Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

NEFROLITIASIS

Oleh:
Justinus K.N. G99162001
Agfa G99xxxxxx
Nurul G99xxxxxx
Rani G99xxxxxx
Ade G99xxxxxx

Pembimbing
, dr., Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

NEFROLITIASIS

Oleh:
Justinus K.N. G99162001
Agfa G99xxxxxx
Nurul G99xxxxxx
Rani G99xxxxxx
Ade G99xxxxxx

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal:

Ratih , dr., Sp.PD


BAB I
PENDAHULUAN

Nefrolithiasis atau batu ginjal merupakan salah satu penyakit ginjal yang
ditandai dengan ditemukannya batu yang mengandung komponen kristal dan
matriks organik yang merupakan penyebab terbanyak kelainan pada saluran
kemih (Hanley et.al., 2012).
Lokasi batu ginjal khas dijumpai di kaliks atau pelvis dan bila keluar akan
terhenti dan menyumbat pada daerah ureter (ureterolithiasis) dan kandung kemih
(vesiculolithiasis). Batu ginjal dapat terbentuk dari kalsium, batu oksalat, kalsium
oksalat, atau kalsium fosfat. Namun yang paling sering terjadi pada batu ginjal
adalah batu kalsium.
Penyebab pasti yang dapat membentuk batu ginjal masih belum diketahui
secara pasti. Namun beberapa studi menyebutkan bahwa batu ginjal dapat
terbentuk secara multifaktorial.
Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebesar 7% pada perempuan dewasa
dan 13% pada laki-laki dewasa. Empat dari lima pasien adalah laki-laki,
sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga hingga keempat (Health Technology
Assasement Indonesia, 2005).
Di Indonesia sendiri, penyakit ginjal yang paling sering ditemui adalah
gagal ginjal dan nefrolithiasis. Prevalensi tertinggi penyakit nefrolithiasis yatu di
daerah Yogyakarta (1,2%), diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi Tengah masing-masing sebesar 0,8% (Depkes RI, 2013).

1
Tinjauan Pustaka

A. Epidemiologi

A.1. Prevalensi, Jenis Kelamin, dan Geografi

Di Amerika, 16% pria dan 8% wanita memiliki satu atau lebih batu
simptomatik pada usia 70 tahun. Walaupun pria tetap memiliki risiko lebih tinggi,
namun selama 20 tahun ini, terjadi perubahan rasio dari 3:1 dibandingkan wanita,
menjadi 2:1. Namun secara umum, kejadian batu ginjal terus meningkat, pada
tahun 1994 secara umum terjadi pada 5,2% penduduk, sedangkan pada 2012,
meningkat mendekati 10%. (Scales et.al., 2012)

Survei nasional Amerika menunjukkan bahwa kejadian batu ginjal berbeda di


tiap-tiap daerah, seperti kejadian meningkat dari utara ke selatan, dan dari barat ke
timur, menimbulkan fenomena "sabuk batu" (stone belt) di sepanjang Carolina
Utara dan Selatan, Georgia, Alabana, Mississippi, dan Tenesse. Faktor seperti
iklim, pola makan, dan pola hidup berkaitan dengan persebaran geografis dari
risiko batu ginjal.(Scales et al., 2012)

A.2. Kejadian Batu Berulang

Individu dengan riwayat nefrolitiasis memiliki risiko batu berulang yang


tinggi, seperti pasien yang mengalami kasus batu ginjal pertama memiliki 15%
risiko mengalami batu ginjal kedua kalinya hingga 1 tahun berikutnya, dan 50%
risiko selama 10 tahun berikutnya. Untuk memperkirakan kemungkinan kejadian
batu berulang, dapat digunakan nomogram ROKS (Recurrence of Kidney Stone),
yang menghitung kemungkinan kejadian batu berulang menggunakan informasi
riwayat gejala klinis dan faktor risiko pada pasien dengan riwayat batu ginjal
pertama. (Rule et al.,2014)

A.3. Penyakit Sistemik

Beberapa penelitian epidemiologis telah mempelajari hubungan antara


nefrolitiasis dan sindroma metabolik. Risiko relatif dari pasien yang memiliki
berat >100 kg lebih tinggi dibandingkan individu dengan berat 63kg demikian

2
juga antara individu dengan indeks masa tubuh >30 dibanding 21 kg/m2, dimana
menunjukkan bahwa peningkatan berat badan dan obesitas adalah faktor risiko
independen pada kejadian nefrolitiasis, dimana risiko obesitas meningkat pada
wanita dewasa ini, sehingga dapat menjelaskan perubahan rasio pria wanita pada
kejadian nefrolitiasis pada negara maju.

Gambar 1. ROKS SCORE

Diabetes melitus juga meningkatkan pembentukan nefrolitiasis, dimana pasien


dengan DM memiliki urin yang lebih asam, yang meningkatkan kejadian batu

3
asam urat, demikian juga dengaa penemuan batu oksalat yang juga meningkat
pada pasien DM. Prevalensi kejadian batu saluran kemih akan terus meningkat
seiring semakin banyaknya kejadian DM tipe 2. Hipertensi tidak meningkatkan
risiko terjadinya batu ginjal. Secara singkat, dapat juga dikatakan bahwa
nefrolitiasis sejatinya adalah suatu kelainan metabolik sistemik (Pfau & Knauf,
2016).

A.4. Pola Makan dan Medikasi sebagai Faktor Risiko

Pembentukan batu ginjal sangat bergantung dengan kondisi kimiawi dari urin,
sehingga kebiasaan makan dan penggunaan obat harus dievaluasi pada pasien
dengan batu ginjal. Intake cairan yang rendah dapat meningkatkan konsentrasi
dari senyawa litogenik pada urin, yang dapat menjelaskan mengapa populasi yang
mendiami tempat dengan iklim lebih panas memiliki risiko batu ginjal yang lebih
tinggi. Diet tinggi kalsium dapat mengurangi kejadian risiko batu ginjal
simtomatik, kalsium diduga mengikat oksalat pada lumen usus dan menurunkan
konsentrasi oksalat terlarut yang akan terabsorbsi dalam pembentukan urin,
sehingga diet rendah kalsium tidak dianjurkan sebagai pencegahan batu ginjal tipe
kalsium.(Taylor & Curhan, 2013) Demikian juga, diet tinggi kalium juga
mengurangi kejadian batu ginjal pada pria dan wanita usia lanjut, hal ini diduga
karena karena kation (kalium) akan berikatan dengan anion organik (seperti sitrat)
dan membentuk suasana yang lebih basa, ditambah lagi kondisi defisit dari kalium
meningkatkan absorbsi sitrat pada tubulus proksimal, sehingga eksresi sitrat pada
urin berkurang, yang menyebabkan kondisi dalam tubuh lebih asam. Sebaliknya
diet tinggi protein hewani meningkatkan keasaman tubuh secara umum dan dalam
urin, sehingga meningkatkan risiko pembentukan batu ginjal. Namun penelitian
epidemiologis yang sudah dilakukan tidak mendukung hubungan antara intake
protein dengan batu kalsium oksalat. Diet tinggi garam meningkatkan batu
kalsium karena reabsorbsi dari kalsium pada tubulus proksimal ikut meningkat
bersamaan dengan konsentrasi natrium, sehingga diet tinggi garam akan
menyebabkan ekskresi kalsium urin yang lebih tinggi dan meningkatkan risiko
nefrolitiasis. Tingginya sekresi oksalat pada urin juga merupakan faktor yang
bermakna pada kejadian nefrolitiasis, yang dapat disebabkan karena diet tinggi

4
oksalat dan umumnya berasosiasi dengan short bowel syndrome, bedah bariatrik
malasorbstif, dan insufiensi pankreas (Pfau & Knauf, 2016).

