Anda di halaman 1dari 14

Adaptasi Fisiologis Dan Psikologis Pada Periode Post Partum

Oleh :

NAMA : UMMI NADIA


NIM : 1712101010100

UNIVERSITAS SYIAH KUALA FAKULTAS KEPERAWATAN


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
BANDA ACEH
2018
A. Pengertian

Periode postpartum ialah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai

organ-organ reproduksi kembali keadaan normal sebelum hamil. Periode ini

kadang-kadang disebut peurperium atau trimester keempat kehamilan. Perubahan

fisiologis yang terjadi sangat jelas, walaupun dianggap normal, di mana proses-

proses pada kehamilan berjalan terbalik. Banyak faktor termasuk tingkat energi,

tingkat kenyamanan, kesehatan bayi baru kahir, dan perawatan serta dorongan

semangat yang diberikan tenaga kesehatan profesional ikut membentuk respons

ibu terhadap bayinya selama masa ini. Untuk memberi perawatan yang

menguntungkan ibu, bayi dan keluarganya, seorang perawat harus memanfaatkan

pengetahuannya tentang anatomi dan fisiologi ibu pada periode pemulihan,

karakteristik fisik dan perilaku bayi baru lahir, dan respons keluarga terhadap

kelahiran seorang anak. Bab ini membahas perubahan anatomi dan fisiologi serta

psikologis wanita setelah melahirkan.

1. ADAPTASI FISIOLOGIS

a. Sistem Reproduksi dan Struktur Terkait

Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan

disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi

otot-otot polos uterus. Pada akhir tahap ketiga persalinan, uterus berada di garis

tengah, kira-kira 2 cm di bawah umbilikus dengan bagian fundus bersandar

promontorium sakralis. Fundus turun kira-kira 1-2 cm setiap 24 jam. Uterus pada

waktuhamil penuh beratnya 11 kali berat sebelum hamil, berinvolusi menjadi


kira-kira 500 g 1 minggu setelah melahirkan dan 350 g 2 minggu setelah lahir.

Seminggu setelah melahirkan uterus berada dalam panggul sejati lagi. Pada

minggu ke enam beratnya menjadi 50-60 g.

Hemostasis pasca partum di capai terutama akibat kompresi pembuluh

darah intramiometrium, bukan oleh agregasi trombosit atau pembentukan bekuan.

Hormon yang dilepas dari kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi

uterus, mengompresi pembuluh darah dan membantu hemostasis.

Rabas uterus yang keluar setelah bayi lahir disebut lokia yang

mengandung bekuan darah kecil. Selama dua jam pertama setelah lahir, jumlah

cairan yang keluar dari uterus tidak boleh lebih dari jumlah maksimal yang keluar

selama menstruasi. Terdapat tiga jenis lokhea, lokhea rubra terutama mengandung

darah dan debris desidua serta debris trofoblastik, aliran menyembur. Lokhea

serosa terdiri dari darah lama, serum, leukosist, dan debris jaringan. Sekitar 10

hari setelah bayi lahir, berwarna merah muda atau coklat. Lokhea alba

mengandung leukosit, desidua, sel epitel, mukus, serum, dan bakteri, berwarna

kining sampai putih, lokia alaba bertahan selama dua sampai enam minggu setelah

bayi lahir. Cara mengukur lokia yang ofektif adalah dengan cara menimpang

tampon perineum sebelum dipakai dan setelah dilepas. Setiap peningkatan berat

satu gram setara dengan sekitar satu muliliter darah.

Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan, delapan belas jam

pasca partum serviks memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat dan

kembali ke bentuk semula. Serviks setinggi segmen bawah uterus tetap


edematosa, tipis, dan rapuh selama beberapa hari setelah melahirkan. Ektoserviks

(bagian serviks yang menonjol ke vagina) terlihat memar dan ada sedikit laserasi.

Estrogen pasca partum yang menurun berperan dalam penipisan mukosa

vagina dan berperan dalam hilannya rugae. Vagina yang semula teregang kembali

ke tahap ukuran sebelum hamil dalam 6-8 minggu setelah bayi lahir. Kekeringan

lokal dan rasa tidak nyaman pada saat koitus (dispareunia) menetap sampai fungsi

ovarium kembali normal dan menstruasi di mulai lagi. Pada awalnya introitus

mengalami eritematosa dan edematosa, terutama pada daerah episiotomi.

