Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperhidrosis adalah pengeluaran keringat berlebih akibat gangguan


otonom kronik yang dapat mengarahkan seseorang memiliki kecenderungan
emosional yang sukar untuk bersosialisasi, seperti di tempat kerja, fisik dan
gangguan psikologis. Dalam kebanyakan kasus, penyebab hiperhidrosis tidak
diketahui. Hiperhidrosis primer dimulai pada masa anak-anak dan
mempengaruhi 0,6% -1% dari populasi. Varian genetik dari pewarisan
autosomal dominan diakui sekarang berhubungan dengan beberapa keluarga,
yaitu kelainan kromosom 14q.1
Kriteria diagnostik untuk hiperhidrosis termasuk keringat berlebihan yang
berlangsung setidaknya enam bulan tanpa penyebab yang jelas dan setidaknya
dua dari kriteria berikut: gangguan aktivitas sehari-hari, pola bilateral dan
relatif simetris, berkeringat terjadi setidaknya sekali seminggu, usia onset
lebih muda dari 25 tahun, penghentian berkeringat terjadi saat tidur atau
riwayat keluarga yang positif. Hiperhidrosis obat sekunder (misalnya
sertraline), induksi toksin (akrilamida), oleh penyakit sistemik (penyakit
endokrin dan metabolik, tumor, lesi sumsum tulang belakang) yang
disebabkan oleh kelainan bawaan seperti dysautonomia familial (sindrom
Riley-Day), atau kemungkinan kompensasi tubuh.1
Hiperhidrosis kompensasi adalah fenomena di mana ada peningkatan
berkeringat di bagian tubuh yang tidak terkait dengan lokasi pengobatan atau
dalam kasus operasi, tidak terkait dengan operasi atau anatomi.Hal ini sering
terlihat pada segmen bawah tingkat simpatektomi, yang dilakukan untuk
pengobatan. Hiperhidrosis gustatori (biasanya melibatkan wajah) didapat dari
keluarga atau terjadi dengan hubungan trauma atau luka lokal lainnya. Sebuah
survei epidemiologi pada tahun 2004 memperkirakan bahwa lebih dari 0,5%
dari populasi Amerika Serikat menderita hiperhidrosis dengan gangguan
utama dalam kegiatan sehari-hari.1

2.1 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini untuk menjelaskan tentang hiperhidrosis dan


memberikan informasi tentang anatomi, fisiologi serta metode pengobatan
dari hiperhidrosis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi kelenjar keringat

Kulit terdiri dari tiga lapisan : epidermis, dermis, dan jaringan


subkutan (panniculus). Epidermis adalah lapisan terluar dan aksesoris-
aksesorinya (rambut, kuku, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat) berasal
dari lapisan ektoderm embrio. Dermis berasal dari mesoderm.2

Gambar 1. Struktur kulit2

Kelenjar keringat ditemukan pada kulit sebagian besar permukaan


tubuh. Kelenjar keringat diklasifikasikan menjadi:
a. Kelenjar keringat Ekrin
Kelenjar keringat ekrin penting dalam pengaturan suhu tubuh.
Manusia mempunyai sekitar sampai tiga juta kelenjar keringat ekrin
yang menutupi hampir seluruh permukaan tubuh. Kelenjar ini
terutama banyak terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki.
Masing-masing terdiri dari gulungan (koil, coil) penghasil sektret
yang terdapat pada dermis bagian dalam, dan sebuah duktus yang
menyalurkan keringat ke permukaan. Kelenjar ekrin mensekresi air,
elektrolit, laktat, urea, dan amonia. Koil tersebut menghasilkan
keringat yang isotonik, tetapi natrium klorida diserap kembali dalam