Obat yang mengkristal pada urin, seperti atazanavir, acyclovie, methrotrexate,


quinolones dan aminopenicillin, dapat menyebabkan nefrolitiasis, selain itu, obat
yang mempengaruhi pH urin, seperti topiramat dan acetazolamida, juga dapat
meningkatkan kejadian nefrolitiasis (Pfau & Knauf, 2016).

B. Pemeriksaan Klinis

Kolik renal adalah gejala yang paling sering pada kasus nefrolitiasis,
lokalisasi dari nyeri umumnya berkorelasi dengan sejauh mana posisi batu berada
di traktus urinarius, dan dapat menjalar ke testis dan labia dengan intensitas
beragam, dari nyeri tumpul ringan hingga nyeri hebat (Pfau & Knauf, 2016).

Hematuria terdapat pada sebagian besar pasien, namun, 10% dari pasien
dengan batu ginjal definitif tidak mengalami hematuria. Hal ini dapat
berhubungan dengan jarak waktu antara penemuan batu dengan kapan nyeri
pertama dikeluhkan, seperti pada pasien yang diperiksa pada hari pertama nyeri
dirasakan, 95% ditemukan hematuria, sedangkan pada hari ke 3 dan 4 setelah
nyeri dirasakan, menurun hingga 65%. (Kobayashi et al.,2003)

Gejala lainnya dari nefrolitiasis adalah mual, muntah, disuria, dan keinginan
untuk berkemih yang terus menerus.. Ukuran batu menentukan sejauh mana batu
berada dan apakah batu dapat keluar dengan sendirinya, batu berukuran <5mm
umumnya dapat keluar dengan sendirinya.

Untuk penelitian radiologis, intravenous pyelogram (IVP) dan foto polos


kidneys, ureter, bladder (KUB) semakin jarang digunakan, sedangkan computed
tomography (CT) dan ultrasonografi (USG) semakin sering digunakan untuk
menegakkan diagnosa batu ginjal. Dimana umumnya USG lebih banyak
digunakan pada anak dan ibu hamil karena tidak menyebabkan efek samping
sebanyak CT seperti paparan radiasi, namun batu berukuran kecil (<5mm) dan
batu yang lebih distal lebih mungkin terlewatkan pada USG. (Smith et al.,2014)

5
a) Nyeri
Nyeri ginjal kolik dan non-kolik adalah 2 tipe nyeri yang berasal dari
renal. Kolik renal umumnya disebabkan oleh pelebaran dari sistem
kolektivus atau ureter, dimana nyeri non kolik disebabkan oleh distensi
kapsul renalis. Gejala ini bisa terjadi bersamaan, membuat
membedakannya secara klinis menjadi lebih sulit. Obstruksi saluran kemih
adalah mekanisme utama dari kolik renal. Hal ini dapat juga ditimbulkan
ketika pasien mengalami uretopyelogram retrograde dengan tekanan yang
berlebihan. Nyeri ini disebabkan karena peningkatan tekanan langsung
intraluminal yang merengangkan akhiran saraf (Smith et al., 2013).
Kolik renal kadang tidak hilang timbul atau datang secara
bergelombang seperti kolik pada saluran usus dan empedu, karena dapat
timbul sebagai nyeri konstan. Kolik renal berasal dari intraluminal, dimana
pasien dengan batu ginjal disebabkan karena obstruksi urin.
Mekanisme lokal seperti peradangan , edema, hiperperistaltik, dan
iritasi mukosa dapat berpengaruh pada persepsi nyeri pada pasien batu
ginjal.
Sebagian besar dari batu empedu muncul sebagai nyeri akut karena
akut obstruksi dan distensi dari saluran kemih atas. Berat dan lokalisasi
dari nyeri dapat berbeda-beda, dari satu pasien ke pasien lain, disebabkan
perbedaan ukuran batu, lokasi batu, tingkat obstruksi, permukaan batu, dan
variasi di anatomi individual. Ukuran batu tidak pasti berbanding lurus
dengan berat nyeri, batu kemih kecil dapat menyebabkan nyeri hebat,
dimana batu staghorn besar bisa hanya menimbulkan nyeri tumpul ringan
atau bahkan ketidaknyamanan saja.
Nyeri umumnya mendadak dan berat, pasien mungkin terbangun dari
tidurnya. Pasien mungkin sering berpindah tempat atau posisi tidur untuk
mengurangi nyeri, berbeda dengan seseorang dengan nyeri peritoneal
(Smith et al., 2013).

6
b) Hematuria
Urinalisis lengkap mungkin membantu menegakkan diagnosis dari
batu kemih yang ditandai dari hematuria atau kristaluria dan perubahan pH
urin. Pasien batu ginjal umumnya memiliki gross hematuria intermiten,
dan kadang urin berwarna teh. Kebanyakan pasien mengeluhkan
mikrohematuria. 10-15% kasus obstruksi saluran kemih muncul tanpa
mikrohematuria (Smith et al., 2013).
c) Infeksi
Batu magnesium ammonium fosfat disebut juga batu infeksi.
Umumnya berhubungan dengan infeksi Proteus, Pseudomonas,
Providencia, Klebsiella dan Staphylococcus, sangat jarang berhubungan
dengan infeksi E.coli. Batu kalsium fosfat adalah jenis batu kedua yang
berhubungan dengan infeksi. Batu kalsium fosfat pada urin pH <6,4
umumnya disebut batu brushite, dimana batu aptit infeksi terjadi pada pH
urin >6,4. Semua batu dapat berhubungan dengan infeksi, dimana
obstruksi yang menyebabkan stasis di bagian proksimal dari sumbatan
dapat meningkatkan kejadian infeksi. Antibiotik yang telah diseleksi
melalui proses kultur bakteri dapat digunakan sebelum tatalaksana elektif.
Infeksi dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Bakteri uropatogenik
dapat mempengaruhi peristalsis saluran kemih dengan memproduksi
eksotoksin dan endotoksin. Peradangan lokal dari infeksi dapat
menyebabkan aktifasi kemoreseptor dan persepsi nyeri (Smith et al., 2013).
d) Demam
Demam yang berhubungan dengan batu saluran kemih adalah
kegawatdaruratan relatif. Tanda dari sepsis klinis dapat muncul bervariasi
dari demam, takikardi, hiporensi, dan vasodilatasi kutaneus. Nyeri sudut
kostovertebral mungkin menandai adanya obstruksi saluran kemih atas
akut, namun pada kasus kronis, nyeri bisa sangat ringan, namun batu ginjal
dapat muncul sebagai pembesaran massa ginjal akibat hidronefrosis.
Demam pada kejadian obstruksi saluran kemih harus segera dilakukan
dekompresi, dapat dengan kateter retrograde atau dengan percutaneous
nephrostomy tube (Smith et al., 2013).

