Kasus PT Nike MSDM
Kasus PT Nike MSDM
PENDAHULUAN
1
Nike bukan hanya terkenal sebagai perusahaan penghasil peralatan olahraga,
namun juga terkenal sebagai perusahaan yang sering memperkerjakan anak-anak di
bawah umur. Pada standar penerimaan pegawai, Nike Internasional sebenarnya
memiliki peraturan ketat tentang perekrutan pegawai, termasuk umur minimal yang
harus dipenuhi oleh pegawai. Ternyata hal ini tidak diimplementasikan dengan baik
oleh kontraktor-kontraktor Nike di Indonesia. Aturan lengkap tentang pekerja juga
telah dirumuskan oleh Nike Internasional, dan sudah dipikirkan sedemikian rupa agar
tidak memberatkan salah satu pihak.
Kasus Nike di Indonesia ternyata didasari oleh pelanggaran yang berkaitan
dengan kaum buruh. Nike telah mereduksi kekuatan kaum buruh sehingga kaum buruh
amat rentan kehilangan pekerjaan mereka. Pabrik membuat aneka alasan yang dapat
membuat buruh merasa akan digeser ke industri lain namun dengan upah yang lebih
rendah. Buruh juga mudah kehilangan hak-haknya seperti dalam masalah pesangon,
dalam hal berserikat denngan pekerja lain, dan terutama tentang upah dan jam kerja.
Buruh juga sering mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis. Berbagai upaya
damai sudah dilakukan oleh pihak buruh kepada perusahaan, namun bukannya
ditanggapi dengan baik, buruh diancam dipecat tanpa uang pesangon. Akhirnya buruh
melakukan demonstrasi masal bersama industri-industri lain yang juga masih diketuai
oleh Nike. Protes yang terus terjadi dari pertengahan tahun 2007 lalu, baru ditanggapi
Januari 2012 ini.
1.2. Tujuan
Kasus Nike di Indonesia, sudah seharusnya menjadi pembelajaran nyata bagi
seluruh perusahaan asing di Indonesia. Paper ini mencoba untuk:
1. Menganalisis alasan terjadinya kasus Nike di Indonesia
2. Mengaitkan kasus Nike dengan kebijakan upah tenaga kerja yang dirumuskan
oleh pemerintah
2
BAB 2
LANDASAN TEORI
1. Standar kemampuan SDM; Standar kemampuan SDM yang pasti belum ada,
akibatnya informasi hanya berdasarkan ramalan-ramalan (prediksi) saja yang
bersifat subjektif. Hal ini menjadi kendala yang serius untuk proses perencanaan
sumber daya manusia, yaitu dalam penghitungan potensi SDM secara pasti.
3
2. Manusia (SDM) adalah makhluk hidup; Manusia sebagai makhluk hidup tidak
dapat dikuasai sepenuhnya seperti mesin, oleh karena itu sulit memperhitungkan
dengan pasti dalam sebuah rencana. Terkadang banyak SDM yang mampu
menjalankan tugas, namun dengan sengaja malas mengeluarkan kemampuannya.
3. Situasi SDM; Tenaga kerja yang berhasil direkrut oleh perusahaan biasanya
tidak memenuhi seluruh kebutuhan SDM perusahaan dengan baik. Jumlah,
mutu, dan penyebaran SDM dalam perusahaan yang tidak merata juga
merupakan kendala bagi jalannya manajemen SDM.
4. Kebijakan pemerintah; Kebijakan perburuhan pemerintah, seperti kompensasi,
jenis kelamin, warga negara asing (WNA), pajak, dan berbagai aturan lain,
merupakan tantangan tersendiri bagi manajemen SDM untuk membuat rencana
yang baik dan tepat.
4
alasan permintaan SDM dilingkungan sebuah organisasi. Sebab-sebab tersebut
terdiri dari:
c. Teknologi
5
Pada tahun 1970an Nike memusatkan produksinya di Jepang karena upah buruh
di Jepang lebih murah dibanding di Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun 1982,
sebagian besar produk Nike dihasilkan di Korea dan Taiwan. Namun, karena upah
buruh di kedua negara tersebut kian mahal, Nike merelokasi perusahaannya ke
Indonesia, Cina, dan Vietnam.
