HTTP
HTTP
html
Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra
(cat minyak di atas kanvas, 2015)
Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai
Perang Puputan Badung, yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh
pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika
seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat
menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda. Tahun 1904, Yohannes Benedictus van
Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi
gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun.
Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “Pax
Neerlandica” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan
yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia)
berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda.
Pandangan dan pendirian Van Heutsz bertentangan dengan keadaan di beberapa
wilayah Hindia Belanda, termasuk di Pulau Bali.
Di Bali, struktur asli pemerintahan kerajaan–berdasarkan perjanjian yang dibuat
antara semua kerajaan di Bali dengan pemerintah Hindia Belanda tahun 1849–masih
dijamin dan dihormati pelaksanaannya di bawah pimpinan raja-raja yang memerintah.
Dengan arti, di kerajaan-kerajaan Bali, peraturan perundang-undangan pemerintah
Hindia Belanda tidak berlaku.
Van Heutsz menganggap semua itu sebagai sebuah ketidakseragaman, tidak sesuai
dengan prinsip “Pax Neerlandica”, dan secara cara pandang kolonialis dianggap
menodai kehormatan dan wibawa Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, sejak berkuasa
sebagai gubernur jenderal, Van Heutsz sangat terdorong untuk segera menguasai
kerajaan-kerajaan Bali secara penuh, menempatkan raja-raja di bawah kekuasaan
pemerintah pusat di Batavia. Akan tetapi niat Van Heutsz terganjal oleh perjanjian
antara Hindia Belanda dan kerajaan-kerajaan Bali yang sudah disepakati pada 13 Juli
1849; yang secara hukum, menjamin berlangsungnya urusan dalam negeri kerajaan-
kerajaan Bali secara merdeka dan pemerintah pusat Batavia tak diperkenankan untuk
mencapurinya. Perjanjian tersebut membuat Van Heutsz merasa tidak mungkin untuk
mengadakan “penaklukan” secara spontan dan tanpa alasan terhadap raja-raja Bali–
dan tentunya jika “penaklukan” itu berlangsung akan mendapat reaksi dari Dewan
Hindia maupun Parlemen Kerajaan Belanda.
Gubernur Jenderal Yohannes Benedictus van
Heutsz
(Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1904-1909)
Berita mengejutkan datang pada tanggal 27 Mei 1904. Pada pagi hari sekitar pukul
06.00, sebuah kapal wangkang berbendera Belanda bernama “Sri Kumala” yang
merupakan milik seorang Tionghoa bernama Kwee Tektjiang, yang berukuran 90,27
register ton dan mempunyai pas laut Hindia Belanda tanggal 18 Maret 1904 No. 16,
berlayar dari Banjarmasin dan karam di pesisir pantai Sanur, wilayah selatan Kerajaan
Badung, satu dari delapan kerajaan yang ada di Bali. Kapal wangkang tersebut–sesuai
dengan laporan para nahkoda dan pemilik kapal serta oleh seorang syahbandar
Tionghoa Sanur bernama Sik Bo–mengangkut barang muatan seperti minyak tanah,
gula pasir, serta terasi yang akan diperdagangkan di Bali, dan juga puluhan ribu uang
kepeng dan uang perak sejumlah 3.000 ringgit atau 7.500 gulden.
Setelah gelombang laut mereda, atas saran Sik Bo, nahkoda dan pemilik kapal
melaporkan kejadian tersebut kepada punggawa Sanur, Ida Bagus Ngurah. Punggawa
Sanur segera memerintahkan agar diadakan penjagaan atas bangkai kapal “Sri
Kumala” beserta isinya. Sebagaimana diketahui, kerajaan-kerajaan Bali memiliki
sebuah peraturan bernama Hukum Tawan Karang (“Taban Karang”). Hukum tersebut
merupakan dasar dari hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali, dimana raja akan
menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh
muatannya. Hukum Tawan Karang resmi dihapuskan pada perjanjian yang disepakati
tahun 1849, dan dalam perjanjian tersebut, bila ada suatu musibah kapal karam,
maka raja-raja Bali diharuskan untuk bertanggungjawab melindungi dan
menyelamatkan kapal beserta isinya.
Karena ternyata bangkai kapal “Sri Kumala” tidak dapat diselamatkan lagi, punggawa
Sanur memerintahkan rakyat sekitar untuk membongkar bangkai kapal itu dan
mengumpulkan semua rongsokannya di Desa Beaung. Beberapa minggu setelah
dibongkarnya “Sri Kumala”, pemilik kapal menghadap Residen Bali dan Lombok, J.
Eschbach, di Singaraja. Pemilik kapal menganggap bahwa kapal beserta hartanya
telah dirampas oleh penduduk-penduduk sekitar Sanur. Laporan tersebut
menimbulkan ketegangan antara Kerajaan Badung dengan pemilik kapal.
Apabila laporan Kwee Tektjiang benar, timbullah suatu pertanyaan, apakah Badung
melanggar pasal 11 dalam perjanjian tanggal 13 Juli 1849 mengenai penghapusan
Tawan Karang. Yang sangat aneh dalam laporan Kwee Tektjiang ialah, bahwa dia
melaporkan uang peraknya sejumlah 7.500 gulden telah dirampas oleh penduduk
Sanur, sedangkan para nahkoda dan awak kapalnya berhasil menyelamatkan barang-
barang dagangannya. Jika benar ada uang di kapal, tentu secara logis peti atau
tempat yang berisi uang tersebut harusnya diselamatkan terlebih dahulu, bukannya
barang-barang dagangan yang nilainya tak seberapa.
Oleh karena itu, J. Eschbach mengirim kontrolir pada Kantor Urusan Masalah
Bumiputra, H.J.E.F. Schwartz, ke Badung untuk mengadakan pemeriksaan setempat
secara teliti. Schwartz tiba di Badung pada 16 Juli 1904. Ia mengadakan pembicaraan
dengan punggawa Sanur untuk mencari keterangan dan mendengarkan pengakuan
penduduk lokal yang ditugaskan untuk menjaga “Sri Kumala” di malam hari. Saat itu,
Schwartz tidak menemui raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung (yang baru bertahta
sejak tahun 1902). Berdasarkan laporan Schwartz, J. Eschbach melaporkan hal
tersebut pada Gubernur Jenderal Van Heutsz dengan surat tanggal 18 Agustus 1904
No. 55/Rahasia, dan menyimpulkan bahwa memang benar telah terjadi pencurian dan
penjarahan oleh penduduk Sanur atas kapal “Sri Kumala”.
J. Eschbach berpendapat bahwa dalam hal ini Kerajaan Badung memang tidak
melanggal perjanjian tahun 1849, akan tetapi kesalahan Kerajaan Badung pada kasus
ini adalah karena Kerajaan Badung tidak sungguh-sungguh dalam menjaga dan
melindungi kapal “Sri Kumala” sehingga mengakibatkan terjadinya aksi penjarahan. J.
Eschbach mengajukan agar persoalan “Sri Kumala” diajukan pada Majelis Kerta (badan
peradilan Kerajaan Badung) dan masalah penjarahan harus diselesaikan dengan ganti
rugi yang harus dibayarkan raja Badung oleh pemilik kapal sejumlah 7.500 gulden.
