Oleh:
Okyra Asyrafi Guchan
11751102258
Putri Nurul Hidayah
11751200330
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “HADIST TENTANG ADAB
TIDUR” tepat waktu.
Penyusunan makalah sudah penulis lakukan semaksimal mungkin, Untuk
itu penulis pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Selaku dosen
Studi Hadist yang telah sabar dalam membimbing penulis menyelesaikan makalah
ini..
Terlepas dari semua itu, penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan serta aspek-
aspek lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada penulis membuka seluas-
luasnya pintu bagi pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun sarannya demi
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, penulis sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana
ini bisa bermanfaat dan menginspirasi pembaca maupun penulis.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 latar belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
2.1 Tidur dalam tatanan sunnah .................................................................. 3
2.2 Hadist tentang tidur menghadap kanan ................................................. 4
2.3 Hadist tentang tidur mematikan lampu ................................................. 5
2.4 Hadist tentang tidur dengan posisi menghadap kiblat ......................... 7
2.5 Hadist tentang mengkhatamkan al quran .............................................. 8
2.6 Larangan-larangan dalam tidur ........................................................... 12
BAB III ................................................................................................................. 15
PENUTUP ............................................................................................................. 15
3.1 Simpulan ......................................................................................... 15
3.2 Saran ................................................................................................ 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan pada makalah ini adalah:
2
BAB II
PEMBAHASAN
َض ِل ِه َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرون َ َو ِمن َّرحْ َمتِ ِه َج َع َل لَ ُك ُم اللَّ ْي َل َوالنَّ َه
ْ َار ِلت َ ْس ُكنُوا فِي ِه َو ِلت َ ْبتَغُوا ِمن ف
“Dan karena rahmatNya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu
beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karuniaNya
(pada siang hari) dan supaya kamu bersyukur”. [Al Qashahs: 73].
3
satu simbol akan kekuasaanNya untuk membangkitkan makhluk setelah Ia
mematikan mereka.
Pola tidur seseorang memiliki kontribusi cukup penting bagi aktivitasnya
secara keseluruhan.
Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang waktu tidur adalah
teladan terbaik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah tidur melampaui
batas yang dibutuhkan tubuh, tidak juga menahan diri untuk beristirahat sesuai
kebutuhan. Inilah prinsip pertengahan yang Beliau ajarkan. Selaras dengan fitrah
manusia. Jauh dari sikap ifrath (berlebih-lebihan) ataupun tafrith (mengurangi
atau meremehkan).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidur pada awal malam dan bangun
pada pertengahan malam. Pada sebagian riwayat dijelaskan, Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidur berbaring di atas rusuk kanan Beliau. Terkadang Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur terlentang dengan meletakkan salah satu
kakinya di atas yang lain. Sesekali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam letakkkan
telapak tangannya di bawah pipi kanan Beliau. Kemudian Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam berdoa. Satu catatan penting juga, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidaklah tidur dalam kondisi perut penuh berisi makanan.
4
6. Merangsang Buang Air Besar (BAB)
7. Mengistirahatkan Kaki Kiri
“Janganlah biarkan api di rumah kalian (menyala) ketika kalian sedang tidur.”
