Anda di halaman 1dari 15

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori

Beberapa bahan dapat tiba-tiba menjadi getas dan patah karena perubahan
temperatur dan laju regangan, walaupun pada dasarnya logam tersebut liat.
Gejala ini biasa disebut transisi liat getas, yang merupakan hal penting ditinjau
dari penggunaan praktis bahan. Patahan patah getas bersifat getas sempurna,
yaitu tanpa adanya deformasi plastis sama sekali, jadi berbeda dengan bidang
slip biasa, patah terjadi pada bidang kristalografi spesifik pada bidang
pecahan. Permukaan patah dari bidang pecahan mempunyai kilapan yang
menunjukkan pola secara makrokospik pada arah yang menuju titik permulaan
patah. Patah getas terjadi pada pangkal takikan benda uji, jadi bahan tiba-tiba
patah tanpa deformasi plastis. Secara praktis patahan buatan seperti itu tidak
pernah terjadi pada struktur mesin, tetapi mesin selalu mempunyai bagian
yang terdapat konsentrasi tegangan dan mungkin mempunyai cacat pada lasan,
jadi adanya cacat yang bekerja seperti takikan tidak dapat dihindari, meskipun
bahan tersebut merupakan bahan yang ulet. (Dani, 2013)

Pengujian impak charpy banyak dipergunakan untuk menentukan kualitas


bahan. Batang uji dengan takikan 2 mm V notch, paling banyak dipakai. Di
samping itu lebih dari 30 jenis batang uji diusulkan termasuk jenis yang
memancing retak lelah. Pada pengujian kali ini akan dipergunakan batang uji
berbentuk bulat berdiameter 8 mm dengan takikan bentuk V (V notch).
Pengujian impak charpy dilakukan untuk mengetahui sifat liat dari bahan yang
ditentukan dari banyaknya energi yang dibutuhkan untuk mematahkan batang
uji dengan sekali pukul. Uji impak merupakan teknik yang digunakan untuk

3
mengkarakterisasi patahan material yang sulit dilakukan pada uji tarik
khususnya untuk material yang memiliki transisi deformasi yang sangat kecil.
Pemilihan uji impak penting karena :
1. Deformasi dapat dilakukan pada temperatur yang rendah
2. Laju deformasi yang tinggi
3. Adanya notch dapat didekati dengan tegangan triaxial

B. Pengertian Pengujian Impak

Material mungkin mempunyai kekuatan tarik tinggi tetapi tidak tahan dengan
beban kejut. Untuk menentukannya perlu diadakan pengujian impak.
Ketahanan impak biasanya diukur dengan metode Charpy atau Izood yang
bertakik maupun tidak bertakik. Beban diayun dari ketinggian tertentu untuk
memukul benda uji, yang kemudian diukur energi yang diserap oleh
perpatahannya.

Impact test merupakan suatu pengujian yang dilakukan untuk menguji


ketangguhan suatu specimen bila diberikan beban secara tiba-tiba melalui
tumbukan. Ketangguhan adalah ukuran suatu energy yang diperlukan untuk
mematahkan atau merusak suatu bahan yang diukur dari luas daerah dibawah
kurva tegangan regangan. Suatu bahan mungkin memiliki kekuatan tarik yang
tinggi tetapi tidak memenuhi syarat untuk kondisi pembebanan kejut. Suatu
paduan memiliki parameter ketangguhan terhadap perpatahan yang
didefinisikan sebagai kombinasi tegangan kritis dan panjang retak. (Rusnoto,
2013)

Prinsip pengujian impak ini adalah menghitung energy yang diberikan oleh
beban(pendulum) dan menghitung energi yang diserap oleh spesimen. Pada
saat beban dinaikkan pada ketinggian tertentu, beban memiliki energi
potensial maksimum, kemudian saat akan menumbuk spesimen energi kinetik
mencapai maksimum. Energi kinetik maksimum tersebut akan diserap
sebagian oleh spesimen hingga specimen tersebut patah.