Perbaikan yang cermat, pencegahan atau pengobatan dini hematoma dan higiene

yang baik selama dua minggu pertama setelah melahirkan biasanya membuat

introitus dengan mudah dibedakan dari introitus pada wanita nulipara.

Hemoroid umumnya terlihat. Wanita sering mengalami gejala terkait

seperti rasa gatal, tidak nyaman, dan perdarahan berwarna merah terang pada

waktu defekasi. Ukuran hemoroid biasanya mengecil beberapa minggu setelah

bayi lahir.

Selama periode pasca partum terjadi perubahan hormon yang besar,

pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormon-hormon yang

diproduksi oleh organ tersebut. Penurunan hormon human placental lactogenic,

estrogen, dan kortisol, serta placental enzyme insulinase membalik efek

diabetogenik kehamilan,sehingga kadar gula darah menurun secara bermakna

pada masa perpurium. Kadar estrogen dan progesteron menurun secara mencolok

setelah plasenta keluar.


Proses laktasi pada post partum tergantung pada gabungan kerja hormone,

reflek dan perilaku yang dipelajari ibu dan bayi baru lahir, terdiri dari faktor-

faktor berikut; laktogenesis (permulaan produksi susu), produksi susu, ejeksi susu,

pengeluaran kolostrum dan pengeluaran air susu ibu. Terdapat tiga reflek

menyusui pada ibu sewaktu menyusui ialah sekresi prolaktin, ereksi puting susu,

dan reflek let down.

Pada wanita yang tidak menyusui kadar estrogen akan mulai meningkat

pada minggu kedua setelah melahirkan dan lebih tinggi dari pada wanita yang

menyusui pasca partum hari ke 17. Kafar prolaktin serum yang tinggi pada wanita

menyusui berperan dalam menekan ovulasi. Pada wanita tidak menyususi ovulasi

terjadi dini yakni dalam 27 hari setelah melahirkan, dengan waktu rata-rata 70-75

hari, sedangkan pada wanita menysusui waktu ovulasi sekitar 190 hari.

Dalam 12 jam setelah melahirkan, ibu mulai membuang kelebihan cairan

yang tertimbun di jaringan selama ia hamil dengan cara diafresisi yang luas, dan

diuresis pasca partum.

1) Sistem Pencernaan

Ibu biasanya lapar setelah melahirkan, sehingga ia boleh mengkonsumsi

makanan ringan. Secara khas penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna

menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Buang air besar secara

spontan bisa tertunda selama dua sampai tiga hari setelah melahirkan. Keadaan ini

bisa disebabklan oleh tonus otot menurun selama proses persalinan dan pada awal

masa post partum.


2) Sistem Kardiovaskular

Perubahan volume darah tergantung dari beberapa faktor, misalnya

kehilangan darah selama melahirkan dan mobilisasi serta pengeluaran kcairan

ekstravaskular (edema fisiologis). Penyesuaian pembuluh darah maternal setelah

melahirkan berlangsung cepat. Respon wanita dalam menghadapi kehilangan

darah selama masa pascapartum dini berbeda dari respon wanita tidak hamil. Tiga

perubahan fisiologis pascapartum yang melindungi wanita; hilangnya sirkulasi

uretroplasenta yang mengurangi ukuran pembuluh darah maternal 10-15%,

hilangnya fungsi endokrin plasenta yang menghilangkan stimulus vasodilatasi,

dan terjadinya mobilisasi air ekstravaskular yang disimpan selama wanita hamil.

Denyut jantung, volume sekuncup, dan curah jantung meningkat sepanjang

masa hamil, dan keadaan ini akan meningkat bahkan lebih tinggi selama 30

sampai 60 menit karena darah yang biasa melintasi sirkuit uretroplasenta tiba-tiba

kembali ke sirkulasi umum.

Varises di tungkai dan sekitar anus (hemoroid) sering dijumpai pada

wanita hamil. Regresi total atau mendekati total diharapkan terjadi setelah

melahirkan.