7
e) Mual dan Muntah
Obstruksi saluran atas umumnya berhubungan dengan kejadian mual dan
muntah. Caira intravenus dibutuhkan untuk mengembalikan stadium
euvolemik. Cairan intravenous tidak boleh digunakan untuk memaksa
terjadinya diuresis guna menekan batu saluran kemih ke ureter.

C. Etiologi Pembentukan Batu Ginjal

C.1.Saturasi dan Perkembangan Batu

Memahami penyebab nefrolitiasis dibutuhkan untuk menangani dan


mencegah terjadinya batu ginjal. Supersaturasi yang cukup tinggi dibutuhkan
untuk menginduksi kristalisasi, dikenal sebagai ambang batas atas dari
metastabilitas, diperlukan dalam pembentukan batu ginjal, dimana inhibitor
meningkatkan ambang batas atas, dan promoter menurunkan ambang batas
tersebut (Pfau & Knauf, 2016).

Gambar 2 Proses Pembentukan Batu

Seperti pada gambar 2. proses dimulai dengan pembentukan segmen inisiasi


yang disebut nukleasi, dimana komponen kristal lain menempel di sekitar nukleus
dan membentuk kristal yang lebih besar, dan kristal-kristal besar dapat saling

8
menempel dalam proses yang dikenal sebagai agregasi kristal (Pfau & Knauf,
2016).

C.2.Lokasi Perkembangan Batu

Pada tahun 1937, Randall berteori bahwa deposit kalsium fosfat yang berada
di ujung papila renal (kemudian dikenal sebagai Randall's plaque) merupakan
lokasi ideal pembentukan batu kalsium oksalat, penelitian-penelitian berikutnya
menunjukkan bahwa Randall's plaque terbentuk dalam membran basalis dari
lengkung henle tipis, kemudian bergerak ke interstitium, terkadang melapisi
tubulus renal dan vasa recta, dan akhirnya muncul di permukaan epitelial papila
renal. (Randall, 1937) Menggunakan teknik seperti endoskopi digital, mikroskop
elektron, dan histopatologi, mereka dapat membedaakan berbagai fenotipe dari
pola mineralisasi dan kerusakan jaringan, serta tipe batu pada berbagai pasien.
(Bagga et al., 2013)
Teori vaskular mengenai kesamaan antara agregasi kristal dan agregasi plak
pada kerusakan vaskular pada pasien diabetes, hipertensi, dan arteriosclerosis
telah diajukan, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menegakkan teori
ini (Pfau & Knauf, 2016).

C.3.Inhibitor dan Promoter


Inhibitor menurunkan kemungkinan pembentukan batu bahkan pada kondisi
supersaturasi. Dalam teori kristal inhibitor, dinyatakan bahwa kalkuli terjadi
karena tidak adanya atau rendahnya konsentrasi dari berbagai inhibitor batu alami,
seperti magnesium, sitrat, pirofosfat, dan beberapa logam lainnya (Smith et al.,
2013). Salah satu inhibitor kuat pada pembentukan batu adalah sitrat, selain
kemampuannya membentuk kompleks solubel dengan kalsium (menurunkan
supersaturasi kalsium pada urin), sitrat terbukti menurunkan proses perkembangan
kristal dan agregasi. Magnesium juga dapat menghambat pembentukan batu
dengan mekanisme yang belum dimengerti sepenuhnya, penelitian laboratorium
menunjukkan bahwa magnesium menurunkan kestabilan kalsium oksalat, namun
dalam penelitian acak terkendali, tidak ditemukan manfaatnya dalam mengurangi
risiko batu ginjal. Validitas dari teori ini belum pasti karena pada banyak individu,

9
konsentrasi inhibitor cukup tinggi namun pembentukan batu tetap terjadi (Smith et
al., 2013).
pH basa >6,7 meningkatkan kristalisasi kalsium fosfat, seperti pada pasien
dengan asidosis tubulus renal distal, hiperparatiroid primer, atau sindrom milk-
alkali, dan pasien dengan pengobatan inhibitor anhidrase carbonik ( seperti
acetazolamide pada glaukoma, atau topiramate pada migrain)
PH asam seperti pH <5,5 meningkatkan presipitasi asam urat, ketika batu
asam urat atau batu sistin sudah ada, kondi urin yang basa meningkatkan
kristalisasi lebih jauh.
Jadi ada 3 hal yang perlu dipertimbangkan dalam penanganan pasien dengan
nefrolitiasis yang berhubungan dengan pembentukan batu, (1) apakah ada
peningkatan konsentrasi dari senyawa litogenik, seperti peningkatan eksresi,
penurunan aliran urin, atau keduanya? (2) Apakah ada promoter batu seperti
hiperuricosuria? (3) apakah terjadi penurunan inhibitor seperti konsentrasi sitrat
yang rendah?

D. Nefrolitiasis Kalsium

Kalsium adalah ion terbanyak pada kristal urin. Risiko dari batu saluran
kemih meningkat seiring dengan fraksi kalsium yang diabsorbsi melalui usus
meningkat, absorbsi kalsium oleh usus menurun dengan bertambahnya intake
kalsium. Hanya 50% dari kalsium plasma berupa ion dan tersedia untuk difiltrasi
pada glomerulus. Lebih dari 95% dari kalsium difiltrasi pada glomerulus dan
direabsorbsi pada tubulus distal dan proksimal serta dan hanya sedikit pada
tubulus kolektivus. Hanya kurang dari 2% kalsium dieksresikan melalui urin.
Obat diuretik dapat menyebabkan efek hipokalsiurik yang dapat menurunkan
eksresi kalsium. Ketersediaan kalsium terlarut dipengaruhi dari beberapa faktor,
seperti adanya sitrat, fosfat, dan sulfat yang akan berikatan membentuk komplek
dengan ion kalsium. Peningkatan monosodium urat dan penurunan pH urin
mengganggu terbentuknya komplek-komplek ini, sehingga meningkatkan
terbentuknya aggregasi kristal (Smith et al., 2013).

10
Lebih dari 80% batu ginjal mengandung kalsium, terutama dalam bentuk
kalsium oksalat. Batu kalsium oksalat dapat berbentuk batu monohidrat maupun
dihidrat. Batu kalsium oksalat monohidrat tampak seperi batu hitam keras mulus
dan kristalnya berbentuk dumbbell pada mikroskopi urin, sedangkan kalsium
oksalat dihidrat berbentuk batu kuning,

Gambar 3 Klasifikasi Batu Ginjal

iregular dan secara mikroskopis bentuk kristalnya seperti bentuk amplop. Batu
yang mengandung kalsium fosfat lebih jarang daripada batu kalsium oksalat, dan

11
berbentuk bermacam-macam tergantung dengan komposisi kimiawinya, dan pada
mikroskopi urin umunya berbentuk prisma tajam. Baik batu kalsium oksalat,
kalsium fosfat dan kristal asam urat sering dutemukan pada individu tanpa
keluhan batu klinis, sehingga spesifisitas diagnostiknya lebih terbatas jika
dibandingkan batu sistin, struvit, maupun obat yang mengkristal (Pfau & Knauf,
2016).

D.1. Faktor Risiko Nefrolitiasis Kalsium

a. Volume urin yang rendah.


Volume urin yang berkurang menyebabkan peningkatan saturasi dari solusi
dan meningkatkan risiko batu kalsium. Patokan klinis volume urin yang rendah
adalah dimana output urin <1L/hari, dan osmolaritas urin >600 mOsm/kg,
terkadang disebabkan karena kurang minum, cuaca panas, atau kehilangan melalui
gastrointestinal (diare). Peningkatan intake cairan, dan output urin pada pasien
dengan nefrolitiasis berulang dapat mengurangi saturasi dan menurunkan risiko
nefrolitiasis kalsium (Pfau & Knauf, 2016).

b. Hiperkalsiuria
Eksresi kalsium >250mg/hari pada wanita, dan >300mg/hari pada pria adalah
definisi dari hiperkalsiuria. Kalsium pada urin meningkatkan aktivitas ionik pada
pembenukan kristal garam kalsium dan mengikat inhibitor pembentukan batu
seperti sitrat pada urin. Hiperkalsiuria dapat terjadi akibat kondisi sistemik, seperti
hiperparatiroid primer, sarcoidosis, neoplasma, sindroma cushing, RTA distal,
atau kelebihan vitamin D, sehingga pada penanganan pasien dengan batu kalsium,
keadaan penyebab yang bisa ditangani harus diselesaikan terlebih dahulu. Ketika
kalsium plasma meleningkat, hormon paratiroid dan 25-dihidroksivitamin D harus
diukur juga, untuk menilai pembentukan batu. Kelainan monogenetik langka
seperti penyakit Dent, atau mutasi pada reseptor yang mengenali kalsium juga
dapat menyebabkan hiperkalsiuria (Smith et al., 2013)..

Pada sebagian besar pasien, tidak terdapat penyebab yang jelas dari
hiperkalsiuria, dan umumnya dikenal sebagai hiperkalsiuria idiopatik. Sering
ditemukan pada pria usia muda dan lanjut usia, dan berasosiasi dengan

12
peningkatan risiko hipertensi, obesitas, dan osteopenia. Dimana belum ada
penyebab terjadinya penomena ini, namun pada beberapa kasus terlihat proses
yang menyerupai kerja vitamin D pada jaringan, seperti peningkatan absorbsi
kalsium pada usus, dan mobilisasi mineral tulang (Pfau & Knauf, 2016).

c. Hiperoksaluria.
Oksalat adalah produk sisa metabolisme normal dan umumnya tidak terlarut.
Normalnya, 10-15% dari oksalat yang terdapat pada urin berasal dari makanan,
sisanya berasal dari sisa metabolik. Pada usus besar didekomposi oleh bakteri,
sedangkan pada usus halus, tidak dimetabolisme dan langsung dieksresikan
melalui tubulus proksimal, keberadaan kalsium pada lumen usus adalah faktor
penting dalam menentukan jumlah oksalat yang di absorbsi. Konsentrasi oksalat
pada urin memiliki peran penting dalam pembentukan batu kalsium oksalat.
Eksresi normal sekitar 20-45mg.hari dan tidak berubah seiring dengan
bertambahnya usia. Ekskresi meningkat di siang hari saat makan. Prekrusor
penting dari oksalat adalah glisin dan asam askorbik, namun konsumsi vitamin c
<2g/hari tidak menimbulkan perubahan yang berarti (Smith et al., 2013).

Terdapat dua sumber umum dari oksalat pada urin, produksi oksalat
endogenik, dan absorbsi oksalat eksogenus. Ginjal bekerja untuk eksresi oksalat.
Oksalat masuk ke dalam tubulus proksimal melalui filtrasi dan sekresi.
Hiperoksaluria terdapat pada 10 hingga 50% pembentuan batu, dan didefinisikan
sebagai eksresi oksaat urin > 40 mg/hari. Peningkatan eksresi oksalat urin
meningkatkan saturasi, risiko pembentukan kristal, dan kerusakan tubulus.

Hiperoksaluria primer adalah kelainan autosomal resesif yang menyebabkan


overproduksi dari oksalat dalam liver karena defek pada metabolisme glikosilat.
Terdapat 3 tipe hiperoksaluria primer, tipe I paling sering terjadi. Hiperoksaluria
peimer berhubungan dengan kejadian nefrolitiasi yang berulnag, nefrokalsinosis
yang progresif, dan kelainan ginjal end-stage. Seiring perkembangan dari
kerusakan ginjal dan oksalat tidak lagi mampu di eksresikan dengan baik,
konsentrasi oksalat pada plasma meningkat dan pasien berisiko terkena oksalosis

13
sistemik, ditandai dengan deposit oksalat pada jantung, tulang, retina, dan jaringan
kulit (Smith et al., 2013).

Selain produksi oksalat endogenik, oksalat yang berasal dari makanan


diabsorbsi secara pasif dan transport paracellular melalui tight junction dinding
usus, terutama usus besar Makanan yang kaya akan oksalat adalah bayam,
beetroot, coklat dan es teh, selain itu vitamin C juga dimetabolisme menjadi
oksalat, sehingga penggunaan suplemen vitamin C juga menjadi faktor risiko
hiperoksaluria dan pembentukan batu ginjal.

Malabsorbsi lemak pada pasien dengan penyakit peradangan usus, fibrosis


kistik, insuffisiensi pankreas, dan sirosis bilier, dan penggunaan beberapa obat,
meningkatkan asam lemak bebas yang dapat mengikat kalsium pada lumen usus
dan menghambat kalsium mengikat oksalat, dan meningkatkan jumlah oksalat
yang diabsorpsi oleh usus. Asam lemak dan bile salt yang tidak terabsorpsi telah
terbukti meningkatkan permeabilitas mukosa usus besar terhadap oksalat.
Kolonisasi dari traktus intestinal oleh bakteri Oxalobacter formigenes yang
menggunakan oksalat sebagai sumber energinya, mengurangi absorbsi oksalat
usus dan hiperoksaluria, ketika antibiotik digunakan pada kasus ini, O. formigenes
berkurang dan menyebabkan jumlah oksalat yang tinggi untuk diasborbsi.
Kondisi-kondisi ini mendukung terbentuknya batu kalsium oksalat (Pfau & Knauf,
2016).

d. Hipositraturia
Asam sitrat adaah asam trikarboksilik yang umumnya berasal dari
metabolisme eksidatif endogenik. Umumnya secara bebas terfiltrasi melalui
glomerulus dan berbeda dengan asam oksalik, secara aktif direasorbsi dalam
tubulus proksimal. Hipositraturia berhubungan dengan nefrolitiasis kalsium dalam
20 hingga 60% kasus. Didefinisikan sebagai konsentrasi sirat <325 mg/hari. Sitrat
menghambat pembentukan batu dengan cara berikatan dengan kalsium pada urin,
mengurangi nukleasi mendadak, dan mencegah agregasi kristal. Keseimbangan
asam basa adalah faktor terpenting dalam reabsorbsi sitrat pada tubulus; Asidosis
dan hipokalsemia meningkatkan kebutuhan akan sitrat sebagai pembentuk
bikarbonat dan sebagai akibatnya, mengurangi konsentrasi sitrat pada uri,

