Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Pikiran normal mengacu kepada komponen ide dari aktivitas mental, proses

untuk membayangan, menilai, mengevaluasi, meramalkan, merencanakan,

menciptakan dan kemauan. Pikiran dibagi menjadi proses (bentuk) dan isi, proses

dimaksudkan sebagai cara dimana seseorang menyatukan gagasan dan asosiasi

yaitu bentuk dimana seseorang berpikir. Waham adalah keyakinan palsu,

didasarkan kepada kesimpulan yang salah tentang eksternal, tidak sejalan dengan

intelegensia pasien dan latar belakang kultural, yang tidak dapat dikoreksi dengan

suatu alasan.1

Ganguan waham somatic atau gangguan waham hipocondria adalah

kelainan isi pikir mengeluhkan adanya kelainan, deformitas, rasa ketidakpuasan

akan tubuhnya yang merasa jelek, berat badan yang berlebihan, bau badan yang

busuk, halitosis atau merasa bau nafas yang busuk, dan lain-lain. Menurut

penelitian Theo CM et al menyebutkan, berdasarkan jenis kelamin perempuan

lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Persentase yang sering dikeluhkan

oleh pasien adalah biasanya didaerah disekitar kepala meliputi otak, tulang bagian

perut terutama regio epigastrium, seluruh tubuh, jantung, dan lain-lainnya seperti

mata, telinga, hidung, dan kaki. Untuk penyebab dari waham ini sendiri

mempunyai beberapa teori yang dapat menjelaskannya seperti diakibatkan

gangguan mental, ketidakseimbangan neurotransmiter, intoksikasi obat, gangguan

metabolik, gangguan mental organik, skizofrenia, dan lain-lain.1,2,3

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Waham hipokondrium atau waham somatik adalah keyakinan tentang

(sebagian) tubuhnya yang tidak mungkin benar, gangguan isi pikiran, bisa berupa

murni waham saja atau berkaitan dengan khayalan saja yang sifatnya tidak aneh

dan tidak bisa diklasifikasikan sebagai gangguan organik, skizofrenia atau afektif.

kepercayaan pada ketakutan menderita, atau keyakinan bahwa seseorang memiliki

penyakit medis yang serius, kelainan, deformitas, rasa ketidakpuasan akan

tubuhnya yang merasa jelek, berat badan yang berlebihan, bau badan yang busuk,

halitosis atau merasa bau nafas yang busuk, ususnya sudah busuk, otaknya sudah

cair, dan ada seekor kuda didalam perutnya.dan lain-lain, meski tidak ada dasar

medis untuk keluhan yang dapat ditemukan.1

Penyebab waham ini disebabkan dari interpretasi pasien yang tidak

realistisk dan tidak akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, yang mennyebabkan

preokupasi dan ketakutan bahwa mereka menderita penyakit yang serius,

walaupun tidak ditemukan penyebab medis yang diketahui. Preokupasi pasien

menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi pasien dan mengganggu

kemampuan mereka untuk berfungsi di dalam peranan personal, sosial, dan

pekerjaan.1,2

B. EPIDEMIOLOGI

2
Satu penelitian terakhir melaporkan prevalensi enam bulan sebesar 4

sampi 6 persen pada populasi pasien di klinik medis umum. Persentasi pasien

laki-laki dan perempuan sama-sama bisa terkena waham hipokondrium atau

waham somatik ini, namun pada beberapa kasus yang lebih sering ditemukan

adalah perempuan. Menurut penelitian Theo CM et al menyebutkan, berdasarkan

jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki yaitu

sebesar 42.3% pada laki-laki dan 57.7% pada perempuan. Hal ini juga dapat

menyangkut jenis masalah atau stres yang sedang dihadapai.3

Kebanyakan penderita adalah individu yang sudah berkeluarga

dibandingkan dengan yang belum berkeluarga. Walaupun menurut penelitian

angka-angka ini bisa saja berubah berdasarkan penyebab yang mendasarinya.

Berdasarkan usia, pendeirta untuk laki-laki yang paling banyak adalah umur 48

tahun sedangkan pada perempuan berumur 44 tahun. Rentang umur yang sering

terjadi waham ini adalah umur 20 sampai 40 tahunan.3


Walaupun onset gejala dapat terjadi pada setiap usia, onset paling sering

antara usia 20 sampai 30 tahun. Prevalensi pasien akhirnya sadar dan akhirnya

berobat ke bagian psikiatri atau kebagian kejiwaan rata-rata 2 sampai 3 tahun

setelah sering berpindah-pindah dokter. Lalu waham hipochondria adalah waham

terbanyak yang diderita oleh orang-orang sedangkan yang terbanyak adalah

waham kejar. Persentase yang sering dikeluhkan oleh pasien adalah biasanya

didaerah disekitar kepala meliputi otak, tulang bagian perut terutama regio

epigastrium, seluruh tubuh, jantung, dan lain-lainnya seperti mata, telinga, hidung,

dan kaki. 3

3
Sekitar 43% pasien terbukti mengalami depresi dikarenakan berpikir bahwa

penyakit yang mereka derita sangat sulit disembuhkan bahkan oleh dokter yang

berpengalaman, dan sebagian dari prevalensi tersebut mempunyai riwayat hendak

melakukan bunuh diri. Dan sekitar 55,7% menolak untuk melakukan terapi ke

bagian psikiatri. Kasus pencetus terbanyak adalah dimulai dari tindakan kekerasan

dilanjutkan karena stres emosional karena tekanan batin. Beberapa lebih sering

diantara orang kulit hitam dibandingkan kulit putih, tetapi posisi sosial, tingkat

pendidikan dan status perkawinan tidak mempengaruhi diagnosis. Di Indonesia

sendiri masih belum ditemukan jumlah yang pasti penderita waham ini karena

minimnya jumlah pendataan dari bagian kesehatan.3,4


C. ETIOLOGI

Etiologi yang tepat dari gangguan wahamonal belum sepenuhnya telah

diketahuin. Namun, peran genetik, biologis (keadaan hiperopaminergik) dan

faktor psikologis telah dipertimbangkan beberapa ahli. Meskipun beberapa pasien

tidak memiliki riwayat gangguan waham di dalam keluarga, namun beberapa hal

pencetus seperti mengalami peristiwa kehidupan yang menegangkan bagi pasien

seperti contoh mengalami perpisahan dari suaminya dikarenakan terjadi kekerasan

dalam rumah tangga akibat pengaruh minum minuman beralkohol sehingga

mengalami waham somatik dengan tema adanya lesi kulit yang mengalami abses

dan terdapat parasit serta parasit tersebut menyerah jantung pasien dan organ-

organ lainnya seperti yang dilaporkan pada kasus wanita berumur 59 tahun.

Waham bisa berkembang menjadi respons terhadap stres dan dapat berfungsi

untuk mempertahankan diri dari stress yang dialaminya.4

4
Beberapa penelitian juga menyebutkan kemungkinan hubungan antara

timbulnya gejala dengan menopause. Pasien dengan gangguan wahamonal hanya

menyerap informasi yang tersedia tidak secara selektif dan membuat kesimpulan

berdasarkan informasi yang kurang dari subyek yang sehat tidak mengalami

waham dan tanpa mempertimbangkan penjelasan alternatif dari dokter yang lebih

ahli. Faktor-faktor yang sering dikaitkan dengan gangguan wahamonal yang

mempengaruhi pasien termasuk yang sudah menikah, tinggal di kota dan memiliki

status sosioekonomi yang rendah. Orang yang cenderung terisolasi, seperti

imigran atau mereka dengan gangguan penglihatan atau pendengaran, tampaknya

lebih rentan terhadap gangguan waham.4

Beberapa waham somatik yang sering dikeluhkan pada sub bagian spesialis

adalah adanya nyeri, entah itu nyeri yang dirasakan di kepala, di dada, di otot

ekstremitas, dan diperut. Nyeri pada bagian perut adalah yang sering dilaporkan

dan ironisnya sering dilakukan rawat inap tanpa diketahui penyebab pastinya.4

Selanjutnya adalah perasaan adanya parasit di anggota tubuh. Laporan yang

pernah diterima adalah terdapat beberapa pasien yang mengalami gatal-gatal tanpa

diketahui penyebabnya diduga adanya parasit di tempat tidur pasien. Setelah

diberi berbagai macam obat topikal maupun oral keluhan tidak berkurang. Banyak

orang melaporkan bahwa parasit, serangga, atau cacing ini telah menggigit atau

menyengat mereka, meninggalkan bekas luka di tubuh mereka, atau bahkan

membangun sarang atau meletakkan telur di bawah kulit mereka. Dalam kasus

yang jarang terjadi, penderita waham hipokondrium ini telah menyebabkan

5
kerusakan diri yang ekstrim untuk menghilangkan kutu dari tubuh mereka.

Waham ini adalah waham tipe hipokondrium yang paling umum terjadi.4
Laporan pasien yang mengalami waham hipokondria tipe parasit ini

sudah terjadi ketika akhir abad ke 19 yang saat itu seseorang mengalami waham

akan adanya serangga kecil yang berada di tubuh seorang pasien. Waham

hipokondirum tipe parasitosis adalah nama yang umum dan sering diapakai oleh

beberapa ahli. Terminologi ini dipaparkan oleh Wilson dan Miller pada tahun

1946.4
Beberapa penelitian memaparkan bahwa waham hipochondria tipe

parasitosis ini terjadi pada usia rata-rata 57 tahun, dan perbandingan antara wanita

dan pria adalah lebih banyak pada wanita. Pada sebagian kasus seseorang dapat

membunuh hewan peliharaannya sendiri untuk memastikan bahwa parasit ini

tidak menginfeksi mereka.4

Pasien dengan waham parasitosis bukan merupakan gejala psikotik tetapi

memiliki gangguan tipe somatik. Waham ini diklasifikasikan menjadi true

delusional disorder oleh diagnostik dan manual statistik gangguan mental.

Lalu pasien dengan keluhan kelainan pada tubuhnya juga pernah dilaporkan.