(HR. Bukhari no. 6293 dan Muslim no. 2015)
َ َِّث ِبشَأ ْ ِن ِه ُم النَّ ِبى – صلى هللا عليه وسلم – قَا َل « ِإ َّن َه ِذ ِه الن
ار َ فَ ُحد، احْ ت ََرقَ َب ْيتٌ ِب ْال َمدِينَ ِة َع َلى أ َ ْه ِل ِه ِمنَ اللَّ ْي ِل
» ط ِفئُوهَا َع ْن ُك ْمْ َ فَإِذَا نِ ْمت ُ ْم فَأ، ِى َعد ٌُّو لَ ُك ْم
َ إِنَّ َما ه
َطانَ الَ َي ُحل ِسقَا ًء َوالَ َي ْفتَ ُح َبابًا َوال َ ش ْي ِ ط ِفئُوا
َّ الس َرا َج فَإِ َّن ال ْ َ اب َوأ
َ السقَا َء َوأ َ ْغ ِلقُوا ْال َبِ اإلنَا َء َوأ َ ْو ُكوا ِ « غَطوا
علَىَ ّللاِ فَ ْليَ ْفعَ ْل فَإِ َّن ْالفُ َو ْي ِسقَةَ تُض ِْر ُم
َّ ض َعلَى إِنَائِ ِه عُود ًا َويَذْ ُك َر اس َْم َ ِف إِنَا ًء فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ِجدْ أ َ َحد ُ ُك ْم إِالَّ أ َ ْن يَ ْع ُر
ُ يَ ْكش
ِ أ َ ْه ِل ْالبَ ْي
» ت بَ ْيتَ ُه ْم
5
tidak bisa membuka wadah yang tertutup. Jika salah seorang di antara kalian
tidak mendapatkan sesuatu untuk menutup wadahnya kecuali dengan sebilah kayu
lalu menyebut nama Allah ketika itu, lakukanlah karena tikus bisa membakar
rumah yang dapat membahayakan penghuninya.” (HR. Muslim no. 2012).
Yang ada di masa silam, lentera itu berasal dari api dengan menggunakan
minyak sebagai bahan bakarnya. Ketika tikus datang, tikus itu bisa menjatuhkan
minyak tersebut ke lantai dan akhirnya mengobarkan api. Terjadilah kebakaran
yang besar. Itulah mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk memadamkan api saat tidur supaya tidak terjadi kebakaran seperti itu.
Lalu apa tidak ada larangan menyalakan lampu saat tidur? Jawabannya,
untuk lampu listrik seperti yang ada saat ini tidaklah ada larangan karena kembali
ke hukum asal, lampu tersebut boleh terus nyala. Kendati demikian bisa jadi ada
dampak kesehatan jika lampu dibiarkan menyala saat tidur. Namun itu masalah
lain yang bukan cakupan bahasan hadits yang kami uraikan di atas. Hadits-hadits
yang ada jelas menunjukkan yang dilarang adalah membiarkan api terus menyala
saat tidur, bukan membiarkan lampu terus menyala.
Adapun manfaat mematikan lampu saat tidur sangat banyak, dalam berbagai
macam riset yang menunjukkan manfaat memadamkan lampu saat tidur:
6
1. Tubuh akan menghasilkan hormon melatonin yang berfungsi sebagai
penghasil kekebalan tubuh terhadap penyakit.
2. Lebih cepat terlelap tidur.
3. Mengurangi lemak dan menghindarkan dari resiko obesitas (kegemukan).
4. Meningkatkan kinerja otak
7
hampir mati ke arah kiblat yaitu dalam keadaan terlentang, muka dan dua
tapak kakinya menghadap ke arah kiblat. Perkara ini jelas disebutkan
dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan katanya:
Artinya: “(Adab tidur yang) ke tujuh ialah (sunat) tidur menghadap kiblat.
Menghadap kiblat itu ada dua cara : Salah satunya: (Seperti cara)
menghadapkan orang yang hampir mati iaitu terlentang atas belakang
(badannya), muka dan dua tapak kakinya menghadap ke arah kiblat. Kedua:
(Seperti cara) menghadap (kiblat di dalam) lubang kubur iaitu baring secara
mengiring dengan mukanya serta bahagian hadapan badannya ke arah (kiblat)
ketika berbaring pada posisi sebelah kanan.”. (Kitab Ihya ‘Ulumiddin: 1/448)
Sementara itu, menurut Syeikh Muhammad bin Shaleh al-‘Uthaimin
Rahimahullahu Ta’ala apabila ditanya mengenai hukum tidur dengan
mengunjurkan kaki ke arah kiblat, beliau memfatwakan dengan berkata:
Artinya: “Tidak mengapa ke atas seseorang apabila dia tidur kedua kakinya
menghala ke arah Ka’bah (kiblat). Bahkan ulama fiqh Rahimahumullahu Ta’ala
berkata: “Sesungguhnya orang sakit yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu
duduk, (maka dia) bersolat dengan cara miring dan wajahnya menghadap ke
arah kiblat dan jika tidak mampu juga maka (hendaklah) bersolat dengan cara
terlentang dan kedua kakinya menghadap ke arah kiblat.” (Fatawa Ibnu al-
‘Uthaimin: Soalan ke 1576)
Maka berdasarkan beberapa pandangan ulama di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa tidur menelentang dengan mengunjurkan kaki ke arah kiblat
itu tidaklah mengapa bahkan tidak dikira berdosa.
