Anda di halaman 1dari 6

TUGAS KLIPING IPS

DEMORALISASI

IZZA NUR MAULANA AL IZHAQQI


11/9A

SMP NEGERI 3 KEPANJEN


DEMORALISASI
Demoralisasi adalah suatu kondisi penurunan moral bangsa akibat arus globalisasi yang
semakin gencar dan tidak terkontrol serta akibat masuknya budaya barat yang tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa.

Dalam mitologi suku Maya, setiap daur perhitungan panjang (5.126 tahun) menggambarkan
sebuah zaman. Pada setiap zaman, Tuhan akan menurunkan seorang utusan yang saleh
beserta para pengikutnya. Ketika daur tersebut berakhir pada tahun tertentu, pada saat itu,
bencana akhir zaman alias Kiamat terjadi. Dari sudut pandang keilmuan, ramalan semacam itu
tak perlu membuat kita khawatir, karena secara ilmiah tidak mungkin sebuah kalender kuno
dapat menentukan secara tepat masa depan planet bumi pada suatu tanggal, bulan, dan tahun
tertentu.

Dari sudut pandang iman, kita mendapatkan penegasan dari ajaran yang kita anut bahwa hari
kiamat itu akan datang, tetapi tidak ada seorang manusiapun yang dapat secara tepat
mengetahui saat datangnya hari (kiamat) itu. Kiamat tetap menjadi rahasia Sang Pencipta. Apa
yang akan terjadi tetap menjadi rahasia Ilahi. Ramalan suku Maya bahwa kalender bumi akan
terhenti pada tanggal, bulan dan tahun tertentu itu diartikan sebagai akhir siklus lama, bukan
tanda akhir zaman (kiamat). Pilihan memasuki siklus baru ada di tangan kita.

Akan tetapi, kiamat dalam konteks moral sudah sungguh terjadi di republik ini. Kiamat moral
sudah kita alami. Dewasa ini, kesadaran manusia akan etika dan moralitas semakin merosot.
Nafsu materialisme, sikap hidup konsumtif, hedonistik, kekerasan, kebohongan, kemunafikan,
keculasan, dan penyalahgunaan kekuasaan kian marak. Dekadensi moral sangat telanjang.
Sensitivitas dan kebeningan nurani sepertinya tak lagi dimiliki. Nafsu untuk terus berkuasa dan
memperkaya diri dengan segala macam cara jauh lebih dominan ketimbang hidup ugahari dan
memberi keteladanan.

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) makin meraja lela. Mental korup yang merupakan penyakit
paling kronis ini telah merasuki elit dan petinggi negeri ini. Korupsi sepertinya menjadi bagian
integral kehidupan (oknum) elit-elit kita yang bermental bejat yang selalu berselingkuh dengan
para pengusaha yang juga bejat mentalnya. Parahnya lagi, pelakunya justru para elit pejabat
yang duduk di lembaga-lembaga negara terhormat (di lembaga Eksekutif, Legislatif, bahkan di
lembaga Yudikatif).

Korupsi, kebohongan, keserakahan, ketidakadilan, penindasan, jalan pintas, mafia hukum,


mafia peradilan, suap-menyuap, diskriminasi, kriminalisasi dalam rupa-rupa manifestasinya terus
terjadi sampai hari ini. Kemajuan ekonomi dan keuntungan material dianggap segala-galanya
dan menjadi panglima. Untuk mewujudkan ambisinya, sikut kanan, sikut kiri. Tonjok sana, tonjok
sini. Tak peduli lawan, tak peduli kawan. Di sini, ungkapan Thomas Hobbes “Homo Homini
Lupus” menemukan aktualitasnya.

Upaya-upaya untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya begitu kasat mata. Dampak


negatif yang ditimbulkannya tak lagi dipikirkan. Harapan untuk memperoleh keuntungan finansial
yang melimpah telah membutakan mata hati akan penderitaan orang lain. Semuanya dilakukan
untuk memuaskan nafsu dan ambisi pribadi pelakunya. Semua itu merefleksikan, betapa
penghayatan serta praktik atas kaidah-kaidah etika dan moral di negeri ini merosot tajam.