14
sehingga kondisi asam basa sistemik, konsentrasi kalium pada serum, dan tingkat
keasaman urin mempengaruhi risiko pembentukan batu. Beberapa kondisi klinis
yang berhubungan dengan asidosis metabolik dapat menyebabkan hipositraturia:
diare kronis, diet tinggi protein, dan RTA. Hipositraturia dapat ditangani dengan
penggunaan senyawa alkalis (bikarbonat atau sitrat), karena beban garam adalah
faktor risiko dari batu ginjal itu sendiri, sehingga alkali yang mengandung
potasium lebih diutamakan.

e. Hiperurikosuria
Asam urat adalah produk sampingan dari metabolisme purin. Konstanta
diasosiasi asam pada asam urat adalah 5,75. Dimana pada pH dibawah 5,75 lebih
banyak dalam bentuk asam urat yang tidak terlarut, dan pada suasana lebih basa,
lebih banyak dalam bentuk urate yang terlarut. Sekitar 10% dari asam urat yang
terfiltrasi masuk ke urin. Hiperurikosuria terdeteksi pada 10% kasus batu ginjal
kalsium, dan didefinisikan sebagai eksresi asam urat > 750mg/hari pada wanita
atau > 800 mg/d pada pria. Hiperurikosuria mengurangi solubilitas kalsium
oksalat dan meningkatkan kristalisasi kalsium oksalat (Pfau & Knauf, 2016).

D.2.Pencegahan Nefrolitiasis Kalsium

a) Intake Cairan

Peningkatan intake cairan dengan tujuan menjaga output urin lebih dari 2 atau
2 L/hari telah terbukti mengurangi risiko batu berulang. Cairan dengan kandungan
natrium yang rendah merupakan anjuran. Konsumsi alkohol masih kontroversial,
karena beberapa penelitian menunjukkan manfaat untuk mencegah pembentukan
batu kalsium namun meningkatkan pembentukan batu asam urat.

b) Pola Makan

Pola makan memiliki berbagai faktor risiko yang merupakan target intervensi.
Pada satu uji acak terkendali, peserta penelitian dengan hiperkalsiuria dianjurkan
untuk mencegah oksalat berlebih, serta menjaga diet kalsium normal hingga tinggi
(1200 mg/hari) dan rendah protein hewani, serta rendah natrium. Dibandingkan

15
pada pasien dengan pola makan kontrol, dimana terdapat jumlah kalsium yang
lebih rendah (400mg/hari), dimana risiko batu berulang menurun pada pasien
dengan diit kalsium yang tinggi. Karena kalsium pada pola makan terutama
rendah garam akan mengikat oksalat dan mencegah terbentuknya batu oksalat.

Penanganan pada pasien dengan batu kalsium oksalat karena hiperoksaluria


enterik mencangkup edukasi untuk menjaga volume urin cukup banyak, serta
mengatur pola makan yang rendah oksalat, tinggi kalsium dan rendah lemah.

c) Anjuran Obat
 Diuretic Thiazide. Obat ini umum digunakan pada pasien dengan
hiperkalsiuria idiopatik dan pada kasus batu normokalsiurik.Diuretik
thiazide mengambat cotransporter Na+/Cl- pada tubulus konvolusi distal,
meningkatkan reabsorbsi kalsium pada tubulus proksimal. Efek terbaik
apabila dikombinasikan dengan diet rendah garam. Efek samping dari
diuretic thiazide adalah menyebabkan penurunan kalium yang dapat
menyebabkan hipositrauria dan membuat pasien memerlukan suplemen
kalium (secara ideal, digunakan kalium sitrat)
 Kalium Sitrat. 6 uji acak terkendali telah meneliti efek dari pemberian
sitrat terutama pada batu kalsium, yang mendukung bahwa sitrat
menurunkan kejadian batu barulang, namun pada 4 dari 6 tersebut, pasien
juga mendapat peningkatan intake cairan, dimana membuat lebih sulit
menentukan intervensi manakah yang menurunkan risiko batu ginjal.
American Urological Association (AUA) merekomendasikan kalium sitrat
pada pasien dengan kejadian batu berulang yang memiliki volume ekskresi
sitrat urin rendah hingga normal, pada pasien batu berulang dengan
ekskresi sitrat normal namun keasaman urin yang tinggi, dan bahkan pada
pasien dengan pasien batu berulang yang tidak memiliki kelainan
metabolik terdeteksi. Pada batu kalsium fosfat, sitrat adalah inhibitor
kompeten dari pembentukan kristal kalsium fosfat. DIrekomendasikan 20
hingga 80 mEq kalium sitrat dibagi menjadi 3 hingga 4 dosis per hari.
Tingkat keasaman urin harus dimonitor karena pH urin tidak boleh
melebihi 6,5-7.

16
 Allupurinol. 4 Uji acak terkendali mempelajari efek dari allupurinol
terhadap batu kalsium dimana telah diduga mengurangi kejadian batu
berulang. Namun tidak terlalu konsklusif karena penelitian terlalu kecil
dan seperti pada kalium sitrat, peserta penelitian juga mendapat
peningkatan intake cairan.
 Kolestiramin. Medikasi ini menggunakan sekuestran asam empedu untuk
mengurangi hiperabsorbsi dari hiperoksaluria enterik. Kolestiramin
mengikat asam empedu bebas, dan mengurangi efek iritasi dari asam
empedu bebas pada mukosa kolon, terlebih, kolestiramin mengikat oksalat
pada penelitian in vitro (Pfau & Knauf, 2016).

E. Batu Kalsium Fosfat dan RTA Distal

Secara umum, pasien dengan batu kalsium fosfat memiliki faktor risiko yang
sama dengan pasien dengan batu kalsium oksalat.pH urin yang tinggi mendukung
terbentuknya batu kalsium fosfat. RTA distal adalah kondisi langka yang ditandai
dengna kurangnya sekresi ion hidrogen pada distal nefron. DIstal RTA dapat
terjadi sebagai defek protein yang diwariskan dari orang tua, dimana protein
tersebut berperan pada ekskresi ion, dapat disebabkan oleh penyakit autoimun
(seperti sindroma Sjongren), atau secara idiopatik. Hipokalemi umumnya terjadi,
nampak sebagai hipocitraturia. Pada RTA distal inkomplete, terlihat hasil yang
sama (pH urin yang tinggi, hipositraturia dan hiperkalsiuria) namun dengan
tingkat bikarbonat serum yang normalm dan pH urin yang tidak dapat turun
hingga <5,4 walaupun telah dilakukan penanganan (seperti kombinasi furosemida
dan fludrokortison). Jika tidak ditangani, RTA distal dan batu kalsium fosfat
konkomitan dapat menyebabkan nefrokalsinosis dan kelainan tulang.

Sayangnya, belum terdapat penelitian uji acak terkontrol mengenai


penanganan batu kalsium fosfat dan RTA distal. Penanganan umumnya dilakukan
dengan peningkatan intake cairan dan diet rendah garam, serta dapat diberikan
kalium sitrat. Pada penggunaan kalium sitrat tingkat keasaman urin harus
dimonitor karena pH urin tidak boleh melebihi 6,5-7. Diuretik thiazid dapat

17
digunakan, terutama pada pasien degan hiperkalsiuria dan densitas tulang rendah
(Pfau & Knauf, 2016).