Pembukaan sidang "Volksraad" atau Dewan Hindia di
Batavia
Dalam mengatasi masalah tersebut, Van Heutsz ingin mendengarkan pendapat Dewan
Hindia terlebih dahulu. Oleh karena itu, J. Eschbach pun menyampaikan laporannya
pada sidang Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 28 Oktober 1904. Pada 4 November
1904, nasehat Dewan Hindia dikirim kepada gubernur jenderal. Pokok dari nasehat
Dewan Hindia adalah untuk mengambil tindakan yang sangat berhati-hati dalam
penyelesaian masalah “Sri Kumala”. Dewan Hindia berpendapat bahwa memaksa Raja
I Gusti Ngurah Made Agung untuk membayar ganti rugi sebesar 7.500 gulden adalah
tindakan yang berlebihan serta dalam hal ini nampak adanya ketidakjujuran dari Kwee
Tektjiang dan Residen J. Eschbach yang bertujuan untuk mendapat keuntungan
sebanyak-banyaknya dari musibah “Sri Kumala”. Dewan Hindia menyarankan agar
Gubernur Jenderal Van Heutsz menunggu keputusan Majelis Kerta untuk memutuskan
perkara sesuai dengan hukum adat yang berlaku di Badung.
Van Heutsz tidak dapat menerima saran Dewan Hindia dan lebih condong untuk
menuruti nasehat J. Eschbach yang menuntut raja Badung membayar ganti rugi. Sikap
Van Heutsz itu dapat dimengerti, karena baginya, dengan memaksa raja Badung
membayar ganti rugi, tentunya akan menimbulkan perselisihan antara pemerintah
Hindia Belanda dengan Kerajaan Badung. Terlebih menurut isi surat yang dikirimkan J.
Eschbach, mustahil Raja I Gusti Ngurah Made Agung bersedia membayar ganti rugi
tersebut. Dengan timbulnya perselisihan itu, terbukalah jalan bagi Van Heutsz untuk
menjalankan misinya atas Kerajaan Badung; Badung memilih menuruti tuntutan
pemerintah kolonial, atau Badung harus mau ditempatkan sebagai wilayah yang
diperintah langsung oleh pemerintah kolonial.
Raja mengatakan bahwa kalau memang benar Kwee Tektjiang merasa dirugikan,
sebaiknya dia didatangkan di Denpasar untuk menyampaikan keterangannya di sidang
Majelis Kerta. Raja juga berjanji untuk tetap tunduk pada segala keputusan Majelis
Kerta. Mendapat penolakan tegas, Residen J. Eschbach meninggalkan Denpasar pada
23 Desember 1904 dan pada hari itu juga ia menyampaikan surat pada Raja I Gusti
Ngurah Made Agung, yang sebenarnya berisi ultimatum atau ancaman untuk mau tidak
mau segera membayar ganti rugi, selambat-lambatnya sampai tanggal 5 Januari 1905.
J. Eschbach melaporkan hal tersebut kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz via kawat
tertanggal 25 Desember 1904 No. 621/Rahasia, dengan permintaan agar segera
mengirimkan kapal perang dan kapal pengangkut untuk melaksanakan blokade
terhadap perairan Badung. Permintaan J. Eschbach langsung disetujui oleh Van
Heutsz. Dan keputusan Van Heutsz tersebut, atas segala kebijakan intimidatif J.
Eschbach dan laporan “mengada-ada” H.J.E.F. Schwartz, merupakan sebuah tindakan
fatal yang justru menimbulkan sebuah bencana besar.
Pada tanggal 5 Januari 1905, seperti yang sudah diduga sebelumnya, uang ganti rugi
benar-benar tidak dibayarkan oleh raja Badung. Keputusan tegas tersebut mendapat
respon dari pemerintah Hindia Belanda. Tanggal 6 Januari 1905, di perairan Badung
telah siap dua kapal pengangkut “Zwaluw” dan “Spits” milik Angkatan Laut Hindia
Belanda bersama Kontrolir H.J.E.F. Schwartz untuk melakukan blokade terhadap jalur
laut Kerajaan Badung, melarang semua pemasukan dan pengeluaran barang dagangan
serta melarang semua nelayan Badung untuk menangkap ikan. Tanggal 14 Januari
1905, Residen J. Eschbach mengadakan kunjungan dengan kapal “Reiger” ke perairan
Badung untuk memeriksa jalannya blokade, dan kesempatan itu juga digunakannya
untuk mendekati raja Karangasem, raja/susuhunan Klungkung, raja Bangli, dan raja
Tabanan guna meminta kesediaan raja-raja tersebut untuk membantu pelaksanaan
blokade Hindia Belanda terhadap Badung.
Kapten S.H. Schutstal van Woudenberg bersama raja Gianyar, Dewa Manggis VIII, di
Puri Agung Gianyar pada tahun 1906
Rombongan raja Klungkung, Dewa Agung Jambe II, saat tiba di Gianyar untuk
melakukan perundingan
dengan pemerintah Hindia Belanda tahun 1906
Raja Karangasem, Gusti Gde Jelantik–yang sudah ditaklukkan oleh Belanda pada
November 1894–bersedia membantu pemerintah Hindia Belanda, dan beranggapan
bahwa ganti rugi masalah “Sri Kumala” memang sudah seharusnya dibayarkan oleh I
Gusti Ngurah Made Agung. Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe II justru mendesak
persoalan tersebut diselesaikan secara damai antara Hindia Belanda dan Badung,
dengan mengirim utusannya ke Denpasar. Namun usaha Dewa Agung Jambe II tidak
berhasil. Sikap lunak raja Klungkung tersebut dapat dipahami mengingat jika
dilakukan blokade terhadap Badung, maka impor beras Klungkung yang sebagian besar
dari wilayah Badung tentu akan terhambat dan dikhawatirkan dapat menimbulkan
musibah kelaparan bagi rakyat Klungkung. Sementara raja Bangli, Dewa Gde Rai
menyatakan bersedia membantu pemerintah Hindia Belanda. Demikian pula raja
Gianyar, Dewa Manggis VIII, juga menyatakan kesediaannya. Semua raja-raja
tersebut–kecuali Klungkung dan Bangli–memang telah ditaklukkan oleh pemerintah
kolonial sebelumnya, jadi mereka mau tidak mau terpaksa mendukung kepentingan
pemerintah kolonial.
Secara mengejutkan, raja Tabanan, Gusti Ngurah Agung, atas dasar hubungan
Kerajaan Tabanan dan Kerajaan Badung yang erat, memlilih berpihak pada I Gusti
Ngurah Made Agung. Raja Tabanan beranggapan bahwa blokade yang dilakukan
pemerintah kolonial sangat merugikan rakyat, baik Badung maupun seluruh Bali pada
umumnya. Dengan demikian, blokade yang dijalankan pemerintah kolinal berjalan
tidak efektif, karena wilayah Kerajaan Badung berbatasan langsung dengan Kerajaan
Tabanan dan Kerajaan Tabanan tidak berkenan menutup perbatasannya.
Walaupun demikian, pada tanggal 10 Februari 1905, I Gusti Ngurah Made Agung
menyampaikan surat pada J. Eschbach. Dalam surat itu, raja Badung menyuarakan
bahwa Kerajaan Badung, sekali lagi, tidak melanggar perjanjian tanggal 13 Juli 1849.