3
duktus sehingga keringat yang mencapai permukaan bersifat
hipotonik. Kelenjar keringat ekrin dikendalikan oleh sistem saraf
simpatis, dan sebagai neurotransmitter adalah asetikolin.3
Fungsi utama kelenjar ekrin adalah (1) mengatur pelepasan panas,
(2) ekskresi air dan elektrolit, (3) mempertahankan keasaman
permukaan kulit sehingga mencegah kolonisasi kuman patogen.4

b. Kelenjar keringat Apokrin


Kelenjar keringat apokrin terutama banyak ditemukan di daerah
kulit aksila dan anogenital. Yang merupakan kelenjar apokrin khusus
adalah wax gland (kelenjar lilin) di telinga dan kelenjar susu pada
payudayara. Kelenjar apokrin juga terdiri dari koil penghasil sekret
dan duktus, tetapi duktus bermuara pada folikel rambut, tidak
langsung mencapai permukaan kulit. Kelenjar apokrin menghasilkan
sekret berminyak yang mengandung protein, karbohidrat, amonia, dan
lemak. Kelenjar ini menjadi aktif pada saat pubertas, dan sekresinya
dikontrol oleh serabut saraf adrenergik. Bau badan yang timbul dari
ketiak (axillaris bromhidrosis) timbul karena adanya bakteri pada
sekret apokrin.3,4

2.2 Definisi

Hiperhidrosis berarti keringat berlebihan. Hal ini dapat bersifat lokal


atau mempengaruhi seluruh tubuh. Berkeringat dikendalikan di otak, yang
mengirimkan sinyal di sepanjang saraf yang disebut "saraf simpatis" ke
kelenjar keringat kecil di kulit. Saraf ini merupakan bagian dari " sistem
saraf otonom" yang mengendalikan banyak fungsi tubuh tanpa disadari.
Berkeringat yang berlebihan adalah respon normal dari kenaikan suhu
tubuh, dan emosi seperti kecemasan.5

4
2.3 Etiologi

Hiperhidrosis diklasifikasilan menjadi hiperhidrosis primer dan


sekunder. Penyebab berkeringat yang tidak diketahui digolongkan dalam
hiperhidrosis primer. Secara umum yang berhubungan dengan tiap kondisi
obat, endokrin, neurologi dan yang lainnya digolongkan dalam hiperhidrosis
sekunder.6,7
Pada hiperhidrosis primer, meski dikatakan tidak jelas penyebabnya
bukan berarti tidak memiliki penyebab. Terjadinya keringat yang berlebihan
diduga karena adanya masalah pada sistem saraf simpatik, diperkirakan
bahwa dalam kasus hiperhidrosis primer, otak mengirimkan sinyal ke
kelenjar ekrin, meskipun tidak ada kebutuhan untuk mendinginkan tubuh.7
Selain itu hiperhidrosis primer juga dipengaruhi oleh faktor genetik
dimana ia dapat terjadi jika ada salah satu keluarga yang mengalami
hiperhidosis. Sementara pada hiperhidrosis sekunder, penyebab terjadinya
dapat dipicu oleh faktor kehamilan, menopause, kegelisahan, gula darah
rendah (hipoglikemia), kelenjar tiroid yang terlalu aktif (hipertiroidisme),
kegemukan, pengunaan obat obatan tertentu, beberapa infeksi, seperti
tuberkulosis dan HIV, penyakit Parkinson dan gangguan pada sel-sel darah
atau sumsum tulang, seperti limfoma Hodgkin (kanker sel darah putih),
serta gangguan endokrine, ganggaun kardiovaskular, gangguan respirasi,
dan stress.6,7,8

2.4 Epidemiologi

Hiperhidrosis dapat terjadi pada pria dan wanita diantara usia 18-54
tahun dan mulai dapat terjadi pada masa anak-anak atau remaja. Jika
hiperhidrosis ideopatic terjadi pada anak-anak area yang paling sering
ditemui adalah pada bagian telapak tangan, dimana hiperhidrosis axila
sering terjadi pada remaja.7,8

5
Prevalensi dari jumlah rata-rata hiperhidrosis berkisar 2%-4%
diseluruh dunia. Di Amerika jumlah dari salah satu penelitian prevalensinya
berkisar 2,9% dengan 50% dari kelompok ini yang memiliki hiperhidrosis
axila. Kontribusi komponen genetik yang diberikan dari keluarga yang
positif hiperhidrosis primer pada pasien adalah 30% sampai 65 %.8

