Anda di halaman 1dari 63

Pendahuluan

Defenisi filsafat ilmu tidak terlepas dari kata filsafat dan ilmu filsafat adalah berfikir
secara mendalam tentang sesuatu tanpa melihat dogma dan agama dalam mencari kebenaran
sedang ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang(pengetahuan) yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu dibidang itu. Sebagaimana yang di rumuskan para ahli Sebagaimana
yang dikutip A. Susanto dalam Filsafat Ilmu sebagai berikut :

1. Menurut Berry Filsafat Ilmu adalah penelaahan tentang logika intern dan teori
– teori ilmiah dan hubungan – hubungan antara percobaan dan teori, yakni
tentang metode ilmiah. Bagi Berry, filsafat ilmu adalah ilmu yang di
pakai untuk menelaah tentang logika, teori –
teori ilmiah serta upaya pelaksanaannya untuk menghasilkan suatu metode
atau teori ilmiah.[1]
2. May Brodbeck, Filsafat ilmu adalah suatu analis
netral yang secara etis dan falasafi, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan
– landasan ilmu menurut Brodbck, ilmu itu harus bisa menganalisis, menggali,
mengkaji bahkan melukiskannya sesuatu secara netral , etis dan
filosofis sehingga ilmu itu bisa di manfaatkan secara benar dan relevan.
3. Lewis White Filsafat ilmu atau philosophy of
science adalah ilmu yang mengkaji dan mengevaluasi metode –
metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan
pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.Lebih jauh Lewis
menjelaskan Filsafat ilmu adalah ilmu yang
mempertanyakan dan menilai metode – metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Melalui filsafat ilmu ini kita akan mampu memahami dan
menetapkan akan arti pentingnya usaha ilmiah, sebagai suatu keseluruhan
4. A. Cornelius Benyamin, mengemukakan bahwa
filsafat ilmu adalah studi sistematis mengenai sifat dan hakikat ilmu,
khususnya yang berkenaan dengan metodenya, konsepnya,
kedudukannya di dalam skhema umum disiplin intelektual. Benyamin lebih
melihat sifat dan hakikat ilmu ditinjau dari aspek metode, konsep, dan
kedudukannya dalam disiplin keilmuan.
5. Robert Ackermann filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat –
pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat –
pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam rangka ukuran –
ukuran yang dikembangkan dari pendapat – pendapat demikian itu,
tetapi filsafat ilmu demikian jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari pr
aktik ilmiah senyatanya .[2]
6. Peter Caw filsafat ilmu adalah
suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat umumn
ya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan
dua macam hal di satu pihak, ini membangun teori – teori tentang manusia
dan alam semesta, dan menyajikannya landasan bagi keyakinan dan tindakan di
pihak lain, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan
sebagai suatu landasan bagi tindakan termasuk teori – teori nya sendiri
dengan harapan dan penghapusan tidak ajegan dan kesalahan. Caw yakin
bahwa melalui filsat ilmu seseoang membangun dua hal,
menyajikan teori sebagai landasan bagi keyakinan tindakan dan
memeriksa secara kritis segala sesuatu sebagai landasan bagi sebuah keyakinan
atau tindakan.
7. Alfred Cyril Ewing Filsafat ilmu menurutnya adalah
salah satu bagian filsafat yang membahas tentang logika, di mana di
dalamnya membahas tentang cara yang di khususkan metode – metode dari ilmu –
ilmu yang berlainan . Lebih lanjut menjelaskan tanfa penguasaan filsafat ilmu,
maka
akan sulitlah seseorang dalam usahanya untuk memahami tentang ilmu secara
baik dan profesional.
8. The Liang Gie Merumuskan Filsafat ilmu merupakan segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan –
persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubung
an ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Bagi Gie,
filsafat ilmu bukan hanya di pahami sebagai ilmu untuk mengetahui metode da
n analisis ilmu – ilmu lain,
tetapi filsafat ilmu sebagai usaha seseorang dalam mengkaji persoalan –
persoalan yang muncul melalui perenungan yang mendalam
agar dapat diketahui duduk persoalannya secara mendasar sehingga dapat di
manfaatkan dalam kehidupan manusia.
9. Menurut Beerling, filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri –
ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara –
cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan
atau epistemologi yang secara umum menyelidiki syarat –
syarat serta bentuk bentuk pengalamn manusia
juga mengenai logika dan metodologi. [3]
10. Jujun S, Suriasumantri menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu
pengetahuan atau epistemologi yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar ge
jala alamiah tak lagi merupakan misteri, secara garis besar,
Jujun menggolongkan pengetahuan menjadi tiga kategori umum, yakni 1)
pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk yang disebut
juga dengan etika 2) pengetahuan tentang indah dan jelek, yang disebut dengan
estetika atau seni 3) pengetahuan tentang yang benar dan salah,
yang disebut dengan logika.[4]

Lebih lanjut Jujun S menjelaskan filsafat ilmu merupakan bagian dari


epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
(pengetahuan ilmiah) Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri –
ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu ilmu
alam dengan ilmu sosial, namun karena permasalahan – permasalahan
teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu –
ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing –
masing bidang yang ditela’ah, yakni ilmu – ilmu alam atau ilmu –
ilmu sosial dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom, ilmu
memang berbeda dari pengetahuan – pengetahuan secara filsafat, namun tidak
terdapat perbedaan yang prinsif antara ilmu – ilmu alam dan ilmu –
ilmu sosial dimana mempunyai ciri – ciri keilmuan yang sama.
Beberapa pendapat lain mengenai pengertian filsafat ilmu seperti yang dijelaskan H.
Endang Komara dalam buku filsafat ilmu dan metodologi penelitian seperti yang di
jelaskan berikut :

1. Robert ackman filasafat ilmu dalam suatu segi tinjauan krtis tentang pendapat-
pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandngan terhadap kriteria-kriteria yang
dikembangkan dari – pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan
suatu kemandirian cabang ilmu dari praktik ilmiah secara aktual.
2. Michael V. Berry filsafat ilmu penelaahan tentang logika intern dari teori-teori
ilmiah dan hubungan-hubungan anatara percobaan dan teori yakni tentang metode
ilmiah
3. May Brodbeck filsafat adalah : analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan
dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
4. Stephen R. Toulman filsafat ilmu adalah sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu
mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses
penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan, metode-
metode penggantian dan perhitungan, peranggapan-peranggapan metafisis dan
seterusnya menilai landasan-landasan bagi kesalahnnya dari sudut tinjauan logika
formal, metodologis praktis, dan metafisika.[5]

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu
merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, baik
ditinjau dari segi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat
ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara
spesifik mengkaji hakikat ilmu.

B. TUJUAN FILSAFAT ILMU

Tujuan Filsafat ilmu sebagaimana yang disebutkan sebagai berikut :

1. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat


memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
2. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu diberbagai
bidang sehingga kita mendapatkan gambaran tentang proses ilmu
kontemporer secara historis.
3. Menjadi pedoman para insan akademis di perguruan tinggi dalam mendalami studi
diperguruan tinggi, terutama persoalan yang ilmiah dan yang non ilmiah.[6]

3. SEJARAH FILSAFAT ILMU

Sejarah Filsafat ilmu tidak terlepas dari priodisasi sejarah terdahulu yaitu sejak dari
cara berpikir yang sangat sederhana hingga cara berfikir modern zaman kemajuan ilmu
pengetahuan modern yang dikelompokkan kedalam beberapa masa yaitu :

1. Zaman prasejarah. Zaman prasejarah sering juga disebut zaman batu tua
atau manusia purba. Pada zaman ini manusia telah mampu menciptakan konsep
tentang alat sebagai perkakas untuk keperluan kehidupan manusia hal ini
menunjukkan telah ada pemikiran menuju arah ilmu pengetahuan pada masa ini
manusia. Kemudian pada masa ini mereka sudah mampu memelihara tanaman dan
hewan liar hingga menjadi hewan dan tanaman yang kualitasnya sesuai serta
memenuhi kebutuhan manusia.6
2. Zaman sejarah. Zaman sejarah disebut juga dengan zaman batu muda atau zaman
peradaban dan pertanian. Pada masa ini manusia ini manusia telah
mempunyai kemampuan menulis, membaca dan menghitung sehingga setiap
peristiwa dapat dicatat dan dapat memperkecil kesalahan. Di zaman ini telah
dapat memasyarakatkan pengetahuan secara luas walaupun disampaikan lisan.
Kemajuan pengetahuan terlihat pesat dengan bukti lahirnya kerajaan-kerajaan besar
seperti Mesir, Babilonia dan juga kerajaan-kerajaan lain yang lahir di India dan Cina.
3. Zaman logam. Zaman logam ini masuk kategori kebudayaan klasik. Pada masa ini
perkembangan ilmu lebih pesat lagi, yaitu telah ditemukannya logam yang diolah
sedemikian rupa menjadi sebuah perhiasan yang indah dan mahal harganya.
Kemampuan yang tinggi, kemudian dipakai untuk hal-hal diabadikan dalam bentuk
patung yang sekarang masih tersimpan dalam museum, bernilai artistik tinggi,
misalnya patung nefertili, istri raja Fir’aun di Mesir.
4. Zaman Yunani dan Romawi. Perkembangan know how di masa ini tingkatannya
lebih maju dari zaman sebelumnya. Pengetahuan empiris berdasarkan sikap receptive
attitude mind, artinya bangsa Yunani tidak dapat menerima empiris secara pasif
reseptif karena mereka memiliki jiwa an inquiring attitude
5. Filsafat ilmu pada masa islam. Ilmu pengetahuan dan teknologi lahir dari kandungan
islam yaitu menemukan metode ilmiah menjadi kunci rahasia pembuka rahasia alam
yang jadi perintis modernisasi eropa dan Amerika. Percobaan-percobaan yang
dilakukan dalam dunia islam mirip dengan percobaan trial and erorr untuk membuat
logam emas yang sangat berharga lahirlah metode kimia (alkimia) dan penemuan
dalam kedokteran ialah salmak dari sini lahirlah pemikir – pemikir dalam islam
seperti Ibnu Sina Ibnu Rusd, al-Rasi.
6. Filsafat ilmu pada abad kegelapan, pada masa ini bangsa Romawi lebih sibuk
dengan masalah-masalah keagamaan yang terus mempelaari dosa dan bagaimana cara
menghapuskannya. Bangsa Romawi pada masa ini tidak memperhatikan soal
pengetahuan dan soal duniawi sehingga kerajaan romawi runtuh maka masa ini
dikenal sebagai masa kegelapan.
7. Filsafat ilmu pada abad ke 18 dan 19 . pada masa ini kecepatan perkembangan ilmu
pengetahuan pada abad-abad berikutnya sangat menakjubkan, Ilmu pengetahuan
empiris makin mendominasi ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan pada akhir abad
18 di dominasi oleh pengetahuan dibidang fisika.[7]

4. RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU

Ruang lingkup filsafat ilmu seperti yang dikutip A.Susanto meliputi beberapa
bidang seperti berikut ini :

1. Peter Angeles merumuskan filsafat ilmu terbagi ke dalam empat bidang kajian, yaitu
:
2. Telaah berbagai konsep, pra anggapan dan metode ilmu,berikut analisis, perluasan,
dan penyusunan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat.
3. Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu
4. Telaah mengenai saling kaitan diantara berbagai ilmu
5. Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan
dengan penerapan dan pemahaman manusia terhadap realitas hubungan logika dan
matematika dengan realitas.[8]
1. Cornelius Benyamin merumuskan filsafat ilmu ke dalam tiga bidang
kajian merumuskan filsafat ilmu ke dalam tiga bidang kajian, yaitu
2. Telaah mengenai metode ilmu, telaah ini banyak menyangkut logika da teori
pengetahuan dan teori umum tentang tanda.
3. Penjelasan mengenai konsep dasar, dan pangkal pendirian ilmu, berikut
landasan-;andasan empiris, rasional atau pragmatis yang menjadi
tumpuannya.
1. Edward Madden, merumuskan lingkup filsafat ilmu kedalam tiga
bidang kajian yaitu, probabilitas, induksi, dan hipotesis
2. Ernes Nagel memberikan rumusan ruang lingkup filsafat ilmu ke
dalam tiga bidang kajian yaitu pola logis yang ditunjukkan oleh
penjelasan dalam ilmu, pembentukan konsep ilmiah dan pembuktian
keabsahan kesimpulan sifat ilmiah.

Dengan memperhatikan pendapat para ahli diatas maka dapat diambil kesimpulan ruang
lingkup filsafat ilmu mencakup dua pokok bahasan utama yaitu membahas sifat-sifat
pengetahuan ilmiah (epistimologi) dan menelaah cara-cara mengusahakan pengetahuan
ilmiah (metodologi) sehingga filsafat ilmu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar
yaitu filsafat ilmu umum yang mencakup kajian tentang persoalan kesatuan, keseragaman,
serta hubungan diantara segenap ilmu dan yang kedua filsafat ilmu khusus, yaitu kajian
filsafat ilmu yang membicarakan kategori-kategori serta metode yang digunakan dalam ilmu-
ilmu tertentu seperti kelompok ilmu alam, kelompok ilmu kemasyarakatan, kelompok ilmu
teknik dan sebagainya.

situs: www.rangkumanmakalah.com

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2004

Cecep Sumarna, Filsafat Umum, Pustaka Bani Quaranty,2006

Gie The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberty, 2004

Komara Endang, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Bandung, PT. Refika Aditama,
2011

S.Suriasumantri Jujun, Filsafat Ilmu, Jakarta Pustaka Sinar Harapan,1995

Susanto A. Filsafat Ilmu, Jakarta, Bumi Aksara, 2011

Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, Jogyakarta, Ar-Ruzz, 2004

_________Filsafat Modern, Jogyakarta,2000

Tafsir Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2006

[1] A. Susanto, Filsafat Ilmu (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 49


[2] Ibid.,50

[3] Ibid

4 Jujun S Sumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinara Harapan, 1995), 33.

[5] H. Endang Komara, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2011) , 15

[6] Amsal Bakhtiar,Filsafat Ilmu (Bandung: PT. Raja Grafindo Persada,2011),20

[7] Susanto,Filsafat Ilmu, 55.


Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Ilmu

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP


FILSAFAT ILMU
Oleh Salwinsah
A. Pendahuluan
Konsep dasar filsafat ilmu adalah kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsi serta
kaitannya dengan implementasi kehidupan sehari-hari. Berikutnya dibahas pula tentang
karakteristik filsafat, ilmu dan pendidikan serta jalinan fungsional antara ilmu, filsafat dan
agama. Pembahasan filsafat ilmu juga mencakup sistematika, permasalahan, keragaman
pendekatan dan paradigma (pola pikir) dalam pengkajian dan pengembangan ilmu dan
dimensi ontologis, epistomologis dan aksiologis. Selanjutnya dikaji mengenai makna,
implikasi dan implementasi filsafat ilmu sebagai landasan dalam rangka pengembangan
keilmuan dan kependidikan dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik
pendekatan kuantitatif dan kualitatif, maupun perpaduan kedua-duanya.
Filsafat dan ilmu pada dasarnya adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial
maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Filsafat telah
merubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris
menjadi logosentris. Perubahan pola pikir tersebut membawa perubahan yang cukup besar
dengan ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan
bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi, baik yang berkaitan dengan makro kosmos
maupun mikrokosmos. Dari sinilah lahir ilmu-ilmu pengetahuan yang selanjutnya
berkembang menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus
semakin aplikatif dan terasa manfaatnya. Filsafat sebagai induk dari segala ilmu membangun
kerangka berfikir dengan meletakkan tiga dasar utama, yaitu ontologi, epistimologi dan
axiologi. Maka Filsafat Ilmu menurut Jujun Suriasumantri merupakan bagian dari
epistimologi (filsafat ilmu pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu
(pengetahuan ilmiah). Dalam pokok bahasan ini akan diuraika pengertian filsafat ilmu, dan
obyek yang menjadi cakupannya.1)
B. Pembahasan
1. Pengertian Filsafat Ilmu
Istilah filsafat bisa ditinjau dari dua segi, semantik dan praktis. Segi semantik perkataan
filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang
berarti philos = cinta, suka (loving) dan Sophia = pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi
philosopia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya,
setiap orang yang berfilsafah akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan
disebut philosopher dalam bahasa Arab disebut failasuf. Dari segi praktis filsafat berarti alam
pikiran atau alam berfikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti
berfilsafat. Berfilsafat maknanya berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. 2)
Pengertian ilmu yang dikemukakan oleh Mohammad Hatta adalah pengetahuan yang teratur
tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun
menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam.
Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran mendefinikan ilmu adalah
akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan suatu pendekatan atau metode pendekatan
terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu yang
pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia. Suatu cara menganlisis yang
mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk:
“jika,….maka…” 3)
______________________________
1. http://gurutrenggalek.blogspot.com
2. H.A Mustofa, 2004, Filsafat Islam, hal. 9
3. http://filsafat-ilmu.blogspot.com

Menurut Robert Ackerman filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang
pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang
dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu
kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual. Lewis White Beck, memberi
pengertian bahwa filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran
ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Menurut A. Cornelius Benjamin filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafat yang
merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-
konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-
cabang pengetahuan intelektual. Michael V. Berry berpendapat bahwa filsafat ilmu adalah
penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara
percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.
Menurut May Brodbeck filsafat ilmu adalah analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu. Peter Caws Filsafat ilmu
merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat
seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam
hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan
menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat
memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi
keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan
kesalahan. 4)
_____________________________
4. http: //areknarsis.dagdigdug.com

Filsuf adalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan
mendalam. Ringkasnya filsafat adalah hasil akal seseorang manusia yang memikirkan dan
mencari suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Filsafat merupakan ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakekat kebenaran segala sesuatu.5)
Stephen R. Toulmin mengemukana bahwa sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba
pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan
perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi
praktis, dan metafisika.6)
Dari uraian di atas akan diperoleh suatu gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah
kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi
ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu,
seperti obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan
pengetahuan ? (Landasan ontologis)
________________________
5. H.A Mustofa, 2004, Filsafat Islam, hal. 9
6. http: //areknarsis.dagdigdug.com

Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?


Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan
yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu? (Landasan epistemologis)
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ?

2. Obyek Filsafat Ilmu


Imam Raghib al-Ashfahani mengatakan bahwa ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai
dengan hakekatnya. Ia terbagi dua, pertama mengetahui inti sesuatu itu, kedua menghukum
adanya sesuatu pada sesuatu yang ada atau menafikan sesuatu yang tidak ada, maksudnya
mengatahui hubungan sesuatu dengan sesuatu.7)
Louis Kattsoff mengatakan bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
beberapa hal saling melengkapi. Hanya saja bahasa yang dipakai dalam filsafat mencoba
untuk berbicarakan mengenai ilmu pengetahuan dan bukannya dalam ilmu pengetahuan.
_________________________
7. Yusuf Qardawi, 1998, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan
Ilmu Pengetahuan, hal. 88

Namun apa yang harus dikatakan oleh seorang ilmuan mungkin penting pula bagi seorang
filsuf.8)
Dari sudut pandang lainnya Raghib al-Asfahani mengatakan bahwa ilmu dapat pula dibagi
menjadi dua bagian yaitu ilmu rasional dan dokrinal. Ilmu rasional adalah ilmu yang didapat
dengan akal dan penelitian, sedangkan ilmu dokrinal merupakan ilmu yang didapatkan
dengan memberitakan wahyu dan nabi.9)
Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai dua macam obyek, yaitu obyek material dan obyek
formal. Obyek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh
adalah obyek material ilmu kedokteran. Adapun obyek formalnya adalah metode untuk
memahami obyek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif.
Filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan
obyek formal. Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik mencakup ada yang
tampak maupun ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedang ada
yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian filosuf membagi obyek material filsafat
atas tiga bagian, yaitu: yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam alam pikiran, dan yang
ada dalam kemungkinan. Adapun obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang
menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada.
________________________
8. H.A Mustofa, 2004, Filsafat Islam, hal. 14
9. Yusuf Qardawi, 1998, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan
Ilmu Pengetahuan, hal. 88

Dalam perspektif ini dapat diuraikan bahwa filsafat ilmu pada prinsipnya memiliki dua obyek
substantif dan dua obyek instrumentatif, yaitu:
1. Obyek Subtantif, yang terdiri dari dua hal
a. Fakta (Kenyataan)
Yaitu empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Dalam memahami fakta (kenyataan ini ada
beberapa aliran filsafat yang meberikan pengertian yang berbeda-beda, diantaranya adalah
positivisme, –ia hanya mengakui penghayatan yang empirik dan sensual. Sesuatu sebagai
fakta apabila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan yang sensual lainnya. Data
empirik sensual tersebut harus obyektif tidak boleh masuk subyektifitas peneliti–. Fakta itu
yang faktual ada phenomenology. Fakta bukan sekedar data empirik sensual, tetapi data yang
sudah dimaknai atau diinterpretasikan, sehingga ada subyektifitas peneliti.
Tetapi subyektifitas di sini tidak berarti sesuai selera peneliti, subyektif disini dalam arti tetap
selektif sejak dari pengumpulan data, analisis sampai pada kesimpulan.. Data selektifnya
mungkin berupa ide , moral dan lain-lain. Orang mengamati terkait langsung dengan
perhatiannya dan juga terkait pada konsep-konsep yang dimiliki. Kenyataan itu terkonstruk
dalam moral realism, sesuatu itu sebagai nyata apabila ada korespondensi dan koherensi
antara empiri dengan skema rasional.
Mataphisik sesuatu sebagai nyata apabila ada koherensi antara empiri dengan yang obyektif
universal. Yang nyata itu yang riil exsist dan terkonstruk dalam kebenaran obyektif. Empiri
bukan sekedar empiri sensual yang mungkin palsu, yang mungkin memiliki makna lebih
dalam yang beragam. Empiri dalam realisme memang mengenai hal yang riil dan memang
secara substantif ada. Dalam realisme metaphisik skema rasional dan paradigma rasional
penting.
Empiri yang substantif riil baru dinyatakan ada apabila ada koherensi yang obyektif
universal. Pragmatis, yang ada itu yang berfungsi, sehingga sesuatu itu dianggap ada apabila
berfungsi. Sesuatu yang tidak berfungsi keberadaannya dianggap tidak ada
Rasionalistik : Yang nyata ada itu yang nyata ada, cocok dengan akal dan dapat dibuktikan
secara rasional atas keberadaanya.10)

b. Kebenaran
Positivisme, benar substantif menjadi identik dengan benar faktual sesuatu dengan empiri
sensual. Kebenaran pisitivistik didasarkan pada diketemukannya frekwensi tinggi atau
variansi besar. Bagi positivisme sesuatu itu benar apabila ada korespondensi antara fakta
yang satu dengan fakta yang lain phenomenology, kebenaran dibuktikan berdasarkan
diketemukannya yang esensial, pilah dari yang non esensial atau eksemplar dan sesuai
dengan skema moral tertentu. Secara esensial dikenal dua teori kebenaran, yaitu teori
kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi. Bagi phenomenologi, phenomena
baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercaya. Realisme
Metaphisik, ia mengakui kebenaran bila yang faktual itu koheren dengan kebenaran obyektif
universal. Realisme, sesuatu itu benar apabila didukung teori dan ada faktanya. Realisme
baru menuntut adanya konstruk teori (yang disusun deduktif probabilisti) dan adanya empiri
terkonstruk pula. Islam, sesuatu itu benar apabila
________________________
10. http://gurutrenggalek.blogspot.com

yang empirik faktual koheren dengan kebenaran transenden berupa wahyu. Pragamatisme,
mengakui kebenaran apabila faktual berfungsi. Rumusan substantif tentang kebenaran ada
beberapa teori, menurut Michael Williams ada lima teori kebenaran, yaitu,
 Kebenaran Preposisi, yaitu teori kebenaran yang didasarkan pada kebenaran proposisinya
baik proposisi formal maupun proposisi materialnya.
 Kebenaran Korespondensi, teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada
adanya korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan (fakta yang satu dengan fakta
yang lain). Selanjutnya teori ini kemudian berkembang menjadi teori Kebenaran Struktural
Paradigmatik, yaitu teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada upaya
mengkonstruk beragam konsep dalam tatanan struktur teori (struktur ilmu/structure of
science) tertentu yang kokoh untuk menyederhanakan yang kompleks atau sering
 Kebenaran Koherensi atau Konsistensi, yaitu teori kebenaran yang medasarkan suatu
kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya
yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.
 Kebenaran Performatif, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu dianggap
benar apabila dapat diaktualisasikan dalam tindakan.
 Kebenaran Pragmatik, yaitu teori kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu benar
apabila mempunyai kegunaan praktis. Dengan kata lain sesuatu itu dianggap benar apabila
mendatangkan manfaat dan salah apabila tidak mendatangkan manfaat.

2. Obyek Instrumentatif yang terdiri dari dua hal:


a. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah untuk menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang
atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi
absolut dengan menggunakan landasan: asumsi, postulat atau axioma yang sudah dipastikan
benar. Pemaknaan juga dapat ditampilkan sebagai konfirmi probabilistik dengan
menggunakan metode induktif, deduktif, reflektif. Dalam ontologi dikenal pembuktian a
priori dan a posteriori. Untuk memastikan kebenaran penjelasan atau kebenaran prediksi para
ahli mendasarkan pada dua aspek: (1) Aspek Kuantitatif; (2) Aspek Kualitatif.Dalam hal
konfirmasi, sampai saat ini dikenal ada tiga teori konfirmasi, yaitu,
 Decision Theory, menerapkan kepastian berdasar keputusan apakah hubungan antara
hipotesis dengan evidensi memang memiliki manfaat aktual.
 Estimation Theory, menetapkan kepastian dengan memberi peluang benar – salah dengan
menggunakan konsep probabilitas.
 Reliability Analysis, menetapkan kepastian dengan mencermati stabilitas evidensi (yang
mungkin berubah-ubah karena kondisi atau karena hal lain) terhadap hipotesis.11)
_________________________

11. http://gurutrenggalek.blogspot.com

b. Logika Inferensi
Studi logika adalah studi tentang tipe-tipe tata pikir. Pada mulanya logika dibangun oleh
Aristoteles (384-322 SM) dengan mengetengahkan tiga prinsip atau hukum pemikiran, yaitu :
Principium Identitatis (Qanun Dzatiyah), Principium Countradictionis (Qanun Ghairiyah),
dan Principium Exclutii Tertii ((Qanun Imtina’). Logika ini sering juga disebut dengan logika
Inferensi karena kontribusi utama logika Aristoteles tersebut adalah untuk membuat dan
menguji inferensi. Dalam perkembangan selanjutnya Logika Aristoteles juga sering disebut
dengan logika tradisional. 12)
Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerapkan ilmu pengetahuan mengisi filsafat dengan
sejumlah besar materi aktual dan deskriptif yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat.
Banyak ilmuan yang juga filsuf. Para filosof terlatih dalam metode ilmiah dan sering pula
menuntut minat khusus dalam beberapa disiplin ilmu.13)

3. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu


Pada dasarnya , setiap ilmu memiliki dua macam objek , yaitu objek material dan objek
formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan,seperti tubuh
manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Filsafat sebagai proses berpikir yang
sistematis
_________________________
12. http://gurutrenggalek.blogspot.com
13. H.A Mustofa, 2004, Filsafat Islam, hal. 14
dan adil juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala
yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak.
Objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam
pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan adapun, objek formal,dan rasional adalah sudut
pandang yang menyeluruh, radiakl dan rasional tentang segala yang ada. Setelah berjalan
beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakain bercabang dan
berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang
peraktis.inilah peroses terbentuknya ilmu secara bersenambungan .Will Durant
mengibaratkan filsafat bagaikan pasukan mariner yang merebut pantai untuk pendaratan
pasukan infanteri. 14)
Pada bagian lain dikatakan bahwa filsafat dalam usahanya mencari jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan pokok yang kita ajukan harus memperhatikan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan dalam usahnya menemukan rahasia alam kodrat haruslah mengetahui anggapan
kefilsafatan mengenai alam kodrat tersebut. Filsafat mempersoalkan istilah-istilah terpokok
dari ilmu pengetahuan dengan suatu cara yang berada di luar tujuan dan metode ilmu
pengetahuan.15)
Karena itu filsafat oleh para filosofi disebut sebagai induk ilmu. Sebab,dari filsafat lah, ilmu-
ilmu moderen dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan
sekaligus buahnya, yaitu
_____________________________
14. http://bebenbernadi.wordpress.com
15. H.A Mustofa, 2004, Filsafat Islam, hal. 14

teknologi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan,tetapi sudah menjadi
sektoral. Contohnya, filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari
perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu.
Di sisi lain, perkembangan ilmu yang sangat cepat tidak saja membuat ilmu semakin jauh
dari induknya,tetapi juga mendorong munculnay arogansi dan bahkan kompartementalisasi
yang tidak sehat antara satu bidang ilmu dengan yang lain. Tugas filsafat di antaranya adalah
menyatukan visi keilmuan itu sendiri agar tidak terjadi bentrokan antara berbagi kepentingan.
Falsafat sepatutnya mengikuti alur filsafat, yaitu objek material yang didekati lewat
pendekatan radikal, menyeluruh dan rasional dan begitu juga sifat pendekatan spekulatif dalm
filsafat sepatutnya merupakan bagian dari ilmu. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu,
sehingga secara menyeluruh kita dapat memeahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.15)
Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan,dan kemajuan ilmu di berbagai
bidang,sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan
tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan non-ilmiah.
Mendorong pada calon ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan
mengembangkannya mempertegas bahwa dalam persoalan sumberdan tujuan antara ilmu dan
agama tidak ada pertentangan. Ilmu pada perinsipnya merupakan usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematiskan common sense, suatu pengetahuan yang berasal
dari pengalaman dan pengamatan dalam
_______________________
15. http://bebenbernadi.wordpress.com

kehidupan sehari-hari. Ilmu dapat merupakan suatu metode berfikir secara objektif (objective
thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia
faktual.pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat
kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan
kedalaman kajian tentang sesuatu. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu
ajaran tentang cara berhubungan dengan tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan
vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia,yang sering juga disebut dengan
hubungan horizontal.
Dari sisi lain Raghib al-Asfahani juga membagi ilmu sebagai ilmu teoritis dan aplikatif. Ilmu
teoritis berarti ilmu yang hanya membutuhkan pengetahuan tentangnya. Jika telah diketahui
berarti telah sempurna, seperti ilmu tentang keberadaan dunia. Sedangkan ilmu aplikatif
adalah ilmu yang tidak sempurna tanpa dipraktikkan, seperti ilmu tentang ibadah, akhlak dan
sebagainya.16
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena
manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-
sungguh. Dia memikirkan hal-hal baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan
hidup, namun lebih dari itu.manusia mengembangkan kebudayaan, manusia memberi makna
kepada kehidupan, manusia” memanusiakan diri dalam hidupnaya” dan masih banyak lagi
pernyataan semacam ini, semua itu pada hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia dalam
hidupnya mempunyai tujuan tertentu.
________________________
16. Yusuf Qardawi, 1998, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan
Ilmu Pengetahuan, hal. 88