Oleh karena itu, raja meminta agar pemerintah kolonial mengakhiri blokade atas
perairan Badung karena sangat membuat pendapatan Kerajaan Badung dari hasil bea
cukai tersendat dan rakyat Badung sengsara karena tak dapat melaut. Sebagai
kompromi, raja bersedia menerima seorang pejabat peradilan Kerta di Singaraja
untuk bertindak sebagai pembela Kwee Tektjiang. Serta, sebaliknya, pemerintah
Hindia Belanda harus membayar kerugian yang diderita Kerajaan Badung selama
berlangsungnya blokade sejumlah 1.500 ringgit atau 3.750 gulden.
Permohonan tersebut tidak digurbris pemerintah Hindia Belanda. Selama dua bulan
lamanya, blokade tetap berlangsung. Sebenarnya beberapa pemuka rakyat di Badung
pernah menyampaikan permohonan pada raja bahwa mereka sanggup mengumpulkan
uang sejumlah 7.500 gulden untuk dibayarkan pada pemilik “Sri Kumala” agar
terpelihara perdamaian antara pemerintah Hindia Belanda dengan pemerintah
Kerajaan Badung. Para pedagang Tionghoa dan Bugis yang bermukim di Kuta dan
Pulau Serangan berbondong-bondong menghadap raja Badung untuk mengajukan
permohonan yang sama. Mereka juga bersedia mengumpulkan uang membantu raja
melunasi tagihan pihak Hindia Belanda dan pemilik kapal. Tawaran para pedagang
Tionghoa dan Bugis dapat dimengerti, karena dengan adanya blokade maka
perdangangan ekspor dan impor di Badung terhenti sama sekali, sehingga
menimbulkan kerugian besar pada mereka. Dengan pembayaran ganti rugi, para
pedagang berharap blokade segera dihentikan dan perdagangan dapat berjalan normal
kembali. Semua permohonan itu ditolak secara tegas oleh raja Badung.
Sebuah pura di Badung pada tahun 1906
Bahkan muncul cerita bahwa pada suatu malam, datang utusan berkebangsaan
Belanda di Puri Agung Denpasar (Puri Satria). Utusan tersebut bertanya pada Raja I
Gusti Ngurah Made Agung, apakah raja tidak berkenan memenuhi tuntutan
pembayaran ganti rugi karena raja tidak memiliki uang. Raja menjawab, bahwa
kerajaan memiliki uang yang lebih untuk membayar ganti rugi tersebut, seandainya
dilakukan. Namun raja tidak berkenan membayar ganti rugi, bukan masalah uang,
melainkan untuk menjaga martabat dan kewibawaan kerajaan di mata rakyat Badung,
dan tentunya, membela diri dari ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia
Belanda dan pemilik “Sri Kumala”.
Karena dipengaruhi oleh perkembangan yang tidak membawa dampak sama sekali
untuk mencapai penyelesaian sengketa sesuai keinginan pemerintah Hindia Belanda,
maka dengan surat tertanggal 13 Maret 1905 No. 31/Rahasia, Residen J. Eschbach
mengajukan saran pada Gubernur Jenderal Van Heutsz mengenai tindak lanjut yang
harus ditempuh, setelah menyadari bahwa pelaksanaan blokade atas Badung tidak
seratus persen berhasil. Pada surat tersebut, intinya, J. Eschbach bersikeras
meyakinkan Van Heutsz bahwa pemerintah Hindia Belanda harus segera melakukan
aksi militer terhadap Kerajaan Badung, dan bila perlu, pada Kerajaan Tabanan yang
dianggap memihak Badung dalam permasalahan ini.
Permintaan J. Eschbach kepada Van Heutsz memang sesuai dengan iklim politik yang
terdapat di kalangan pemerintah eksekutif Hindia Belanda di Buitenzorg (Bogor) dan
di kalangan pejabat-pejabat legislatif di Batavia, yang sangat keranjingan dan
dipengaruhi oleh filsafat “Pax Neerlandica”. Van Heutsz, sejatinya sangat menyetujui
permohonan J. Eschbach, namun kedudukannya memaksanya untuk bertindak sangat
berhati-hati dengan mengadakan persiapan yang matang. Oleh karena itu, Van Heutsz
menyampaikan surat J. Eschbach kepada Dewan Hindia di Batavia agar dewan dapat
memberikan pendapatnya mengenai masalah tersebut.
Dalam rapat tanggal 31 Maret 1905, Dewan Hindia membahas persoalan yang diajukan
oleh Residen J. Eschbach, dan dengan laporan tanggal 31 Maret 1905 No. 10, Dewan
Hindia menyampaikan pendapatnya kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz. Dewan
Hindia memberi pendapat yang sangat hati-hati mengenai masalah pengiriman
ekspedisi militer terhadap Kerajaan Badung. Dewan Hindia tidak menyetujui pendapat
J. Eschbach yang mennyatakan bahwa tidak bersedianya raja Badung membayar ganti
rugi karena sikap raja yang angkuh dan keras kepala, namun mungkin ada hal-hal lain
yang menjadi dasar penolakan tersebut. Dewan Hindia membuktikan pendapatnya
dengan suatu peristiwa yang belum lama terjadi, yaitu pada tanggal 22 Desember
1904, Raja I Gusti Ngurah Made Agung masih bersedia menandatangani perjanjian
yang mengatur penghapusan tradisi “sati” atau “mesatiye” (kerelaan membakar diri
bagi istri-istri raja-raja Bali saat suami mereka meninggal) dalam kerajaannya.
Kejadian tersebut oleh Dewan Hindia dianggap merupakan suatu kenyataan bahwa
raja Badung memang mempunyai kemauan baik untuk bekerjasama dengan
pemerintah Hindia Belanda.
Para putri dan istri raja di Puri Agung Denpasar pada tahun 1900-
an
Inti dari sidang tersebut, Dewan Hindia menganjurkan sebagiknya diusahakan lagi
pendekatan dengan raja Badung untuk menghindari terjadinya aksi militer, yang
tentunya, akan menimbulkan pertumpahan darah. Dewan Hindia juga menyarankan
pemerintah Hindia Belanda untuk menunjuk seorang pejabat tinggi yang
berpengalaman agar dikirim ke Bali, guna mengadakan perundingan dengan residen
Bali dan raja Badung. Hal itu ditindaklanjuti oleh Van Heutsz, dengan menunjuk salah
satu anggota Dewan Hindia, F.A. Liefrinck, pada 7 April 1905, sebagai komisaris yang
bertugas di Bali. Liefrinck berangkat ke Bali pada tanggal 12 April 1905, dan tiba di
Singaraja (ibukota Kerajaan Buleleng sekaligus ibukota Karesidenan Bali) pada tanggal
15 April 1905. Setelah mengadakan pertemuan dengan residen, Liefrinck bertolak ke
Bali Selatan menggunakan kapal “Kwartel”.