Kepercayaan akan bentuk tubuh yang kurang bagus secara estetika. Individu akan

merasa bagian tubuh tidak berbentuk, jelek, atau hilang sama sekali. Individu

dapat menarik diri dari lingkungan sosial, menutup bagian tubuh yang mengalami

gangguan, atau bahkan mencoba untuk menghilangkan bagian tubuh yang

mengalami gangguan. Meskipun waham jenis ini bisa berbahaya bagi seseorang

yang menyikapinya dengan cara yang salah tetapi jenis waham ini relatif jarang

terjadi.4

6
Body Dismorphic Disorder (BDD) atau yang dikenal dengan

dysmorphophobia juga dapat didefenisikan sebagai perasaan seseorang yang

percaya berhubungan dengan bentuk fisik yang bermasalah. Sekitar 50% pasien

dengan BDD memenuhi kriteria dalam DSM-IV untuk gangguan waham tipe

hipokondrium atau tipe somatik. Individu yang selalu disibukan dengan kegiatan

untuk mengurus atau memperhatikan bentuk tubuhnya yang bermasalah dan tidak

bisa lepas dari kegiatan tersebut dapat dikelompokan kedalam waham jenis

somatic atau waham hipokondrium. Biasanya seseorang akan berjam-jam

memperhatikan bentuk tubuhnya yang bermasalah dan berlarut

mempermasalahkan bagin tubuhnya.4

Beberapa komorbiditas pada BDD yang sering terjadi pada pasien terutama

depresi, fobia sosial, dan gangguan obsesif kompulsif (OCD) serta gangguan

delusional. Keyakinan akan cacat penampilan akan membawa makna dan

implikasi secara pribadi yang kuat. Misalnya pada seseorang yang mempunya

keyakinan bahwa hidungnya terlalu besar menyebabkan suatu saat pasien bahwa

dia akan berakhir sendirian, tidak dicintai dan bahwa dia mungkin terlihat seperti

penjahat. Pasien juga cenderung akan memunculkan waham curiga yang akan

beranggapan jika orang-orang disekitar dirinya melihat pasien jelek atau cacat,

beranggapan mereka berpikir negeatif dan beranggapan menghina sebagai

konsekuensi dari keburukan mereka.4

Aspek selanjutnya yang dilihat dari BDD adalah perilaku yang memakan

waktu yang didasarkan pada penderita selalu memeriksa cacat pada tubuhnya

secara berulang kali atau untuk menyamarkan atau memperbaikinya. Contohnya

7
selalu menatap ke cermin untuk membandingkan bagian anggota tubuh tertentu

dengan orang lain, selalu melakukan perawatan tubuh yang berlebihan terutama

yang mengganggu seperti bagian kulit, menyamarkan cacat dengan memakai

perhiasan yang tebal, diet secara berlebihan, perawatan dermatologis atau bedah

kosmetik. Penelitian menunjukan bahwa pasien BDD biasanya berpikir tentang

kelainan yang dirasakan mereka setidaknya selama satu jam ( waktu rata-rata

adalah 3-8 jam sehari).4

Gangguan waham jenis ini merupakan jenis gangguan heterogen yang tidak

diketahui etiologinya yang ciri-ciri dan fitur utamanya adalah adanya sistem

waham yang tunggal. Beberapa penelitian masih memperdebatkan apakah BDD

adalah gangguan yang diakibatkan terhadap fobia sosial, gangguan mood, Obsesif

Kompulsif (OCD), somatoform, bahkan gangguan waham hipokondrium.4

Selanjutnya adalah halitosis atau seseorang yang merasakan bahwa

tubuhnya mempunyai bau yang tidak sedap yang sebenarnya tidak dicium oleh

orang lain. Pryse-Phillips pada tahun 1971 mengistilahkan keluhan ini dengan

nama Olfactory Referencee Syndrome (ORS). ORS ini tidak dimasukan sebagai

gangguan terpisah oleh diagnostik dan statistik manual gangguan mental (DSM-

IV) atau ICD-10, namun ORS ini termasuk bagian dari waham somatik atau

waham hipokondrium tipe olfaktorius. Namun beberapa teori mencoba

menjelaskna bahwa waham ini berhubungan trimethylaminuria (TMAU)

bertanggung jawab atas bau busuk masih belum dilaporkan. TMAU atau sindrom

bau ikan diyakini akibat gangguan kekurangan enzim yang mengandung flavin

monooxygenase 3(FMO3) di hati menyebabkan ketidakmampuan untuk

8
memetabolisme senyawa trimethylamine (TMA) sehingga berbau busuk dan saat

terjadinya ekskresi dalam urin, keringat dan bau nafas.4


Gangguan ini sering dikaitkan dengan BDD. Biasanya pasien tidak akan

berhenti menjelaskan tentang bau badanya sampai menjadi jelas bahwa bau yang

dicium merupakan waham saja. Biasanya pasien memiliki komorbiditas yang

sering terjadi pada pasien terutama depresi, fobia sosial, dan gangguan obsesif

kompulsif (OCD) serta gangguan delusional. Para peneliti mengusulkan bahwa

ORS dimasukan kedalam DSM-V karena bukti tidak mendukung apakah keluhan

ini mengarah waham hipokondirum atau merupakan gangguan lainnya.4


Gangguan ini dapat membahayakan seseorang yang mengalaminya.

Gangguan ini tidak mengancam nyawa akan tetapi seseorang yang mengalaminya

cenderung akan lebih mengalami depresi. Beberapa penelitian yang dilakukan

menunjukan bahwa seseorang yang mengalami ganngguan ini mempunyai

pemikiran untuk melakukan bunuh diri hal ini dikaitkan dengan rasa malu yang

dirasakan akibat bau badan yang meraka yakini dan merasa akan dijauhi oleh

orang-orang sekitar atau dihina oleh orang jika mencium bau tubuhnya. Rata-rata

mereka menghabiskan tiga hingga delapan jam sehari karena memikirkan bau

mereka yang bahkan tidak dicium oleh orang lain. Sekitar 40% orang-orang

menghabiskan setidaknya selama seminggu di rumah karena takut orang lain bisa

mencium bau mereka. Sumber bau yang dibayangkan bisa berasal dari mana saja,

tetapi yang paling umum sekitar 75% orang mengira bau mereka berasal dari bau

mulut. Lalu sekitar 60% orang berpikir bau badan dari ketiak mereka akan

mengganggu orang lain, dan 35% berpikir ada bau dari alat kelamin mereka.4
Beberapa pasien begitu mengkhawatirkan bau tersebut sehingga terkadang

mereka mengira bahwa mereka sedang mengalami gangguan mental. Sekitar 85%

9
dari penelitian yang dilakukan meyakini bahwa mereka memiliki bau tubuh atau

kimia yang terlalu kuat. Beberapa fakta mengatakan bahwa 15% orang memiliki

gagasan bahwa mereka benar-benar tidak bau dan meyakini bahwa mereka

mengalami gangguan mental, dan bukan karena memiliki kemampuan kepekaan

yang ekstrim untuk mencium bau-bauan tertentu. Beberapa dokter sering mengira

bahwa gangguan ini merupakan gangguan halusinasi olfaktorius dan sering salah

mendiagnosis padahal mereka memiliki waham somatik tipe olafaktorius. Akan

tetapi kasus ini jarang terjadi dan masih diperdebatkan apakah memang termasuk

waham hipokondrium atau bukan.4


Gangguan jenis lainnya yang jarang sekali terjadi dan sering berkaitan

dengan jenis-jenis waham hipokondirum lainnya seperti ketidakpuasan terhadap

bagian anggota tubuh, atau merasakan adanya nyeri perut yang hilang timbul

akibat trauma dan lain-lainnya yang jika diperiksakan kedokter biasanya dalam

kondisi yang normal.4


Karena mereka begitu yakin akan keaslian gejala mereka, bagaimanapun,

banyak orang yang menderita waham somatik atau waham hipokondria tidak

menyadari bahwa mereka membutuhkan perawatan psikiatri. Sebaliknya, mereka

cenderung mencari bantuan dari dokter kulit, dokter gigi, dan bahkan spesialis

penyakit menular, yang tidak dapat menawarkan mereka nasihat atau perawatan

yang bermanfaat untuk kondisi psikologis sepenuhnya ini. Kebanyakan orang

yang memiliki waham hipokondrium ini merasa tidak percaya apa yang telah

terjadi pada diri mereka dan terkadang bisa mengambil tindakan yang ekstrim

untuk mencari pengobatannya. Seseorang yang mengalami ini tidak akan

10
mempercayai pendapat orang lain akan keluhan yang dirasakannya walaupun

sudah diberikan kebenaran informasi kepada seseorang tersebut.1


D. Faktor Risiko

Waham hipokondrium seperti yang sudah dijelaskan dipengaruhi oleh faktor

pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak ada

kasih sayang, pertengkaran dan adanya penganiayaan. 6 Seseorang yang merasa

diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya waham hipokondrium.

Dengan adanya waham ini mereka cenderung akan menarik perhatian orang lain

dengan keluhan yang dirasakannya. Faktor lain misalnya kemiskinan, ketidak

harmonisan sosial budaya, hidup terisolasi, stress menumpuk. Waham

berhubungan dengan proses sakit, pengaruh lingkungan dan diperburuk dengan

terjadinya perubahan peran sosial.5

Hal ini sesuai dengan Stuart & Laraia yang menyatakan hubungan yang

tidak harmonis, peran ganda atau bertentangan dapat menimbulkan ansietas dan

berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan (Misalnya konflik pernikahan,

koping stress tidak konstruktif atau tidak adaptif, gangguan identitas) merupakan

faktor psikologis yang dapat menyebabkan terjadinya waham. Alasan yang logis

alam bawah sadar pasien akan membuat penyakit tersebut untuk menghindari

permasalahan yang ada. Selain itu menurut Hawari, orang yang mengkonsumsi

amfetamin akan mengalami gangguan waham tetapi waham ini sifatnya kearah

gangguan sekundernya yang disebabkan oleh obat-obatan.5,6

E. Patofisiologi

11
Dalam kriteria diagnostik waham hipokondrium, DSM-IV menyatakan

bahwa gejala mencerminkan interpretasi gejala-gejala yang ada di tubuh. Data-

data yang diterima oleh tubuh pada orang yang mengalami waham hipokondrium

biasanya dilebih-lebihkan dan membesarkan sensasi somatiknya, biasanya

memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah dari umumnya terhadap

ganggguan fisik. Sebagai contoh, apa yang dirasakan oleh orang normal sebagai

tekanan abdominal, orang dengan waham hipokondrium menganggapnya sebagai

nyeri abdomen. Orang dengan waham hipokondrium mungkin berpusat pada

sensasi tubuh, salah menginterpretasikannya dan menjadi sinyal oleh hal tersebut

karena skema kognitif yang keliru. Walaupun beberapa studi kasus yang diduga

terkait dengan suatu waham hipokondrium, sampai sekarang belum diketahui

secara pasti penyebab dari hipokondrium itu sendiri.1

Teori yang kedua adalah bahwa hipokondrium dapat dimengerti

berdasarkan model belajar sosial. Gejala hipokondrium dipandang sebagai

keinginan untuk mendapatkan rasa diperhatikan atau peranan sakit tersebut dapat

memberikan efek kepada orang-orang disekitarnya sehingga seseorang yang

mendapatkan masalah yang tampaknya berat dan tidak dapat dipecahkan dapat

diberikan bantuan atau keringanan. Peranan sakit menawarkan suatu jalan keluar,

karena pasien yang sakit dibiarkan menghindari kewajiban yang menimbulkan

kecemasan dan menghindari hal-hal atau permasalahan yang tidak disukai dan

dimaafkan dari kewajiban yang biasanya diharapkan.1

Teori ketiga tentang penyebab waham hipokondrium adalah bahwa

ganguan ini adalah bentuk varian dari ganguan mental lain. Ganguan yang paling

12
sering dihipotesiskan berhubungan dengan waham hipokondrium adalah

gangguan depresif dan gangguan kecemasan. Diperikirakan 80 persen pasien

dengan waham hipokondrium diperkirakan memiliki gangguan depresif atau

gangguan kecemasan yang ditemukan bersama-sama. Pasien yang memenuhi

kriteria diagnostik untuk hipokondrium mungkin merupakan pensomatisasi

(somatizing) dari gangguan lain tersebut.