Produk sepatu dan pakaian olahraga Nike dengan mudah diidentifikasi oleh khas
logo perusahaan, para "swoosh" tik, dan slogan "Just Do It". Berbasis dari nama dewi
Yunani yang berarti kemenangan, Nike didirikan tahun 1964 ketika atlet sekaligus
pengusaha Oregon bernama Phillip Knight, mengagas impor sepatu lari dari Jepang
untuk bersaing dengan merek Jerman seperti Adidas dan Puma yang kemudian
mendominasi pasar Amerika Serikat. Keuntungannya adalah bahwa sepatu Jepang
lebih murah karena tenaga kerja lebih murah di Jepang.
Terlepas dari eksperimen singkat namun tidak berhasil dengan manufaktur di AS,
sepatu Nike selalu dibuat di Asia, awalnya di Jepang, kemudian di Korea Selatan dan
Taiwan, dan baru-baru ini di China dan Asia Tenggara. Nike memulai produksi di
Korea Selatan dan Taiwan pada tahun 1972, karena tertarik oleh tenaga kerja murah di
sana, dan segera bergabung dengan perusahaan lain termasuk Adidas dan Reebok.
Tapi Nike kemudian memulai langkah lebih jauh. Alih-alih memiliki pabrik sendiri,
mereka dikontrak produksi lokal di Korea dan Taiwan.
Sebagai perusahaan bos Nike Phil Knight mengatakan: "Tidak ada nilai pasti
dalam membuat sesuatu hal. Nilai tersebut akan ditambahkan oleh penelitian yang
cermat, dengan inovasi dan pemasaran" (Katz 1994). Produk Nike sekarang pada
6
dasarnya mengikuti ide dari seorang desainer dan pemasar sepatu. Industri lantas
dilakukan oleh pemasok Korea dan Taiwan. Sekali lagi, perusahaan lain mengikuti
model ini.
Pada 1980-an Nike mencoba membuat produksi di Cina, dalam kemitraan dengan
perusahaan milik negara, tapi hal ini malah mendatangkan bencana. Nike lantas
memindahkan investasinya ke Taiwan. Nike lantas mengambil keuntungan dari
ongkos tenaga kerja yang lebih murah di sana.
Pada akhir 1980-an dengan adanya pergolakan buruh di Korea Selatan, -
peningkatan tingkat upah dan hilangnya kontrol dari tempat kerja oleh otoritas Korea -
telah membuat negara tersebut menjadi kurang menarik bagi investor, baik asing
maupun dalam negeri, yang mulai mencari lokasi lain yang lebih menyenangkan. Nike
lantas memindahkan operasi mereka ke Thailand selatan dan Indonesia, dalam
mencari tenaga kerja lebih murah dan tidak merepotkan. Upah di kedua negara
tersebut disebut-sebut sebagai salah satu yang murah karena hanya memakai
seperempat tarif dari yang dibayarkan di Korea Selatan. Beberapa asosiasi Nike yang
bermarkas di Taiwan juga didirikan di Asia Tenggara.
Alasan lain untuk perpindahan ini adalah bahwa pada tahun 1988, baik Korea
Selatan dan Taiwan kehilangan akses khusus untuk pasar AS, yang telah lama mereka
nikmati sebagai status "negara berkembang" di bawah Sistem Preferensi Umum (GSP)
AS. investor Korea dan Taiwan lantas bergerak ke pabrik di Thailand, Indonesia dan
Cina dengan menggunakan pembuatan hak istimewa GSP dari negara-negara miskin.
7
Gambar 2. Proporsi Manufaktur Nike
Dari tujuh Nike pemasok atas sepatu olahraga pada tahun 1992, tiga adalah
perusahaan Taiwan yang memproduksi produknya di Cina, tiga lainnya beroperasi di
Korea Selatan, dan juga di Indonesia, satu adalah sebuah perusahaan di Thailand
(Anonim, 2011).
Pada awal tahun 1990-an, Produk Nike di hasilkan oleh enam pabrik yang
mempekerjakan 25.000 pekerja. Empat diantaranya milik suplier Nike Korea. Nike
mempunyai standar panduan kebijakan pabrik perusahaan seperti yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
” The core standards are set forth below.
1. Forced Labor. The contractor does not use forced labor in any form —
prison, indentured, bonded or otherwise.
2. Child Labor. The contractor does not employ any person below the age of 18
to produce footwear. The contractor does not employ any person below the
age of 16 to produce apparel, accessories or equipment. If at the time Nike
8
production begins, the contractor employs people of the legal working age
who are at least 15, that employment may continue, but the contractor will
not hire any person going forward who is younger than the Nike or legal age
limit, whichever is higher. To further ensure these age standards are
complied with, the contractor does not use any form of homework for Nike
production.
