LAPORAN KASUS
ABSTRAK
Telah dilakukan perawatan terhadap pasien perempuan usia 43 tahun dengan Guillain-Barre Syndrome (GBS).
Selama di ICU pasien mengalami distress respirasi sehingga dilakukan intubasi pada hari kedua. Pasien juga
mengalami komplikasi pneumonia. Perawatan yang dilakukan berupa monitoring pernafasan, monitoring
hemodinamik dan plasmapharesis. Terapi plasmapharesis dilakukan dua kali di ICU. Setelah hari ke enam,
pasien dilakukan ekstubasi Selama perawatan di ICU kondisi pasien cenderung membaik dan kembali ke
bangsal setelah perawatan hari ke sepuluh.
ABSTRACT
Therapy done to a female patient, 43 years of age with Guillain Barre Syndrome (GBS). During her stay in
ICU, patient had respiratory distress and had to be intubated on the second day. Patient also had pneumonia.
Breathing rate and hemodynamic was measured. Plasmaphoresis was also done twice in ICU. Extubation
was made on the sixth day. Patient was recovering well during her stay in ICU and was transferred to the
patient’s ward on the tenth day.
35
RPD : Riwayat febris (+), riwayat trauma (-)
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 4 Nomor 2, Maret 2017
PEMERIKSAAN FISIK
RPD : Riwayat febris (+), riwayat trauma (-)
LAPORAN KASUS Thorax KU lemah, CM
: Gerakan dada simetris,
Dilaporkan pasien perempuan
PEMERIKSAAN berusia
FISIK 43 th Tanda vitalketinggalan
: TD 100/70, N gerak90x/mnt, RR 20x/mnt,
(-), retraksi (-) t 37,3° C
KU lemah, CM
dengan pekerjaan sebagai dokter umum di RSUD Kepala : Konjunctiva anemis (-), Sklera(-)
ikterik (-), pupil isokor ø 3mm/3mm, RC +
Cor :S1-2 reguler, bising
RK +/+, Meningeal Sign (-), Kaku kuduk (-)
Purworejo dengan alamat kutuarjo, purworejo, jawa
Tanda vital : TD 100/70, N 90x/mnt, RR 20x/mnt, t 37,3° C
Pulmo :vesikuler +/+, rhonki -/-,
Thorax : Gerakan dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
tengah. Kepala : Konjunctiva anemis (-), Sklera ikterik (-), pupil isokor ø 3mm/3mm, RC +/+,
wheezing -/-:S1-2 reguler, bising (-)
RK +/+, Meningeal Sign (-), Kaku kuduk (-) Cor
Thorax Abdomen
: Gerakan dada simetris, ketinggalan : retraksi
gerak (-), Supel, (-) peristaltik
Pulmo
(+) normal
:vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Anamnesis Hati/Limpa tak(+) teraba
Cor :S1-2 reguler, bising Abdomen
(-) : Supel, peristaltik normal
Keluhan utama : Pulmo Akral
:vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- hangat, perfusi kuat, nadi
Hati/Limpa tak teraba
kelemahan empat anggotaAbdomengerak : Supel, peristaltik (+) normal
Extrimitas kuat : Akralangkat, oedem
hangat, perfusi kuat,(-)
nadi kuat angkat, oedem (-)
Hati/Limpa tak teraba Extrimitas : G T/T K 3/4/4 / 4/4/3 Rf +1/+1 Rp - / - Cl -/-
Riwayat penyakit sekarangExtrimitas
: : Akral hangat, perfusi kuat, nadi kuat
angkat,
oedem (-)
T/T 3/4/4 / 4/4/3 +1/+1 -/-
Satu minggu sebelum masuk RS pasien G T/T demam, K 3/4/4 / 4/4/3 Rf +1/+1 Rp
PEMERIKSAAN PENUNJANG - / - Cl -/-
diare, batuk berdahak, pilek dan radang
tenggorokan
T/T 3/4/4 / 4/4/3 +1/+1
Laboratorium -/-
kemudian pasien minum obat Ciprofloxacin,
PEMERIKSAAN Intunal
PENUNJANG AL :8,8 SGOT : 27 FiO2 : 0,3
F, Neurodex Laboratorium AE : 4,99 SGPT : 23 PH : 7,403
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dua hari sebelum masuk ALRS keluhan :8,8 demam SGOT : 27 HbFiO2 : 0,3 :13,9 Cl :101 PCO2 : 24,6
Laboratorium
membaik, masih batuk berdahak,
AE kedua
: 4,99 telapak SGPT : 23 HctPH : 7,403
:40,1% Na :136 PO2 : 124,3
AL :8,8 SGOT : 27 FiO2 : 0,3
kaki kesemutan. Pasien masih Hb bisa :13,9
mengendarai Cl :101 AT PCO2 : 24,6:284 K : 3,6 SO2 : 97,6
AE : 4,99 SGPT : 23 PH : 7,403
sepeda motor dan bekerjaHct seperti biasa. :40,1% Na :136 PO2 : 124,3
Hb :13,9 Cl :101 PCO2 : 24,6
Satu hari sebelum masukATRS, pasien :284 mengeluh K : 3,6 SO2 : 97,6
Hct :40,1% Na :136 4PO2 : 124,3
kesemutan semakin meluas hingga tungkai atas
AT :284 K : 3,6 SO2 : 97,6
disertai rasa kebas dan kesemutan di ujung-ujung
Alb : 4,36 GDS : 165 HCO3 : 15
jari kedua tangan.
BUN : 18,7 PPT : 13,9/14,8 BE : -9
Hari masuk RS, pasien merasa keluhan baal dan
Cre : 0,69 APTT :29,9/35,2 INR : 1,01
kesemutan meluas hingga perut, juga kelemahan
HBsAg : non reaktif
kedua kaki (sulit mengangkat kaki), masih dapat
berjalan tanpa bantuan. Kedua tangan mulai
melemah tetapi masih dapat memegang benda Rontgent thorax :
Pasien merasakan kelemahan kedua kaki memberat, Pleural reaction bilateral, Cor dalam batas normal
tidak dapat berjalan, kedua tangan dirasa lemas; Pemeriksaan ENMG 7-6-2015 :
rasa baal(+). Karena tidak ada perbaikan, pasien Motor conduction study
berobat ke RSUD Purworejo kemudian dirujuk ke n. medianus kanan, ulnaris kanan dan ulnaris
RSUP Sardjito. kiri: normal
n. medianus kiri : neuropati aksonal
RPD : F wave medianus kanan : normal, F wave
Riwayat febris (+), riwayat trauma (-) medianus kiri: abnormal
n.tibialis kanan : normal
PEMERIKSAAN FISIK n. perenous kanan : neuropati aksonal
KU lemah, CM n. tibialis kiri : neuropati aksonal
Tanda vital : TD 100/70, N 90x/mnt, RR 20x/ n. peroneus kiri : normal
mnt, t 37,3° C H reflek tibialis posterior kanan : abnormal
Konjunctiva anemis (-), Sklera H reflek tibialis posterior kanan : abnormal
K e p a l a : ikterik (-), pupil isokor ø Kesimpulan :
3mm/3mm, RC +/+, RK +/+, Poliradikuloneuropati tipe aksonal ekstrimitas atas
Meningeal Sign (-), Kaku kuduk (-) dan bawah (mild to moderate)
36
Penatalaksanaan Guillain-Barre Syndrome ...
PERAWATAN DI ICU
Hari Klinis Lab Program Masalah Tindakan
6
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 4 Nomor 2, Maret 2017
38
Penatalaksanaan Guillain-Barre Syndrome ...
39
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 4 Nomor 2, Maret 2017
komplikasi GBS yang paling sering dan paling ditakuti. paradoksal menunjukkan kelemahan diafragma.
Persentase pasien GBS yang membutuhkan ventilasi Fungsi diafragma dapat dinilai dari kapasitas vital,
mekanik antara 25% sampai 44%. Demielinisasi volume tidal, dan tekanan negative inspirasi dimana
nervus phrenikus dan intercostal menyebabkan penurunan progresif mengindikasikan ancaman
mekanikal paru terbatas, kesulitan menelan akibat gagal nafas dan memerlukan intubasi serta bantuan
kelemahan otot faring menyebabkan risiko aspirasi. nafas. Tes fungsi paru dengan spirometri untuk
Ventilasi mekanik diberikan jika batuk tidak adekuat, menilai kapasitas vital (VC), tekanan inspirasi
kolaps pulmonal, berkembangnya konsolidasi, maksimal (MIP), dan tekanan ekspirasi maksimal
analisa gas darah abnormal, dispneu, takipneu atau (MEP) menjadi acuan perlu tidaknya intubasi.
