Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEGAWAT DARURATAN GIGITAN BINTANG

OLEH KELOMPOK
AFLAH NINDYADITYA N.
WIDDYA
NUR SINTA DEVI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)


MUHAMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji sukur kehadiran allah swt,kami dari kelompok membuat makalah ini bertujuan untuk
memberitahu kepada pembaca tentang “ MAKALAH KEGAWAT DARURATAN GIGITAN
BINTANG” yang kami ketahui. Semoga bagi rekan-rekan yang membaca dapat medapatkan
ilmu yang bermanfaat dari makala yang kami buat. Kami membuat makalah ini juga bertujuan
agar mendapat nilai yang memuaskan dari dosen pembimbing kami, semoga dosen pembimbing
kami dapat menenerima makalah yang kami buat.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan
keterbatasan pengetahuan dan waktu yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna menyempurnakanmalakah ini
dimasa yang akan datang agar lebih baik.

Pringsewu, Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Insect Bite atau gigitan serangga adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan
serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin atau alergen yang dikeluarkan artropoda
penyerang. Kebanyakan gigitan dan sengatan digunakan untuk pertahanan. Gigitan
serangga biasanya untuk melindungi sarang mereka. Sebuah gigitan atau sengatan dapat
menyuntikkan bisa (racun) yang tersusun dari protein dan substansi lain yang mungkin
memicu reaksi alergi kepada penderita. Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan
dan bengkak di lokasi yang tersengat.

2. Epidemiologi
Gigitan dan sengatan serangga mempunyai prevalensi yang sama di seluruh
dunia. Dapat terjadi pada iklim tertentu dan hal ini juga merupakan fenomena musiman,
meskipun tidak menutup kemungkinan kejadian ini dapat terjadi disekitar kita.
Prevalensinya sama antara pria dan wanita. Bayi dan anak-anak labih rentan terkena
gigitan serangga dibanding orang dewasa. Salah satu faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit ini yaitu terjadi pada tempat-tempat yang banyak serangga, seperti di
perkebunan, persawahan, dan lain-lain.

3. Etiologi
Secara sederhana gigitan dan sengatan lebah dibagi menjadi 2 grup yaitu
Venomous (beracun) dan Non Venomous (tidak beracun). Serangga yang beracun
biasanya menyerang dengan cara menyengat, misalnya tawon atau lebah, ini merupakan
suatu mekanisme pertahanan diri yakni dengan cara menyuntikan racun atau bisa melalui
alat penyengatnya. Sedangkan serangga yang tidak beracun menggigit dan menembus
kulit dan masuk mengisap darah, ini biasanya yang menimbulkan rasa gatal. Ada 30 lebih
jenis serangga tapi hanya beberapa saja yang bisa menimbulkan kelainan kulit yang
signifikan. Kelas Arthropoda yang melakukan gigitan dan sengatan pada manusia terbagi
atas :
a. Kelas Arachnida: Acarina, Araneae (Laba-Laba), Scorpionidae (Kalajengking)
b. Kelas Chilopoda dan Diplopoda
c. Kelas Insecta: Anoplura (Phtirus Pubis, Pediculus humanus, capitis et corporis),
Coleoptera (Kumbang), Diptera (Nyamuk, lalat), Hemiptera ( Kutu busuk, cimex),
Hymenoptera (Semut, Lebah, tawon), Lepidoptera ( Kupu-kupu), Siphonaptera (
Xenopsylla, Ctenocephalides, Pulex)
4. Patogenesis
Gigitan atau sengatan serangga akan menyebabkan kerusakan kecil pada kulit,
lewat gigitan atau sengatan antigen yang akan masuk langsung direspon oleh sistem imun
tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang kompleks. Reaksi terhadap antigen
tersebut biasanya akan melepaskan histamin, serotonin, asam formic atau kinin. Lesi
yang timbul disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap antigen yang dihasilkan melalui
gigitan atau sengatan serangga. Reaksi yang timbul melibatkan mekanisme imun. Reaksi
yang timbul dapat dibagi dalam 2 kelompok :
a. Reaksi immediate
1) Ditandai dengan reaksi lokal atau reaksi sistemik.
2) Timbul lesi karena adanya toksin yang dihasilkan oleh gigitan atau sengatan
serangga.
3) Nekrosis jaringan yang lebih luas dapat disebabkan karena trauma endotel yang
dimediasi oleh pelepasan neutrofil. Spingomyelinase D adalah toksin yang
berperan dalam timbulnya reaksi neutrofilik. Enzim Hyaluronidase yang juga
ada pada racun serangga akan merusak lapisan dermis sehingga dapat
mempercepat penyebaran dari racun tersebut.
b. Reaksi delayed.