9
Pada kutipan di atas daat dilihat dengan pasti bahwa Nike membuat kesepakatan
yang ideal mengenai buruhnya. Nike tidak akan memperkerjakan buruh di bawah
umur, akan memberikan upah yang layak, memberikan banyak keuntungan bagi
buruh, dan memberikan semua hak buruh setiap kali lembur (Baroroh, 2011).
Peraturan di atas dilengkapi juga dengan panduan kebijakan Nike, yaitu:
Karyawan kontraktor tidak bekerja lebih dari 60 jam per minggu, atau jam kerja
reguler dan lembur yang diperbolehkan oleh undang-undang di negara produsen, pilih
yang paling sedikit. Jam kerja lembur disetujui oleh kedua belah pihak dan
mendapatkan kompensasi dengan bayaran premium. Karyawan berhak atas minimal
24 jam istirahat secara berturut-turut untuk setiap periode tujuh hari.
10
BAB 3
PEMBAHASAN
Salah satu masalah yang mereka soroti adalah kasus kontraktor Nike di
Karawang, Jawa Barat, PT Chang Shin (PT CS). Perusahaan ini telah memproduksi
Nike selama satu tahun, produk Nike yang mereka produksi ada dua jenis yaitu untuk
running shoes dan sepatu anak-anak. Seorang pekerja mereka Pak Karyana terpilih
menjadi pimpinan serikat pekerja di PT CS, namun tidak ada fasilitas apapun yang
diterima Pak Karyana untuk memimpin serikat pekerja di sana. Pak Karyana menjadi
target intimidasi oleh manajemen perusahaan.Akibat tingkah laku Pak Karyana yang
selalu mengkritisi isu-isu pekerja di PT CS membuat manajemen mengambil sikap
untuk membubarkan serikat pekerja. Pak Karyana juga diancam oleh manajer disana,
11
Pak Sutikno, dan dituntut dengan Pasal 158 Poin E. Pak Karyana masih terus
diintimidasi sampai sekarang.
Kasus Nike berikutnya datang dari PT Hardaya Aneka Shoes Industri (HASI) dan
PT Naga Sakti Paramashoes (NASA). NASA dan HASI adalah dua pabrik yang
selama ini memproduksi sepatu Nike, namun tanpa alasan yang tidak jelas Nike
memutuskan kontrak. Pegawai kedua perusahaan tersebut yang jumlahnya mencapai
14.000 orang pun dibuat gelisah, mereka semua terancam di PHK. Surat pemutusan
kontrak datang tanggal 6 Juli 2007, dan menyatakan bahwa kontrak akan berakhir
tahun 2008 ini. CEO HASI, Ibu Hartati beranggapan Nike hanya mengada-ada tentang
pemutusan kontrak, HASI termasuk sebagai 15 besar pabrik Nike dengan performa
terbaik, bahkan return produk hanya 2%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibanding
pabrik Nike lainnya yang mencapai 11-12%. Semua tuntutan Nike terhadap kinerja
hanya masalah administratif, dan terkesan tidak masuk akal. Ibu Hartati yakin bahwa
standard produk dari HASI dan NASA sudah sangat memenuhi permintaan Nike. Jadi
tidak mungkin pemutusan kontrak terjadi karena kualitas buruk.
Tidak cukup dengan masalah pemutusan kontrak secara sepihak, keluhan tentang
manajemen Nike juga terjadi di Sukabumi, Jawa Barat. Pou Chen Group, sebuah
perusahaan asal Taiwan, telah memproduksi Converse yang telah diambil Nike selama
empat tahun terakhir ini. Salah seorang pekerja mereka mengatakan bahwa supervisor
Pou Chen Group sangat tidak memperhatikan hak-hak pekerja. Ia pernah ditendang
oleh supervisor saat salah memotong sol sepatu. Pekerja bingung harus melakukan
tindakan apa, jika mereka diam maka akan terus disiksa, namun jika mereka membawa
berita ini keluar, mereka akan dipecat dengan tidak hormat.
Pabrik ini memiliki 10.000 orang pekerja yang didominasi oleh perempuan.
Mereka menerima bayaran 50 sen per jam, makanan, dan barak untuk menginap. Pada
Maret dan April lalu pekerja dipukul hingga lengannya terluka, bahkan sampai
berdarah. Ketika pekerja mengeluhkan tindakan tersebut, tanpa pertimbangan apapun
akan langsung dipecat.