terlihat kehabisan tenaga. Gagal nafas pada pasien Kapasitas vital ≤ 30 ml/kg ( nilai normal 60-70
GBS dapat terjadi tiba-tiba, mengancam nyawa dan ml/kg), batuk akan melemah, akumulasi sekret
menyebabkan morbiditas yang signifikan.Status di orofaring, terjadi atelectasis dan hipoksemia.
respirasi pasien GBS harus dimonitor hati-hati dan Intubasi diperlukan bila kapasitas vital paru 15 ml/
frekuen. Pemulihan pernafasan berlangsung lambat kg. MIP normal ≤ 70 cmH2O menunjukkan kekuatan
pada GBS, menyebabkan penggunaan ventilator diafragma dan otot inspirasi lainnya, dan secara
mekanik yang lama. Setengah dari pasien GBS yang umum menunjukkan kemampuan mempertahankan
terintubasi membutuhkan trakeostomi.2,4 pengembangan paru dan mencegah atelectasis.
Gangguan pernafasan merupakan manifestasi MEP normal ≥ 100 cmH2O menunjukkan kekuatan
kelemahan otot diafragma dan otot pernafasan otot ekspirasi dan berkolerasi dengan kekuatan
tambahan yang harus diantisipasi pada pasien batuk dan kemampuan membuang secret dari jalan
GBS dengan kelemahan anggota gerak serta nafas. Kriteria tambahan untuk intubasi adalah MIP
kesulitan menelan yang progresif. Gerakan nafas ≥ 30 cmH2O dan MEP < 40 cmH2O 8.
Tekanan (-) inspirasi >70 cmH2O <20 cmH2O ≥20 cmH2O ~ 40 cmH2O
Pada pasien dengan nafas spontan, fisioterapi berkembangnya konsolidasi, gas darah arteri
dada dan monitoring fungsi respirasi merupakan hal abnormal, kapasitas vital kurang dari volume tidal
yang penting. Penilaian regular terhadap kapasitas yang diprediksi, pasien sesak nafas, takipneu atau
vital merupakan cara terbaik untuk menilai kegagalan tampak kelelahan 3,12.
respirasi. Pasien dengan kapasitas vital kurang dari Irama jantung dan tekanan darah harus di
15ml/kg atau 30% dari nilai yang diprediksikan, atau monitor. Sinus takikardi merupakan manifestasi
peningkatan PCO2 arterial membutuhkan ventilasi otonom yang paling sering pada GBS, biasanya tidak
mekanik. Keterlibatan bulbar harus hati-hati dicari, memerlukan terapi. Hipotensi ringan dan bradikardi
karena terdapat risiko sigknifikan aspirasi dari tidak membutuhkan terapi, terutama jika fungsi
sekresi jalan nafas atas, isi lambung atau makanan ginjal dan serebral terpelihara baik. Hipertensi
yang dicerna. Jika reflek batuk tidak adekuat, maka biasanya sementara, kadang-kadang membutuhkan
proteksi jalan nafas dengan intubasi trakea atau terapi obat yang sesuai. Hipoksia, hiperkarbi, nyeri
trakeostomi dibutuhkan. Makanan per oral harus dan distensi visceral harus disingkirkan sebagai
dihentikan pada pasien yang diduga mengalami penyebab 12.
keterlibatan bulbar. Indikasi ventilasi mekanik Obat yang berhubungan dengan instabilitas
jika batuk tidak adekuat, paru-paru kolaps atau kardiovaskular pada GBS :
40
Penatalaksanaan Guillain-Barre Syndrome ...
41
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 4 Nomor 2, Maret 2017
kalinya 1-2 volume plasma (2-4 liter) selama 90-120 2 kali. Namun, prosedur PE yang lebih sering tidak
menit, dalam 1-2 minggu. Efek samping biasanya selalu lebih baik, pada GBS berat (membutuhkan
berhubungan dengan penyakit itu sendiri. Fresh ventilator) , 6 kali PE tidak lebih superior daripada 4.
frozen plasma dilaporkan memiliki efek samping Sebanyak 10% pasien yang diterapi PE mengalami
yang lebih banyak dibanding albumin sebagai cairan kekambuhan kelemahan setelah pemulihan awal.
pengganti. Kontraindikasi relatif plasmaparesis Hal ini mungkin disebabkan rebound pelepasan atau
yaitu sepsis, infark miokard dalam 6 bulan, produksi antibodi. Kontraindikasi untuk dilakukan
disotonom yang nyata dan perdarahan aktif. Efek PE ditemukan pada 4% sampai 27% pasien GBS,
samping meliputi reaksi vasovagal, hipovolemia, yaitu hemodinamik tidak stabil, koagulopati, sepsis
anafilaksis, hemolysis, hematom, hipokalsemia, dan masalah dengan akses vaskuler 4 .
trombositopenia, hipotermia dan hipokalemia 3,12 . Plasmapharesis juga memiliki risiko dan
Plasma exchange pada pasien ini direncanakan komplikasi. Insersi kateter intravena dengan
dengan target volume 65 kg X 200 cc =13.000 ml. jarum besar dapat menyebabkan perdarahan,
Direncanakan sebanyak 5 kali dalam 10 – 14 hari, trauma paru, dan jika kateter terlalu lama akan
jumlah prosedur disesuaikan kondisi klinis pasien. mudah menjadi focus infeksi. Saat prosedur, ketika
Hari pertama diambil sebanyak 1500 ml, hari ke dua darah dikeluarkan dari tubuh melewati mesin
dan seterusnya 2000 ml. Prosedur dilakukan dua hari plasmapharesis, darah memiliki tendensi untuk
sekali. Cairan pengganti yaitu gelofusal : NaCl 0,9% : menggumpal. Oleh sebab itu, salah satu prosedur
albumin = 1:1:1. PE pada pasien ini dilakukan pada hari yang umumnya dilakuakan adalah menginfuskan
perawatan ke 4 dan hari ke 7.Setelah dilakuakn PE, sitrat ketika darah melalui sirkuit. Sitrat mengikat
kekuatan otot pada pasien berangsur membaik dan kalsium di dalam darah, kalsium penting untuk
dilakukan ekstubasi pada hari perawatan ke 6 di ICU. pembekuan darah. Untuk mencegah hipokalsemi,
Patogenesis GBS dimediasi antibodi. kalsium diinfuskan intravena ketika pasien menjalani
Plasmapharesis atau plasma exchange (PE), plasmapharesis 9 .
menghilangkan immunoglobulin, komplemen, Pada kultur darah pasien ditemukan hasil MRSA
dan sitokin yang berperan dalam pathogenesis yaitu Methicillin Resistant Staphilococcus Aureus.
GBS. PE merupakan terapi pertama pada GBS MRSA adalah bakteri Staphylococcus aureus yang
yang terbukti efektif. Dari 6 penelitian RCT, 5 menjadi kebal atau resisten terhadap antibiotik
diantaranya memperlihatkan kemanjuran PE. Terapi jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi karena
ini menurunkan jumlah pasien yang membutuhkan perubahan genetic yang disebabkan paparan
ventilasi mekanik, mempercepat ekstubasi, antibiotic yang tidak rasional. Transmisi bakteri
meningkatkan jumlah pasien yang pulih kekuatannya berpindah dari satu pasien ke pasien lainnya melalui
dalam 1 tahun, dan mengurangi jumlah pasien yang alat medis yang tidak diperhatikan sterilitasnya.
mengalami sequelae dalam 1 tahun. Penelitian juga Transmisi dapat pula melalui udara maupun fasilitas
menunjukkan bahwa terapi dalam 7 hari sejak onset ruangan misalnya selimut atau kain tempat tidur.
gejala adalah yang paling efektif 4. Faktor risiko terjadinya MRSA antara lain lingkungan,
PE sebaiknya dilakukan sedini mungkin dari populasi, kontak, kebersihan individu, riwayat
onset kelemahan. Penggantian dengan albumin perawatan, riwayat operasi, riwayat infeksi dan
lebih dipilih dibandingkan FFP karena komplikasi penyakit, riwayat pengobatan serta kondisi medis.
yang lebih rendah. Vancomisin merupakan pilihan utama pada pasien
Dosis optimal PE bervariasi, menurut the kritis dengan MRSA 5,7,10 .
French Cooperative Group pada GBS ringan Selama perawatan pasien mengalami komplikasi
(pasien bisa berjalan, tetapi tidak bisa berlari), 2 pneumonia. Pada kultur sputum ditemukan Klebsiela
kali PE lebih baik daripada tidak sama sekali. Pada pneumonia dan Streptococcus viridian. Pneumonia
GBS moderate (tidak dapat berjalan, tetapi tidak merupakan kondisi inflamasi pada paru-paru yang
memakai ventilator), 4 kali PE lebih baik daripada disebabkan infeksi bacterial, viral atau fungal.
42
Penatalaksanaan Guillain-Barre Syndrome ...