3) Perubahan Neurologi

Perubahan neurologis selama purpureum merupakan kebalikan adaptasi

neurologis yang terjadi saat wanita hamil dan disebabkan trauma yang dialami

wanita saat melahirkan.


4) Sistem muskuloskeletal

Adaptasi sistem muskuloskeletal ibu mencakup hal-hal yang membantu

relaksasi dan hipermobilitas sendi, dan perubahan pusat berat badan ibu akibat

pembesaran rahim.

5) Sistem integumen

Kloasma yang muncul pada masa hamil biasanya menghilang saat

kehamilan berakhir.hiperpigmentasi areola dan linea nigra tidak menghilang

seluruhnya. Kulit yang meregang pada payudara, abdomen, paha dan panggul

mungkin memmudar, akan tetapi ltidak hilang seluruhnya. Rambut halus yang

tumbuh dengan lebat pada waktu hamil biasanya akan menghilang setelah wanita

melahirkan.

2. ADAPTASI PSIKOLOGIS

a. Proses Menjadi Orang Tua

Selama periode prenatal, ibu ialah satu-satunya pihak yang membentuk


lingkungan tempat janin berkembang dan tumbuh. Kemudian pada saat bayi lahir,
orang lain mulai terlibat dalam perawatan bayi. Menjadi orang tua bisa merupakan
faktor pematangan dalam diri seorang wanita atau pria, tanpa memeprhatikan
apakah anak yang diasuh memiliki hubungan biologis atau tidak.
Peran orang tua sangat penting, tugas tanggung jawab dan sikap yang
membentuk peran menjadi orang tua sebagi fungsi menjadi ibu (mothering
function) merupakan proses orang dewasa (pribadi yang matang, penyayang,
mampu dan mamdiri) mulai mengasuh seorang bayi (pribadi yang tidak matang,
tidak berdaya, dependen).
Suatu hubungan orang tua-anak yang positif ialah saling memberi satu
sama lain, hubungan ini sangat mendasar. Konsep Erikson (1959, 1964) dalam
Bobak (2004) tentang dasar kepercayaan mengatakan bahwa perkembangan rasa
percaya akan menentukan respon bayi seumur hidupnya.
b. Perkenalan, ikatan dan kasih sayang yang dalam menjadi orang tua

Motivasi dan komitmen orang tua dan anaknya selama bertahun-tahun


dalam saling mendukung dan merawat satu sama lain, proses ini sering disebut
attachment (kasih sayang) atau bonding (ikatan). Bonding didefinisikan Brazelton
(1978) sebagai suatu ketertarikan mutual pertama antar individu, misalnya antar
orang tua dan anak, saat pertama kali mereka bertemu. Attachment terjadi pada
periode kritis, seperti pada kelahiran atau adopsi.

Respon orang tua memberi implikasi langsungnterhadap perawatan.


Perawat dapat menciptakan suatu lingkungan yang meningkatkan kontak positif
orang tua-anak. yang sangat berperan dalam memperkuat ikatan ini adalah
komunikasi orang tua-anak, sentuhan, kontak mata, suara, aroma, kemudian
kontak dini, dan bioritme yaitu anak yang belum lahir dapat dikatakan senada
dengan ritme alamiah ibunya.

c. Peran orang tua setelah bayi lahir

Orang tua harus menerima keadaan anak yang sebenarnya dan tidak terus
terbawa dengan khayalan dan impian yang dimilikinya tentang anak ideal. Orang
tua harus menguasai cara merawat bayi, perlu menetapkan kriteria evaluasi yang
baik dan dapat dipakai untuk menilai kesuksesan atau kegagaglan hal-hal yang
dilakukan pada bayi, menetapkan suatu tempat bagi bayi baru lahir di dalam
keluarga, perlu menetapkan keunggulan hubungan dewasa mereka untuk
mempertahankan keluarga sebagai suatau kelompok.