Fragmentasi sosial dengan beragam bentuknya terus menggerogoti keharmonisan dan


kerukunan hidup bermasyarakat di negeri ini. Sekat-sekat sosial terus dibangun. Dimensi
kemanusiaan tenggelam dalam kacamata berlensa diskriminatif dan ketidakadilan. Akibatnya
aneka konflik sosial yang merugikan masyarakat sulit dihindari.

Harmonisasi kehidupan sosial, politik, budaya, keamanan dan pertahanan tergerus oleh rupa-
rupa konflik, ketegangan, kekerasan, teror, permusuhan, kebencian, dendam dengan berbagai
latar belakang, ekspresi dan ekskalasinya. Pornografi, pornoaksi, narkoba, HIV/AIDS, pergaulan
bebas, prostitusi, aborsi, pelecehan seksual, jual-beli ‘manusia’ terus terjadi. Kepekaan nurani,
integritas, rasa malu, rasa bersalah, dan sikap jujur tak lagi dimiliki.

Dalam relasi sosial antarsesama, kita saling curiga. Kelompok/golongan/aliran yang satu curiga
terhadap lainnya. Antarinstitusi saling curiga, saling sadap. Kampung/desa yang satu curiga
terhadap kampung/desa yang lain. Suku/etnis yang satu curiga dengan lainnya, dan berbagai
kecurigaan lainnya. Bahkan yang paling mengerikan, dengan penegak hukum pun kita tak lagi
percaya.

Nilai-nilai keutamaan hidup, macam nilai-nilai pengorbanan, kerja keras, ketekunan, kedisiplinan,
tanggung jawab, kejujuran, keadilan, kesetiaan, dan keteguhan tergeser oleh desakan arus
zaman yang menawarkan nilai-nilai baru: kemunafikan, kelicikan, individualistis, kekuasaan,
sikap yang sarat dengan pamrih, ataupun ketidakpedulian. Pergeseran nilai (values) pun tak
dapat dihindari. Inilah situasi yang melanda dan membelenggu masyarakat kita sekarang ini.
Negeri ini semakin terpuruk dan terhinakan. Dan itu sungguh mengenaskan.

Ketika manusia menjadi kehilangan kepribadian, menjadi latah dan hidup penuh dengan
kepalsuan. Ketika manusia mengalami kekosongan eksistensial. Ketika manusia menjadi
serigala bagi manusia lainnya. Ketika manusia (pejabat) tak lagi peduli pada rakyatnya yang
menderita. Ketika manusia tak lagi punya moral, etika, estetika, rasa malu, penuh ketidakadilan,
kebohongan, keculasan, bukankah di sana telah terjadi kiamat moral?
Di tengah situasi krisis seperti yang dipaparkan di atas, penulis berpendapat penguatan
integritas pribadi dan autorefleksi kehidupan beragama mutlak dilakukan. Dalam menghadapi
rupa-rupa masalah yang sedang kita alami, utamanya terkait degradasi moral akut belakangan
ini, kemampuan untuk menguatkan integritas pribadi dan melakukan autorefleksi kehidupan
beragama sangat diperlukan. Setiap pribadi dan agama harus berani membuka diri, tidak bisa
berdiam diri bertahan pada konsep dan tata aturan lama. Cara hidup beragama kita hendaknya
terus-menerus menghayati dan menerapkan agamanya secara benar, diiringi daya kritis dan
keterbukaan untuk selalu memeriksa diri dan praktik keagamaannya.

Agama harus menjadi terang, pedoman, pemacu perkembangan pribadi secara maksimal,
penghormatan-penghargaan individu yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari menuju ke
pemenuhan seluruh dimensi manusia yang jasmani-rohani itu. Agama hendaknya
memungkinkan pemeluknya mampu bertindak meyakinkan atas dasar imannya, sembari
membuka diri dan rendah hati jika ternyata apa yang ia perbuat itu perlu diperbaiki dan
disempurnakan. Dengan demikian, demoralisasi dapat dieliminasi dan diantisipasi. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi demoralisasi

a. Aktif dalam kegiatan yang positif.

Dengan aktif dalam kegiatan positif sebagai seorang generasi muda akan terhindar dari hal- hal
yang negatif. Mereka cenderung untuk mengasah bakat atau minat mereka dengan
mengembangkan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu mereka memaafkan kekosongan
aktivitas atau kegiatan sehingga lebih bermanfaat bagi kehidupannya.