Dengan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam pikiran. Kesulitan tersebut


adalah pendapat yang mengatakan bahwa tiap-tiap kejadian dapat diketahui hanya benar segi
subjektif. Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan yang positif, menurut Rasjidi,
umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda mempunyai satu sebab. Contohnya apa
yang menyebabkan Ahmad menjadi sakit.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Pada setiap
jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu
berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan
tentang alam fisik. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk
mencapai kebenaran namun masalahnya tidak hanya sampai di situ saja. Problem kebenaran
inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya espistemologi.17)

C. Kesimpulan
Filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada [realita] sedangkan
obyek material ilmu [pengetahuan ilmiah] itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu
hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak,
sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu
Filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada
itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik dan
intensif.
______________________
17. http://bebenbernadi.wordpress.com

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis,
karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Filsafat telah merubah pola pemikiran
bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Perubahan
pola pikir tersebut membawa perubahan yang cukup besar dengan ditemukannya hukum-
hukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan bagaimana perubahan-perubahan itu
terjadi, baik yang berkaitan dengan makro kosmos maupun mikrokosmos.
Dari sinilah lahir ilmu-ilmu pengetahuan yang selanjutnya berkembang menjadi lebih
terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa
manfaatnya. Filsafat sebagai induk dari segala ilmu membangun kerangka berfikir dengan
meletakkan tiga dasar utama, yaitu ontologi, epistimologi dan axiologi. Maka Filsafat Ilmu
merupakan bagian dari epistimologi (filsafat ilmu pengetahuan yang secara spesifik mengkaji
hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah)
2,antlg

Dalam filsafat ilmu terdapat tiga aspek yang juga perlu kita pelajari, yaitu:

1. Aspek Ontologi

Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya ilmu tentang yang ada.
Sedangkan, menurut istilah adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara
jasmani maupun secara rohani. Dalam aspek Ontologi diperlukan landasan-landasan dari
sebuah pernyataan-pernyataan dalam sebuah ilmu. Landasan-landasan itu biasanya kita sebut
dengan Metafisika.

Selain Metafisika juga terdapat sebuah asumsi dalam aspek ontologi ini. Asumsi ini berguna
ketika kita akan mengatasi suatu permasalahan. Dalam asumsi juga terdapat beberapa paham
yang berfungi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tertentu, yaitu: Determinisme
(suatu paham pengetahuan yang sama dengan empiris), Probablistik (paham ini tidak sama
dengan Determinisme, karena paham ini ditentukan oleh sebuah kejadian terlebih dahulu),
Fatalisme (sebuah paham yang berfungsi sebagai paham penengah antara determinisme dan
pilihan bebas), dan paham pilihan bebas. Setiap ilmuan memiliki asumsi sendiri-sendiri untuk
menanggapi sebuah ilmu dan mereka mempunyai batasan-batasan sendiri untuk
menyikapinya. Apabila kita memakai suatu paham yang salah dan berasumsi yang salah,
maka kita akan memperoleh kesimpulan yang berantakan.

1. Aspek Epistemologi

Aspek estimologi merupakan aspek yang membahas tentang pengetahuan filsafat. Aspek ini
membahas bagaimana cara kita mencari pengetahuan dan seperti apa pengetahuan tersebut.

Pengetahuan adalah jarum sejarah yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Semakin banyak ilmu yang kita pahami, semakin banyak khasanah kita. Dan pengetahuan
inilah yang menjadi batasan-batasan kita dalam menelaah suatu ilmu. Hal ini yang
mengakibatkan ilmu zaman dahulu dan zaman sekarang berbeda. Misalnya, ditinjau dari segi
ilmu teknologi. Teknologi zaman dahulu dan zaman sekarang sangat berbeda jauh. Maka
ilmu untuk menyikapi fenomena ini juga akan ikut berkembang dan semakin bertambah.

Dalam aspek epistemologi ini terdapat beberapa logika, yaitu: analogi, silogisme, premis
mayor, dan premis minor.

 Analogi, analogi dalam ilmu bahasa adalah persamaan antar bentuk yang menjadi
dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain.
 Silogisme, silogisme adalah penarikan kesimpulan konklusi secara deduktif tidak
langsung, yang konklusinya ditarik dari premis yang disediakan sekaligus.
 Premis Mayor, premis mayor bersifat umum yang berisi tentang pengetahuan,
kebenaran, dan kepastian.
 Premis Minor, premis minor bersifat spesifik yang berisi sebuah struktur berpikir dan
dalil-dalilnya.

Contohnya, premis mayor : semuaorang akhirnya akan mati.


premis minor : Hasan adalah orang

1. Aspek Aksiologi

Aspek aksiologi merupakan aspek yang membahas tentang untuk apa ilmu itu digunakan.
Menurut Bramel, dalam aspek aksiologi ini ada Moral conduct, estetic expresion, dan
sosioprolitical. Setiap ilmu bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan ilmu.
Namun, salah satu tanggungjawab seorang ilmuan adalah dengan melakukan sosialisasi
tentang menemuannya, sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan tersebut.
Dan moral adalah hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak orang yang
meminta permintaan, moral adalah sebuah tuntutan.

Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam
segala hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metidis, sistematis, dan universal.
Dan knowledge adalah keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman
maupun pemahanan dari suatu objek.

Sains merupakan kumpulan hasil observasi yang terdiri dari perkembangan dan pengujian
hipotesis, teori, dan model yang berfungsi menjelaskan data-data.

PARADIGMA DALAM ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

Paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu
sumber nilai), sehingga menjadi sumber hukum, metode, dan penerapan ilmu yang
menentukan sifat, ciri, dan karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Paradigma kemudian
berkembang menjadi sebuah sumber nilai, kerangka berpikir, orientasi dasar, dan sumber
asas. Singkatnya, paradigma adalah sesuatu yang dapat dibuktikan oleh panca ibdra manusia

PARADIGMA

Ilmu adalah pengertahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang pengetahuan tersebut. Ilmu biasanya mempelajari tentang aspek kehidupan
manusia, hubungan namusia dan antarmanusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Sedangkan Humaniora adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari apa yang diciptakan
manusia dan dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan alam. Yang dimaksud dengan
pertentangan disini adalah apabila kita mempelajari asal-usul manusia, kita akan mengatakan
manusia itu berasal dari Tuhan atau manusia itu ciptaan dari Tuhan saat kita meninjau dari
Humaniora, dan kita akan mengatakan manusia itu berasal dari revolusi kera saat kira
meninjau dari ilmu pengetahuan alam. Pada dasarnya saat kita mempelajari sesuatu dengan
humaniora tidak ada yang mampu menyangkal, karena humaniora dapat
mempertanggungjawabkan hasil dari sebuah pernyataannya.Hubungan antara paradigma dan
humaniora adalah paradigma merupakan dasar dari humaniora agar tidak melenceng..

Humaniora dapat membagi manusia menjadi beberapa tahap, yaitu homo animal, homo
erektus, homo safien, homo faber, homo luden, human, human being. Humaniora berfungsi
meminimalis probabilitas negatif.
Paradigma dan ilmu sosial saling berkaitan, ilmu sosial adalah sebuah kaidah yang mendasari
setiap disoplin ilmu. Ilmu selalu bersifat empiris. Dan untuk membuktikan kebenaran sebuah
ilmu tersebut dibutuhkan sebuah paradigma sebagai acuan dasar kebenarannya. Ilmu sosial
dan humaniora pun juga mempunyai hubungan, yaitu keduanya sebagai kaidah dasar cara
bernalar.

ILMUWAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Asalkan sesuatu itu memenuhi syarat-syarat dan ketentuan orang-
orang yang ada di wilayah tersebut, sesuatu itu langsung bisa diterima sebagai kumpulan ilmu
pengetahuan. Penciptaan suatu ilmu bersifat individu, sedangkan komunikasi dan
penggunaan ilmu bersifat sosial. Seorang yang menciptakan sebuah ilmu disebut ilmuwan.
Seorang ilmuwan berperan penting dalam kelangsungan kehidupan suatu masyarakat.
Dengan demikian, ilmuwan mempunyai tanggungjawab penting dalam dirinya karena setiap
makhluk hidup tidak dapat lepas dari sebuah tanggungjawab. Tanggungjawab seorang
ilmuwan lebih besar dari pada orang-oramg awam lainnya,karena seorang ilmuwan
mempunyai ilmu yang cukup diatas orang awam lainnya. Tanggungjawab seorang ilmuwan
ini tidak hanya mampu menelaah ilmu tetapi juga harus ikut bertanggungjawab atas
kelangsungan sebuah ilmu tersebut digunakan, sehingga ilmu tersebut dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat dalam kehidupannya.

1. Pengertian ilmu

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerapkankan gejala-gejala tertentu dibidang pengetahuan tersebut, seperti ilmu hukum,
pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya. Menurut Mohammad Hatta ilmu adalah
pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan lam suatu hukum sebab-akibat dalam suatu
golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya maupun menurut
hubungannya. Dapat disimpulkan ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun
secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu

2. Pengertian ilmuwan

Ilmuan bermakna ahli atau pakar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ilmuwan
bermakna orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu, atau orang
yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan. Dari beberapa pendapat ilmuwan merupakan
orang yang melakukan kegiatan atau aktivitas dalam kaitannya bidang keilmuwan. Istilah
ilmuan dipakai untuk menyebut aktivitas seseorang untuk menggali permasalahan ilmuwan
secara menyeluruh dan mengeluarkan gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja
mereka kepada dunia dan juga untuk berbagi hasil penyelidikan tersebut kepada masyarakat
awam, karena mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada di pundaknya.

Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang
dilakukan. Apabila dalam suatu masyarakat terdapat suatu masalah, seorang ilmuwanlah yang
mempunyai peran imperatif karena seperti dikatakan diatas, dia mempunyai latar ilmu yang
cukup untuk menempatkan masalah tersebut dalam proporsi yang sebenarnya. Namun dalam
bidang lain, seorang ilmuwan juga akan dihadapkan dengan masalah-masalah yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat umum dan kehidupan yang akan datang. Tanggungjawab sosial
seorang ilmuwan juga termasuk bagaimana menyelesaikan masalah dalam sebuah
masyarakat.

3. Ciri Ilmuawan

Seorang ilmuawan tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis tinggi, kejujuran, jiwa
terbuka, dan tekad besar dalam mencari atau menunjukkan kebenaran pada akhirnya, netral,
tetapi lebih dari semua itu ialah penghayatan terhadap etika serta moral ilmu dimana manusia
dan kehidupan itu harus pilihan juga sekaligus junjungan utama.

4. Syarat-Syarat yang harus Dipatuhi Seorang Ilmuwan

Seorang ilmuwan harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya:

a. Prosedur ilmiah

b. Metode ilmiah

c. Adanya suatu gelar yang berdasarkan pendidikan formalnya yang ditempuh

Kejujuran ilmuwan, yakni suatu kemauan yang besar, ketertarikan pada perkembangan Ilmu
Pengetahuan terbaru dalam rangka profesionalitas keilmuannya.

5. Pengertian Tanggung Jawab Sosial

Dalam Bahasa inggris, responsibiliti; dari latin responsum (jawaban konsep tanggung jawab),
berdasarkan ide-ide sebagai berikut:

a. Kewajiban.

Terdapat tindakan-tindakan yang harus dan dapat dijalankan oleh makhluk hrasional.

b. Liabilitas atau impulabilitas ( kemungkinan untuk digugat).

Kelalaian seseorang terhadap tindakan ini dapat dikenakan hukuman.

c. Ketaatan seseorang terhadap tindakan-tindakan ini berkaitan dengan ganjaran


(penghargaan, pujian).

Aturan Dari ketiga ide di atas didasarkan pada pandangan bahwa.

 Motif-motif manusia merupaka sebab perilaku;


 Motif-motif itu dapat dikondisikan (dikontrol, dipengaruhi, dan disesuaikan) oleh hal-
hal seperti: ganjaran dan hukuman.
 Motif- motif ini harus dan layak dikondisikan.

Masalah yang kadang terjadi dalam kehidupan dewasa ini adalah demonstrasi yang dimana
masyarakat mengekspresikan pendapatnya di depan umum, namun terkadang menimbulkan
kerusuhan, atau remaja yang melakukan penyimpangan sosial dengan melakukan kenakalan-
kenakalan remaja. Seorang ilmuwan harus mampu mengidentifikasi kemungkinan
permasalahan sosial yang berkembang berdasarkan permasalahan sosial yang sering terjadi
dimasyarakat. Seorang ilmuwan harus mampu bekerjasama dengan masyarakat umum yang
mana dimasyarakat tersebut sering terjadi permasalahan sosial sehingga ilmuwan tersebut
dapat merumuskan jalan keluar yang akan dilakukan.

Namun, bagaimana seorang ilmuwan harus bersikap ketika menghadapi sebuah pemikiran
yang telah keliru dalam masyarakat? Seorang ilmuwan tidak akan menolak maupun
menerima suatu pemikiran begitu saja sebelum dia meneliti dan mencermati pemikiran
tersebut sebelumnya. Dan disinilah yang sangat membedakan orang awam dengan seorang
ilmuwan. Dia akan berbicara kepada masyarakat saat dia mengetahui sebuah pemikiran yang
salah tersebut. Dia akan menjelaskan dimana kesalah pemikiran tersebut, menjelaskan
konsekuensi apa yang akan diterima jika menggunakan pemikiran tersebut, dan akan
menjelaskan pula pemikiran apa yang benar.

6. Hubungan Ilmu dengan Ilmuwan

Ilmu dan ilmuwan merupakan satu kesatuan atau sebab akibat, yaitu ilmuwan mencari,
menemukan, menerapkan pengetahuannya yang terbentuk dalam sebuah teori atau ilmu.
Ilmuwan dan tanggung jawab sosial pemikiran tersebut, menjelaskan konsekuensi apa yang
akan diterima jika mengguanakan pikiran tersebut, dan akan menjelaskan pula pemikiran apa
yang benar. Ilmuwan bertanggung jawab dalam hal memberikan ramalan-ramalan
berdasarkan pengetahuannya mengenai permasalahan-permasalahan yang sedang menggejala
maupun yang tersimpan dalam kehidupan masyarakat. Ilmuwan dalam rangka itu bukan saja
mengendalikan pengetahuan dan daya isinya, namun juga integritas kepribadiannya dalam
suatu kehidupan sosial yang luas dan mendalam.

Logika, Etika, dan Estetika

1. Pengertian Logika, Etika, dan Estetika

1.1 Logika

Logika merupakan cabang filsafat yang berpangkal pada penalaran, dan sekaligus juga
sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi sebagai dasar filsafat dan
sarana ilmu,maka logika merupakan “jembatan penghubung” antara filsafat dan ilmu, yang
secara terminologis logika didefinisikan: Teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan
pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu
kesimpulan.

Logika adalah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus. Ilmu pengetauan ini
menguraikan tentang aturan – aturan serta cara – cara untuk mencapai kesimpulan.

Berdasarkan proses penalaran dan juga sifat kesimpulan yang dihasilkannya, logika
dibedakan atas logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif adalah sistem penalaran
yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya serta
kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikirnya. Dalam
logika ini yang terutama ditelaah adalah bentuk dari kerjanya akal jika telah runtut dan sesuai
dengan pertimbangan akal yang dapat dibuktikan tidak ada kesimpulan lain karena proses
penyimpulannya adalah tepat dan sah. Logika induktif adalah sistem penalaran yang
menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu
kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Kesimpulan hanya bersifat probabilitas
berdasarkan atas pernyataan – pernyataan yang telah diajukan. Bagi logika deduktif ada
perangkat aturan yang dapat diterapkan ampir – ampir secara otomatis, sedangkan bagi logika
induktif tidak ada aturan – aturan yang demikian itu kecuali hukum – hukum probabilitas.
Sejarah Perkembangan Logika :

 Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM), sebagai sebuah ilmu
tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan.
Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan
“dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon,
terdiri atas enam bagian.
 Theoprastus (371-287 sM), memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah
penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi
dari setiap kesimpulan. Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di
Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini
disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas
lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang
biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
 Tokoh logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir
dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai
bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan
memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru
sehingga menjadi delapan bagian.
 Petrus Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak,
seperti All-Akhdari dalam dunia Islam, dan bukunya itu menjadi buku dasar bagi
pelajaran logika sampai abad ke-17. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula
mempergunakan berbagai nama untuk sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan
bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus Hispanus
mengenai logika ini bernama Summulae.
 Francis Bacon (1561-1626 M) melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan
menganjurkan penggunaan sistem induksi secara lebih luas. Serangan Bacon terhadap
logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat, kemudian
perhatian lebih ditujukan kepada penggunaan sistem induksi.
 Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di antaranya
adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-
pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah
melakukan analisis. Demikian juga Leonard Euler, seorang ahli matematika dan
logika Swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan
lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan
sebutan circle-Euler.
 John Stuart Mill pada tahun 1843 mempertemukan sistem induksi dengan sistem
deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan
sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil-
hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagian-
bagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri
merumuskan metode-metode bagi sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four
Methods.
 Logika Formal sesudah masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan ulasan-
ulasan baru tentang logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang
baru yang disebut dengan Logika-Simbolik. Pelopor logika simbolik pada dasarnya
sudah dimulai oleh Leibniz.
 Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de Morgan.
Boole secara sistematik dengan memakai simbol-simbol yang cukup luas dan metode
analisis menurut matematika, dan Augustus De Morgan (1806-1871) merupakan
seorang ahli matematika Inggris memberikan sumbangan besar kepada logika
simbolik dengan pemikirannya tentang relasi dan negasi.
 Tokoh logika simbolik yang lain ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha
menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram lingkaran-
lingkaran yang kini terkenal sebagai diagram Venn (Venn’s diagram) untuk
menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari
silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum atau menyisihkan di antara
subjek dan predikat yang masing-masing dianggap sebagai himpunan.Perkembangan
logika simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 dengan terbitnya 3 jilid
karya tulis dua filsuf besar dari Inggris Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur
William Russell berjudul Principia Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992
halaman. Karya tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica memberikan
dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.
 Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada
perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-
pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku
berbahasa Arab. Pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang
sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan
teori himpunan.

1.2 Etika

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat


internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul.
Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan
sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain.

Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang
terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya
serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari
tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.

Etika marupakan cabang aksiologi yang pada intinya membicarakan predikat – predikat nilai
benar dan salah. Sebagai pokok bahasan yang khusus, etika membicarakan sifat – sifat yang
menyebabkan orang dapat disebut susila atau bajik.

Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti
norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang
baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :

– Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam

berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.


– Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku
perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang

dapat ditentukan oleh akal.

– Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan
norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

Etika lebih bersangkutan dengan pembicaraan mengenai prinsip – prinsip pembenaran


dibandingkan dengan pembicaraan yang bersangkutan dengan keputusan – keputusan yang
sungguh – sungguh telah diambil. Etika tidak memberikan pedoman – pedoman terperinci
atau ketentuan – ketentuan yang tegas serta tetap mengenai bagaimana caranya idup secara
bijak.

Istilah etika dipakai dalam dua macam arti. Arti pertama dimaksudkan sebagai suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan – perbuatan manusia. Arti
kedua merupakan predikat yang dipakai untuk membedakan hal – hal, perbuatan – perbuatan,
atau manusia – manusia tertentu dengan hal – hal, perbuatan – perbuatan, atau manusia –
manusia yang lain.

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi


manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari.
Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam
menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang
tindakan apa yang perlu kita lakukan.

1.3 Estetika

Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Hakikat keindahan dinamakan estetika. Secara
sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, meskipun demikian, estetika
mempersoalkan pula teori – teori mengenai seni, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana
seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut estetika adalah sebuah filosofi yang
mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen
dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. sesuai dengan
aspek atau sisi kehidupan manusianya.

2. Peran Logika,Etika, dan Estetika dalam Ilmu

2.1 Peran Logika dalam Ilmu

Untuk menemukan suatu kebenaran kita menggunakan logika yang pada dasarnya terdiri dari
angkah- langkah sebagai berikut.

1. Perumusan masalah : yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas- batasnya, serta dapat diidentifikasikan faktor- faktor yang terkait di dalamnya.
2. Penyusunan kerangka berfikir dalam mengajukan hipotesis : yang merupakan
agumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka
berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis- premis ilmiah yang telah
teruji kebenaannya dengan memperhatikan faktor- faktor empiris yang relefan dengan
permasalahannya.
3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berfikir yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta- fakta yang relefan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta- fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penelitian apakah sebuah hipotesis yang
diajukan ditolak atau diterima.Hipotesis yang diterima dianggar menjadi pengetahuan
karena telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni telah teruji kebenarannya.

Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara
konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris dengan tahapan- tahapan yang
menggunakan logika. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolute melainkan
kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.

2.2 Peran Etika dalam Ilmu

1. Dari sudut multikulturalisme, pertanyaan tentang makna perilaku orang lain


merupakan salah satu pertanyaan pertama yang harus disampaikan sebagaiman yang
telah kita ketahui, ciri utama kepekaan multikultural adalah kesadaran bahwa orang
lain melakukan sesuatu yang berbeda ari cara kita sendiri dan cara- cara kelompok
kita dalam melakukan segala sesuatu. Anda tidak dapat mengasumsikan bahwa apa
yang anda maksud dengan tutur atau isyarat atau praktik itu tidaklah sama dengan
yang dimaksudkan orang lain. Akibatnya kaidah utama multikulturalisme adalah
sesuatu dihadapkan pada perilaku orang lain. Janganlah memberikan pra anggapan
bahwa perilaku itu memiliki maksut yang sama seperti saat anda memperlihatkan
perilaku tersebut, hendaknya selalu menanyakan apa maksut perilaku itu/? Dengan
pra anggapan bahwa makna ini kemungkinan berbeda dari apa yang tampak sekilas.
2. Tindakan manusia merupakan gambaran sipa dirinya karena adanya makna yang
diungkapkannya.
3. Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah
manusia yang memilki penalaran tinggi lalu makin berbudi? Sebab moral mereka
dilandasi analisis yang hakiki ataukah malah sebaliknya, makin cerdas maka makin
pandai pula kita berdusta? Manusia sangat berhutang pada ilmu dan teknogi.
4. Menurut faham yunani bentuk tertinggi dari ilmu adalah kebijaksanaan. Bersama itu
terlihat sikap etika. Di zaman yunani itu etika dan politik saling berjalan erat.
Kebiksanaan politik mengajarkan bagaimana manusia harus mengalahkan Negara.
Sebaliknya, ilmu tidak mengubah apa- apa. Nilai dari ilmu terletak pada
penerapannya.

2.3 Peran Estetika dalam Ilmu

Estetika merupakan nilai- nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-
pengalaman kita yang berhubunagn dengan seni. Hasil- hasil ciptaan seni didasarkan atas
prinsip- prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dan sebagainya.

Adapun yang mendasari filsafat pendidikan dan estetika pendidikan adalah lebih
menitikberatkan kepada “Predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni dalam dunia
pendidikan sebagai mana diungkapkan oleh Rundall dan Buchler mengemukakan ada tiga
interpretasi tentang hakikat seni :

1. Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman


2. Seni sebagai alat kesenangan
3. Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman

Namun lebih jauh dari itu untuk dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan
penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan
estesis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan coba dilihat dari perspektif yang mengikut
sertakan kepentingan masing-masing pihak baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta
masyarat luas. Ini berarti pendidikan diorientasikan pada upaya menciptakan suatu
kepribadian yang kreatif, berseni.

3. Yang Mempengaruhi Logika, Etika, dan Estetika dalam Ilmu

3.1 Logika

Seperti diketahui penalaran merupakan suatu proses yang menghasilkan pengetahuan, yang
harus dipertanggungjawabkan, maka penarikan kesimpulan yang valit harus didapat dengan
cara tertentu, Dalam berfikir kita memerlukan sebuah penalaran itu yang sejalan dengan akal
pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Hal demikianlah kata
logika itu ada. Dalam usaha untuk memasarkan fikiran-fikirannya serta pendapat-
pendapatnya. Filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran yang lain
dengan menenjukkan kesesatan penalarannya. Logika digunakan untuk melakukan
pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Dengan
adanya sebuah pemikiran hingga menghasilkan suatu penarikan kesimpulan yang disebut
dengan logika tersebut, harus mempunyai kefaliditasan sebuah argumen yang ditentukan oleh
bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis
argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti-bukti yang diberikan ( premis ). Di
dalam mengahasilkan suatu kesimpulan terdapat dua cara yakni : penelaran diduktif dan
penalaran induktif

 Penalaran Deduktif merupakan penalaran yang membangun atau mengefaluasi


argument deduktif. Argument deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik/
merupakan konsekwensi logis dari premis-premisnya. Argument dinyatakan falid atau
tidak falid, bukan benar atau salah. Dinyatakan falid, jika kesimpulannya merupakan
konsekwensi logis dari premisnya.

Contoh : 1. Setiap mamalia mempunyai sebuah jantung

2. Semua kuda adalah mamalia

3. Setiap kuda mempunyai sebuah jantung ( kesimpulan).

 Penalaran induktif merupakan penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta


khusus untuk mencapai kesimpulan umum

Contoh : 1. Kuda sumba mempunyai sebuah jantung


2. Kuda Autralia mempunyai sebuah jantung

3. Kuda Amerika mempunyai sebuah jantung

4. Kuda Inggris mempunyai sebuah jantung

5. Setiap kuda memiliki sebuah jantung

Berikut yang mem bedakan penalaran deduktif dan induktif

Deduktif Induktif
 Jika semua benar, maka kesimpulan
pasti benar
 Semua informasi atau fakta pada
kesimpulan sudah ada, sekarang-
sekarangnya secara implisit dalam
premis
 Jika premis benar, kesimpulan
mungkin benar, tapi tidak pasti.
 Kesimpulan memuat informasi yang
tidak ada bahkan secara implicit, dalam
premis.

Sebuah logika dipengaruhi dari kenyataan- kenyataan umum yang ada dalam kehidupan kita.
Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta
melainkan esensi dan fakta- fakta tersebut. Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta-
fakta yang dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari objek
tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar yang menyangga ujud fakta tersebut.

3.2 Etika

Etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan juga mengenai hak dan
kewajiban moral. Etika berlaku dalam kehidupan bermasyarakat ada sudah turun- temurun
seperti sudah ada suatu ketetapan menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Penetapan dalam etika dipengaruhi oleh kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Di mana
kebiasaan itu merupakan suatu peristiwa fakta yang sering terjadi dansecara tidak langsung
menjadi suatu etika.

3.3 Estetika

Estetika mempunyai suatu pengertian keindahan yang mana setiap orang


berbeda menyikapinya. Cabang ilmu filsafat ini sangatlah dekat dengan filosofi ini. Estetika
ini bisa diwujudkan berupa suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan
turut mempengaruhi penilaian terhadap keindahan itu sendiri. Jadi yang mempengaruhi
estetika bergantung pada individu masing- masing.

4 Hubungan Logika, Etika dan Estetika dalam Ilmu


Sebelum kita mengetahui dan mempelajari lebih jauh antara hubungan Logika, Etika dan
Estetika dengan ilmu terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian ketiga unsur tersebut ,
dan beberapa pengertiannya adalah sebagai berikut.

 Logika :

Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar


pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir
itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap shahih
(valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut.
Cara penarikan kesimpulan tersebut dinamakan logika, dimana logika secara luas dapat
didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara shahih.

Oleh karena itu cukup jelas bahwa logika merupakan pengetahuan tentang kaidah berpikir
dengan jalan pikiran yang masuk akal , dan logika merupakan suatu penalaran dimana setelah
itu akan muncul suatu metafisis “benar atau salah.”

 Etika :

Adalah perilaku terhadap kesantunan atau tata krama yang terikat oleh hukum sosial. Sesuatu
yang dianggap baik atau buruk didalam etika sangat bergantung pada budaya masing-masing
individu atau bisa dikatakan bahwa etika selalu bersikap normatif (sesuai dengan norma yang
berlaku). Etika juga menjelaskan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

 Estetika :

Cabang dari filsafat yang membahas dan menelaah tentang seni dan keindahan serta
tanggapan manusia terhadapnya dalam kata lain yang indah atau yang jelek. Estetika
berhubungan erat dengan proses timbal balik antara subyek dan obyek untuk memperoleh
kesenangan. Estetika (keindahan) merupakan proses diakteki yang serasi antara beberapa
unsur, yaitu diri kita, manusia lain, lingkungan dan alam. Untuk dapat memperoleh estetika
yang dianggap benar ketiga unsur tersebut tidak dapat dilupakan.

Dari ketiga definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa logika, etika, dan estetika saling
berhubungan erat dalam pembentukan ide yang dituangkan dan dikelola berdasarkan logika .
Dalam mempelajari ilmu-ilmu untuk mendapatkan kejelasan dan tidak ada keraguan
landasan, logika harus diterapkan untuk dijadikan sebagai pedoman. Jika memang ilmu itu
benar maka benar dan jika salah maka kita gunakan ilmu yang benar. Sehingga dalam
prosesnya kita dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Yang kedua etika dlam
proses mempelajari ilmu unsur etika sangat mendukung sebab etika berhubungan langsung
dengan norma dan budaya . Dalam mempelajari ilmu kita harus memperhatikan perilaku kita
dan jangan sampai ilmu yang kita miliki merugikan dan bahkan merusak norma dan
kebudayaan yang kita miliki. Jika hal tersebut terjadi maka sanksi sosial lah yang akan kita
terima. Dan yang terakhir adalah nilai estetika (keindahan). Ilmu akan lebih bermanfaat , jika
bisa disebut ilmu itu indah, maksudnya ilmu dapat diterima dari beberapa unsur keindahan
diri kita sendiri, manusia lain, dan alam serta lingkungan.

Dalam filsafat ilmu terdapat tiga aspek yang juga perlu kita pelajari, yaitu:
1. Aspek Ontologi

Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya ilmu tentang yang ada.
Sedangkan, menurut istilah adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara
jasmani maupun secara rohani. Dalam aspek Ontologi diperlukan landasan-landasan dari
sebuah pernyataan-pernyataan dalam sebuah ilmu. Landasan-landasan itu biasanya kita sebut
dengan Metafisika.

Selain Metafisika juga terdapat sebuah asumsi dalam aspek ontologi ini. Asumsi ini berguna
ketika kita akan mengatasi suatu permasalahan. Dalam asumsi juga terdapat beberapa paham
yang berfungi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tertentu, yaitu: Determinisme
(suatu paham pengetahuan yang sama dengan empiris), Probablistik (paham ini tidak sama
dengan Determinisme, karena paham ini ditentukan oleh sebuah kejadian terlebih dahulu),
Fatalisme (sebuah paham yang berfungsi sebagai paham penengah antara determinisme dan
pilihan bebas), dan paham pilihan bebas. Setiap ilmuan memiliki asumsi sendiri-sendiri untuk
menanggapi sebuah ilmu dan mereka mempunyai batasan-batasan sendiri untuk
menyikapinya. Apabila kita memakai suatu paham yang salah dan berasumsi yang salah,
maka kita akan memperoleh kesimpulan yang berantakan.

1. Aspek Epistemologi

Aspek estimologi merupakan aspek yang membahas tentang pengetahuan filsafat. Aspek ini
membahas bagaimana cara kita mencari pengetahuan dan seperti apa pengetahuan tersebut.
Pengetahuan adalah jarum sejarah yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Semakin banyak ilmu yang kita pahami, semakin banyak khasanah kita. Dan pengetahuan
inilah yang menjadi batasan-batasan kita dalam menelaah suatu ilmu. Hal ini yang
mengakibatkan ilmu zaman dahulu dan zaman sekarang berbeda. Misalnya, ditinjau dari segi
ilmu teknologi. Teknologi zaman dahulu dan zaman sekarang sangat berbeda jauh. Maka
ilmu untuk menyikapi fenomena ini juga akan ikut berkembang dan semakin bertambah.
Dalam aspek epistemologi ini terdapat beberapa logika, yaitu: analogi, silogisme, premis
mayor, dan premis minor.

 Analogi, analogi dalam ilmu bahasa adalah persamaan antar bentuk yang menjadi
dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain.
 Silogisme, silogisme adalah penarikan kesimpulan konklusi secara deduktif tidak
langsung, yang konklusinya ditarik dari premis yang disediakan sekaligus.
 Premis Mayor, premis mayor bersifat umum yang berisi tentang pengetahuan,
kebenaran, dan kepastian.
 Premis Minor, premis minor bersifat spesifik yang berisi sebuah struktur berpikir dan
dalil-dalilnya.

Contohnya, premis mayor : semuaorang akhirnya akan mati.


premis minor : Hasan adalah orang

1. Aspek Aksiologi

Aspek aksiologi merupakan aspek yang membahas tentang untuk apa ilmu itu digunakan.
Menurut Bramel, dalam aspek aksiologi ini ada Moral conduct, estetic expresion, dan
sosioprolitical. Setiap ilmu bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan ilmu.
Namun, salah satu tanggungjawab seorang ilmuan adalah dengan melakukan sosialisasi
tentang menemuannya, sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan tersebut.
Dan moral adalah hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak orang yang
meminta permintaan, moral adalah sebuah tuntutan.
Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam
segala hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metidis, sistematis, dan universal.
Dan knowledge adalah keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman
maupun pemahanan dari suatu objek.

ONTOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU


1. PENGERTIAN ONTOLOGI
Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika dan
perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu yang lain, yang
biasanya mengalami percabangan. Filsafat sebagi suatu disiplin ilmu telah melahirkan tiga
cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan
(epistimologi), dan teori nilai (aksiologi
Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang
menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi
benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic. Jadi,
ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Membahas tentang yang ada, yang universal, dan menampilkan pemikiran semesta universal.
Berupaya mencari inti yang temuat dalam setiap kenyataan, dan menjelaskan yang ada yang
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya
Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin
kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian
mengenai yang “ada
Menurut Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan.
Karena itu, disebut ilmu hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama, ontologi
mempersoalkan tentang Tuhan Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan
ontologi berasal dari kata yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud, tentang
hakikat yang ada. Ontologi tak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada logika
semata-mata
Jadi dapat disimpulkan bahwa:

 Menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada, dan
Logos=ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
 Menurut islitah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality, baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun
rohani/abstrak.

2. ALIRAN-ALIRAN ONTOLOGI
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-
aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang
mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”,
“Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is
being

1. Apakah yang ada itu? (What is being?)

Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :

1. Aliran Monoisme

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani.
Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya
merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato
adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa
alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson
disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :

 Materialisme

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini
sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan
dan satu-satunya fakta
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia
berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander
(585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara
merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa
hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat
halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam
Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[10] Aliran ini
menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini,
sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi
aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu.
Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran
sejati.[11]
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori
idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari
tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari
alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[12]

1. Aliran Dualisme

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam
hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan
keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat
modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia
ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan
Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan
metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian
Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried
Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M
Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang
menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua
entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah,
air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap,
yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.

1. Aliran Nihilisme

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang
tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan
Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada
pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama,
tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga,
sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang
lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya
dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan
pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.

1.Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat
materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang
berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum
dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan
yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren
Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat
Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku
umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke
dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang
mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang
dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M),
yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan
entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham
pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik
materi maupun ruhani.
Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini,
Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini
dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini
dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.

1. Di manakah yang ada itu? (Where is being?)

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal,
tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang
ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.
3. MANFAAT MEMPELAJARI ONTOLOGI
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di
antaranya sebagai berikut:

1. Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem


pemikiran yang ada.
2. Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi.
3. Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan
maupun masalah, baik itu sains hingga etika
4. Dari penjelasan tersebut, penyusun dapat menyimpulkan bahwa ontologi merupakan
salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi
berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai keberadaan.
Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang hakikat dari sutu benda/sesuatu.
Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang sementara,
menipu, dan berubah). Misalnya, pada model pemerintahan demokratis yang pada
umumnya menjunjung tinggi pendapat rakyat, ditemui tindakan sewenang-wenang
dan tidak menghargai pendapat rakyat. Keadaan yang seperti inilah yang dinamakan
keadaan sementara dan bukan hakiki. Justru yang hakiki adalah model pemerintahan
yang demokratis tersebut.

Dalam ontologi ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme,


dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme. Monoisme adalah paham yang
menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal sesuatu itu bisa berupa
materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh). Dualisme adalah aliran yang berpendapat
bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat (hakikat materi dan ruhani, hakikat benda dan ruh,
hakikat jasad dan spirit). Pluralisme adalah paham yang mengatakan bahwa segala hal
merupakan kenyataan. Nihilisme adalah paham yang tidak mengakui validitas alternatif yang
positif. Dan agnostisisme adalah paham yang mengingkari terhadap kemampuan manusia
dalam mengetahui hakikat benda.
Jadi, dapat disimpulakan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang
sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat tentang apa dan
bagaimana yang “ada” itu. Adapun monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan
agnostisisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologi yang pada akhirnya
menentukan pendapat dan kenyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana yang
“ada” itu.

[1] Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy. 2006. hlm. 47.
[2] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 132.
[3] Wibisono. Filsafat Ilmu. 2008. (Online), (http://cacau.blogsome.com, diakses 20 Maret
2008)
[4] Jujun S. Suriasumantri. Pengantar Ilmu dalam Perspektif, cet. VI. Jakarta: Gramedia.
1985. hlm. 5
[5] Sidi Gazalba. Sistimatika Filsafat Pengantar kepada Teori Pengetahuan, buku II, cet. I.
Jakarta: Bulan Bintang. 1973. hlm. 106.
[6] Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama I, cet. I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. hlm. 169.
[7] M. Zainuddin. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintar Pustaka
Publisher. 2006. hlm. 25.
[8] Sunarto. Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset. 1983. hlm.
70.
[9] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 1996. hlm. 64.
[10] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 138.
[11] Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy. 2006. hlm. 48.
[12] Harun Nasution. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1982. hlm. 53.
[13] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 142.
[14] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 148.
[15] M. Zainuddin. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintas Pustaka
Publisher. 2006. hlm. 26.
[16] Farina Anis. Ontologi Islam. 2007. (Online), (http://permenungan.multiply.com, diakses
20 Maret 2008)

Pengetahuan Sains; Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi


Filsafat ilmu memiliki cabang filsafat yang beraneka ragam. Salah satu cabang filsafat yang
akan dibahas pada makalah ini adalah pengetahuan sains. Filsafat erat kaitannya dengan
kehidupan manusia. Maka tak heran bahwa filsafat ilmu dijadikan sebagai “Mother of
Science” yang artinya adalah ibu dari semua pengetahuan.
Kata sains berasal dari bahasa latin ” scientia ” yang berarti pengetahuan, memandang dan
mengamati keberadaan (eksistensi) alam ini sebagai suatu objek. Berdasarkan Webster New
Collegiate Dictionary definisi dari sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui
pembelajaran dan pembuktian atau pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari
hukum -hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah.
Sains merupakan ilmu yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari.
Fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita merupakan salah satu dari bagian
pengetahuan sains yang terkadang kita sebagai manusia belum mengenal dan mengetahuai
lebih luas tentang fenomena alam tersebut. Contohnya adalah bagaimana manusia itu bisa
berkembang dari bayi hingga tua ynag dijelaskan dalam Biologi, bagaimana air laut itu terasa
asin ynag dijelaskan dalam pelajaran Kimia dan mengapa buah kelapa itu selalu jatuh ke
bawah yang dijelaskan dalam ilmu Fisika. Semua itu merupakan bagian dari ilmu
pengetahuan alam atau natural sience.
Dalam pengetahuan sains manusia tidak hanya menebak fenomena-fenomena alam tersebut
dengan sendirinya, namun diperlukan upaya atau langkah-langkah penyelidikan untuk
mencari kejelasan tentang gejala-gejala alam tersebut. Langkah tersebut adalah merumuskan
masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis
dan akhimya menyimpulkan.
Menyadari pentingnya peran dari filsafat ilmu dalam konteks pengetahuan sains maka
makalah ini menyebutkan beberapa hal tentang bagaiaman proses fenomena tersebut terjadi,
bagaimana hukum atau teori yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan, dan apakah hakikat
dari ilmu sains itu (ontologi, epistimologi dan aksiologi sains), bagaimana cara sains
menyelesaikan masalah, dan apa sajakah manfaat sains dalam kehidupan manusia. Hal
tersebut akan dibahas lebih luas dan mendalam dalam makalah ini.

DEFINISI SAINS
Sains pada prinsipnya merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan
pengamatan dalam kehidupan sehari-hari dan dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara
cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam
penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survey, studi kasus dan lain-lain). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa sains adalah gambaran yang lengkap dan konsisten tentang berbagai fakta
pengalaman dalam suatu hubungan yang mungkin paling sederhana (simple possible terms).
Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang
dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi di alam.
ONTOLOGI SAINS
Ontologi adalah salah satu bagian penting dalam filsafat yang membahas atau
mempermasalahkan hakikat-hakikat semua yang ada baik abstrak maupun riil. Ontologi di
sini membahas semua yang ada secara universal, berusaha mencari inti yang dimuat setiap
kenyataan meliputi semua realitas dalam segala bentuknya.
1) Sain Kealaman

 Astronomi;
 Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir;
 Kimia: kimia organik, kimia teknik;
 Ilmu Bumi: paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi, geografi;
 Ilmu Hayati: biofisika, botani, zoologi;

2) Sain Sosial
 Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan
 Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi politik.
 Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal;
 Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;
 Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional

3) Humaniora

 Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;


 Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin dapat
dimasukkan ke sain sosial);
 Filsafat: logika, ethika, estetika;
 Bahasa, Sastra;
 Agama: Islam, Kristen, Confusius;
 Sejarah: sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial).

EPISTIMOLOGI SAINS
Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah
sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan
hampir bersamaan dengan itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.

1. 1. Objek pengetahuan sains

Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tetumbuhan, hewan, dan
manusia, serta kejadian-kejadian di sekitar alam, tetumbuhan, hewan dan manusia itu;
semuanya dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul teori-teori sain. Teori-teori itu
berkelompok atau dikelompokkan dalam masing-masing cabang sain.

1. 2. Cara memperoleh pengetahuan sains

Pengetahuan sains didapat dengan menerapkan paham humanisme, rasionalisme, empirisme,


dan positivisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu
mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani
Kuno). Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan
pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan
ada bukti empiris. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti
empirisme, yang terukur.
AKSIOLOGI SAINS
Aksiologi adalah cara untuk menerapkan pengetahuan yang didapat. Menurut Wibisono
(dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika
dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Aksiologi
adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi
merupakan ilmu yang mempelajari hakikat, dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan,
dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkanya
dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan dijalan yang baik pula. Karena akhir-
akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan
dijalan yang tidak benar. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu.
Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan
dengan nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya
meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.

1. Alat eksplanasi

Menurut T. Jacob (Manusia, Ilmu dan Teknologi, 1993: 7-8) sain merupakan suatu sistem
eksplanasi yang paling dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam
memahami masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan.

1. Alat prediksi

Ketika membuat eksplanasi, biasanya para ilmuwan telah mengetahui faktor yang
menyebabkan timbulnya suatu gejala. Dari faktor tersebut para ilmuwan dapat membuat
sebuah ramalan atau prediksi.

1. Alat pengontrol

Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan atau prediksi dan alat pengontrol.
Perbedaan antara prediksi dengan alat pengontrol adalah prediksi lebih cenderung bersifat
pasif, karena ketika timbul gejala tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan
terjadi keadaan atau kondisi tertentu pula. Sedangkan alat pengontrol lebih bersifat aktif
terhadap sesuatu keadaan, contohnya kita membuat tindakan efektif yang mampu
meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari adanya suatu gejala tersebut.

Cara Sains Menyelesaian Masalah


Pertama, mengidentifikasi masalah. Langkah pertama menyelesaikan masalah dalam sains
adalah mengidentifikasi masalah yang ada, peneliti mengumpulkan data secara lengkap
mengenai masalah yang terjadi. Kedua, mencari teori tentang sebab-sebab masalah. Peneliti
Ketiga, menetapkan tindakan penyelesaian.

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengetahuan sains adalah sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang


dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan
menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di alam.
2. Hal-hal yang dipelajari dalam sains adalah sains kealaman, sains sosial, dan
humaniora.
3. Cara memperoleh pengetahuan sains dengan menerapkan teori humanisme,
rasionalisme, empirisme, positivisme, dan metode ilmiah.
4. Kegunaan sains adalah ssebagai alat eksplanasi, alat prediksi, dan alat pengontrol.
5. Cara sains menyelesaikan masalah adalah pertama, mengidentifikasi masalah. Kedua,
mencari teori tentang sebab-sebab masalah. Peneliti Ketiga, menetapkan tindakan
penyelesaian11837
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan
untuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang
lebih memuaskan. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman
membawa kita kepada tindakan yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi
seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan karena ia menentukan
pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk mencapai tujuan.
Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik
bersifat abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga
untuk faham betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-
pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang
lingkup filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian
yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita
memperoleh pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang
hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai
yang membahas tentang guna pengetahuan. Sehingga, mempelajari ketiga cabang
tersebut sangatlah penting dalam memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup
dan pembahansannya.
Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat, hanya
saja berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi
sebagai teori pengetahuan membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan,
bagaimana kita bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain. Ontologi
membahas tentang apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan
hubungannya dengan daya pikir. Sedangkan aksiologi sebagai teori nilai membahas
tentang pengetahuan kita akan pengetahuan di atas, klasifikasi, tujuan dan
perkembangannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ontologi?
2. Apa itu Epistemologi?
3. Apa itu Aksiologi?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ontologi
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta
onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka
ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan.[1]
Namun pada dasarnya term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf
Goclenius pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada
yang bersifat metafisis. Dalam perkembanganya Cristian Wolff membagi metafisika
menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum
dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.[2]
Bidang pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada yang mungkin
ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat
pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori tentang
keadaan. Hakikat ialah realitas, realitas ialah kerealan, real artinya kenyataan yang
sebenarnya, jadi hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya
sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang
meberubah.[3]
Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan
cara yang berbeda dimana entitas (wujud) dari kategori-kategori yang logis yang
berlainan (objek-objek fisik, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada dalam
rangka tradisional. ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum
dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaianya akhir-akhir ini ontologi dipandang
sebagai teori mengenai apa yang ada.
Ontologi sering diindetikan dengan metafisika yang juga disebut proto-filsafia
atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasanya adalah hakikat
sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab akibat, realita, atau Tuhan dengan segala
sifatnya.[4]
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau dalam dari segala sesuatu yang ada.
Para ahli memberikan pendapatnya tentang realita itu sendiri, diantaranya
Bramel. Ia mengatakan bahwa ontologi ialah interpretasi tentang suatu realita dapat
bervariasi, misalnya apakah bentuk dari suatu meja, pasti setiap orang berbeda-beda
pendapat mengenai bentuknya, tetapi jika ditanyakan bahanya pastilah meja itu
substansi dengan kualitas materi, inilah yang dimaksud dari setiap orang bahwa
suatu meja itu suatu realita yang kongkrit. Plato mengatakan jika berada di dua
dunia yang kita lihat dan kita hayati dengan kelima panca indra kita nampaknya
cukup nyata atau real.
Adapun mengenai objek material ontologi ialah yang ada, yaitu ada individu,
ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk
kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber segala yang
ada. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas, bagi pendekatan kualitif,
realitas tranpil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya menjadi telaah monism,
paralerisme atau plurarisme.[5]
Fungsi dan manfaat mempelajari ontologi sebagai cabang filsafat ilmu antara
lain:
Pertama : berfungsi sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan,
konsep-konsep, asumsi-asumsi dan postulat-postulat ilmu. Di antara asumsi dasar
keilmuan antara lain:
(1) dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia ini benar-benar ada.
(2) dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia dengan pancaindera.
(3) fenomena yang terdapat di di dunia ini berhubungan satu dengan lainnya secara
kausal.
Kedua: Ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia
yang integral, komphrehensif dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji hal-
hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan dapat
memperoleh gambaran tentang objek telaahannya, namun pada kenyataannya
kadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan yang parsial dan
terpisah-pisah. Jika terjadi seperti itu, ilmuwan berarti tidak mampu
mengintegrasikan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan lain.
Ketiga: Ontologi memberikan masukan informasi untuk mengatasi
permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Pembagian
objek kajian ilmu yang satu dengan lainnya kadang menimbulkan berbagai
permasalahan, di antaranya ada kemungkinan terjadinya konflik perebutan bidang
kajian, misalnya ilmu bioetika itu masuk disiplin etika atau disiplin biologi.
Kemungkinan lain adalah justru terbukanya bidang kajian yang sama sekali belum
dikaji oleh ilmu apa pun. Dalam hal ini ontologi berfungsi membantu memetakan
batas-batas kajian ilmu. Dengan demikian berkembanglah ilmu-ilmu yang dapat
diketahui manusia itu dari tahun ke tahun atau dari abad ke abad.

B. Epistemologi
Dalam belajar filsafat, kita akan menemui banyak cabang kajian yang akan
membawa kita pada fakta dan betapa kaya dan beragam kajian filsafat itu.
Sebenarnya yang terpenting adalah bagaimana kita semua memahami apa saja yan
menjadi kajan filsafat, cabang-cabang filsafat.[6] Albuerey Castel membagi masalah
filsafat menjadi enam bagian yaitu, teologis, metafisika, epistemologi, etika, plitik
dan sejarah.[7]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya
suatu pengetahuan.[8] Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak
sekali pemaknaan atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam
memberikan pemaknaan terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut pandang
yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan yang berbeda ketika
mngungkapkannya.[9]
Akan tetapi, untuk lebih mudah dalam memahami pengertian epistemologi,
maka perlu diketahui pengertian dasarnya terlebih dahulu. Epistemologi
berdasarkan akar katanya episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis,
teori).[10]
Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang
metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-
batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.[11]
Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi daripada epistemologi
adalah P. Hardono Hadi. Menurut beliau epistemologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin,
beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian – pengandaian
serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang
memiliki pengetahuan.[12]
Dagobert D. Runes. Seperti yang di tulis Mujamil Qomar, beliau memaparkan
bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas, sumber, struktur,
metode-metode, dan validitas pengetahuan.[13] Sedangkan menurut Azyumardi
Azra, beliau menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas
keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[14]
Walaupun dari kedua pemaparan di atas terdapat sedikit perbedaan, namun
keduanya memberikan pengertian yang sederhana dan relatif mudah di pahami.
Mudhlor ahmad merinci menadi enam aspek yaitu, hakikat, unsur,
macam, tumpuan, batas dan saran pengetahuan.[15]
Am Syaifudin menyebutkan bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang
harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya,
bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah
kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai manakah
batassannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok,
masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[16]

1. Ruang Lingkup Epistemologi


Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok
pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan.Dalam hal ini, dua
poin penting akan dijelaskan:
a) Cakupan pokok bahasan,
Yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam
pengertian khusus seperti ilmu hushûlî.Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang
berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup
segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan,kemahiran dan juga meliputi
ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî,ilmu Tuhan, ilmu para malaikat dan ilmu
manusia.
2) Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini
digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu
hudhûrî.
3) Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan
ilmu logika (mantik).
4) Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang
diyakini dan belum diyakini.
5) Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan
realitas eksternal.
6) Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana
tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
7) Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
b) Sudut pembahasan
Yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana
subyek ini dibahas,karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan
psikologi.Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu.
Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini
menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan
dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian
epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-
ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan
adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari
aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu.
Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman
mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan,
pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan.Dan dari sisi ini,
ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya.
Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan
pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi[17].

2. Aliran-aliran Epistemologi
Dalam teori epistemologi terdapat beberapa aliran. Aliran-aliran tersebut mencoba
menjawab pertanyaan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan.
Pertama, golongan yang mengemukakan asal atau sumber pengetahuan yaitu aliran:
a) Rasionalisme, yaitu aliran yang mengemukakan, bahwa sumber pengetahuan
manusia ialah pikiran, rasio dan jiwa.
b) Empirisme, yaitu aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari
pengalaman manusia itu sendiri, melalui dunia luar yang ditangkap oleh panca
inderanya.
c) Kritisme (transendentalisme), yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan
manusia itu berasal dari dunia luar dan dari jiwa atau pikiran manusia sendiri.
Kedua, golongan yang mengemukakan hakikat pengetahuan manusia inklusif di
dalamnya aliran-aliran:
a) Realisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia adalah
gambaran yang baik dan tepat tentang kebenaran. Dalam pengetahuan yang baik
tergambar kebenaran seperti sesungguhnya.
b) Idealisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah kejadian
dalam jiwa manusia, sedangkan kanyataan yang diketahui manusia semuanya
terletak di luar dirinya[18].

C. Aksiologi
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata
axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal,
teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status
metafisik dari nilai[19].
Aksiologi sebagai cabang filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan[20].
Nilai Intrinsik, contohnya pisau dikatakan baik karena mengandung kualitas-
kualitas pengirisan didalam dirinya, sedangkan nilai instrumentalnya ialah pisau
yang baik adalah pisau yang dapat digunakan untuk mengiris [21], jadi dapat
menyimpulkan bahwa nilai Instrinsik ialah nilai yang yang dikandung pisau itu
sendiri atau sesuatu itu sendiri, sedangkan Nilai Instrumental ialah Nilai sesuatu
yang bermanfaat atau dapat dikatakan Niai guna.
Aksiologi terdiri dari dua hal utama, yaitu:
Etika : bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang.
Semua prilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi, tidak benar
suatu prilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepat, prilaku adalah beretika baik
atau beretika tidak baik.
Estetika : bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya
manusia dari sudut indah dan jelek. Indah dan jelek adalah pasangan dikhotomis,
dalam arti bahwa yang dipermasalahkan secara esensial adalah pengindraan atau
persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada suatu pihak, rasa tidak
senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan
manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada
jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi ialah :
1. Menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran
yang hakiki, maka prilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan
tidak berorientasi pada kepentingan langsung.
2. Dalam pemilihan objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang tidak
mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak
mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik,
arogansi kekuasaan dan kepentingan politik.
3. Pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang
memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam
lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal.[22]
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu ta
onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Maka
ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang keberadaan, term ontologi
pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf.
Menurut etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme
(pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori). Secara terminologi,
epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar
pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan
validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.
Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal dari kata
axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal,
teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status
metafisik dari nilai.

B. Saran
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, kita dianjurkan untuk mempelajari
filsafat dengan berbagai macam cabang ilmunya. Karena, dengan cara kerjanya yang
bersifat sistematis, universal (menyeluruh) dan radikal, yang mengupas,
menganalisa sesuatu secara mendalam, ternyata sangat relevan dengan problematika
hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat antara berbagai macam
disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain. Dengan demikian,
menggunakan analisa filsafat, berbagai macam disiplin ilmu yang berkembang
sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan
masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan
hidup manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mudlor. 1994. Ilmu Dan Keinginan Tabu (Epistemologi Dalam Filsafat). Bandung:
Trigenda Karya.

Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metedologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pres.

Idi, Jalaluddin Abdullah. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Hidayat, Anwar, Ruang Lingkup Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi, (7 Januari
2014), https://plus.google.com/111276199-303520579310, diakses pada tanggal 9 Oktober
2015

Margono, Soejono Soe. Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode
Kritik. Jakarta: Erlangga.

Shamad, Abd dkk. 2012. Filsafat: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, di akses dari
http://philosopherscommunity.blogspot.com pada tanggal 18 Oktober 2014 pukul 13:15

Soyomukti, Nuraini. 2011. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Susanto, A. 2001. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara.

Syam, Nina W. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama.

Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

WibSurajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.


. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu
dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia,
bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal
yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai
induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang
wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia
melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme,
idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-
strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami
perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan wujud, tetapi
juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh
tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan
implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain
merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk
mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada
sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari
“Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu
atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem
epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenran dan cara untuk
mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain,
pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada
tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang
didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama
kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah
epistemologi bertanya tentang “bagaimana” sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang
“untuk apa”.
Tiga problem filosofis inilah —ontologi, epistemologi dan aksiologi— yang hingga kini
masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki
sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam
dunia Filsafat. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengetengahkan
pembahasan tersebut dalam makalah ini.

II. Pembahasan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik
mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara
ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis
yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau
ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat
yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat,
namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di
mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan
mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki
dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau sarana apa
yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di atas maka yang pertama adalah persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan masalah ontologis. Kedua, masuk dalam wilayah kajian
epistemologis. Sedangkan yang ketiga adalah problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti
mempunyai tiga landasan ini. Di bawah ini penulis akan memaparkan sekilas pembahasan
mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.