Penyesuaian maternal(penyesuaian ibu terhadap bayinya) memiliki tiga


fase, yaitu:

1. Fase dependen, selama satu sampai dua hari pertama setelah


melahirkan, ketergantungan ibu menonjol. Pada fase ini ibu
mengharapkan segala kebutuhannya dapat dipenuhi, ibu memindahkan
energi psikologisnya pada anaknya. Rubin (1961) menetapkan periode
ini sebagai fase menerima (taking-in phase).
2. Fase dependen – mandiri, apabila ibu telah menerima asuhan yang
cukup selama beberapa jam atau beberapa hari pertma, maka pada hari
ke dua atau ke tiga keinginan untuk mandiri timbul dengan sendirinya.
Dalam fase ini, ibu secara bergantian muncul kebutuhan untuk
mendapat perawatan dan penerimaan dari orang lain, dan keinginan
untuk melakukan segala sesuatu secara mandiri. Ibu akan memiliki
keinginan untuk merawat bayinya secara langsung. Rubin (1961)
menjelaskan keadaan ini sebagai fase taking-hold yang berlangsung
kira-kira 10 hari.
Namun pada fase ini tidak jarang terjadi depresi, perasaan mudah
tersinggung, jenuh, karena merasa kehilangan dukungan yang pernah
diterimanya. Keletihan setelah melahirkan diperburuk oleh tuntutan
bayi yang banyak sehingga dengan mudah dapat timbul perasaan
depresi. Sehingga kadar glukokortikoid dalam sirkulasi dapat menjadi
rendah atau terjadi hipotiroid subklinis. Keadaan fisiologis ini dapat
menjelaskan despresi pascapartum ringan (‘baby blues’).

3. Fase interdependen
Pada fase ini, ibu dan keluarganya beregrak maju sebagai suatunsistem
dengan para anggota saling berinteraksi. Kebanyakan suami istri
memulai lagi hubungan seksualnya pada minggu ketiga atau ke empat
setelah anak lahir. Fase interdependen (letting go) juga merupakan fase
yang penuh stres bagi orang tua, kesenangan dan kebutuhan sering
terbagi dalam masa ini, pria dan wanita harus menyelesaikan efek dari
perannya masing-masing dalam hal mengasuh anak, mengatur rumah
dan membina karier.
Adapatasi paternal, dimana ayah menunjukkan keterlibatan yang kuat
dengan bayi. Beberapa respon sensual, seperti sentuhan dan kontak
mata, keinginan ayah untuk menemukan hal-hal yang unik ataupun hal
yang sama dengan dirinya merupakan karakteristik lain yang berkaitan
dengan kebutuhan ayah untuk merasakan bahwa bayi ini adalah
miliknya (Bobak, Lowdermilk & Jensen, 2004).