2.5 Patofisiologi

Terdapat empat juta kelenjar keringat terdistribusi diseluruh tubuh


manusia. Glandula keringat ekrin, berhubungan dengan hiperhidrosis,
keberadaanya terdapat diseluruh tubuh tetapi lebih tebal pada lokasi telapak
tangan, telapak kaki, axilla dan dahi. Kelenjar keringat apokrin adalah
kelenjar campuran yang memiliki tujuh kali lebih tinggi produksinya di
bandingkan kelenjar keringat ekrin dan ini sudah tulis oleh beberapa peneliti
sebagai patofisiologi hiperhidrosis. Kelenjar keringat ekrin di inervasi oleh
serabut kolinergik, dimana kelenjar apokrin di inervasi oleh serabut
adrenergik. Ini bukan kuantitaif ataupun kualitatif perubahan histopatologi
pada kelenjar keringat ekrin dari pasien hiperhidrosis.7
Secara alami hiperhidrosis adalah gangguan kompleks primer dan
stimulasi berlebih pada sistem saraf simpatis akibat defek pada hipotalamus
yang mengarahkan terkuncinya pengaturan feedback regulator pada
termoreseptor perifer. Sekarang ini pengaturan untuk oksidasi nitrat pada
patofisiologi merupakan utama hiperhidrosis. Pasien hiperhidrosis terdapat
peningkatan jumlah oksidasi nitrit ketika dibandigkan dengan orang sehat.
Sintesis oksidasi nitrat ditemukan pada kelenjar keringat ekrin, yang
mungkin berfungsi sebagai neurotransmiter atau induksi lokal vasodilatasi
yang mengarah ke berlebihnya kelenjar keringat. Pada 30-50% kasus
hiperhidrosis mempengaruhi genetik. Salah satu studi terpercaya
mengatakan kromosom 14 (locus 14q11.2q13) dalam perkembangan utama
hiperhidrosis primer. Sejauh ini faktor genetik adalah dominan autosomal
dengan variabel penetransi. Diketahui keringat yang berlebih tidak terjadi

6
selama indikasi tidur yang berperan sebagai faktor emosi pada patofisiologi
penyakit ini. Walaupun secara umum hiperhidrosis ini tidak tergantung pada
gangguan emosional, tetapi lebih mengarah ke gangguan fisiologis.7
Gangguan ini bisa terjadi di palmar, plantar, aksila dan kurang pada
kraniofasial dan regio lipat paha yang dapat terjadi pada suhu yang tidak
respektif, stres atau bahagia. Berkeringat dapat berlangsung terus-menerus
atau bertahap, jika berlangsung terus, keringat dapat menjadi masalah di
musim panas. Hiperhidrosis fokal primer yang berat terkait dengan
berkurangnya kualitas hidup. Gejala diawali pada masa kanak-kanak atau
masa pubertas dan bisa terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan.
Tingkat keparahan dari hiperhidrosis ini bisa intermiten, telapak tangan dan
telapak kaki yang lembab setiap hari, yang sering membutuhkan handuk
untuk mengeringkannya. Gangguan ini berlangsung lama dan bisa terjadi
perbaikan spontan setelah 35 tahun. Korteks cingulat anterior, yang
mengatur respon keringat telapak tangan dan telapak kaki dapat memodulasi
hipotalamus. Pasien ini memiliki refleks bradikardia yang kurang
dibandingkan dengan subyek kontrol dalam merespon manuver Valsava
atau imersi wajah, tetapi vasokonstriksi kulit lebih tinggi, menunjukkan
bahwa peningkatan aliran simpatis melewati ganglia T2-T3.3

Gambar 1. Hiperhidrosis Palmar

7
Berkeringat yang hanya terlokalisir pada bibir, dahi, kulit kepala,
dan hidung sewaktu makan makanan panas dan makanan pedas adalah
fisiologis pada banyak orang melalui refleks trigeminovaskular. Patologis
hiperhidrosis gustatory adalah asimetris, intens, dan dapat memproduksi
banyak keringat pada trunkus dan bahkan ekstremitas. Penyebabnya
adalah penyimpangan regenerasi serat parasimpatis wajah. Dengan
demikian, stimuli gustatory yang sebelumnya disebabkan parotis, kelenjar
ludah, atau sekresi lambung bisa juga menyebabkan berkeringat pada
distribusi saraf simpatis yang rusak. Yang paling umum terjadi adalah
sindrom Frey, di mana berkeringat pada saraf aurikulotemporal setelah
trauma, abses, atau operasi pada regio parotis. Gustatory sweating terkait
dengan simpatektomi servikal, herpes zoster fasialis, atau trauma chorda
tympani dan telah dilaporkan pada cluster headache, neuropati diabetes,
ensefalitis, siringomielia, dan invasi cervikal trunkus simpatik oleh tumor.3