Teori keempat tentang waham hipokondrium adalah berhubungan dengan

psikodinamika, yang menyatakan bahwa adanya perilaku agresif dan permusuhan

terhadap orang lain dapat di alihkan (melalui represi dan pengalihan) kepada

keluhan fisik. Kemarahan pasien waham hipokondrium berasal dari kekecewaan,

penolakan dan kehilangan yang telah terjadi di masa lalu tetapi pasien

mengekspresikan kemarahannnya saat ini dengan meminta pertolongan dan

perhatian dari orang lain dan selanjutnya menolak karena tidak efektif. Waham

hipokondrium juga dipandang sebagai adanya rasa bersalah, rasa keburukan yang

melekat, suatu ekspresi yang rendah dan tanda perhatian terhadap diri sendiri

(self-concern) yang berlebihan. Penderitaan nyeri dan somatik lainya selanjutnya

menjadi alat untuk semua kesalahan dan perilaku buruk lainnya (undoing) dan

dapat digunakan sebagai hukuman yang dapat diterimanya atas kesalahan di masa

lalu (baik nyata maupun khalayan) dan perasaan sebagai seseorang yang jahat

dan memalukan dapat ditebus dengan keluhan yang dialaminya.7

Selanjutnya Penurunan neurokimia dapat dikaitkan dengan waham

hipokondrium dan beberapa gangguan somatoform lainnnya (misalnya gangguan

somatisasi, gangguan konversi, dan gangguan dismordik tubuh. Studi terkini yang

13
terkait dengan biological markers, dalam DSM – IV- TR kriteria diagnostik

waham hipokondrium terdapat penurunan level plasma neutropin 3 (NT-3) dan

level platelet serotonin (5-HT). NT- 3 adalah salah satu petanda dari fungsi saraf

dan platelet 5-HT adalah salah satu petanda alternatif dari aktivitas serotonergic.3

Penindasan, seseorang yang mengalami penindasan tidak selalu

menyebabkan waham, orang-orang yang ditindas mengalami perubahan besar

dalam fungsi otak jika mereka tidak mampu mengatasinya. Penindasan ekstensif

menyebabkan perubahan dalam aktivitas otak, yang dapat menyebabkan penyakit

mental dan dalam beberapa kasus, gejala psikotik seperti waham. Anak-anak yang

ditindas secara signifikan lebih mungkin mengalami waham saat mereka remaja

dari pada yang lain. Anak-anak yang ditindas mengalami waham dengan tingkat

dua kali lipat dibandingkan dengan yang lain.7

Tingkat HVA, ada beberapa bukti bahwa kadar HVA (metabolit dopamin)

dapat menyebabkan waham pada beberapa individu. Saat ini lebih banyak

penelitian dibenarkan untuk mendukung temuan awal yang berspekulasi HVA

mungkin menjadi faktor penyebab. Dibandingkan dengan individu tanpa waham,

mereka dengan tingkat abnormal HVA lebih mungkin mengalami waham.7

Isolasi sosial, mereka yang mengisolasi diri dari masyarakat untuk jangka

waktu yang lama lebih mungkin mengalami delusi. Isolasi sosial mampu

mengubah aktivitas regional di otak, mengaktifkan atau menonaktifkan gen

tertentu (epigenetik), dan mengubah neurotransmisi. Isolasi sosial yang ekstensif

saja dapat menjadi penyebab langsung delusi.7

14
Gangguan kepribadian, gangguan kepribadian atau temperamen yang sudah

ada sebelumnya mungkin membuat seseorang lebih mungkin mengalami waham.

Pengaruh lingkungan dan genetik dianggap mempengaruhi kepribadian, dan

mungkin juga membuat seseorang lebih mungkin mengalami waham. Pengaruh

kepribadian seseorang dianggap tinggi dalam hal menyebabkan waham.7

Selanjutnya stres yang berlebihan diketahui menyebabkan waham. Stres

meningkatkan neurotransmitter rangsangan dan benar-benar dapat membunuh sel-

sel otak jika kita tidak dapat tenang. Meskipun sedikit stres terkadang tidak buruk,

menyimpan stres dan kecemasan kronis dapat mengubah otak, membuat kita lebih

rentan terhadap pemikiran yang menipu.7

Trauma, individu yang telah melalui pengalaman traumatis dapat berakhir

dengan keadaan dengan waham sebagai hasilnya. Trauma memicu respons stres

yang tinggi dan mengubah cara kita berpikir dan neurotransmisi kita. Tidak bisa

mematikan respons melawan atau lari dapat menyebabkan perubahan seperti

kurang tidur, pola makan yang buruk, dan lain-lain.7

Idiopatik, kebanyakan waham yang diderita adalah tidak diketahui penyebab

pastinya. Dengan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang menjadi

penyebab waham dapat memberikan diagnosis yang tepat apakah seseorang

tersebut mengalami ganggu mental organik atau bukan. Hal ini penting untuk

memberikan terapi yang tepat kepada individu yang mengalami gangguan

waham.7

Beberapa teori lain yang coab dipaparkan oleh para peneliti untuk

menjelaskan bagaimana terjadinya waham diantaranya seperti:

15
1) Faktor predisposisi7

a. Biologi

Waham bagian dari manifestasi psikologi dimana abnormalitas otak yang

menyebabkan respon neurologis yang maladaptif yang baru mulai dipahami, ini

termasuk hal-hal berikut :

 Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak yang

luas dan dalam perkermbangan skizofrenia. Lesi pada area frontal, temporal

dan limbik paling berhubungan dengan perilaku psikotik.


 Beberapa neurotransmiter yang ada di otak dikaitkan dengan skizofrenia.

Hasil penelitian sangat menunjukkan hal-hal berikut ini :


a) Dopamin neurotransmitter yang berlebihan
b) Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain
c) Masalah-masalah pada sistem respon dopamin

Penelitian pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak yang

diadopsi telah diupayakan untuk mengidentifikasikan penyebab genetik pada

skizofrenia. Sudah ditemukan bahwa kembar identik yang dibesarkan secara

terpisah mempunyai angka kejadian yang tinggi pada skizofrenia dari pada

pasangan saudara kandung yang tidak identik penelitian genetik terakhir

memfokuskan pada pemotongan gen dalam keluarga dimana terdapat angka

kejadian skizofrenia yang tinggi.

b. Psikologi

Teori psikodinamika untuk terjadinya respon neurobiologik yang maladaptif

belum didukung oleh penelitian. Sayangnya teori psikologik terdahulu

16
menyalahkan keluarga sebagai penyebab gangguan ini sehingga menimbulkan

kurangnya rasa percaya (keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa profesional).

c. Sosial budaya

Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan

gangguan psikotik tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama

gangguan.Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan

timbulnya waham.

2) Faktor Presipitasi

a. Biologi

Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang maladaptif

termasuk:

1) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur prosesinformasi

2) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan

ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.

b. Stres lingkungan

Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi

dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

c. Pemicu gejala

17
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering menunjukkan

episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada respon

neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan. Lingkungan,

sikap dan perilaku individu

Beberapa penelitian lain menunjukan penyebab waham tidak pasti dan

mungkin berbeda dari satu gangguan ke gangguan lainnya. Teori lain yang

berkembang saat ini adalah seperti disfungsi lobus prefrontal, temporal dan basal

ganglia. Beberaoa peran untuk ganglia basalis didukung oleh banyak laporan

tentang delusi pada pasien dengan gangguan ganglia basal idiopatik. Teori lainnya

diakibatkan karena disregulasi dopamin yang memproyeksikannya ke bagian

ventral striatum dapat meningkatkan arti penting dari rangsangan yang kurang

relevan yang mengarah ke waham.

Gangguan pada bagian kortikal dan hippocampus misalnya pada penyakit

alzheimer dan demensia multi infark. Biasanya kana membaik setelah perawatan

dengan dosis rendah obat neuroleptik. Sebaliknya waham yang sudah sangat

kompleks biasanya terjadi pada pasien yang mengalami lesi subkortikal. Catalano

et al, mempelajari genotipe pada penyakit skizofrenia, mereka menemukan bahwa

keterlibatan genetik variasi dalam gen reseptor dopamine D4 telah dikonformasi.

F. Manifestasi Klinis

Pasien dengan waham hipokondrium percaya bahwa mereka mendeteksi

penyakit yang parah yang belum dapat dideteksi, dan mereka tidak dapat

diyakinkan akan kebalikannya. Pasien waham hipokondrium dapat

18
mempertahankan suatu keyakinan bahwa mereka memiliki suatu penyakit tertentu

atau dengan berjalannya waktu, mereka mengubah keyakinannya dengan penyakit

tertentu. Keyakinan tersebut adalah menetap walaupun hasil laboratorium adalah

negatif, perjalan yang yang ringan dari penyakit yang ringan dengan berjalannya

waktu dan penentraman yang tepat dari dokter. Tetapi keyakinan tersebut tidak

sangat terpaku sehingga merupakan suatu waham. Hipokondrium sering kali

disertai gejala depresi dan kecemasan, dan sering kali ditemukan bersama-sama

dengan suatu gangguan depresif atau kecemasan.1

Walaupun DSM –IV menyebutkan bahwa gejala harus ada selama

sekurang-kurangnya enam bulan, keadaan waham hipokondrium sementara

(transient) dapat terjadi setelah stress berat, paling sering kematian atau penyakit

berat pada seseorang yang penting bagi pasien atau penyakit serius (kemungkinan

membahayakan hidup) yang telah disembuhkan tetapi pasien waham

hipokondrium secara sementara dengan akibatnya. Keadaan waham hipokondrium

tersebut yang berlangsung kurang dari enam bulan harus ditentukan sebagai

gangguan somatoform yang tidak ditentukan. Waham hipokondrium sementara

sebagai respon dari stress eksternal biasanya menyembuh jika stress dihilangkan

tetapi dapat menjadi kronis jika diperkuat oleh diperkuat oleh orang-orang di

dalam sistem sosial pasien dan oleh profesional kesehatan.1

Jika berdasarkan pada PPDGJ – III maka untuk diagnosis pasti kedua hal

ini harus ada:5

- Keyakinan yang menetap adalah sekurang-kurang satu penyakit fisik yang

serius, yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan fisik

19
yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai,

ataupun adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau

perubahan bentuk penampakan fisiknya.

- Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa

dokter bahwa tidak ditemukan adanya penyakit atau abnormalitas fisik

yang melandasi keluhan-keluhannnya.