F. Batu Asam Urat

Asam urat adalah produk sampingan dari metabolisme purin. Konstanta


diasosiasi asam pada asam urat adalah 5,75. Dimana pada pH dibawah 5,75 lebih
banyak dalam bentuk asam urat yang tidak terlarut, dan pada suasana lebih basa,
lebih banyak dalam bentuk urate yang terlarut. Sekitar 10% dari asam urat yang
terfiltrasi masuk ke urin (Smith et al., 2013).

Batu asam urat adalah 5-10% dari semua kejadian batu ginjal. Batu asam urat
umumna berwarna jingga atau merah, dan memiliki kristal berbentuk rhomboid
pada mikroskopis urin. Pada pH <5,5, konsentrasi asam urat yang tidak terlarut
melebihi urat yang terlarut dan menyebabkan presipitasi kristal. pH urin yang
rendah adalah penyebab utama (80%) dari pembentukan kristal asam urat, diikuti
oleh hiperurikosuria (20%), yang didefinisikan sebagai eksresi asam urat >800
mg/hari pada pria dan >750 mg/hari pada wanita.

Batu asam urat lebih sering pada pasien dengan gout, sindroma metabolik,
dan diabetes. Penyebab lainnya dari batu asam urat adalah kelainan
myeloproliferatif, diet tinggi purin, atau defisiensi enzim herediter seperti
sindroma Lesch Nyhan. Hubungan antara batu asama urat dan resistensi insulin
telah dipelajari, ditemukan bahwa pasien diabetes memiliki risiko lebih tinggi
mengalami batu asam urat (30-40%) dibandingkan populasi normal (5-10%).

Tingkat keasaman yang tinggi pada urin adalah faktor patogenik terpenting
pada formasi batu asam urat, alkalinisasi urin adalah intervensi efektif untuk
mengurangi kejadian kristal asam urat dan memecah batu asam urat. Sehingga
penggunaan kalium sitrat, dengan tujuan meningkatkan pH urin ke 6 atau 6,5,
namun harus dijaga agar urin tidak terlalu basa. Pada pasien dengna
hiperurikosuria, pengurangan purin pada diet disarankan, dan apabila itu tidak
cukup, penggunaan medikasi seperti allopurinol dapat diberikan (terutama pada

18
pasien dengan gout primer). Febuxostat, 80 mg, suatu inhibitor xantine oksidase,
telah terbukti mengurangi eskresi asam urat urin pada pasien dengan
hiperurikosuria, namun penelitian lebih lanjut harus dilakukan (Pfau & Knauf,
2016).

G. Batu Infeksi

Batu infeksi adalah batu yang terjadi berhubungan dengan infeksi saluran
kemih (ISK) sebagai akibat dari proliferasi mikroba. Umumnya berbentuk
magnesium-ammonium-fosfat (struvite) dan atau mengandung mineral karbonat.
Faktor risikonya termasuk ISK berulang, obstruksi saluran kemih, neurogenic
bladder, disfungsi pengosongan kandung kemih, dan penggunaan kateter urin.
Wanita lebih sering terkena dibandingkan pria (10% vs 4%), dimana insidensi
umum sudah menurun pada negara maju. Kombinasi batu struvite dan dan
kalsium oksalat dapat terjadi pada infeksi sekunder pada psien dengan
hiperkalsiurik yang sebelumnya sudah memiliki batu kalsium oksalat. Gejala
berhubungan dengan ISK dan mungkin terjadi nyeri flank dan hematuria. bakteri
gram negatif penghasil urea memetabolisme urea pada urin menjadi ammonium
dan bikarbonat, ammonium kemudian akan bergabung dengan magnesium, fosfat,
dan air membentuk batu magnesium-ammonium-fosfat. Batu infeksi dapat
bercabang dan membentuk kalkuli tanduk rusa "staghorn calculi), terlihat sebagai
abses ginjal, urosepsis, dan penurunan fungsi ginjal. Urinalisis menunjukkan
pH>7, leukositosis, dan bakteria. Sedimen urea menunjukkan bentuk persegi
panjang (Pfau & Knauf, 2016).

Tatalaksana dengan antibiotik saja tidak tepat karena bakteri yang berada di
dalam batu sulit untuk dibunuh dengan menggunakan antibiotik, penanganan
bedah untuk mengangkat batu lebih disarankan, dan bergantung pada kondisi batu,
kombinasi dengan litotripsi mungkin diperlukan. Untuk batu struvite disebabkan
oleh batu kalsium oksalat, sindroma metabolik yang ada harus terlebih dahulu
ditangani. AUA menyarankan tatalaksana asam acetohidroksamik (15mg/kg/hari)
sebagai pilihan pada pasien dengan residu batu struvit, atau kejadian batu struvit
berulang, dimana tatalaksana bedah sudah dilakukan sebelumnya (Pfau & Knauf,
2016).

19
H. Sistinuria

Sistinuria adalah kelainan genetik autosomal resesif, dimana terdapat defek


pada transporter asam amino pada tubulus proksimal dan usus halus. Defek ini
menyebabkan kegagalan reasorbsi dari asam amino sistin, omithin, lisin, dan
arginin ( COLA), namun fenotipe terpenting dalam penyakit ini adalah sistin.
Batu sistin ditemukan pada 1-2% dari pasien batu ginjal, dengan presentase lebih
tinggi pada pasien usia anak (5%). Batu sistin simptomatik pertama umumnya
terjadi antara usia 2-40 tahun (median onset: anak perempuan 12 tahun, dan anak
laki-laki 15 tahun). Gejala klinis yang nampak adalah nyeri pinggang bawah dan
hematuria, seperti tipe batu lainnya. Urinalisis menunjukkan kristal patognomonik
berbentuk heksagonal pada 1/4 kasus. Tes sianida-nitroprusside akan
menunjukkan hasil kualitatif pada konsentrasi sitin >75mg/L pada urin. Namun
spesifisitasnya terbatas karena hasil positif palsu bisa didapatkan seperti pada
pasien dengan sindroma Fanconi, atau mengkonsumsi ampisilin atau obat yang
mengandung urea.Pasien dengan batu sistin definitif, penemuan kristal sistin pada
urin, atau tes sianida-nitroprusida positif harus menjalani monitor urin 24 jam
untuk menghitung eksresi sisteinnya (Pfau & Knauf, 2016).

Penatalaksanaan pada pasien dengan sistinuria cukup rumit dan dapat dibagi
menjadi tatalaksana konservatif dan tatalaksana menggunakan obat-obatan
mengandung thiol. Intervensi konservatif ditujukan untuk mengurangi
supersaturasi sistin dengan meningkatkan intake cairan dan pH urin, serta
membatasi intake garam. Sebelum memulai terapi obat, semua intervensi
konservatif harus dilakukan, kecuali konsentrasi sistin pada urin sangat tinggi
(>1000mg) sehingga tatalaksana konservatif saja tidak cukup. Intake cairan
direkomendasikan 3 hingga 4L per hari dengan tujuan mengurangi konsentrasi
sistin urin hingga <250mg/L pada pH 7. Untuk mendapatkan pH yang lebih basa,
digunakan kalium sitrat. Baik peningkatan pada output urin dan pH harus
diusahakan merata sepanjang hari, seperti dengan pemberian intake cairan yang
tinggi sebelum tidur dan penggunaan kalium sitrat yang juga diberikan dengna
dosis lebih tinggi hingga 3-4 mEq/kg/hari (dibagi menjadi 3-4 dosis) dengan
tujuan pH>7. Pengurangan intake garam mengurangi eksresi sistin pada urin

20
dengan mekanisme yang belum dimengerti. Eksresi sistin urin yang menetap
>250mg/L, kristal sistein pada sedimen urin, dan kegagalan untuk mencapai pH>7,
adalah indikasi pemberian obat yang mengandung thiol, seperti penicillamine dan
tiopronin. Kedua obat ini mengurangi ikatan disulfida pada sistein. Penggunaan
obat mengandung thiol umumnya dibatasi karena dapat menyebabkan berbagai
efek samping, seperti rash, pemfigus, trombositopenia, dan nefropati membranous,
yang lebih jarang terjadi pada pengobatan tiopronin. Captopril dapat digunakan
pada pasien yang tidak kuat menggunakan d-penicilamine/tiopronin. Captopril
dapat membentuk captopril-sistein disulfida yang lebih mudah terlarut daripada
sistin, namun membutuhkan dosis yang tinggi (>150mg/hari), yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah, sehingga penggunaannya terbatas,
ditambah lagi, belum ada penelitian acak terkontrol yang mempelajari
penggunaan captopril pada sistinuria (Pfau & Knauf, 2016).

I. Gejala Klinis

1) Nyeri

Nyeri ginjal kolik dan non-kolik adalah 2 tipe nyeri yang berasal dari renal.
Kolik renal umumnya disebabkan oleh pelebaran dari sistem kolektivus atau
ureter, dimana nyeri non kolik disebabkan oleh distensi kapsul renalis. Gejala ini
bisa terjadi bersamaan, membuat membedakannya secara klinis menjadi lebih
sulit. Obstruksi saluran kemih adalah mekanisme utama dari kolik renal. Hal ini
dapat juga ditimbulkan ketika pasien mengalami uretopyelogram retrograde
dengan tekanan yang berlebihan. Nyeri ini disebabkan karena peningkatan
tekanan langsung intraluminal yang merengangkan akhiran saraf (Smith et al.,
2013).

Kolik renal kadang tidak hilang timbul atau datang secara bergelombang
seperti kolik pada saluran usus dan empedu, karena dapat timbul sebagai nyeri
konstan. Kolik renal berasal dari intraluminal, dimana pasien dengan batu ginjal
disebabkan karena obstruksi urin (Smith et al., 2013).

21
Mekanisme lokal seperti peradangan, edema, hiperperistaltik, dan iritasi
mukosa dapat berpengaruh pada persepsi nyeri pada pasien batu ginjal. Sebagian
besar dari batu empedu muncul sebagai nyeri akut karena akut obstruksi dan
distensi dari saluran kemih atas. Berat dan lokalisasi dari nyeri dapat berbeda-
beda, dari satu pasien ke pasien lain, disebabkan perbedaan ukuran batu, lokasi
batu, tingkat obstruksi, permukaan batu, dan variasi di anatomi individual. Ukuran
batu tidak pasti berbanding lurus dengan berat nyeri, batu kemih kecil dapat
menyebabkan nyeri hebat, dimana batu staghorn besar bisa hanya menimbulkan
nyeri tumpul ringan atau bahkan ketidaknyamanan saja.

Nyeri umumnya mendadak dan berat, pasien mungkin terbangun dari


tidurnya. Pasien mungkin sering berpindah tempat atau posisi tidur untuk
mengurangi nyeri, berbeda dengan seseorang dengan nyeri peritoneal.

2) Hematuria

Urinalisis lengkap mungkin membantu menegakkan diagnosis dari batu


kemih yang ditandai dari hematuria atau kristaluria dan perubahan pH urin. Pasien
batu ginjal umumnya memiliki gross hematuria intermiten, dan kadang urin
berwarna teh. Kebanyakan pasien mengeluhkan mikrohematuria. 10-15% kasus
obstruksi saluran kemih muncul tanpa mikrohematuria.

3) Infeksi

Batu magnesium ammonium fosfat disebut juga batu infeksi. Umumnya


berhubungan dengan infeksi Proteus, Pseudomonas, Providencia, Klebsiella dan
Staphylococcus, sangat jarang berhubungan dengan infeksi E.coli. Batu kalsium
fosfat adalah jenis batu kedua yang berhubungan dengan infeksi. Batu kalsium
fosfat pada urin pH <6,4 umumnya disebut batu brushite, dimana batu aptit infeksi
terjadi pada pH urin >6,4. Semua batu dapat berhubungan dengan infeksi, dimana
obstruksi yang menyebabkan stasis di bagian proksimal dari sumbatan dapat
meningkatkan kejadian infeksi. Antibiotik yang telah diseleksi melalui proses
kultur bakteri dapat digunakan sebelum tatalaksana elektif.

22
Infeksi dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Bakteri uropatogenik dapat
mempengaruhi peristalsis saluran kemih dengan memproduksi eksotoksin dan
endotoksin. Peradangan lokal dari infeksi dapat menyebabkan aktifasi
kemoreseptor dan persepsi nyeri.

4) Demam

Demam yang berhubungan dengan batu saluran kemih adalah


kegawatdaruratan relatif. Tanda dari sepsis klinis dapat muncul bervariasi dari
demam, takikardi, hiporensi, dan vasodilatasi kutaneus. Nyeri sudut
kostovertebral mungkin menandai adanya obstruksi saluran kemih atas akut,
namun pada kasus kronis, nyeri bisa sangat ringan, namun batu ginjal dapat
muncul sebagai pembesaran massa ginjal akibat hidronefrosis. Demam pada
kejadian obstruksi saluran kemih harus segera dilakukan dekompresi, dapat
dengan kateter retrograde atau dengan percutaneous nephrostomy tube.

5) Mual dan Muntah

Obstruksi saluran atas umumnya berhubungan dengan kejadian mual dan


muntah. Caira intravenus dibutuhkan untuk mengembalikan stadium euvolemik.
Cairan intravenous tidak boleh digunakan untuk memaksa terjadinya diuresis
guna menekan batu saluran kemih ke ureter (Smith et al., 2013)..

