Pseudotumor Orbita
Pseudotumor Orbita
“PSEUDOTUMOR ORBITA”
Oleh:
Sakina Usman, S.Ked
N 111 14 011
Pembimbing Klinik:
dr. Neneng H. Sahuna, Sp.M
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
bahwa 10% dari pasien pseudoorbita yang ia teliti, memiliki penyakit autoimun
yang terjadi secara bersamaan.(8)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2: Cavum Orbita Penampang Sagital (6)
4
Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, saraf,
yang masuk ke dalam mata, yang terdiri dari:
1. Foramen optikum yang dilalui oleh n. Optikus, a. Oftalmika.
2. Fissura orbitalis superior yang dilalui oleh n. Lakrimalis, n. Frontalis, n.
Trochlearis, v. Oftalmika, n. Occulomotorius, n. Nasosiliaris, serta serabut
saraf simpatik.
3. Fissura orbitalis inferior yang dilalui nervus, vena dan arteri infraorbitalis. (5)
5
M. Obliquus Inferior (N.III) (6)
6
PERSYARAFAN BOLA MATA
7
Saraf lainnya yang mempengaruhi fungsi mata adalah saraf
lakrimalis yang merangsang dalam pembentukan air mata oleh kelenjar air
mata. Kelenjar Lakrimalis terletak di puncak tepi luar dari mata kiri dan
kanan dan menghasilkan air mata yang encer.(6)
A. Definisi
Pseudotumor orbita adalah suatu peradangan yang idiopatik bukan
merupakan neoplasma yang sebenarnya dan dapat mengenai berbagai macam
jaringan orbita.(3)
8
menjadi mekanisme yang memberi andil pada pseudotumor orbita. Keberhasilan
terapi dengan menggunakan kortikosteroid dan agen imunosupresif memberi
kesan bahwa pathogenesis dari penyakit ini berhubungan dengan mekanisme
autoimun, dimana dimediasi oleh kedua limfosit B dan limfosit T. Bentuk akut
dari penyakit ini termasuk polimorfous infiltrate, sedangkan bentuk subakut dan
kronik paling banyak ditemukan pada stroma fibrovaskular. (3,4)
9
menemukan adanya penyakit reumatologi secara kebetulan. Atabay et al
melaporkan bahwa adanya autoantibodi yang melawan antigen otot mata terdapat
pada pasien dengan myositis orbital. Mereka menemukan autoantibodi aktif yang
melawan membrane protein pada otot mata sebesar 55 dan 64 kilodalton yang
ditemukan pada 63% pasien dengan myositis orbita dibandingkan dengan orang
sehat sekitar 16-20%. Hal ini merujuk bahwa autoimun mungkin berperan dalam
mekanisme pseudotumor terutama pada myositis orbita. Mottow et al juga
menyarankan bahwa trauma dapat meningkatkan permeabilitas vascular sehingga
terjadi pelepasan substansi antigenic yang mengaktifkan kaskade inflamasi. (8)
C. Epidemiologi
D. Manifestasi Klinik
10
Pseudotumor memiliki manifestasi klinis yang luas tergantung struktur
orbita apa yang terkena, derajat inflamasi dan fibrosis. Presentasi tersering adalah
proptosis, diplopia, nyeri orbital, edema palpebral, ptosis, kemosis dan
penglihatan menurun. (4)
11
Salah satu gejala objektif dari pseudotumor orbita adalah adanya
peningkatan tekanan intraocular. Infiltrasi sel inflamasi, yaitu limfosit, sel plasma,
makrofag dan sel mast dari jaringan interstisial, lemak orbital dan glandula
lakrimatlis dapat menyebabkan volume orbital meningkat dan secara tidak
langsung meningkatkan tekanan intraorbital. Nilai tekanan intraocular seharusnya
selalu dilakukan karena hal ini berkaitan langsung dengan keadaan suatu
pseudotumor. Turunnya visus dikarenakan adanya penekanan pada saraf otik oleh
pembengkakan jaringan disekitar mata. Pembengkakan jaringan orbital (rongga
mata) dapat menyebabkan mata menonjol keluar dan membatasi kemampuan mata
untuk menutup kelopak mata, dengan demikian akan mengekspos permukaan
mata depan sehingga dapat mengakibatkan iritasi dan kerusakan kornea. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Haryono et al 2014, menemukan hampir seluruh
gambaran histopatologi kasus pseudotumor orbita tidak menunjukkan suatu
keganasan dan menunjukkan adanya reaksi radang non spesifik. (2)
12
Gambar 9: Eritema palpebral dan kemosis konjuntival (11)
- Dakrioadenitis
Dakrioadenitis adalah pseudotumor kelenjar lakrimal memiliki tampilan
khas dakrioadenitis. Tanda yang khas adala adalah ptosis berbentuk "S"
yang berhubungan dengan kemosis konjuntival pada superotemporal.