Hal tersebut sangat ditekankan bagi generasi muda supaya tidak terjerumus ke hal yang buruk
yang dapat menghambat masa depan para generasi muda.

b. Memanfaatkan media sosialisasi keluarga, teman, dan sekolah.

Untuk menyelamatkan generasi muda dari demoralisasi maka semua media sosialisasi harus
saling mendukung antara satu dengan yang lain agar seorang anak /remaja tertanam nilai dan
norma yang sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu melalui beberapa media seperti kelurga,
teman, dan dekolah.

1. Keluarga

adalah media yang pertama ditemui oleh seorang anak atau remaja untuk mendapatkan ajaran
norma dan nilai untuk membentuk karakter dan moralitasnya. Disini, peran orang tua sangat
penting,apabila orang tua/ kelurga memberikan arahan serta ajaran yang baik maka seorang
anak atau generasi muda dapat mengatasi maraknya demoralisasi di lingkungan masyarakat.
Peran orang tua yang di lakukan bagi anak adalah dengan memberikan perhatian dan kasih
sayang kepada anak,tetapi tidak dengan melarang atau mengekang anak dan tidak
memaksakan kehendak orang tua pada anak, tetapi dengan cara memberi kebebasan kepada
anak disertai pengawasan dan arahan yang baik.

2. Sekolah

Selain keluarga, sekolah adalah media yang kedua dalam mengatasi masalah demoralisasi yang
melibatkan generasi muda. Sekolahan harus mampu mendidik kecerdasan, membina moral dan
akhlak siswa. Sehingga tidak hanya pengetahuan yang dibekalkan kepada siswa tapi
kepribadian dan moral yang baik pula seorang pelajar harus memilikinnya. Oleh karena itu
kelurga dan sekolah harus bekerja secara bersama dalam mendidik,membina,dan membimbing
para generasi muda agar mampu mencapai masa depan yang cerah tanpa terhambat akan
adanya demoralisasi yang dapat menghancurkan moral mereka.

c. Mempertebal keimanan dan ketakwaan.

Hal yang paling utama yang harus ditanamkan pada kalangan generasi muda adalah dengan
mempertebal keimanan dan ketaqwaan mereka, karena dengan hal tersebut maka pasti dengan
sendirinya para generasi muda akan memegang teguh semua ajaran-ajaran agama yang dianut
sesuai dengan kepercayaannya,dengan demikian akan bisa memilah dan memilih mana yang
baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan atau mana yang tidak boleh dilakukan.
Pada intinya para generasi muda harus selalu mendekatkan diri kepada Allah agar selamat
dunia dan akhirat.

d. Memperbaiki kualitas perekonomian

Salah satu dampak dan penyebab demoralisasi adalah kemiskinan. Dan salah satu penyebab
kemiskinan adalah rendahnya kualitas ekonomi. Ketika kemiskinan sudah mencapai tingkatnya,
nilai moralpun bisa saja semakin menipis. Oleh, karena itu untuk mencegah agar kemiskinan
tidak terjadi dan demoralisasi dapat berkurang, maka harus dilakukan pembenahan dalam
perekonomian.

e. Mengendalikan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat

Pertembuhan penduduk yang meningkat akan menimbulkan demoralisasi. Hal ini disebabkan
oleh tidak tersedianya lapangan perkerjaan dan tempat tinggal. Jika sesorang tidak berkerja ia
akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup, maka dari itu mereka akan melakukan hal
apapun untuk memenuhi kebutuhannya. Dan seringkali, masyarakat melakukan hal yang tidak
memperhatikan nilai moral yang ada di masyarakatrat
f. Perbaikan nilai moral

Nilai moral sangat dibutuhkan untuk menjalankan hidup jika tidak dapat terjadi demoralisasi.
Maka dari itu, perbaikan dan peningkatan nilai moral sangat dibutuhkan untuk menjalankan
hidup sesuai dengan etika moral agar tidak terjadi demoralisasi serta agar kehidupan lebih
teratur dan disiplin.

Anda mungkin juga menyukai