4
Nilai Harga Impak pada suatu spesimen adalah energi yang diserap tiap satuan
luas penampang lintang spesimen uji.

Gambar 2.1 Ilustrasi skematis pengujian Impak


(https://www.google.co.id/search?q=alat+uji+impak)

Para peneliti kepatahan getas logam telah menggunakan berbagai bentuk


benda uji untuk pengujian impak bertakik. Secara umum benda uji
dikelompokkan kedalam dua golongan standar Antara lain :
1. Metoda Charpy
Pada metoda ini banyak digunakan di Amerika Serikat, dan merupakan
cara pengujian dimana spesimen dipasang secara horizontal dengan kedua
ujungnya berada pada tumpuan, sedangkan takikan pada spesimen
diletakkan di tengah-tengah dengan arah pembebanan tepat diatas takikan.

Pada metoda memiliki beberapa kelebihan seperti:


a. lebih mudah dipahami dan dilakukan
b. Menghasilkan tegangan uniform di sepanjang penampang
c. Harga alat lebih murah
d. Waktu pengujian lebih singkat

5
dan memiliki beberapa kekurangan seperti :
a. Hanya dapat dipasang pada posisi horizontal
b. Spesimen dapat bergeser dari tumpuannya karena tidak dicekam
c. Pengujian hanya dapat dilakukan pada spesimen yang kecil
d. Hasil pengujian kurang dapat atau tepat dimanfaatkan dalam
perancangan karena level tegangan yang diberikan tidak rata.

Gambar 2.2 Peletakan spesimen berdasarkan metoda charpy


(https://faraland.wordpress.com)

2. Metoda Izood
Pada metoda ini banyak digunakan di Eropa terutama Inggris dan
merupakan cara dimana specimen berada pada posisi vertical pada
tumpuan dengan salah satu ujungnya dicekam dengan arah takikan pada
arah gaya tumbukan. Tumbukan pada specimen dilakukan tidak tepat pada
pusat takikan melainkan pada posisi agak diatas dari takikan.

Gambar 2.3 Peletakan spesimen berdasarkan metoda izood


(https://faraland.wordpress.com)

6
Pada metoda memiliki beberapa kelebihan seperti:
a. Tumbukan tepat pada takikan karena benda kerja dicekam
b. Dapat menggunakan spesimen dengan ukuran yang lebih besar.
c. Spesimen tidak mudah bergeser karena dicekam pada salah satu
ujungnya

dan memiliki beberapa kekurangan seperti :


a. Biaya pengujian yang lebih mahal
b. Pembebanan yang dilakukan hanya pada satu ujungnya, sehingga
hasil yang diperoleh kurang baik
c. Waktu yang digunakan cukup banyak karena prosedur pengujiannya
yang banyak, mulai dari menjepit benda kerja sampai tahap pengujian

C. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Impak

Adapun hal-hal yang mempengaruhi impak/ketangguhan suatu bahan dapat


terjadi karena antara lain :
1. Bentuk takikan
Bentuk takikan amat berpengaruh pada ketangguahan suatu material,
karena adanya perbedaan distribusi dan konsentrasi tegangan pada masing-
masing takikan tersebut yang mengakibatkan energi impak yang
dimilikinya berbeda-beda pula. Berikut ini adalah urutan energi impak
yang dimiliki oleh suatu bahan berdasarkan bentuk takikannya.
a. Takikan segitiga
Memiliki energi impak yang paling kecil, sehingga paling mudah patah.
Hal ini disebabkan karena distribusi tegangan hanya terkonsentrasi
pada satu titik saja, yaitu pada ujung takikan.
b. Takikan segi empat
Memiliki energi yang lebih besar pada takikan segi tiga karena
tegangan terdistribusi pada 2 titik pada sudutnya.
c. Takikan Setengah lingkaran

7
Memiliki energi impak yang terbesar karena distribusi tegangan
tersebar pada setiap sisinya, sehingga tidak mudah patah

2. Kadar Karbon
Material yang memiliki kadar karbon yang tinggi memiliki sifat yang kuat
dan getas sehingga membutuhkan energi yang tidak besar sedangkan
material yang kadar karbonnya rendah memiliki sifat yang ulet dan lunak
sehingga membutuhkan energi yang besar dalam perpatahannya.