5. Manifestasi Klinis
Banyak jenis spesies serangga yang menggigit dan menyengat manusia, yang
memberikan respon yang berbeda pada masing-masing individu, reaksi yang timbul dapat
berupa lokal atau generalisata. Reaksi lokal yang biasanya muncul dapat berupa papular
urtikaria. Papular urtikaria dapat langsung hilang atau juga akan menetap, biasa disertai
dengan rasa gatal, dan lesi nampak seperti berkelompok maupun menyebar pada kulit.
Papular urtikaria dapat muncul pada semua bagian tubuh atau hanya muncul terbatas
disekitar area gigitan. Pada awalnya, muncul perasaan yang sangat gatal disekitar area
gigitan dan kemudian muncul papul-papul. Papul yang mengalami ekskoriasi dapat
muncul dan akan menjadi prurigo nodularis.
Vesikel dan bulla dapat muncul yang dapat menyerupai pemphigoid bullosa,
sebab manifestasi klinis yang terjadi juga tergantung dari respon sistem imun penderita
masing-masing. Infeksi sekunder adalah merupakan komplikasi tersering yang
bermanifestasi sebagai folikulitis, selulitis atau limfangitis. Pada beberapa orang yang
sensitif dengan sengatan serangga dapat timbul terjadinya suatu reaksi alergi yang
dikenal dengan reaksi anafilaktik. Anafilaktik syok biasanya disebabkan akibat sengatan
serangga golongan Hymenoptera, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada sengatan
serangga lainnya. Reaksi ini akan mengakibatkan pembengkakan pada muka, kesulitan
bernapas, dan munculnya bercak-bercak yang terasa gatal (urtikaria) pada hampir seluruh
permukaan badan. Prevalensi terjadinya reaksi berat akibat sengatan serangga adalah
kira-kira 0,4%, ada 40 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat. Reaksi ini biasanya
mulai 2 sampai 60 menit setelah sengatan. Dan reaksi yang lebih berat dapat
menyebabkan terjadinya syok dan kehilangan kesadaran dan bisa menyebakan kematian
nantinya. sehingga diperlukan penanganan yang cepat terhadap reaksi ini.

6. Pemeriksaan Penunjang
Dari gambaran histopatologis pada fase akut didapatkan adanya edema antara sel-
sel epidermis, spongiosis, parakeratosis serta sebukan sel polimorfonuklear. Infiltrat
dapat berupa eosinofil, neutrofil, limfosit dan histiosit. Pada dermis ditemukan pelebaran
ujung pembuluh darah dan sebukan sel radang akut. Pemeriksaan pembantu lainnya yakni
dengan pemeriksaan laboratorium dimana terjadi peningkatan jumlah eosinofil dalam
pemeriksaan darah. Dapat juga dilakukan tes tusuk dengan alergen tersangka.

7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat aktivitas diluar rumah yang
mempunyai resiko mendapat serangan serangga seperti di daerah perkebunan dan taman.
Bisa juga ditanyakan mengenai kontak dengan beberapa hewan peliharaan yang bisa saja
merupakan vektor perantara dari serangga yang dicurigai telah menggigit atau
menyengat.