Pneumonia pada pasien ini termasuk dalam Hospital of the Massachussets General Hospital 5 th
acquired Pneumonia (HAP) yaitu pneumonia yang edition : Acute Weakness, Lippincott William
timbul dalam waktu 48 jam setelah rawat inap, dan & Wilkins,P481-6.
tidak dalam masa inkubasi pada saat pasien masuk. 4. Harms M, 2011, Inpatient Management of
Klebsiella pneumonia termasuk dalam pathogen Guillain Barre Syndrome, The Neurohospitalist
bakteri Multi Drug Resisten (MDR). 1(2) 78-84
Infeksi merupakan komplikasi paling umum 5. Haddadin AS, Fappiano SA, Lipsett PA, 2002,
pada pasien GBS di ICU. Sumber utama infeksi Methicillin Resistant Staphilococus Aureus in the
adalah paru-paru, saluran kemih, dan kateter Intensive Care Unit, Postgrad Med J , 78:385–392
vena sentral. Berbagai cara harus dilakukan untuk 6. Juel VC, 2005, Neuromuscular Disorder in the
mengidentifikasi bakteri agar dapat diberikan terapi ICU. In Fink, M dkk (eds). Textbook of Critical
antibiotic yang sesuai. Pemeriksaan rontgent thorax, Care. 5th ed. Elsevier Saunders, Philadelphia,
kultur sputum dan urin penting dilakukan. Pasien p370
seharusnya menerima terapi antibiotik hanya bila 7. Kohlenberg A, Schwab F, Behnke M, Geffers C,
ada bukti klinis adanya infeksi karena pengobatan Gastmeier P, 2011, Screening and Control of
antibiotic yang tidak sesuai akan meningkatkan Methicillin-Resistant Staphilococcus Aureus in
risiko infeksi oleh bakteri yang resisten 4. 186 Intensive Care Units : different Situations
Pasien memberikan respon baik terhadap and Individual Solutions, Critical care (15): 1-10.
terapi yang diberikan, antibiotic yaitu vancomisin, 8. Kozak OS, Wijdicks, 2008, Acute Neuromuscular
nebulisasi, dan mukolitik. Pada hari ke 10 perawatan, Respiratory Failure in Myasthenia Gravis and
pasien pindah ke bangsal 1,11 . Guillain Barre Syndrome. In: Critical Care
Medicine. Mosby-Elsevier, Philadelpia.p1359.
KESIMPULAN 9. Lehmann HC, 2006, Plasma Exchange in
Plasma exchange memperbaiki prognosis Neuroimmunological Disorders, Archives of
pada pasien dengan GBS secara dramatis. Gagal Neurology, 63:930-935.
nafas merupakan komplikasi GBS yang dapat 10. Mahmudah R, Soleha TU, Ekowati CN, 2013,
mengancam kehidupan, sebanyak 10-30% pasien Identifikasi Methicillin Resistant Staphilococcus
GBS membutuhkan ventilasi mekanik. Terapi Aureus pada Tenaga Medis dan Paramedis di
segera menggunakan plasma exchange, bersamaan Ruang Intensive Care Unit (ICU) pada Tenaga
dengan perawatan suportif umumnya akan sembuh Medis dan Paramedis di Ruang Intensive Care
sempurna. GBS mempunyai prognosis yang secara Unit (ICU) dan Ruang Perawatan Bedah Rumah
umum baik jika komplikasi dapat diterapi segera. Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek, Medical
Journal of Lampung University(2) No 4: 70-78.
DAFTAR PUSTAKA 11. Perdici, 2009, Panduan Tata Kelola Hospital
1. American Thoracic Society, 2005, Guidelines Acquired Pneumonia, Ventilator-Associated
for the Management of Adults with Hospital- Pneumonia dan Healthcare-Associated Pneumonia
acquired, Ventilator-associated, and Healthcare- Pasien Dewasa.Centra Communications.Jakarta
associated Pneumonia,Am J Respir Crit Care Med 12. Skowronski GA, 2009, Oh’s Intensive Care Manual
Vol 171. p 388–416 6thedition : Neuromuscular Disorder in Intensive
2. Begum H, Kumar M, Rahman S, Talukder M, Care, Elsevier, P 599-602.
Khatun S, 2006, Outcome of Guillain Barre 13. Shoemaker, A, Grenvik, H, 2000, Neuromuscular
Syndrome in DMCH ICU- A 5 Years Experience, Disorders in Critical Care. In : Text Book of Critical
Journal of BSA, Vol 19 (1): 9-13. Care, 4th Edition. W.B.Saunders Company, United
3. Greer D, George E, 2010, Critical Handbook States of America
43