3. Beban
Semakin besar beban yang diberikan , maka energi impak semakin kecil
yang dibutuhkan untuk mematahkan spesimen, dan demikian pun
sebaliknya. Hal ini diakibatkan karena suatu material akan lebih mudah
patah apabila dibebani oleh gaya yang sangat besar.

4. Temperatur
Semakin tinggi temperatur dari spesimen, maka ketangguhannya semakin
tinggi dalam menerima beban secara tiba-tiba, demikian pun sebaliknya,
dengan temperatur yang lebih rendah. Namun temperatur memiliki batas
tertentu dimana ketangguhan akan berkurang dengan sendirinya.

5. Transisi ulet rapuh


Hal ini dapat ditentukan dengan berbagai cara, misalnya kondisi struktur
yang susah ditentukan oleh sistem tegangan yang bekerja pada benda uji
yang bervariasi, tergantung pada cara pengusiaannya. sehingga harus
digunakan sistem penekanan yang berbeda dalam berbagai persamaan.

6. Efek komposisi ukuran butir


Ukuran butir berpengaruh pada kerapuhan, sesuai dengan ukuran besarnya.
Semakin halus ukuran butir maka bahan tersebut akan semakin rapuh
sedangkan bila ukurannya besar maka bahan akan ulet.

8
7. Perlakuan panas dan perpatahan
Perlakuan panas umumnya dilakukan untuk mengetahui atau mengamati
besar-besar butir benda uji dan untuk menghaluskan butir. Sedangkan
untuk menambah keuletan suatu bahan dapat dilakukan dengan
penambahan logam.

8. Pengerasan kerja dan pengerjaan radiasi


Pengerasan kerja terjadi yang ditimbulkan oleh adanya deformasi plastis
yang kecil pada temperatur ruang yang melampaui batas atau tidak luluh
dan melepaskan sejumlah dislokasi serta adanya pengukuran keuletan pada
temperatur rendah. Pengerasan kerja ini akan menimbulkan berapakah pada
logam karena peningkatan komplikasi akibat pembentukan dislokasi yang
saling berpotongan. (Singer, 1985)

D. Tipe-Tipe Perpatahan

Adapun tipe-tipe perpatahan yang dapat terjadi pada spesimen uji dalam
pengujian impak antara lain :
1. Perpatahan transgranular atau juga disebut patah lelah yang umumnya
terjadi pada struktur body center cubic yang dibuat pada temperatur
rendah. Perpatahan Transgranular merupakan perpatahan yang terjadi
akibat retakan yang merambat didalam butiran material.

Gambar 2.4 Patah transgranular atau patah lelah


(http://danidwikw.wordpress.com)

9
2. Perpatahan intergranular yaitu perpatahan yang terjadi akibat retakan yang
merambat diantara butiran material yang kerap dikatakan sebagai
perpatahan khusus. Pada berbagai paduan didapatkan berbagai
keseimbangan yang sangat peka antara tegangan yang diperlukan untuk
perambatan retak dengan pembelahan dan tegangan yang diperlukan untuk
perpatahan rapuh sepanjang batas butir.

E. Jenis-Jenis Perpatahan

Adapun jenis-jenis perpatahan yang dapat terjadi pada spesimen uji dalam
pengujian impak antara lain :
1. Patah ulet (Ductile Fracture)
Patah ulet adalah patahan disertai perubahan bentuk plastis (plastis
deformation). Secara makroskopis, ciri-ciri patah ulet antara lain :
a. Terjadi deformasi plastis yang cukup besar sebelum patah
b. Bidang geser (shear lip) biasanya tampak atau diketemukan pada akhir
patahan
c. Permukaan patahan berserat (fibrous) atau silky texture, tergantung
pada jenis material
d. Penampang melintang di daerah patahan biasanya berkurang karena
pengecilan penipisan (necking)
e. Pertumbuhan retak berjalan lambat

Gambar 2.5 Patah ulet


(http://dc440.4shared.com/doc/BS4LwZ2M/preview.html)

10
2. Patah Getas (Brittle fracture)
Patah rapuh terjadi apabila material logam pada saat patah tidak mengalami
perubahan bentuk plastis atau pengecilan penampang. Secara makroskopis,
ciri-ciri patah rapuh antara lain :
a. Tidak ada atau terjadi sedikit deformasi plastis
b. Permukaan patahan umumnya datar dan tegak lurus terhadap
permukaan komponen
c. Struktur patahan bentuk granular atau kristalin dan merefisikan cahaya
Retak tumbuh/menjalar cepat, dan sering disertai suara keras.

Gambar 2.6 Patah getas


(http://dc440.4shared.com/doc/BS4LwZ2M/preview.html)

F. Mode-Mode Perpatahan

Selain berdasarkan jenis dan tipenya, perpatahan dapat pula diklasifikasikan


berdasarkan arah beban yang diberikan terhadap material. Kita dapat
menggambarkan arah tersebut sebagai berikut :
1. Mode I (opening shear)
Merupakan perpatahan akibat pemberian beban yang mengakibatkan
tegangan yang arahnya tegak lurus dengan bidang perpatahan dan tegangan
tersebut berada pada posisi yang sejajar berlawanan arah pada masing-
masing sisi dari bahan.
Contoh : perpatahan pada shock breaker

11
Gambar 2.7 Perpatahan pada shockbreaker
(http://dimasrepaldo.blogspot.com)

2. Mode II (In-Plane Shear)


Pada mode ini tegangan terjadi dari bahan artinya melintang terhadap arah
perpatahan. Hal ini terjadi karena beban diberikan tidak sejajar dan
berlawanan arah pada kedua ujung material, sehingga seakan-akan terjadi
sliding.
Contoh : perpatahan pada kopling gesek

Gambar 2.7 Mode II In plane shear


(http://dimasrepaldo.blogspot.com)

12
3. Mode III (Out-Plane Shear)
Pada mode ini, tegangan terjadi dari bahan (vertical), dimana tegangan
tersebut berada pada arah yang tidak sejajar dan berlawanan arah. (Duta,
2011)
Contoh : perpatahan pada roda gigi.

Gambar 2.8 Mode III Out plane shear


(http://dimasrepaldo.blogspot.com)

G. Energi Impak

Energi impak diserap dihitung berdasarkan perbedaan ketinggian h dan h’ yang


menunjukkan ketangguhan material. Transisi ulet-getas material, merupakan
fungsi utama pemakaian uji impak. Pengujian dapat dilakukan dengan merubah
atau mengatur temperatur spesimen dengan cara pemanasan dan pendinginan.
Hasil pengujian pengaruh temperatur dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.9 Kurva uji impak


(http://1.bp.blogspot.com/_tpmZhRBnwjA/TNo8ZoLym7I/AAAAAAAAAG
4/6ituc2XRpAg/s1600/untitled2.bmp)

13
Pada kurva A dan B menunjukkan adanya temperatur transisi dari ulet ke getas.
Pada temperatur yang tinggi material cenderung bersifat ulet begitu sebaliknya
akan menjadi getas bila temperaturnya rendah. Bentuk patahan spesimen uji
impak memiliki permukaan fibruos atau berserabut, flatness (rata)
mengindikasi bahwa material tersebut bersifat ulet dan getas. (Anonim, 2011)

Untuk menghitung energi yang diserap material dapat dihitung dengan


persamaan energi potensial sebagai berikut:

𝐸𝑝=𝑚 .𝑔.𝐻1 ................................................... 1


Dimana :
Ep : Energi sebelum tumbukan (J)
M : Massa Pendulum (kg)
g : Gravitasi (m/s2)
H1 : Tinggi pendulum sebelum tumbukan terhadap acuan (m)

Energi setelah tumbukan (EP2)


𝐸𝑝2=𝑚 .𝑔.𝐻2 .................................................2
Dimana H2 : Tinggi pendulum sesudah tumbukan (m)

Sehingga harga Energi yang diserap dinyatakan dengan


𝐸𝑝1− 𝐸𝑝2 = 𝑚 .𝑔.(𝐻1−𝐻2) ........................................3

Dan Harga Impak (HI)


Ep1− Ep2
𝐻𝐼 = ....................................................4
𝐴

Selain dengan harga impak yang ditunjukkan oleh alat uji, pengukuran
ketangguhan suatu bahan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa
persen patahan berserat dan patahan kristalin yang yang dihasilkan oleh benda
uji yang diuji pada temperatur tertentu. Semakin banyak persentase patahan
berserat maka dapat dinilai semakin tangguh bahan tersebut. Cara ini dapat