Pembicaraan Liefrinck dengan raja Tabanan dan Badung tidak membuahkan hasil yang
memuaskan, sehingga ia kembali ke Singaraja pada 1 Mei 1905. Hal tersebut membuat
Liefrinck memutuskan bahwa oleh karena Kwee Tektjiang adalah kaula Hindia Belanda
dan kapal “Sri Kumala” berlayar di bawah kibaran bendera Belanda, maka pemerintah
Hindia Belanda mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah ini dengan pemerintah Kerajaan Badung. Sebagai usaha diplomatis terakhir,
Liefrinck sebenarnya telah mengajukan tawaran pada raja Badung bahwa Kerajaan
Badung dibebaskan untuk membayar ongkos blokade asal saja ganti rugi atas musibah
“Sri Kumala” disanggupi dan dilunasi. Namun, tawaran tersebut ditolak raja Badung.
Berdasarkan hal tersebut, tanggal 21 Mei 1905, Gubernur Jenderal Van Heutsz
menandatangani suatu undang-undang (“ordonnantie”) yang disebut Peraturan-
Peraturan yang Membatasi Pemasukan dan Pengeluaran Barang di Kerajaan Badung.
UU tersebut diundangkan pada tanggal 24 Mei 1905 dan dimuat dalam Lembaran
Negara (“Staatsblad van Nederlandsch Indie”) No. 309, dan pokok isiannya adalah
“bahwasanya semua pemasukan dan pengeluaran barang-barang di Kerajaan Badung,
kecuali untuk kepentingan negara atau atas izin khusus residen atau seorang pejabat
negara yang ditunjuk untuk itu, dilarang”.
Kebijakan Van Heutsz sendiri tak sepenuhnya mendapat dukungan dari pejabat
pemerintah Hindia Belanda baik di Buitenzorg maupun Batavia. Dewan Hindia dalam
sidangnya tanggal 2 Juli 1905, juga mengatakan keberatannya mengenai kebijakan
Van Heutsz atas masalah “Sri Kumala”, yang kini, “membengkak” menjadi
perselisihan antara pemerintah pusat di Batavia dengan pemerintah Badung dan
Tabanan. Dan walaupun pada akhirnya, kebijakan Van Heutsz tetap berjalan, setelah
penolakan resminya terhadap saran Dewan Hindia dan laporannya pada Menteri
Jajahan Belanda di Den Haag.
Pada masa terjadinya kekacauan politik di Badung tersebut, masyarakat Bali masih
dihinggapi oleh ketakhayulan, sehingga terjadinya hal-hal aneh di dalam kehidupan
sehari-hari mereka dianggap sebagai suatu “pertanda” akan terjadinya suatu
peristiwa yang penting. Salah satunya terjadi pada akhir tahun 1905, sebagian
bangunan Pura Luhur Ulu Watu–yang terletak di atas tebing karang tinggi yang
menjorok ke laut di Desa Pecatu–runtuh dan jatuh ke laut. Masyarakat menafsirkan
kejadian itu sebagai suatu “pertanda” yang tidak baik bagi Kerajaan Badung. Hal
itulah yang menjadikan kekhawatiran masyarakat Badung memuncak.
Memasuki 19 Januari 1906, Dewan Hindia membahas persoalan masalah Badung yang
tak kunjung mendapat penyelesaian. Dalam pendapatnya, Dewan Hindia mengatakan
pada pemerintah Hindia Belanda bahwa daerah Bali dengan tradisinya yang tua dan
memiliki lembaga-lembaga pemerintahan dan adat istiadat yang kuat, mengharapkan
pada pemerintah bahwa jika nanti benar-benar diadakan ekspedisi militer sebagai
jalan terakhir penyelesaian masalah, harus diambil kebijaksanaan agar semua
lembaga dan tradisi yang berlaku di Badung tetap dipertahankan. Dan pada akhirnya
sengketa berlarut-larut tersebut memuncak dan menimbulkan ketegangan yang sangat
berbahaya antara Badung-Tabanan dan Hindia Belanda, sehingga pada 17 Juli 1906,
Van Heutsz mengesahkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 1 sebagai “point of
no return” yang berisi suatu ultimatum oleh pemerintah Hindia Belanda kepada raja
Badung dan Tabanan. Surat tersebut dikirim kepada raja Badung dan Tabanan pada
22 Juli 1906 dari Singaraja, atas dukungan residen Bali pengganti J. Eschbach, de
Bruyn Kops.
Apabila surat Van Heutsz tersebut diteliti, jelaslah bahwa pokok-pokok yang
diajukannya bertentangan sekali dengan kebenaran dan tiap-tiap pasalnya dapat
disanggah dengan mudah. Van Heutsz, dengan segala dalihnya, menyalahkan raja
Badung yang tidak bersedia membayar ganti rugi. Sedangkan Van Heutsz sendiri tidak
dapat membuktikan bahwa raja Badung menentang atau melanggar perjanjian 1849
yang berlaku, dan karena itu katanya telah menjerumuskan rakyat Badung dalam
suatu kemelaratan. Padahal, pada hakikatnya yang melanggar perjanjian antara
Badung dan Hindia Belanda adalah Van Heutsz sendiri. Van Heutsz–dan pendukungnya–
telah memerintahkan blokade perairan Badung, yang berakibat kemelaratan di
kalangan rakyat Badung serta kesusahan bagi para pedagang Tionghoa dan Bugis di
kawasan pesisir.
Dengan demikian orang-orang yang secara obyektif menilai persoalan ini akan merasa
kesal saat membaca surat Van Heutsz, karena merupakan bukti suatu ketidakjujuran
dari seorang pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda, sebagaimana yang
diungkapkan oleh penulis Belanda, H.H. Van Kol. Van Kol adalah seorang penulis dan
politikus liberal yang mengunjungi Bali dan meneliti sejarah pemecahan sengketa “Sri
Kumala”, lima tahun setelah terjadinya ekspedisi militer Hindia Belanda di Badung.
Semua tulisannya terdapat dalam bukunya, “Drie maal dwars door Sumatra en
zwerftochten Bali” (Tiga kali melintas Sumatera dan pelancongan di Bali).
Dalam rangka persiapan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, di kantor residen
Singaraja sejak bulan apri 1906 sebenarnya telah ditempatkan seorang perwira Staf
Umum Angkatan Darat Hindia Belanda, Kapten S.H. Schutstal van Woudenberg, guna
membuat peta di pantai selatan Badung dan Tabanan yang dapat dipergunakan untuk
pendaratan pasukan secara besar-besaran. Pada bulan Juli sampai awal September,
baik kalangan sipil maupun militer dalam pemerintahan sibuk memikirkan segala
persiapan yang diperlukan untuk ekspedisi militer, karena mereka yakin, bahwa
ultimatum Van Heutsz pasti tak akan digubris oleh raja Badung dan Tabanan.
Raja Badung dan Tabanan yang yakin dengan segala konsekuensi yang akan mereka
terima pada akhirnya, tetap bertekad untuk tidak tunduk pada tuntutan Van Heutsz.
Dan demi mempertahankan kehormatan serta keadilan, mereka bersedia
mengorbankan sgealanya, walaupun mereka tahu bahwa jika terjadi pertempuran
melawan Angkatan Darat Hindia Belanda, mereka tidak akan mencapai kemenangan.
Keputusan raja-raja tersebut, digambarkan Van Kol dalam bukunya, “Drie maal dwars
door Sumatra en zwerftochten Bali”, yang menceritakan:
Untuk memimpin ekspedisi militer tersebut diangkat Mayjend. M.B. Rost van
Tonningen sebagai pemimpin yang membawahi pasukan-pasukan, seperti yang
tercantum pada Surat Keputusan Gubernur Jenderal 4 September 1906 No. 3.
Komisaris Pemerintah F.A. Liefrinck selanjutnya tiba di Sanur dan mengirim utusan
untuk menemui raja Badung dan menyampaikan ultimatum terakhir yang harus
dijawab dalam tempo 1x24 jam. Kepada raja Tabanan juga disampaikan ultimatum
yang harus dijawab dalam tempo 3x24 jam. Kedua raja menolak semua ultimatum
yang diberikan, maka Komisaris Pemerintah bergegas memberitahukan hal tersebut
pada panglima, dalam hal ini Van Tonningen, untuk segera memerintahkan agar
pendaratan pasukan ekspedisi dilaksanakan.
Penduduk Sanur mengungsi karena pendudukan pasukan tentara Hindia Belanda tahun
1906
Tanggal 12 September 1906 semua kapal pengangkut dan kapal perang sudah tiba di
perairan Sanur dan menduduki tempatnya masing-masing. Jumlah definitif pasukan
Hindia Belanda yang mendarat di Sanur sejumlah 2.312 orang kalangan militer dan 741
orang kalangan non-militer. Disertakan pula 20 ekor kuda untuk perwira dan 45 ekor
kuda untuk kuda angkutan, serta 4 meriam “houwitser” dan 6 meriam lain. Selain itu
juga ditambah satu detasemen marinir sejumlah 140 orang. Pasukan infanteri
batalyon ke-11 dipimpin oleh Myor Bryan, batalyon ke-18 dipimpin oleh Letkol.
Shauroth, dan batalyon ke-20 berada di bawah komando Mayor Lassanet.
Tindakan besar diawali pada malam hari tanggal 14 September 1906, pantai Sanur
disinari oleh lampu senter dari kapal-kapal perang besar Angkatan Laut Hindia
Belanda, menindaklanjuti informasi dari intelejen bahwa pada malam itu pasukan
Badung akan menyerbu Sanur. Meski demikian, serangan tersebut tidak terjadi,
bahkan punggawa Sanur sempat menghadap pada komandan salah satu kapal perang
Angkatan Laut Hindia Belanda dan Panglima Van Tonningen, dengan pernyataan
bahwa ia dan penduduk Sanur tidak akan mengadakan perlawanan terhadap pasukan
Hindia Belanda yang mendarat di Sanur.
Pertempuran pertama pasukan Hindia Belanda dengan pasukan Badung di Sanur tahun
1906
Pertempuran pertama pecah pada pagi hari tanggal 15 September 1906. Ribuan
pasukan Badung yang berasal dari Kuta dan Denpasar menyerang bivak pasukan Hindia
Belanda di pabean Sanur dan berusaha mengadakan pengepungan. Pertempuran
terjadi sampai sekitar pukul 12.00, dan meninggalkan 33 orang tewas dan 12 orang
luka-luka dari pihak pasukan Badung. Kapal-kapal perang pun mulai menembaki kota
Denpasar dan desa-desa di sekitarnya, mengakibatkan 6 orang tewas di Desa Renon
akibat tembakan tersebut. Penembakan terus berlanjut hingga 16 September 1906,
tembakan secara terstruktur diarahkan menuju Puri Agung Denpasar dan Puri Agung
Pemecutan. Pasukan Badung di Renon memasang ranjau dari bambu untuk
membendung dan menghambat serangan pasukan kavaleri Hindia Belanda yang
menggunakan kuda. Pertahanan di desa-desa yang mengelilingi 3 puri, yaitu Puri
Agung Kesiman, Puri Agung Denpasar, dan Puri Agung Pemecutan diperkuat termasuk
di Desa Lantang Bejuh, Sesetan, Panjer, Kelandis, Bengkel, dan Tanjung Bungkak.
Oleh panglima juga diperintahkan para pasukan untuk berpatroli di Desa Sesetan dan
Panjer.
Kedatangan batalyon ke-18 dan batalyon ke-20 di Desa Panjer disambut oleh serangan
gencar dari sekitar 2.000 orang pasukan Badung. Karena matahari hampir terbenam,
dengan cepat pasukan Hindia Belanda meninggalkan medan pertempuran untuk
kembali ke bentengnya di Sanur. Pada waktu mereka tiba di benteng, sekitar 30 orang
pasukan Badung dari Kesiman menyerang Pabean Sanur, namun tembakan yang
dilepaskan Angkatan Laut Hindia Belanda berhasil memukul mundur mereka. Perang
sehari pada tanggal 16 September 1906 di sekitar Panjer dan Sesetan sangat
melelahkan pasukan Hindia Belanda, sehingga keesokan harinya, pada tanggal 17
September 1906, pasukan Hindia Belanda lebih banyak tinggal di benteng untuk
membahas taktik penyerangan terhadap kota Denpasar dan ketiga puri Kerajaan
Badung. Meskipun demikian, meriam artileri yang ditempatkan dekat benteng mulai
ditembakkan bersama-sama dengan tembakan meriam dari kapal perang. Tembakan-
tembakan meriam itu diarahkan sekitar kota dan Puri Agung Kesiman.
Pasukan Hindia Belanda saat memasuki salah satu jalan besar di Badung tahun
1906
Tanggal 18 September 1906 diperoleh berita dari Asisten Residen H.E.J.F. Schwartz
yang mendapat informasi aktual bahwa punggawa Kesiman, Gusti Gde Ngurah
Kesiman, tewas karena terbunuh oleh oknum-oknum dari suatu kelompok masyarakat
yang tidak menyetujui suatu kebijakannya. Ngurah Kesiman terbukti telah
memerintahkan agar rakyatnya mengadakan perlawanan terhadap pasukan Hindia
Belanda. Ada beberapa golongan yang tidak bersedia menurutinya dan melakukan
pembangkangan, yang mengakibatkan Ngurah Kesiman tewas. Insiden itu kemudian
diperoleh kepastian tentang kebenarannya pada tanggal 19 September 1906.
Pada tanggal 19 September 1906 pukul 07.00 seluruh pasukan Hindia Belanda
diperintahkan untuk meninggalkan benteng Sanur dan memulai serangannya atas kota
Denpasar. Pasukan bergerak ke utara dengan tujuan pertama adalah Desa Kesiman.
Dimana disana diperkirakan pasukan Badung akan berkumpul untuk mempertahankan
Puri Agung Kesiman. Ketika mencapai Desa Tukad Ayung, dari kebun kelapa penduduk
terjadi tembakan kepada pasukan Hindia Belanda oleh pasukan Badung. Terjadi
pertempuran sengit. Pasukan Badung memang menggunakan meriam, namun meriam
tersebut terlalu sederhana dan tidak menimbulkan kerugian apapun bagi pasukan
Hindia Belanda.
Puri Agung Kesiman sesaat setelah jatuh di tangan pasukan Hindia Belanda tahun
1906
“...dalam ingatan saya masih jelas tergambar seorang Bali yang berbadan tegap dan
berdiri di suatu tempat yang agak tinggi, kira-kira 200 meter dari pasukan infanteri
kita. Disanalah dia berdiri memegang tombaknya yang panjang, yang ditancapkan di
tanah. Dengan gerak isyarat dan suara, dia mendorong dan merangsek, yang
menyebabkan sikapnya yang tidak gentar menghadapi maut menjadi teladan bagi
yang lain.”