23
J. Komplikasi dan Kondisi-kondisi Lain Yang Berhubungan dengan
Nefrolitiasis

1) Nefrokalsinosis medullaris
Nefrokalsinosis adalah kalsifikasi dari parenkim ginjal dan umumnya
terjadi pada medula renal. Hiperkalsiuria adalah faktor risiko tersering dan
dapat muncul dengan atau tanpa hiperkalsemia konkomitan.
Nefrokalsinosis umumnya asimptomatik, kronis, dan progresi lambat,
dimana dapat umumnya ditemukan dengan tidak sadar saat pemeriksaan
USG atau CT. Hipertiroid primer, sindroma susu-basa, asidosis tubulus
renal distal dan medullary sponge kidney (MSK) adalah diagnosis umum
ketika terdapat nefrokalsinosis. Selama beberapa tahun terakhir, beberapa
kelainan genetik telah diidentifikasikan berhubungan dengan
nefrokalsinosis, seperti penyakit "Dent", sindroma Lowe, hiperoksaluria
primer tipe 1 hingga 3, dan hipomagnesemia familial dengan hiperkalsiuria
dan nefrokalsinosis. Prognosis ginjal pada nefrokalsinosis bergantung pada
keadaan yang menyebabkannya: pasien dengan RTA distal atau MSK
jarang mengalami CKD, sedangkan pasien dengan hiperoksaluria primer
atau penyakit Dent sering mengalami perburukan fungsi ginjal yang
progresif (Pfau & Knauf, 2016).

24
.

2) Medullary Sponge Kidney

Merupakan kelainan malformasi ginjal, dimana terjadi dilatasi duktus


kolectivus dan pembentukan kista medularis. Awalnya dikenal sebagai
kelainan sporadik, namun kini telah diidentifikasi sebagai kelainan gen
dominan herediter. Umumnya terjadi bersamaan dengan nefrokalsinosis,
ISK, dan kejadian batu ginjal berulang. Karena perubahan anatomis dari
penyakit ini, dilatasi pada duktus kolektivus menyebabkan stasis urin dan
meningkatkan presipitasi dari senyawa yang sulit larut. Selain itu, pasien
umumnya mempunyai kondisi seperti hiperkalsiuria maupun hipositraturia
yang meningkatkan pembentukan batu. Hiperkalsiuria diduga karena
berkurangnya reabsorbsi kalsium pada tubulus kolektivus yang rusak.

Makrohematuria atau mikrohematuria, kerusakan ginjal dan


hiperparatiroid dapat menjadi gejala dari penyakit ini. Patogenesis
terjadinya hiperparatiroid masih belum dimengerti dengan baik, diduga
karena perubahan keseimbangan kalsium karena bertambahnya kalsium
yang hilang melalui urin, karena hal itu juga MSK dapat menyebabkan
peningkatan risiko osteopenia atau osteoporosis. Diagnosis MSK dapat
ditegakkan dengan IVP dimana papila renal menunjukkan gambaran
seperti kuas cat, selain itu dapat digunakan CT urografi.

Ketika gejala seperti nefrolitiasis terlihat, faktor risiko urin harus


dievaluasi seperti dengan melakukan pengumpulan urin 24 jam, dan
menggunakan dasar penatalaksanaan yang sama dengan nefrolitiasis
kalsium. Penanganan dengan sitrat alkalis dapat digunakan untuk
menurunkan hiperkalsiuria dan meningkatkan mineralisasi tulang.

3) Osteopenia dan Osteoporosis

Nefrolitiasis berhubungan dengan berkurangnya kepadatan mineral


tulang, ostopenia dan ostoporosis. Ostopenia mungkin adalah gejala paring
berat dari nefrolitiasi karena meningkatkan mortalitas berkenaan dengan

25
kejadian patah tulang. Terdapat beberapa mekanisme yang diduga
merupakan patogenesis dari osteopenia pada pasien batu ginjal, seperti
hiperkalsiuria dan konsumsi tinggi protein yang menyebabkan asidosis
metabolik. Selain itu sitokin yang meningkatkan resorpsi tulang (seperti
interleukin 1, interleukin 6, dan tumor nekrosis faktor alfa) juga meningkat
pada kasus hiperkalsiuria idiopatik. Mutasi dari cotransporter natrium
fosfat pada ginjal menyebabkan terbuangnya fosfat melalui urin,
pembentukan batu, dan ostopenia adalah salah satu contoh defek genetik
yang menyebabkan batu ginjal dan ostopenia (Pfau & Knauf, 2016)

4) Gagal Ginjal

Nefrolitiasis adalah penyebab tidak umum untuk gagal ginjal. Namun,


batu struvit yang dapat menyebabkan perubahan anatomik dan fungsional
dari saluran kemih, dan beberapa penyakit batu herediter (sistinuria,
hiperoksaluria primer dan penyakit Dent) meningkatkan risiko baik
penyakit ginjal akut dan penyakit ginjal kronis. Walaupun nefrolitiasis
berhubungan dengan hipertensi, obesitas, kelainan arteri coroner, atau
diabetes, yang juga dapat meningkatkan kejadian CKD, namun bahkan
pada kondisi dimana faktor-faktor tersebut dikontrol, pasien dengan batu
ginjal memiliki risiko 50-60% lebih tinggi. Hal ini diduga karena obstruksi
berulang dapat menyebabkan peningkatan intratubular yang menyebabkan
vasokontriksi renal, penurunan aliran suplay darah ke ginjal dan kerusakan
jaringan. Pada penelitian dengan hewan, aktivasi sistem imun innate yang
disebabkan oleh kristal oksalat meningkatkan kejadian CKD akibat oksalat,
namun perlu penelitian lebih lanjut apakah intervensi yang menghambat
peradangan yang disebbabkan oleh kristal urin dapat memperlambat
progresi CKD pada manusia (Pfau & Knauf, 2016)

26
27
Daftar Pustaka

Bagga HS, Chi T, Miller J, Stoller ML. New insights into the pathogenesis of
renal calculi. Urol Clin North Am.2013;40(1):1-12.
Depkes RI(2013). Laporan riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Hanley JM, Saigal CS, Scales CD, Smith AC (2012). Prevalences of kidney
stone in the united states. Journal European Association of Urology, 2012;
62(1): 160-165
Kobayashi T, Nishizawa K, Mitsumori K, Ogura K. Impact of date of onset on
the absence of hematuria in patients with acute renal colic. J Urol.
2003;170:1093-1096.
Health Technology Assasement Indonesia (2005). Penggunaan extracorporeal
shockwave lithotripsy pada batu saluran kemih. Jakarta: HTAI
Pfau A, Knauf F. Update on Nephrolithiasis: Core Curriculum 2016.
AJKD.2016.68(6):973-985
Randall A. The origin and growth of renal calculi. Ann Surg.1937;105(6):1009-
1027.
Rule AD, Lieske JC, Li X, Melton LJ 3rd, Krambeck AE,Bergstralh EJ. The
ROKS nomogram for predicting a second symptomatic stone episode. J Am
Soc Nephrol.2014;25(12):2878-2886.
Scales CD Jr, Smith AC, Hanley JM, Saigal CS; Urologic Diseases in America
Project. Prevalence of kidney stones in the United States. Eur Urol.
2012;62(1):160-165.
Smith-Bindman R, Aubin C, Bailitz J, et al. Ultrasonography versus computed
tomography for suspected nephrolithiasis. N Engl J Med.
2014;371(12):1100-1110.
Smith, Donald R., Emil A. Tanagho, and Jack W. McAninch. 2013. Smith's
general urology 18th ed. Norwalk, Conn: Appleton & Lange

1
Taylor EN, Curhan GC. Dietary calcium from dairy and nondairy sources, and
risk of symptomatic kidney stones. J Urol. 2013;190(4):1255-1259.

Anda mungkin juga menyukai