1) Sindrom baby blues


1. Definisi
Postpartum Blues sendiri sudah dikenal sejak lama. Savage pada
tahun 1875 telah menulis refrensi di literature kedokteran mengenai
suatukeadaan disforia ringan pasca-salin yang disebut “ milk fever “
karena gejala disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi.
Dewasa ini, postpartum blues atau sering juga disebut maternity blues
atau baby blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek
ringan yang sering tampak dalamminggu pertama setelah persalinan
atau pada saat fase taking in, cenderung akan memburuk pada hari
ketiga sampai kelima dan berlangsung dalam rentang waktu 14 hari
atau dua minggu pasca persalinan. Post partum blues merupakan
kesedihan atau kemurungan setelah melahirkan, biasanya hanya muncul
sementara waktu sekitar dua hari hingga10 hari sejak kelahiran bayinya.
2. Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui secara pasti, namun
banyak faktor yang diduga berperan dapat menyebabkan post partum
blues, diantaranya :
Faktor hormonal yang berhubungan dengan perubahan kadar
estrogen,progesterone, prolaktin dan ekstradiol. Penurunan kadar
estrogen setelah melahirkan sangat berpengaruh pada gangguan
emosional pasca partum karena estrogen memiliki efek supresi aktivitas
enzim monoamineaksidase yaitu suatu enzim otak yang bekerja
menginaktifasi noradrenalindan serotonin yang berperan dalam
perubahan mood dan depresi.
a. Faktor demografi yaitu umur dan paritas
b. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
c. Latar belakang psikososial ibu, seperti ; tingkat pendidikan, status
perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan
jiwa sebelumnya, social ekonomi serta keadekuatan dukungan
social dari lingkungan ( suami, keluarga dan teman ). Apakah
suami menginginkan juga kehamilan ini, apakah suami, keluarga
dan teman memberikandukungan moril ( misalnya dengan
membantu pekerjaan rumah tangga selama atau berperan sebagai
tempat ibu mengadu/berkeluh-kesah ) selama ibu menjalani
kehamilannya atau timbul permasalahan misalnya suami yang tidak
membantu, tidak mau mengerti perasaan istri maupun persoalan
lainnya dengan suami, masalah dengan orangtua dan mertua,
masalah dengan si sulung.
d. Takut kehilangan bayinya atau kecewa dengan bayinya.
Ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa postpartum
blues tidak berhubungan dengan perubahan hormonal, biokimia
atau kekurangan gizi. Antara 8 % sampai 12 % wanita tidak dapat
menyesuaikan peran sebagai orang tua dan menjadi sangat
tertekansehingga mencari bantuan dokter. Dengan kata lain para
wanita lebihmungkin mengembangkan depresi postpartum jika
mereka tertekan secara sosial dan emosional serta baru saja
mengalami peristiwa kehidupan yang menekan. Ada juga pendapat
bahwa kemunculan dari postpartum blues ini disebabkan oleh
beberapa faktor dari dalam dan luar individu. Penelitiand ari
Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985) menunjukan bahwa
depresi tersebut membawa kondisi yang berbahaya bagi
perkembangan anak dikemudian hari.
3. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala post partum blues, sebagai berikut :
a. Cemas tanpa sebab.
b. Menangis tanpa sebab.
c. Tidak percaya diri.
d. Tidak sabar.
e. Sensitif, mudah tersinggung.
f.Merasa kurang menyayangi bayinya.
g. Tidak memperhatikan penampilan dirinya.
h. Kurangnya menjaga kebersihan dirinya.Gejala fisiknya seperti :
kesulitan bernafas, ataupun perasaan yangberdebar-debar.
i. Ibu merasa kesedihan, kecemasan yang berlebihan.
j. Ibu merasa kurang diperhatikan oleh suami atauapun keluarga.
4. Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk menangani ibu dengan Baby
Blues, antara lain adalah:
a) Minta bantuan suami keluarga yang lain untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari, seperti mengurus rumah sehingga dapat
mengurangi pekerjaan ibu, ibu dapat beristirahat dan mengurangi
kelelahan.
b) Beritahu suami apa yang sedang ibu rasakan. Minta di dudukan
dan pertolongannya, karena dukungan dari suami sangat penting.
c) Buang rasa cemas dan kekhawatiran
d) Tidur ketika bayi tidur. Ini adalah waktu yang efektif untuk tidur,
dimana ibu tidak perlu khawatir akan anaknya dan ibu dapat
mengetahui jika bayinya terbangun.
e) Berolahraga ringan/ melakukan latihan / senam nifas. Hal tersebut
penting mengembalikan otot-otot perut dan panggul kembali
normal. Ibu akan merasa lebih kuat dan ini menyebabkan otot
perut menjadi kuat sehingga mengurangi rasa sakit pada
punggung. Jelaskan bahwa latihan tertentu beberapa menit setiap
hari sangat membantu
f) Ikhlas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu dan Bounding
Attachment
g) Tidak perfeksionis dalam hal mengurus anak
h) Bicarakan rasa cemas dan komunikasi dengan orang yang bisa
kita percaya dan masalah ibu, seperti orang terdekat atau tenaga
kesehatan
i) Bersikap fleksibel
j) Merawat bayi dengan berfikir bahwa kesempatan merawat bayi
hanya datang satu kali
k) Bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru. Bersosialisasi /
membaur dengan banyak orang dapat membuat kita jadi lebih
rileks dan melupakan sejenak beban / masalah di rumah.
l) Berikan pelayanan KB agar ibu lebih fokus dalam merawat
bayinya sebelum kehamilan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, I.M, Lowdermilk, D.L, Jensen, M.D. (2004). Buku Ajar Keperawatan

Maternitas, edisi 4. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai