Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN JULI 2016


UNIVERSITAS TADULAKO

“PSEUDOTUMOR ORBITA”

Oleh:
Sakina Usman, S.Ked
N 111 14 011

Pembimbing Klinik:
dr. Neneng H. Sahuna, Sp.M

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2016

0
BAB I

PENDAHULUAN

Pseudotumor orbita adalah istilah yang merujuk pada spektrum inflamasi


orbita idiopatik tetapi tidak termasuk neoplastik, infeksi dan inflamasi sistemik
atau penyebab imunologik. Pada tahun 1905, Birch-Hirchfield pertama kali
mengemukakan mengenai ‘idiopathic orbital inflammatory syndrome’, yang
dikenal juga sebagai pseudotumor orbita, merupakan sebuah proses inflamasi
orbital nonspesifik, non-neoplastik. (1,2,3)

Pseudotumor orbita memiliki berbagai gejala klinis, tergantung pada


struktur orbita yang terlibat, tingkat inflamasi dan fibrosis. Proptosis adalah
presentasi yang paling sering, diikuti oleh pembengkakan kelopak mata dan
pembatasan pada motilitas. Proptosis adalah penonjolan bola mata. Hal ini
disebabkan karena kakunya struktur tulang orbita menyebabkan setiap
penambahan isi orbita yang terjadi disamping atau di belakang bola mata yang
akan mendorong organ tersebut ke depan. (2)

Pseudotumor orbita merupakan penyakit orbita ketiga terbanyak setelah


Grave’s disease dan penyakit limpoproliferatif. Angka kejadiannya berkisar antara
4,7 – 6,3 % dari seluruh penyakit orbita. Insidensi puncak terjadi dekade 4 dan 5,
namun juga terjadi pada anak-anak. Tidak ada predileksi jenis kelamin. Penyakit
ini merupakan penyakit yang didiagnosis secara eksklusi, setelah penyakit tumor
orbital, penyakit mata yang berhubungan dengan tiroid, dan penyakit inflamasi
sistemik.(2,4)

Pseudotumor orbita telah diamati berhubungan dengan berbagai kondisi


yang berhubungan dengan kondisi reumatologi, seperti penyakit Chron, systemic
lupus erythematous, arthritis rheumatoid, myasthenia gravis dan spondylitis
ankilosing. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mombaerts et al menemukan

1
bahwa 10% dari pasien pseudoorbita yang ia teliti, memiliki penyakit autoimun
yang terjadi secara bersamaan.(8)

Pseudotumor orbita atau sindrom inflamasi orbita idiopatik merupakan


istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan inflamasi orbital nonspesifik
tanpa disertai adanya penyebab lokal spesifik atau sistemik. Penyakit ini
merupakan penyakit yang jarang dan didiagnosis secara eksklusi. Manifestasi
klinis dari pseudotumor orbita bervariasi secara luas, seperti nyeri orbital,
proptosis, edema palbebra, chemosis, penglihatan ganda dan penurunan
penglihatan.(3)

Meskipun etiologi dari pseudotumor orbita tidak diketahui, proses imun


dianggap menjadi mekanisme terjadinya suatu pseudotumor orbita. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa dengan pemberian kortikosteroid dan agen
imunosupresif memberikan terapi yang optimal bagi pasien. Selain pemberian
kortikosteroid dan imunosupresif, manajemen untuk pseudotumor orbita yaitu
pemberian NSAID, terapi radiasi dan terapi bedah. Terapi bedah diindikasikan
ketika terapi kortikosteroid tidak berespon atau terjadi refrakter. Tindakan bedah
untuk pseudotumor orbita yaitu eksenterasi. (3)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI ORBITA

Gambar 1 : Cavum Orbita Potongan Axial (6)

Orbita berbentuk seperti buah pear dengan dengan kanalis optikus


diibaratkan sebagai tangkainya. Puncaknya di posterior dibentuk oleh
foramen optikum dan basisnya di bagian anterior dibentuk oleh margo
orbita. Lebar margo orbita 45 mm dengan tinggi 35 mm. Kedalaman orbita
pada orang dewasa kurang lebih 40-45 mm sampai ke apex. Dinding
medial dari mata kanan dan kiri sejajar. Dinding lateralnya dari mata
kanan tegak lurus terhadap dinding lateral mata kiri. Pertumbuhan penuh
dicapai pada umur 18-20 tahun dengan volume orbita dewasa ±30cc. Bola
mata hanya menempati sekitar 1/5 bagian ruangannya. Lemak dan otot
menempati bagian terbesarnya. Otot-otot mata terdiri dari m. rektus
superior, m. rektus inferior, m.rektus lateralis, m. rektus medialis, m.
obliqus inferior, m. obliqus superior.(5)

3
Gambar 2: Cavum Orbita Penampang Sagital (6)

Orbita dibentuk oleh tulang-tulang, terdiri dari :


Bagian superior orbita :
 os frontalis
 os sphenoidalis
Bagian dinding medial orbita :
 os maksilaris
 os lakrimalis
 os sphenoidalis
 os ethmoidalis
Bagian dinding inferior orbita:
 os maksilaris
 os zigomatikum
 os palatinum
Bagian dinding lateral orbita :
 os zigomatikum
 os sphenoidalis
 os frontalis (5)

4
Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, saraf,
yang masuk ke dalam mata, yang terdiri dari:
1. Foramen optikum yang dilalui oleh n. Optikus, a. Oftalmika.
2. Fissura orbitalis superior yang dilalui oleh n. Lakrimalis, n. Frontalis, n.
Trochlearis, v. Oftalmika, n. Occulomotorius, n. Nasosiliaris, serta serabut
saraf simpatik.
3. Fissura orbitalis inferior yang dilalui nervus, vena dan arteri infraorbitalis. (5)

Gambar 3: Anatomi tulang orbita (5)

LAPISAN BOLA MATA(6)


1. Tunika fibrosa, terdiri atas bagian posterior yang opak, sclera, bagian
anterior yang transparan, dan kornea
2. Tunika Vasculosa Pigmentosa, terdiri atas choroidea, korpus silliaris,
iris dan pupil. Tunika Nervosa, merupakan lapisan dari retina.

OTOT-OTOT PENGGERAK BOLA MATA


 M. Rektus Lateralis (N.VI)
 M. Rektus Medialis (N.III)
 M. Rektus Superior (N.III)
 M. Rektus Inferior (N.III)
 M. Obliquus Superior (N.IV)

5
 M. Obliquus Inferior (N.III) (6)

Gambar 4: Otot Penggerak Bola Mata Eksternal(6)

VASKULARISASI BOLA MATA


Ada 2 sistem vaskularisasi bola mata :
 Sistem arteri siliar, terdiri dari A. siliaris anterior (9) yang
memperdarahi sklera, episklera, limbus, konjungtiva; A. siliaris
posterior brevis (7) yang memperdarahi koroid, bagian n.opticus;
A. siliaris longus (4) yang memperdarahi corpus siliar
 Sistem arteri sentralis, terdiri dari A. Retina sentralis(12) yang
memperdarahi n.opticus.(6)

Gambar 5: Vaskularisasi Orbita(6)

6
PERSYARAFAN BOLA MATA

Saraf yang bertangung jawab terhadap mata manusia adalah saraf


optikus (Nervus II). Bagian mata yang mengandung saraf optikus adalah
retina. Saraf optikus adalah kumpulan jutaan serat saraf yang membawa
pesan visual dari retina ke otak.(6)

Gambar 6: Nervus Optikus(5)


Sedangkan saraf yang menggerakkan otot bola mata adalah saraf
okulomotoris (Nervus III), saraf ini bertanggungjawab terhadap
pergerakan bola mata, membuka kelopak mata, dan mengatur kontraksi
pupil mata.(6)

Gambar 7: Nervus yang mempersarafi otot-otot mata: RL6SO4(3)(6)

7
Saraf lainnya yang mempengaruhi fungsi mata adalah saraf
lakrimalis yang merangsang dalam pembentukan air mata oleh kelenjar air
mata. Kelenjar Lakrimalis terletak di puncak tepi luar dari mata kiri dan
kanan dan menghasilkan air mata yang encer.(6)

2.2 PSEUDOTUMOR ORBITA

A. Definisi
Pseudotumor orbita adalah suatu peradangan yang idiopatik bukan
merupakan neoplasma yang sebenarnya dan dapat mengenai berbagai macam
jaringan orbita.(3)

Pseudotumor orbita atau sindrom inflamasi orbita idiopatik merupakan


istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan inflamasi orbital nonspesifik
tanpa disertai adanya penyebab lokal spesifik atau sistemik. Penyakit ini
merupakan penyakit yang jarang dan didiagnosis secara eksklusi. Manifestasi
klinis dari pseudotumor orbita bervariasi secara luas, seperti nyeri orbital,
proptosis, edema palbebra, chemosis, penglihatan ganda dan penurunan
penglihatan.(3)

Pseudotumor orbita merupakan penyakit inflamasi idiopatik yang mengenai


jaringan orbital yang terjadi secara akut atau kronik, yang kadang disebut sebagai
idiopathic orbital inflammatory disease. Berbagai jaringan orbital yang dapat
terkena: glandula lacrimalis (dacriadenitis), otot ekstraokular (myositis), sclera
(skleritis), selubung nervus optikus (perineuritis optic) dan lemak periorbital. (4)

B. Etiologi dan Patogenesis

Penyebab dan pathogenesis dari pseudotumor orbita masih diperdebatkan.


Infeksi, post infeksi, autoimun dan faktor lingkungan dianggap menjadi penyebab.
Meskipun etiologi dari pseudotumor orbita tidak diketahui, proses imun dianggap

8
menjadi mekanisme yang memberi andil pada pseudotumor orbita. Keberhasilan
terapi dengan menggunakan kortikosteroid dan agen imunosupresif memberi
kesan bahwa pathogenesis dari penyakit ini berhubungan dengan mekanisme
autoimun, dimana dimediasi oleh kedua limfosit B dan limfosit T. Bentuk akut
dari penyakit ini termasuk polimorfous infiltrate, sedangkan bentuk subakut dan
kronik paling banyak ditemukan pada stroma fibrovaskular. (3,4)

Secara histologis, pseudotumor mengandung sel yang berhubungan


dengan inflamasi akut dan kronik, termasuk limfosit dan sel plasma, sel spindle
miofibroblastik dan kolagen (reaksi fibrosis). Penyebab pseudotumor tidak
diketahui. Beberapa penyebab seperti trauma dan inflamasi pasca bedah, kondisi
imun-autoimun, dan fibrosarkoma low-grade dengan sel inflamasi. Beberapa
pseudotumor berhubungan dengan IgG4 yang berhubungan dengan penyakit
sclerosis, suatu penyakit sistemik dimana terdapat sel plasma IgG4 positif yang
banyak dan infiltrasi sel T pada beberapa jenis jaringan. Pseudotumor dapat
dibedakan dengan limfoma, karena pseudotumor memiliki sel T dan B, dimana
berbeda dengan limfoma, yang hanya memiliki populasi klonal sel B atau T saja.
Beberapa pseudotumor juga dipikirkan sebagai suatu infeksi sekunder. Beberapa
jenis organisme yang dianggap berperan termasuk micoplasmata dan nocardiae
pada pseudotumor paru, aktinomicetes pada pseudotumor hepar, virus Epstein-
Barr pada pseudotumor limfa dan micobakterium pada tumor sel spindle.
Interleukin-1, suatu sitokin atau mediator inflamasi, yang diproduksi dominan
oleh monosit dan makrofag, berkontribusi menyebabkan adanya efek local dan
sistemik pada pseudotumor.(7)

Pseudotumor orbita telah diamati berhubungan dengan berbagai kondisi


yang berhubungan dengan kondisi reumatologi, seperti penyakit Chron, systemic
lupus erythematous, arthritis rheumatoid, myasthenia gravis dan spondylitis
ankilosing. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mombaerts et al menemukan
bahwa 10% dari pasien pseudoorbita yang ia teliti, memiliki penyakit autoimun
yang terjadi secara bersamaan. Pada studi lain yang dilakukan oleh Sobrin et al,
21 dari 27 pasien yang diterapi dengan infliximab untuk inflamasi ocular

9
menemukan adanya penyakit reumatologi secara kebetulan. Atabay et al
melaporkan bahwa adanya autoantibodi yang melawan antigen otot mata terdapat
pada pasien dengan myositis orbital. Mereka menemukan autoantibodi aktif yang
melawan membrane protein pada otot mata sebesar 55 dan 64 kilodalton yang
ditemukan pada 63% pasien dengan myositis orbita dibandingkan dengan orang
sehat sekitar 16-20%. Hal ini merujuk bahwa autoimun mungkin berperan dalam
mekanisme pseudotumor terutama pada myositis orbita. Mottow et al juga
menyarankan bahwa trauma dapat meningkatkan permeabilitas vascular sehingga
terjadi pelepasan substansi antigenic yang mengaktifkan kaskade inflamasi. (8)

C. Epidemiologi

Dapat terjadi pada semua umur, biasanya terjadi secara unilateral,


meskipun bilateral dapat sering terjadi pada anak; orang dewasa membutuhkan
evaluasi untuk vaskulitis sistemik (seperti Wegeners granulomatosis, poliarteritis
nodosa) atau penyakit limfoproliferatif. Merupakan penyebab kedua tersering dari
adanya eksoftalmus setelah penyakit mata tiroid. (9)

Merupakan penyakit nongranulomatous, dapat terjadi secara akut, sub akut


dan kronik tanpa adanya manifestasi sistemik dapat mengenai anak-anak sampai
orangtua, dengan insidensi puncak pada decade 4-5, dan tidak ada predileksi jenis
kelamin. Lokasi paling sering pada bagian anterior sampai tengah dari orbita, dan
sering mengenai glandula lacrimalis (50%). (10)

Insidensi pasti sulit untuk dinilai karena penyakit ini memberikan


manifestasi yang luas dan kurangnya definisi yang dapat diterima secara
universal. Pseudotumor orbita memiliki persentase 6,3% dari seluruh penyakit
mata. Pada penelitian yang dilakukan oleh Swamy et Al pada 24 pasien dengan
biopsy pseudotumor orbita menemukan bahwa pseudotumor pada glandula
lakrimalis memiliki persentase 54,2%, otot ekstraokular (50%), lemak orbital
75%, sclera 4,2%, nervus optikus 20,8% dan lain-lain sekitar 8,3%.(8)

D. Manifestasi Klinik

10
Pseudotumor memiliki manifestasi klinis yang luas tergantung struktur
orbita apa yang terkena, derajat inflamasi dan fibrosis. Presentasi tersering adalah
proptosis, diplopia, nyeri orbital, edema palpebral, ptosis, kemosis dan
penglihatan menurun. (4)

Manifestasi klinis yang dapat ditemukan:

- Inflamasi/ adanya efek massa dengan atau tanpa nyeri


- Nyeri unilateral (89%)
- Proptosis cepat
- Injeksi konjuntiva
- Kemosis
- Edema periorbital (75% pasien)
- Eritema
- Terbatasnya gerak mata
- Massa terpalpasi pada 50% kasus
- Penglihatan berkurang (10)

Gejalanya dapat terjadi secara akut, rekuren ataupun kronik. Pseudotumor


orbita dalam bentuk akut terjadi beberapa hari dan ditandai dengan adanya nyeri
dengan onset tiba-tiba, edema dan eritema palpebral, injeksi konjungtival,
disfungsi otot ekstraokular, gangguan visual, proptosis dan adanya massa yang
terpalpasi. Sedangkan pseudotumor dalam bentuk kronik terjadi dalam beberapa
minggu sampai bulan, ditandai dengan adanya proptosis, nyeri dan penurunan
penglihatan. (1)

Gejala paling sering yaitu mata menonjol, kelopak mata bengkak,


penglihatan ganda dan penurunan penglihatan. Pada anak mungkin terdapat gejala
sistemik, seperti demam, sakit kepala, muntah, nyeri perut, lethargi), presentasi
bilateral, yang tidak spesifik pada orang dewasa. Jika terdapat pseudotumor
bilateral terutama pada dwasa,pertimbangkan untuk evaluasi penyebab sistemik
seperti sarcoidosis, granulomatosis Wegener, metastasis, dan limfoma). (11)

11
Salah satu gejala objektif dari pseudotumor orbita adalah adanya
peningkatan tekanan intraocular. Infiltrasi sel inflamasi, yaitu limfosit, sel plasma,
makrofag dan sel mast dari jaringan interstisial, lemak orbital dan glandula
lakrimatlis dapat menyebabkan volume orbital meningkat dan secara tidak
langsung meningkatkan tekanan intraorbital. Nilai tekanan intraocular seharusnya
selalu dilakukan karena hal ini berkaitan langsung dengan keadaan suatu
pseudotumor. Turunnya visus dikarenakan adanya penekanan pada saraf otik oleh
pembengkakan jaringan disekitar mata. Pembengkakan jaringan orbital (rongga
mata) dapat menyebabkan mata menonjol keluar dan membatasi kemampuan mata
untuk menutup kelopak mata, dengan demikian akan mengekspos permukaan
mata depan sehingga dapat mengakibatkan iritasi dan kerusakan kornea. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Haryono et al 2014, menemukan hampir seluruh
gambaran histopatologi kasus pseudotumor orbita tidak menunjukkan suatu
keganasan dan menunjukkan adanya reaksi radang non spesifik. (2)

Gambar 8: Edema palpebral superior dan pembengkakan pada pseudotumor orbita


yang mengenai glandula lakrimalis.(8)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Haryono et al (2014),


karakteristik pasien pseudotumor orbita berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki
41,18%, sedangkan wanita 58,82%). Berdasarkan keluhan utama, yang paling
banyak yaitu penonjolan bola mata (proptosis) 85,29%, mata merah, nyeri, mata
berair masing-masing 17,65%, sakit kepala dan pandangan kabur masing-masing
14,71%, mata gatal dan pandangan berbayang 8,82%, secret dan silau 5,88%. (2)

12
Gambar 9: Eritema palpebral dan kemosis konjuntival (11)

Pseudotumor orbita memiliki beragam jenis termasuk myositis,


dakrioadenitis, perineuritis optic, periskleritik dan sklerotenitis. Jika mengenai
bagian posterior akan menghasilkan gejala yang disebut sebagai sindrom apeks
orbital. Pasien memiliki gejala disfungsi nervus optikus dan oftalmoplegia,
misalnya diplopia, penurunan visus, diskromatopsia, defek lapang pandang, defek
pupil aferen relative dan edema diskus optikus. Berikut beberapa bentuk
pseudotumor orbital tersering:

- Dakrioadenitis
Dakrioadenitis adalah pseudotumor kelenjar lakrimal memiliki tampilan
khas dakrioadenitis. Tanda yang khas adala adalah ptosis berbentuk "S"
yang berhubungan dengan kemosis konjuntival pada superotemporal.
Bagian yang berada didekat muskulus rektus lateral umumnya terlibat
sehingga tampak oftalmoparesis dan diplopia. (4)
- Miositis Orbital.
Kondisi umum jenis sindroma inflamasi orbita idiopatik ini adalah dengan
diplopia, nyeri dan biasanya diperburuk dengan gerakan otot okular.
Terdapat pembatasan gerak mata di bidang kerja dari otot yang terkena.
Injeksi konjungtiva yang terlokalisir dan kemosis terlihat pada penyisipan
tendon dari otot-otot yang terlibat seperti medial dan rektus superior. (4)

13
- Peradangan Orbital Sclerosis Idiopatik.
Peradangan orbital sclerosis idiopatik (ISOI) adalah subkelompok
patologis langka dari pseudotumor dengan prevalensi 5% hingga 7,8%
kasus. Onset penyakit tampak berbahaya dengan adanya diplopia,
penurunan tajam penglihatan dan proptosis. ISOI didiagnosis berdasarkan
karakteristik histologi yang ditandai dengan adanya fibrosis dan infiltrate
sel inflamasi kronik. Predileksinya mulai dari posterior superior atau
lateral orbit, terutama pada glandula lakrimalis, dengan limfosit yang
banyak, yang berperan penting dalam pembentukan fibrosis. (4)

E. Diagnosis

Diagnosis:

- Riwayat.
Onset terjadinya, durasi, progresi, dan kronologi adanya tanda dan gejala
pada orbita. Riwayat episode sebelumnya? Apakah ada gejala sistemik
atau penyakit lain? Riwayat ca? merokok? pemeriksaan mammogram, foto
thoraks, colonoskopi terakhir? Riwayat masalah pernafasan? Riwayat
trauma?
- Pemeriksaan mata lengkap, termasuk pergerakan bola mata,
eksoftalmometri, tekanan intraocular, evaluasi nervus optikus.
- Tanda vital, terutama suhu
- CT orbital (penampang aksial dan koronal) dengan kontras: menunjukkan
penebalan sclera posterior (“ring sing” pada 360 derajat dari ketebalan
sclera), penebalan pada otot ekstraokular (termasuk tendonnya). Erosi
tulang sangan jarang pada pseudotumor orbita.
- Lab darah: laju endap darah, darah lengkap, gula darah puasa, kreatinin.
- Biopsi ketika diagnosis belum dapat ditegakkan. (5,11)

14
Eksoftalmometri

Mata menonjol (proptosis) menjadi keluhan yang paling sering dialami


oleh pasien. Proptosis adalah peningkatan abnormal dari nilai protrusi bola mata.
Eksoftalmometri mengukur protrusi apeks kornea dari margin orbital luar (dengan
mata melihat lurus kedepan). Nilai normal antara 10-21 mm, dan simetris pada
kedua mata. Adanya perbedaan lebih dari 2 mm antara kedua mata merupakan
nilai yang signifikan. Alat sederhana yang digunakan untuk mengukur proptosis
adalah Luedde’s exophtalmometer dan Hertel’s exophtalmometer paling sering
digunakan.(5)

Gambar 10: Luedde’s Exophtalmometer (5)

Gambar 11: Hertel’s Exopthalmometer (5)

Pencitraan

Termasuk USG, CT scan orbital dan MRI. Pada pemeriksaan USG,


mungkin didapatkan lesi dengan reflektivitas rendah (10-40%) disebabkan oleh
efek gelombang suara yang minimal. Batasnya mungkin jelas kelihatan jika
merupakan tipe local, namun sangat sulit dibedakan jika tipenya difus. (4)

CT merupakan metode yang lebih baik karena dapat memperlihatkan kontras


lemak orbital, otot, struktur tulang, dan udara dalam sinus paranasal. MRI

15
dimaksudkan untuk melihat apakah terdapat perubahan pada jaringan lunak pada
regio sinus kavernosus atau fisura orbital superior yang terlihat sebagai artifak
pada CT scan. (8)

- Glandula lacrimalis
Terlihat membesar. terdapat bagian yang kabur (blurring) pada batas
kelenjar dengan ditandai ekspansi disepanjang dinding lateral orbital dan
otot rectus lateralis.

Gambar 12: Pembesaran difus pada glandula lakrimal dengan batas kelenjar yang
kabur (blurring).(8)

- Otot ekstraokular
Pembesaran otot ekstrakular dapat terlihat (satu atau lebih otot). Satu otot
unilateral yang mengalami inflamasi sampai tendon paling sering terjadi.
Otot yang paling sering terkena adalah otot rectus medial diikuti otot
rectus superior, lateral dan inferior. Tendon juga dapat mengalami
pembesaran, dan bersama-sama mengalami pembesaran pada serabut otot
membentuk konfigurasi tubular. Mungkin terdapat infiltrasi mengenai
lemak orbital disekitar otot, dimana batas otot menjadi kabur (blurring).

16
Gambar 13: Gambaran CT pada otot rectus medial dan lateral bilateral
yang mengalami pembesaran dengan tendon membentuk konfigurasi
tubular. (8)

- Nervus optikus
Inflamasi jaringan disekitar nervus optikus dapat ditandai secara klasik
dengan adanta “tramline sign”, dimana terdapat densitas bergaris-garis
(streaky) pada lemak orbital yang berbatasan dengan saraf.

Gambar 14: Gambaran CT pada nervus optikus dengan lapisan saraf yang
mengalami peninggian (tramline sign) dan adanya pembesaran glandula
lakrimalis dextra. (8)

- Sclera, episklera, kapsul Tenon dan uvea


Gambaran CT akan memperlihatkan penebalan struktur non spesifik.
Batas sclera yang kabur (blurring) dapat terlihat.

17
Gambar 15: Gambaran CT memperlihatkan penebalan dan blurring pada
uveoskleral mata kiri. (8)

- Lemak orbital
Infiltrasi dan inflamasi difus data terlihat pada lemak orbital dan dapat
menutupi bola mata dan kompleks selubung saraf optikus.

(8)
Gambar 16: gambaran CT memperlihatkan penebalan lemak orbital

- Apeks orbital, sinus kavernosus, dan intracranial


Mungkin terdapat kompresi, obliterasi dan displacement dari nervus
optikus. Sinus kavernosus dan fossa kranial media merupakan 2 lokasi
tersering ekstensi intracranial dari suatu pseudotumor orbita. Keterlibatan
intracranial dapat terlihat adanya gambaran abnormal jaringan lunak yang
terdapat pada fisura orbitalis superior, ekspansi sinus kavernosus
ipsilateral dan penebalan meninges disekitar inflamasi orbital.

18
Gambar 17: Gambaran MRI : lemak orbital menunjukkan adanya ekstensi
pada sinus kavernosus. (8)

Biopsi (Histopatologi)

Biopsy tidak selalu diindikasikan. Biopsy dipertimbangkan jika terdapat


deficit neurologis yang progresif, tidak beresponnya terapi kortikosteroid dan
adanya abnormalitas pencitraan yang persisten. Biopsy dapat dilakukan dengan
cara FNAB atau biopsy insisional. (4,8)

Bentuk klasik dari pseudotumor adalah banyaknya jenis sel yang terjadi
secara akut dan tumor limfoid mimic. Infiltrate selular dapat terlihat difus dan
multifocal yang berbeda dengan neoplasma limfoid. Mengandung hiposeluler dari
limfosit matur, sel plasma, makrofag dan leukosit PMN. (4)

Berikut merupakan algoritma diagnosis dan terapi pseudotumor orbita.

STEP 1.

Gambar 18: Bagan STEP 1 algoritma diagnosis dan terapi pseudotumor orbita(8)

19
Jika step 1 tidak ada, beralih ke step 2 

STEP 2

Gambar 19: Bagan STEP 2 algoritma diagnosis dan terapi pseudotumor orbita(8)

20
F. Diagnosis Banding

Diagnosis banding termasuk penyakit mata tiroid, selulitis orbital,


granulamotis Wegener, limfoma, leukemia, sarcoidosis, amyloidosis, kista
dermoid. Sangat penting untuk membedakan pseudotumor dari neoplasma orbita
sesungguhnya.(4)

Penyakit mata tiroid merupakan penyebab paling tersering terjadinya


inflamasi orbital pada orang dewaa, dan terjadi 60% dari seluruh kasus inflamasi
orbital pada kelompok usia 21-60 tahun. Faktor risiko selulitis orbita termasuk
riwayat sinusitis, penyakit dental, atau trauma. (8)

Tabel 1: Diagnosis Banding Pseudotumor orbita (8)

G. Manajemen

NSAID

Seperti Ibuprofen, dapat digunakan pada kasus pseudotumor orbita ringan.


Belum ada studi resmi yang mengevaluasi penggunaan NSAID pada kasus
pseudotumor orbita. Mannor et al melaporkan NSAID dapat digunakan selama 3
minggu selama ada diamati resolusi klinis, dengan steroid, terutama pada kasus
yang refrakter. Efek samping NSAID pada 10-20% pasien yaitu dyspepsia, yang
dapat dikurangi dengan pemberian obat penurun produksi asam seperti proton
pump inhibitor (missal omeprazole atau esomeprazole). (8)

21
Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik, biasanya prednisone 1 mg/kg/hari, dengan


melakukkan tappering off. (10)

Dosis inisial Prednisone 80-100 mg per oral, 4 kali sehari, dengan gastric
profilaksis (ranitidine 150 mg po b.i d). Dosis pediatric dimulai pada 1
mg/kg/hari. Perhatikan efek samping sistemik obat. (11)

Re-evaluasi pada 1-2 hari. Pasien yang merespon steroid dipertahankan


untuk dosis inisial sampai hari 3-5, diikuti tappering slow sampai 40 mg/hari
sampai 2 minggu dan tappering slower hingga dibawah 20 mg/hari, biasanya
beberapa minggu setelahnya. Jika tidak merespon kortikosteroid, biopsy sangat
dipertimbangkan. (11)

Terapi Radiasi

Dilakukan jika terapi koritikosteroid resisten atau tidak toleran.


Kesuksesan terapi radiasi dilaporkan 50-75%. Penulis lain menerbitkan terdapat
persentase keberhasilan 66-100% setelah pemberian dosis total 2000 cGy. (8)

Inhibitor Calcineurin

- Siklosporine (CsA)
Merupakan jenis imunosupressan yang bekerja pada limfosit T. bekerja
dengan menghambat sintesis sitokin growth sel-T, interleukin-2 dan
interferon gamma. Beberapa studi melaporkan bahwa siklosporine
memiliki efikasi pada pasien pseudotumor orbita diabetic yang tidak
toleran dengan steroid. Diaz-Liopis dan Menezo merekomendasikan terapi
ini dengan dosis 5 mg/kg/hari kemudian di tapering sampai 2mg/kg/hari
selama 10 bulan. (8)

Antiproliferatif (sitotoksik)

- Siklofosfamide

22
Merupakan agen alkilasi sel-B sitotoksik. Paris et al melaporkan
efektivitas kombinasi siklofosfamid dengan prednisone. Efek samping dari
obat ini termasuk nausea, muntah, supresi sumsum tulang, distress
gastrointestinal, diare, alopecia dan letargi. Komplikasi lanjut termasuk
perkembangan karsinoma sel transisional pada vesica urinary. (8)
- Metotreksat
Merupakan inhibitor dari dihidrofolate reduktase, suatu enzim yang
dibuthkan dalam sintesis asam folat, yang mengakibatkan supresi pada
fungsi sel B dan T. methotreksat juga memiliki efek antiinflamasi. Untuk
imunosupresi ocular, Hemadi et al merekomendasikan 10-25 mg dibagi
dalam 36-48 jam setiap 1-4 minggu. Efek sampingya antra lain gangguan
gastrointestinal, arthralgia, abnormalitas fungsi hati, alopesia, fatig dan
nyeri kepala. (8)

Imunoglobulin IV dan Plasmaferesis

Baik immunoglobulin IV dan plasmaferesis memilki prinsip yaitu


mengeluarkan autoantibodi dalam tubuh dengan proses neutralisasi dan filtrasi.
Namun mekanisme pastinya belum diketahui. Symon et al melaporkan
keberhasilan pseudotumor orbita resisten dengan dosis total 2 g/kg dalam 4 hari
dibagi per 8 jam dengan turunnya gejala nyeri dan proptosis. IVIG juga berguna
dalam penyakit mata tiroid. Meskipun sangat baik, terapi ini sangat mahal. (8)

Terapi Bedah

Reseksi bedah menjadi pilihan jika terjadi refrakter pada terapi-terapi yang
telah dijelaskan sebelumnya. Terapi bedah berupa dilakukannya eksenterasi. (8)

H. Prognosis

Secara umum baik pada bentuk akut, meskipun rekurensi sering terjadi.
Bentuk sklerosing pada penyakit ini mungkin berbahaya, dan terutama jika
terapinya tidak berespon. (9)

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Gündüz, Kaan., Gunalp, Ilhan., Ozden R.G., 1999. Clinical Investigations:


Chronic Dacryoadenitis Misdiagnosed as Eyelid Edema and Allergic
Conjunctivitis. Japan Journal Opthalmology 43. 109-112. Turkey: Elsevier.
2. Haryono, Filissa., Ibrahim., Kusumastuti, Enny., 2014. Penilaian Penonjolan
Bola Mata (Proptosis) pada Penderita Orbital Pseudotumor. MKS 46. 1-4.
Palembang: FK UNSRI.
3. Chirapapaisan, N., Chuenkongkaew, W., Pornpanich, K et al. 2007. Orbital
Pseuditumor: Clinical Features and Outcomes. Asian Pacific Journal of
Allergy and Immunology 25: 215-218. Bangkok. Faculty of Medicine
Mahidol University.
4. Srinivasan, Renuka., Gulnar, Datta., 2013. Major Review: Orbital
Pseudotumor. Kerala Journal of Opthalmology Vol XXI, No,2: 127-132.
5. Khurana, A.K., 2007. Disease of Orbit in Comprehensive Ophtalmology 4th
Edition. New Delhi: New Age International Publisher. 389-390.
6. Snell, Richard., 2006. Anatomi Klinis untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC.
Jakarta.
7. Patnana, M., Sevrukov, A., Elsayes K. et al., 2012. Special Articles Review:
Inflammatory Pseudotumor: The Great Mimicker. American Journal Roetgen
198: 217-227. Texas: ARR Society.
8. Chundury, Rao., Chundury, Anupama., Espinoza, Gabriella et al. 2015.
Nonspesific Orbital Inflammation (Idiopathic Orbital Inflammation, Orbital
Inflammatory Syndrome, Orbital Pseudotumor.). Eye Wiki Journal. American
Academy of Ophtalmology. 1-8.
9. Kaiser, Peter., Friedman, Neil., 2014. Orbit in The Massachusetts Eye and
Ear Infrimary Illustrated Manual of Ophtalmology 4th Edition. Toronto:
Elsevier. 54-57.

24
10. John, Huang., Gaudio J., A, Pau. 2010. Orbital Inflammation in Ocular
Inflammatory Disease and Uveitis Manual: Diagnosis and Treatment 1st
Edition. Lippincott Williams and Wilkins. 1-13
11. Gerstenblith, Adam., Rabinowitz, Michael., Inflammatory Orbital Disease in
The Wills Eye Manual, Office and Emergency Room Diagnosis and
Treatment of Eye Disease.Lippincott Wiliams and Wilkins. 157-159

25

Anda mungkin juga menyukai