Setelah melalui beberapa pertempuran, pada pukul 14.30 akhirnya pasukan Hindia
Belanda berhasil menduduki Puri Agung Kesiman yang telah dikosongkan oleh para
penghuninya. Panglima Van Tonningen menetapkan Puri Agung Kesiman sebagai bivak
bagi pasukan Hindia Belanda. Puri Agung Kesiman resmi jatuh di tangan mereka. Oleh
karena diberitakan bahwa pada pukul 21.00 pasukan raja Badung dari Puri Agung
Denpasar akan melakukan serangan, Van Tonningen tetap menyiagakan pasukannya.
Kabar tersebut, tidak terbukti.
Sebuah kampung yang dilewati oleh pasukan Hindia Belanda saat menuju Puri Agung
Denpasar tahun 1906
Pada 20 September 1906, pasukan Van Tonningen yang terdiri dari batalyon ke-11 dan
batalyon ke-18 bergerak dari Kesiman menuju Puri Agung Denpasar melalui Desa
Semerta.Di waktu yang bersamaan tembakan meriam dari benteng pasukan Hindia
Belanda di Sanur diarahkan ke Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pemecutan,
sebanyak 60 peluru meledak di dalam dan sekitar puri sehingga menimbulkan
kerusakan.
Pada pukul 09.00, Raja I Gusti Ngurah Made Agung telah mendengar bahwa pasukan
Hindia Belanda telah memasuki kota Denpasar. Di Puri Agung Denpasar telah
berkumpul keluarga dan pengikut setia raja, kira-kira 250 orang, yang bersumpah
setia untuk turut berperang bersama raja menghadapi pasukan Hindia Belanda.
Meskipun konsekuensinya adalah kematian, semua kawula raja merasa, sebagai kaum
kesatria, mereka harus memegang teguh ajaran Hindu dan menjaga mati-matian
martabat serta wibawa Kerajaan Badung. Raja akhirnya memerintahkan pasukannya
untuk membakar Puri Agung Denpasar.
Barisan pasukan Hindia Belanda saat mendekati Puri Agung Denpasar tahun
1906
Di Desa Semerta, pasukan Hindia Belanda mendapat perlawanan kuat dari pasukan
Badung yang bersenjatakan tombak dan senapan. Hal itu menimbulkan korban jatuh
di pihak pasukan Hindia Belanda. Setelah berhasil mengalahkan pasukan Badung dan
beristirahat selama satu jam, pada pukul 10.30 pasukan Hindia Belanda bergerak
kembali, namun sekitar pukul 11.00 di jalan Denpasar-Tangguntiti terlihat sejumlah
besar rombongan warga Bali yang bergerak ke arah timur. Pasukan artileri menembaki
mereka, tetapi rombongan tetap bergerak maju dan saat sampai di persimpangan
jalan Jero Belaluan, pasukan Hindia Belanda diserang oleh beberapa orang dari
rombongan tersebut. Rupanya, rombongan tersebut adalah Raja I Gusti Ngurah Made
Agung beserta seluruh bangsawan dan pasukannya yang sudah siap mati berperang.
Meskipun sudah berulang kali diperingatkan untuk menyerah oleh pasukan Hindia
Belanda, tetapi rombongan raja tetap bergerak maju hingga semakin dekat, sampai
jarak 100 meter, 80 meter, hingga sampai 70 meter dari kedudukan pasukan Hindia
Belanda. Dan pada jarak terakhir, Raja I Gusti Ngurah Made Agung dan rakyat Badung
yang setia itu berlari kencang dengan tombak dan keris terhunus menerjang pasukan
Hindia Belanda. Dalam pertempuran itu bahkan turut serta banyak wanita dan anak-
anak. Saat itulah tembakan salvo dilepaskan sehingga beberapa orang jatuh
tersungkur, termasuk Raja I Gusti Ngurah Made Agung. Pada pertempuran itu, raja
Badung, gugur.
Gapura pintu gerbang utama Puri Agung Denpasar yang terkena tembakan meriam
pasukan Hindia Belanda tahun 1906
Ini sebenarnya yang terkenal sebagai awal dari klimaks Perang Puputan Badung dan
jika diteliti waktunya, terjadi antara pukul 11.00 sampai pukul 11.30. Jhr. Dr. H.M.
van Weede dalam bukunya yang berjudul “Indische Reisherinneringgen” menceritakan
mengenai Perang Puputan yang ia saksikan:
Jenazah Raja I Gusti Ngurah Made Agung yang gugur menghadapi pasukan Hindia
Belanda tahun 1906
“Pertempuran yang kemudian terjadi tidak dapat kami saksikan. Hanya letusan
senjata yang menandakan adanya suatu pertempuran hebat. Perlahan-lahan kami
bergerak maju di pinggir jalan, letusan senjata terdengar dimana-mana. Akhirnya
kami tiba di suatu lapangan kecil dalam perjalanan ke arah selatan, dan kami harus
menunggu sejenak. Sungguh ngeri pertunjukan yang kami lihat disana. Tumpukan
mayat ibarat gunung, pria dan wanita yang menikam dirinya dan anak-anaknya,
sedangkan jerit kesakitan dari mereka yang akan menghembuskan nafas terakhir
terdengar dimana-mana.”
Gerbang bagian dalam Puri Agung Denpasar yang juga rusak karena pertempuran
tahun 1906
Kuda kesayangan Raja I Gusti Ngurah Made Agung yang diamankan pasukan Hindia
Belanda tahun 1906
Saudari tiri Raja I Gusti Ngurah Made Agung yang ditemukan bunuh diri di Kaniyamata
tahun 1906
Setelah terjadi Perang Puputan di dekat Jero Tainsiap, dimana Raja I Gusti Ngurah
Made Agung dan para pembesar kerajaan serta pasukannya gugur, pasukan Hindia
Belanda terus bergerak menuju Puri Agung Denpasar. Di jalan, mereka harus melalui
kampung-kampung yang dihuni oleh para pasukan Badung. Sesekali, pasukan Badung
menyergap pergerakan pasukan Hindia Belanda, meskipun pada akhirnya mereka tak
mendapatkan kemenangan sama sekali. Ketika berhasil tiba di Puri Agung Denpasar,
Panglima Van Tonningen memerintahkan untuk mengadakan pemeriksaan di dalam
puri guna mencari mesiu dan alutsista milik Kerajaan Badung yang tersisa.
Tanpa diduga, di salah satu bangunan puri yang bernama Kaniyamata, pasukan Van
Tonningen menemukan jenazah saudari tiri raja. Jenazah putri tersebut ditemukan
terbaring di atas sebuah balai, berbusana serba putih dengan mengenakan perhiasan
serba indah. Tampaknya putri tersebut bunuh diri atau meminta salah seorang abdi
kerajaan menikamnya pada saat ia mengetahui bahwa rajanya telah gugur dalam
Perang Puputan. Pada pukul 15.00 pemeriksaan atas Puri Agung Denpasar selesai
dilakukan, dan setelahnya Panglima Van Tonningen memerintahkan pasukannya untuk
bergerak ke Puri Agung Pemecutan, benteng pertahanan terakhir Kerajaan Badung.
Bangunan tempat menyimpan mesiu dan senjata Kerajaan Badung di Puri Agung
Denpasar
setelah dibakar habis sebelum ditinggalkan oleh para penghuni puri tahun 1906
Tentara pasukan Hindia Belanda mengadakan misa setelah berhasil menduduki Puri
Agung Denpasar tahun 1906
Mendengar kabar bahwa Puri Agung Denpasar telah jatuh di tangan pasukan Hindia
Belanda, di Puri Agung Pemecutan, Raja I Gusti Gde Ngurah Pemecutan–sebagai satu-
satunya raja Badung yang masih hidup setelah jatuhnya Puri Agung Denpasar dan Puri
Agung Kesiman–memerintahkan untuk membakar puri sebelum melakukan
pertempuran terhadap pasukan Hindia Belanda. Dalam gerak menuju Puri Agung
Pemecutan, pasukan Van Tonningen menghadapi perlawanan yang hebat dari warga
dan pasukan Badung yang bersenjatakan tombak. Perlawanan dilakukan bukan hanya
oleh para laki-laki dewasa, bahkan termasuk para wanita dan seorang pangeran muda
berusia 12 tahun, seperti dalam tulisan Jhr. Dr. H.M. van Weede:
“...semuanya nampaknya telah haus untuk mati. Beberapa wanita melemparkan uang
emas kepada para prajurit kita dan menuding jantung mereka sebagai isyarat agar
mereka ditembak mati disana. Apabila mereka tidak ditembak, mereka menikam
dirinya sendiri. Orang tua bergerak di antara mayat-mayat yang bergelimpangan dan
menikam kanan-kiri mereka yang luka sampai dia sendiri juga tertembak mati.
Semua itu tidak dapat dihambat, Senantiasa muncul lagi orang lain untuk
meneruskan tugas penghancuran itu.”
“Sementara orang-orang harus berhati-hati oleh karena rombongan warga Bali ke dua
tiba, yang dipimpin oleh adik raja dari lain ibu yang berumur 12 tahun, yang
nampaknya hampir tidak sanggup memikul tombaknya yang panjang itu. Oleh Kapten
Van Woudenberg ia diperintahkan untuk berhenti. Mula-mula anak itu sejenak
nampaknya ingin menuruti perintah tersebut, sampai salah satu pengikutnya
mendesak dia untuk terus maju meneruskan langkahnya. Serangan hebat terjadi dan
pada waktu tembakan dilepas kepada pengikut-pengikutnya, anak muda itu disapu
oleh peluru. Terkecuali beberapa dari mereka yang mengundurkan diri di rumah-
rumah dan beberapa dari mereka yang luka-luka, dan kemudian disembuhkan, semua
rombongan pahlawan-pahlawan ini menemui ajalnya yang mereka cari.”
Para petinggi masing-masing batalyon pasukan Hindia Belanda bersama beberapa
pejabat Badung
yang selamat di Puri Agung Denpasar setelah Perang Puputan tahun 1906
Suasana jalan besar di depan Puri Agung Pemecutan saat terjadinya Perang Puputan
tahun 1906
Setelah pasukan Hindia Belanda tiba di Pemecutan, mereka dihadang oleh pasukan
dan rombongan Raja I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, termasuk sang raja itu sendiri.
Sebagaimana yang diberitakan Van Weede:
“Wanita-wanita muda yang paling jelita yang kami lihat di Bali membatu di samping
anak-anak mereka. Tandu keemasan raja dan barang-barang berharga lain
berhamburan di tengah-tengah mayat. Dengan berakhirlah secara sukarela dua
keturunan raja, wakil dari keluarga yang paling terkemuka di Badung. Akan tetapi
mereka sadar bahwa dengan memperlihatkan keberanian yang luar biasa di medan
pertempuran, mereka akan memperoleh pahala yang setimpal dari leluhur mereka
yang telah mendahului mereka di nirwana.”
Tumpukan jenazah para pasukan dan pengikut setia Raja I Gusti Gde Ngurah
Pemecutan,
termasuk jenazah sang raja sendiri, di sebuah jalan dekat Puri Agung Pemecutan
setelah terjadi Perang Puputan tahun 1906
Demikianlah sekelumit tulisan Van Weeder, yang meski seorang bangsawan dan warga
Belanda, namun ia tidak termasuk golongan kolonialis. Van Weede dalam tulisannya
dapat menghormati dan menghargai jiwa kepahlawanan raja-raja Badung beserta
seluruh bangsawan, rakyat, dan pasukannya untuk lebih baik berkorban dan gugur di
medan laga membela kehormatan dan keadilan, daripada harus menyerah kepada
Belanda yang bersikap semena-mena terhadap mereka.
Dengan hancurnya ketiga puri di Badung tersebut, Kerajaan Badung resmi jatuh ke
tangan pemerintah Hindia Belanda. Pada tanggal 22 September 1906, Komisaris
Pemerintah F.A. Liefrinck mengirim telegram kepada Menteri Jajahan Belanda di Den
Haag untuk memberitahukan bahwa Denpasar sudah dapat dikuasai oleh pasukan
Hindia Belanda. Liefrinck juga melaporkan jumlah korban tewas dari pihak Kerajaan
Badung sebagai angka resmi sebanyak 400 orang. Laporan tersebut tidak
menyebutkan sumbernya, dan hal tersebut secara faktual jauh lebih rendah daripada
jumlah korban yang sebenarnya.
Beberapa tentara batalyon ke-20 pasukan Hindia Belanda saat Perang Puputan tahun
1906
Dalam kasus ini, seorang penulis liberal Belanda bernama H.H. van Kol menuliskan
bahwa menurut laporan surat kabar “Soerabajasche Handelsband” (surat kabar
berbahasa Belanda yang terbit di Surabaya) memperkirakan bahwa jumlah korban
puputan di Denpasar saja sebanyak 600 orang; kawat resmi memang menyebutkan 400
orang, akan tetapi surat kabar “De Locomotief” (surat kabar berbahasa Belanda yang
terbit di Semarang) menulis bahwa kalangan resmi sudah dapat menyetujui untuk
menghentikan menghitung sampai mencapai angka 400, memang sebenarnya
sekurang-kurangnya 2.000 orang Badung telah tewas.
Masih dalam tulisan Van Kol, seorang pedanda di Denpasar memberitahukan padanya
bahwa di Denpasar saja ada 800 mayat yang telah dikuburkan. Dan seorang pejabat
pribumi Bali lain menaksir jumlah korban sebanyak 1.000 orang. Mengenai korban di
Pemecutan, surat kabar “Bataviaasch Nieuwsblad” (surat kabar berbahasa Belanda
yang terbit di Batavia) mendapatkan keterangan bahwa telah jatuh korban sebanyak
200 orang. Nieuwenkamp–seorang pelukis Belanda yang pada waktu terjadinya Perang
Puputan juga berada di Badung–mendapat informasi dari para perwira bahwa jumlah
warga Bali yang tewas mencapai 450 orang. Dan yang terakhir, sebagian besar orang-
orang Bali sendiri menaksir jumlah korban menjapai “tujuh atak” atau 1.400 orang.
Dengan memperhatikan keterangan-keterangan tersebut, maka secara pasti dapat
diperhitungkan bahwa jumlah korban yang melakukan puputan mencapai 1.000-1.500
orang. Suatu jumlah yang benar-benar mengerikan, menurut Van Kol.
Penduduk sipil di sebuah kampung yang dilewati jalur ekspedisi militer pasukan Hindia
Belanda tahun 1906
Pada pukul 08.00 tanggal 28 September 1906, Raja Gusti Ngurah Agung dengan
rombongannya tiba di Baringkit dari Desa Abeantuwung dan mengadakan pertemuan
dengan Panglima Van Tonningen dan Asisten Residen Schwartz. Pihak Hindia Belanda
dalam pertemuan itu memaksa raja Tabanan untuk menyerah tanpa syarat. Jika raja
tetap membangkang, maka operasi militer akan segera dilaksanakan dan Kerajaan
Tabanan harus menangggung segala konsekuensinya. Raja Tabanan terpaksa menerima
tuntutan Panglima Van Tonningen, karena merasa tidak memiliki pilihan lain, terlebih
telah mengetahui bahwa sekutunya, raja Badung, telah gugur dalam Perang Puputan.
Dan atas dasar penyerahan itu, raja Tabanan beserta putra mahkota berniat
mengasingkan diri ke Lombok.
Raja Tabanan, Gusti Ngurah Agung (di atas tandu), saat berada di Denpasar
untuk
berunding dengan pemerintah Hindia Belanda setelah Perang Puputan tahun 1906
Semua peristiwa mengerikan yang terjadi di Badung pada September 1906 sejatinya
merupakan buah dari kekejaman Gubernur Jenderal Van Heutsz, yang memancing di
air keruh atas musibah kapal “Sri Kumala”. Seorang anggota parlemen, politikus,
sekaligus penulis liberal Belanda, H.H. van Kol–seperti yang sudah dituliskan di bagian
sebelumnya–pada tahun 1911 mengunjungi Pulau Bali dan sempat pula mengunjungi
Badung, termasuk Denpasar dan sekitarnya. Van Kol menulis bahwa masalah “Sri
Kumala” memang merupakan suatu sengketa yang dicari-cari oleh pemerintah Hindia
Belanda, sebagai sebuah alasan untuk dapat menerapkan politik imperialisnya di
kerajaan-kerajaan Bali.
Anggota Parlemen Belanda H.H. van Kol
Lebih lanjut, Van Kol menuliskan bahwa tidak ada satu pun orang Badung yang
percaya bahwa dalam hal ini telah terjadi perampasan muatan kapal sebanyak 7.500
gulden. Selain itu seluruh penduduk Sanur sejumlah 2.800 orang telah bersumpah di
hadapan Tuhan bahwa mereka tidak pernah merampas muatan “Sri Kumala”. Selama
tujuh tahun setelah peristiwa puputan terjadi, belum pernah terdengar mengenai
keadaan “para pelaku” perampasan uang yang hilang itu. Terlebih lagi, para nahkoda
“Sri Kumala” ketika ditanya tidak dapat menerangkan bagaimana bentuk peti berisi
uang yang katanya telah dirampas oleh penduduk itu.
Pemuka-pemuka Badung yang diwawancarai oleh Van Kol pada tahun 1911
menerangkan dengan tegas bahwa mereka yakin raja Badung tidak bersalah, dan
menganggap bahwa keputusan pemerintah Hindia Belanda untuk membebankan
pembayaran ganti rugi kepada raja Badung sama sekali tidak patut, terlebih,
ditambah dengan keputusan bahwa raja Badung juga harus membayar ongkos blokade
yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda sebanyak 700 gulden per hari.
Wilayah Kerajaan Badung setelah direstorasi oleh pemerintah Hindia Belanda tahun
1938
Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung, yang mendapat gelar anumerta “Cokorda
Mantuk ring Rana” (raja yang gugur di medan laga) itu pada tanggal 4 November 2015
berdasarkan Keputusan Presiden No. 116/TK/2015, ditetapkan sebagai salah satu
Pahlawan Nasional Indonesia. Hal tersebut didasari oleh sikap I Gusti Ngurah Made
Agung yang tak pernah mau tunduk terhadap kesemena-menaan penjajah, rela
berkorban demi membela keadilan dan martabat negerinya.
***
Sumber:
Dr. Mr. Ida Anak Agung Gde Agung, raja Gianyar (1989). Bali Pada Abad XIX:
Perjuangan Rakyat dan Raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. ISBN 979-420-114-6.
Kata kunci:
Sejarah Bali, Intervensi Belanda di Bali, Puputan, Puputan Bali, Perang Puputan,
Perang Puputan Badung, Kerajaan Badung, Puri Agung Denpasar, Y.B. van Heutsz, Sri
Kumala, Sri Komala, Raja Badung, Raja Denpasar, Raja Kesiman, Raja Pemecutan, I
Gusti Ngurah Made Agung, I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, Pahlawan Nasional
Knowledge and Information
Reaksi:
Komentar
1.
tdk ada kata lain yg bisa diucapkan , sangat salut dengan sikap raja badung �
Balas
2.
mantap.. ditulis dengan runtut tinggal dan kejadiannya. terimakasih mau membagikan
kisah puputan badung
Balas
Posting Komentar
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa Rumpun Austronesia yang dituturkan oleh masyarakat
Suku Jawa di Indonesia dan berbagai wilayah perantauan lainnya.
Menurut jumlah penutur dan wilayah sebarnya, Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa
terbesar di dunia dengan jumlah penutur asli sekitar 80 juta orang, dan merupakan bahasa lokal
terbesar dan terbanyak penggunanya di Indonesia.
Bahasa Jawa sangat beragam, dan keragaman ini masih terpelihara sampai sekarang, baik karena
dituturkan maupun melalui dokumentasi tertulis. Dialek geografi, dialek temporal, serta register
dalam Bahasa Jawa sangat kaya sehingga seringkali menyulitkan orang yang mempelajarinya.
Berikut adalah paparan singkat mengenai berbagai dialek dalam Bahasa Jawa, mulai dari Banten
di barat hingga Banyuwangi di timur.
......
Baca selengkapnya
Untuk seni tari, berbagai wilayah kebudayaan di Jawa Timur memiliki tarian daerah khasnya
masing-masing. Mungkin sebagian besar orang menganggap Reog Ponorogo adalah tarian
maskot Jawa Timur. Namun selain Reog, salah satu tarian yang sangat familiar bagi masyarakat
Jawa Timur. Tarian itu adalah Tari Remo.
Baca selengkapnya
GRM. Sayiddin Malikul Kusno dilahirkan pada hari Kamis legi tanggal 22 Rajab Tahun 1795
(tahun Jawa) atau tanggal 29 November 1866 pada pukul 07.00 pagi. Waktu mengandung,
KRAy. Kustiyah (GKR. Pakubuwono)ngidam dhaha…
Baca selengkapnya
Sejarah
Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala (Solo), sebuah desa rawa-rawa
dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala (Bengawan Solo). Pada mulanya,
bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap
"tercemar". Sri Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil dengan timnya yang
beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, dan Mas
Penghulu Pekik Ibrahim, bersama KRT. Hangg…
Baca selengkapnya