A. Ontologi
“Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti
“ada” dan logos yang berarti “ilmu”. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu
tentang hakekat yang ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu,
Mulyadi Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud
sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska. Metafisika disebut sebagai “induk
semua ilmu” karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang
dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan sebagai wujud murni’. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi
bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato
berpendapat bahwa cunia yang sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia
atau pikiran univewrsal (the universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat
gurunya (Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat adalah riil. Sedangkan
Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa
yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal
dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah fisika, matematika dan Metafisika. Fisika
sebagai tingkatan yang paling rendah, matematika sebagai tingkatan tengah-tengah
sedangkan teologi sebagai tingkatan yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah
karena ilmu itu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu
yang berbenda, yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai
wujud tersendiri, yaitu matematika. Dan ada yang tidak berhubungan dengan suatu benda
yaitu metafisika.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat
atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu,
keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah,
eksistensi dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan,
realita, malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.
Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat
dasar dari wujud, sebagai kategori paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan,
tetapi juga pembagian wujud. Wujud dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib
al-wujud), yaitu wujud yang niscaya ada dan selalu aktual, mustahil (mumtani’al wujud)
yaitu wujud yang mustahil akan ada baik dalam potensi maupun aktualitas, dan mungkin
(mumkin al-wujud), yaitu wujud yang mungkin ada, baik dalam potensi maupun aktualitas
ketika diaktualkan ke dalam realitas nyata.
Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf
kuno maupun modern. Ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas realitas. Realitas
adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam
ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas yang ada ini;
apakah realitas yang tampak ini suatu realita materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu;
apakah realita ini terdiri dari satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak
(pluralisme).” Di bawah ini adalah berbagai macam pandangan tentang ontologi.

a. Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu saja,
tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal
berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan
berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut
dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran yaitu materialisme
dan idealisme.
Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi. Sedangkan ruh atau
jiwa bukanlah suatu kenyataan yang bisa berdiri sendiri bahkan ia hanya merupakan akibat
saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga
disebut dengan naturalisme artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah alam saja.
Sedangkan yang di luar alam tidaklah ada. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh para filosof
pra-sokratik seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Democritos dan lainnya. Thales
misalnya beranggapan bahwa unsur dari semua makhluk hidup adalah air. Sedangkan
Anaximandros beranggapan bahwa alam semesta ini berasal dari apeiron artinya “yang tak
terbatas” yaitu yang bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan dan meliputi segalanya. Anaximenes
beranggapan lain, bahwa prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan
Democritos menganggap bahwa alam ini tersusun dari atom-atom yang tak terhingga
jumlahnya.
“Sedangkan sebagai lawan dari materialisme yaitu idealisme yang berarti juga spiritualisme
berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “idea”
yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang
beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu
yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari
penjelmaan ruhani.”
“Perintis dari aliran ini adalah Plato yang selanjtunya akan dikembangkan oleh George
Barkeley, kemudian oleh Kant, Fichte, Hegel hingga Schelling. Menurut Plato realitas
seluruhnya seakan-akan terdiri dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda-benda
jasmani yang disajikan kepada panca indera. Pada taraf ini diakui bahwa semuanya tetap
berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus, keesokan harinya sudah layu. Lagi pula
dunia inderawi ditandai oleh pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus
juga. Harus diakui juga bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping
“dunia” inderawi itu terdapat satu “dunia” lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri atas
ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan
tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu ide “yang
bagus”. Demikian halnya dengan ide-ide yang lain. Dan setiap ide-ide bersifat sama sekali
sempurna.” Oleh sebab itu, menurut Plato yang benar-benar real itu hanyalah idea atau dunia
ide sedangkan yang materi merupakan pengejawantahan dari ide.
Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato bercerita mitos tentang gua. Ia
menggambarkan kehidupan di dunia ini ibarat tahanan dalam gua yang hanya mempunyai
pengalaman di dalam gua saja. Sebaliknya mereka tidak mengetahui realitas di luar gua yang
nyata adanya. Baru ketika mereka keluar dari gua mereka baru percaya bahwa ada realitas
selain pengalaman yang mereka lihat selama di dalam gua. Artinya gua itu adalah dunia yang
disajikan kepada panca indera kita. Kita menerima semua pengalaman secara spontan begitu
saja. Padahal sebenarnya pengalaman inderawi itu tak lebih dari sekedar bayang-bayang
semata.

b. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul
dari ruh dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya
menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama
ini kedua hakikat ini adalah dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai pendobrak filsafat modern Descartes
mempunyai concern yang jauh lebih rumit. Ia tidak lagi melihat alam yang secara terus-
menerus dijadikan objek kajian dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi ia melihat relasi
antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Dengan demikian ia
memosisikan manusia tidak hanya sebagai subjek saja tetapi sekaligus sebagai objek.
Pertanyaannya adalah apakah pengetahuan yang kita miliki itu karena memang ada realitas di
luar sana atau justru karena faktor keberadaan manusia sebagai subjek yang berpikir. Diktum
Descartes Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku” ada jelas sekali memosisikan manusia
sebagai subjek berpikir yang bebas. Karena saya berpikir maka saya menjadi ada demikian
realitas yang lain menjadi ada pula. Manusia merupakan subjek yang sadar akan keberadaan
dirinya. Paham inilah yang kemudian menjadi cikal bakal aliran eksistensialisme.

c. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang
menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua
entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah,
air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James seorang filosof dan
psikolog kenamaan asal Amerika. Ia berpendapat bahwa dunia ini terdiri dari banyak
kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-
versum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau
pluralis.

d. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang
tidak mengakui validitas alternative yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan
Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia.
Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia
menerima nihilisme. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman
Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang memberika tiga proposisi tentang
realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua,
bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu sumber
ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita
telah dikungkung oleh dilema subjektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui ia tidak
akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
e. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat
materi maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme berasal dari bahasa Yunani yaitu agnostos
yang berarti “unknown”. A artinya not dan no artinya know. Timbulnya aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan
adanya kenyataan yang berdiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu
menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcendent.” Beberapa tokoh
aliran ini misalnya Soren Kiekegaar, Heidegger, Sartre, dan Jasper.
Masalah ontologi ini semakin lama semakin berkembang tidak hanya di dunia filsafat Barat
tetapi juga di dunia filsafat Islam. Misalnya dalam Islam kita kenal ada aliran Isyraqi dengan
tokohnya Suhrawardi dan Hikmah Mutaalliyah oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya
mendiskripsikan realitas ini bagaikan cahaya yang mempunyai gradasi dari sumber cahaya itu
sendiri yang paling terang hingga yang paling lemah. Sumber cahaya itu adalah Tuhan dan
cahaya yang semakin meredup itu bagaikan ciptaan-Nya yang bermacam-macam dari yang
paling sempurna hingga yang paling rendah. Sedangkan Mulla Sadra terkenal dengan
pandangan Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra beranggapan bahwa yang primer
itu adalah wujud. Tanpa wujud segala sesuatu tidak akan pernah ada. Dan wujud dari semua
hal adalah sama. Oleh sebab itu ia meyakini kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan
yang membuat sesuatu itu berbeda dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti warna
dan lainnya.
Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang paling serius dalam filsafat ilmu. Sebab
ia bertanggungjawab atas kebenaran dari suatu ilmu itu. Oleh sebab itu, ia tidak berbicara
tentang apa yang tampak tapi apa yang nyata. Sebab penampakan itu belum tentu sesuai
dengan kenyataannya.. Wilayah ontologi bukan berbicara pada tataran penampakan tapi
kenyataan. Mampu mengetahui kenyataan yang hakiki itulah sebagai ilmu pengetahuan yang
valid. Jadi, pembahasan wujud dalam ontologi merupakan realitas mutlak dan lawan dari
ketiadaan. Wujud dalam hal ini mencakup segala hal, mulai dari Dzat Ilahi, realitas-realitas
abstrak dan material, baik substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan.

B. Epistemologi
Jika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, apakah anda pernah memikirkan apa itu
pengetahuan? Pastinya anda menganggap bahwa saya orang yang aneh. Kalau saya bertanya,
apakah kita tahu? Pastinya kita semua tahu. Tentang nama kita sendiri, Jakarta sebagai ibu
kota Indonesia, Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa 2+2 = 4. Sebuah
lompatan drastis yang dilakukan Socrates pada zamannya, dan mungkin sampai sekarang ini
masih, dengan pernyataannya “apa yang saya ketahui adalah apa yang tidak saya ketahui”
bagaimana akal kita bisa menerima pernyataan yang kontradiksi ini?
Akar permasalahan adalah pengetahuan yang rupanya menuntutut sejenis kepastian tertentu
yang tidak dimiliki oleh kepercayaan yang biasa. Tetapi sekali saja anda bertanya, apa yang
akan membenarkan kepastian ini, anda mulai merasakan sangatlah sulit menemukan
jawabannya.
Mudah mengetahui mengapa begitu banyak pemikir memperdebatkan pengetahuan yang
menuntut adanya sebuah kepastian. “Mengetahui” bisa kita sebut dengan kata yang sukses.
Demikian dengan kata “belajar”. Untuk mengetahui seseorang telah mempelajari sesuatu,
sama denga mengatakan mereka telah mempelajari sesuatu dengan sukses dan kini telah
menyerap apa saja yang telah mereka pelajari. (mengatakan mereka sedang belajar jelas tidak
menunjukkan bahwa mereka telah menguasai secara sempurna, hanya sedang mengejar
kesempurnaan itu. Misal; anda sedang mempelajari aritmatika, apakah bisa dikatakan anda
menguasai aritmatika?). kita bisa mengatakan bahwa seseorang telah sukses dengan apa yang
telah mereka pelajari apabila mereka dapat menyatakan kembali apa yang telah mereka
peroleh di masa lalu.
Epistemologi merupakan tahapan berikutnya setelah pembahasan ontologi dalam filsafat.
“Istilah epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk
membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum).
Kalau dalam metafisika pertanyaannya adalah apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar
dalam epistemologi adalah apa yang dapat saya ketahui?”
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan
pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara
etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori
pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.
Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia,
dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan
masalah epistemologi adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu
mempunyai gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan
menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera
sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan
menggunakan intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh sebab itu yang perlu dibahas
berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-
tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang berasal dari
manusia dan dari luar manusia. Pengetahuan yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan
indera, ilmu (akal) dan filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia
(berasal dari Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau
teori pengetahuan, kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta
klasifikasi ilmu pengetahuan.

1. Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan.
Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang
diperoleh manusia? Sampai batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-
pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber
pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah. Sedangkan M. Taqi
Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan.
Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat.
Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan pembahasan ‘irfan
bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya
hati dalam epistemologi—yang merupakan cabang filsafat. Ada juga yang menganggap
bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain
lebih sebagai sumber sekunder.
Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb,
fu’ad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab
suci), tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks,
yang akan berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-
teks suci tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006).
Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan pengetahuan
membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak
memisahkan antara sang penahu dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan
kemampuan manusia untuk menangkap pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran
ditangkap dengan fakultas indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan
sebagai sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber
pengetahuan.

a. Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan
dengan menggunakan indera yang dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan
hidung kita bisa mencium, dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar
dan dengan lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah benda-
benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya atau
mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui
indera disebut dengan empirisme. Aliran ini berpendapat, bahwa empirisme atau
pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun
lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah
bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para
Filosof empirisme antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume
termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada
sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan.
Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda,
sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung dengan indera.
John Locke dengan teori tabula rasanya mengatakan bahwa manusia itu ketika lahir bagaikan
kertas putih tanpa goresan apa pun artinya ia sama sekali belum memiliki pengetahuan. Baru
kemudian ia mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan panca inderanya untuk
mengenali objek-objek yang ada di sekelilingnya. Begitu seterusnya hingga semua
pengalaman dalam hidupnya tersimpan dalam memori pikirannya. Metode ilmiah yang
dipakai untuk memperoleh pengetahuan empiris ini adalah eksperimentasi atau kalau di
dalam Islam kita kenal metode tajribi.

b. Akal
Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan selanjutnya setelah indera. Akal semakin
diperhitungkan sebagai sumber pengetahuan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki
oleh indera yang hanya sebatas pada benda-benda fisik saja. Padahal di luar fisik masih
terhampar luas samudera pengetahuan. Selain itu juga pengetahuan inderawi cenderung
menempatkan antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui sama-sama hadir
artinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika demikian sungguh manusia akan mengalami
kerepotan. Misalnya jika kita tidak mengenal pengetahuan matematis—sebagai salah satu
produk ilmu akal—seseorang akan kesulitan dalam melakukan perhitungan. Tidak mungkin
kita menghadirkan benda-benda dalam jumlah yang banyak karena hal itu akan menyulitkan.
Maka cukuplah dengan menggantinya dengan konsep-konsep angka dalam matematika.
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara mana yang salah dan mana yang
benar. Selain itu juga akal bekerja dengan menggunakan hukum-hukum logika yang diakui
kebenarannya. Akal dengan tegasnya bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber
kebenaran. Misalnya ketika sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera
akan tampak membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan
setelah dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak mungkin melihat karakter
kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke dalam air. Di sinilah
akal diakui sebagai sumber kebenaran. Dan tentu saja banyak bukti yang lain. Faham filosofis
yang yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan disebut rasionalisme.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang
memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang
dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan
pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya
sendiri, yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah deduktif.
Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof rasionalis adalah Rene
Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.” Rasionalisme memakai prinsip koherensi dalam
pembenarannya. Jadi apa yang benar adalah apa yang koheren dengan akal. Metode ilmiah
yang dipakai adalah metode burhani.
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai
bapak filosof modern. Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum “aku
berpikir maka aku ada”. Sejak itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung
sebagai sumber pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai
subjek yang berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan keberadaan
dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, ia berusaha membangun landasan filososif
tentang kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan.
Bahkan keberadaan dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin
bisa ia sanksikan bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia
yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan keberadaan
dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan keberadaan yang lain. Namun
bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir, ketika dalam keadaan tidur misalnya?
Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti
dari semua aktivitasnya.
c. Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk memperoleh pengetahuan maka demikian
halnya dengan intuisi. Bahkan pengetahuan yang berasal dari intuisi inilah yang diakui
kebenarannya. Sebab indera dan akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan
menganalisa sedangkan intuisi bisa menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri
seseorang. Maka pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan ushuli
artinya pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan pengetahuan
intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir ke dalam diri
subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara apapun. Sehingga pengetahuan hushuli
cenderung rentan terhadap kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan
indera maupun akal kita. Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-
benar merasakan secara langsung apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung
terhadap sebuah realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi
berbeda dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya memperlihatkan penampakannya
saja.
Di antara para filosof intusionisme—sebuah aliran yang menjadikan intuisi sebagai sumber
pengetahuannya—adalah Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini
juga sangat familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita
kenal dengan metode irfani.

d. Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa diusahakan oleh manusia adalah wahyu.
Artinya ia benar-benar bersumber dan pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak
perlu disanksikan lagi. Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan
dan utusan Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan menjadi salah satu pilar keyakinan
beragama. Orang yang beragama harus meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci.
Di dalam kitab suci biasanya terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka,
pahala dan dosa. Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan
Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-berita yang lainnya. Wahyu merupakan
sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah metode bayani.

2. Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori kebenaran terlebih dahulu penting kiranya untuk
mendefinisikan apa arti kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu
pengetahuan karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta ditemukan arti
kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan
yang sesungguhnya). Menurut William James yang dikutip oleh Titus dkk (1984: 344),
kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah
yang menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff (1992:
178) ‘kebenaran’ menunjukkan bahwa makna sebuah ‘pernyataan’ artinya, proposisinya
sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka kita
mengatakan bahwa proposisi itu “sesat”. Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada
beberapa macam.

a. Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan
Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi
dijelaskan “….suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan
dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia
pasti mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia
dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama.
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang
pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis.
Menurut paham ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah
persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak
adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan.
Misalnya pernyataan “Kota Bandung berada di wilayah Jawa Barat” bukan karena pernyataan
ini berguna atau apa, tapi karena secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti
empiris memang demikian.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori
ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan
Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C. I. Lewis.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia
memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya
menguntungkan maka ia baik dan benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia
buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut
pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau
proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap
pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi
kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur
kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun
dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.

3. Batasan Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi memang sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya
berbicara soal keberadaan yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang
materi bisa diketahui dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya
kita yakini keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang immateri itu—
seperti keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnya—diterangkan dalam kitab suci (wahyu)
bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme tentu saja mereka tidak
memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu
berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang
menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-
pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai
penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia.
Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak sebab surga
dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab
musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu berada
di luar jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi
setelah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan yang hanya bisa
dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara empiris.
Sebuah ilmu harus memenuhi standar metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia
bagaimana kita bisa menguji kebenarannya dengan standar metodologis dan metode-metode
ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini nampaknya sangat sempit sekali. Memang
hal ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang
dalam bahasa Barat disebut dengan science merupakan suatu pengetahuan yang tidak
diragukan lagi kebenarannya karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan
secara empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak memenuhi
kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal yang sifatnya immateri
bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan ia dianggap tidak ada. Seperti itulah asumsi
para saintis tentang ilmu terutama yang berkembang di dunia Barat.

