, mencoba keterampilan atau pengetahuan, mengekspresikan perasaan, memenuhi kebutuhan fisik maupun emosional, mengembangkan kemampuan, dan sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup. Potensi tersebutlah yang digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan terapi okupasi, baik bagi penderita fisik maupun mental. Adapun hal-hal yang memengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai berikut: 1) Jenis-jenis aktivitas a) Latihan gerak badan b) Olah raga c) Permainan d) Kerajinan tangan e) Kesehatan, kebersihan, dan kerapian pribadi f) Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari) g) Praktik pre-vokasional h) Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain) i) Rekreasi j) Diskusi dengan topik tertentu (Nasir dan Muhith, 2011). 2) Karakteristik aktivitas Aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan emosional maupun fisik. Aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi harus mempunyai karakteristik sebagai berikut: a) Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. b) Mempunyai arti tertentu bagi pasien dan dikenal atau berhubungan dengan pasien. c) Pasien harus mengerti tujuan kegiatan tersebut. d) Harus dapat melibatkan pasien secara aktif. e) Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, dapat meningkatkan atau setidak- tidaknya memelihara kondisinya. f) Harus dapat memberi dorongan agar pasien mau berlatih lebih giat. g) Harus sesuai dengan minat pasien. h) Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan kemampuan pasien. Faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih aktivitas yaitu: a) Bahan yang digunakan harus mudah dikontrol. b) Apakah aktivitas rumit atau tidak. c) Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan. d) Bagaimana cara pemberian intruksi e) Bagaimana kira-kira hasilnya. f) Apakah perlu pasien membuat keputusan. g) Apakah perlu konsentrasi. h) Apakah interaksi menguntungkan i) Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi. j) Berapa lama dapat diselesaikan. k) Apakah dapat dimodifikasi sehingga dapat disesuai dengan kemampuan pasien dan keterampilan pasien (Nasir dan Muhith, 2011). 3) Analisis aktivitas Untuk dapat mengenal karakteristik maupun potensi, maka aktivitas tersebut harus dianalisis terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dianalisis adalah sebagai berikut: a) Jenis aktivitas b) Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan terapi) c) Bahan yang digunakan: (1) Khusus atau tidak (2) Karakteristik bahan: (a) Mudah ditekuk atau tidak (b) Terkontrol atau tidak (c) Menimbulkan kekotoran atau tidak (d) Licin atau tidak (3) Rangsangan yang dapat ditimbulkan: (a) Taktil (b) Pendengaran (c) Pembauan (d) Penglihatan (e) Pengrabaan (f) Gerakan sendi (4) Warna (5) Macam-macamnya dan namanya (6) Banyaknya d) Bagian-bagian aktivitas (1) Banyaknya bagian (2) Rumit atau sederhana (3) Apakah membutuhkan pengulangan (4) Apakah membutuhkan perhitungan matematika e) Persiapan pelaksanaan: (1) Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu (2) Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan (3) Apakah bahan tersedia atau harus dicari dulu (4) Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur f) Pelaksanaan, apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu adanya: (1) Konsentrasi (2) Ketangkasan (3) Rasa sosial antara pasien (4) Kemampuan mengatasi masalah (5) Kemampuan bekerja sendiri (6) Toleransi terhadap frustasi (7) Kemampuan mengikuti instruksi (8) Kemampuan membuat kebutuhan g) Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya interaksi diantara mereka. h) Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi, ketangkasan, inisiatif, penilaian, ingatan, komprehensi, dan lain-lain. i) Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan emosi, dan lain-lain. j) Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus bertindak hati-hati karena dapat berbahaya bagi pasien maupun sekelilingnya (misalnya: untuk pasien dengan paranoid sangat riskan memberikan benda tajam). k) Hal yang penting lainnya adalah apakah disukai oleh pasien. (Nasir dan Muhith, 2011). d. Indikasi Terapi Okupasi 1) Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pengintegrasiaan perkembangan psikososialnya. 2) Klien dengan kelainan tingkah laku disertai dengan kesulitan berkomunikasi. 3) Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan sehingga reaksi terhadap rangsangan tidak wajar 4) Klien yang mengalami kemunduran 5) Klien dengan cacat tubuh disertai dengan gangguan kepribadian 6) Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktivitas 7) Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung daripada membayangkan (Direja, 2011) e. Proses Terapi Okupasi Menurut Direja (2011) proses terapi okupasi adalah: 1) Pengumpulan data Meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis, perilaku dan kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih, putus asa, marah. 2) Analisa data dan identifikasi masalah Dar data yang telah dikaji ditegakkan diagnosa sementara tentang masalah klien maupun keluarga. 3) Penentuan tujuan dan sasaran Dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. 4) Penentuan aktifitas Jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan tujuan terapi 5) Evaluasi Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggung jawab, kerjasama, emosi dan tingkah laku selama aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan kembali kegiatan yang sesuai dan akan dilakukan. Evaluasi dilakukan secara periodik, misalnya: satu minggu sekali setiap selesai melaksanakan kegiatan. Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain: a) Kemampuan membuat keputusan b) Tingkah laku selama bekerja c) Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan mempunyai kebutuhan sendiri. d) Kerjasama e) Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lain-lain) f) Inisiatif dan tanggung jawab g) Kemampuan untuk mengajak atau diajak berunding. h) Menyatakan perasaan tanpa agresi i) Kompetisi tanpa permusuhan j) Menerima kritik dari atasan atau teman sekerja k) Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawab atas pendapatnya tersebut l) Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya m) Wajar dalam penampilan n) Orientasi tempat, waktu, situasi, dan orang lain o) Kemapuan menerima instruksi dan mengingatnya p) Kemampuan bekerja tanpa terus menerus diawasi q) Keterampilan bekerja r) Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan s) Toleransi terhadap frustasi t) Lambat atau cepat f. Pelaksanaan terapi okupasi Menurut (Direja, 2011) terapi okupasi dapat dilakukan secra individu maupun kelompok tergantung dari kondisi klien dan tujuan terapi. 1) Metode a) Individual Dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi dengan kelompok dan klien yang sedang menjalani persiapan aktivitas. b) Kelompok Klien dengan masalah sama, klien yang lama, dan yang memiliki tujuan kegiatan yang sama. 2) Waktu Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun kelompok dengan frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan dibagi menjadi 2 bagian (pertama: ½ sampai 1 jam, kedua: 1 sampai 2 jam). 6. Terapi lingkungan a. Pendahuluan Perawatan klien di Rumah Sakit pada rentang waktu yang lama mengakibatkan klien mengalami penurunan kemampuan berfikir dan bertindak secara mandiri dan kehilangan hubungan dengan dunia luar. Oleh karena itu diperlukan pengembangan layanan keperawatan psikiatrik salah satunya dengan penerapan terapi lingkungan di Rumah Sakit. Terapi lingkungan “Millieu Terapi” adalah suatu manipulasi ilmiah yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan pada perilaku pasien dan untuk mengembangkan keterampilan emosional dan sosial (Stuart and Sundeen, 2007). Sedangkan menurut Suliswati (2005) terapi lingkungan merupakan keadaan lingkungan yang ditata untuk menunjang proses terapi, baik fisik, mental, maupun sosial agar dapat membantu penyembuhan dan pemulihan klien. b. Tujuan terapi lingkungan Terapi lingkungan merupakan salah satu bentuk terapi klien gangguan jiwa yang dapat membantu efektifitas pemberian asuhan keperawatan jiwa. Schultz and Videbeck (2009) menyebutkan bahwa pemindahan klien dan lingkungan yang terapeutik akan memberikan kesempatan untuk istirahat dan memulihkan diri, memberikan waktu untuk berfokus pada pengembangan dalam hal kekuatan dan kesempatan belajar, agar klien mampu mengidentifikasi alternative dan solusi masalah. Menurut Abroms cit Stuart and Sundeen (2007) menyebutkan dua tujuan yaitu : 1) Membatasi gangguan dan perilaku maladaptif 2) Mengajarkan keterampilan psikososial Untuk melakukan pembatasan terhadap perilaku maladaptive, perlu ditekankan penggunaan terapi lingkungan dengan mengembangkan 4 keterampilan psikososial. Empat keterampilan tersebut yaitu : a) Orientation Pencapaian orientasi dan kesadaran terhadap realita yang lebih baik. Orientasi tersebut berhubungan dengan pemahaman klien terhadap orang, waktu, tempat, dan situasi. Sedangkan kesadaran terhadap realita dapat dikuatkan melalui interaksi dan hubungan dengan orang lain. b) Assertation Kemampuan mengekspresikan perasaan dengan tepat. Klien perlu dianjurkan mengekspresikan diri secara efektif dengan tingkah laku yang dapat diterima masyarakat. c) Accupation Kemampuan klien untuk dapat memupuk percaya diri dan berprestasi melalui keterampilan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan aktivitas dalam bentuk yang positif dan disukai klien, misalnya melukis, bermain music, merangkai bunga, dsb. d) Recreation Kemampuan menggunakan dan membuat aktivitas yang menyenangkan, contoh menebak kata, senam dan jalan- jalan. c. Karakteristik umum dari terapi lingkungan Beberapa karakterisktik dari terapi lingkungan sebagai berikut : 1) Setiap interaksi merupakan suatu kesempatan untuk intervensi terapeutik 2) Klien memikul tanggung jawab terhadap tingkah laku mereka sendiri. 3) Pemecahan masalah dicapai dengan diskusi, negosisasi dan consensus daripada hanya dengan menggunakan beberapa gambaran dari para ahli. 4) Komunikasi terbuka dan langsung antar staf dank lien. 5) Klien didukung untuk berpartisipasi aktif dalam penanganan mereka sendiri dan dalam membuat keputusan di unit tempat mereka dirawat. 6) Unit tetap sering melakukan komunikasi dan kontak dengan komunitas, keluarga serta jaringan sosial. Dalam upaya menciptakan lingkungan yang terapeutik ada lima aspek yang perlu diperhatikan yaitu : 1) Aspek fisik Menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman. Gedung permanen, mudah dijangkau, lengkap dengan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, kamar mandi dan WC. Misalnya: ruang perawatan anak di desain dengan gambar- gambar kartun atau idola anak-anak yang berbeda dengan ruang dewasa. 2) Aspek intelektual Tingkat intelektual klien dapat ditentukan melalui kejelasan stimulus dari lingkungan dan sikap perawat. Misalnya lingkungan dengan warna biru dan hijau memberikan stimulus ketenangan dan keteduhan. Perawat harus memberikan stimulus eksternal yang positif sehingga kesadaran diri klien menjadi luas dan klien dapat menerima kondisinya. 3) Aspek sosial Dalam aspek ini perawat mengembangkan pola interaksi yang positif, hubungan psikososial yang menyenangkan dan menguatkan ego klien. Oleh karena itu perawat perlu penggunaan teknik komunikasi yang tepat sehingga perawat dapat menciptakan aspek ini. 4) Aspek emosional Perawat harus menciptakan iklim emosional yang positif dengan menunjukkan sikap yang tulus, jujur atau dapat dipercaya, bersikap spontan dalam memenuhi kebutuhan klien, empati, peka terhadap perasaan dan kebutuhan klien. 5) Aspek spiritual Aspek ini ditunjukkan untuk memaksimalkan manfaat dari pengalaman, pengobatan dan perasaan damai bagi klien. Sehingga perlu disediakan sarana ibadah seperti kitab suci dan ahli agama. d. Peran perawat dalam terapi Perawat dalam memenuhi kebutuhan klien berdasarkan pada identitas masalah baik kebutuhan fisik dan emosional. Perawat yang berperan sebagai mothering care tidak hanya memenuhi kebutuhan klien tetapi juga memfasilitasi klien agar mengembangkan kemampuan baru untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan demikian klien dapat memahami dan menerima situasi yang sedang dialaminya dan termotivasi untuk mengubah perilaku destruktif menjadi konstruktif. e. Prinsip terapi lingkungan: Adapun perinsip terapiu lingkungan menurut Dalami, (2010) yaitu: 1) Perilaku merupakan respon terhadap lingkungan. Respon klien diperoleh dengan memberikan stimulasi yang berfariasi tanpa mengurangi stimulus dari lingkungan. 2) Reinforcement (+) mempengarughi prilaku. Klien dimotifasi untuk menggunakan respon adaptif berdasarkan reinforcement yang diterima oleh perawat. Metode reinforcement: penghargaan. 3) Manusia mempunyai kebutuhan untuk kontak sosial yang dicapai melalui interaksi kelompok. Klien dapat mengemukakan pendapat dan mengekspresikan perasaan. 4) Setiap individu mempunyai kemampuan untuk mengelola dengan dukungan yang adekuat klien mempunyai potensi yang digunakan sebagai alat untuk terapi terhadap dirinya. 5) Sakit dan terapi merupakan dua keuntungan untuk belajar tentang diri, orang lain dan bagaimana hubungan dengan orang lain. 6) Tehnik untuk menciptakan lingkungan terapeutik: Dikutip dari Dalami (2010) tehnik untuk menciptakan lingkungan yang terapeutik ialah dengan: 1) Komponen fisik a) Gedung dengan perlengkapan ruang makan, ruang tamu, kamar mandi yang ditata dengan mempertimbangkan privacy klien. b) Penempatan kalender, jam dinding yang harus setiap saat dapat dilihat klien. 2) Komponen intelektual Stimulasi sensori dari lingkungan dan sikap perawat dengan memberi sapaan, senyuman, sentuhan secara periodik dapat mengembalikan orientasi klien terhadap realitas. 3) Komponen sosial Ditunjukkan untuk meningkatkan interaksi, komunikasi dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Komunikasi penting. Perawat dapat membimbing dan mengarahkan klien dalam interaksi sosial. 4) Komponen spiritual Ditujukan untuk memaksimalakan arti pengalaman. Mengembangkan rasa damai, meningkatkan hubungan dengan manusia dan alam kebebasan secara kreatifitas dalam berekspresi. Perawat memberi dorongan pada aktifitas yang diinginkan oleh klien. Pendekatan terapeutik yang melihat masalah individu dalam konteks lingkungan khususnya keluarga dan menitik beratkan pada proses interpersonal. 7. Terapi somatic Terapi somatic adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan mengubah perilaku maladaptive menjadi perilaku yang adaptif dengan melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik. Terapi somatic telah banyak dilakukan pada klien dengan gangguan jiwa. a. Restrain Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien. Alat tersebut meliputi penggunaan manset untuk pergelangan tangan atau kaki dan kain pengikat. Restrain harus dilakukan pada kondisi khusus, hal ini merupakan intervensi yang terakhir jika perilaku klien sudah tidak dapat diatasi atau dikontrol dengan strategi perilaku maupun modifiskasi lingkungan. Indikasi restrain yaitu: 1) Perilaku kekerasan yang membahayakan diri sendiri dan lingkungannya. 2) Perilaku agitasi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan. 3) Klien yang mengalami gangguan kesadaran. 4) Klien yang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan rasa aman dan pengendalian diri. 5) Ancaman terhadap integritas tubuh berhubungan dengan penolakan klien untuk istirahat, makan dan minum. Prinsip dari tindakan restrain ini adalah melindungi klien dari cedera fisik dan memberikan lingkungan yang nyaman. Restrain dapat menyebabkan klien merasa tidak dihargai hak asasinya sebagai manusia, untuk mencegah perasaan tersebut perawat harus mengidentifikasi faktor pencetus pakah sesuai dengan indikasi terapi, dan terapi ini hanya untuk intervensi yang paling akhir apabila intervensi yang lain gagal mengatasi perilaku agitasi klien. b. Seklusi Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan khusus. Klien tidak dapat meninggalkan ruangan tersebut secara bebas. Bentuk seklusi berupa pengurungan diruangan tidak terkunci sampai pengurungan dalam ruangan terkunci dengan kasur tanpa seprei, tergnatung dari tingkat kegawatan klien. Indikasi seklusi yaitu klien dengan perilaku kekerasan yang mebahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Kontraindikasi dari terapi ini adalah: 1) Risiko bunuh diri. 2) Klien dengan gangguan sosial 3) Kebutuhan untuk observasi masalah medis. 4) Hukuman c. Fototerapi Fototerapi atau sinar adalah terapi somatic pilihan. Terapi ini diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar ruangan). Klien disuruh duduk dengan mata terbuka 1,5 meter, didepan klien diletakkan lampu flouresen spectrum luang setinggi mata. Waktu dan dosis terapi ini bervariasi pada tiap individu. Beberapa klien berespons jika terapi diberikan pagi hari, sementara klien lain lebih bereaksi kalau dilakukan terapi pada waktu sore hari. Semakin sinar terang, semakin efektif terapi per unit waktu. Efek samping yang terjadi setelah dilakukan terapi dapat berupa nyeri kepala, insomnia, kelelahan, mual, mata kering, keluar sekresi dari hidung atau sinus dan rasa lelah pada mata. d. ECT (Electto Convulsif Therapy) ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall. Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik depresi, klien schizofrenia stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif dari antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid, dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200- 300 mg/hari selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan tindakan ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika litium karbonat tidak berhasil. a. Peran perawat Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat dan mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan dilakukan. b. Persiapan Alat Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut: 1) Konvulsator set (diatur intensitas dan timer) 2) Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain 3) Kain kasa 4) Cairan Nacl secukupnya 5) Spuit disposibel 6) Obat SA injeksi 1 ampul 7) Tensimeter 8) Stetoskop 9) Slim suiger 10) Set konvulsator c. Persiapan klien 1) Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan dilakukan. 2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT 3) Siapkan surat persetujuan 4) Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT 5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin dipakai klien 6) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi 7) Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT 8) Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik. 9) Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal. d. Pelaksanaan. 1) Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala. 2) Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai untuk menghasilkan koma ringan. 3) Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk menghindari kemungkinan kejang umum. 4) Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat elektrode menempel. 5) Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi caira Nacl. 6) Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus kain dimasukkan dan klien diminta menggigit 7) Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan dilapisi kain 8) Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti gerak kejang 9) Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai timer berhenti dan dilepas 10) Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang (menahan tidak boleh dengan kuat). 11) Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma 12) Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger 13) Kepala dimiringkan 14) Observasi sampai klien sadar 15) Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan e. Setelah ECT 1) Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil 2) Jaga keamanan Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan, biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit. 8. Terapi Aktivitas Kelompok a. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok Secara alamiah individu selalu berada dalam kelompok sebagai contoh individu berada dalam satu keluarga. Dengan demikian pada dasarnya individu memerlukan hubungan timbal balik, hal ini bisa melalui kelompok (Direja, 2011). Menurut Yusuf A, dkk (2015) kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain, saling bergantungan, serta mempunyai norma yang sama. Penggunaan kelompok dalam praktik keperawatan jiwa memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi serta pemulihan kesehatan jiwa. Selain itu, dinamika kelompok tersebut membantu pasien meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptif. Secara umum fungsi kelompok adalah sebagai berikut: 1) Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman. 2) Berupaya memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain. 3) Merupakan proses menerima umpan balik. Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan mengubah perilaku pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Cara ini cukup efektif karena di dalam kelompok akan terjadi interaksi satu dengan yang lain, saling memengaruhi, saling bergantung, dan terjalin satu persetujuan norma yang diakui bersama, sehingga terbentuk suatu sistem sosial yang khas yang di dalamnya terdapat interaksi, interelasi, dan interdependensi. Menurut Febri (2017) terapi aktivitas kelompok adalah terapi yang diupayakan oleh perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah gangguan keperawatan yang sama. Dilakukan oleh kelompok pasien dengan cara bermusyawarah antara pasien dimana dalam musyawarah tersebut dipimpin oleh ahli terapis. Usaha dalam mengupayakan seorang psikoterapis kepada sejumlah pasien untuk meningkatkan dan memperbaiki hubungan interpersonal dalam waktu bersamaan. b. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Purwaningsih dan Karlina (2010) terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat terapeutik sebagai berikut: 1) Umum a) Meningkatkan kemampuan uji realistis (reality testing) melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain. b) Melakukan sosialisasi. c) Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif. 2) Khusus a) Meningkatkan identitas diri b) Menyalurkan emosi secara konstruktif c) Meningkatkan ketrampilan hubungan interpersonal atau sosial 3) Rehabilitasi a) Meningkatkan ketrampilan ekspresi diri b) Meningkatkan ketrampilan social c) Meningkatkan kemampuan empati d) Meningkatkan kemampuan/pengetahuan pemecahan masalah c. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Yusuf A, dkk (2015) adapun tujuan dari terapi aktivitas kelompok, yaitu: 1) Terapeutik Meningkatkan kemampuan pasien, memfasilitasi proses interaksi, membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif, serta mempelajari cara baru dalam mengatasi masalah dan melakukan sosialisasi. 2) Rehabilitatif Meningkatkan kemampuan mengekspresikan diri, kemampuan berempati, meningkatkan kemampuan sosial, serta tanggung jawabnya dalam hubungan interpersonal. Sedangkan menurut Purwaningsih dan Karlina (2010) adapun tujuan dari terapi aktivitas kelompok, yaitu: 1) Mengembangkan stimulasi kognitif Tipe : Biblioterapy Aktivitas : Menggunakan artikel, sajak, puisi, buku, surat kabar untuk merangsang dan mengembangkan hubungan dengan orang lain. 2) Mengembangkan stimulasi sensoris Tipe : Musik, seni, menari Aktivitas : Menyediakan kegiatan, mengekspresikan perasaan. Tipe : Relaksasi Aktivitas : belajar teknik relaksasi dengan cara nafas dalam, relaksasi otot, dan imajinasi. 3) Mengembangkan orientasi realitas Tipe : Kelompok orientasi realitas, kelompok validasi Aktivitas : Fokus pada orientasi waktu, tempat dan orang benar, salah bantu memenuhi kebutuhan. 4) Mengembangkan sosialisasi Tipe : Kelompok remotivasi Aktivitas : Mengorientasikan klien yang menarik diri,regresi. Tipe : Kelompok mengingatkan Aktivitas : Fokus pada mengingatkan untuk menetapkan arti positif. d. Kerangka Teoritis Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Yusuf A, dkk (2015) ada beberapa model kerangka teoritis terapi aktivitas kelompok, yaitu: 1) Model fokal konflik Dikutip dari Whiteaker dan Liebermen's, terapi kelompok berfokus pada kelompok daripada individu. Prinsipnya adalah terapi kelompok dikembangkan berdasarkan konflik yang tidak disadari. Menurut model ini pimpinan kelompok (Leader) harus memfasilitasi dan memberikan kesempatan kepada anggota untuk mengekspresikan perasaan dan mendiskusikan perasaan dan mendiskusikannya untuk penyelesaian masalah. Contohnya, adanya perbedaan pendapat antaranggota, cara masalah (perbedaan) ditanggapi anggota, dan pemimpin mengarahkan alternatif penyelesaian masalah. 2) Model Komunikasi Model komunikasi menggunakan prinsip-prinsip teori komunikasi dan komunikasi terapeutik. Diasumsikan bahwa disfungsi atau komunikasi tak efektif dalam kelompok akan menyebabkan ketidakpuasan anggota kelompok, umpan balik tidak sekuat dari kohesi atau keterpaduan kelompok menurun. Dengan menggunakan model ini leader memfasilitasi komunikasi efektif, masalah individu atau kelompok dapat diidentifikasi dan diselesaikan. Leader mengajarkan pada kelompok bahwa: a) Perlu berkomunikasi b) Anggota harus bertanggung jawab pada semua level, misalnya komunikasi verbal, nonverbal, terbuka dan tertutup. c) Pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain. d) Anggota dapat menggunakan teori komunikasi dalam membantu satu dan yang lain untuk melakukan komunikasi efektif. 3) Model Interpersonal Dikutip dari Sullivan, dikatakan bahwa tingkah laku (pikiran, perasaan, tindakan) digambarkan melalui hubungan interpersonal. Contoh: Interaksi dalam kelompok dipandang sebagai proses sebab akibat dari tingkah laku anggota lain. Pada teori ini terapis bekerja dengan individu dan kelompok. Melalui ini kesalahan persepsi dapat dikoreksi dan peeilaku sosial yang efektif dipelajari. Perasaan cemas dan kesepian merupakan sasaran untuk mengidentifikasi dan merubah tingkah laku/perilaku. Contoh: Tujuan salah satu aktivitas kelompok untuk meningkatkan hubungan interpersonal. Pada saat konflik interpersonal muncul, leader menggunakan situasi tersebut untuk mendorong anggota untuk mendiskusikan perasaan mereka dan mempelajari konflik apa yang membuat anggota merasa cemas dan menentukkan perilaku apa yang digunakan untuk menghindari atau menurunkan cemas pada saat terjadi konflik. 4) Model Psikodrama Model ini memotivasi anggota kelompok untuk berakting sesuai dengan peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang pernah lalu.Anggota memainkan peran sesuai dengan yang pernah dialami. Contoh, pasien memerankan ayahnya yang dominan atau keras. Psikodrama ini dilakukan secara spontan dan memberi kesempatan pada anggota untuk berakting di luar situasi spesifik yang pernah terjadi. e. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Yusuf A, dkk (2015) terapi aktivitas kelompok dapat dibagi menjadi: 1) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sensori pasien. Kemudian diobservasi reaksi sensori pasien berupa ekspresi emosi/perasaan melalui gerakan tubuh, ekspresi muka, dan ucapan. Aktivitas tersebut berupa: a) TAK stimulasi sensori suara, misalnya mendengar musik, b) TAK stimulasi sensori menggambar, c) TAK stimulasi sensori menonton TV/video. Tujuan: a) Meningkatkan kemampuan sensori b) Meningkatkan upaya memusatkan perhatian c) Meningkatkan kesegaran jasmani d) Mengekspresikan perasaan 2) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Orientasi Realitas Pasien diorientasikan pada kenyataan yang ada di sekitar pasien yaitu diri sendiri, orang lain yang ada di sekeliling pasien atau orang yang dekat dengan pasien, serta lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan pasien pada saat ini dan masa yang lalu. Aktivitasnya adalah sebagai berikut. a) Sesi I : pengenalan orang b) Sesi II : pengenalan tempat c) Sesi III : pengenalan waktu Tujuan: a) Penderita mampu mengidentifikasi stimulus internal (fikiran, perasaan, sensasi somatik) dan stimulus eksternal (iklim, bunyi, situasi alam sekitar) b) Penderita dapat membedakan antara lamunan dan kenyataan c) Pembicaraan penderita sesuai realita d) Penderita mampu mengenali diri sendiri e) Penderita mampu mengenal orang lain, waktu dan tempat Karakteristik: a) Penderita dengan gangguan orientasi realita (GOR); (halusinasi, ilusi, waham, dan depresonalisasi) yang sudah dapat berinteraksi dengan orang lain b) Penderita dengan GOR terhadap orang, waktu dan tempat yang sudah dapat berinteraksi dengan orang lain c) Penderita kooperatif d) Dapat berkomunikasi verbal dengan baik e) Kondisi fisik dalam keadaan sehat 3) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi Pasien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitar pasien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan massa. Aktivitas yang diberikan antara lain sebagai berikut. a) Sesi I : menyebutkan jati diri. f) Sesi II : mengenali jati diri anggota kelompok. g) Sesi III : bercakap-cakap dengan anggota kelompok. h) Sesi IV : menyampaikan dan membicarakan topik percakapan. i) Sesi V : menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain. j) Sesi VI : bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok. k) Sesi VII : menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAK sosialisasi yang telah dilakukan. Tujuan umum: Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok, berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan terhadap orang lain, mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal. Tujuan khusus: a) Penderita mampu menyebutkan identitasnya b) Menyebutkan identitas penderita lain c) Berespon terhadap penderita lain d) Mengikuti aturan main e) Mengemukakan pendapat dan perasaannya Karakteristik: a) Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan ruangan b) Penderita sering berada ditempat tidur c) Penderita menarik diri, kontak sosial kurang d) Penderita dengan harga diri rendah e) Penderita gelisah, curiga, takut dan cemas f) Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab seperlunya, jawaban sesuai pertanyaan g) Sudah dapat menerima trust, mau berinteraksi, sehat fisik. 4) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Pasien dilatih untuk mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami. Kemampuan persepsi pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam proses ini diharapkan respons pasien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif. Aktivitas yang diberikan antara lain sebagai berikut. a) Sesi I : menonton TV b) Sesi II : membaca majalah/koran/artikel c) Sesi III : gambar d) Sesi IV : (1) Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. (2) Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan fisik. (3) Mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi asertif. (4) Mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat. (5) Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah. Tujuan a) Meningkatkan kemampuan orientasi realita b) Meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian c) Meningkatkan kemampuan intelektual d) Mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain e) Mengemukakan perasaannya. Karakteristik a) Penderita dengan gangguan persepsi yang berhubungan dengan nilai-nilai b) Menarik diri dari realitas c) Inisiasi atau ide-ide negatif d) Kondisi fisik sehat, dapat berkomunikasi verbal, kooperatif dan mau mengikuti kegiatan. 5) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Peningkatan Harga Diri Pasien dilatih untuk mengidentifikasi hal-hal positif pada diri sehingga mampu menghargai diri sendiri.Kemampuan pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam proses ini, pasien diharapkan mampu merumuskan suatu tujuan hidup yang realistis. Aktivitas yang diberikan adalah sebagai berikut. a) Sesi I : identifikasi hal positif diri. e) Sesi II : menghargai hal positif orang lain. f) Sesi III : menetapkan tujuan hidup yang realistis. 6) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Mengontrol Halusinasi Pasien dilatih untuk dapat mengenal halusinasi yang dialaminya dan dilatih cara mengontrol halusinasi. Kemampuan persepsi pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam proses ini, respons pasien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan diharapkan menjadi adaptif. Aktivitas yang diberikan yaitu sebagai berikut. a) Sesi I : mengenal halusinasi g) Sesi II : mengontrol halusinasi dengan menghardik h) Sesi III : mengontrol halusinasi dengan menyusun jadwal kegiatan i) Sesi IV : mengontrol halusinasi dengan minum obat yang benar j) Sesi V : mengontrol halusinasi dengan bercakap- cakap f. Tahapan-Tahapan dalam Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Menurut Yusuf A, dkk (2015) kelompok mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan berkembang. Pemimpin yang akan mengembangkan kelompok akan melalui empat fase atau tahap, yaitu fase prakelompok, fase awal kelompok, fase kerja kelompok, dan fase terminasi kelompok. 1) Fase Prakelompok Hal penting yang harus diperhatikan saat mulai membangun kelompok adalah merumuskan tujuan kelompok.Tercapai atau tidaknya suatu tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin kelompok.Pemimpin kelompok harus melakukan persiapan dengan penyusunan proposal. 2) Fase Awal Kelompok Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuk kelompok yang baru dan peran yang baru.Fase ini dibagi menjadi tiga fase lagi, yaitu fase orientasi, konflik, dan kohesif. a) Tahap orientasi Pada tahap ini pimpinan kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan. b) Tahap konflik Peran dependen dan independen terjadi pada tahap ini. Sebagian pemimpin ingin sebagai pengambil keputusan, serta ada pula yang hanya mengarahkan dan anggota nantinya yang akan memutuskan. c) Tahap kohesif Setelah melalui tahap konflik, anggota kelompok akan merasakan ikatan yang kuat satu sama lain. Perasaan positif akan semakin saling diungkapkan. Anggota merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim dengan anggota yang lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan anggota kelompok dalam penyelesaian masalah. Pada akhirnya, anggota kelompok akan belajar bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan. Semua persamaan dan perbedaan tetap dapat mewujudkan tujuan menjadi suatu realitas. 3) Fase kerja kelompok Fase ini kelompok sudah menjadi sebuah tim yang stabil dan realistis. Bekerja keras tetapi tetap menyenangkan dan menjadi suatu tantangan bagi anggota dan pemimpin kelompok.Tugas pimpinan kelompok pada fase ini membantu kelompok mencapai tujuan dan mengurangi dampak dari hal-hal yang dapat menurunkan produktivitas kelompok. 4) Fase terminasi kelompok Terminasi dapat sementara atau permanen.Terminasi dapat pula terjadi karena anggota kelompok atau pimpinan keluar dari kelompok.Pada fase ini dilakukan evaluasi yang difokuskan pada pencapaian kelompok dan individu.Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok dapat digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari. g. Terapis Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Direja (2011) terapis adalah orang yang dipercaya untuk memberikan terapi kepada klien yang mengalami gangguan jiwa. Adapun terapis antara lain: 1) Perawat 2) Psikiater 3) Psikolog 4) Dokter 5) Fisioterapis 6) Speech terapis 7) Occupation terapis 8) Sosial worker Adapun persyaratan dan kualifikasi untuk terapi aktivitas kelompok adalah: 1) Pengetahuan pokok tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku normal dan patologi dalam budaya setempat. 2) Memiliki konsep teoritis yang padat dan logis, yang cukup sesuai untuk dipergunakan dalam memahami pikiran-pikiran dan tingkah laku yang normal maupun patologis. 3) Memiliki teknis yang bersifat terapeutik yang menyatu dengan konsep-konsep yang dimiliki melalui pengalaman klinis dengan pasien. 4) Memiliki kecakapan unruk menggunakan dan mengontrol institusi untuk membaca yang tersirat dan menggunakannya secara empatis untuk memahami apa yang dimaksuddan dirasakan pasiendibelakang kata-katanya. 5) Memiliki kesadaran-kesadaran atas harapan-harapan sendiri, kecemasan dan mekanisme pertahanan yang dimiliki dan pengaruhnya terhadap teknik terapeutiknya. 6) Harus mampu menerima pasien sebagai manusia utuh dengan segala kekurangan dan kelebihannya. h. Program Antisipasi Masalah dalam Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Yusuf A, dkk (2015) adapun program antisipasi masalah dalam terapi aktivitas kelompok: Masalah yang mungkin timbul dalam TAK antara lain sebagai berikut. 1) Adanya subkelompok. 2) Keterbukaan yang kurang 3) Resistansi baik individu maupun kelompok. 4) Adanya anggota kelompok yang drop out. 5) Penambahan anggota baru. Cara mengatasi masalah ini bergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak, dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut. Program antisipasi masalah merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang bersifat gawat darurat dalam terapi yang dapat memengaruhi proses pelaksanaan TAK. Misalnya, pasien meninggalkan permainan, maka intervensi yang diberikan panggil nama pasien, serta tanyakan alasan meninggalkan tempat dan beri penjelasan. Berikut adalah contoh struktur perencanaan terapi aktivitas kelompok. i. Peran Perawat dalam Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Direja (2011) peran perawat jiwa profesional dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok pada penderita skizofrenia adalah: 1) Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus terlebih dahulu membuat proposal. Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi: deskripsi, karakteristik klien, masalah keperawatan, tujuan dan landasan teori, persiapan alat, jumlah perawat, waktu pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas terapis. 2) Tugas sebagai leader dan co-leader Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkandan memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok. 3) Tugas sebagai fasilitator Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan. 4) Tugas sebagai observer Tujuan sebagai observer meliputi: mencatat serta mengamati respon penderita, mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani peserta/anggota kelompok yang drop out. 5) Tugas dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan terapi Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau kelompok dan adanya anggota kelompok yang drop out. Cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut. 6) Program antisipasi masalah Merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam terapi) yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok. Peran perawat psikiatri dalam terapi aktivitas kelompok adalah sebagai leader/ co leader, sebagai observer dan fasilitator serta mengevaluasi hasil yang dicapai dalam kelompok. Untuk memperoleh kemampuan sebagai leader.co leader, observer dan fasilitator dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok, perawat juga perlu mendapat latihan dan keahlian yang professional. j. Pengorganisasian Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Yusuf A, dkk (2015) pengorganisasian terapi aktivitas kelompok ialah sebagai berikut: 1) Pemimpin kelompok (leader) Tugas pemimpin kelompok adalah sebagai berikut. a) Menyusun rencana aktivitas kelompok (proposal). b) Mengarahkan kelompok dalam mencapai tujuan. c) Memfasilitasi setiap anggota untuk mengekspresikan perasaan, mengajukan pendapat, dan memberikan umpan balik. d) Sebagai “role model”. e) Memotivasi setiap anggota untuk mengemukakan pendapat dan memberikan umpan balik. 2) Pembantu pemimpin kelompok (co-leader) Tugasnya adalah membantu pemimpin dalam mengorganisir anggota kelompok. 3) Fasilitator Tugasnya adalah sebagai berikut. a) Membantu pemimpin memfasilitasi anggota untuk berperan aktif dan memotivasi anggota. b) Memfokuskan kegiatan. c) Membantu mengoordinasi anggota kelompok. 4) Observer Tugas observer antara lain sebagai berikut. a) Mengobservasi semua respons pasien. b) Mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan perilaku pasien. c) Memberikan umpan balik pada kelompok. Untuk kelompok yang telah melakukan aktivitas secara teratur, pasien yang sudah kooperatif dan stabil dapat berperan sebagai pembantu pimpinan, fasilitator, observer bahkan sebagai pimpinan.Perawat sebagai terapis perlu mengarahkan. Jumlah anggota kelompok berkisar antara 7 sampai 10 orang sedangkan lamanya aktivitas 45 sampai 60 menit. Sebelum memulai terapi, aktivitas kelompok perlu menyusun proposal sebagai pedoman pelaksanaan terapi aktivitas kelompok. DAFTAR PUSTAKA
Dalami, Hermawati. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: CV. Trans Info Media. Direja, Ade H.S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika. Febri, Fitri. 2017. 12 Terapi Aktivitas Kelompok untuk Sosialisasi. Dikutip dari https://dosenpsikologi.com/terapi-aktivitas-kelompok. Diakses pada 6 September 2018. Kusumawati dan Hartono. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika. Nasir dan Muhits. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa: Pengantar dan Teori. Jakarta: Salemba Medika. Purwaningsih dan Karlina. 2010. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika. Suliswati. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC Schultz, J. M and Videbeck, S. D. 2009. Lippincott’s Manual of Psychiatric Nursing Care Plants. Philadelphia: Lippincott. Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari Pocket Guide to Psyciatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. Edisi 3. Jakarta: EGC. Yusuf, ah. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.