Sebab, tidur dalam keadaan mengunjur kaki ke arah kiblat itu sama dengan
keadaan shalat orang yang sakit dan tidak mampu shalat dalam keadaan berdiri
ataupun duduk.
Diharuskan shalat miring atas rusuknya yang kanan ataupun dalam keadaan
menelentang dengan wajah dan kedua kakinya menghadap ke arah kiblat.
8
Mengkhatamkan Al Qur’an sebulan sekali memang salah satu
perintah dari baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun apakah
suatu kewajiban satu bulan mesti satu juz? Ataukah boleh kurang dari
target khatam setiap bulan?
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” (QS. Al Muzammil:
20).
Kata Ibnu Hajar bahwa yang dimaksud oleh Imam Bukhari dengan
membawakan surat Al Muzammil ayat 20 di atas berarti bukan menunjukkan
batasan bahwa satu bulan harus satu juz. Dalam riwayat Abu Daud dari jalur lain
dari ‘Abdullah bin ‘Amr ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya,
“Berapa hari mesti mengkhatamkan Al Qur’an?” Beliau katakan 40 hari [artinya,
satu hari bisa jadi kurang dari satu juz]. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab lagi, “Satu bulan.” [Artinya, satu hari bisa rata-rata
9
mengkhatamkan satu juz] (Lihat Fathul Bari, 9: 95, terbitan Dar Thiybah,
cetakan keempat, tahun 1432 H).
Ibnu Hajar mengatakan,
ع ُموم ل َ َّن
ُ قَ ْوله: ( ذَلكَ م ْن أَقَل يَ ْش َمل ) م ْنهُ تَيَس ََّر َما فَا ْق َر ُءوا، عى فَ َم ْن ْ ان
َ ََّّالبَي فَ َعلَيْه التَّحْ ديد اد
“Karena keumuman firman Allah yang artinya, “ Maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al Quran ” mencakup pula jika kurang dari itu (kurang dari satu
juz). Barangsiapa yang mengklaim harus dengan batasan tertentu, maka ia harus
datangkan dalil (penjelas).” (Fathul Bari, 9: 95)
النَّ َووي َوقَا َل: ذَلكَ في تَ ْقدير َل أَنَّهُ َعلَى ْالعُلَ َماء أَ ْكثَر، سب ه َُو إنَّ َما َّو
َ َو ْالقُ َّوة النَّشَاط ب َح، َهذَا ى َّ َف َعل
اخت ََلف يَ ْختَلف ْ َو ْال َ ْش َخاص ْالَحْ َوال ب
“Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran ” (QS. Al
Muzammil: 20). Jawab beliau, “Iya betul. Bacalah walau hanya lima ayat.”
Disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 414, terbitan Dar Ibnul Jauzi,
cetakan pertama, tahun 1431 H.
Dalam riwayat Ath Thabari disebutkan dengan sanad yang shahih,
dijawab oleh Abu Sa’id, “Walau hanya lima puluh ayat.” (Diriwayatkan
oleh Ath Tahabari, 29: 170, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama,
10
tahun 1423 H). Dari As Sudi, ditanya mengenai ayat di atas, maka beliau jawab,
“Walau 100 ayat.” (Idem).
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
ب ْال َ ْش َخاص يَ ْختَلف ذَلكَ أ َ َّن َوال ْختيَار، َّالف أَ ْهل م ْن َكانَ فَ َم ْن ْ ت َصرّْيَق أ َ ْن لَهُ ا ُ ْستُحبَّ ْالف ْكر َوتَدْقيق ْهم
صود به َي ْخت َل َل ا َّلذي ْالقَدْر َعلَى
ُ ْال َم َعاني َواسْت ْخ َراج التَّدَبُّر م ْن ْال َم ْق، ش ْغل لَهُ َكانَ َم ْن َو َكذَا
ُ َغيْره أ َ ْو مّْب ْالعل
صالح الدين ُمه َّمات م ْن َ فيه ه َُو ب َما يُخل َل الَّذي ْالقَدْر َعلَى م ْنهُ يَ ْقتَصر أ َ ْن لَهُ يُ ْست َ َحب ْالعَا َّمة ْال ُمسْلمينَ َو َم،
َهذْ َر َمة يَ ْق َر ُؤهُ َو َل ْال َملَل إ َلى ُخ ُروج َغيْر م ْن أَ ْم َكنَهُ َما السْت ْكثَار لَهُ فَ ْال َ ْولَى َكذَلكَ يَ ُك ْن لَ ْم َو َم ْن. ُّللا
َّ أ َ ْعلَم َو
11
“Wahai Rasulullah dalam berapa hari aku boleh mengkhatamkan Al-
Qur’an. Beliau menjawab, “Dalam satu bulan.” ‘Abdullah menjawab, “Aku masih
lebih kuat dari itu.” Lantas hal itu dikurangi hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan, “Khatamkanlah dalam waktu seminggu.” ‘Abdullah masih
menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas bersabda, “Tidaklah bisa memahami jika ada yang mengkhatamkan
Al-Qur’an kurang dari tiga hari.” (HR. Abu Daud no. 1390 dan Ahmad 2: 195.
Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Al ‘Azhim Abadi menyatakan bahwa hadits di atas adalah dalil tegas yang
menyatakan bahwa tidak boleh mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari.
(‘Aun Al-Ma’bud, 4: 212)
Para ulama menjelaskan bahwa yang ternafikan dalam hadits adalah
ketidakpahaman, bukan pahalanya. Artinya, hadits tersebut tidaklah menunjukkan
tidak boleh mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. Yang dimaksudkan
dalam hadits adalah jika mengkhatamkan kurang dari tiga hari sulit untuk
memahami. Berarti kalau dilakukan oleh orang yang memahami Al-Qur’an seperti
contoh para ulama yang penulis sebutkan di atas, maka tidaklah masalah.
Dalam Lathaif Al-Ma’arif (hal. 306) disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-
Hambali, “Larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari itu ada jika
dilakukan terus menerus. Sedangkan jika sesekali dilakukan apalagi di waktu
utama seperti bulan Ramadhan lebih-lebih lagi pada malam yang dinanti yaitu
Lailatul Qadar atau di tempat yang mulia seperti di Makkah bagi yang
mendatanginya dan ia bukan penduduk Makkah, maka disunnahkan untuk
memperbanyak tilawah untuk memanfaatkan pahala melimpah pada waktu dan
zaman. Inilah pendapat dari Imam Ahmad dan Ishaq serta ulama besar lainnya.
Inilah yang diamalkan oleh para ulama sebagaimana telah disebutkan.”
12
Selain mencontohkan adab tidur yang baik, Rasulullah shalallaahu alaihi
wassalam pun menjelaskan beberapa larangan dalam tidur, yaitu:
1. Tidur di Pagi Hari Setelah Shalat Shubuh
Dari Sakhr bin Wadi’ah Al-Ghamidi radliyallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
”Ya Allah, berkahilah bagi ummatku pada pagi harinya,” (HR. Abu dawud 3/517,
Ibnu Majah 2/752, Ath-Thayalisi halaman 175, dan Ibnu Hibban 7/122 dengan
sanad shahih).
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan
makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata :
“Termasuk hal yang makruh bagi mereka yaitu orang shalih adalah tidur antara
shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang
sangat berharga sekali. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali
mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai
walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat
pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan
sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizeki, adanya
pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan
mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut.
Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang
terpaksa,” (Madaarijus-Saalikiin 1/459).
13
melarangnya, sebagian ulama membolehkan tidur sebelum shalat isya’ khusus di
bulan Ramadlan saja.”
طجع أَنَا فَبَ ْينَ َما ْ س َحر منَ ْال َمسْجد فى ُم
َ ض َّ علَى ال ْ َُّرج إذَا ب
َ طنى َ جْ عَةّض هَذه إ َّن « فَقَا َل برجْ له يُ َحر ُكنى ل
ض َها
ُ ّللاُ يُبْغ َ َسو ُل فَإذَا فَن
َّ ». ظ ْرتُ قَا َل َّ -وسلم عليه هللا صلى-
ُ ّللا َر
“Aku tidur di masjid pada akhir malam, kemudian ada orang yang mendatangiku
sedangkan aku tidur dengan posisi tengkurap. dan berkata: “Bangunlah dari
tengkurapmu, karena tidur yang demikian adalah tidurnya orang-orang yng
dimurkai Allah.” Kemudian aku angkat kepalaku, maka ketika kulihat ia adalah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akupun kemudian bangkit,”( HR. Al-
Bukhari, dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 1187, Ibnu Majah, no. 3723, Ahmad, no.
7981, At-Tirmidzi, no. 2768).
Dalam riwayat Ibnu Majah dengan lafazh: “Ada apa denganmu sehingga tidur
dengan posisi seperti ini (tengkurap), tidur seperti ini adalah tidurnya orang yang
dibenci atau dimurkai Allah -Subhanahu wa Ta`ala.”
Adapun sebab dibencinya tidur tengkurap ini diterangkan dalam hadits dari Abu
Dzar -radhiallahu ‘anhu, ia berkata
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di sisiku sementara aku sedang tidur
tengkurap, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersabda: ‘Wahai Junaidab,
sesungguhnya hanyalah tidur seperti ini adalah tidurnya penghuni neraka,” (HR.
Ibnu Majah, no. 3724).
Ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa memang tidur
tengkurap berbahaya, apalagi tidurnya pulas dan lama karena saat tidur
tengkurap otomatis otot dada/otot pernafasan kita tidak dapat
14
mengembangkan dada dengan baik danmaksimal, sehingga aliran oksigen
menjadi lebih sedikit dan bisa berakibat menjadi sesak nafas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Islam sebagai agama yang syamil tidak hanya mengatur bagaimana cara-
cara kita beribadah kepada Allah SWT, namun lebih jauh, Islam mengajarkan kita
sampai hal terkecil dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk tata cara dan adab
tidur telah dijelaskan dalam islam, oleh karena itu islam merupakan agama yang
lengkap dan indah.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini, penulis masih belajar dalam materi ini,
sehingga bukan tidak mungkin terdapat kesalahan dalam pembuatan makalah ini.
Oleh karena itu kami meminta koreksi dari pihak manapun yang mendapati
kesalahan tersebut.
15
DAFTAR PUSTAKA
https://rumaysho.com/10973-salah-kaprah-tentang-hadits-mematikan-lampu-
ketika-tidur.html
https://rumaysho.com/11162-kisah-menakjubkan-para-ulama-mengkhatamkan-al-
quran-dalam-sehari.html
https://rumaysho.com/5956-mengkhatamkan-al-quran-sebulan-sekali.html
https://almanhaj.or.id/2915-tidur-dalam-tatanan-sunnah.html
intips-kesehatan/health/zilzaal
https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-tidur-menghadap-kiblat-dalam-islam
16