G. Diagnosis

Dari anamnesis biasanya data-data yang perlu ditanyakan pada pasien

dengan waham adalah pasien biasanya memiliki pikiran/isi pikir yang berulang-

ulang yang diungkapkan dan menetap tentang keluhan penyakit yang sedang

dideritanya. Pasien takut terhadap objek atau situasi tertentu atau cemas secara

berlebihan tentang tubuh atau kesehatannya. Pasien juga dapat ditanyakan tentang

kognitif apakah mampu atau tidak mampu membedakan keluhan yang dirasakan

apakah sifatnya nyata atau tidak nyata. Individu cenderung sangat percaya pada

keyakinannya. Seorang dokter mampu menilai situasi sesuai atau tidak sesuai

dengan kenyataan terutam mengenai keluhan pasien. Lihat apakah pasien

memiliki afek yang tumpul atau tidak. Pada perilaku dan hubungan sosial pasien

cenderung menunjukan hipersensitif, hubungan interpersonal dengan orang lain

dangkal, depresif, dan cenderung ragu-ragu dalam hal mengambil keputusan,

Impulsif, dan sering merasa curiga dengan lingkungansekitarnya. Pada

pemeriksaan fisik biasanya tidak didapatkan adanya kelainan yang berarti. Hal

yang sering ditemukan seperti nafsu makan berkurang dan sulit tidur dikarenakan

20
memikirkan secara terus menerus keluhan yang dirasakan akhirnya berat badan

pasein cenderung menurun

Pemeriksaan status mentalis pada pasien biasanya berdandan dengan baik

dan berpakaian rapi, tanpa tanda disintegrasi nyata pada kepribadian atau aktivitas

harian. Tetapi, pasien mungkin terlihat eksentrik, aneh, curiga atau bermusuhan.

Mood pasien konsisten dengan isi wahamnya. Waham hipokondrium pasien

cenderung ke arah cemas akan keluhan yang sedang dideritanya. Bagaimanapun

sifat sistem wahamnya, pemeriksa mungkin merasakan kualitas depresif ringan.19

Pasien dengan gangguan waham tidak memiliki halusinasi yang menonjol atau

menetap. Menurut DSM-IV-TR, halusinasi raba dan cium mungkin ditemukan

jika hal tersebut adalah konsisten dengan wahamnya. Beberapa pasien dengan

gangguan waham mengalami halusinasi lain, hampir semua adalah halusinasi

dengar, bukan visual.19

Gangguan pikiran dalam waham merupakan gejala utama dari gangguan

waham biasanya sistematis dan karakteristiknya adalah sesuatu yang mungkin.

Pasien dengan gangguan waham biasanya tidak memiliki gangguan dalam

orientasi, kecuali bila mereka memiliki waham spesifik tentang orang, tempat,

waktu. Daya ingat dan proses kognitif pada pasien gangguan waham tidak

terganggu. Pasien dengan gangguan waham hampir seleruhnya tidak memiliki

tilikan terhadap kondisi mereka dan hampir selalu dibawa ke rumah sakit oleh

orang lain. Pasien dengan gangguan waham biasanya dapat dipercaya

informasinya, kecuali jika hal tersebut membahayakan sistem wahamnya.

21
Pedoman diagnostik gangguan waham (F22.0): Waham-waham merupakan satu-

satunya ciri khas klinis atau gejala yang paling mencolok. Waham-waham tersebut

(baik tunggal maupun sebagai suatu sistem waham) harus sudah ada sedikitnya 3

bulan lamanya dan harus bersifat khas pribadi (personal) dan bukan budaya

setempat. Gejala-gejala depresif atau bahkan suatu episode depresif yang lengkap

mungkin terjadi seara intermiten, dengan syarat bahwa waham-waham tersebut

menetap pada saat-saat tidak terdapat gangguan afektif itu.

Pasien tidak terdiagnosis sebagai waham hipokondrium jika terdapat

adanya bukti-bukti tentang adanya penyakit otak yang mendasarinya. Tidak boleh

ada halusinasi audiotorik atau hanya kadang-kadang saja ada dan bersifat

sementara. Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siar

pikiran, penumpulan afek, dsb).

Pasien dengan gangguan wahamonal tipe somatik biasanya berpenampilan

rapi dan tidak terlihat menunjukan kelainan apa pun. Cara bicara mereka,

aktivitas psikomotorik dan kontak mata saat berbincang dapat dipengaruhi oleh

keadaan emosi dan suasana hati mereka. Perasaan dan pengaruh itu konsisten

dengan sifat waham. Pasien biasanya tampak normal dan biasanya tidak memiliki

halusinasi selain taktil (termasuk proprioceptive) atau olfactory atau penciuman,

yang berhubungan dengan tema keluhan yang mereka rasakan. Pikiran mereka

terganggu, meskipun proses berpikir biasanya tidak terganggu. Sementara

orientasi, memori dan kognisi masih utuh, kontrol impuls mungkin terganggu dan

pasien biasanya memiliki kekurangan baik itu dalam hal penilaian maupun

pandangan. Tingkat kecemasan yang tinggi atau hyperalertness dan hipersensitif

22
dan argumentatif kepribadian juga merupakan ciri khas waham ini. Meskipun

gangguan wahamonal, pasien dapat bekerja dengan baik dan bisa tidak

menunjukan waham mereka, mereka cenderung terisolasi secara sosial sebagai

akibat dari rasa malu, takut menularkan infeksi yang mereka bayangkan atau takut

menjadi bahan pembicaraan orang lain.8

Diagnosis waham ini sulit untuk ditegakan, faktanya bahwa pasien dengan

waham somatik sering tidak mencari bantuan psikiatri. Mereka sering

mengeluhkan depresi atau cemas akan penyakit yang dideritanya, dan

menyangkal akan adanya gangguan psikiatrinya. Terkadang pasien akan pergi ke

bagian internis, ahli bedah, dokter kulit, polisi atau pengacara dari pada psikiatri.

Kategori diagnostik DSM-IV untuk hipokondrium pasien diharuskan untuk

terpreokupasi dengan keyakinan palsu bahwa ia menderita penyakit yang berat

dan keyakinan palsu tersebut didasarkan pada misinterpretasi tanda atau sensasi

fisik. Kriteria mengharuskan bahwa keyakinan tersebut berlangsung sekurangnya

enam bulan, walaupun tidak adanya temuan patologis pada pemeriksaan medis

dan neurologis. 8

Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan status mentalis, dan

jika perlu lakukan pemeriksaan penunjang jika secara klinis memang diperlukan.

Pemeriksaan yang baik dan terarah harus dilakukan untuk mengetahui apakah

keluhan yang dialami pasien tersebut memang terbukti secara klinis atau

berhubungan dengan masalah kejiwaan serta dapat menyingkirkan apakah waham

hipokondrium pada pasien memang dikarenakan faktor etiologi yang ada atau

23
karena waham sekunder yang mempunyai gangguan awal dan bermanifestasi ke

arah waham. 8

H. PENATALAKSANAAN

Pasien waham hipokondrium biasanya menolak terhadap pengobatan

psikiatrik. Beberapa pasien yang mengalami waham hipokondirum menerima

pengobatan psikiatrik jika dilakukan di lingkungan medis dan dipusatkan untuk

menurunkan stress dan diberikan penjelasan tentang mengatasi penyakit kronis

yang dialaminya.

1. Non Farmakologi

Di antara pasien-pasien tersebut, psikoterapi adalah cara yang terpilih, sebagian

cara ini memberikan dukungan sosial dan interaksi sosial yang tampaknya dapat

menurunkan kecemasan pada pasien. Psikoterapi individual berorientasi-tilikan

mungkin berguna, tetapi biasanya tidak berhasil.1,6,9

Jadwal pemeriksaan fisik yang sering dan teratur mungkin berguna untuk

menenangkan pasien bahwa mereka tidak ditelantarkan oleh dokternya dan

keluhan merteka ditanggapi dengan serius. Tetapi prosedur diagnostik dan

terapeutik harus dilakukan hanya jika terdapat bukti objektif yang memang harus

mengharuskannya untuk dilakukan. Jika mungkin klinisi harus menahan diri

supaya tidak memberikan pemeriksaan diagnostik atau farmakoterapi jika tidak

ditemukan temuan pemeriksaan yang tidak jelas.1,6

Keliat menyebutkan bahwa salah satu tindakan yang dilakukan pada pasien

dengan masalah waham hipokondirum yaitu dengan membantu orientasi realitas.

Strategi yang dilakukan adalah tidak mendukung atau menambah waham pada

24
pasien, meyakinkan pasien berada dalam keadaan aman, mengobservasi pengaruh

waham pada aktivitas sehari-hari, jika pasien terus menerus membicarakan

wahamnya dengarkan tanpa memberikan dukungan atau menyangkal sampai

pasien berhenti membicarakannya, memberikan pujian jika penampilan dan

orientasi sesuai dengan realitas.6

Elfiky menyebutkan bahwa berpikir positif adalah sumber kekuatan dan

sumber kebebasan, disebut sumber kekuatan karena ia akan membantu individu

dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah yang sedang dialami dan disebut

sumber kebebasan karena dengan pikiran positif individu akan terbebas dari

penderitaan dan pengaruh pikiran negatif yang akan berpengaruh terhadap kondisi

fisik.11

Seorang dokter juga bisa melakukan pemeriksaan medis dan neurologis

yang lengkap pada pasien untuk menentukan apakah terdapat kondisi medis

nonpsikiatri yang menyebabkan gangguan waham, penilaian kemampuan pasien

untuk pengendalian impuls kekerasan seperti bunuh diri dan membunuh, lalu

perilaku pasien mengenai waham secara signifikan dapat mempengaruhi

kemampuannya untuk berfungsi dalam keluarga dan pekerjaannya sehingga

memerlukan intervensi profesional untuk menstabilkannya.12

2. Farmakologi

Farmakoterapi menghilangkan gejala waham hipokondrium hanya jika

pasien memiliki suatu kondisi yang responsif terhadap obat, seperti gangguan

kecemasan atau gangguan depresif berat. Jika waham somatik ini merupakan

gangguan sekunder akibat adanya gangguan mental primer lainnya, gangguan

25
tersebut harus diobati untuk menghilangkan gangguan itu sendiri. Jika

hipokondrium adalah reaksi situasional yang sementara, klinisi harus membantu

pasien untuk mengatasi stress tanpa mendorong perilaku sakit mereka dan

memakai alasan sakit sebagai suatu pemecahan masalah.12

Perawatan gangguan waham somatik ini dianjurkan dapat melibatkan dua

hal yaitu farmakoterapi (antipsikotik atau antidepresan) dan psikoterapi (kognitif

atau berorientasi wawasan terapi). Kaitan hal antara waham dengan depresi dan

rasa cemas memiliki hubungan maka dari itu pada pasien yang mengalami waham

pendekatan pengobatan yang dilakukan adalah menggunakan obat-obatan yang

bersifat antidepresan. Beberapa pasien sulit untuk diberikan penjelasan masalah

terapi dan pasien cenderung menolak pengobatan karena mereka dapat dengan

mudah memasukkan obat-obatan yang akan diberikan ke sistem waham mereka.

Karena keengganan beberapa pasien untuk mengakui masalah yang disebabkan

oleh masalah kejiwaan, maka beberapa klinisi sering memutuskan untuk terus

merawatnya pada rawat jalan. Dokter tidak boleh memaksakan medikasi segera

setelah perawatan di rumah sakit, sebaliknya, harus mengulur waktu dalam

beberapa hari untuk mendapatkan kemudahan menangani pasien. Dokter harus

menjelaskan efek samping potensial kepada pasien, sehingga pasien kemudian

tidak menganggap bahwa dokter berbohong.12

Pasien gangguan waham tidak memiliki wawasan dan pertimbangan.

Akibatnya, reaksi mereka terhadap diagnosis mereka mungkin sangat bervariasi,

dari penolakan yang tenang hingga agresif. Apalagi, paradigma yang banyak

beredar di kalangan masyarakat, jika mengalami gangguan kejiwaan dianggap

26
memalukan dan sangat stigmatisasi. Untuk alasan ini, pasien lebih suka

berkonsultasi dengan dokter spesialis sesuai keluhan yang sedang dialami pasien,

dari pada psikiater, jika kondisi mereka tidak mengalami perbaikan maka akan

muncul istilah “Doctor shopping” keadaan dimana pasien telah mendatangi

beberapa dokter ahli untuk mengkonsultasikan penyakitnya. Sering didapatkan

pada pasien dengan gangguan waham somatik. Keadaan ini biasanya diikuti

kebiasaan pasien membawa seluruh hasil laboratorium yang telah dia dapatkan

terkait dengan keluhannya.4

Obat-obat golongan benzodiazepines sering diberikan pada pasien dengan

waham hipokondrium akan tetapi kegunaannya masih perlu pembahasan yang

lebih lanjut. Untuk langkah pertama biasanya digunakan fluoxetine, dalam dosis

60 sampai 80 mg yang mungkin mengurangi keluhan waham hipokondrium

pasien.2,4

Pada beberapa literatur terdapat bukti bahwa antipsikotik merupakan

pengobatan utama untuk waham hipokondrium, pengobatan hanya digunakan jika

secara gejalanya mengarah ke waham terutama tipe somatik. Bahkan dalam

beberapa tahun terakhir, banyak sumber yang meirekomendasikan penggunaan

antipsikotik pimozide yang khas dalam waham hipokondrium terutama pada

pasien yang memiliki tema somatiknyya tentang parasitosis, meskipun pimozide

tidak lagi dijadikan antipsikotik lini pertama karena kekhawatiran tentang

keamanan obat (risiko tinggi gejala ekstrapiramidal, interval QTc lebih lama dan

interaksi obat-obat lain). Beberapa laporan kasus telah mengindikasikan efek

27
menguntungkan dari antipsikotik atipikal dalam waham hipokondrium, tetapi

bukti untuk ini masih terbatas pada risperidone.12

2.1 Antipsikotik Atipikal

Antipsikotik atipikal dapat meningkatkan tingkat respon atau menurunkan

gejala depresi pada pasien yang tidak respon terhadap lebih dari dua uji coba

terapi, bahkan saat gejala psikotik tidak muncul. Umumnya, dalam praktek klinis,

dosis lebih rendah digunakan untuk antidepresan daripada pengobatan psikosis.

Tiga jenis antipsikotik atipikal yang telah disetujui Food & Drug Administration

(FDA) sebagai terapi tambahan (misalnya, aripiprazole dan quetiapine) atau

kombinasi (kombinasi olanzapine fluoxetine [OFC]) dengan terapi antidepresan.

Misalnya, kombinasi olanzapine dan fluoxetine telah dipelajari secara ekstensif

dan dimulai dengan 6 mg olanzapine dan 25 mg fluoxetine setiap hari dan dititrasi

ke atas ditoleransi sampai dosis maksimal 18 mg olanzapine dan 75 mg fluoxetine

setiap hari. Aripiprazole telah menerima persetujuan FDA untuk adjuvan

antidepresan dan biasanya dimulai pada 2,5-5 mg / hari dan dititrasi ke atas

ditoleransi sampai maksimal 15 mg / hari. Dengan quetiapine, dosis 25 sampai

400 mg / hari telah digunakan. Dosis adjuvan risperidone hingga 3 mg untuk

meningkatkan respon antidepresan.5

Efek samping dengan kombinasi ini dapat bervariasi dari berbagai macam

golongan, meliputi sedasi, kelelahan, insomnia, mengantuk (misalnya quetiapine),

mual, hiperprolaktinemia, dislipidemia, disregulasi glukosa, peningkatan berat

badan (yaitu, quetiapine, OFC), dan gejala ekstrapiramidal termasuk akatisia

28
(misalnya aripiprazole), reaksi distonia, parkinsonisme, sindrom neuroleptik

maligna, dan tardive diskinesia.5

pasien yang menderita waham somatik yang tidak respon terhadap 6

minggu fluoxetine (20mg/hari) diujicoba untuk terapi selanjutnya : fluoxetine

20mg/hari ditambah mianserin 60mg/hari; fluoxetine 20mg/hari ditambah dengan

placebo; atau mianserin 60mg/hari ditambah placebo. Kombinasi ini lebih efektif

daripada fluoxetine dengan placebo pada studi akhir. Mekanisme kerja

mirtazapine dan mianserin hampir sama namun berbeda jenis antidepresan.

Terdapat beberapa keuntungan penting dari kombinasi golongan ini dengan SNRIs

dan SSRIs, yaitu : (i) potensiasi neurotransmisi monoaminergik; (ii) memperluas

cakupan gejala untuk insomnia dan kurangnya nafsu makan; (iii) mencegah efek

samping ganstrointestinal dari SSRIs dan SNRIs (misalnya mual). Manfaat dari

mianserin dalam kombinasi telah diteliti setidaknya dua studi acak terkontrol.

Pilihan lain adalah dengan menambahkan adjuvan terapi non antidepresan seperti

lithium, hormon tiroid, antikonvulsan, psikostimulan, atau antipsikotik generasi

kedua (atipikal). 12

2.2 Terapi Adjuvan lain

2.2.1 Lithium

Lithium yang paling banyak dipelajari diantara terapi adjuvan lainnya,

sebagian besar penelitian adjuvan lithium fokus pada depresi resisten terapi dan

juga mengurangi risiko jangka panjang bunuh diri. Waktu yang diperlukan

adjuvan lithium bekerja optimal sekitar beberapa hari sampai 6 minggu. Jika

29
efektif dan ditoleransi dengan baik, lithiun harus dilanjutkan setidaknya untuk

masa pengobatan akut dan mungkin setelah fase akut untuk tujuan pencegahan

kambuh.12

Potensi efek samping selama pengobatan dengan adjuvan lithium meliputi

tremor, mengantuk, sedasi, mual, anoreksia, sakit perut, diare, poliuria (melalui

antagonisme hormon antidiuretik), edema, ruam (termasuk jerawat dan psoriasis),

leukositosis, hipotiroidisme, hipertiroidisme, ataksia, peningkatan berat badan,

insufisiensi ginjal, perubahan elektrokardiografi, aritmia, kelainan konduksi

jantung dan, dalam kasus yang jarang, perkembangan sindrom nefritik.

Penggunaan lithium awal selama kehamilan juga dikaitkan dengan peningkatan

risiko lahir cacat.12

2.2.2 Terapi Tiroid

Terapi pelengkap tiroid belum dipelajari secara sistematis baik dengan

SSRI atau SNRIs. Sebuah publikasi hanya mencakup laporan kasus dan serial

kasus kecil. Hormon tiroid telah dipublikasikan manfaatnya sebagai terapi

adjuvan pada beberapa penelitian terkontrol antidepresan trisiklik. Studi lain

menunjukkan bahwa adjuvan triiodothyronine (T3) secara signifikan lebih efektif

daripada tiroksin (T4) dalam mengobati non respon anti depresan trisiklik.12

Suplemen hormon tiroid dapat meningkatkan efektivitas pengobatan obat

antidepresan, apakah digunakan sebagai terapi pelengkap atau terapi kombinasi

dengan obat antidepresi dari awal terapi. Dosis yang digunakan untuk tujuan ini

adalah 25 mcg / hari triiodothyronine, dapat ditingkatkan menjadi 50 mcg / hari

30
jika respon tidak memadai setelah sekitar satu minggu. Durasi pengobatan yang

diperlukan belum diteliti dengan baik.12

Efek samping penggunaan T3 dikombinasikan dengan antidepresan antara

lain palpitasi, berkeringat, tremor, dan gugup serta mual, sakit kepala, mengantuk,

insomnia, dan mulut kering. Konsultasi kardiologi harus dipertimbangkan

sebelum memulai pasien dengan kelainan jantung pada terapi adjuvan tiroid.

Seperti adjuvan lithium, lamanya waktu terbaik untuk melanjutkan tiroid dan cara

terbaik untuk menghentikan tidak diketahui.12

2.2.3 Buspirone

Buspirone merupakan golongan ansiolitik yang merupakan agonis parsial

pada reseptor 5-HT1A. Alasan mempelajari efikasi buspirone sebagai terapi

pelengkap depresi resisten terapi bergantung pada potensinya untuk meningkatkan

5-HT. Meskipun faktanya bahwa beberapa studi label terbuka mendukung efikasi

terapi pelengkap buspirone pada depresi resisten terapi. Kombinasi Buspirone

juga telah diuji di STARD trial dan tidak memberikan keuntungan yang signifikan

secara statistik dibanding kombinasi bupropion.12

Buspirone telah digunakan pada terapi pelengkap SSRIs dalam pengobatan

depresi dan juga sebagai pengobatan disfungsi seksual akibat SSRI.

Psikostimulan adalah suatu golongan yang memiliki efek signifikan pada

neurotransmisi dopaminergik dan telah diuji sebagai terapi pelengkap untuk

depresi resisten terapi. Methylphenidate dan amfetamin umumnya diresepkan

untuk tujuan ini.12

31
Beberapa studi negatif menunjukkan bahwa methylphenidate efikasinya

tidak dapat dipercaya sebagai tambahan untuk terapi antidepresan konvensional

pada GDM dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa psikostimulan tidak efektif untuk

mengobati depresi resisten terapi telah terjawab, tapi akan lebih bermanfaat untuk

gejala sisa, namun tidak terbatas pada fatique dan sedasi. Selain itu, studi negatif

formodafanil pada GDM memberikan alasan untuk tidak merekomendasikan

sebagai pengobatan depresi resisten terapi (meskipun efikasi terhadap fatique dan

sedasi disarankan). Meskipun studi negatif untuk methylphenidate dan modafanil,

lisdexamfetamine mampu menawarkan perbaikan gejala pada depresi resisten

terapi, efikasi lisdexamfetamine sebagai tambahan untuk pengobatan escitalopram

telah dievaluasi pada GDM dewasa (berusia 18-55 tahun).