Bagian yang berada didekat muskulus rektus lateral umumnya terlibat
sehingga tampak oftalmoparesis dan diplopia. (4)
- Miositis Orbital.
Kondisi umum jenis sindroma inflamasi orbita idiopatik ini adalah dengan
diplopia, nyeri dan biasanya diperburuk dengan gerakan otot okular.
Terdapat pembatasan gerak mata di bidang kerja dari otot yang terkena.
Injeksi konjungtiva yang terlokalisir dan kemosis terlihat pada penyisipan
tendon dari otot-otot yang terlibat seperti medial dan rektus superior. (4)
13
- Peradangan Orbital Sclerosis Idiopatik.
Peradangan orbital sclerosis idiopatik (ISOI) adalah subkelompok
patologis langka dari pseudotumor dengan prevalensi 5% hingga 7,8%
kasus. Onset penyakit tampak berbahaya dengan adanya diplopia,
penurunan tajam penglihatan dan proptosis. ISOI didiagnosis berdasarkan
karakteristik histologi yang ditandai dengan adanya fibrosis dan infiltrate
sel inflamasi kronik. Predileksinya mulai dari posterior superior atau
lateral orbit, terutama pada glandula lakrimalis, dengan limfosit yang
banyak, yang berperan penting dalam pembentukan fibrosis. (4)
E. Diagnosis
Diagnosis:
- Riwayat.
Onset terjadinya, durasi, progresi, dan kronologi adanya tanda dan gejala
pada orbita. Riwayat episode sebelumnya? Apakah ada gejala sistemik
atau penyakit lain? Riwayat ca? merokok? pemeriksaan mammogram, foto
thoraks, colonoskopi terakhir? Riwayat masalah pernafasan? Riwayat
trauma?
- Pemeriksaan mata lengkap, termasuk pergerakan bola mata,
eksoftalmometri, tekanan intraocular, evaluasi nervus optikus.
- Tanda vital, terutama suhu
- CT orbital (penampang aksial dan koronal) dengan kontras: menunjukkan
penebalan sclera posterior (“ring sing” pada 360 derajat dari ketebalan
sclera), penebalan pada otot ekstraokular (termasuk tendonnya). Erosi
tulang sangan jarang pada pseudotumor orbita.
- Lab darah: laju endap darah, darah lengkap, gula darah puasa, kreatinin.
- Biopsi ketika diagnosis belum dapat ditegakkan. (5,11)
14
Eksoftalmometri
Pencitraan
15
dimaksudkan untuk melihat apakah terdapat perubahan pada jaringan lunak pada
regio sinus kavernosus atau fisura orbital superior yang terlihat sebagai artifak
pada CT scan. (8)
- Glandula lacrimalis
Terlihat membesar. terdapat bagian yang kabur (blurring) pada batas
kelenjar dengan ditandai ekspansi disepanjang dinding lateral orbital dan
otot rectus lateralis.
Gambar 12: Pembesaran difus pada glandula lakrimal dengan batas kelenjar yang
kabur (blurring).(8)
- Otot ekstraokular
Pembesaran otot ekstrakular dapat terlihat (satu atau lebih otot). Satu otot
unilateral yang mengalami inflamasi sampai tendon paling sering terjadi.
Otot yang paling sering terkena adalah otot rectus medial diikuti otot
rectus superior, lateral dan inferior. Tendon juga dapat mengalami
pembesaran, dan bersama-sama mengalami pembesaran pada serabut otot
membentuk konfigurasi tubular. Mungkin terdapat infiltrasi mengenai
lemak orbital disekitar otot, dimana batas otot menjadi kabur (blurring).
16
Gambar 13: Gambaran CT pada otot rectus medial dan lateral bilateral
yang mengalami pembesaran dengan tendon membentuk konfigurasi
tubular. (8)
- Nervus optikus
Inflamasi jaringan disekitar nervus optikus dapat ditandai secara klasik
dengan adanta “tramline sign”, dimana terdapat densitas bergaris-garis
(streaky) pada lemak orbital yang berbatasan dengan saraf.