2.6 Diagnosis

Pasien dengan hiperhidrosis primer dengan keluhan yang berlebihan


(paling sering bilateral) berkeringat pada aksila, telapak tangan, telapak kaki
atau wajah. Diagnosis hiperhidrosis idiopatik primer dibuat berdasarkan
kriteria menurut Hornberger et al. Dengan anamnesis yang tepat dan
pemeriksaan klinis sudah cukup untuk mendiagnosis, tanpa perlu tes
tambahan. Tes yodium kecil digunakan untuk zona lokasi keringat
berlebihan dan evaluation pengobatan. Penyebab sekunder, misalnya
neuropati, dapat didiagnosis dengan melakukan test termogulasi keringat.
Gravimetri adalah alat kuantitatif untuk mengukur berkeringat, yang paling
berguna dalam uji klinis untuk menilai hasil pengobatan dengan objektif.
Kriteria untuk berkeringat berlebihan tergantung pada lokasi dan jenis
kelamin. Satu studi mendefinisikan rata-rata keringat 50-100 mg/5 menit
tiap axilla yang dibutuhkan untuk diagnosis hyperhidrosis axilla.7

8
Kriteria diagnosis hiperhidrosis primer menurut hornberger et al :
keringat selalu muncul setidaknya selama minimal 6 bulan tanpa penyebab
yang jelas, selain itu selalu diikuti dari 2 atau lebih karakter berikut,6,7,9 :
1. Bilateral dan relatif simetris
2. Mempengaruhi aktifitas keseharian pasien
3. Frekuensi lebih dari satu kali seminggu
4. Onset hiperhdrosis kurang dari umur 25 tahun
5. Riyawat keluarga
6. Tidak ada berkeringat malam

2.7 Terapi

Terapi farmakologis untuk hiperhidrosis dapat dibagi menjadi lima


kategori yaitu pengobatan topikal, sistemik, dan iontoporetik, suntikan
toksin botolinum (BoNT), dan teknik pembedahan.1

a. Topikal
Aluminum cloride hexahydrate adalah agen topikal utama untuk
hiperhidrosis. Mekanisme aksinya yaitu penyebab kerusakan fisik
saluran ekrin adalah penggabungan keratin fibril intraduktus dengan
alumunium klorida sehingga membentuk sumbatan. Obat ini hanya
efektif pada kasus-kasus hiperhidrosis ringan yaitu pada axilla,
telapak tangan dan telapak kaki. Efek samping yang paling umum
adalah iritasi pada kulit, kemungkinan karna konsetrasi yang tinggi.
Konsentrasi awal yang diberikan dengan etanol absolut atau gel asam
salisilat pada axilla 10-20% (hingga 35%), pada palmar/plantar 20%
(hingga 50%), ini diberikan pada waktu tidur di daerah kering,
kemudian cuci setalah 6-8 jam. Frekuensi penggunaan 3-7 kali
perminggu sampai keringat normal.1,7,11

9
b. Sistemik
Antikolinergik (glikopirolat, methathelinebromida, oxybutinin) dan
agonis alpa adrenergik (clonidine) yang paling sering digunakan
dalam praktek klinis. Antikolinergik bekerja dengan menghambat
kompetitif dari asetilkolin pada reseptor muskarinik (afinitas untuk
reseptor M3 dalam jaringan kelenjar). Dosis optimal untuk setiap agen
ini masih dalam penelitian, namun dosis yang sering kali digunakan
dalam klinis: glycopyrrolate 1-2 mg dua kali sehari, oxybutinin 5-7,5
mg dua kali sehari, dan methantheline bromide 50 mg dua kali sehari.
Efek samping bisa dapat melumpuhkan, dan mulut kering, penglihatan
kabur, sulit berkemih, pusing, takikardia dan kebingungan.
Kontraindikasi meliputi myastenia gravis, pyloric stenosis, glaucoma
sudut sempit, illeus paralitik. Hati-hati memberikan pada pasein yang
memiliki penyakit gastroesophogeal refluks, glaukoma, obstruksi
saluran kandung kemih, dan isufiensi jantung. Clonidine diberikan 0,1
mg dua kali sehari adalalah agen antihipertensi yang meningkatkan
fungsi reseptor alfa adrenergik (α2 agonist) menghambat output
simpatik. Efek sampingnya termasuk mulut kering, pusing, susah
buaang air besar, sedasi, dan gejala asimtomatik penurunan tekanan
darah. Agen oral memiliki penggunaan untuk semua subtipe
hiperhidrosis (axilla, palmoplantar, craniofacial/ gustatori).1,6,7,11

c. Tap Water Iontophoresis


Tap Water Iontophoresis (TWI) didefinisikan sebagai pengenalan
dari substansi ion dan peraplikasi secara langsung pada kulit.
Mekanisme kerja tap water iontophoresis ini belum diketahui, tetapi
pengobatan ini efektif untuk menghambat sekresi keringat.
Pengobatan TWI ini hanya sekitar 20-30 menit, tiap tiga sampai empat
kali perminggu. Teknik TWI adalah dengan cara masing-masing
telapak tangan atau kaki di tempatkan di wadah kecil dengan di isi
tap water dengan arus 15-20mA. Efek samping dari tap water

10
iontophoresis adalah eritema, rasa terbakar, dan pembentuk vesikel
sementara pada telapak tangan dan kaki. Keuntungan penggunaan
TWI adalah hemat biaya dan efesien untuk penggunaan hiperhidrosis
palmar atau plantar serta harus dipertimbangkan ketika pengobatan
topikal gagal. 1,6,7,11.

d. Botulinum Toxins
BoNTs bekerja dengan cara memblokir pelepasan asetilkolin dan
sejumlah neurotransmitter lain dari vesikel presinaptik dengan
menonaktifkan protein snare. Di Amerika serikat ada empat jenis
BoNTs yang disetujui FDA untuk yang digunakan oleh klinik :
onabotulinumtoxinA (A/Ona, Botox), incobotulinumtoxinA (A/Inco,
Xeomin), abobotulinumtoxinA (A/Abo, Dysport) dan
rimabotulinumtoxinB (B/Rima, Myobloc). Aksi setiap toxin ini
menggunakan protein presinaptik yang berbeda. Misalnya, untuk
protein A/Abo adalah synaptin 25. Untuk B/Rima itu Synaptobrevin,
yang dikenal sebagai vesicle-associated membrane protein (VAMP).
Kontraindikasi mutlak untuk injeksi BoNT termasuk infeksi kulit dan
alergi terhadap bahan formulasi BoNT. Kontraindikasi relatif meliputi
penyakit kelemahan otot (ALS, Lou Gehrig), disfagia (myasthenia
gravis atau lambert eaton syndrom) dan gangguan pernapasan. Dosis
yang digunakan untuk axilla 1 U/cm2 (50-100 U/ axilla), palmar 1,5-2
U/cm2 (100-150 U/ palmar), plantar 1,5-2 U/cm2 (150-200 U/ plantar).
Frekuensi pemberian sekali saja, dan ulangi sekali lagi bila
pengobatan gagal. Perawatan setiap 4-6 bulan. Efek samping dari
pengobatan ini adalah terasa nyeri pada area injeksi, dan terjadi
kelemahan otot sementara.1,7,11

11
Gambar 2. pola area yang di gunakan untuk injeksi palmar. 1

Gambar 3. Pola area yang digunakan untuk injeksi axilla. 1

e. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan tersedia untuk pasien hiperhidrosis yang gagal
merespon terapi pengobatan sebelumnya. Prosedur ini meliputi1,6,7,10:
1. Eksisi jaringan : melibatkan eksisi kelenjar keringat ketiak,
biasanya permanen dan memiliki efektivitas 50-90%. Efek
sampingnya termasuk infeksi, pendarahan, penyembuhannya agak
lama dan hipertrofi.1,7
2. Laser : sudah dilakukan sejak 2009 di inggris, prosedur ini
melibatkan penghacuran kelenjar keringat yang dihancurkan oleh

12
laser. Prosedur ini efektif pada pasien hiperdrosis axila. Efek
sampingnya dapat menyebabkan infeksi dan membutuhkan waktu
2-3 minggu untuk sembuh.6
3. Endoscopic sympathectomi transthoracic : melibatkan
penghancuran ganglia simpatis yang menyebabkan kelenjar
keringat dapat memproduksi keringat berlebihan melalui eksisi.
Hal ini efektif untuk axila, telapak tangan, hiperhidrosis wajah
dengan resiko kambuh kembali. Hal ini dapat menyebabkan
kompensasi hiperhidrosis dan ketidakpuasan pasien, infeksi luka,
komplikasi neuropati dan serangan jantung.1,10

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Hiperhidrosis atau keringat berlebihan adalah gangguan otonom kronik
yang dapat mengarah seseorang memiliki kecenderungan emosional yang
sukar bersosialisasi.
2. Hiperhidrosis diklasifikasikan menjadi hiperhidrosis primer; berkeringat
yang tidak diketahui penyebabnya atau karena faktor genetik dan
hiperhidrosis sekunder; dapat dipicu oleh faktor kehamilan, menoupase,
gangguan endokrin dan stress.
3. Hiperhidrosis dapat terjadi pada pria dan wanita yang berusia 18-54 tahun
dan mulai terjadi pada masa anak-anak atau remaja. Area yang paling
sering di jumpai pada anak-anak adalah telapak tangan, sedangkan pada
remaja pada bagian axila.
4. Kriteria diagnosis hiperhidrosis primer yaitu keringat selalu muncul
setidaknya selama minimal 6 bulan tanpa penyebab yang jelas.
5. Pengobatan untuk hiperhidrosis dapat dilakukan dengan cara pemberian
obat topikal, sistemik, iontoporetik, suntikan toksin botulinum dan teknik
pembedahan.

3.2 Saran
Penting untuk mengetahui cara mendiagnosa hiperhidrosis sehingga
dengan demikian penanganan dapat teratasi dengan tepat.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Lakraj D. AA, Moghimi N, Jabbari B. Hyperhidrosis : Anatomi,


Pathophysiologi and Treatment with Emphasis on the Role of Botulinum
Toxins volume 5. Toxins Journal.2013. p.821-840.
2. James WD, Berger GT, Elston D, Disease of the skin clinical dermatology
tenth edition. Elsevier, Philadelphia: 2006.
3. Tabri Farida, hiperhidrosis pada anak. Al Hayaatun Mufidah, Jakarta:
2016.
4. Rihatmaja R, Anatomi dan Faal kulit in Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
edisi ketujuh. Jakarta. 2015. P. 3-6
5. Health & Care information yo can trust, Hyperhidrosis. British Association
of dermatologist 2014. Accessed from
http://www.sweathelp.org/article/overviewon januari, 2016.
6. Benson RA, Palin R, Holt PJE, Loftus MI, Diagnosis and management of
hyperhidrosis, BMJ. Accessed from http://www.bmj.com/permissions on
Januari, 2016.
7. Horrens I, Ongenae K. Primary focal hyperhidrosis: current treatment
options and a step-by-step approach volume 26. Journal of the European
Academy of Dermatology and Venereology, 2012.p 1-8.
8. Lear W, Kessler E, Nowel BA, Glasser A, an epidemiologi study of
Hyperhidrosis, by the American society for dermatologic surgery inc.2007.
p. 69-75.
9. Mohebbi HA, Mehvarz A, Emami S, Manoochehry S. comprasion
between R2-R4 and sympathiocomy for Primary hyperhidrosis volume 3,
no 4. Minim Invansive Surg Sci, 2014. p. 1-5
10. Tanja S, Dietrich M, Birklein F, hyperhidrosis- Causes and Treatment of
enhaced sweating volume 3, Deutsches Arzteblatt International, 2009.

15
11. Grunfeld A, Murray C, Solish N. Botulinum toxin for hyperhidrosis.
American Journal of Clinical Dermatology volume 10 no 2. 2009. p.87-
102.

16

Anda mungkin juga menyukai