Kasus penganiayaan pekerja juga terjadi di PT Amara, pabrik Nike yang juga
memproduksi Converse. Para supervisor dengan sengaja menjemur 6 orang pekerja
perempuan mereka di bawah terik matahari saat mereka gagal menyelesaikan target 60
lusin sepatu di waktu yang telah ditentukan. Ketika 6 perempuan tersebut menangis,
setelah dijemur selama 2 jam di bawah terik matahari, mereka kembali diijinkan untuk
bekerja. Supervisor PT Amara sebenarnya telah mendapatkan surat peringatan dari
12
serikat pekerja tentang peristiwa tersebut. Namun kasus yang sama terus berulang
(Megasari, 2011).
Hampir di seluruh pabrik Nike di Indonesia melakukan pelanggaran jam kerja,
fakta di lapangan menunjukkan bahwa:
a. 50% hingga 100% buruh Nike, jam kerja melebihi yang ditentukan oleh Code of
Conduct.
b. 25% hingga 50% pabrik Nike, buruh bekerja selama 7 hari dalam seminggu.
c. 25% hingga 50% pabrik Nike, jam kerja buruh melebihi jam kerja yang diatur
secara hukum.
Fakta lain yang mengejutkan adalah mengenai upah para buruh yang tidak
sebanding dengan harga sepasang sepatu yang dibandrol oleh Nike. Gaji sebulan dari
buruh pabrik HASI (tidak termasuk lembur) yang sudah bekerja selama 10 tahun
sebesar Rp 900.000,- atau sama dengan $97,8 (dengan kurs Rp 9.200/ $1) yang berarti
mereka hanya mendapatkan RP 30.000,-/harinya atau setara dengan $ 3,3. Dengan
pendapatan harian sebesar $3,3 terebut mereka bisa membuat sejumlah sepatu Nike
yang dijual oleh pabrik ke Nike di kisaran $11-$20. Sedangkan untuk satu pasang
sepatu Nike bisa dijual seharga $60 (Rp 552.000,-). Berdasarkan gambaran tersebut,
Nike sudah dipastikan tidak menghargai buruh dengan sepantasnya. Mengingat
dengan gaji Rp 900.000,-/bulan bagi buruh pabrik yang tinggal di Tangerang adalah
jauh dari cukup karena harga kebutuhan maupun ongkos transportasi semakin
meningkat.
Sepasang sepatu Nike bisa berharga lebih dari 100 dollar AS. Nike jelas mampu
mengeruk uang dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan Nike mampu membayar
Michael Jordan sebesar 20 juta dollar per tahun untuk membantu menciptakan citra
Nike. Demikian pula Andre Agassi yang bisa memperoleh 100 juta dollar untuk
kontrak iklan selama 10 tahun. Sementara itu bos dan dedengkot Nike Inc, Philip H.
Knight, mengantongi gaji dan bonus sebesar 864.583 dollar dan 787.500 dollar pada
tahun 1995. Jumlah ini belum termasuk stok Nike sebesar 4,5 biliun dollar. Dari harga
sepatu sekitar 100 dollar AS tersebut, hanya sekitar 2,46 dollar per hari yang
13
disisihkan untuk buruh di Indonesia. Itupun dihitung sebelum ada krisis moneter.
Sementara buruh di Vietnam hanya menerima 1 dollar.
Fakta yang terjadi di lapangan sangatlah berbeda dengan standar panduan
kebijakan. Tidak ada fakta yang berpihak pada kaum buruh. Tuntutan buruh Nike
kepada PT Nike Indonesia untuk membayar pesangon juga menjadi isu bisnis sejak
tahun 2007 lalu. Buruh meminta kontrak dilanjutkan atau Nike harus membayar
pesangon kepada pekerja yang telah membesarkan Nike di Indonesia selama 18 tahun.
Pihak Nike tidak kalah bukti dengan HASI dan NASA, Nike mengatakan bahwa
memang produksi Nike di HASI dan NASA sudah tidak lagi memenuhi standar yang
berlaku, bahkan sering terlambat untuk mengantarkan produk jadi ke distributor
tertentu. Nike mengaku hanya akan memutuskan kontrak dengan HASI dan NASA
namun tetap bekerja sama dengan pabrik lain di Indonesia.