Gambar 14: Gambaran CT pada nervus optikus dengan lapisan saraf yang
mengalami peninggian (tramline sign) dan adanya pembesaran glandula
lakrimalis dextra. (8)
17
Gambar 15: Gambaran CT memperlihatkan penebalan dan blurring pada
uveoskleral mata kiri. (8)
- Lemak orbital
Infiltrasi dan inflamasi difus data terlihat pada lemak orbital dan dapat
menutupi bola mata dan kompleks selubung saraf optikus.
(8)
Gambar 16: gambaran CT memperlihatkan penebalan lemak orbital
18
Gambar 17: Gambaran MRI : lemak orbital menunjukkan adanya ekstensi
pada sinus kavernosus. (8)
Biopsi (Histopatologi)
Bentuk klasik dari pseudotumor adalah banyaknya jenis sel yang terjadi
secara akut dan tumor limfoid mimic. Infiltrate selular dapat terlihat difus dan
multifocal yang berbeda dengan neoplasma limfoid. Mengandung hiposeluler dari
limfosit matur, sel plasma, makrofag dan leukosit PMN. (4)
STEP 1.
Gambar 18: Bagan STEP 1 algoritma diagnosis dan terapi pseudotumor orbita(8)
19
Jika step 1 tidak ada, beralih ke step 2
STEP 2
Gambar 19: Bagan STEP 2 algoritma diagnosis dan terapi pseudotumor orbita(8)
20
F. Diagnosis Banding
G. Manajemen
NSAID
21
Kortikosteroid
Dosis inisial Prednisone 80-100 mg per oral, 4 kali sehari, dengan gastric
profilaksis (ranitidine 150 mg po b.i d). Dosis pediatric dimulai pada 1
mg/kg/hari. Perhatikan efek samping sistemik obat. (11)
Terapi Radiasi
Inhibitor Calcineurin
- Siklosporine (CsA)
Merupakan jenis imunosupressan yang bekerja pada limfosit T. bekerja
dengan menghambat sintesis sitokin growth sel-T, interleukin-2 dan
interferon gamma. Beberapa studi melaporkan bahwa siklosporine
memiliki efikasi pada pasien pseudotumor orbita diabetic yang tidak
toleran dengan steroid. Diaz-Liopis dan Menezo merekomendasikan terapi
ini dengan dosis 5 mg/kg/hari kemudian di tapering sampai 2mg/kg/hari
selama 10 bulan. (8)
Antiproliferatif (sitotoksik)
- Siklofosfamide
22
Merupakan agen alkilasi sel-B sitotoksik. Paris et al melaporkan
efektivitas kombinasi siklofosfamid dengan prednisone. Efek samping dari
obat ini termasuk nausea, muntah, supresi sumsum tulang, distress
gastrointestinal, diare, alopecia dan letargi. Komplikasi lanjut termasuk
perkembangan karsinoma sel transisional pada vesica urinary. (8)
- Metotreksat
Merupakan inhibitor dari dihidrofolate reduktase, suatu enzim yang
dibuthkan dalam sintesis asam folat, yang mengakibatkan supresi pada
fungsi sel B dan T. methotreksat juga memiliki efek antiinflamasi. Untuk
imunosupresi ocular, Hemadi et al merekomendasikan 10-25 mg dibagi
dalam 36-48 jam setiap 1-4 minggu. Efek sampingya antra lain gangguan
gastrointestinal, arthralgia, abnormalitas fungsi hati, alopesia, fatig dan
nyeri kepala. (8)
Terapi Bedah
Reseksi bedah menjadi pilihan jika terjadi refrakter pada terapi-terapi yang
telah dijelaskan sebelumnya. Terapi bedah berupa dilakukannya eksenterasi. (8)
H. Prognosis
Secara umum baik pada bentuk akut, meskipun rekurensi sering terjadi.
Bentuk sklerosing pada penyakit ini mungkin berbahaya, dan terutama jika
terapinya tidak berespon. (9)
23
DAFTAR PUSTAKA
24
10. John, Huang., Gaudio J., A, Pau. 2010. Orbital Inflammation in Ocular
Inflammatory Disease and Uveitis Manual: Diagnosis and Treatment 1st
Edition. Lippincott Williams and Wilkins. 1-13
11. Gerstenblith, Adam., Rabinowitz, Michael., Inflammatory Orbital Disease in
The Wills Eye Manual, Office and Emergency Room Diagnosis and
Treatment of Eye Disease.Lippincott Wiliams and Wilkins. 157-159
25