8. Diagnosis Banding
Reaksi yang diakibatkan oleh sengatan atau gigitan serangga kebanyakan
menyerupai erupsi kulit yang lainnya. Seperti yang dapat dilihat reaksi yang diakibatkan
oleh serangga menunjukkan adanya papul-papul. Bila kita menduga terjadi reaksi akibat
gigitan atau sengatan serangga, maka kita harus memperoleh anamnesis dengan cermat
adanya kontak dengan serangga, menanyakan tentang pekerjaan dan hobi dari seseorang
yang mungkin dapat menolong kita mendiagnosis kelainan ini. Dibawah ini merupakan
beberapa diagnosis banding dari reaksi akibat gigtan atau serangan serangga antara lain :
a. Prurigo
Biasanya kronik, berbentuk papula/nodula kronik yang gatal. Mengenai ekstremitas
terutama pada permukaan anterior paha dan tungkai bawah.
b. Dermatitis Kontak
Biasanya jelas ada bahan-bahan kontaktan atau alergen, lesi sesuai dengan tempat
kontak.

9. Penatalaksanaan
Terapi biasanya digunakan untuk menghindari gatal dan mengontrol terjadinya
infeksi sekunder pada kulit. Gatal biasanya merupakan keluhan utama, campuran topikal
sederhana seperti menthol, fenol, atau camphor bentuk lotion atau gel dapat membantu
untuk mengurangi gatal, dan juga dapat diberikan antihistamin oral seperti
diphenyhidramin 25-50 mg untuk mengurangi rasa gatal. Steroid topikal dapat digunakan
untuk mengatasi reaksi hipersensitifitas dari sengatan atau gigitan. Infeksi sekunder dapat
diatasi dengan pemberian antibiotik topikal maupun oral, dan dapat juga dikompres
dengan larutan kalium permanganat.Jika terjadi reaksi berat dengan gejala sistemik,
lakukan pemasangan tourniket proksimal dari tempat gigitan dan dapat diberikan
pengenceran Epinefrin 1 : 1000 dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB diberikan secara subkutan
dan jika diperlukan dapat diulang sekali atau dua kali dalam interval waktu 20 menit.
Epinefrin dapat juga diberikan intramuskuler jika syok lebih berat. Dan jika pasien
mengalami hipotensi injeksi intravena 1 : 10.000 dapat dipertimbangkan. Untuk gatal
dapat diberikan injeksi antihistamin seperti klorfeniramin 10 mg atau difenhidramin 50
mg. Pasien dengan reaksi berat danjurkan untuk beristirahat dan dapat diberikan
kortikosteroid sistemik.

10. Prognosis
Prognosis dari gigitan serangga sebenarnya baik, tapi tergantung jenis serangga serta
racun yang dimasukkannya ke dalam tubuh manusia. Dan apabila terjadi syok anafilaktik
maka prognosisnya bergantung dari penangan yang cepat dan tepat.

B. GIGITAN ULAR
1. Pengertian
Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Racun binatang
adalah merupakan campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat
menimbulkan beberapa reaksi toksik yang berbeda pada manusia. Sebagian kecil racun
bersifat spesifik terhadap suatu organ, beberapa mempunyai efek pada hampir setiap
organ. Kadang-kadang pasien dapat membebaskan beberapa zat farmakologis yang dapat
meningkatkan keparahan racun yang bersangkutan. Komposisi racun tergantung dari
bagaimana binatang menggunakan toksinnya. Racun mulut bersifat ofensif yang
bertujuan melumpuhkan mangsanya, sering kali mengandung faktor letal. Racun ekor
bersifat defensive dan bertujuan mengusir predator, racun bersifat kurang toksik dan
merusak lebih sedikit jaringan Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa
tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid
yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya
terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama
protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

2. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan Viperidae.
Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan pendarahan. Banyak
bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap dilokasi pada anggota badan yang
tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam
waktu 8 jam.Daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada beberapa macam :
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic) Bisa ular yang bersifat
racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan)
sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah
merah), sehingga sel darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar
menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada
selaput tipis (lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic) Yaitu bisa ular yang merusak dan
melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan
jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan
tampak kebiru-biruan dan hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya
mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat,
seperti saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah
melalui pembuluh limfe.
c. Bisa ular yang bersifat Myotoksin Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering
berhubungan dengan maemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan
ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.
d. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin Merusak serat-serat otot jantung yang
menimbulkan kerusakan otot jantung.
e. Bisa ular yang bersifat cytotoksin Dengan melepaskan histamin dan zat
vasoaktifamin lainnya berakibat terganggunya kardiovaskuler.
f. Bisa ular yang bersifat cytolitik Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan
nekrose di jaringan pada tempat gigitan.
g. Enzim-enzim Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.

3. PATHWAY
4. Patofisiologi
Bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan daya toksin. Toksik tersebut
menyebar melalui peredaran darah yang dapat mengganggu berbagai system. Seperti,
sistem neurogist, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan. Pada gangguan sistem
neurologis, toksik tersebut dapat mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem
pernapasan yang dapat mengakibatkan oedem pada saluran pernapasan, sehingga
menimbulkan kesulitan untuk bernapas. Pada sistem kardiovaskuler, toksik mengganggu
kerja pembuluh darah yang dapat mengakibatkan hipotensi. Sedangkan pada sistem
pernapasan dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan terjadi koagulopati hebat yang
dapat mengakibatkan gagal napas.
5. Manifestasi Klinis
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular.
Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena
darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit). Sindrom kompartemen merupakan
salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu terjadi oedem (pembengkakan) pada
tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa),
paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness (denyutan). Tanda dan gejala khusus pada
gigitan family ular :
a. Gigitan Elapidae Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang,
ular cabai, coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
 Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
 Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
 15 menit setelah digigit ular muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis
urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah
menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat terjadi dalam 24
jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo,
cirinya:
 Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
 Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
 Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiida Misalnya, ular laut, cirinya:
 Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
 Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria
yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis),
ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
 Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae
antivenin.
 Anemia, hipotensi, trombositopeni. Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa
dapat dibagi ke dalam beberapa kategori: Efek lokal, digigit oleh beberapa ular
viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah
gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh.
Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
 Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen.
Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau
luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau
bahkan kematian.
 Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada
sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara
dan bernafas, dan kesemutan.
 Kematian otot, bisa dari russellâs viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang
mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
 Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada
mata.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaaan kimia darah, hitung sel darah lengkap,
penentuan golongan darah dan uji silang, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial,
hitung trombosit, urinalisis, penentuan kadar gula darah, BUN dan elektrolit. Untuk
gigitan yang hebat, lakukan pemeriksaan fibrinogen, fragilitas sel darah merah, waktu
pembekuan dan waktu retraksi bekuan.

7. Penatalaksanaan
a. Prinsip penanganan pada korban gigitan ular:
 Menghalangi penyerapan dan penyebaran bisa ular.
 Menetralkan bisa.
 Mengobati komplikasi.
b. Pertolongan pertama : Pertolongan pertama, pastikan daerah sekitar aman dan ular
telah pergi segera cari pertolongan medis jangan tinggalkan korban. Selanjutnya
lakukan prinsip RIGT, yaitu:
 R : Reassure : Yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istirahatkan korban,
kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi sehingga racun akan lebih
cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/panik karena kaget.
 I : Immobilisation : Jangan menggerakan korban, perintahkan korban untuk
tidak berjalan atau lari. Jika dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak
datang, lakukan tehnik balut tekan (pressure-immoblisation) pada daerah sekitar
gigitan (tangan atau kaki) lihat prosedur pressure immobilization (balut tekan).
 G : Get : Bawa korban ke rumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
 T : Tell the Doctor : Informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul ada
korban.
c. Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):
 Balut tekan pada kaki :
1) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
2) Keringkan sekitar luka gigitan.
3) Gunakan pembalut elastis.
4) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
5) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik
ke atas.
6) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
7) Jangan melepas celana atau baju korban.
8) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai
menghambat aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap
pink).
9) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
 Balut tekan pada tangan :
1) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut).
2) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
3) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
4) Pasang papan sebagai fiksasi.
5) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan Marilynn E. Doenges (2000: 871-873), dasar data pengkajian
pasien, yaitu:
a. Aktivitas dan Istirahat Gejala : Malaise.
b. Sirkulasi Tanda : Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama
hasil curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer
hiperdinamik), lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c. Integritas Ego Gejala : Perubahan status kesehatan. Tanda : Reaksi emosi yang kuat,
ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri.
d. Eliminasi Gejala : Diare.
e. Makanan/cairan Gejala : Anoreksia, mual/muntah. Tanda : Penurunan berat badan,
penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).
f. Neorosensori Gejala : Sakit kepala, pusing, pingsan. Tanda : Gelisah, ketakutan,
kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
g. Nyeri/Kenyamanan Gejala : Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/
pruritus umum..
h. Pernapasan Tanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan. Gejala :
Suhu umunya meningkat (37,95oC atau lebih) tetapi mungkin normal, kadang
subnormal (dibawah 36,63oC), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
i. Seksualitas Gejala : Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
j. Integumen.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
b. Nyeri akut berhubungan dengan luka bakar kimia pada mukosa gaster, rongga oral,
respon fisik, proses infeksi, misalnya gambaran nyeri, berhati-hati dengan abdomen,
postur tubuh kaku, wajah mengkerut, perubahan tanda vital.
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.

3. Intervensi
a. Gangguan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan reaksi endotoksin.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan ganggaun
jalan nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil:
 Menunjukkan bunyi napas jelas
 frekuensi pernapasan dalam rentang normal
 bebas dispnea/sianosis.
Intervensi:
 Pertahankan jalan napas klien.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru
 Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan
sirkulasi endotoksin.
 Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
 Sering ubah posisi.
 Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
 Berikan O2 melalui cara yang tepat.
 Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis.
b. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan nyeri
dapat teratasi dengan kriteria hasil:
 Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
 Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh tubuh rileks
 Berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
 Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
 Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui
penyebab nyeri.
 Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang
 Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
 Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.

c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,


dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
hipertermi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
 Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC),
 Dan bebas dari kedinginan.
Intervensi :
 Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
 Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk
mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan
suhu tubuh.
 Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
 Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat
membuat kulit kering.
 Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
 Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
DAFTAR PUSTAKA

Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadbrata, Siti Setiati; Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV
Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I Made, EGC,
Jakarta http
Siregar RS. Prof. Dr. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta : EGC ; 2000 p.
174-175
Rohmi Nur. Insect Bites. [online] 2006 [cited 2008 June 04] : [ 3 screens]. Available from :
http://www.fkuii.org/tiki-index.php?page=Insect+Bites7
Bites and Sting. In: Bolognia JL Lorizzo JL, Rapini RP,eds. Dermatology Volume.1. London:
Mosby; 2003.p.1333-35
Ngan Vanessa. Insect Bites and Stings. [Online] 2008 [cited 2008 June 4] : [4 screnns].
Available from : http://www.dermnet.com/image.cfm?imageID=1875
Rube J. Parasites, Arthropods And Hazardous Animals Of Dermatologic Significance. In:
Moschella SL, Hurley HJ, eds. Dermatology Volume 1. 2nd ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company; 1985.p.1923-88
Wilson C.Arthropod Bites And Sting. In: Fitzpetrick TB Eisen AZ, Wolf K, Freedberg IM,
Austen KF.eds. Dermatology in General Medicine, 4th ed.USA: McGraw-Hill;
1993.p.2685-95

Anda mungkin juga menyukai