14
dilakukan dengan mengamati permukaan patahan benda uji di bawah
miskroskop stereoscan. Informasi lain yang dapat dihasilkan dari pengujian
impak adalah temperatur transisi bahan. Temperatur transisi adalah temperatur
yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji
pada temperatur yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur yang
berbeda-beda maka akan terlihat bahwa pada temperatur tinggi material akan
bersifat ulet (ductile) sedangkan pada temperatur rendah material akan bersifat
rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom
bahan pada temperatur yang berbeda dimana pada temperatur kamar vibrasi itu
berada dalam kondisi material kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi
tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlah bahwa energi panas merupakan suatu
driving force terhadap pergerakan partikel atom bahan).

Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle)


terhadap pergerakan dislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar.
Dengan semakin tinggi vibrasi itu maka pergerakan dislokasi mejadi relatif
sulit sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mematahkan benda
uji. Sebaliknya pada temperatur di bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom
relatif sedikit sehingga pada saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi
menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi lebih mudah dipatahkan dengan
energi yang relatif lebih rendah. Informasi mengenai temperatur transisi
menjadi demikian penting bila suatu material akan didisain untuk aplikasi yang
melibatkan rentang temperatur yang besar, misalnya dari temperatur di bawah
nol derajat Celcius hingga temperatur tinggi di atas 100 derajat Celcius, contoh
sistem penukar panas (heat exchanger). Hampir semua logam berkekuatan
rendah dengan struktur kristal FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat
ulet pada semua temperatur sementara bahan dengan kekuatan luluh yang
tinggi bersifat rapuh. Bahan keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan
kekuatan luluh rendah dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur
dinaikkan. Hampir semua baja karbon yang dipakai pada jembatan, kapal,
jaringan pipa dan sebagainya bersifat rapuh pada temperatur rendah. Gambar
2.10 memberikan ilustrasi efek temperatur terhadap ketangguhan impak

15
beberapa bahan, sedangkan Gambar 2.11 menyajikan bentuk benda uji impak
berdasarkan ASTM E-23-56T.

Gambar 2.10. Efek temperatur terhadap ketangguhan impak beberapa material


(http://dimasrepaldo.blogspot.com)

Gambar 2.11 Bentuk dan dimensi benda uji impak berdasarkan


ASTM E23-56T
(http://dimasrepaldo.blogspot.com)

16
Pada pengujian ada beberapa hubungan – hubungan pengaruh pengujian impak
terhadap energi seperti :
1. Hubungan antara Temperatur T (0C) dengan Energi impact E (Kg.m)
2. Hubungan antara Temperatur (0C) dengan Laju Patah Getas (%)
3. Hubungan antara Temperatur (0C) dengan Beban (Kg)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa temperatur sangat berpengaruh pada


ketangguhan suatu material. Dimulai dari rapuh, yakni pada suhu yang sangat
rendah. Pada tahap ini, akibat suhu yang sangat rendah mengakibatkan ukuran
butir mengecil sehingga jarak antar butir semakin jauh, ikatan melemah, dan
rapuh. Dengan demikian material amat mudah patah, sehingga energi yang
dibutuhkan untuk mematahkannya sangat kecil pula. Selanjutnya dengan
bertambahnya temperature, maka ukuran butir makin membesar sehingga
jaraknya semakin dekat dan ikatannya menguat serta ketangguhannya
meningkat, namun masih getas. Dengan demikian energi impaknya meningkat.
Kemudian apabila temperatur makin meningkat, hingga material mencapai
keuletan sampai pada temperature maksimalnya, energi yang dibutuhkan untuk
mematahkannya akan bertambah pula sampai nilai maksimum. Selanjutnya
jika lewat dari titik ini, maka energi akan menurun karena adanya deformasi.

Semakin rendah temperatur, maka material akan semakin getas hingga


mencapai nilai 100%. Seiring dengan bertambahnya temperature, kegetasan
berkurang hingga mencapai nilai minimum, dimana keuletan meningkat,
seperti penjelasan pada poin sebelumnya.

17

Anda mungkin juga menyukai