Akhirnya di awal tahun 2012 ini, Dilansir dari harian Washington Post, Kamis 12
Januari 2012, pembayaran lembur dari Nike akan dimulai awal bulan depan. Menurut
Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang mewakili 4.500 pekerja PT Nikomas, pabrik
pembuat sepatu Nike di Banten, Nike tidak membayar upah 600.000 jam lembur
selama dua tahun.
Bambang Wirahyoso, ketua SPN, mengatakan bahwa uang lembur sebesar US$1
juta diperoleh setelah melakukan negosiasi selama 11 bulan. Jumlah ini pun
menurutnya masih terlalu kecil dibandingkan apa yang dialami pekerja di Nikomas
selama 18 tahun. Kendati demikian, Bambang memberikan opini bahwa kasus ini akan
menjadi cambuk pagi pergerakan pekerja Indonesia. Perusahaan Nike dalam
pernyataannya mengatakan akan melakukan koreksi kinerja dalam kesejahteraan
pekerja. Nike juga akan menawarkan program pelatihan dan membentuk gugus tugas
untuk menampung aspirasi pekerja. Nike mendukung pabrik-pabrik dalam rencana
aksi mereka dan upaya mengoreksi kekurangan pada kebijakan yang ada untuk
melindungi hak-hak pekerja. Nike akan terus memonitor dan mendukung upaya
serikat pekerja untuk memperbaiki keadaan.
3.2. Pembahasan
Kasus Nike di Indonesia sangat terkait dengan masalah manajemen sumber daya
manusia. Nike telah melaggar beberapa aturan dalam serikat buruh, melihat dari kasus
14
yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan kesalahan manajemen Nike adalah
sebagai berikut:
1. Tidak ada keadilan kinerja untuk pekerja.
8. Pekerja merasa terancam dan terpaksa bekerja karena takut menerima upah
lebih rendah lagi.
9. Upah yang diterima pekerja dibawah standar hidup layak, padahal mereka
bekerja di atas jam kerja normal.
12. Pekerja wanita yang berasal dari Jawa lebih diutamakan karena upah lebih
rendah.
15
Gambar 4. Diagram Komposisi Pegawai di Nike Indonesia
Semua kesalahan ini akan berdampak buruk bagi perusahaan baik itu dalam
jangka waktu pendek atau panjang. Berikut akibat-akibat yang mungkin diterima
perusahaan:
1. Kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan menurun berkelanjutan.
2. Pekerja tidak loyal pada perusahaan dan dengan cara apapun berharap
perusahaan bangkrut.
3. Pekerja akan beralih dengan cepat saat ditawarkan pekerjaan dengan tingkat
upah lebih tinggi.
7. Seperti yang telah terjadi pihak penanam modal (Nike Internasional) akan
memutuskan kontrak kerja karena kualitas menurun.
16
9. Pekerja merasa jalan kekerasan lebih baik daripada duduk berdikusi dengan
damai.
10. Efek jangka panjangnya akan mempengaruhi kesan penanam modal asing di
Indonesia, jika kinerja Indonesia buruk maka penanam modal enggan
menginvestasikan dana mereka.
17
Gambar 5. Diagram hubungan kasus Nike di Indonesia
Kekerasan yang terjadi dalam pabrik ketika pegawai tidak mampu memenuhi
target produksi semata-mata dilakukan untuk mempertahankan kinerja pabrik tersebut.
Kualitas SDM Indoneia yang memnag masih rendah membuat pabrik harus
memperlakukan pekerja mereka dengan keras. Jika sampai kualitas menurun maka
resiko terbesarnya adalah pemutusan kontrak. Hanya dari perpanjangan kontrak ini lah
pabrik-pabrik yang hidup dari investor asing mampu bertahan. Sangat wajar jika
penanam modal menarik modal ketika pabrik tidak mampu mempertahankan kualitas.
Hukum di Indonesia juga menyatakan bahwa seharusnya pesangon dibayarkan
oleh kontraktor Indonesia (HASI dan NASA) yang memperkerjakan para pegawai,
bukan Nike selaku pembeli produk. Pengaturan upah lembur juga secara resmi berada
di tangan kontraktor, namun aturan resminya berasal dari Nike. Posisi pekerja semakin
lemah saat pihak kontraktor secara tidak langsung dikekang oleh target dari Nike.