4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan


Ada berbagai macam kalsifikasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh para ahli. Tapi dalam
kesempatan ini saya hanya akan memberikan gambaran klasifikasi ilmu yang disusun oleh
Ibn khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Ia memberikan gambaran yang sangat
komprehensif mulai dari yang paling utama—dalam arti mencapai tingkat kematangannya—
hingga yang paling bawah yaitu ilmu fisik. Ia membagi ilmu ke dalam dua kategori besar
yaitu:
I. Ilmu-ilmu Naqliyyah (Transmitted Science) yang terdiri dari:
(1) Tafsir al-Qur’an dan Hadits
(2) Ilmu fiqih yang meliputi fiqh, fara’id dan ushul fiqh
(3) Ilmu Kalam
(4) Tafisr-tafsir ayat Mutasyabihat
(5) Tasawuf
(6) Tabir Mimpi (ta’bir al-Ru’yah)
II. Ilmu-ilmu Aqliyyah (Rational Science)
(1) Ilmu logika, yang terdiri dari
a. Burhan (Demonstrasi)
b. Jadal (Dialektika)
c. Khitbah (Retorik)
d. Syi’r (Puitik)
e. Safsathah (Sofistik)
(2) Fisika, yang terdiri dari:
a. Minerologi
b. Botani
c. Zoologi
d. Kedokteran
e. Ilmu Pertanian
(3) Matematika, yang terdiri dari:
a. Aritmetika
– Kalkulus
– Aljabar
b. Geometri
– Figur Sferik
– Kerucut
– Mekanika
– Surveying
– Optik
c. Astronomi
(4) Metafisika
a. Ontologi
b. Teologi
c. Kosmologi
d. Eskatologi
Selain itu, ada kelompok ilmu-ilmu praktis yang meliputi etika, ekonomi dan politik. Ibn
Khaldun juga terkenal sebagai bapak sosiologi Islam yang telah melahirkan sebuah disiplin
ilmu sosial yang disebut ilmu budaya atau yang biasa kita sebut “sosiologi” yang meliputi:
1. Sosiologi secara umum
2. Sosiologi politik
3. Sosiologi ekonomi
4. Sosiologi kota
5. Sosiologi ilmu

5. Metode Ilmiah
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain, mengapa manusia mulai mengamati
sesuatu? Kalau kita telaah lebih lanjut ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu
kalau kita mempunyai perhatian tertentu terhadap objek tersebut. Perhatian tersebut
dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita
menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.
Selanjutnya setelah seseorang mendapatkan suatu permasalahan, tahapan selanjutnya adalah
berusaha mencoba menyelesaikan permasalahan itu. Hanya saja dalam penyelesaian suatu
masalah itu seseorang mempunyai cara yang berbeda-beda. Mungkin itu hanyalah kenyataan
yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam tradisi keilmuan kita mengenal apa yang disebut dengan metode ilmiah.
Metode ilmiah ini merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh supaya mendapatkan
ilmu pengetahuan yang valid. Oleh sebab itu metode ilmiah ini terdiri dari beberapa tahapan
yang harus dilalui mulai dari awal—yaitu perumusan masalah—hingga tahap yang paling
terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Jika suatu ilmu didapatkan dengan melalui tahapan-
tahapan ini kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi.
Metode ilmiah pada dasarnya sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua
kelompok ilmu ini maka perbedaan itu sekedar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan
bukan pada struktur berpikir atau aspek metodologisnya.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah
yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang
berintikan proses logic-hypothetico verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah
sebagai berikut:
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya
(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi
yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait
dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan
faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak
(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apkah sebuah hipotesis yang diajukan
itu diterima atau ditolak. Kiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang
mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses
pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak.
Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah
sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang
konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian
kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum
terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Semua itu adalah langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mendapatkan pengetahuan
ilmiah. Meskipun antara langkah yang satu dengan yang lain saling terkait dan langkah yang
awal menjadi dasar bagi langkah yang selanjutnya tapi dalam praktiknya bisa berbeda.
Seorang peneliti bisa memulainya dengan menemukan fakta-fakta di lapangan kemudian
merumuskannya dan mengambil kesimpulan secara umum (induksi) atau membuktikan
premis-premis yang sudah ada kemudian disesuaikan dengan fakta (deduksi).
Dalam sebuah tradisi keilmuan, ilmu bisa berkembang bila dilakukan sebuah proses
falsifikasi. Artinya kita sesuaikan antara teori-teori yang ada dengan kenyataan yang ada di
lapangan (mencari pembuktian). Artinya jika teori yang kita miliki tidak sesuai dengan
kenyataan di lapangan maka kewajiban kita adalah merumuskan teori baru. Demikian proses
itu berlangsung secara terus menerus hingga dicapai kesesuaian antara teori dengan fakta.
Dari sinilah sebuh ilmu itu akan selalu mengalami perkembangan. Bukan sebaliknya mencari
pembenaran terhadap teori yang sudah ada. Artinya teori yang sudah ada tersebut dianggap
sudah benar sehingga tinggal mencari pembenaran fakta-faktanya di lapangan. Jika tidak
sesuai antara fakta dengan teori fakta tersebut disingkirkan sampai menemukan fakta yang
sesuai dengan teori. Jika demikian maka suatu ilmu itu tidak akan mengalami perkembangan.

C. Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara
tentang bagaimana yang ada itu bisa diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi
berkaitan dengan manfaat dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan
kaidah-kaidah moral.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti “nilai” dan
logos yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun
S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari tentang nalai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi
mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau
profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral
conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic
expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life,
kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.

1. Teori Nilai (Etika)


Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai
sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan
kali ini akan dibahas beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan
dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu
subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian.
Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun
tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal
mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun
orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan
tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi
objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu
saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang
diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda
tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan,
yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar
mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi
mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu
diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini
tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan
salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh
dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang
sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang
menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa
yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa
yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagus—setiap orang tidak
mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral—tapi itu tidak benar.
Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan
adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena
ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri
mempunyai nilai. Susuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang
subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada
manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidaak ada mata manusia
yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak
melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang
mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai
subjek dan barang sebagai objek.”
Namun yang paling penting dari masalah etika adalah implikasi praksisnya. Artinya sesuatu
yang buruk itu seharusnya ditinggalkan sedangkan yang baik seharusnya dilaksanakan.
Dengan demikian ilmu pengetahuan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia
bukan justru malah mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang ini—dunia modern—bagaimana sebuah ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak yang disalahgunakan untuk tujuan-tujuan
kejahatan. Misalnya saja dalam kejahatan perang. Banyak kasus yang bisa kita utarakan
berkaitan dengan masalah ini seperti Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam hingga
perseturuan antara Palestina dan Israel yang tidak ada henti-hentinya. Mereka yang secara
persenjataan lebih maju seolah dengan alasan pembelaan membenarkan tindakan
pengeboman dan pembantaian masal di mana seringkali korbannya adalah warga sipil.
Tindakan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan, tak berperikemanusiaan dan amoral. Selain
itu juga misalnya pembuatan senjata nuklir dan senjata pemusnah masal yang jelas sekali
mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Itu adalah sekedar contoh dari pemanfaatan
teknologi yang tidak tepat guna. Tentunya masih banyak yang lainnya. Oleh sebab itu
aksiologi dalam hal ini berfungsi untuk memberikan tuntunan bagaimana suatu hal itu bisa
digunakan secara tepat guna.
Memang segala sesuatu itu—termasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan—
mempunyai dampak negatif dan positif. Tapi sebenarnya dampak yang negatif itu bisa
dihindari atau setidaknya diminimalisir. Semua itu adalah demi kepentingan kehidupan
manusia itu sendiri.
2. Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori tentang pencerapan penghayatan pengalaman
indera, sesuai dengan istilah Kant dengan transzendentale asthetik (teori tentang susunan
penghayatan panca-indra dalam ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale logic:
pengetahuan rasional dan penuturan). Perlawanan yang dikemukakan oleh Kant itu juga
dinyatakan oleh Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian pemikiran yang benar dan estetika sebagai
teori tentang penghayatan sempurna panca-indera. Masalah yang timbul tentang estetika yang
dihadapi oleh banyak ahli pikir semenjak Plato dan Aristoteles ialah pernyataan tentang
hakikat keindahan dan seni. Dengan demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana keindahan
dan seni merupakan bagiannya, dinamakan lapangan estetika, dikordinasikan dengan logika
dan estetika. Estetika dalam pengertian baru itu diapakai oleh Kant dan Schiller sehingga
menjadi umum di Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.”
Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan dengan masalah estetika adalah tentang
keindahan, apakah keindahan itu sesuatu yang sifatnya objektif atau subjektif? Jika teori
tentang nilai mengatakan bahwa persoalan nilai itu adalah masalah yang subjektif maka
sebaliknya dengan persoalan estetika. Persoalan estetika lebih berpihak pada pandangan
objektivisme. Artinya bahwa keindahan itu merupakan sifat yang objektif yang dimiliki oleh
suatu benda. Ia bukanlah penilain subjektif seseorang. Diantara yang berpandangan seperti ini
adalah Hegel. Hegel menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari Cita Mutlak,
Absolut Idea. Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui saluran indera. Ia adalah
sejenis pernyataan ruh. Seni, agama dan filsafat merupakan tingkat-tingkat tertinggi dari
perkembangan ruh.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali dalam mencari keterangan tentang
estetika. Dengan Kant dimulailah studi ilmaih dan psikologi tentang teori estetika. Ia
mengatakan dalam The Critique of Judgement bahwa akal memiliki indera ketiga di atas
pikiran dan kemauan. Itulah inder rasa. Yang khas pada rasa atau kesenangan estetika ialah ia
tidak mengandung kepentingan. Ini membedakannya daripada kesenangan-kesenangan yang
lain yang mengandung unsur keinginan atau terlibat dalam kepentingan pribadi atau hayat.
Gula misalnya tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya untuk menikmatinya.
Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik. Kita menyetujuinya karena
kepadanya kita mempunyai kepentingan. Sebaliknya dengan keindahan. Selalu Ia merupakan
objek kepuasan yang tidak mengandung kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang
lain. Indah, sekalipun ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek
penilaian. Kita mengatakan: “Barang ini indah”. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan itu
merupakan sifat objek, tidak hanya sekedar selera yang subjektif. Demikianlah teori Kant.
Di dalam Islam sendiri konsep “keindahan” itu sangat jelas sekali. Sumber keindahan itu
bahkan bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa “Allah itu Maha Indah dan menyukai
keindahan”. Demikian juga alam sebagai ciptaannya merupakan sesutau yang indah dan
menakjubkan. Bagaimana kita seringkali mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar
kita. Hal ini merupakan sebuah ekspresi nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya suatu
nilai estetika benar-benar merupakan sesuatu yang objektif bukan subjektif sebagaimana nilai
etika.

3. Sosio Politik
Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang sosio-politik. Sosio-politik ini merupakan ilmu
praksis. Yang pertama mengenai ilmu sosial, dalam hal ini ia berfungsi sebagai ilmu yang
mengatur bagaimana manusia hidup bermasyarakat. Hanya saja ia mempunyai concern yang
lebih spesifik yaitu berkaitan dengan masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia itu
harus bergaul, berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Manusia sebagai makhluk
sosial pasti tidak bisa dilepaskan dari manusia yang lain untuk mempertahankan hidup.
Artinya mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam perkembagannya, ilmu sosial ini
nantinya akan menjadi disiplin ilmu trsendiri yaitu sosiologi.
Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak bisa dilepaskan dari yang namanya ilmu
ekonomi karena masalah sosial juga mencakup masalah ekonomi. Misalnya bagaimana
manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya.
Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana dipahami juga di dalam tradisi Yunani,
harus dipahami sebagai manajemen rumah tangga (tadbir al-manzil), yang tujuannya adalah
memberi bimbingan kepada semua anggota keluarga—terutama anggota keluarganya—
tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga. Jadi bukan
dalam arti ekonomi makro atau ekonomi perusahaan seperti yang layaknya dipelajari pada
masa sekarang di sekolah-sekolah. Karena itu sebagaimana etika memberikan petunjuk-
petunjuk praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai individu, demikian juga
ekonomi memberikan bimbingan praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai
anggota keluarga.”
Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga juga adalah bagaimana caranya mencari
nafkah yang halal, cara menyimpannya, membelanjakannya dan sebagainya. Bahkan juga
dibahas bagaimana mencari pembantu yang baik, apa kriteria pembantu yang baik dan
bagaimana sikap kita terhadapnya. Yang tidak kalah pentingnya dalam membangun sebuah
rumah tangga adalah bagaimana mencari istri yang baik. Karena istri merupakan tiang dari
sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian juga dibahas alasan-alasan apa yang
menyebabkan seseorang butuh rumah tangga. Apa prinsip-prinsipnya dan hal apa saja yang
diperlukan dalam pengelolaan sebuah rumah tangga.
Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana etika dan ekonomi, politik juga dipandang
dalam tradisi ilmiah Islam, sebagai ilmu praktis, yang tujuannya member bimbingan kepada
manusia, bagaimana menjadi manusia sebaik-baiknya sebagai seorang anggota masyarakat
atau dengan kata lain sebagai makhluk sosial. Ilmu politik ini terutama penting sekali bagi
para pemimpin masyarakat ataupun pemerintah, karena Ia juga memberi kita arahan tentang
bagaimana memerintah atau mengelola masyarakat yang dipimpinnya.
Masalah politik juga menyangkut masalah kenegaraan sehingga ia juga berbicara tentang
bagaimana mencari seorang pemimpin yang baik dan adil. Apakah kualifikasinya. Demikian
juga dibahas tipe-tipe negara. Misalnya ada negara utama dan tidak utama. Negara utama
hanya punya satu jenis saja sedangkan negara tidak utama ada yang disebut negara bodoh,
negara yang durjana dan negara yang keliru.

III. Penutup
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari
masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut
merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah
kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses
berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan
kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu
pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat.
Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis.
Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu
pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan
aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek
kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia filsafat, ini.
Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan demi perkembangan
pemikiran manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar.
Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan
filosof semata karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu
harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian “kebenaran yang hakiki”. Hal itu
dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun,
sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal
itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai
kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat
manusia.

Daftar Pustaka

Bakar, Osman. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah. 2008


Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2004
Berten, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. 2006
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori nilai. Jakarta: Bulan Bintang.
1978
Idi, Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidika:Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007
Kartanegara, Mulyadi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan. 2006.
Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003.
Mulyana. Filsafat Agama, Diktat Kuliah Filsafat Agama UIN Bandung. Bandung: Fak
Ushuluddin. 2001
Surajiyo. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Total Grafika
Indonesia. 2003

Anda mungkin juga menyukai