Stoll dan rekannya melaporkan respon cepat methylphenidate sebagai

terapi pelengkap terhadap SSRI yaitu pada dosis 5-20mg tiga kali sehari. Stimulan

sangat membantu dalam mengobati gejala sisa fatique dan anergia setelah

percobaan antidepresan dinyatakan berhasil. Stimulan juga digunakan untuk

menetralkan efek pengobatan terkait disfungsi seksual. Efek samping signifikan

stimulan, termasuk ketergantungan dan penyalahgunaan jarang terjadi.

Pindolol adalah reseptor β-adrenergik antagonis nonselektif yang juga

bertindak sebagai antagonis pada 5-HT1A. Sebuah bukti menunjukkan bahwa

pindolol efektif dalam mempercepat respon terhadap SSRI.

Beta-blocker pindolol merupakan tambahan lain yang telah menghasilkan

respon yang cepat dalam uji sangat terbatas. Alasan kombinasi dengan pindolol

adalah pindolol memblokir 5HT1A autoreseptor sehingga dapat mencegah

32
kompensasi down-regulasi dari fungsi serotonergik yang dipicu oleh peningkatan

aktivitas serotonin sinaptik terkait dengan SSRI. Ada kemungkinan bahwa

mekanisme kerja pindolol dan buspirone hampir sama, meskipun buspirone

merupakan agonis reseptor 5HT1A. Titik kuncinya adalah bahwa buspirone

merupakan agonis relatif lemah dibandingkan dengan ligan endogen. Ini dapat

memperburuk asma dan mengaburkan gejala hipoglikemik. Sebuah gejala serius

'toksisitas' buspirone dan pindolol adalah memburuknya iritabilitas pada beberapa

pasien dengan SSRI.

Bukti terbaru berimplikasi disregulasi glutamatergic dalam patofisiologi

gangguan mood. Konsisten dengan temuan ini, serangkaian laporan klinis telah

menunjukkan bahwa glutamat N-methyl-D-aspartat (NMDA) antagonis reseptor

ketamin memiliki efek antidepresan yang cepat. Dosis subanestetik tunggal

ketamin menghasilkan efek antidepresan yang cepat dan lama pada pasien dengan

pengobatan depresi resisten terapi (TRD) terhadap terapi antidepresan

konvensional.

Mekanisme neurobiologis yang mendasari efek antidepresan ketamine

adalah kompleks dan tidak sepenuhnya dipahami. Studi praklinis menunjukkan

bahwa blokade reseptor NMDA menyebabkan peningkatan regulasi ekspresi

reseptor AMPA dan aktivasi berikutnya dari target mamalia dari rapamycin

(mTOR) cascade intraseluler yang diperlukan untuk antidepresan ketamin ini.

Secara khusus, cepat dan transien peningkatan regulasi dari otak neuroplastisitas

penanda berasal neurotrophic factor (BDNF) yang terlibat sebagai komponen

penting dari mekanisme antidepresan ketamin. BDNF adalah neurotrophin

33
penting dalam memfasilitasi dan mendukung populasi neuron tertentu selama

pengembangan dan mediasi plastisitas sinaptik terkait dengan belajar dan memori.

Hipotesis glutamatergic depresi akan menunjukkan bahwa intervensi

langsung (misalnya, ketamin dan riluzole) atau tidak langsung (misalnya,

skopolamin) mengatur fungsi glutamat dapat mengurangi gejala depresi pada

individu dengan GDM. Efek antidepresan ketamin diduga dimediasi oleh

peningkatan pelepasan glutamate presinap dengan menangkap pengaruh dari

peningkatan glutamatergic melalui reseptor amino 3 hidroksi 5 metil 4 isoksazola

asam propionat (AMPA) terhadap reseptor asam N- Methyl-D-aspartat

(NMDAR). Infus dosis tunggal ketamin (0.5mg / kg) telah ditunjukkan untuk

meningkatkan gejala depresi dalam waktu 1-4 jam pada individu dengan TRD.

Selain itu, keinginan bunuh diri pada TRD juga dilaporkan telah berkurang secara

signifikan dengan infus ketamine

2.3 Pengobatan Komplementer Lainnya

Pada saat ini, terdapat beberapa modalitas yang dapat direkomendasikan

dan memiliki bukti sederhana untuk keberhasilan antidepresan, antara lain St.

John’s wort, S-adenosyl methionine, asam lemak omega-3 dan folat.

St John Wort adalah tanaman yang banyak digunakan untuk mengobati

gejala depresi. Secara keseluruhan, penelitian St John Wort menunjukkan manfaat

pada gangguan depresi mayor ringan sampai sedang dibandingkan dengan gejala

yang lebih berat. Suatu percobaan double-blind yang dilakukan pada pasien

depresi rawat jalan dengan gejala ringan sedang dapat disimpulkan bahwa St John

Wort dalam dosis 300 mg/hari dan 1.800 mg/hari memiliki efek yang besar

34
dibandingkan plasebo. St John Wort memiliki khasiat umumnya sebanding dan

efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dosis rendah pengobatan TCA

(misalnya, 30-150 mg/hari amitriptyline). Tetapi St John Wort tidak akan

memenuhi persyaratan minimum FDA untuk dinyatakan sebagai antidepresan

yang efektif dan tidak direkomendasikan untuk pengobatan depresi. Pertimbangan

penting lainnya adalah potensi interaksi obat-obat. St John Wort dapat

menginduksi metabolisme obat melalui CYP 3A4, mengurangi efek obat,

termasuk obat-obatan antiretroviral, imunosupresan (termasuk cyclosporine),

antineoplastik, antikoagulan (termasuk warfarin), kontrasepsi oral, dan terapi

penggantian hormon dan penolakan transplantasi organ telah diamati ketika St

John Wort diberikan bersama dengan siklosporin. Penggunaan gabungan St John

Wort dengan MAOIs merupakan kontraindikasi.

S-adenosyl metionin adalah molekul alami yang pada manusia

terkonsentrasi di hati dan otak dan berfungsi sebagai donor metil dalam sintesis

senyawa biologis aktif seperti fosfolipid, katekolamin, dan neurotransmiter

dopamin dan serotonin. Kadar SAMe pada cairan serebrospinal lebih rendah pada

individu dengan gangguan depresi mayor yang parah, dibandingkan dengan

subyek kontrol, dan pengobatan dengan SAMe meningkatkan SAMe pada cairan

serebrospinal dan kadar asam 5-hidroksiindoleacetic. S-adenosyl metionin

tersedia dalam bentuk parenteral dan oral. Beberapa data mendukung efikasi dan

tolerabilitas SAMe pada pasien dengan gangguan depresi mayor. Seperti St John

Wort, SAMe tidak diatur oleh FDA dan tidak memiliki standarisasi komposisi dan

potensi.

35
Papakostas et al. (2010) telah mengevaluasi dan membandingkan SAMe

(800mg / dua kali sehari) dengan placebo pada pasien rawat jalan yang memenuhi

kriteria DSM-IV untuk GDM yang berusia 18-80. Semua subjek menunjukkan

respon tidak cukup baik untuk dosis awal SSRI atau SNRI dengan lamanya dosis

stabil yang adekuat. Angka respon HAM-D dan remisi lebih tinggi untuk subjek

yang menerima tambahan SAMe (berturut-turut 36,1% dan 25,8%) dibandingkan

tambahan plasebo (berturut-turut 17,6% dan 11,7%).

Kebanyakan penelitian asam lemak omega-3 untuk gangguan depresi

mayor, asam lemak omega-3 yang digunakan dalam penelitian bervariasi yaitu

asam eicosapentaenoic [EPA], docosahexaenoic acid [DHA], atau kombinasi, dan

dosis dan jangka waktu percobaan studi juga telah bervariasi. Asam lemak omega-

3 umumnya direkomendasikan sebagai terapi tambahan untuk gangguan mood,

kesehatan jantung, individu dengan gangguan kejiwaan mungkin beresiko lebih

besar untuk obesitas dan masalah metabolisme. Dosis 1-9 gram telah dipelajari

dalam gangguan mood, dengan sebagian besar bukti yang mendukung

penggunaan dosis yang lebih rendah. Adjuvan EPA atau kombinasi dari EPA dan

DHA paling efektif. Data lebih lanjut diperlukan untuk memastikan peran asam

lemak omega-3 sebagai monoterapi untuk gangguan depresi utama.

Folat terutama telah dinilai sebagai prediktor respon pengobatan

antidepresan dan sebagai adjuvan terapi. Rendahnya kadar folat dalam darah

dikaitkan dengan kurangnya respon dan lambatnya respon fluoxetine pada

penyakit depresi, dan kadar folat lebih tinggi pada awal pengobatan terkait dengan

respon yang lebih baik untuk antidepresan. Folat telah dipelajari sebagai adjuvan

36
terapi dibandingkan dengan plasebo selain fluoxetine, terjadi peningkatan secara

signifikan bagi subjek yang menerima folat, terutama pada pasien perempuan.

Secara umum, 0,4-1 mg folat disarankan untuk wanita usia reproduksi, folat dapat

direkomendasikan sebagai adjuvan terapi untuk depresi dan dapat menurunkan

lahir cacat dalam kasus kehamilan. Data tidak memadai untuk menyarankan

manfaat folat sebagai monoterapi.

Efek samping yang umum dilaporkan selama pengobatan MDD dengan

adjuvant folat atau SAMe termasuk insomnia, mual, kecemasan, dan sakit kepala.

Haloperidol adalah obat yang dikategorikan ke dalam agen antipsikotik,

antidiskinetik, dan antiemetik. Obat ini diindikasikan untuk kelainan psikotik akut

dan kronik, seperti skizofrenia, gangguan manik, dan psikosis yang diinduksi obat

misalnya psikosis karena steroid. Haloperidol juga berguna pada penanganan

pasien agresif dan teragitasi. Selain itu, obat ini dapat digunakan pada pasien

sindrom mental organik dan retardasi mental. Pada anak haloperidol sering

digunakan untuk mengatasi gangguan perilaku yang berat.22

2.4 Haloperidol

Haloperidol dipasarkan dengan nama dagang antara lain seperti Haldol.

Haloperidol digunakan dalam pengobatan skizofrenia, tics pada sindrom Tourette,

mania pada gangguan bipolar, mual dan muntah, delirium, agitasi, psikosis akut,

dan halusinasi pada putus alkohol. Pada kasus pasien yang tidak mempan terhadap

pengobatan antidepresan dapat menggunakan haloperidol. Haloperidol dapat

dikonsumsi per oral, lewat suntikan secara intra muskular, atau intravena.

37
Haloperidol biasanya bekerja dalam 30-60 menit. Suntikan dengan formula long-

acting dapat digunakan sebagai terapi setiap empat minggu pada orang dengan

skizofrenia atau penyakit terkait, yang sering lupa (tidak patuh) atau menolak

mengkonsumsi obat per oral.23

Haloperidol dapat mengakibatkan gangguan gerakan yang dikenal sebagai

tardive dyskinesia yang mungkin permanen. Syndrom Neuroleptica Maligna dan

pemanjangan gelombang interval QT pada EKG mungkin terjadi. Pada pasien usia

lanjut dengan psikosis karena demensia, penggunaan haloperidol akan

menyebabkan peningkatan risiko kematian. Jika obat ini dikonsumsi selama

kehamilan dapat menyebabkan masalah pada bayi. Haloperidol tidak boleh

digunakan pada orang dengan penyakit Parkinson.22,24

a. Mekanisme Kerja Haloperidol

Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik,

yang dapat digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-

dopamine.22-24

Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan

tersebut disebabkan oleh peningkatan berlebihan yang relatif dalam aktifitas

fungsional neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis

ini berlandaskan observasi berikut:22-24

1. Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada SSP,

terutama pada sistem mesolimbik-frontal.

38
2. Penggunaan obat yang meningkatkan aktivitas dopamin, seperti levodopa

(prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi dopamin), apomorfin

(agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia ataupun

menyebabkan psikosis de novo pada pasien.

3. Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan

bahwa terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik

yang menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang

tidak menderita skizofrenia.

4. Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan

perubahan jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit

dopamin, pada cairan serebrospinal, plasma, dan urin.

5. Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region

tertentu di otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma

Tourette, tic klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.

Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan

karena obat-obatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan

pasien dan obat-obatan tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih

tinggi untuk reseptor-reseptor selain reseptor D2. 22-24

Lima reseptor dopamin yang berbeda telah ditemukan, yaitu D 1 – D5.

Setiap satu reseptor dopamin adalah berpasangan dengan protein G dan

mempunyai tujuh domain transmembran. Reseptor D2, ditemukan dalam

kaudatus-putamen, nukleus accumbens, kortek serebral dan hipotalamus,

berpasangan secara negatif kepada adenyl cyclase. Efek terapi relatif untuk

39
kebanyakan obat-obatan antipsikotik lama mempunyai korelasi dengan afinitas

mereka terhadap reseptor D2. Akan tetapi, terdapat korelasi dengan hambatan

reseptor D2 dan disfungsi ekstrapiramidal. 22-24

Haloperidol adalah jenis butyrophenone antipsikotik tipikal yang bersifat

antagonisme afinitas tinggi dopamin D2 reseptor dan slow receptor untuk

disosiasi kintekika. Ia memiliki efek mirip dengan fenotiazin. Obat ini berikatan

secara istimewa dengan D2 dan reseptor α1 pada dosis rendah (ED50 = 0,13 dan

0,42 mg/kg, masing-masing), dan 5-HT2 reseptor pada dosis yang lebih tinggi

(ED50 = 2,6 mg/kg). Mengingat bahwa antagonisme reseptor D2 lebih

menguntungkan pada gejala positif skizofrenia dan antagonisme dari 5-HT2

reseptor pada gejala negatif, karakteristik ini mendasari efek haloperidol yang

lebih besar pada delusi, halusinasi dan manifestasi lain dari psikosis. Afinitas

Haloperidol diabaikan untuk reseptor H1 histamin dan reseptor asetilkolin M1

muskarinik, sehingga menghasilkan suatu antipsikotik dengan insiden lebih

rendah pada sedasi, kenaikan berat badan, dan hipotensi ortostatik meskipun

memiliki tingkat yang lebih tinggi dari munculnya gejala ekstrapiramidal karena

pengobatan. 22-24

Bioavailabilitas haloperidol saat dikonsumsi per oral berkisar 60-70%.

Namun, ada varian yang luas dalam melaporkan rata-rata T max dan T1/2 dalam studi

yang berbeda, mulai 1,7-6,1 jam dan 14,5-36,7 jam masing-masing. 22-24

Obat ini baik dan cepat diserap dengan bioavailabilitas tinggi ketika

disuntikkan intramuskular. Tmax adalah 20 menit pada orang sehat dan 33,8 menit

40
pada pasien dengan skizofrenia. Rata-rata T1/2 adalah 20,7 jam. Formula suntikan

dekanoat adalah untuk intramuskular saja dan tidak dimaksudkan untuk

digunakan secara intravena. Konsentrasi plasma dari haloperidol dekanoat

mencapai puncaknya pada sekitar enam hari setelah injeksi, jatuh setelahnya,

dengan waktu paruh perkiraan tiga minggu. 22-24

Bioavailabilitas 100% di injeksi intravena (IV), dan onset tindakan sangat

cepat terlihat dalam hitungan detik. T1/2 adalah 14,1-26,2 jam. Volume

distribusinya berkisar antara 9,5-21,7 L/kg. Durasi tindakan adalah empat sampai

enam jam. Jika haloperidol diberikan sebagai infus IV secara lambat, maka akan

timbulnya tindakan melambat, dan durasi tindakan berkepanjangan. 22-24

Kadar haloperidol dalam plasma dari 4 sampai 25 mikrogram per liter

yang diperlukan untuk tindakan terapeutik. Penentuan kadar plasma dapat

digunakan untuk menghitung penyesuaian dosis dan untuk memeriksa kepatuhan,

terutama pada pasien jangka panjang. Tingkat plasma lebih dari kisaran terapeutik

dapat menyebabkan insiden yang lebih tinggi dari efek samping atau bahkan

menimbulkan risiko keracunan haloperidol. 22-24

Konsentrasi haloperidol di jaringan otak adalah sekitar 20 kali lipat lebih

tinggi dibandingkan dengan di dalam darah. Namun haloperidol perlahan-lahan

dihilangkan dari jaringan otak, yang mungkin menjelaskan hilangnya lambat efek

samping bila obat dihentikan. 22-24

Haloperidol merupakan pengikat protein yang hebat dalam plasma

manusia, dengan fraksi bebas hanya 7,5-11,6%. Hal ini juga secara ekstensif

41
dimetabolisme di hati dengan hanya sekitar 1% dari dosis diekskresikan tidak

berubah dalam urin. Proporsi terbesar dari clearance hati adalah dengan

glukoronidasi, diikuti dengan reduksi dan oksidasi CYP-dimediasi, terutama oleh

CYP3A4. 22-24

Haloperidol bekerja pada reseptor ini: 22-24

1. D1 (antagonis diam) - Efisiensi diketahui


2. D5 (antagonis diam) - Efisiensi diketahui
3. D2 (inverse agonist) - 1,55 nM
4. D3 (inverse agonist) - 0,74 nM
5. D4 (inverse agonist) - 5-9 nM
6. σ1 (ireversibel inaktivasi oleh haloperidol metabolit HPP +) - 3 nM
7. σ2 (agonis): 54 nM
8. reseptor 5HT1A agonis - 1927 nM
9. 5HT2A (antagonis diam) - 53 nM
10. 5HT2C (antagonis diam) - 10.000 nM
11. 5HT6 (antagonis diam) - 3666 nM
12. 5HT7 (antagonis ireversibel diam) - 377,2 nM
13. H1 (antagonis diam) - 1.800 nM
14. M1 (antagonis diam) - 10.000 nM
15. α1A (antagonis diam) - 12 nM
16. α2A (antagonis diam) - 1130 nM
17. α2B (antagonis diam) - 480 nM
18. α2C (antagonis diam) - 550 nM
19. NR1 / NR2B subunit mengandung reseptor NMDA (antagonis; ifenprodil

situs): IC50 - 2.000 nM.

b. Haloperidol pada Kasus Gangguan Jiwa yang disertai Waham Dosa

Sama seperti kasus Sindrom Tourette, dosis haloperidol pada penderita

skizofrenia yang dianjurkan pada orang dewasa dengan gejala sedang adalah 0,5-2

miligram (mg) per oral 2 sampai 3 kali sehari, atau dengan gejala berat 3 sampai 5

mg oral 2 sampai 3 kali sehari. Pada orang dewasa penderita skizofrenia yang akut

gelisah dengan gejala cukup parah atau sangat parah, dosis yang dianjurkan

42
adalah haloperidol laktat 2 sampai 5 miligram intramuskular. Tergantung pada

efek klinis, dosis dapat diulang setiap 1 jam, meskipun interval 4 sampai 8 jam

mungkin cukup.25

Dosis oral haloperidol yang biasa digunakan untuk terapi skizofrrenia

adalah 1 sampai 15 miligram, dosis melebihi 100 miligram telah digunakan pada

pasien yang sangat resisten terhadap pengobatan. Dosis moderat obat neuroleptik

ini (didefinisikan sebagai antara 165 dan 375 miligram) setara dengan

chlorpromazine, tapi lebih disukai dalam terapi pemeliharaan psikosis kronis

dalam studi meta-analisis dari 22 uji coba terkontrol secara acak. Hubungan antara

dosis dan efektivitas klinis dan efek samping dinilai. Pada dosis yang lebih besar

dari 375 miligram setara dengan klorpromazin, tidak ada perbaikan klinis

tambahan dilihat, dan reaksi yang merugikan terjadi pada tingkat signifikan lebih

tinggi.25

Ada variasi yang signifikan antara pasien dalam jumlah obat yang

diperlukan, dosis harus individual (masing-masing individu berbeda-beda

dosisnya). Rentang dosis normal untuk memulai terapi untuk indikasi psikiatri

adalah 1 sampai 6 miligram/hari untuk gejala moderat dan 6 sampai 15

miligram/hari untuk gejala berat, dibagi menjadi 2 sampai 3 dosis. Penyesuaian

dosis hingga 100 miligram/hari mungkin diperlukan untuk pasien resisten berat.

Ketika beralih dari parenteral untuk terapi oral, dosis oral pertama harus diberikan

dalam waktu 12 sampai 24 jam. Dosis per oral sama dengan dosis parenteral dapat

digunakan dengan penyesuaian dosis berdasarkan respon pasien.25

43
Sebuah ujicoba dalam 4 minggu menunjukkan bahwa pasien yang

mengalami episode pertama psikosis merespon diterapi dengan haloperidol dosis

yang jauh di bawah dosis yang biasa diresepkan. Pasien (n = 36) didiagnosis

dengan psikosis nonafektif memulai pengobatan haloperidol dengan 2 miligram

(mg) setiap hari. Dosis dinaikkan mingguan sampai perbaikan yang signifikan

maupun timbulnya gejala ekstrapiramidal terjadi. Dosis optimal untuk 42 persen

dari pasien adalah 2 mg setiap hari dan rata-rata, pasien ini mengalami

peningkatan perbaikan terbesar.25

Dosis rendah (16 miligram/hari) dibandingkan dengan dosis tinggi (80

mg/hari) dari haloperidol pada 40 pasien skizofrenia akut selama 21 hari. Setelah

evaluasi pada lima kali percobaan, kelompok dosis rendah menunjukkan

peningkatan secara signifikan lebih besar. Hasil yang sama ditemukan dalam

penelitian lain.25

Sebuah studi acak dilakukan pada 42 pasien yang diobati dengan

haloperidol 10 miligram, 30 miligram, dan 80 miligram per hari. Para peneliti

tidak menemukan hubungan antara dosis neuroleptik dan hasil mania, dan tidak

ada perbedaan dalam efek samping. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada

keuntungan untuk menggunakan lebih dari 10 miligram per hari haloperidol.23

Haloperidol dosis 5, 10, dan 20 miligram per hari dibandingkan selama 4

minggu pada 80 pasien skizofrenia akut. Hasil setelah dua minggu menunjukkan

20 miligram dosis lebih efektif daripada 5 miligram dosis dan sama dengan dosis

10 miligram. Selama periode dua minggu yang tersisa, 20 miligram dosis per hari

44
tidak dapat mengontrol pasien lagi. Para peneliti menyebut hal ini sebagai efek

samping ”psychotoxic”. Para peneliti merekomendasikan 20 miligram per hari

untuk terapi jangka pendek gangguan psikotik.25

c. Kontraindikasi25

 Keadaan koma yang disebabkan oleh apa pun


 Hipersensitif terhadap haloperidol
 Penyakit Parkinson
 Depresi berat sistem saraf pusat
 Intoksikasi berat dengan alkohol atau obat depresan sentral lainnya
 Penyakit jantung diketahui, bila dikombinasikan akan cenderung ke arah

serangan jantung

d. Perhatian khusus25

a) Hati-hati penggunaan pada pasien dengan depresi SSP, penyakit hati dan

jantung berat.
b) Hipotensi mungkin terjadi terutama pada pemberian parenteral.
c) Bentuk dekanoat jangan diberikan secara iv.
d) Hindari penggunaan pada tirotoksikosis.
e) Hati-hati digunakan pada gangguan yang menunjukkan depresi SSP karena

menimbulkan sedasi.
f) Hati-hati penggunaan pada pasien yang mengalami ketidakstabilan

hemodinamik, kecenderungan kejang, kerusakan subkortikal otak, penyakit

ginjal dan pernafasan.


g) Hati-hati pada penderita yang beresiko menderita pneumonia (misalnya

penyakit Alzheimer) karena kemungkinan terjadi dismotil esofagus dan

aspirasi.
h) Hati-hati pada penderita kanker payudara atau tumor yang dependen terhadap

prolaktin karena mungkin meningkatkan kadar prolaktin.

45
i) Mungkin mengubah pengaturan temperatur tubuh, atau menutupi efek toksik

obat lain karena efek anti emetik.

Mungkin mengubah hantaran di jantung; aritmia yang mengancam jiwa.

Hipotensi dapat terjadi dengan pemberian secara im, hati-hati pada pasien dengan

penyakit: serebrovaskuler, kardiovaskuler,atau obat yang menimbulkan enyakit-

penyakit tersebut karena dapat menimbulkan hipotensi ortostatik.

I. DIAGNOSIS BANDING

Hipokondrium harus dibedakan dari kondisi medis nonpsikiatrik,

khususnya gangguan yang tampak dengan gejala yang tidak mudah didiagnosis.

Penyakit-penyakit tersebut adalah AIDS, endokrinopati, miastenia gravis,

sklerosis multiple, penyakit degeneratif pada sistem saraf, lupus erimatosus

sistemik, dan gangguan neoplastik yang tidak jelas.1

Hipokondrium dibedakan dari gangguan somatisasi oleh penekanan pada

suatu hipokondrium tentang ketakutan pada suatu penyakit dan penekanan pada

gangguan somatisasi dengan banyak gejala. Perbedaan yang tidak jelas bahwa

pasien dengan hipokondrium biasanya mengeluh tentang sedikit gejala

dibandingkan pasien dengan gejala gangguan somatisasi. Gangguan somatisasi

biasanya memiliki onset sebelum usia 30 tahun, sedangkan hipokondrium

memiliki usia onset yang kurang spesifik. Pasien dengan gangguan somatisasi

lebih sering adalah wanita dibandingkan dengan pasien dengan hipokondrium,

dimana memiliki distribusi yang seimbang antara laki-laki dan wanita.1

Hipokondrium juga harus dibedakan dari gangguan somatoform lainnya.

Gangguan konversi adalah akut dan biasanya sementara dan biasanya melibatkan

46
suatu gejala, bukannya suatu penyakit tertentu. Adalah atau tidak adanya la belle

indiference adalah ciri yang tidak dapat dipercaya yang menyebabkan kedua

kondisi tersebut. Gangguan nyeri adalah kronis, seperti juga hipokondrium, tetapi

gejalanya adalah terbatas pada keluhan nyeri. Pasien dengan gangguan dismorfik

tubuh berharap dapat tampil normal tetapi percaya bahwa orang lain

memerhatikan bahwa mereka tidak normal, sedangkan pasien waham

hipokondrium mencari perhatian untuk anggapan penyakitnya.1,4

Gejala waham hipokondrium dapat juga terjadi pada gangguan depresi dan

gangguan kecemasan. Jika pasien memenuhi kriteria diagnostik lengkap untuk

hipokondrium maupun gangguan mental berat lainnya, seperti gangguan depresif

berat atau gangguan kecemasan umum, pasien harus mendapat kedua diagnosis

tersebut, kecuali gejala waham hipokondrium hanya terjadi pada episode

gangguan mental lainnnya. Pasien dengan gangguan panik mungkin pada awalnya

mengeluh bahwa mereka menderita suatu penyakit (sebagai contoh gangguan

jantung) tetapi pertanyaan yang cermat tentang riwayat medis biasanya tidak

menemukan gejala klasik serangan panik. Keyakinan waham hipokondrium

wahamonal terjadi pada skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya tetapi dapat

dibedakan dengan hipokondrium dengan gejala psikotik lain. Disamping itu,

waham somatik pasien skizofrenia cenderung kacau, aneh, dan di luar lingkungan

kulturalnya.1,4,6

Hipokondrium dibedakan dari gangguan buatan dengan gejala fisik dan

berpura-pura dimana pasien waham hipokondrium sesungguhnya mengalami dan

tidak menstimulasi gejala yang mereka laporkan.1

47
J. PROGNOSIS

Perjalanan hipokondrium biasanya episodik; episode berlangsung dari

beberapa bulan sampai beberapa tahuan dan dipisahkan oleh periode tenang yang

sama panjangnya. Mungkin terhadap hubungan yang jelas antara eksaserbasi

gejala waham hipokondrium dan stresor psikososial. Walaupun hasil penelitian

besar yang dilakukan belum dilaporkan diperkirakan sepertiga sampai setengah

dari semua pasien dengan hipokondrium akhirnya membaik secara bermakna.

Prognosis yang baiak adalah berhubungan dengan status sosioekonomi yang

tinggi, onset gejala yang tiba-tiba, tidak adanya gangguan kepribadian dan tidak

adanya kondisi non-psikiatrik yang menyertai. Sebagian besar anak waham

hipokondrium menjadi sembuh pada masa remaja akhir atau masa dewasa awal.1

Gangguan waham dianggap merupakan diagnosis yang cukup stabil.

Kurang dari 25% kasus gangguan waham didiagnosa skizofrenia dan <10% pasien

mengalami gangguan mood. Sekitar 50% pasien sembuh dengan pengobatan, 20%

mengalami pengurangan gejala dan 30% lainnya tidak ada perbaikan.16 Pasien

dengan waham kejar, somatik dan erotik diperkirakan memiliki prognosis yang

lebih baik daripada pasien dengan waham kebesaran dan cemburu. Faktor-faktor

yang berhubungan dengan prognosis baik, meliputi: Tingkat pekerjaa Peneyesuain

fungsional yang tinggi, Jenis kelamin (wanita), Onset sebelum usia 30 tahun,

Onset terjadi tiba-tiba, Lama penyakit singkat, Adanya faktor pencetus, Waham

kejar, somatik dan erotik.

48
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dalam referat ini disimpulkan bahwa

gangguan waham somatik atau waham hipokondrium adalah keyakinan tentang

(sebagian) tubuhnya yang tidak mungkin benar, gangguan isi pikiran, bisa berupa

murni waham saja atau berkaitan dengan khayalan saja yang sifatnya tidak aneh

dan tidak bisa diklasifikasikan sebagai gangguan organik, skizofrenia atau afektif.

kepercayaan pada ketakutan menderita, atau keyakinan bahwa seseorang memiliki

penyakit medis yang serius, kelainan, deformitas, rasa ketidakpuasan akan

tubuhnya yang merasa jelek, berat badan yang berlebihan, bau badan yang busuk,

halitosis atau merasa bau nafas yang busuk, ususnya sudah busuk, otaknya sudah

cair, dan ada seekor kuda didalam perutnya.dan lain-lain. Untuk mendiagnosis

keluhan gangguan waham ini dapat dilakukan dengan anamnesis secara

autoanamnesis dan heteroanamnesis, pemeriksaan status internus, pemeriksaan

status mentalis, dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi medis. Tatalaksana

yang tepat dapat mengatasi waham yang diderita oleh pasien yaitu dengan terapi

non farmakologi dan terapi farmakologi.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Kiran C, Chaudhury S. Understanding delusion. Neuropsychiatri

andAlled. Sciences. 2009; 18(1): 3-18.

2. Camelia V. Waham secara klinik. Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara. 2008.

3. Jana AK, Praharja SK, Sarkar S, Dotivala K, Chabungbam G. Folie a deux

between two unrelated individuals. Turkish Journal of Psychiatry. 2009;

1(1): 1-5.

4. Bhuyan D, Chaudhury PK. Nature and types of delusion in schizophrenia

and mania there a difference. IOSR. 2016; 15(5): 1-6.

5. Lestawan IWA. Perubahan proses berpikir: waham. Universitas Udayana.

2015.

6. Nasution YN. Analisis praktik klinik keperwatan kesehatan masyarakat

perkotaan pada klien dengan halusinasi di ruang rehabilitasi rumah sakit

ketergantungan obat jakarta. Karya ilmiah akhir. Depok: fakultas

keperawatan, program profesi reguler; 2013.

7. Ariawan MD, Ratep N, Westa W. Gangguan waham menetap pada pasien

dengan riwayat penyalahgunaan ganja: sebuah laporan kasus. Universitas

Udayana. 2013.

8. Srivastaya S, Bhatia MS, Gautam P, Rathi A. Current understanding of

organic delusional disorder a recent update. Delhi Psychiatry Journal.

2014; 17(1): 18-24.

50
9. Heuvel VD, Veale D, Stein DJ. Hypochondriasis: consideration for ICD-

11. University Medical of Center. 2014; 36(1): 521-527.

10. Issa BA. Delusional disordersomatic type (or body dysmorphic disoder)

and schizophrenia: a case report. 2010; 13(1): 61-63.

11. Haig D. Delusion of parasitosis. College of medication. 2007; 45(1): 131-

134.

12. Ramos N, Wystrach C, Bolton M, Ishak WW, Shaywitz J. Delusional

disorder, somatic type olfactory reference syndrome in a patient with

delusional trimethylaminuria . The Journal of Nervous and Mental

Disorder. 2013:201(6): 537-538.

13. Grover S, Gupta N, Matoo SK. Delusioal disorder: an overview. German

Journal of Psychiatry. 2005; 1(1): 62-73

51

Anda mungkin juga menyukai