Sisi pekerja juga sebenarnya tidak sepenuhnya salah, sudah sepantasnya pekerja
menerima hak mereka. Keterbatasan sumber daya dari pihak kontraktor
melatarbelakangi upah rendah. Usut punya usut dinyatakan bahwa harga beli oleh
Nike terlalu rendah, sehingga ruang bergerak kontraktor untuk bermain dana juga
sangat terbatas. Standar minimum upah yang diberlakukan oleh pemerintah dan
18
berbagai aturan lain dari pemerintah juga tetap harus dipenuhi oleh kontraktor dan
Nike Indonesia, ini juga menjadi kendala dalam manajemen SDM mereka.
1. Pemerintah
Perkuat prinsip pemerintah untuk mengutamakan kepentingan rakyat.
Permudah peraturan investasi asing di Indonesia, sehingga investor bisa
masuk dengan mudah.
Perbaiki moral pemain pemerintah untuk menegakkan peraturan.
Tinjau ulang upah minimum regional untuk pekerja.
Audit dilakukan secara annual ke setiap perusahaan asing di Indonesia.
Ciptakan tenaga kerja yang terampil dengan pelatihan.
Berikan pemahaman pada pekerja, bahwa pemerintah akan melindungi
gerakan mereka, sejauh itu sesuai dengan peraturan.
2. Kontraktor (Produsen)
Tegakkan peraturan yang telah diatur oleh perusahaan asing dengan
baik dan benar.
19
Lakukan mediasi dengan pihak asing jika dirasa ada peraturan yang
memberatkan.
Buat serikat pekerja yang terkoneksi dengan seluruh kontraktor dari
penanam modal yang sama.
Hindari hukuman fisik dengan pekerja, lakukan jika memang pekerjaan
mereka membutuhkan kekuatan fisik.
Berikan pelatihan dan pemberian motivasi untuk menguatkan hubungan
kekeluargaan anatara pekerja dan perusahaan.
Jangan kalah dengan ancaman perusahaan asing, karena sesuangguhnya
mereka juga membutuhkan Indonesia.
Berikan upah sesuai dengan aturan, tanpa memanadang pekerja lokal
atau pekerja asing.
Perkuat hubungan dengan NGO dan serikat pekerja nasional.
Berikan reward yang sesuai jika pekerja melakukan pekerjaan dengan
baik dibanding standar yang berlaku.
Berikan fasilitas agar pekerja dapat sharing dengan pekerja dari industri
asing lain.
4. Pekerja
Beranikan diri untuk mengungkapkan apa yang terjadi dalam
perusahaan melalui NGO terkait.
20
Jika memang sudah tidak sanggup menerima beban pekerjaan maka
lebih baik keluar.
Menurut Erman, ada dua pilihan penyelesaian masalah Nike ini. Pertama,
pemerintah berharap Nike memperpanjang kontrak dengan Nasa dan HASI. Kedua,
kontrak diperpanjang tapi dengan produk lain yang terafiliasi dengan Nike. Erman
b\mengatakan Nike harus memegang prinsip agar para pekerja tidak terputus.
21
hanya bisa menunggu karena kepercayaan asing ke Indonesia sudah hilang saat ini.
Tergantung Nike.
Dia juga menegaskan sikap pemerintah terhadap kasus ini menjadi sorotan dari
pebisnis seluruh dunia. Dia mengatakan kalau pemerintah tetap berkeras mendukung
Hartati Murdaya (dalam arti memaksa Nike membayar pesangon), investor asing bakal
pergi dari Indonesia.
22
BAB 4
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
1. Kasus Nike terjadi karena pekerja merasakan banyak ketidakadilan, terutama
terkait dengan upah yang rendah, pekerja di bawah umur, uang lembur yang
tidak dibayar, pesangon yang terancam tidak dibayar, jam kerja melebihi jam
kerja normal, larangan secara tidak langsung untuk berserikat, dan kekerasan
fisik yang kerap kali terjadi.
2. Pemerintah memang menerapkan upah yang rendah untuk buruh, hal ini
dilandasi oleh alasan: kualitas pekerja memang masih rendah, jumlah
pengangguran banyak, dan memperkuat keunggulan kompetitif bangsa sebagai
tempat investasi yang dapat mereduksi biaya produksi.
3. Perlu ada manajemen sumber daya yang baik antara pemerintah, kontraktor
(produsen), NGO, dan pekerja untuk mencapai target dan memenuhi peraturan
dari perusahaan asing penanam modal. Namun harus tetap dikritisi jika terdapat
peraturan yang memberatkan pihak lokal.
4.2. Saran
1. Peningkatkan kualitas sumber daya manusia sangat diperlukan disamping
kuantitas yang besar.
23
DAFTAR PUSTAKA
24